AGILITY [ Slow Update ] ( 18 + ) Keduanya ditakdirkan begitu berbeda. Florette, gadis rapuh yang hidup bergelimangan harta dengan masa depan menjanjikan. Namun belum merasa cukup bahagia atas kehidupannya. Jace, pemuda sebatang kara pecinta hidup yang rela mempertaruhkan kebebasan dan nyawanya demi semua itu. Baginya, esok hari tak pernah menjanjikan. Baik Jace dan Flo tidak percaya cinta. Keduanya pun kesepian di tengah hingar bingar New York yang menyilaukan. Saat keduanya memutuskan untuk berpegangan satu sama lain, takdir tak jua berpihak pada mereka.
Part 1: Prologue & Introduction New York, Summer 2015. Jace keluar dari kediaman Arceneaux dengan pandangan redup, kedua tangannya dengan erat berpegangan pada setir mobil kesayangannya. Matahari merayap dengan lamban dari ufuk. Perlahan-lahan menyilaukan pandangan matanya. Dihirupnya udara pagi ini dalam-dalam. Berusaha menghilangkan harum yang memenuhi paru-parunya. Aroma yang berasal dari seorang gadis belia ranum yang semalaman berada di pelukannya. Florette. *** Flo meraba sisi ranjangnya yang hampa berkali-kali sampai gadis itu benar-benar sadar bahwa laki-laki itu telah menghilang. Sementara dirinya masih berada di bawah selimut tanpa busana, masih sama seperti saat ia terlelap. Mentari sudah meninggi, cahayanya pun memaksa menerobos masuk ke celah kelopak matanya yang sempat sedikit terbuka hingga kini sepenuhnya terbuka. Ia menjatuhkan kepala pada sisi ranjang yang lain. Aroma Jace masih tertinggal di sana. ====== Jace 'Jace Rush' Russell (30 tahun): Pria dengan masa lalu yang kelam dan kehidupan yang serba carut marut. Jangan lupakan kecintaannya pada jalanan, mobil mewah, dunia balap, obat-obatan, minuman keras, hingar bingar pesta dan tentu saja, wanita. Pria brengsek berkelas yang sejatinya tertutup dan tidak suka jika kehidupan pribadinya dicampuri. Tak banyak yang paham tentang latar belakang seorang Jace Rush. Florette 'Flo' Arceneaux (21 tahun): Gadis kecil dengan kehidupan sempurna; kekayaan melimpah, masa depan cerah dan kecantikan elegan dengan sedikit sentuhan kepolosan pada dirinya. Putri tunggal keluarga pemilik Arceneaux Communication Group yang bergerak pada penyedia layanan informasi dan komunikasi di Amerika Serikat. Berkat kecemerlangannya, Flo dianggap pantas untuk meneruskan usaha yang telah dirintis leluhurnya dalam beberapa generasi. ====== New York, Winter 2013 Suasana reuni yang terselenggara di ballrom The Plaza memang masih terkendali. Beratus manusia dengan pakaian indah dan sampanye ditangan tak hentinya berbicara serta bergerak hilir mudik. Menyapa satu sama lain. Semakin banyak yang mereka sapa semakin mengindikasikan jika mereka adalah sosok yang terkenal semasa di sekolah. Sebut saja acara malam hari ini adalah acara reuni yang diselenggarakan alumnus salah satu sekolah terkemuka di New York.
Jace Rush. Yang menyesap sampanye berkali-kali tak hentinya mengedarkan pandangan ke sekitarnya, berburu dengan mata jikalau jika ada sosok gadis yang menarik perhatiannya dan bisa diajak berkencan dalam semalam. Namun di lengannya sudah terdapat sosok gadis yang sedang sibuk berbincang sambil sesekali membenturkan bibir gelas sampanye ke milik orang lain lalu meminumnya. Nampak asyik dengan obrolan dengan para teman lama, gadis itu Pearlita Bradshaw, seorang perempuan populer lantaran kecantikan dan kekayaannya, juga betapa mudah mengajaknya berbagi ranjang. Laki-laki itu sendiri sebenarnya sudah dikelilingi teman-temannya jadi tidak ada alasan untuk merasa bosan. Apalagi si Pearl yang cantik senatiasa menemaninya ke mana pun atas dasar kedekatan. "Oh, hai, Flo!" seru Pearl begitu melihat sesosok gadis mungil dengan potongan gaun yang tidak begitu mencolok namun pas dalam menampilkan aura polos dan murni gadis yang disapa Flo itu. "Pearl!" dengan sumringah, Flo menghampiri Pearl lalu memeluk kawan lamanya itu. Memberi jarak bagi Pearl dengan Jace. "Flo, kau masih tidak berubah. Kau masih sangat kecil dulu dan sekarang kau nampak sama saja," cerocos Pearl membuat Flo tersenyum canggung. Jace mendengus mendengar kata 'kecil' dan tanpa sengaja dengusan itu terdengar oleh Flo. Perempuan itu menoleh ke arah Jace. Pearl yang menyadari situasi segera menyikut Jace. "Aku Florette Arceneaux, senang berkenalan denganmu," Flo mengulurkan tangannya dibarengi dengan sebuah senyuman yang pasti akan membuat laki-laki manapun leleh dibuatnya. "Jace Russell," Jace melirik sekilas ke arah Flo, mendapati pandangan kagum yang biasa ia terima, namun mata itu terlihat murni seperti rusa. Tanpa respon apapun, Jace tetap meletakkan tangan di dalam saku sambil memalingkan wajahnya. Gadis itu mengulum senyumannya, menyadari teman-teman Pearl dan Jace menertawakannya, Flo menarik tangannya lagi lalu bergegas pamit dari hadapan mereka. "Sampai jumpa, Flo!" Florette melangkah keluar dari ballroom dengan wajah merah padam sementara hentakan sepatu hak tingginya masih menggema di telinga Jace Rush.
- to be continued. Hello, this is my debut at wattpad~ hopefully you'll give a good response about this story. Enjoy!
Part 2: Part 1 - Meet The King of Street New York, Summer 2015.
Dini hari, Triborough Bridge yang menghubungkan Long Island dengan Manhattan tak juga lengang. Gemerlap lampu pada rangkanya tak lagi mengagumkan bagi Jace yang kerap menghabiskan waktu hanya untuk memandangi Brooklyn Bridge dari Brooklyn Park ketika sedang mempunyai masalah. Alih-alih mencari gendung tinggi di Manhattan dan berdiam diri di puncaknya, menatap air justru lebih menenangkan bagi Jace. Maserati GranTurismo MC Stradale milik Jace membelah jalanan dengan kecepatan tinggi, berusaha agar posisinya tidak diungguli oleh peserta balapan lain. Gila memang, mengambil lokasi balapan di jembatan meski bukanlah hal yang asing namun resiko yang ditimbulkan tentu saja teramat besar. Terlebih jembatan ini dua arah dan Jace harus membagi konsentrasinya antara tetap bertahan karena posisinya yang terbilang menguntungkan dengan bagaimana agar ban mobilnya tidak melampaui markah jalan dan menimbulkan kekacauan pada arah yang berlawanan yang terbilang padat. Karena start yang mereka ambil adalah dari Queens dan finish berada di Manhattan. Di dalam otaknya sudah tergambar jelas mobil yang akan dimenanginya malam ini, McLaren 570s milik rivalnya yang menjadi taruhan. Meski Jace terus saja menghajar habis saraf-saraf di otaknya dengan menggunakan obat penenang, morfin dan ganja selama ini, benang-benang impuls masih bekerja dengan baik jika itu ada hubungannya dengan otomotif dan wanita. Dua hal yang menurutnya sama-sama menarik dan membawa kepuasan bagi Jace Rush. Meski hanya sekilas, Jace dapat melihat bendera dilambaikan tanda bahwa ia lah yang mencapai garis finish paling cepat. Ya, McLaren 570s yang menjadi idamannya sudah berada di genggaman. Sebuah seringaian dan tawa meremehkan lolos begitu saja dari bibir Jace. Ia segera menepikan mobilnya lantas membuka pintu mobil, saat Jace keluar ia disambut oleh pelukan dari para gadis yang notabene adalah penggemar setia pria tampan yang satu ini. Tetapi tidak ada yang dinantikannya selain penyerahan hak milik mobil produksi Britania Raya itu kepada Jace. Bertambahnya penghuni setia sebuah bengkel bekas yang tak ubahnya sebuah show room yang ia gunakan untuk menyimpan mobil-mobil koleksinya dan dekat dengan rumah di daerah Upper East Side, Manhattan. Hartanya belum cukup untuk membeli rumah di sekitar Brooklyn maupun Queens mengingat Manhattan minim lahan untuk ditempati. "Menang lagi, Jace!" Hugo Murphy, dengan aksen Irlandia kentalnya, menyelamati Jace dengan sebuah pelukan singkat dan tepukan di bahu. Meski hal itu bukanlah suatu hal yang wajib dilakukan mengingat betapa sering Jace memenangkan balapan. "Bawa dia ke rumah," Jace melempar kunci McLaren itu ke arah orang kepercayaannya tersebut. "Dan kau- ah, I get it," Hugo mengibaskan tangannya ketika retinanya memproyeksikan sesosok perempuan Latin dan menggoda sedang duduk di kap Maserati Jace. "Kau, jangan kotori mobil baruku!" tandas Jace dingin mengingat Hugo sama bejatnya dengan dirinya. "Shin! Bantu aku mengurus semua ini," Hugo berbalik untuk mencari pria Korea yang sama-sama di dalam lingkup pergaulan Jace Rush. Katakanlah mereka 'orang dalam'. Baru saja Jace hendak melangkah ke arah perempuan bernama Cecil atau siapalah itu, pria dingin ini mendapatkan teriakan lengkap dengan acungan jari tengah dari rivalnya yang menderita kekalahan sekaligus mobilnya dirampas oleh sang raja jalanan, "Fuck you, Rush!" Jace yang malas menanggapi lontaran emosi kekanakan itu hanya meludah ke jalanan sementara jari tengahnya pun teracung pada Lucas Parker anak orang kaya yang berhasil ia kalahkan.
*** Maserati GranTurismo MC Stradale bercat merah itu melaju dengan kecepatan tinggi sebelum pengendaranya menginjak pedal rem dengan tiba-tiba lantaran sebuah sedan dan sebuah jeep memotong jalannya. Rentetan umpatan sudah Jace siapkan untuk memaki siapapun yang telah menghalangi lajunya. Sebelum ia benar-benar keluar dari kendaraannya, empat orang pria berpostur besar turun dari mobil yang menghadang Jace. Salah satunya membuat gestur agar Jace segera keluar dari mobilnya, sementara raja jalanan itu masih melumat bibir perempuan Latin yang sedang bersamanya. "Wait here," bibir simetris yang sering kali terkatup rapat itu berujar sebelum membanting pintu Maseratinya dengan penuh emosi. Tanpa babibu, keempat pria besar itu menyerang Jace yang belum memasang kuda-kuda. Belum sempat Jace melayangkan tinju pada perut salah satu pengganggu itu, sebuah benda keras menghantam tengkuknya. Cukup keras hingga membuat Jace limbung dan hilang kesadaran seketika. *** Pria itu membuka mata lantas disilaukan oleh cahaya yang berasal dari lampu kamar bercat putih pemandangan yang asing bagi seorang Jace Rush. Bagian tengkuknya masih begitu nyeri ketika pria itu berusaha merenggangkan otot lehernya sampai ia sadar bahwa kedua pergelangan tangannya tak bisa digerakkan. Jace mendongak dan seketika terperanjat karena mendapati kedua tangannya terikat di atas kepala ranjang, refleks tubuhnya bergerak-gerak berusaha melepaskan tangannya dari ikatan yang membelenggunya. Siapa yang berani-berani melakukan hal seperti ini padanya? Jace sungguhan akan membuat siapa pun yang bertanggung jawab atas penyanderaan ini menanggung akibatnya. Asumsi-asumsi di kepalanya mengatakan ini semua adalah rencana dari rivalnya untuk mencelakai Jace, seperti yang sering terjadi. Namun hal yang janggal mempermainkan akal sehat Jace, untuk apa rivalnya mengikatnya di atas tempat tidur? Bayangan-bayangan tak menyenangkan silih berganti terproyeksi di pikirannya. Imaji Jace mendadak berubah liar, yang terburuk ia akan dihabisi di atas ranjang ini juga. Semua itu belum pasti, pikir Jace. Tapi ada satu kepastian bahwa Jace tidak akan menyerah begitu saja kepada siapa saja otak di balik peristiwa ini. Sementara Jace sibuk dengan pikirannya, derit pintu membuyarkan segala yang melintas di kepala pria yang bernama asli Jace Rusell tersebut. Terdengar suara langkah kaki setelahnya yang membuat dahi pria itu berkerut. Apa sebenarnya yang ia hadapi? Siapa? Seorang lelaki tinggi besar tidak akan punya langkah seanggun dan seindah itu -well, Jace tergolong jujur dalam mengutarakan opininya. Pria ini memang menganggap langkah kaki yang mendekat padanya tergolong indah, namun akan segera Jace hilangkan dengan mematahkan sepasang kaki sang empu yang berani memperlakukan Jace sedemikian rupa. "Hi, remember me?" -To Be Continued Nyampe di part 1, yeay! *tebar confetti* *gaperlu* *yabodoamat* Makasih buat yang udah baca! Much love for ya p.s : sabar ya nunggu update-an nya karena writer sibuks.
Part 3: Part 2 - Meet The Crown Princess
(Still) New York, 2015 Florette menatap ke luar jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan East River. Mansion yang terletak di Kings Point, Long Island tersebut senantiasa lengang lantaran mereka hanya memiliki dua orang tuan rumah, dan belasan orang sisanya adalah pelayan dan pengawal yang bekerja bagi tuannya. Flo selalu kesepian, alih-alih bertandang di toko-toko ternama yang berderet di Lexington Avenue, Manhattan seperti teman-teman di kalangannya, ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi maupun perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seatoro New York City. Kadang ia akan menikmati panorama dari taman-taman kota seperti Brooklyn Park maupun Central Park yang mendunia. Tak perlu dirinya turut menjelajahi toko-toko pakaian ternama, ia sudah punya jadwal rutin untuk berbelanja, yaitu di hari Jumat minggu kedua setiap bulannya. Hidup Flo sangat teratur, dan banyak di antara kawan-kawannya mengeluhkan hal itu. Namun Flo sendiri tidak ambil pusing tentang keluhan temantemannya. Toh, mereka punya cara sendiri dalam bersenang-senang dan Flo masih bisa menghabiskan waktu bersama mereka setiap afternoon tea dan gala dinner bersama mereka. "Florette?" Adrien Arceneaux mendorong daun pintu kamar putrinya agar terbuka hingga nampaklah figur mungil si anak gadis. "Papa!" dengan riang Flo menghambur ke arah sang ayah, memeluk pria itu erat seolah benar-benar merindukannya. "Miss me, sweetheart?" jemari Adrien mengusap helai pirang sang putri yang serupa dengan milik mendiang ibunya, Henrietta Arceneaux. "Uh-umm," gumam Florette tidak jelas sambil membenamkan wajahnya di dada sang ayah. "Pekerjaan bisa menunggu, makan sianglah bersama papa," Adrien menepuk puncak kepala Flo yang tengah menatap ayahnya dengan tatapan berbinar-binar. "Aye, aye, captain!" gadis belia itu kemudian berdiri tegap dan melakukan penghormatan layaknya seorang prajurit pada komandannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada makan bersama orang-orang terdekatmu, begitulah yang Florette rasakan. Ia akan selalu menunggu ayahnya pulang terlebih dahulu atau bahkan menyeret pengurus rumah tangannya untuk makan bersamanya. Flo terbiasa sendirian tapi tidak untuk perihal makan. Meski Flo sering menganggap sang ayah tiran, gadis itu tetap mematuhi apa yang dikatakan ayahnya, merindukan pria itu setiap kunjungan kerja sang ayah terlalu lama, dan tidak bisa melewatkan waktu bersama ayahnya. "Annie memasak makanan favorit Papa! Escargot!" *** Malam menjelang, semburat oranye yang terlihat dari jendela kamar Flo perlahan memudar dan digantikan gemerlap lampu dari seberang teluk. Kings Point dan Sands Point membentuk sebuah teluk, Manhasset Bay. Ayahnya pergi tepat setelah makan siang singkat mereka selesai, bisnis di Burma tidak bisa menunggu seperti yang Adrien Arceneaux katakan. Sementara Florette terbiasa menunggu kegaduhan di dalam rumahnya namun tidak pernah ia temukan. Tenang selalu menjadi zona ternyamannya sementara ia selalu menginginkan keramaian yang sampai sekarang belum berani Flo pijak. Posisi yang ia ciptakan sendiri memang sedemikian rumit. Dengan dagu yang ia letakkan di lututnya Flo berdiam diri di tempat.
Sebuah ketukan pada pintu membuat gadis itu terperanjat. "Come in," ucapnya dengan volume sedang namun tegas. Cato Henriques, pengawal yang paling Flo percaya karena sudah menemaninya sejak kanak-kanak, masuk ke dalam kamar gelap sang putri raja begitu saja. Dengan gestur kasual, ia menekan saklar lampu kamar tersebut yang lantas disambut dengan tatapan kesal sang empunya kamar. "Jadi?" sebelah alis Flo terangkat menunggu kata-kata yang akan terlontar dari bibir Cato. "Aku sudah mengaturnya. Dia akan berada di sini lepas tengah malam," Cato menepuk puncak kepala Flo menggunakan gulungan kertas foto. "Kerja bagus," puji Flo seraya mengambil gulungan kertas tersebut dari tangan Cato. Beberapa lembar potret seorang pria. Kedua sudut bibir gadis itu kian terangkat menatap potret-potret tersebut. "Apa kau yakin?" pria berusia awal tiga puluhan itu menatap Flo khawatir, layaknya seorang ayah kepada anak atau kakak kepada adik. "Tentu. Dan...," jeda sejenak sebelum dara tersebut mengangkat wajah dan tersenyum pada Cato, "... aku tidak akan menyesalinya." "Baiklah, dik. Kau harus berhati-hati," Cato mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dekat jendela lalu matanya mengarah ke sungai. "Terimakasih, Cato." *** Jemari lentik Florette Arceneaux menggenggam gagang pintu yang akan menghantarkannya pada apa yang selama ini telah ia nantikan. Membuktikan kuasanya terhadap seorang oknum yang pernah menggores harga dirinya. Sepasang tungkai jenjang itu menggiring Flo ke dalam kamar bercat serba putih dan dengan bed cover putih pula, diikuti oleh desiran bagian rok dress yang ia kenakan. Di hadapannya terlihat seorang pria yang kurang lebih seusia Cato dan memiliki postur yang sama-sama besar terikat di atas ranjang berukuran king size di tengah ruangan. Pria itu menatap nyalang ke arah Flo dengan kedua tangan yang berusaha melepaskan ikatan tersebut sekuat tenaga. Ada sedikit keterkejutan pada kilatan mata Jace yang Flo tangkap dan dengan mudah ia tebak, pria ini tidak percaya bahwa otak di balik semua penangkapan dan gagasan mengikat pria itu berasal dari seorang gadis kecil yang usianya bahkan belum mencapai seperempat abad. Bukan tipe Jace Rush. 'Gadis ini tidak asing,' pikir Jace ketika mengamati garis-garis wajah gadis muda yang tengah menghampirinya tersebut. "Hai, ingat aku?" kedua kuasa Flo dikaitkan di belakang tubuhnya sementara ia melangkah semakin mendekati pinggiran ranjang tersebut. Seulas senyum kemenangan tergambar jelas pada wajah si gadis. "Jalang." - to be continued. Terimakasih buat semuanya yang mau nyempetin baca tulisan yang jauh dari kata sempura. See you next part! xoxoxo
Part 4: Part 3 - Encountered [WARNING] this part may contain 18+ content. Be wise, and happy reading! "Jalang." Satu kata yang keluar dari bibir simetris itu mengundang sebuah tamparan pada pipi Jace. Gadis kecil ini, meski punya sepasang kuasa yang mungil namun tamparannya bukan main. Dihadiahi tamparan tersebut Jace Rush tentu semakin berang dibuatnya. "Aku bukan jalang," desis Flo sebelum naik ke atas ranjang dan duduk di atas perut berotot pria tersebut. Celah di antara kedua paha Flo itu terbelah oleh tubuh Jace. Bahkan pria itu sekilas dapat menangkap warna celana dalam yang dikenakan gadis itu di balik pakaian berbahan tipis tersebut saat gadis itu bergerak. Hitam. Jangan salahkan mata elang pria yang bisa disepadankan dengan dewa Ares ini. Kain hitam yang dipadukan dengan kulit sewarna gading selalu menjadi favorit Jace. Tapi dia tidak boleh kalah kali ini, sungguh. Tidak bisa menyerah pada gairahnya seperti yang gadis kecil asing ini kehendaki. "Ya, kau memang jalang," sebelah sudut bibir Jace tertarik ke atas, membentuk sebuah seringaian yang sukses membuat Flo mendengus. "Watch your words, Jace Russell. I'm Florette Arceneaux and I can drag you to the jail if I want to," bisik Flo tepat di telinga Jace sebelum meraih dagger[1] dari nakas yang terletak di sisi ranjang king size tersebut. "Watch out little flower, you might hurt yourself," cibir pria itu ketika retinanya menangkap kilatan dari belati yang dipegang oleh Flo. Seringaian itu lenyap tatkala Flo menempelkan belatinya pada pipi Jace. Sorot mata Flo tajam seakan menusuk pria itu tanpa harus menekan belatinya pada permukaan kulit sang adam. Well, cukup pemberani untuk ukuran seorang gadis yang kelihatannya masih di bawah umur. "Apa yang kau inginkan?" tanya Jace pada akhirnya. "Tidur denganmu," kuasa Flo menggerak-gerakkan dagger itu di sekitar rahang Jace kemudian turun hingga kemejanya. Dengan satu kali tarikan, kancing-kancing yang mengaitkan kedua sisi kemeja itu terlepas akibat dagger yang dipegang Florette memutus benang yang merekatkan kancing tersebut pada kain kemeja Jace. "Kau sudah gila," dengus Jace. "Memang," perempuan berambut pirang itu menunduk sedikit untuk memajukan badannya. Dan saat ia menunduk Jace dapat melihat belahan dada gadis tersebut dengan samar. 'Sial,' umpat Jace dalam hati karena sadar gadis keras kepala ini memang tak selayaknya dilewatkan begitu saja. Paling tidak Jace harus melihat apakah puncak dada dan celah kewanitaannya sewarna dengan bibir berwarna dadu gadis itu. Flo mulai bergerak menggesekkan selangkangannya pada abdomen Jace. Pria itu menahan napasnya ketika kulitnya di sana dapat merasakan kehangatan pusat tubuh tersebut yang meski tidak kelihatan Jace tahu persis perempuan itu memakai thong. Bagian itu mulus dan membuat Jace penasaran apa celah itu sewangi sang empunya. Karena jujur saja parfum yang Flo kenakan mengusik gairahnya yang tertidur karena sebelumnya merasa
dipermalukan oleh tindakan si gadis telah berusaha mendominasi seorang raja jalanan seperti dirinya. Helaihelai keemasan itu mulai jatuh pada wajah Jace, dengan mudah pria tersebut mencium aroma stroberi dari rambut keemasan sang puteri. Dan pria dengan reputasi seperti dirinya pastilah sudah sangat ahli terhadap perempuan, tidak menyangka sosok sepolos Florette dapat melakukan semua ini dengan belati di tangan. Jace dapat dengan mudah menebak apa saja yang ada di balik pakaian terusan Flo, tiada apapun selain thong. Bahkan ia dapat merasakan puncak payudara si gadis beberapa kali menggesek dadanya. Sebagai pria normal dan peka terhadap daya tarik seksual lawan jenis, Jace tidak sanggup untuk terus-terusan melawan gairahnya. Darah sudah berkumpul pada kejantanannya hingga membuat benda kebanggaan Jace (selain mobil-mobil dan bengkelnya) tersebut mengeras. Siap untuk mengoyak dan mencabik-cabik kesucian Florette. 'Jika memang gadis ini masih suci,' batin Jace.