eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (1): 39-50 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
ADVOKASI WOMEN’S RIGHTS WITHOUT FRONTIERS TERHADAP KORBAN KEBIJAKAN SATU ANAK DI CHINA Nidya Widyastuty1 NIM.0702045068
Abstract This research describes about the violence against womens in China under one child policy. In 1979 China has made One Child Policy to control human populations in China. But the policy causes violent to China’s womens. The women’s rights in China was violated. Forced abortion, forced sterilization and gendercide made women in china suffered. The number of death infants, dying women because of the coercive action of China’s increasing. But the victims can’t do anything because it’s a part of national policy, and the government said a present will be given if China’s people success applied the policy or the punishment will be waiting if they fail to adopt that population control policy such as forced abortion, forced sterilization and other coercive actions. An international coalition, named Women’s Rights Without Frontiers take an action to stop it. Lead by an women’s rights advocate, Reggie Littlejohn, the coalition started to protect victims of one child policy di China since 2008. They missons are to stop forced abortion and starilization, gendercide, human trafficking and human slavery in China through their advocacy efforts such us send an official protest against forced abortion in China to the United Nations Commissions on The Statue of Women (UNCSW), do the gendercide campaign in India and China, become a public speaker about forced abortion issues in many University, and ask public to join with them to stop violence against women in China through they official website. Keywords: China, Women’s Rights Without Frontiers, Human Rights Pendahuluan Tingginya jumlah penduduk di berbagai negara merupakan hal yang menjadi sumber berbagai masalah seperti sosial, ekonomi, kesehatan serta dapat mempengaruhi kebijakan dari suatu negara. Tingginya jumlah penduduk suatu negara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingginya angka kelahiran, 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
migrasi, serta kurangnya peranan pemerintah dalam mengontrol jumlah penduduk. China memiliki wilayah geografis seluas 9.573.998 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1.354.000.000 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, China menempati urutan pertama sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.Faktor tingginya jumlah penduduk China dikarenakan sejak jaman China kuno masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Penduduk yang bermukim di daerah pinggiran sungai bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan penduduk di daerah padang rumput dan dataran tinggi bermata pencaharian sebagai peternak. Kondisi ini menuntut sebuah keluarga mempunyai banyak keturunan untuk mengurus lahan peternakan maupun pertanian mereka. (www.worldpopulationstatistics.com/, diakses pada: Februari 2014). Pada tahun 1950 China mempunyai penduduk sebanyak 563 juta jiwa, namun pada tahun 1970 mengalami lonjakan sebesar 40% dari 563 juta jiwa menjadi 800 juta jiwa. Lonjakan penduduk sebesar ini menimbulkan berbagai masalah di dalam negeri China.Bencana kelaparan, kesehatan juga sulitnya menemukan tempat tinggal menuntut pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. (http://gusschool.wordpress.com/, diakses pada: Mei 2014) Berbagai solusi telah diberikan pemerintah China pada masa pemerintahan Mao Tse-tung untuk menangani masalah yang ditimbulkan oleh lonjakan penduduk. Salah satunya adalah kampanye Birth control yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1972. Kampanye ini meliputi pembagian alat kontrasepsi massal kepada penduduk China, layanan aborsi juga sterilisasi terhadap wanita dengan tujuan untuk menekan angka kelahiran. Namun tujuan ini tidak sepenuhnya tercapai karena banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah seperti rendahnya kualitas alat kontrasepsi yang diproduksi massal seperti kondom yang terlalu tipis dan tidak memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh penduduk dewasa di China. Pembagian kondom secara massal ini ternyata hanya cukup untuk memenuhi 2% dari total penduduk dewasa di China. Kesadaran masyarakat dewasa terhadap sosialisasi pemerintah tentang birth control pada masa itu juga masih sangat sedikit. Solusi lainnya yang ditawarkan pemerintah dalam kampanye adalah sterilisasi, yaitu kontrasepsi permanen yang dilakukan dengan cara memotong saluran yang menghubungkan ovarium dan rahim sehingga pembuahan tidak dapat terjadi2. Cara ini digunakan untuk menghentikan proses kehamilan secara permanen. Tindakan ini memicu masalah baru di China, yaitu menurunnya tingkat kesuburan terhadap wanita dewasa di China. Kemudian layanan aborsi yang ditawarkan di China juga tidak mampu mengatasi lonjakan penduduk pada masa itu. (http://countrystudie.us/china/34htm/ diakses pada: Maret 2014)
2
Kamus kedokteran, terdapat di http://www.anneahira.com/kamus-kedokteran.html, diakses pada Maret 2014
40
Advokasi Women’s Rights Without Frontiers Kebijakan Satu Anak di China (Nidya Widyastuty)
Pada tahun 1978 dibawah pemerintahan Presiden Ye Jianying , Deng Xiaoping mempublikasikan Kebijakan Satu Anak, yaitu sebuah kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi masalah kependudukan di China. Kebijakan ini mulai diberlakukan secara resmi di China pada tahun 1979.Kebijakan satu anak adalah sebuah kebijakan yang hanya memperbolehkan masyarakat China untuk mempunyai 1 orang anak. Kebijakan ini dibuat untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di China. Pada penerapannya, pemerintah membebankan denda bagi keluarga yang memiliki anak lebih dari 1. Penerapan kebijakan satu anak ini menimbulkan dampak diberbagai aspek, tujuan dari kebijakan satu anak ini pun mulai terlihat sejak 10 tahun penerapannya. Namun dampak negative dari kebijakan ini pun muncul, seperti meningkatnya jumlah kasus aborsi, meningkatnya jumlah penderita kanker payudara di China, ketidakseimbangan gender dimana pria dan wanita berbanding 3:1, lebih banyak orang tua daripada anak kecil,kemudian menurunnya kesuburan terhadap wanita dewasa di Cina akibat sterilisasi juga meningkatnya kasus human slavery di China. Pada 19 Mei 2007 terjadi kerusuhan besar di provinsi Guangxi akibat aksi protes demonstran terkait permasalahan denda pelanggaran kebijakan satu anak. Lebih dari 10.000 demonstran terlibat kerusuhan dengan polisi bersenjata yang mengamankan kantor Komisi Perencanaaan Populasi dan Keluarga (KPPK). Para pendemo merobohkan dinding-dinding, menghancurkan mobil pegawai KPPK juga membakar fasilitas kantor KPPK. Dalam beberapa hari kerusuhan telah menyebar ketujuh desa lainnya setelah mengetahui bahwa pegawai KPPK tetap melakukan ”razia” terhadap keluarga yang melanggar kebijakan satu anak. Dalam melaksanakan tugasnya KPPK tetap menggunakan metode yang kasar dan tidak berprikemanusiaan. Frekuensi kehamilan yang tidak diinginkan meningkatkan angka aborsi dan aborsi paksa di China. Tingginya kasus aborsi juga kasus kematian akibat aborsi paksa menimbulkan protes keras yang dilakukan oleh beberapa organisasi internasional. Salah satunya adalah Women’s Rights Without Frontiers. Metode penelitian yang digunakan adalah analitis eksplanatif, yaitu penelitian yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana advokasi yang dilakukan Women’s Rights Without Frontiers dalam membela hak perempuan korban dari kebijakan satu anakdi China, serta teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik analisis kualitatif. Kerangka Dasar Teori 1. Teori Advokasi Teori advokasi menurut Margaret (2004:45) adalah aksi strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukan suatu masalah kedalam agenda kebijakan.Advokasi terdiri atas sejumlah tindakan yang dirancang untuk menarik perhatian masyarakat pada suatu isu dan mengontrol
41
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
para pengambil kebijakan untuk mencari solusi sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang dibuat untuk mengatasi masalah tersebut. Advokasi juga berisi aktifitas-aktivitas legal dan politis yang dapat mempengaruhi bentuk dan praktik penerapan hukum.Inisiatif untuk melakukan advokasi perlu pemberdayaan masyarakat, digagas secara strategis, didukung informasi, komunikasi, pendekatan, serta mobilisasi. Tanpa ada advokasi yang jelas maka pemberdayaan masyarakat tidak akan tercapai, begitu pula sebaliknya. Advokasi yang dilakukan oleh Women’s Rights Without Frontiers dalam upayanya untuk membela wanita korban dari kebijakan satu anak di China dilatarbelakangi oleh 3 unsur yaitu legitimasi, kredibilitas dan kekuasaan. Tahapan selanjutnya advokasi ini melewati serangkaian proses yaitu pemilihan isu, tujuan dan target, analisis isu, negosiasi, jaringan serta koalisi, opini publik dan evaluasi. (Margaret, 2004: 47) 1. Unsur Advokasi a. Legitimasi yang merujuk pada siapa yang diwakili oleh suatu organisasi dan hubungannya dengan mereka. b. Kredibilitas yaitu seberapa jauh organisasi tersebut dapat dipercaya baik informasinya maupun program-programnya. c. Kekuasaan yang artinya adanya kekuasaan yang dimiliki oleh aktor seperti kekuasaan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. 2. Proses Advokasi (Margaret, 2004:1003) a. Pemilihan Isu Aktor yang melakukan advokasi terhadap suatu permasalahan harus mengetahui dengan benar tentang isu tersebut agar isu tersebut dapat diadvokasikan dengan baik. b. Menentukan Tujuan dan Target Menentukan Tujuan dan Target berfungsi untuk memandu aktor dalam melakukan kegiatannya. c. Menganalisis Isu Menganalisis dan mengkaji isu yang ada agar dapat memfokuskan apa yang ingin diadvokasikan dan melakukan risat kembali apabila ada isu yang dapat memicu propaganda d. Membangun Opini Publik Membangun Opini Publik untuk mempengaruhi orang banyak.Dapat dilakukan melalui seminar, kampanye, maupun media cetak dan elektronik.
42
Advokasi Women’s Rights Without Frontiers Kebijakan Satu Anak di China (Nidya Widyastuty)
e. Membangun Jaringan dan Koalisi Membangun Jaringan dan Koalisi merupakan hal penting dalam membangun legitimasi publik harus mendapat banyak dukungan dari masyarakat. f. Negosiasi Digunakan untuk mempengaruhi pihak-pihak terkait agar mendukung isu yang sedang diteliti. g. Evaluasi Langkah terakhir adalah evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan karena pada dasarnya advokasi dapat memberikan hasil yang berbeda dari apa yang menjadi tujuan advokasi itu sendiri. 2. Konsep Gerakan Sosial Menurut Kamanto Sunarto (2004:194), gerakan sosial adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Kamanto (2004:195-196) menjelaskan tahapan-tahapan dari gerakan sosial. Tahapan tersebut terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap emergence (kemunculan), coalescence (koalisi), bureaucratization (birokrasi) dan decline (kemunduran). Empat tahapan itu adalah: 1. Kemunculan Tahap ini adalah bentuk ketidakpuasan masyarakat yang meluas tetapi mereka tidak mengambil tindakan apapun untuk mengatasi keluhan mereka. 2. Koalisi Tahapan saat gerakan sosial telah mengatasi beberapa kendala yang tidak pernah diatasi sebelumnya, sering kali berupa kerusuhan sosial ataupun mobilisasi yang meluas. 3. Birokrasi Gerakan sosial dihadapkan pada keadaan yang lebih formal.Ketika sebuah gerakan memasuki tahapan ini berarti gerakan tersebut telah mendapatkan dukungan dari pihak yang memegang pengaruh besar di sebuah sistem pemerintahan. 4. Penurunan Tahap ini bisa berakhir dengan berbagai cara seperti kesuksesan, kegagalan ataupun berakhirnya sebuah gerakan karena ideology dan tujuan gerakan tersebut akhirnya diadopsi oleh pemerintahan sehingga gerakan tersebut tidak lagi diperlukan. Hasil Penelitian Kebijakan satu anak adalah sebuah kebijakan yang dibuat oleh Deng Xiaoping dibawah pemerintahan Ye Jianying pada tahun 1979 yang bertujuan untuk menekan angka populasi di China dengan cara membatasi hanya boleh ada satu
43
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
anak dalam satu keluarga. Kebijakan ini merupakan penyempurnaan dari kebijakan China sebelumnya yaitu Birth Control Campaign yang dibuat Mao Tzetung pada era 1950-an. Sejak penerapan kebijakan satu anak pada tahun 1979 kebijakan ini telah berhasil menekan angka populasi di China.Pemerintah China mampu mencapai tujuan dan targetnya, yaitu mengurangi dan memperlambat laju pertumbuhan penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk tahunan China pada tahun 1970 sebesar 2,23% turun menjadi 0,63% pada tahun 2005 yang berarti selama penerapan kebijakan satu anak ini telah menghambat kelahiran 400 juta bayi.(http://www.allgirlsallowed.org, diakses pada: Juni 2014) Namun kebijakan satu anak juga mempunyai konsekuensi lainnya yang berdampak negatif dari segi kesehatan, sosial juga ekonomi.Dampak pada masalah kesehatan terlihat dari banyaknya kasus aborsi yang dilakukan di China.Di Chinakesuburanseorang wanita dikendalikanoleh negara. Ketika wanita melanggarkebijakan satu anak, sepertitidakmampu membayar denda untukmemiliki lebih dari satuataudua anak,wanita tersebut dipaksauntuk menjalaniaborsi ataupundisterilisasi rahimnya.Terhitung sebanyak 330 juta kasus aborsi telah terjadi di China.Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebanyak 60.458.200 wanita usia produktif di China telah melakukan aborsi dengan rata-rata 35.000 kasus perhari dan 45% dari jumlah tersebut merupakan aborsi paksa. Aborsi paksaterkait denganadministrasikebijakan satu anakdi China, merupakan pelanggaran HAM danbukan sebuah kebijakan resmi.Dampak yang ditimbulkan akibat aborsi paksa mencakup gangguan kesehatan fisik, mental dan juga kematian.( Susan Greenhalgh, 2011:26). Aborsi paksa yang dilakukan merupakan tindakan aborsi yang tidak aman (Unsafe Abortion).Unsafe abortion memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan fisik dan mental seorang wanita. Aborsi secara paksa ini dapat menimbulkan berbagai penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian sang ibu. Selain gangguan pada kesehatan, aborsi yang tidak aman juga dapat berpengaruh pada mental wanita.Gejala itu disebut dengan “Post-Abortion Syndrome” atau sindrom pasca aborsi. Gejala tersebut tercatat dalam “Psychologycal Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review I (1994). Pada dasarnya seorang yang melakukan aborsi akan mengalami kehilangan harga diri (82%), sering histeris (51%), mencoba bunuh diri (28%), berkeinginan memakai obatobatan terlarang (41%) dan traumatik yang mendalam karena dipenuhi rasa bersalah yang tidak akan hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya karena telah membunuh janin.(http://www.aborsi.org/, diakses pada: Juni 2014). Kasus bunuh diri di China lebih banyak dilakukan oleh wanita. 26% dari total kasus bunuh diri di dunia terjadi di China. Cedera, keracunan, depresi, sakit yang disebabkan oleh infeksi merupakan penyebab utama kematian wanita di
44
Advokasi Women’s Rights Without Frontiers Kebijakan Satu Anak di China (Nidya Widyastuty)
China.Wanita yang hidup di pedesaan lebih rentan melakukan bunuh diri dari pada mereka yang tinggal di perkotaan. Di China kasus bunuh diri lebih banyak yang ditemukan pada orang yang mengalami penyakit mental ataupun depresi yang berkepanjangan.(http://www.who.int/bulletin/volumes, diakses pada Mei 2014) Wanita yang telah melahirkan anak pertamanya juga diharuskan untuk melakukan sterilisasi, atau dengan memasang intra-uterine device (IUD).Sterilisasi adalah metode kontrasepsi permanen yang hanya diperuntukkan bagi wanita yang memang tidak ingin atau tidak boleh memiliki anak (karena alasan kesehatan).Disebut permanen karena metode kontrasepsi ini hampir tidak dapat dibatalkan bila kemudian wanita tersebut ingin punya anak.Pembatalan masih mungkin dilakukan, tetapi membutuhkan operasi besar dan tidak selalu berhasil.Sterilisasi adalah sebuah keputusan besar, yang bersarti seorang wanita dan pasangannya dihadapkan pada kenyataan bawhwa mereka tidak bisa mempunyai anak lagi dimasa yang akan datang. Keputusan wanita untuk melakukan sterilisasi harus bersifat sukarela, tidak boleh dipaksa baik paksaan dari pihak lain. Namun berbeda dengan China, dimana pemerintah memberikan pilihan kepada sebuah keluarga untuk memasang alat kontrasepsi seperti IUD segera setelah melahirkan anak pertamanya atau membayar denda dengan jumlah tinggi atau aborsi secara paksa jika mempunyai anak ke 2, tetapi diwajibkan untuk melakukan sterilisasi bagi mereka yang tertangkap tidak melakukan pilihan diatas.(http://www.womensrightswithoutfrontiers.org/, diakses pada Mei 2014). Aborsi dan sterilisasi paksa pada wanita di China dilakukan oleh para pejabat KPPK untuk memenuhi target populasi dan keluarga kecil.Wanita yang tertangkap mempunyai anak tanpa ada surat ijin dari pemerintah akan arahkan untuk melakukan aborsi bahkan sterilisasi, namun jika wanita tersebut menolak untuk melakukannya maka pegawai KPPK akan menghancurkan rumahnya ataupun memukuli wanita tersebut beserta keluarganya. Ditingkat Internasional, pengakuan hak wanita sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Pada perkembangannya, hak asasi manusia tidak mempunyai mekanisme tentang begaimana penjaminan hak dan perlindungan hak tersebut dan siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pelanggaran hak kepada pihak lain pada wanita. Atas dasar permasalahan tersebut lahirlah Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW). Pada pasal 12 dalam CEDAW disebutkan bahwa “Negara-negara anggota harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang perawatan kesehatan dalam rangka jaminan, atas dasar persamaan antara pria dan wanita, akses ke perawatan kesehatan jasa, termasuk yang terkait dalam keluarga berencana”.
45
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
Frekuensi kehamilan yang tidak diinginkan meningkatkan angka aborsi dan aborsi paksa di China.Tingginya kasus aborsi juga kasus kematian akibat aborsi paksa menimbulkan protes keras yang dilakukan oleh beberapa organisasi internasional. Salah satunya adalah Women’sRights Without Frontiers. Women’s rights without frontiers (WRWF) adalah koalisi internasional yang mempunyai misi untuk mengungkap dan menentang aborsi paksa, gendercide dan sexual slavery di China. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai WRWF adalah untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap kebijakan satu anak yang diterapkan secara koersif, menyerukan pada dunia internasional bahwa penerapan kebijakan satu anak yang diaplikasikan di China menghasilkan pelanggaranpelanggaran hak asasi wanita di China seperti aborsi paksa, sterilisasi paksa, perbudakan seksual dan lain-lain.Sedangkan tujuan jangka panjang WRWF adalah untuk mewujudkan kebebasan, juga keadilan bagi hak-hak wanita di China, dengan cara mengekspos pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di China, memberikan pemahaman melalui media massa bahwa hal tersebut harus dihentikan, juga memberikan bantuan pada wanita korban kebijakan satu anak di China. WRWF dalam melakukan visi dan misinya melalui jalur sosialisasi, baik secara langsung pada seminar-seminar kemanusiaan, maupun melalui media komunikasi lainnya seperti televisi, radio, koran juga internet. Dengan jalur media massa seperti itu akan lebih memudahkan WRWF dalam menjalankan upayanya untuk mengumpulkan dukungan guna menghentikan pelanggaran HAM yang menimpa wanita di China. Pada 31 Juli 2012 WRWF mengirimkan protes secara resmi kepada United Nation Commission on the Statue of Women (UNCSW) terkait tindakan koersif yang dilakukan KPPK di China dan juga meminta UNCSW untuk menginvestigasi kepada United Nation Population Fund (UNFPA) yang telah bekerja berdampingan dengan KPPK selama 30 tahun lebih. Dalam complain yang diajukan WRWF kepada UNSCW pada tahun 2012 juga menunjukan adanya dukungan dari parlemen Eropa yang ikut mengkritik kebijakan satu anak di China. Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang mengecam dengan keras tindakan aborsi paksa juga sterilisasi paksa di China. Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa Uni Eropa telah menyediakan dan masih menyediakan pendanaan bagi organisasi ataupun instansi yang terlibat dalam kebijakan pengendalian keluarga di China dan memastikan bahwa dana tersebut dipergunakan dengan semestinya dan tidak melanggar komitmen parlemen terhadap tindakan koersif selama pelanksanaannya. (:http://www.amazon.com/human-rights-china-after-olympic, diakses pada Juni 2014) Tidak hanya Eropa yang menyediakan dana bagi pelaksanaan control populasi China, tapi United States juga, sehingga WRWF berharap Amerika Serikat (AS)
46
Advokasi Women’s Rights Without Frontiers Kebijakan Satu Anak di China (Nidya Widyastuty)
juga mengecam tindakan kekerasan terhadap wanita yang terjadi di China dan menghentikan pendanaan untuk China. Kemudian pada tahun 2013 WRWF menerima jawaban atas surat protes yang diajukan pada UNCSW terkait permasalahan kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi wanita di China. Surat tersebut berisi “Agreed Conclusions” UNCSW yang sependapat bahwa KPPK di China terbukti melakukan tindakan koersif selama melaksanakan tugasnya. Mereka juga menyimpulkan bahwa tidak ada kekerasan terhadap wanita yang lebih kejam daripada aborsi secara paksa, dan tidak ada kekerasan yang lebih mengancam wanita daripada gendercide yang terjadi di China. Agreed Conclusions(AG)ini merupakan pernyataan resmi yang mengakui bahwa prosedur kesehatan yang dilakukan dengan cara paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap wanita dan menyerukan pada internasional untuk mengecam prosedur tersebut. Namun AG hanyalah langkah awal untuk menghentikan kekerasan terhadap gender tertentu dan UNCSW melalui AG mengutuk tindakan koersif dalam bentuk prosedur kesehatan yang dilakukan secara paksa tetapi mereka tidak membahas permasalahan gendercide, aborsi seleksi jenis kelamin, penelantaran dan pengabaian terhadap bayi-bayi perempuan.Jika UNCSW mengatas namakan dirinya sebagai pembela hak-hak perempuan, seharusnya permasalahan seperti itu juga ikut mengecam China karena telah melakukan aborsi seleksi terhadap 200 juta bayi perempuan. WRWF juga meminta UNCSW untuk melakukan investigasi lebih dalam mengenai kegiatan UNFPA di China.Mantan menteri luar negeri, Colin Powell menemukan bukti bahwa UNFPA terlibat dalam tindakan koersif pengendalian populasi di China.Oleh karena itu WRWF meyakini bahwa investigasi independen dirasa perlu ditempuh oleh UNCSW.WRWF sendiri juga sangat mengharapkan presiden Xi Jinping yang menggantikan presiden Hu Jintao dapat memberikan perubahan pada kebijakan ini, namun ternyata tidak ada perubahan.WRWF juga mengajak kubu Pro Life maupun yang berasal dari kubu Pro Choice untuk menentang aborsi paksa yang terjadi di China karena pada dasarnya aborsi paksa bukanlah sebuah pilihan yang pantas didukung. Kekerasan terhadap wanita semakin jelas terlihat pada tahun 2012 hingga mampu memunculkan kritikan terhadap kebijakan satu anak, baik dari dalam maupun luar negeri. Sebaliknya yang terjadi adalah tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan KPPK justru banyak sekali terlihat. Beberapa diantaranya berhasih dirangkum WRWF seperti : 1. Pada tanggal 4 Februari 2013, pegawai KPPK terlibat argumen dengan pasangan yang memiliki 3 anak.Ditengah perdebatan yang terjadi, salah satu pegawai berlari menuju mobilnya lalu melajukan mobil tersebut kearah salah satu anak dari pasangan tersebut yang masih berusia 13 bulan dan menabraknya hingga anak tersebut meninggal di tempat.
47
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
2. Pada tanggal 14 Maret 2014, dilaporka bahwa Yang Yuzhi gantung diri di depan kantor KPPK di desa Beizhanglou provinsi Henan. Yang Yuzhi diketahui telah 2 kali mengalami strerilisasi yang dilakukan secara paksa oleh KPPK.Ia telah bertahun-tahun hidup dengan penyakit kronis pada rahimnya akibat prosedur yang membuatnya trauma. Pengobatan atas penyakit kronisnya telah membuat perekonomian keluarganya hancur sehingga ia secara rutin mengirimkan petisi kepada KPPK agar mendapkan kompensasi atas dampak yang didapatnya akibat sterilisasi paksa, namun usahanya tidak berhasil hingga ia memutuskan bunuh diri di depan kantor KPPK. 3. Pada tanggal 19 Maret 2014, Shen Hongxia seorang ibu dari dua anak meninggal setelah menjalani sterilisasi paksa yang dilakukan KPPK.Dokter yang ditunjuk KPPK untuk melakukan sterilisasi telah memperingatkan bahwa mensterilkan kandungan Shen dapat mengancam hidup Shen, namun KPPK tetap memaksa dokter tersebut untuk melakukannya atas dasar penegakan kebijakan satu anak.Untuk menutupi kasus ini KPPK lalu memberikan sejumlah uang juga membangunkan keluarga Shen sebuah rumah. Suami Shen tidak mempunyai pilihan lain selain menandatangani surat “tutup mulut” tersebut. 4. Pada tanggal 15 Mei 2013, seorang petani bernama Zhang Futao mendapat pukulan dan serangan dari 20 pegawai KPPK karena memiliki 3 anak.Zhang mengalami kritis dengan cidera berat pada tulang tengkorak juga pendarahan pada otaknya. 5. Pada tanggal 23 Mei di kota Yuyue provinsi Hubei, Zhang Yinpin meninggal dunia setelah dipaksa aborsi oleh KPPK. Zhang dipaksa aborsi karena kehamilannya yang berusia 6 bulan tidak memiliki ijin dari pemerintah atau birth permit.Setelah menjalani aborsi paksa Zhang mengalami pendarahan hebat dan pihak rumah sakit tidak dapat menghentikan pendarahan tersebut sehingga Zhang meninggal dunia.Berita kematian Zhang sempat dimuat dalam situs berita di internet namun berita tersebut dihapus oleh lembaga sensor di China. 6. Pada tanggal 9 Juli 2013, Li Fengfei yang berasal dari Bijie provinsi Guizhou dipaksa melakukan aborsi terhadap kandungannya yang berusia hampir 5 bulan.Pegawai KPPK memukulinya hingga gigi Li tanggal dan memaksanya membubuhkan sidik jarinya pada formulir persetujuan aborsi lalu menyuntik perutnya dengan cairan kimia untuk mematikan janinnya.Li dilaporkan kritis pasca aborsi paksa yang dijalaninya. WRWF juga mendapat kehormatan untuk melakukan 4 presentasi tentang aborsi paksa dan sterilisasi paksa di UNCSW pada Maret 2013. Pada 3 dari 4 presentasi yang dilakukan, WRWF menayangkan film dokumenter “ It’s a Girl” yang menjelaskan bagaimana gendercide terjadi di India dan China. Kesimpulan Frekuensi kehamilan yang tidak diinginkan meningkatkan angka aborsi dan aborsi paksa di China. Tingginya kasus aborsi juga kasus kematian akibat aborsi paksa
48
Advokasi Women’s Rights Without Frontiers Kebijakan Satu Anak di China (Nidya Widyastuty)
menimbulkan protes keras yang dilakukan oleh Women’s Rights Without Frontiers melalui tindakan advokasinya. Advokasi yang dilakukan Women’s Right Without Frontiers dalam membela wanita yang menjadi korban dari Kebijakan satu Anak di China dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu legitimasi, kredibilitas dan kekuasaan serta melewati serangkaian proses seperti pemilihan isu, penentuan tujuan dan target, analisis isu, negosiasi, membangun jaringan dan koalisi, membangun opini publik dan evaluasi. Untuk mengurangi angka aborsi serta menurunkan angka pertumbuhan penduduk, pemerintah China seharusnya lebih memperhatikan angka kehamilan pada wanita di China.untuk menekan angka kehamilan pada wanita di China harusnya pemerintah lebih memperhatikan peningkatan mutu dan kualitas program keluarga berencana. Membantu wanita untuk menghindari kehamilan akan menyebabkan berkurangnya angka kehamilan, berkurangnya kematian karena persalinan dan berkurangnya angka aborsi. Perbaikan mutu program keluarga berencana dapat dilakukan dengan penyediaan konseling yang terpusat pada kebutuhan klien dengan berbagai pilihan metode kontrasepsi, pelayanan yang terjangkau bagi siapa saja yang membutuhkan merupakan poin penting dalam upaya menurunkan angka aborsi dan juga angka kehamilan. Daftar Pustaka 1. Buku Bass, Jossey. 2000. China’s Future Scenario For The Worls’s fastest Growing Economy, Ecology and Society, Jossey Bass Publisher, San Fransisco. Eberstadt, Nicholas. 2012.A Global War Against Baby Girls, American Enterpise Institute, Washington. Greenhalgh, Susan. 2011. Just One Child : Science and Policy in Deng’s China, University of California Press, London. Kaufman, J. 1993.The Cost of IUD Failure in China, Abt Associates Inc, Cambridge. Magnis, Franz. 2004. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik Jilid I, Ledalero. Maumere. Schuler. Margaret. 2004. Women’s Human Rights Step by Step: Facilitator’s Training Guide, Women Law and Developmentt International, Washington.
49
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 39-50
Sunarto, Kamanto. 2004.Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 2. Media massa cetak dan elektronik / internet “About Species Conservation” dalam: http://www.iucn.org/about/work/programmes/species/.
China population 2013, tersedia di www.worldpopulationstatistics.com/chinapopulation-2013/, diakses pada Februari 2014 Forced
Sterilization in China, tersedia di http://www.womensrightswithoutfrontiers.org/index.php?nav=forced_steri lization, diakses pada Mei 2014
History of One Child Policy, tersedia di http://www.allgirlsallowed.org/one-childpolicy, diakses pada Mei 2014 Resiko Aborsi, tersedia di http://www.aborsi.org/resiko.htm, diakses pada Juni 2014
50