PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)
SKRIPSI Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
ADITYA DWI PAMUNGKAS E1A008056
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
2
3
ABSTRAK PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL) Oleh : Aditya Dwi Pamungkas E1A008056 Menurut ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan diperuntukan pula kepada perkawinan yang dilangsungkan antar umat yang berbeda agama dimana syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan beda agama adalah adanya salinan penetapan pengadilan yang memberikan izin untuk itu. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah alasan substansial hakim dalam menetapkan untuk memberi izin dilangsungkan dan dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada Penetapan Nomor 04/PDT.P/2012/PN.MGL serta pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor 04/PDT.P/2012/PN.MGL adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hakim menetapkan perkawinan beda agama dengan alasan bahwa perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan hak azasi manusia yang dimiliki setiap warga negara Indonesia, serta merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 2. Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak berlandaskan hukum. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat diajukan saran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu diperbarui agar dapat memenuhi hak konstitusi dan hak azasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Kata Kunci : Perkawinan, beda agama.
4
ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF INTERFAITH MARRIAGE REGISTRATION IN MAGELANG (The Juridical Review of Case Number : 04/PDT.P/2012/PN.MGL) By : Aditya Dwi Pamungkas E1A008056 Based on article 35 point a of statute number 23 of 2006 about demographic administration said that interfaith marriage registration is important to do, but it should be completed with copy of court order. Therefore, the research problem are why does the judge issue local regulation about the interfaith marriage registration and how does the Demographic and Civilian Registration Department of Magelang City implement it. Moreover, the juridical-normative research method with cases and statute approach is used in this research. Based on the result research could be concluded that : 1. The judge substansial reason at case number 04/Pdt.P/2012/PN.MGL is no regulation about interfaith marriage, especially in Statute Number 1 of 1974 about marriage. Therefore, the judge set a interfaith marriage, because marriage is constitution right and human right for every Indonesian citizen, as well as the reality in Indonesia. 2. The registration interfaith marriage in Demographic and Civilian Registration Department of Magelang City is not based in law. Based on these conclusions can be suggested, that the Statute Number 1 of 1974 about marriage must be updated to be able to fulfill the constitution right and human right for every Indonesian Citizen. Keywords : marriage, religious differences.
5
Life Without Risk is Not Worth Living
6
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrohim, Assalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu. Puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam, atas rahmat, hidayah, inayah dan ridhoNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan lancar. Tidak ada sesuatu yang istimewa dan berguna dari sebuah ilmu jika tidak memberikan kontribusi dan tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan realitas. Sampai detik ini kita masih melihat bahwa hukum di Indonesia masih terlalu jauh dari langit. Bahkan terpuruk hingga dasar bumi. Begitu juga dengan karya tulis ini, penulis merasa masih terlalu jauh untuk menjadi jawaban atas problematika yang melanda hukum di negara kita tercinta ini. Terlepas dari semua itu penulis bersyukur akhirnya dapat menyelesaikan tanggungjawab ini, walaupun tidak sempurna tetapi setidaknya memberikan wacana dan harapan baru bagi kita semua. Penelitian skripsi ini mengambil permasalahan tentang bagaimana pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di kota Magelang sehingga judul yang dipilih adalah PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL), atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu seperti : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7
2. Bapak Satrio Saptohadi, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik, yang telah memberi banyak bimbingan, arahan, masukan, dan kritikan selama masa studi. 3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan demi terselesaikannya skripsi ini. 4. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 5. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. sebagai Penguji yang telah membuka tabir kesalahan dan kekurangan penulis. 6. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Bapak Arif Prasetyo dan Ibu Suwarti selaku Pejabat Pencatatan Sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, terima kasih atas bantuannya. 8. Bapak Murino dan Ibu Pratiwi Utari, terima kasih banyak atas kasih sayang,
doa,
dukungan,
nasihat,
semangat,
dorongan
dan
kepeduliannya selama 23 tahun penulis hidup. 9. Bapak Irianto, terima kasih atas dukungannya baik moril maupun materiil terhadap keluarga penulis serta nasehatnya setiap penulis sedang mengalami masalah dalam hidup, thank’s a lot.
8
10. Saudara-saudara saya dalam keluarga besar M. Yusuf I Made Segare dan keluarga besar Almarhum Ny. Nisah, terima kasih atas dukungannya, doanya, semangatnya, serta kepeduliannya. 11. Dwi Aditya Nugroho, terima kasih sudah menjadi sahabat setia penulis selama ini. 12. Johan Ari Purnomo (Jondel), terima kasih atas pinjaman printernya dan sudah bersedia direpotkan selama ini, Suwun banget mas. 13. Yogi Prayitno, Widya Riyatmaja (Djimboen), dan seluruh keluarga besar KIMCULERS HUKUM 08, terima kasih atas semua dukungan yang telah kalian berikan kepada penulis, we love you all guy’s. Akhirnya, ibarat pepatah mengatakan tiada karya cipta yang sempurna kecuali ciptaan-Nya, begitu juga dengan penyusunan penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga hasil karya penulis ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatu. Purwokerto, 18 Mei 2013 Penulis
Aditya Dwi Pamungkas
9
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN....................................................................................
iii
ABSTRAKSI .....................................................................................................
iv
ABSTRACT ........................................................................................................
v
MOTTO ..............................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
x
BAB
I. PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
8
1. Tentang Perkawinan ...................................................................
8
a. Pengertian Perkawinan ...........................................................
8
b. Tujuan Perkawinan .................................................................
11
c. Sahnya Perkawinan ................................................................
15
d. Syarat-Syarat Perkawinan ......................................................
16
e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ...........................................
21
10
f. Pencatatan Perkawinan ..........................................................
25
2. Perkawinan Beda Agama ...........................................................
29
3. Administrasi Kependudukan .......................................................
34
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................
43
1. Metode Pendekatan .....................................................................
42
2. Spesifikasi Penelitian ..................................................................
43
3. Lokasi Penelitian ........................................................................
44
4. Sumber Bahan Hukum ................................................................
44
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .........................................
45
6. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................
46
7. Metode Analisis Bahan Hukum...................................................
46
8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian ...............
47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................
48
1. Hasil Penelitian ...........................................................................
48
2. Pembahasan ................................................................................
61
BAB V. PENUTUP .........................................................................................
80
1. Simpulan .....................................................................................
80
2. Saran ...........................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persoalan perkawinan telah menjadi persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, ini dikarenakan perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dibelahan dunia manapun, selain itu persoalan ini juga tidak hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia saja, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi dari pasangan yang melangsungkan perkawinan saja, perkawinan berkaitan juga dengan permasalahan agama, permasalahan sosial dan permasalahan hukum. Permasalahan agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa dalam setiap agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perkawinan, adalah cara pandang masyarakat mengenai pelaksanaan perkawinan yang akan membawa dampak tertentu pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam lingkungan masyarakatnya. Perkawinan
12
menjadi permasalahan hukum karena perkawinan terjadi disebabkan oleh adanya hubungan antar manusia, dari hubungan antar manusia untuk membentuk suatu ikatan pekawinan inilah yang akan menyebabkan timbulnya suatu perbuatan hukum. Sejak tanggal 2 Januari 1974 di Indonesia masalah perkawinan telah diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut berlaku efektif sejak peraturan pelaksanaanya dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan sah jika telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan mutlak harus
13
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.1 Setiap orang pada umumnya menginginkan pasangan hidup yang seagama, bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah antara agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan membangun keluarga berdasarkan satu prinsip tentunya diharapkan akan lebih mudah dan permasalahan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam rumah tangga, namun realita adanya pergaulan antar manusia yang begitu bebas dan seakan tiada batasnya karena pengaruh perkembangan budaya dan tekhnologi komunikasi membuka kemungkinan adanya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan perbedaan agamanya, karena semakin eratnya hubungan antar pemeluk agama dalam pergaulan masyarakat. Indonesia merupakan negara yang mempunyai bangsa yang plural, bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas dibidang agama terwujud dengan banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam, ada agama Hindu, Budha, Kristen, Khatolik dan satu aliran kepercayaan yaitu konghuchu. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama tidak menutup kemungkinan untuk adanya calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan perbedaan agamanya. Fenomena perkawinan beda agama banyak dijumpai di lingkungan masyarakat kita, para pemirsa infotainment juga seringkali disuguhi berita tentang pasangan artis yang melangsungkan perkawinan beda
1
Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 16.
14
agama, contohnya perkawinan yang dilakukan Clift Andro Nathalia atau sering dipanggil Clift Sangra, duda yang ditinggal mati Suzanna Martha Frederika Van Osh atau yang akrab dipanggil Suzanna aktris film horor Indonesia. Clift Sangra, seorang lelaki beragama Katholik menikahi wanita muslim yang bernama Nana Mahliana Hasan, mereka menikah pada 9 Agustus 2009 dan baru dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2 bulan kemudian setelah mendapatkan pengesahan dari pengadilan negeri kota Magelang pada 17 September 2009.2 Permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama yang selanjutnya akan disebut perkawinan beda agama sudah lama menjadi bahan perbincangan yang selalu menarik, perkawinan yang dilakukan oleh Clift dan Nana ini secara implisit bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebab agama Nana yaitu Islam secara jelas melarang wanita Islam melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam, ketentuan tentang larangan ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Melihat ketentuan tersebut bisa kita katakan bahwa perkawinan antara Clift dan Nana itu tidaklah sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun perkawinan tersebut telah dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang.
2
Banyumasnews.com, Clift Sangra resmi nikahi gadis belia, http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahi-gadis-belia/, diakses pada tanggal 20 Oktober 2012, Pukul 23:28 WIB.
15
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan yang sah harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Wantjik K. Saleh mengatakan bahwa: Perbuatan pencatatan
itu tidaklah menentukan sahnya
suatu
perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif3. Pengaturan mengenai perkawinan beda agama bisa dicatatkan ini ada pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa : Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 35 huruf (a) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan penjelasannya inilah yang menjadi dasar bagi Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk mencatatkan perkawinan Clift Sangra dan Nana. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, Drs. Sugiharto mengatakan : Pencatatan perkawinan beda agama pasangan suami isteri ke lembaran catatan sipil diperbolehkan secara hukum asal sudah mendapat pengesahan dari pengadilan. Sebelumnya, pasangan Clift dan Nana
3
Wantjik K Shaleh, Op. Cit., hal. 17.
16
telah mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri Kota Magelang dan telah disyahkan pada 17 September silam.4 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI KOTA MAGELANG (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, penulis menemukan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana
pertimbangan
hakim
dalam
menetapkan
untuk
memberikan ijin dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang dalam Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang? C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) Pertimbangan Hakim dalam penetapan untuk memberikan ijin pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang dalam Penetapan Nomor : 04/PDT.P/2012/PN.MGL 2) Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang.
4
Banyumasnews.com. Op. Cit.
17
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritik Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk perkembangan dan menjadi referensi di bidang Hukum Perkawinan, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan. 2. Kegunaan praktis Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, masyarakat serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Arti kata perkawinan dalam Wikipedia Ensiklopedia bebas ialah: Ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang pada umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara perkawinan dan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.5 Kemudian M. Idris Ramulyo juga berpendapat bahwa : Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.6 Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh setiap manusia, dimana kebutuhan manusia untuk melakukan perkawinan, ini juga telah diakui sebagai salah satu hak azasi manusia yang dijamin oleh negara untuk pelaksanaannya. Perkawinan juga merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
5
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Perkawinan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses pada 25 September 2012, Pk. 18:33. 6
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1966, hal. 1.
19
Istilah perkawinan dalam agama dikatakan sebagai nikah, yang dalam hal ini Soemiyati mengatakan bahwa : Nikah adalah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah.7 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memuat suatu ketentuan arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan.8 Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, yang mana pengertian perkawinan menurut Pasal 1 adalah sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. 7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 8 8 Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992, Hal 16.
20
Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ialah dimana Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menganggap perkawinan adalah sebuah ikatan lahiriah saja tanpa memperhatikan unsur batiniah seperti perkawinan yang dimaksudkan oleh Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang menganggap perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan bathin yang mana akan mendasari ikatan lahir tersebut agar memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja. Rusli dan R. Tama mengatakan: Definisi atau pengertian perkawinan dalam Pasal 1 UndangUndang Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan pada masing-masing pihak telah terkandung maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, untuk mencapai keluarga bahagia.9 Sementara itu, Asyari Abdul Ghofar menyatakan bahwa: Perkawinan itu merupakan peristiwa yang penting yang mengakibatkan keluarnya warga lama di satu pihak dan lain pihak berarti masuknya wargabaru dan serta merta mempunyai tanggung jawab penuh terhadap masyarakat persekutuannya.10
9
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 11. 10 Asyhari Abdul Ghofar. Op. Cit., hal. 20.
21
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan pengertian perkawinan merumuskan unsur-unsur dari perkawinan adalah sebagai berikut : a. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria denganseorang wanita. b. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia. c. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. b. Tujuan Perkawinan Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan dianggap bahwa perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, dari hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka, karena itulah tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual. M. Idris Ramulyo, menyatakan pendapatnya bahwa : Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membetuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar tercipta
22
ketenangan daan ketentraman jiwa bagi ketentraman keluarga dan masyarakat.11
yang bersangkutan,
Soemiyati mengatakan bahwa : Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur.12 Pendapat Soemiyati tersebut oleh seorang filosof Islam Imam Ghazali kemudian dibagi menjadi 5 tujuan perkawinan, yaitu : 1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. 2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. 3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. 4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang. 5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.13 Lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:14 a. Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung pengertian dua segi yaitu: 1) Untuk kepentingan diri pribadi Memperoleh keturunan merupakan dambaan setiap orang. Bisa dirasakan bagaimana perasan sepasang suami istri yang hidup berumah tangga tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi dan hampa. Disamping itu keinginan untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa diharapkan membantu orang tua dan keluarganya di kemudian hari.
11
M. Idris Ramulyo, Op. Cit, hal. 26. Soemiyati, Op. Cit, hal. 12. 13 Loc. Cit 14 Loc. Cit 12
23
b.
c.
d.
e.
2) Untuk kepentingan yang bersifat umum atau universal Dari aspek yang bersifat umum atau universal karena anak-anak itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan seseorang dan yang akan berkembang untuk meramalkan dan memakmurkan dunia. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki daya tarik. Daya tarik ini adalah kebirahian atau seksual. Sifat ini yang merupakan tabiat kemanusiaan. Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan secara sah. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan amoral, disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang disyari’atkan dengan hubungan yang halal. Maka manusia baik secara individu maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan ahklak yang baik. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan risalah dan memikul tanggung jawab yang dituntut oleh Allah. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkukuh ikatan perkawinan. Diatas rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anakanak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan selanjutnya tidak ada peradaban. Hal ini sesuai dangan pendapat Mohammad Ali yang dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa: “Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan akan terbentuk keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta peradaban. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki kehidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung jawab mengenai kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan segala keperluan masih ditanggung orangtua. Tetapi setelah mereka berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam
24
mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan keadaan yang demikian akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami akan berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah atau rezeki apalagi jika mereka sudah memiliki anak. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material. Soedharyo Soimin dalam hal ini mengatakan bahwa : Tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting (Penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Jadi perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.15 Ketentuan undang-undang yang menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengartikan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan di setiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut
15
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 6.
25
diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama. Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga. 2. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa. 3. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan. 4. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga. 5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.16 c. Sahnya Perkawinan Sahnya perkawinan diatur oleh ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan : 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. kemudian pada bagian Penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan Pasal 2 tersebut disebutkan sebagai berikut : “Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.” dengan demikian dapat dikatakan konsep perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang sesuai ketentuan
16
Ibid, hal. 7
26
agama para pihak dan juga tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundang-undangan.17 Mengenai hal tersebut Trusto Subekti berpendapat bahwa : Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang akibatnya diatur oleh hukum, atau sebagai suatu peristiwa yang diberi akibat hukum. Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sah. Jadi suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diakui (kebenarannya), mengikat, dan juga memiliki akibat hukum serta memperoleh perlindungan hukum.18 d. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Trusto Subekti Syarat perkawinan adalah: “Keadaan yang harus ada atau keadaan
yang menghalangi untuk
dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan”.19 Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan. Ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suamiisteri, mana kala ikatan tersebut didasarkan pada adanya perkawinan yang 17
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung, 1990,
hal. 26.
18
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009, hal. 26. 19 Ibid, hal. 43.
27
sah, untuk sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat perkawinan ini telah ditentukan secara limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kata “harus”, “hanya”, “larangan”, “tidak boleh”, dan meliputi aspek persetujuan calon suami-isteri, izin dari orang tua, umur kawin, larangan kawin, waktu tunggu, serta tatacara (formalitas). Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Syarat-Syarat Materiil Syarat materiil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak kawin dan ijin-ijin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat materiil ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Syarat Materiil Mutlak Syarat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan yang terdiri dari: a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suamiisteri (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), yaitu : 1) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 hari. 2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
28
3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. 4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu. 2. Syarat Materiil Relatif Syarat materiil relatif, adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawini, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat materiil relatif, syarat-syarat tersebut adalah : a) Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi susuan. 5) Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari 1 (satu) orang. 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). b) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). c) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). b. Syarat-Syarat Formal Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang mendahului perkawinan. Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu : 1) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. 2) Penelitian syarat-syarat perkawinan Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat
29
perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut undang-undang. 3) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan. Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan.20 Maksud dari persetujuan seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah persetujuan dari kedua belah pihak calon pasangan suami isteri untuk melangsungkan perkawinan yang diberikan dalam keadaan bebas, yaitu dengan tidak adanya paksaan, penipuan maupun kekhilafan. Persetujuan tersebut menjadi landasan untuk membina hubungan suatu rumah tangga bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Pasangan yang belum memenuhi umur yang telah ditentukan harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua masingmasing calon suami isteri hal ini dikarenakan perkawinan bukan sematamata hubungan antara calon suami istri saja tetapi juga mempunyai hubungan antar keluarga. Mengingat banyak hal yang mungkin timbul dikemudian hari setelah adanya suatu perkawinan, baik dari pasangan suami-istri itu sendiri maupun dari keluarga termasuk dari orang tua diharapkan tidak adanya perpecahan dalam perkawinan tersebut yang disebabkan oleh ketidakcocokan atau tidak adanya persesuaian sebelumnya dikarenakan pelaksanaan perkawinan 20
Zakiyah Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kabupaten Semarang, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal. 11-15.
30
tersebut bukan kemauan dari salah satu pihak saja, baik hanya kemauan dari pasangan itu sendiri atau kemauan dari keluarga ataupun orang tua semata. Adanya persetujuan perkawinan dari semua pihak terkait akan membuat risiko dan tanggungjawab dari perkawinan tersebut dipikul secara bersamasama. Penentuan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan seperti yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sangat penting artinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro, bahwa : “Suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis, menghendaki juga adanya kematangan psikologis.”21 Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat disimpangi apabila ternyata dari pasangan yang akan melangsungkan pernikahan ada yang belum memenuhi persyaratan tentang batasan umur, yaitu dengan pengajuan dispensasi ke pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria sebagai calon suami maupun pihak wanita sebagai calon isteri. Waktu tunggu bagi wanita yang akan menikah lagi juga diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal tersebut menyebutkan waktu tunggu bagi wanita yang akan melakukan perkawinan lagi dibedakan menjadi 3 (tiga) macam menurut sebab putusnya perkawinan, yaitu : 21
Wiryono Projodikoro,Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1984,
hal. 41.
31
1) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena kematian maka waktu tunggu ditetapkan selama 130 (seratus tiga puluh) hari dihitung sejak kematian suami. 2) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai maka waktu tunggu ditetapkan selama 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3) Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus baik karena perceraian ataupun kematian dan dalam keadaan sedang hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Pengaturan waktu tunggu bagi seorang janda dimaksudkan untuk menghindari adanya percampuran darah dari anak yang sedang dikandung. e. Azas-Azas Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Abdul Manan, asas-asas perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : a. Asas Sukarela Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua
32
mempelai agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orang tua, melainkan diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa sangat dilarang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini. Selain itu asas sukarela ini juga dibuktikan dengan adanya batas umur yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. b. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon mempelai wanita dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing, maka dari itu partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan, santun dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut diatas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-orang non-muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Partisipasi keluarga diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan, dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silahturahmi antara pihak keluarga kedua mempelai, dan dengan harapan agar dapat
33
membimbing pasangan yang baru menikah itu menciptakan rumah tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku. c. Perceraian Dipersulit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada pasangan suami-istri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang seharusnya diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami-istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa Negara disebabkan oleh keluarga yang berantakan. Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru itu harus segera diperbaiki. Hal cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri juga dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut keyakinan rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat dipertahankan dan diteruskan. Untuk itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya di mata hukum. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang perceraian tetapi mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan harus dilakukan secara baik-baik di depan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan semaunya yang sama sekali tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya. d. Poligami Dibatasi dengan Ketat Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu beristri lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan
34
Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada Hakim.22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan prinsip-prinsip perkawinan yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Azas-azas perkawinan ada 6 macam sebagaimana termuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu : 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk 22
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 6-9.
35
memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa didasari oleh agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dipandang sebagai perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi pasangan yang tetap hidup bersama seatap dengan tidak didasari oleh perkawinan yang sah maka tak ubahnya pasangan tersebut sebagai pasangan “kumpul kebo” yang tidak mempunyai perlindungan hukum baik bagi mereka ataupun bagi anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak sah tersebut. f. Pencatatan Perkawinan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan umum undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika: Pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa
36
perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif.23 Pencatatan perkawinan dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan yang menyebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu, baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kehendak melangsungkan perkawinan harus memuat : a) Nama b) Umur c) Agama atau Kepercayaan d) Pekerjaan e) Tempat kediaman calon mempelai
23
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta., 1987, hal. 22.
37
f) Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau nama suami terdahulu. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan, bahwa pegawai pencatat selain meneliti tentang apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang, juga mempunyai tugas untuk meneliti : a) Kutipan akta kelahiran calon mempelai b) Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal kedua orang tua calon mempelai c) Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 e) Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 f) Surat kematian istri atau suami atau surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih g) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting sehingga diwakilkan kepada orang lain. Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan, serta tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan
38
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan di kantor pencatatan perkawinan pada tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Sepuluh hari setelah pengumuman perkawinan tersebut, dan selama pengumuman tadi tidak ada pencegahan perkawinan, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Menurut Trusto Subekti: Saat pencatatan perkawinan adalah sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, agar peristiwa pencatatan perkawinan itu dapat menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang atau masyarakat lainnya, perkawinan dicatatkan dalam surat yang bersifat resmi yang berupa akta dan sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik.24 Pendapat beliau sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan tercatat secara resmi. Menurut Sudikno Mertokusumo :25 Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut Wahyono Darmabrata :26 Akta perkawinan adalah suatu alat bukti yang membuktikan kebenaran tentang terjadinya peristiwa hukum yang berupa peristiwa perkawinan tersebut.
24
Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hal. 13. 25
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1976,
hal. 106.
26
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002, hal. 39-40.
39
Pencatatan menjadi hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan, menurut Saidus Syahar pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan adalah :27 1) Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga. 2) Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyrakat dan negara. 3) Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif. 4) Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih ditegakan. 2. Tinjauan tentang Perkawinan beda agama Sebagai negara yang besar Indonesia mempunyai beragam etnis, suku bangsa, budaya serta agama. Agama yang diakui secara resmi di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Konstitusi menjamin setiap pemeluk agama bebas menjalankan dan mengamalkan agamanya masingmasing dengan seluas-luasnya. Setiap agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya, meskipun prinsip-prinsip dasarnya berbeda-beda. Kebaikan yang diajarkan agama mempunyai dimensi yang universal, sehingga antara pemeluk agama diharuskan untuk mengamalkan ajaran agamanya agar tercipta keharmonisan secara internal diantara umat beragama itu sendiri dan keharmonisan eksternal antar pemeluk agama yang berbeda.
27
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981, hal. 108.
40
Keharmonisan diantara pemeluk agama yang berbeda sudah pasti membawa nilai-nilai yang positif tersendiri bagi masyarakat, tetapi terkadang juga menimbulkan permasalahan tersendiri, sebagai contoh adalah ketika dua insan manusia yang berbeda jenis kelamin dan saling menyayangi, saling mengasihi, mereka hendak mengikat tali janji untuk melakukan perkawinan, sementara agama mereka berbeda dan mereka tetap berprinsip pada keyakinan agamanya masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan tersendiri, karena hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tidak ada agama yang memperbolehkan umatnya melangsungkan perkawinan dengan umat agama lain. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang calon suami istri yang menganut agama berbeda pada saat melangsungkan perkawinannya. Menurut Rusli dan R. Tama Perkawinan beda agama berarti: Perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Selain itu istilah lain dari perkawinan beda agama ialah perkawinan antar agama yang diartikan sebagai ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan secara 28
Rusli dan R. Tama.Op. Cit., hal. 17.
41
tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai pengertian maupun definisi perkawinan beda agama ini. Sampai saat ini belum ada kesamaan pendapat diantara para pakar hukum mengenai pengaturan perkawinan beda agama. Ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu : 1. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu, oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum. 2. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah, oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama, oleh karena itu dengan merujuk pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 belum mengaturnya dapat diberlakukan, dengan demikian masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini, menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya Nomor : KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan: 1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya. 2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antara mereka itu ada yang menjalin suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, dimana UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
42
3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memungkinkan S. 1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan campuran yang dimaksud.29 Adanya ketiga pemahaman itulah yang membuat perkawinan beda agama semakin tidak jelas pengaturannya, apakah diperbolehkan ataukah dilarang. Praktik perkawinan beda agama di Indonesia, memang masih memunculkan permasalahan diantara keluarga yang hendak melakukan perkawinan maupun dalam pengesahan dan pencatatan perkawinan mereka. Adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengikutsertakan hukum agama sebagai syarat sahnya perkawinan seakan menjadi penghalang bagi mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama, ini merupakan suatu permasalahan yang cukup penting untuk di carikan jalan keluarnya, karena secara sosiologis fakta perkawinan beda agama kerap terjadi di masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dan adanya pergaulan antar manusia yang sangat terbuka dan bebas. Guru
Besar Hukum
Perdata
Universitas
Indonesia,
Wahyono
Darmabrata, menjabarkan bahwa penyelundupan hukum sering dilakukan oleh para pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu dengan 4 cara yang populer berikut ini : 1. Meminta penetapan pengadilan Meminta penetapan pengadilan untuk dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil adalah cara yang dilakukan pertama kali oleh Andi Vony Gani seorang perempuan Islam dan Pasangannya Andrianus seorang lelaki bergama Kristen pada tahun 1989. Perbuatan Andi Vony 29
Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-diIndonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB.
43
ini menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat hingga mengundang campur tangan Mahkamah Agung yang akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 1400/Pdt.P/1986 yang intinya menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, maka Andi Vony telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam melainkan memilih untuk mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut. 2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Tapi masalah yang timbul adalah perkawinan mana yang sah, terhadap cara ini, Wahyono Darmabrata menyatakan perlu penelitian lebih jauh lagi. 3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahli kitab. Ayat AlQuran inilah yang dipraktekan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP),bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh yayasan Paramadina. 4. Menikah di luar negeri Banyak artis yang lari keluar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akta dari negara yang bersangkutan, kemudian akta dibawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akta lagi dari negara. Menurut Wahyono Darmabrata, perkawinan seperti itu tetap tidak sah karena belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama.30 Cara-cara penyelundupan hukum yang tersebut diatas timbul akibat dari resistensi birokrasi dalam hal pelaksanaan perkawinan beda agama, namun dapat kita ketahui bahwa cara-cara tersebut dapat menimbulkan masalah dikemudian hari menyangkut keabsahan perkawinannya. 30
Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama, http://hukumonline.com/Berita/Empat-Cara-Penyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-BedaAgama.html, diakses pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB.
44
Perkawinan beda agama yang ada dan banyak timbul dimasyarakat Indonesia yang multikultural dan multiagama semata-mata hanyalah faktor pilihan hukum, apakah mau menggunakan hukum agama calon mempelai pria, ataukah hukum agama calon mempelai wanita. Ketika kedua calon mempelai sama-sama berkeras hati untuk menggunakan hukum agamanya masingmasing maka akan timbul perbenturan, namun ketika ada yang mau mengalah dan mengikuti hukum agama calon pengantinya maka tidak akan timbul masalah. 3. Tinjauan tentang Administrasi Kependudukan Administrasi Kependudukan, terdiri atas dua suku kata yaitu Administrasi dan Kependudukan. Kata Administrasi dalam Wikipedia Ensiklopedia bebas : Apabila diartikan secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa Belanda), yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda dan sebagainya, yang bersifat teknis ketatausahaan (clerical work), Kemudian apabila diartikan secara luas berasal dari kata Administration (bahasa Inggris), yakni rangkaian kegiatan atauproses kegiatan usaha kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien.31 Menurut Leonard D. White : Administrasi merupakan suatu proses yang biasanya terdapat pada semua usaha kelompok, baik usaha Pemerintah maupun swasta, sipil maupun militer baik secara besar-besaran maupun kecil-kecilan.32
31
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, diakses pada 25 November 2012, Pk. 18:33. 32
Administrasi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi,
Dinas Pendidikan dan Pelatihan, Materi Kuliah by http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalah-kependudukan.html,diakses tanggal 25 November 2012, Pk. 14.35 WIB.
DISPEN, pada
45
Mengenai hal tersebut, Sondang P. Siagian juga berpendapat bahwa : Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.33 Jadi dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa administrasi adalah keseluruhan proses rangkaian pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha bersama demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian mengenai kata Kependudukan yang mempunyai kata dasar penduduk yang artinya yaitu orang yang tinggal di daerah tersebut atau orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut atau dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ seperti Kartu Tanda Penduduk misalnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kependudukan adalah hal-hal atau sifat-sifat sebagai penduduk, serta urusan-urusan mengenai penduduk. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa : Kependudukan adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan, yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan. Definisi Administrasi Kependudukan menurut ketentuan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah : Rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
33
Loc. Cit.
46
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengaturan hukum nasional Indonesia terhadap pencatatan sipil di Indonesia yang telah diundangkan pada Desember tahun 2006 silam. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah : 1. Bahwa Negara Kesaturan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya
berkewajiban
memberikan
perlindungan
dan
pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/ atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan. 3. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. 4. Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntunan pelayanan Administrasi
47
Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan Kependudukan. Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah agar dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Hakikat administrasi kependudukan adalah pengakuan Negara terhadap hak publik (domisili, pindah dan datang) dan hak sipil penduduk dibidang administrasi kependudukan. Administrasi Kependudukan diarahkan untuk memenuhi hak azasi setiap orang di bidang administrasi kependudukan tanpa diskriminasi melalui pelayanan publik yang profesional. Pendaftaran penduduk dilakukan dengan pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk serta penerbitan dokumen kependudukan. Administrasi Kependudukan bila berjalan sesuai dengan ketentuan, dimulai dari kelengkapan biodata penduduk, pencatatan kelahiran, kematian, perkawinan, pindah dan datang, yang pada akhirnya akan mempermudah berbagai urusan yang diperlukan masyarakat berupa pelayanan publik dan pendayagunaan untuk penetapan kebijakan pembangunan. Pada hakekatnya upaya tertib dokumen kependudukan atau tertib administrasi kependudukan, tidak sekedar pengawasan terhadap pengadaan blangko-blangko yang dipersyaratkan dalam penerbitan dokumen, tapi
48
hendaknya harus tersistem, konkrit dan pragmatis, artinya mudah difahami oleh penduduk dan diyakini bermakna secara hukum berfungsi melindungi, mengakui/mengesahkan status kependudukan atau peristiwa penting (vital event) yang dialami penduduk, sehingga dibutuhkan oleh penduduk karena dapat memudahkan atau melancarkan urusannya dalam kehidupan sehari-hari, dimana upaya tersebut merupakan tugas negara atau pemerintah sebagai pelayan publik, dan menjadi urusan wajib pemerintah. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV menjamin setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang sah pada ketentuan Pasal 28B. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV menyebutkan bahwa, negara menjamin tiap-tiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaanya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang Dasar dan bersifat tanpa diskriminasi. Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah tidak sesuai dengan penegakan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan bahwa negara yang rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering terjadi perkawinan beda agama, meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Berkaitan dengan perwujudan adanya tertib dokumen dan tertib administrasi kependudukan dimana peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dimasyarakat harus dicatat kedalam register kependudukan agar peristiwa
49
penting tersebut diyakini bermakna secara hukum, sah dan diakui serta mendapatkan perlindungan dari negara, perkawinan sebagai salah satu peristiwa penting dalam masyarakat yang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 haruslah dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian Pasal 34 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 juga menyebutkan bahwa Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana (Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan untuk dilakukan pencatatan tentang perkawinan tersebut ke dalam Register Akta Perkawinan oleh pejabat Pencatatan Sipil. Ketentuan Pasal 34 Nomor 23 Tahun 2006 yang mewajibkan adanya pencatatan terhadap perkawinan, oleh Pasal 35 huruf (a) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 diperuntukan juga untuk perkawinan yang telah ditetapkan oleh pengadilan, yang dalam Penjelasan Pasal 35 huruf (a) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 memperkenalkan adanya tugas baru kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yaitu tugas untuk mencatat perkawinan beda agama, selain itu melalui ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, hukum positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan terhadap
50
perkawinan beda agama di Indonesia, dengan cara memohon penetapan pengadilan yang menjadi dasar dapat dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor Pencatatan Sipil. Penetapan pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah penetapan pengadilan yang amarnya berupa penetapan pemberian izin untuk dilakukannya pencatatan perkawinan beda agama dicatatkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu kedalam buku register pencatatan yang diperuntukan untuk itu. Jadi dalam hal pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama, penetapan dari pengadilan berfungsi sebagai izin untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Kata izin artinya adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang) atau suatu persetujuan yang memperbolehkan sesuatu.34 Kamus istilah hukum menjelaskan izin sebagai : Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.35 Mengenai hal yang sama, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa : Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau Als opheffing van een algemene verbodsregel in het conrete geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkret).36 Moh. Mahfud MD., mengenai kata izin tersebut ia juga menyatakan pendapatnya, yaitu :
34
Lihat Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diakses pada tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB. 35 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 207. 36 Loc. Cit.
51
Apabila pembuat peraturan, secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan, asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan Administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.37 Selain dua pendapat tersebut, pengertian izin pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Dalam arti luas, izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah lain untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan undang-undang. 2) Dalam arti sempit, izin adalah suatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan yang dikaitkan dapat diberi batas-batas tertentu, dengan demikian yang pokok adalah suatu tindakan dapat dilakukan dengan cara-cara tertentu.38 Berdasarkan pemaparan dari para pakar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa izin ialah tidak lain merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk kita melakukan sesuatu yang pada umumnya dilarang atau dihalangi untuk dilakukan. Jadi dalam hal pengadilan menetapkan izin dilakukannya pencatatan terhadap perkawinan beda agama, maka sama halnya pengadilan tidak melarang atau memperbolehkan perkawinan beda agama tersebut untuk dicatatkan. Dapat dikatakan Keabsahan perkawinan akan dinilai oleh hakim pengadilan negeri dimana permohonan diajukan.
37
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 95. 38 Kartono dan Setiadjeng Kadarsih, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004, hal. 5.
52
BAB III METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Ronny Hanintijo, mengatakan bahwa : Metode yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta menganggap bahwa norma-norma lain bukan sebagai hukum.39 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang penulis gunakan adalah Pendekatan Undang-Undang (Statute
Approach).
Pendekatan
undang-undang
(Statute
Approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.
39
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988. hal. 13-14.
53
Selain pendekatan undang-undang, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) yaitu mempelajari penerapan norma-norma dan kaidah hukum yang digunakan dalam praktik hukum untuk mendapat gambaran seperti apa penerapan norma-norma tersebut dalam realita di masyarakat seperti penetapan dan putusan pengadilan. Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum dan realisasi penerapan aturan tersebut dalam penetapan pengadilan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa: “Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”40
40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya, Kencana Perdana Media Group, 2007, hal. 22.
54
3. Lokasi Penelitian Peneliti
menggunakan
lokasi
penelitian
di
wilayah
Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, dalam penelitian ini diperoleh data berdasarkan telaah dokumen melalui pengambilan data dan dokumen lain yang relevan ke instansi yang menjadi lokasi penelitian. 4. Sumber Bahan Hukum Sumber Bahan Hukum diperoleh dari : Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.41 Bahan hukum primer tersebut kemudian ditelaah agar dapat menjadi jelas menggunakan bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.42 Untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer penulis juga menggunakan bahan hukum tersier yang semata-mata dilakukan untuk mendapatkan penjelesan atas bahan hukum primer yang digunakan. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan hukum yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat, dikeluarkan oleh penguasa pembentuk peraturan perundangundangan, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
41
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31. 42 Ibid, hal. 32.
55
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan f. Peraturan
Pemerintah
Nomor
37
Tahun
2007
tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan Oleh Negara Lain. 2) Bahan
hukum
sekunder,
yaitu
bahan-bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer, yang antara lain terdiri dari : pustaka dibidang ilmu hukum, hasil penelitian dibidang ilmu hukum, dan artikel-artikel ilmiah baik dari koran maupun dari internet. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain: kamus dan ensiklopedia. 5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan data yaitu dengan menginventarisir peraturan perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan
56
dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar. Metode pengumpulan data menggunakan Studi Kepustakaan yaitu teknik mengumpulkan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian menyusunnya sebagai sajian data. Metode dokumentasi adalah salah satu cara pengumpulan data yang digunakan penulis dengan cara menelaah dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. 6. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional, yang dalam arti keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. 7. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatifkualitatif tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang. Normatif
karena
penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.43
43
Ibid, hal. 98.
57
8. Masalah dan Solusi yang Dihadapi Selama Penelitian Pada latar belakang masalah pada proposal penelitian (Skripsi) peristiwa hukum yang menjadi obyek penelitian adalah peristiwa hukum perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Clift Sangra dan Nana Mahliana Hasan, namun setelah dilakukan penelitian di lapangan ternyata pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil enggan memberikan berkas-berkas terkait pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan Clift Sangra dan Nana Mahliana Hasan, dengan alasan Clift Sangra adalah orang populer dan dikhawatirkan menjadi pelanggaran privasi dirinya. Untuk itu obyek penelitiannya dicarikan gantinya yaitu peristiwa pencatatan perkawinan beda agama antara Yudi Kristanto, lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW 05, Jurangombo Utara Magelang dengan Yeni Aryono yang lahir di Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 dan telah ada Penetapan Pengadilan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL tanggal 9 Januari 2012 dengan persyaratan dan kualifikasi obyek penelitian yang sama.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian a. Duduk Perkara Kasus ini berawal karena adanya keinginan pemohon untuk melaksanakan
dan
mencatatkan
perkawinannya
di
Kantor
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang dengan izin Pengadilan Negeri. Pada tanggal 4 Januari 2012 pemohon mengajukan surat permohonan dengan perihal izin menikah pada Pengadilan Negeri Magelang dibawah Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL tanggal 9 Januari 2012. Pengadilan Negeri Magelang yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara Perdata pada tingkat pertama yang dilangsungkan dalam Gedung Pengadilan Negeri Magelang telah memberikan Penetapan seperti tersebut dibawah ini dalam permohonan atas nama : Yudi Kristanto, lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981, beragama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jalan Jagoan 1 RT 06 RW 05, Jurangombo Utara Magelang, yang selanjutnya disebut sebagai PEMOHON. Dalam surat yang diajukan pemohon tersebut kepada Pengadilan Negeri Magelang telah mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar dan alasan diajukannya permohonan, yaitu : 1. Bahwa Pemohon lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang Ibu : SULIBAH;
59
2. Bahwa saat ini pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang bernama YENI ARYONO yang lahir di Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri ARYO JOKO SOEWITO dengan HENI SRIJATUN; 3. Bahwa pemohon akan segera melaksanakan perkawinan dan sudah mendaftarkan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang untuk dilakukan perkawinan, namun oleh karena pemohon dan calon isterinya berbeda agama, dalam hal ini pemohon beragama ISLAM dan calon isteri pemohon beragama KATHOLIK, maka Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak bisa melaksanakan dan mencatat perkawinan tersebut dan Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang bisa melaksanakan dan mencatat perkawinan apabila ada Surat Penetapan dari Pengadilan Negeri Magelang yang memberikan ijin kepada pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama; 4. Bahwa atas akan dilaksanakannya perkawinan antara pemohon YUDI KRISTANTO dan YENI ARYONO yang berbeda agama dan akan dilaksanakan di Kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang, telah mendapat restu dari orang tua calon isteri dan orang tua calon isteri juga tidak keberatan; 5. Bahwa menurut pemohon untuk melangsungkan perkawinan yang beda agama diharuskan ada penetapan dari Pengadilan Negeri yang menyatakan tentang hal tersebut; 6. Bahwa dikarenakan pemohon berdomisili di Kota Magelang, maka sepantasnyalah pemohon mengajukan permohonan ini di Pengadilan Negeri Magelang; 60
Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan tersebut di atas kiranya permohonan pemohon beralasan serta berdasarkan hukum. Selain alasan-alasan yang telah disebutkan oleh pemohon tersebut, untuk menguatkan permohonannya, pemohon mengajukan bukti-bukti surat baik asli maupun berupa foto copy yang telah dicocokan dengan aslinya, bukti-bukti mana telah diberi bea materai sebagaimana mestinya berupa : 1. Surat Keterangan/ Pengantar Nomor : 470/05/I-12/535 tertanggal 5 Januari 2012 atas nama YUDI KRISTANTO, yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Jurangombo Utara, selanjutnya diberi tanda P-1; 2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K 3371013005810001 atas nama YUDI KRISTANTO, yang berlaku hingga 30 Mei 2015, selanjutnya diberi tanda P-2; 3. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 188/DIS/2006 atas nama YUDI KRISTANTO tertanggal 19 April 2006, selanjutnya diberi tanda P-3; 4. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3371012309110004 atas nama Kepala Keluarga SULIBAH, yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang, tertanggal 23-092011, selanjutnya diberi tanda P-4; 5. Surat Pernyataan tertanggal 4 Januari 2012, yang dibuat dan ditandatangani oleh Sulibah selaku orang tua YUDI KRISTANTO, selanjutnya diberi tanda P-5; 6. Surat Pernyataan tertanggal 5 Januari 2012, yang dibuat dan ditandatangani oleh YUDI KRISTANTO, selanjutnya diberi tanda P6; 61
7. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama YUDI
KRISTANTO,
tertanggal
7
September
2011
yang
ditandatangani dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan, selanjutnya diberi tanda P-7; 8. Surat Keterangan Nomor : 017/2010/I/2012 tertanggal 5 Januari 2012 atas nama YENI ARYONO yang ditandatangani oleh Kepala Desa Mertoyudan, HERU JOKO SUSENO, S. Sos, selanjutnya diberi tanda P-8; 9. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan N.I.K : 3308104905780002 atas nama YENI ARYONO, yang berlaku hingga 09-05-2015, selanjutnya diberi tanda P-9; 10. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 5771/DSP/1988 atas nama YENI ARYONO tertanggal 10 Febuari 1989, selanjutnya diberi tanda P-10; 11. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3308102602075089 atas nama Kepala Keluarga ARYO DJOKO SOEWITO, tertanggal 08-10-2011, selanjutnya diberi tanda P-11; 12. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani ARYO DJOKO SOEWITO dan SRIJATUN tertanggal 4 Januari 2012, selanjutnya diberi tanda P-12; 13. Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatangani oleh YENI ARYONO tertanggal 5 Januari 2012, selanjutnya diberi tanda P-13; 14. Foto copy Surat Keterangan Kesehatan Calon Pengantin atas nama YENI ARYONO tertanggal 7 September 2012, yang ditandatangani
62
oleh dr. ERAWATI, dokter Puskesmas Magelang Selatan, selanjutnya diberi tanda P-14; 15. Surat Perkawinan atas nama YUDI KRISTANTO dan FLORENTINA YENI ARYONO tertanggal 20 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh Paroki St. Ignatius Magelang dan ditandatangani oleh Rama Paroki FRANCISCUS XAVERIUS KRISNO HANDOYO Pr., selanjutnya diberi tanda P-15; Setelah mengajukan bukti-bukti surat tersebut diatas, pemohon juga mengajukan 4 (empat) orang saksi yaitu saksi BOEDIJONO OERIP, saksi PITOYO, saksi SULIBAH, dan saksi HENI SRIJATUN yang memberikan keterangan dibawah sumpah, dan keterangannya tersebut satu sama lain saling bersesuaian yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : 1. Saksi BOEDIJONO OERIP : a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon; b) Bahwa saksi menjabat sebagai Ketua RW 05 Kelurahan Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, sekaligus Ketua Lingkungan Yohanes I Warga Katholik, dan pemohon adalah warga saksi; c) Bahwa tugas saksi selaku Ketua Lingkungan warga Katholik antara lain adalah membina dan mengkordinir warga untuk kegiatankegiatan di gereja termasuk diantaranya perkawinan; d) Bahwa pemohon yang bergama Islam pernah datang kerumah saksi, namun waktunya saksi sudah tidak ingat lagi, dalam rangka melapor
akan
melangsungkan
perkawinan
dengan
seorang
perempuan bergama Katholik bernama YENI ARYONO; 63
e) Bahwa
atas
laporan
pemohon
tersebut
kemudian
saksi
mengeluarkan surat pengantar dari Lingkungan Yohanes I untuk diserahkan kebagian sekretariat di gereja St. Ignatius, Magelang; f) Bahwa perkawinan antara pemohon dengan YENI ARYONO telah terlaksana di Gereja St. Ignatius Magelang, pada sekitar bulan Oktober tahun 2011, dimana dilangsungkan dihadapan Pastur Romo FX. Krisno Handoyo, Pr dan sebagai saksi dari pernikahan tersebut adalah saksi sendiri dan Pak Kusrin, serta dihadiri oleh keluarga kedua mempelai; g) Bahwa
atas
perkawinan
tersebut
kemudian
pihak
gereja
mengeluarkan surat perkawinan (Testimonium Matrimoni); 2. Saksi PITOYO : a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena sering bertemu dengan pemohon ketika pemohon berkunjung kerumah YENI ARYONO anak dari Sdr. ARYO DJOKO SOEWITO yang tinggal satu lingkungan dengan saksi di Salakan, Kabupaten Magelang; b) Bahwa pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2011, saksi dimintai
bantuan
oleh
Sdr.
ARYO
DJOKO
SOEWITO
menguruskan surat-surat untuk persyaratan perkawinan antara pemohon dengan YENI ARYONO; c) Bahwa surat-surat N1 sampai dengan N5 tersebut berhasil diurus oleh saksi; d) Bahwa perkawinan antara pemohon dan YENI ARYONO telah berlangsung di gereja, kapan tepatnya saksi tidak ingat, akan tetapi
64
saksi hadir pada selamatan sehari sebelum perkawinan di gereja tersebut dilaksanakan; 3. Saksi SULIBAH : a) Bahwa saksi adalah ibu kandung pemohon YUDI KRISTANTO; b) Bahwa pemohon adalah anak pertama saksi; c) Bahwa pemohon beragama Islam, dan telah melaksanakan perkawinan secara agama Katholik di gereja St. Ignatius, Magelang, dengan seorang perempuan bernama YENI ARYONO, pada tanggal 20 Oktober 2011; d) Bahwa perkawinan secara agama (dikenal dengan sebutan pemberkatan perkawinan) tersebut berlangsung lancar dengan dihadiri oleh keluarga kedua mempelai; 4. Saksi HENI SRIJATUN : a) Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena pemohon sudah berpacaran dengan YENI ARYONO anak kedua saksi selama sebelas tahun, dan kini keduanya telah menikah secara Katholik di Gereja St. Ignatius, Magelang; b) Bahwa perkawinan secara agama tersebut, atau dikenal sebagai pemberkatan pernikahan, dilangsungkan pada tanggal 20 Oktober 2011
dengan
dihadiri
keluarga
kedua
mempelai,
setelah
sebelumnya mengikuti pelajaran perkawinan yang diselenggarakan oleh gereja selama 3 (tiga) hari; c) Bahwa sejak awal saksi mengetahui bahwa pemohon beragama Islam sementara anak saksi YENI ARYONO beragama Katholik, namun demikian sebagai orang tua dari anak-anak yang sudah 65
dewasa saksi menganggap mereka bisa menentukan sikap dan memilih yang terbaik bagi diri mereka sendiri; Selanjutnya untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas, YENI ARYONO sebagai isteri pemohon juga memberikan keterangan dalam persidangan yang keterangannya sebagai berikut : a) Bahwa YENI ARYONO telah kenal lama dengan pemohon, berpacaran selama sebelas tahun, dan kini telah menikah secara agama dengan pemohon; b) Bahwa yang bersangkutan beragama Katholik sedangkan pemohon beragama Islam; c) Bahwa perkawinan tersebut dilangsungkan di Gereja St. Ignatius, Magelang pada tanggal 20 Oktober 2011, dengan direstui seluruh keluarga, dihadapan Pastur Romo FX. Krisno Handoyo Pr.; d) Bahwa yang bersangkutan merasa yakin akan berbahagia dengan perkawinan beda agama ini, dan bertekad untuk saling menghargai dalam menjalankan agama masing-masing; Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Magelang, sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan pemohon; 2. Memberikan izin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang Ibu SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil Kota Magelang dengan YENI ARYONO yang lahir di Magelang pada tanggal 9 Mei 1978 anak dari pasangan suami isteri ARYO JOKO SOEWITO dan HENI SRIJATUN; 66
3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang setelah salinan Penetapan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya untuk melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dan YENI ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan untuk hal itu; 4. Membebankan biaya yang timbul sehubungan dengan Permohonan ini kepada pemohon; b. Pertimbangan Hukum Adapun yang menjadi pertimbangan hukum hakim adalah : 1.
Adanya fakta pemohon adalah laki-laki beragama Islam yang telang melangsungkan perkawinan dengan wanita beragama Khatolik di gereja St. Ignatius Magelang pada 20 Oktober 2011.
2.
Menimbang, bahwa perkawinan di Indonesia diatur oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; adapun tujuan dari
undang-undang tersebut
adalah
sebagai
unifikasi
atau
penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat beragam mengingat keberagaman masyarakat Indonesia; 3.
Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diatur mengenai penegasan peran keagamaan dari suatu perkawinan, dimana disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya;
4.
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap 67
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sekarang Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; 5.
Menimbang, bahwa Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat mencatatkan perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan; Selanjutnya didalam penjelasan dari pasal tersebut telah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama;
6.
Menimbang, bahwa senafas dengan peraturan tersebut, yaitu termuat dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal 60 Undang-Undang tentang Perkawinan ditunjuk oleh Kepala KUA dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk menolak perkawinan beda agama;
7.
Bahwa benar perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi keadaan tersebut adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama; sementara itu undang-undang tersebut juga tidak melarang secara tegas tentang 68
perkawinan beda agama tersebut sehingga terjadilah kekosongan hukum; 8.
Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV Pasal 27 menentukan bahwa seluruh warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;
9.
Menimbang, bahwa selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang;
10. Menimbang, bahwa terlepas dari adanya pro dan kontra dari berbagai pihak, pernikahan antarumat beragama ini haruslah dapat diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat; dalam kehidupan bermasyarakat ini tidak dapat dipungkiri adanya praktek budaya yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa sekat-sekat perbedaan agama maupun kebiasaan-kebiasaan hidup; praktek budaya tersebut termasuk diantaranya adalah pernikahan beda agama sebagai salah satu mekanisme masyarakat membangun sikap solidaritas dan rasa toleransi.
69
11. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka perkawinan antarumat bergama yang dilakukan pemohon dan akan dicatatkan ini merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis; 12. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan, terbukti bahwa perkawinan pemohon dengan YENI ARYONO telah memenuhi persyaratan dan sungguh-sungguh dilakukan dengan tujuan yang baik bukan dengan tujuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 13. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
uraian-uraian
pertimbangan
tersebut diatas maka Pengadilan Negeri Magelang, berpendapat bahwa permohonan pemohon cukup beralasan dan berdasarkan hukum, oleh karenanya permohonan pemohon dapat dikabulkan untuk seluruhnya; 14. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan pemohon dikabulkan maka pemohon patut dibebani untuk membayar biaya perkara ini; Mengingat,
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan; Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, hakim akhirnya menetapkan : 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
70
2. Memberikan ijin kepada YUDI KRISTANTO yang lahir di Magelang pada tanggal 30 Mei 1981 anak dari seorang ibu SULIBAH untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil Kota Magelang pada tanggal 9 Mei 1987 anak dari pasangan suami isteri HENI SRIJATUN dan ARYO DJOKO SOEWITO; 3. Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, setelah salinan penetapan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini ditunjukan kepadanya untuk melaksanakan perkawinan antara YUDI KRISTANTO dengan YENI ARYONO dan mencatat didalam daftar yang diperuntukan untuk hal itu; 4. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada pemohon sebesar Rp. 159.000,- (seratus lima puluh sembilan ribu rupiah); c. Narasumber Untuk memperjelas interpretasi mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dalam penelitian ini perlu disajikan keterangan dari Sdr. Arief Prasetyo dan Sdr. Suwarti selaku pejabat Pencatatan Sipil Kota Magelang, disebutkan bahwa : 1. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang memang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencatatan perkawinan beda agama, ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasan pasalnya. 71
2. Perkawinan beda agama yang telah dicatatkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, perkawinannya sudah dilakukan terlebih dahulu baru dimohonkan penetapan ke Pengadilan Negeri Magelang. 3. Pihak Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak melangsungkan perkawinan beda agama namun hanya mencatatkan peristiwa perkawinan tersebut ke dalam lembaran Pencatatan Sipil yang diperuntukan untuk itu. 4. Syarat untuk dilakukannya pencatatan terhadap perkawinan beda agama adalah adanya penetapan dari pengadilan yang amarnya mengizinkan perkawinan tersebut dicatatkan. 5. Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dilakukan menurut pada ketentuan Pasal 10 dan 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain. 2. PEMBAHASAN a. Alasan
substansial
hakim
dalam
Penetapan
Nomor
:
04/Pdt.P/2012/PN.MGL 1. Pertimbangan Hakim Data dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yang difokuskan pada pertimbangan hakim pada bagian Tentang Hukumnya. Pertimbangan hakim pada bagian Tentang Hukumnya merupakan konstruksi hukum yang menjadi dasar pemikiran hakim dalam mengambil keputusan untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon
72
inkasu dan memerintahkan kepada Pegawai kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan inkasu dan mencatat di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat 15 hal yang dipertimbangkan oleh hakim, dengan sistimatika sebagai berikut: 1) Pada pertimbangan pertama telah dipertimbangkan mengenai fakta hukumnya, yaitu: - Pemohon adalah seorang laki-laki dewasa beragama Islam; - Pemohon telah melangsungkan perkawinan secara agama Katolik di Gereja Katolik St. Ignatius Magelang pada tanggal 20 Oktober 2011, dengan seorang perempuan yang beragama katolik; - Perkawinan tersebut direstui keluarga kedua mempelai; - Pemohon (dan pasangannya) telah mantab untuk menjalani perkawinan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sepanjang hayat. 2) Pada pertimbangan kedua sampai ke sepuluh (ada 8 pertimbangan hakim) telah mempertimbangkan mengenai landasan hukum yang dipergunakan, sebagai berikut: - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertujuan unifikasi hukum; - Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang ketentuan mengenai sahnya perkawinan;
73
- Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang ketentuan mengenai pencatatan setiap perkawinan; - Inkasu adalah perkawinan antara pemohon (laki-laki) yang beragama Islam dengan pasangannya (perempuan) yang beragama katolik; - Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai pencatatan perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, yang dimaksud disini adalah perkawinan beda agama; - Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/P/PDT/1966 tanggal 20 Januari 1989 yang menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditunjuk oleh Kepala KUA dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk menolak perkawinan beda agama; - Perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan tidak melarang secara tegas maka terjadi kekosongan hukum, tetapi merupakan suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat dan beragama; - Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur kesamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap warga negara dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV mengatur
74
mengenai negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing; - Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 3) Dasar pemikiran hakim untuk mengabulkan permohonan untuk pencatatan perkawinan beda agama inkasu, tersaji pada pertimbangan hakim ke lima, ke sebelas sampai ke lima belas, sebagai berikut: - Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak melangsungkan
perkawinan
dan
hendak
mencatatkan
perkawinannya dengan seorang perempuan beragama katolik; - Perkawinan antar umat beragama merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaankebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap solidaritas dan rasa toleransi; - Perkawinan antar umat berbeda agama dan akan dicatatkan merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia; - Penilaian hakim mengenai bukti-bukti dan dinyatakan sebagai telah terbukti; - Pendapat hakim mengenai permohonan Pemohon cukup beralasan dan berdasarkan hukum, maka permohonan dikabulkan;
75
Alasan substansial dari pertimbangan hakim dalam penetapannya untuk mengabulkan permohonan Pemohon melangsungkan perkawinan dan untuk
mencatatkan
perkawinannya
pada
intinya
didasarkan
pada
pertimbangan hakim yang menyatakan adanya kekosongan hukum karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama, dan adanya ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai pencatatan perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, yang dimaksud disini adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Hakim kemudian mencari landasan pemikiran untuk mengisi kekosongan hukum yang dimaksud dengan merujuk pada: 1) Ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu: (a) Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV; (b) Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999; (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bertujuan unifikasi hukum, dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; (d) Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006; Dengan penjelasan bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) dan hal ini merupakan hak yang dijamin konstitusi (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
76
Amandemen IV), dengan demikian perkawinan merupakan hak konstitusi setiap warga negara Indonesia yang harus dijamin oleh hukum dalam negara hukum Republik Indonesia, yang dalam hal ini terdapat ketidak jelasan atau kekosongan hukum bagi warga negara Indonesia yang menganut agama yang berbeda untuk dapat melangsungkan perkawinan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai sahnya perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masingmasing (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), sehingga hakim berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak diatur dan tidak secara tegas dilarang, yang artinya telah terjadi kekosongan hukum. 2) Fenomena yang terjadi dimasyarakat, yaitu: (a) Pemohon adalah seorang laki-laki beragama Islam yang hendak mencatatkan perkawinannya dengan seorang perempuan beragama katolik; dan perkawinan antar umat beragama sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaankebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap solidaritas dan rasa toleransi44; (b) Perkawinan beda agama dan akan dicatatkan merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia.
44
NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso, hal. 469.
77
Hakim dengan berdasar atas prinsip bahwa Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau tidak jelas peraturan hukumnya, mendalilkan bahwa telah terjadi kekosongan hukum mengenai perkawinan beda agama, maka dengan bersumber dan berdasar atas Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV serta ketentuan Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyimpulkan bahwa perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan hak asasi manusia yang dimiliki setiap warga negara Indonesia dan perkawinan beda agama juga merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, merupakan praktek budaya dengan tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau kebiasaan-kebiasaan hidup, sebagai salah satu mekanisme membangun sikap solidaritas dan rasa toleransi, maka menurut hukum perlu diberikan jalan keluar agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat dan beragama. Selanjutnya perkawinan dimaksud yang akan dicatatkan juga merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia. Alasan tersebutlah yang mendasari hakim mengambil keputusan untuk menetapkan diberikannya ijin kepada Pemohon inkasu dan memerintahkan kepada Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan inkasu dan mencatat di dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu.
78
2. Analisa Yuridis Untuk Mengkritisi Pertimbangan Hakim Perlu dijelaskan terlebih dulu mengenai interpretasi hakim yang menyatakan bahwa dalam perkara inkasu telah terdapat kekosongan hukum karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak secara tegas melarang perkawinan antar umat yang berbeda agama. Hukum merupakan suatu sistem, demikian juga mengenai hukum perkawinan juga merupakan suatu sistem, artinya hukum perkawinan harus dipahami sebagai suatu kesatuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan. Dalam hal ini interpretasinya merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai sahnya perkawinan dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Tatacara Perkawinan jo. Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Data yang diperoleh menyebutkan bahwa Pemohon seorang laki-laki yang beragama Islam akan melangsungkan perkawinannya dengan seorang perempuan yang beragama Katolik di Gereja Katolik inkasu, dan kemudian akan dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan setempat; untuk itu diperlukan penetapan Hakim terlebih dulu. Berangkat dari pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa telah terjadi kekosongan hukum sebagaimana argumentasi Hakim di atas, perlu dipahami terlebih mendalam mengenai ketentuan sahnya perkawinan yang dirumuskan bahwa Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 2 ayat (1) Undang-
79
Undang Nomor 1 Tahun 1974), selanjutnya apabila rumusan kalimat tersebut dikaitkan dengan bagian penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang intinya menyatakan bahwa tidak ada Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sebenarnya dapat diperoleh pemahaman maksud dari pembentuk undang-undang bahwa sahnya perkawinan sepenuhnya merujuk
pada
ketentuan
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Artinya hanya menyebut 2 (dua) aspek saja yaitu menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaannya, dengan demikian perkawinan di luar kedua aspek hukum tersebut tidak diperbolehkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena itu dapat dipertegas disini dapat dibaca bahwa perkawinan beda agama apabila mau melangsungkan perkawinan harus melakukan pemilihan hukum memakai hukum agama yang mana diantara calon suami dan calon isteri dengan sendirinya mengikuti tata cara perkawinan menurut hukum agama yang dipilihnya. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri dengan menggunakan hukum luar negeri, dengan berdasar atas ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut dipandang sebagai perkawinan yang sah, dan
80
dalam tempo 1 (satu) tahun dapat dicatatkan perkawinannya di Indonesia (Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sebetulnya pertimbangan Hakim dimaksud yang menyatakan telah ada kekosongan hukum memang dimaksudkan hendak memberi solusi untuk perkawinan beda agama pelaksanaan perkawinannya tidak menggunakan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai jalan keluar mengantisipasi permasalahan yang terjadi dalam masyarakat; dengan mengisyaratkan dapat diberlakukannya ketentuan hukum yang lama, dengan pengertian tidak melanggar ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan antar umat yang berbeda agama tidak termasuk dalam kalimat “......... sejauh sudah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku ...”45, namun memberlakukan ketentuan hukum yang lama justru telah memunculkan persoalan lain, yaitu siapa yang bertugas melangsungkan perkawinan bagi perkawinan beda agama, yang semula kewenangan itu ada dan diatur dalam BS (Burgerlijk Stand) dan pelaksanaannya dilakukan oleh Catatan Sipil; tetapi sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 kewenangan tersebut telah dicabut dan Catatan Sipil hanya melayani pencatatan sipil meliputi pencatatan perkawinan saja, tidak lagi melayani administrasi untuk melangsungkan perkawinan.46 Terlebih lagi secara kelembagaan sekarang ini tidak ada lagi pegawai Catatan Sipil yang mendapat tugas (Tupoksi) 45
Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-Baru-Perkawinan-Beda-Agama-diIndonesia.html, di akses pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB. 46 Fauzan Arrasyid, Catatan Sipil (BS/Burgerlijk stand), http://my.opera.com/midas/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bs-burgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB.
81
untuk melangsungkan perkawinan. Jadi secara normatif maupun secara empiris perkawinan beda agama tidak bisa dilangsungkan perkawinannya. Hakim dalam penetapannya telah memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan perkawinan inkasu menjadi tidak bisa dilaksanakan karena secara normatif dan empiris Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak lagi memiliki kewenangan untuk itu dan sudah tidak ada lagi Petugas yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan perkawinan beda agama. b. Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Kota Magelang Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama, dalam hal ini kata pelaksanaan
diartikan
sebagai
kegiatan
melaksanakan
pencatatan
perkawinan beda agama yang prosedur dan tata caranya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan beda agama merupakan hal baru yang telah diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasannya memberi peluang untuk perkawinan beda agama dapat dicatatkan, dan yang diberi kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan beda agama adalah Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 beserta penjelasannya, pencatatan perkawinan yang dimaksud oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 berlaku pula bagi perkawinan beda agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam hal
82
ini membutuhkan peraturan pelaksana agar dapat berlaku efektif seperti halnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku efektif dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan pelaksanaan untuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Keperndudukan, namun Peraturan Pemerintah ini tidaklah lengkap dalam mengatur semua ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tidak ada ketentuan mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama yang dimaksud oleh Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006.
Pemerintah
seolah-olah
memperbolehkan adanya perkawinan beda agama namun juga menghalangi dengan tidak menjelaskan pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut. Mengenai hal ini Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain, dalam peraturan menteri ini kita dapat menemukan ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pada Pasal 10 dan 11. Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 diatur pada ketentuan Pasal 10 dan 11 yang isinya yaitu: Pasal 10 1) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan
83
dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tempat diterbitkannya penetapan pengadilan. 2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memenuhi syarat berupa: a. Salinan Penetapan Pengadilan yang dilegalisir; b. KTP suami dan isteri; c. Pas foto suami dan isteri; d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri; dan e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing. Pasal 11 Tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan sebagai berikut: a. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan dengan melampirkan persyaratan; b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data; c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan; d. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan isteri. Ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama dilakukan setelah pemenuhan beberapa persyaratan yang salah satunya adalah adanya salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir. Menurut pendapat dari Arif Prasetyo selaku Pejabat Pencatatan Sipil yang ada di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang, pencatatan perkawinan beda agama yang pernah dan telah dicatatkan di kantor Pencatatan Sipil Kota Magelang semuanya adalah perkawinan beda agama yang telah dilakukan perkawinannya, jadi pelaku
84
perkawinan tersebut sudah melangsungkan perkawinan dan datang ke Kantor Pencatatan Sipil hanya untuk mencatatkan perkawinannya saja. Berbeda dengan pencatatan perkawinan pada umumnya yang harus melalui mekanisme pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan, pencatatan perkawinan beda agama hanya membutuhkan adanya salinan penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai syarat untuk dapat dicatatkannya perkawinan tersebut.47 Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kota Magelang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Pemohon yang hendak mencatatkan perkawinannya mengisi formulir pencatatan perkawinan yang telah disediakan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. 2. Formulir yang telah diisi kemudian diserahkan kepada pejabat pencatatan sipil disertai persyaratan yaitu : a) Salinan penetapan pengadilan yang telah dilegalisir; b) KTP suami dan KTP istri; c) Pas Foto suami dan istri; d) Kutipan Akta kelahiran suami dan istri; dan e) Paspor bagi suami istri orang asing. 3. Setelah menerima formulir dan persyaratan telah dipenuhi oleh pemohon, pejabat pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan
47
Kutipan dari Bapak Arif Suyono selaku Pejabat Pencatatan Sipil pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Magelang.
85
dan Catatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data pemohon. 4. Setelah verifikasi dan validasi data dilakukan, pejabat pencatatan sipil mencatatkan perkawinan pemohon pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. 5. Kutipan Akta kemudian diserahkan kepada masing-masing suami dan istri. Mengenai adanya persyaratan perkawinan beda agama dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan harus disertai dengan penetapan pengadilan yang amarnya memberi izin dan memerintahkan kepada pejabat pencatatan sipil untuk melaksanakan pencatatan terhadap perkawinan tersebut, menurut penulis penetapan pengadilan tersebut tak ubahnya seperti surat izin untuk kita mencatatkan perkawinan beda agama. Dikatakan tak ubahnya seperti surat izin karena dalam hal ini Ridwan HR. berpendapat bahwa izin adalah Perkenaan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.48 Pencatatan terhadap perkawinan beda agama inkasu dilaksanakan berdasarkan
perintah
dari
pengadilan
melalui
Penetapan
Nomor:
48
Ridwan H.R., Op. Cit, hal. 207.
86
04/PDT.P/2012/PN.MGL yang amarnya mengizinkan pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama dan menyuruh pihak pencatatan sipil untuk melangsungkan perkawinan tersebut serta mencatatkan perkawinan tersebut kelembar pencatatan perkawinan yang diperuntukan untuk itu, namun pihak pencatatan sipil kota magelang tidak melangsungkan perkawinan beda agama seperti yang diperintahkan hakim dalam penetapannya, tetapi pihak pencatatan sipil hanya melakukan pencatatan perkawinanya saja karena pihak pencatatan sipil tidaklah mempunyai kewenangan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.49 Hakim dalam penetapannya setelah memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melaksanakan perkawinan inkasu, kemudian memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencatat perkawinan dimaksud ke dalam daftar yang diperuntukkan untuk hal itu. Adapun ketentuan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 lebih berorientasi pada aspek pencatatan perkawinan sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk inipun harus dipahami bahwa pencatatan perkawinan adalah merupakan tindakan dilapangan administrasi negara yang mencatat suatu peristiwa hukum perkawinan, artinya perkawinan yang dicatat adalah peristiwa perkawinan yang telah dilakukan sesuai hukum yang berlaku. Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu
49
Arif Prasetyo, Op. Cit.
87
dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundang-undangan50. Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sah, jadi suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, diakui (kebenarannya), megikat, dan juga memiliki akibat hukum serta memperoleh perlindungan hukum51. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengharuskan setiap perkawinan harus dilakukan pencatatan, namun pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif.52 Persoalan pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan tatacara perkawinan sebagai pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Uraian di atas telah menjelaskan bahwa untuk sahnya perkawinan berkaitan dengan persoalan dipenuhi apa tidaknya hal yang berkaitan 50
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 26. Trusto Subekti, Op. Cit, 2009, hal. 26. 52 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit, hal. 22. 51
88
dengan tatacara perkawinan, dan untuk aspek administrasinya diatur lebih rinci mengenai tatacara pencatatannya; dengan demikian tujuan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijaga dengan adanya pengawasan terhadap terpenuhinya syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, karena syarat perkawinan adalah keadaan yang harus ada atau keadaan yang menghalangi untuk dilakukanya suatu perkawinan, dan apabila syarat-syarat tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pada Pasal 35 huruf (a) diatur mengenai perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan, dan pada bagian penjelasannya yang dimaksud disini adalah perkawinan bagi umat yang berbeda agama, yang selanjutnya diatur lebih lanjut mengenai tatacara pencatatan perkawinannya dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010. Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil memiliki kewajiban untuk mencatat setiap peristiwa hukum perkawinan yang pelaksanaannya telah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan perkawinan yang perkawinannya tidak dilaksanakan sesuai hukum yang berlaku. Sehubungan dengan itu penetapan Hakim yang memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melakukan pencatatan perkawinan dimaksud dalam kasus ini, secara normatif menjadi tidak mempunyai landasan hukum untuk melaksanakan
89
perintah pengadilan tersebut. Apabila Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan berdasar atas perintah hakim dimaksud tetap melakukan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dimaksud,
menjadi
semakin membingungkan
karena
yang dicatat
perkawinan yang mana, karena dalam permohonannya telah secara tersurat disebutkan bahwa Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan pasangannya di Gereja Katolik di Magelang, berarti belum terjadi perkawinan,
dan
Hakim
memerintahkan
kepada
Kantor
Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan inkasu yang ternyata secara normatif dan empiris tidak dapat dilaksanakan. Uraian di atas telah memperlihatkan suatu kenyataan bahwa UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memenuhi kebutuhan perkawinan dari sebagian warga negara Republik Indonesia, maka sebaiknya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali dan bila perlu dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak konstitusi serta Hak Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
90
BAB V PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil simpulan bahwa : a) Pertimbangan hakim dalam Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL adalah telah terjadi kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur dan tidak secara jelas melarang perkawinan beda agama, maka hakim menetapkan perkawinan beda agama dengan berlandaskan bahwa perkawinan beda agama merupakan hak konstitusi dan asasi yang dimiliki setiap warga negara Indonesia (Pasal 27 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV serta Pasal 10 dan 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) dan dengan mempertimbangkan fakta bahwa perkawinan beda agama merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam adat, agama, dan budayanya. b) Pencatatan perkawinan beda agama yang dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Magelang tidak berlandaskan hukum.
91
2. Saran Berdasar atas hasil pembahasan di atas dan simpulan penelitian ini dapat diajukan saran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali dan bila perlu dilakukan revisi agar dapat memenuhi aspirasi dan hak konstitusi serta Hak Asasi Manusia yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian bagi Hakim, dalam memeriksa serta memutus perkara hendaklah lebih teliti ketika mencari peraturan-peraturan sebagai rujukan dan pertimbangan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Literatur: Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Ashofa, B., Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Darmabrata, W. dan Surini A. S., Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Rizkita, Jakarta, 2002. Ghofar, Asyhari Abdul, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992. Hadikusuma, H., Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Madju, Bandung, 1990; Hanintijo, R. S., Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Kadarsih, S., dan Kartono, Buku Ajar Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004. M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undangundang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1966. Manan, A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Marbun, SF., dan Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000. Marzuki, M. P., Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya, 2007. Mertokusumo, S., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1976.
93
NU Studies, Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme Islam, A. Baso Prakoso, D. dan I Ketut M., Azas-Azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Prodjodikoro, W., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1984. Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya, Bandung, 2000. Saragih, D., Himpunan Peraturan-Peraturan Dan Perundang-Undangan Di Bidang Perkawinan Indonesia, Tarsito, Bandung, 1980. Shaleh, W. K., Hukum Perkawinan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982. Soimin, S., Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Subekti, Trusto, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2009. Subekti, Trusto, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012. Syahar, S., Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981. Z., Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kabupaten
Semarang,
Magister
Kenotariatan
Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007. Zuhdi, M., Masail Fiqhiyah, CV Haji Masaung, Jakarta, 1993. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
94
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan Oleh Negara Lain. Website: Artikata.com, Izin, http://www.artikata.com/arti-331222-izin.html, diunduh pada tanggal 29 November 2012, Pk. 23.22 WIB. Banyumasnews.com,
Clift
Sangra
resmi
nikahi
gadis
belia,
http://banyumasnews.com/2009/11/11/clift-sangra-resmi-nikahigadis-belia/ , diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012, Pukul 23:28 WIB. Dinas
Pendidikan
dan
Pelatihan,
Materi
Kuliah
by
DISPEN,
http://dispenmaterikuliah.blogspot.com/2011/08/makalahkependudukan.html, diunduh pada tanggal 25 November 2012, Pk. 14.35 WIB. Fauzan
Arrasyid,
Catatan
Sipil
(BS/Burgerlijk
stand),
http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/22/catatan-sipil-bsburgerlijk-stand, diakses pada 20 April 2013, Pk. 15.15 WIB. Hukumonline.com, Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama, http://hukumonline.com/Berita/Empat-CaraPenyelundupan-Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-Agama.html, diakses pada 25 November 2012, Pk. 13.18 WIB. Muhibuddin,
Tafsir
Baru
Perkawinan
Beda
Agama
di
Indonesia,
http://hakimmuhibuddin.blogspot.com/2008/08/Tafsir-BaruPerkawinan-Beda-Agama-di-Indonesia.html, di unduh pada 26 November 2012, Pk. 22:24 WIB.
95
Nikah Beda Agama, http://Nikahbedaagama.wordpress.com/2011/04/05/nikahbeda-agama-dalam-perspektif-katolik/more, diakses pada 23 Januari 2013, Pk. 20.12 WIB. Wikipedia
Ensiklopedia
Bebas,
http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi,
Administrasi, diunduh
pada
25
November 2012, Pk. 18:33. Wikipedia
Ensiklopedia
Bebas,
Demografi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi, diunduh pada 25 November 2012, Pk. 18:53. Wikipedia
Ensiklopedia
Bebas,
Perkawinan
http://id.wikipedia.org-
/wiki/Perkawinan, diunduh pada 25 September 2012, Pk. 18:33.
96