Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
OPSI PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN KABUPATEN BELU (RI) DAN TIMOR LESTE (Melalui Pendekatan Empirik dan Perbandingan Model Teoritis dari beberapa Kasus Negara ) Jauhari Effendi1, Sri Kurniati A.2 dan Sudirman S.3 1
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto-Penfui, Kupang.NTT 85361, Indonesia 2,3 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto-Penfui, Kupang.NTT 85361, Indonesia Email:
[email protected],
[email protected] ,dan
[email protected]
ABSTRAK Kawasan perbatasan antar negara memiliki potensi strategis bagi berkembangnya kegiatan perdagangan internasional yang saling menguntungkan. Kawasan ini juga berpotensi besar menjadi pusat pertumbuhan wilayah, terutama dalam hal pengembangan industri, perdagangan dan pariwisata. Hal ini akan memberikan peluang bagi peningkatan kegiatan produksi yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai efek pengganda (multiplier effects) Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian tentang pengembangan kawasan perbatasan Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste melalui pendekatan empirik dan model teoritis yang telah digunakan dari beberapa kasus negara yang telah berhasil dan gagal dalam mengembangkan kawasan perbatasan. Metode desktriptif dan pendekatan empirik digunakan untuk menganalisis pengembangan kawasan perbatasan melalui proses perbandingan model teoritis dari beberapa kasus di negara yang telah berhasil maupun gagal dalam mengembangkan kawasan perbatasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui pendekatan teoritis dan berdasarkan kondisi eksisting kawasan perbatasan Belu – Timor Leste, maka pengembangan kawasan tersebut dapat dilakukan dengan melalui pendekatan perencanaan dengan mendahulukan membangun infrastruktur (infrastructure led) sebagai investasi sebelum aktifitas ekonomi dimulai. Kata Kunci: Kawasan Perbatasan, Infrastruktur, Investasi
komprehensif dan integratif. Kegiatan pembangunan yang ada masih berupa rencana pembangunan parsial dengan pendekatan yang sangat sektoral. Minimnya alokasi anggaran untuk membangun fasilitas infrastruktur dasar dan mendorong aktivitas ekonomi membuat hampir sebagian besar daerah perbatasan tetap tak beranjak menjadi lebih baik secara signifikan. Dengan program pembangunan yang tidak terstruktur dan terkoordinasi, pada umumnya kondisi di kawasan perbatasan sangat memprihatinkan. Dari aspek kesejahteraan, warga Indonesia yang tinggal di kawasan perbatasan tetap terbelakang karena ketersediaan sarana dan prasarana masih jauh dari apa yang yang diharapkan. Beberapa tahun belakangan ini kawasan perbatasan menjadi agenda yang terus menerus menjadi tema utama dalam pembahasan dan pembicaraan, baik pada skala internasional, nasional, maupun lokal/daerah (Hamid, 2003). Pembicaraan itu menjadi semakin ”serius” ketika keputusan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan menempatkan Indonesia pada posisi yang ”kalah”. Kekalahan ini telah mendorong semakin tingginya intensitas perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam
1. PENDAHULUAN Wilayah Kabupaten Belu merupakan salah satu pintu masuk utama ke wilayah Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam lalu lintas orang maupun barang. Wilayah Belu pada tahun 2005 dimekarkan menjadi 17 kecamatan dari sebelumnya hanya 12 kecamatan pada tahun 2004. Jumlah penduduk kaabupaten Belu tergolong rendah yaitu, hanya 343.777 jiwa pada tahun 2004 dengan kepadatan yang rendah pula, yaitu 140,57 jiwa/km2 (Pemda dan BPPS Belu, 2004). Pada Tahun 2005 jumlah penduduk Belu bertambah menjadi 354.681 jiwa, dengan kepadatan penduduk 145 jiwa/km2 (BPPS, Belu, 2006). Jumlah dan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Atambua. Hal ini mudah dipahami karena kecamatan ini adalah ibukota kabupaten, dimana tersedia peluang kerja/usaha serta berbagai jenis sarana dan prasarana, ekonomi dan sosial yang merupakan faktor pendukung untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat ini kawasan perbatasan Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur (Republik Indonesia) dengan Batu Gede (Timor Leste) belum dikelola secara baik dan belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas, T-75
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
pengembangan, penataan, dan pemberdayaan kawasan perbatasan. Perhatian tersebut antara lain berupa telah terjadinya aktivitas pembangunan di beberapa kawasan perbatasan, meskipun dalam skala yang relatif kecil. Menurut Hamid (2003), kawasan perbatasan antar negara merupakan kawasan yang strategis karena merupakan titik tumbuh bagi perekonomian regional maupun nasional. Melalui kawasan ini, kegiatan perdagangan antar negara dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah yang pada gilirannya akan mendorong naiknya aktivitas produksi masyarakat, pendapatan masyarakat, dan berujung pada kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kondisi ini, maka diperlukan suatu penataan kawasan perbatasan dengan melakukan pemetaan lingkungan/kawasan berdasarkan fungsi ruang di daerah perbatasan. Dalam hal ini membuat suatu model pengembangan wilayah di kawasan perbatasan dengan melibatkan stakeholder antar kedua Negara (Indonesia/Timor Leste). Kajian pengembangan wilayah perbatasan akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan aspek sektoral dan aspek spasial. Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang.
kelompok analisis, yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. 2.3.1 Analisis Kuantitatif Data kuantitatif yang diperoleh diolah dengan menggunakan alat analisis untuk dapat menghasilkan suatu temuan atau informasi yang diinginkan dari hasil olahan data tersebut. Hasil akhir dari analisis kuantitatif ini masih perlu diperkuat dengan interpretasi dan deskripsi secara kualitatif. 2.3.2 Analisis Kualitatif Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan deskriptif yaitu, dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul, antara lain dengan cara: mendeskripsikan; menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada; memperhatikan yang sedang berlangsung serta kecenderungan yang akan terjadi kemudian; sehingga dari data yang ada dapat ditafsirkan serta disimpulkan. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif secara umum digunakan pada semua tahapan analisis, yaitu: untuk menghasilkan suatu opsi pengembangan kawasan perbatasan dilakukan proses dengan membandingkan model teoritis dari beberapa kasus di negara yang telah berhasil maupun gagal dalam mengembangkan kawasan perbatasan. Analisis deskriptif dilakukan terhadap beberapa model negara di negara lain berdasarkan potensi wilayahnya dengan beberapa asumsi, konsep dan konteks tertentu sehingga didapatkan model teoritis. 3.
HASIL PENELITIAN
3.1 Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Belu 3.1.1 Keadaan Alam Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang wilayahnya terletak di sebelah Timur. Kabupaten
2. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan selama 1 tahun dengan mengambil lokasi penelitian kawasan perbatasan Belu-Atambua Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan mengambil salah satu sampel PLB I Motaain (RI) - Batu Gede (Timor Leste) 2.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yaitu meliputi semua informasi dan data-data yang berkaitan dengan potensi kawasan perbatasan yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian. Selanjutnya dari kompilasi data yang dihasilkan akan dianalisis untuk dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan dan fakta tertentu dengan kondisi empiris atau variabel yang diselidiki secara komprehensif.
0
0
Belu terletak pada koordinat 124 – 126 lintang selatan. Posisinya sangat strategis karena berada pada persimpangan Negara Timor Leste dengan bagian lain Provinsi Nusa Tenggara Timur serta pada titik silang antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten TTU. Adapun batas wilayah Kabupaten Belu adalah sebagai berikut: sebelah utara dengan Selat Ombai, sebelah selatan dengan Laut Timor, sebelah timur dengan Negara Timor Leste serta sebelah barat dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengan Selatan. Dengan wilayah seluas 2,445.57 2
Km atau 5.16% dari luas wilayah Povinsi Nusa Tenggara Timur dan keseluruhannya merupakan wilayah daratan, Kabupaten Belu yang terbagi dalam 24 Kecamatan memiliki aksesibilitas cukup baik, terutama koordinasi dan komunikasi antar wilayah.
2.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar terbagi dalam dua T-76
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
Bentuk topografi wilayah Kabupaten Belu merupakan daerah datar berbukit-bukit hingga pegunungan dengan sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Sungai–sungai yang ada di Kabupaten Belu mengalir dari bagian selatan dan bermuara di Selat Ombai dan Laut Timor. Dari 14 sungai yang bermuara di bagian utara, yang banyak digunakan penduduk untuk pertanian adalah sungai Baukama, Malibaka, dan Talau. Wilayah datar terletak di bagian selatan memanjang sampai ke Tenggara pada pesisir pantai Laut Timor dengan kemiringan kurang dari 2%, sedangkan daerah datar berombak sampai bergelombang 3-40% hampir merata di seluruh wilayah yaitu mencapai 55.86% dari luas wilayah. Wilayah pegunungan (>40%) terdapat di wilayah tengah ke arah Timur dengan luas wilayah sekitar 17.40%.
Amfoang Utara; (2) Kabupaten Timor Tengah Utara: Kecamatan Miomafo Barat, Miomafo Timur & Kecamatan Insana Utara; (3) Kabupaten Belu: Kecamatan Malaka Timur, Tasifeto Barat, Tasifeto Timur, Lamaknen,Kecamatan Rehaat & Kecamatan Kobalima. Perbatasan laut Kawasan perbatasan Laut Wilayah NTT dengan RDTL meliputi 4 Kabupaten, 5 Kecamatan: (1) Kabupaten Kupang: Kecamatan Amfong Utara; (2) Kabupaten Belu: Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Kobalima; (3) Kabupaten TTU: Kecamatan Insana Utara; (4) Kabupaten Alor: Kecamatan Alor Barat Daya. 3.3 Konsep Wilayah Menurut Glasson (1974:36) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah, yaitu subjektif dan obyektif. Cara pandang subjektif wilayah adalah alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau tujuan tertentu. Dengan demikian, banyaknya wilayah tergantung kepada kriteria yang digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar kita bisa membedakan lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya. Wilayah itu dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimilikinya atau berdasarkan konfigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk, atau gabungan dari ciri-ciri diatas. Dalam melakukan studi mengenai pengembangan wilayah, khususnya tentang wilayah perbatasan antar negara (transborder region), hal yang perlu dijelaskan adalah beberapa konsep tentang wilayah (region) itu sendiri. John Glasson (1974:37) mengemukakan konsep tentang wilayah sebagai metode klasifikasi yang muncul melalui dua hal yang berbeda, yaitu yang mencerminkan kemajuan ekonomi dari perekonomian sederhana ke sistem industri yang kompleks. Pada fase pertama memperlihatkan ”wilayah formal” yaitu berkenaan dengan keseragaman dan didefinisikan menurut homogenitas. Fase kedua memperlihatkan perkembangan ”wilayah fungsional” yaitu berkenaan dengan interdependensi, saling hubungan antara bagian-bagian dan didefinisikan menurut koherensi fungsional. Wilayah formal adalah wilayah geografik yang seragam atau homogen menurut kriteria tertentu. Pada awalnya kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah formal, terutama adalah bersifat fisik seperti topografi, iklim dan vegetasi dikaitkan dengan konsep determinasi geografik. Tetapi berikutnya terjadi peralihan kepada penggunaan kriteria ekonomi, seperti tipe industri
3.1.2 Keadaan Penduduk Ditinjau dari segi budaya dan antropologis, penduduk Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 4 sub etnik yang besar yaitu: Ema Tetun, Ema Kemak, Ema Bunak dan Ema Dawan Manlea. Keempat sub etnik mendiami lokasilokasi dengan karakteristik tertentu dengan kekhasan penduduk mayoritas penganut agama Kristen Katolik. Mata pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional. Dari aspek ekologis, kondisi tanah Belu sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Daerah Belu yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai yang membentang dari Belu bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa, industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD. 3.2 Gambaran Umum Kawasan Perbatasan Belu (RI) dan RDTL 3.2.1 Lingkup Wilayah Perbatasan Perbatasan darat
Kawasan perbatasan darat Timor bagian barat dengan RDTL secara administrasi meliputi 10 Kecamatan: (1) Kabupaten Kupang: Kecamatan T-77
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
atau tipe pertanian. Wilayah alamiah adalah wilayah formal fisik. Usaha yang dilakukan pada waktuwaktu berikutnya untuk menentukan batas daerahdaerah formal ekonomi telah didasarkan pada kriteria seperti tingkat pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi (Glasson, 1974:38). Wilayah fungsional adalah wilayah geografik yang memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu, suatu interdependensi dari bagian-bagian, bila didefinisikan berdasarkan kriteria tertentu. Wilayah fungsional ini kadang-kadang disebut sebagai wilayah Nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berdekatan. Wilayah formal atau wilayah fungsional ataupun gabungan keduanya memberikan suatu kerangka bagi klasifikasi tipe wilayah yang ketiga yaitu wilayah perencanaan. Wilayah perencanaan merupakan wilayah geografik yang cocok untuk perencanaan dan pelaksanaan rencana-rencana pembangunan untuk memecahkan persoalan-persoalan wilayah.
semula dari daerah perbatasan (frontier) sebagai sebuah barrier (rintangan), menjadi suatu kawasan perbatasan sebagai filter, kemudian membentuk kawasan perbatasan sebagai sebuah zona kontak. Sebagai contoh, dalam kasus Hongkong-Shenzhen, hubungan ekonomi terjadi secara tertutup dan simbiosis. Beberapa kerangka institusional muncul melalui konsultasi. Hubungan perusahaan paling banyak bergerak dalam bentuk joint ventures. 3.7 Konsep Daya Saing Wilayah (Regional Competitiveness) Dalam pembangunan ekonomi yang esensinya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan semakin adil, maka peningkatan daya saing merupakan suatu agenda utama yang tidak mungkin diabaikan. Namun mungkin ada ”banyak” cara untuk itu. Keberhasilan banyak pihak (negaranegara yang dinilai berhasil dalam pembangunan ekonominya) menunjukkan bahwa suatu pendekatan ”baru” telah membawa kepada keberhasilan tersebut, walaupun ini bukan berarti pendekatan yang akan secara seketika membawa kepada keadaan tersebut. Ini merupakan (dan memerlukan) rekonseptualisasi dalam pembangunan ekonomi daerah. 3.8 Daya Saing Wilayah (Regional Competitiveness) Tujuan utama pembangunan ekonomi di sebuah negara adalah menghasilkan standar hidup yang tinggi dan selalu meningkat untuk seluruh warga negaranya. Kemampuan menghasilkan tersebut bergantung tidak hanya daya saing, tetapi juga pada produktifitas sumber daya yang dimiliki. Menurut Porter (1993), sebuah perusahaan harus memahami apa yang menjadi penentu (determinan) pokok kemampuan atau memahami ketidak mampuannya membangun dan mempertahankan keunggulan bersaing. Porter menegaskan bahwa standar hidup sebuah negara dalam jangka panjang ditentukan oleh kemampuan negara itu mencapai produktifitas yang tinggi dan mencapai level produktifitas dalam industri dimana sebuah industri dapat berkompetisi. Porter menganalisis posisi daya saing sebuah negara berdasarkan konsep strategis keunggulan kompetitif perusahaan dan industri (Porter, 1998 dalam Budd dan Hirmis, 2004). Selanjutnya, Camagni (2002) juga menyampaikan bahwa daya saing daerah kini merupakan salah satu isu sentral, bukan saja dalam rangka mengamankan stabilitas ketenagakerjaan, tetapi juga memanfaatkan integrasi eksternal (kecenderungan global), keberlanjutan pertumbuhan kesejahteraan dan kemakmuran lokal/daerah. European Commission (1996) mendefinisikan daya saing regional sebagai kemampuan suatu wilayah memproduksi barang dan jasa yang sesuai kebutuhan
3.6 Tipologi Kawasan Perbatasan Tipologi yang diadopsi dari pemikiran Wu (2001:21-24) ini pada dasarnya adalah sebuah klasifikasi karakteristik dari pengembangan kawasan perbatasan sehingga setiap tahapan pengembangan dapat diidentifikasi. Klasifikasi bertujuan meningkatkan studi komparatif dengan mengelompokkan karakteristik proses timbulnya pengembangan kawasan perbatasan dan menggambarkan proses pengembangan ke tahap selanjutnya. Klasifikasi juga memfokuskan perhatian pada faktor kontribusi bagi pengembangan kawasan perbatasan. Tabel 1 menunjukkan sebuah tipologi pengembangan kawasan perbatasan dengan menyoroti beberapa hubungan ekonomi dan institusi, jaringan infrastruktur, biaya tenaga kerja, dan factor migrasi. Selanjutnya menurut Wu (2001:22), rencana pengembangan kawasan perbatasan Tumen River Development Zone menggambarkan perbedaan sangat mendasar antara Hongkong dan Shenzhen. Pengembangan kawasan perbatasan berbasis sektor informal antara Polandia dan Jerman dan antara Thailand dan tetangganya berbeda dengan euro region (Uni Eropa). Kawasan China-HongkongMacau, atau Uni Eropa (EU) mempunyai konsep enterprise network (jejaring perusahaan). Untuk kebutuhan pembanding, maka tipologi ini dapat menjelaskan berbagai macam dinamika pengembangan wilayah kawasan dimaksud. Tipologi kawasan perbatasan merepresentasikan sebuah rangkaian pengembangan. Menurut Ratti (1993), pengembangan kawasan perbatasan merupakan sebuah rangkaian proses pergerakan yang T-78
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
pasar internasional, dan pada saat bersamaan mampu menjaga tingkat pendapatan yang tinggi secara berkelanjutan. Agar menjadi kompetitif, penting bagi wilayah untuk menjamin kualitas dan kuantitas tenaga kerjanya. Konsep paling berarti tentang daya saing di tingkat negara adalah produktifitas nasional. Peningkatan standar hidup tergantung pada kapasitas perusahaan di dalam sebuah negara untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi guna meningkatkan produktifitas sepanjang waktu. Peranan wilayah sub-nasional, yaitu apakah Kabupaten atau Kota dalam mempengaruhi lokasi aktifitas ekonomi, agaknya semakin penting dewasa ini (Kuncoro, 2004). Berbagai studi dalam bidang sosial ekonomi dan perubahan social menekankan semakin pentingnya daerah dan peran barunya sebagai pelaku ekonomi dalam konfigurasi baru pola pembangunan spasial (Rodriguez-Pose, 1998). Ohmae dengan lantang berpendapat bahwa dalam dunia tanpa batas (borderless world), daerah (region state) akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global (Ohmae, 1995). Porter (1990) mempertanyakan peran negara sebagai unit analisis yang relevan dengan mengatakan bahwa “para pesaing di banyak industri, dan bahkan seluruh klaster industri, yang sukses pada skala internasional,
ternyata seringkali berlokasi di suatu kota atau beberapa daerah dalam suatu negara”. Lebih lanjut Porter menekankan pentingnya peranan teknologi, strategi organisasi dan geografi ekonomi dalam proses inovasi dan upaya menjaga keunggulan kompetitif (competitive advantage) perusahaan secara berkelanjutan (Porter & Solvell, 1998). Porter berpendapat bahwa derajat pengelompokan industry secara geografis dalam suatu negara memainkan peranan penting dalam menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan konpetitif pada skala internasional (Porter, 1990). Dewasa ini ia mengajukan hipotesis menarik bahwa klaster industri, yang ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusiinstitusi yang saling berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu, agaknya jauh lebih produktif dilihat dari sudut organisasi industri (Porter, 1998, dalam Kuncoro, 2004:5). 3.3 Pembahasan Hasil Penelitian 3.3.1 Mencari Model Teoritis Pengembangan Kawasan Perbatasan Untuk menggambarkan pilihan pengembangan kawasan perbatasan Belu – Timor Leste, akan dijelaskan beberapa kasus pengembangan kawasan perbatasan. Pendekatan ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu pertama, perencanaan dengan
Tabel 1 Tipologi Pengembangan Kawasan Perbatasan
Tipe Wilayah Perbatasan Wilayah Border
Wilayah Crossborder
Hubungan Ekonomi Kecil dan Kontrol Ketat
Hubungan terikat
Kerangka Institusi/ Pemerintah Kecil
Tipe Perusahaan
Jaringan Infrastruktur
Migrasi
Perorangan/ Perusahaan kecil
Kontrol ketat (frontier)
Terjadi hanya pada satu sisi Terjadi Mekanisme Konstruktif
Berkembang dengan spontan/ alamiah Permasalahan besar dan kecil disetiap sisi hubungan kontraktual
Bottleneck akibat ketatnya control dan inefisien Idem
Consultatif Planning control perbatasan masih penting
Migrasi terkontrol
Joint Ventures
Wilayah Transborder
Simbiosis
Kerjasama Institusi
Jaringan perusahaan; Transfer teknologi; Sharing Network
Perencanaan Jaringan Infrastruktur Bersama
Perbedaan Upah Buruh Sangat Besar
Contoh Kasus Rusia – ChinaKorut (Tumen) ThailandCinaBurma-Laos
Besar
PolandiaJerman
Berkurang
HongkongShenzhen
Prosedur Kecil sederhana bahkan nol Uni Eropa dan pergerakan rela-tif bebas Sumber : CT. Wu.dalam "Cross-border Development in Changing World" New Regional Development Paradigm Vol.2 2001:2 T-79
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
mendahulukan membangun infrastruktur (infrastructure led) sebagai investasi sebelum aktifitas ekonomi dimulai. Kedua, mendahulukan investasi sektor swasta (investment led), dan ketiga, mendahulukan program-program dan kebijakan (policy led) yang bertujuan untuk memfasilitasi pembangunan kawasan perbatasan. Terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam kategori ini, yang menunjukkan karakteristik dominan yang ada. Sehingga pendekatan ini hanya membatasi dengan 3 (tiga) pendekatan (Wu, 2001: 28-33).
kawasan perbatasan dengan jaringan perusahaan yang mereka miliki akan menjadi pusat kunci. Dalam beberapa kasus, pengembangan perbatasan di Uni Eropa akan dihadapkan pada berbagai masalah seperti konflik etnis dan budaya serta bottlenecks transportasi. Hal ini menyebabkan ekspektasi di Uni Eropa terhadap pengembangan perbatasan akan menjadi semacam norma. Tujuan dari pengembangan kawasan perbatasan di Uni Eropa adalah memperkuat keunggulan daya saing serta komplementaritas ekonomi. Program program bantuan keuangan ditujukan bagi pengembangan institusi yang potensial. Studi tentang interaksi serta perilaku pencari kerja mengidentifikasikan bahwa diantara negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terdapat kesamaan level kondisi perekonomian secara fisik, kognitif dan budaya. Bertram (1998) dalam studinya tentang Eurogion Viadrina, sebuah kawasan perbatasan antara Jerman dan Polandia menyimpulkan bahwa terjadi ketidak sesuaian perencanaan dalam pengembangan kawasan perbatasan. Bertram juga mengungkapkan tujuan kompetisi dalam sub-unit kawasan cenderung menghalangi pengembangan kawasan perbatasan. Inisiatif lokal dan pemerintah juga dapat menjadi kendala, meningkatkan biaya transaksi yang dapat diukur dari indikasi bertambahnya prosedur-prosedur resmi.
Mendahulukan Pembangunan Infrastruktur (Infrastructure led) Kegiatan ini biasanya melibatkan peran pemerintah atau lembaga multilateral dalam perencanaan pengembangan kawasan yang belum atau tidak mempunyai nilai ekonomi secara signifikan. Hal ini dikarenakan kawasan yang akan dikembangkan tersebut secara geografis adalah kawasan terpencil atau karena alasan politik dan keamanan sehingga tidak berkembang. Dua contoh kawasan yang mewakili pendekatan ini adalah Tumen River Development Zone dan Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone (SEZ). Mendahulukan Investasi Sektor Swasta (Investment led) Terdapat beberapa contoh pendekatan ini yang muncul di zona perbatasan. Sering hal ini menjadi permulaan dari rencana pengembangan tetapi pengembangan sektor swasta berskala kecil cenderung mendominasi pada awalnya. Dominasi perdagangan di kawasan perbatasan Polandia dan eks Jerman Timur, perbatasan Thai-China-Burma dan Laos (TCBL), dan perbatasan China-Vietnam di Dongxing dan Mong Chai, merupakan tiga contoh kasus dalam pendekatan ini
3.3.2 Pilihan Pengembangan Kawasan Belu dan Timor Leste dengan Pendekatan Lesson Learned Penggunaan model teoritis pengembangan kawasan perbatasan yang merupakan model yang digali berdasarkan pengalaman empirik lokal yang diperkaya oleh beberapa pengalaman empirik di negara lain harus berdasarkan potensi wilayahnya. Dalam menganalisis model teoritis berdasarkan lesson learned dilakukan dengan beberapa aspek pendekatan berdasarkan hal-hal yang telah dan sedang terjadi dalam hubungan antar negara di wilayah perbatasan (Wu, 2001: 28-33). Kedekatan secara kultural dan komplementaritas ekonomi menjadi sesuatu yang dominan dan mendukung terjadinya interaksi di berbagai wilayah perbatasan. Dari beberapa lesson learned tersebut, maka dapat diambil suatu opsi bahwa kawasan perbatasan Belu dapat dikembangkan melalui pendekatan perencanaan dengan mendahulukan membangun infrastruktur (infrastructure led) sebagai investasi sebelum aktifitas ekonomi dimulai. Alasan utama diambil opsi ini diakibatkan meningkatnya arus informasi dan globalisasi yang menjadi penyebab semakin tingginya intensitas interaksi dan kerjasama antar negara di wilayah perbatasan tersebut. Alasan
Mendahulukan Kebijakan Pembangunan (Policy Led) Uni Eropa (EU) secara kontras merencanakan integrasi dan penggabungan negara-negara Eropa ke dalam kesatuan moneter dan membentuk kawasan seolaholah tanpa batas (borderless). Kedua ciri-ciri tersebut mendorong secara aktif suatu kesepakatan resmi melalui program-program spesifik dan financial assistance. Keberadaan zona-zona industri utama sperti The Upper Rhine, Badden Wurttemberg, dan Emilia-Romagna telah menjalani proses pembelajaran berdasarkan pengalaman yang relevan dari berbagai kawasan di dunia, banyak diantaranya merupakan kawasan perbatasan. Dalam konteks ini, hal tersebut akan melahirkan ekspektasi bagi persaingan antar unit-unit kawasan industri dan T-80
Seminar Nasional Sains dan Teknik 2012 (SAINSTEK 2012) Kupang, 13 Nopember 2012
lain, yakni dengan mengambil beberapa kasus pengembangan kawasan perbatasan yang terjadi akibat terjadinya transisi ekonomi suatu negara terhadap ekonomi yang berorientasi pasar, seperti yang terjadi pada kasus perbatasan HongkongShenzhen, Polandia-Jerman, dan perbatasan Thailand dengan beberapa negara tetangganya. Kegiatan ini biasanya melibatkan peran pemerintah atau lembaga multilateral dalam perencanaan pengembangan kawasan yang belum atau tidak mempunyai nilai ekonomi secara signifikan. Hal ini dikarenakan kawasan yang akan dikembangkan tersebut secara geografis adalah kawasan terpencil atau karena alasan politik dan keamanan sehingga tidak berkembang. Dua contoh kawasan yang mewakili pendekatan ini adalah Tumen River Development Zone dan Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone (SEZ).
DAFTAR PUSTAKA Gonzalez, Pablo Wong. New Strategies of Transborder Regional Development. In Edgington, David W. et.al.(eds). New Regional Development Paradigms, London : Greenwood press. Vol. 2, 2001. 2001. pp.57-59. Heyn Peter Ahab. Perbatasan Negara Sebagai Teras Depan Bangsa. Badan Arsip Daerah Provinsi NTT. 2011. Hamid, Rusnawir. Analisis Keterkaitan Antar Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak, Tesis tidak diterbitkan, Magister Pembangunan Kota dan Daerah, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. 2003. Ikhwanuddin. Penyusunan Kebijakan Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Indonesia. Bappenas. 2005. Jayadinata, Johara.T. Tata Guna Tanah dalam Perencanan Pedesaan, Perkotaan & Wilayah. Penerbit: ITB Bandung. 1999. Kuncoro, Mudrajad. Analisis Spasial dan Regional : Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta. Penerbit : UPP AMP YKPN. 2002. Mukti, Sri Handoyo. Konsep Pengembangan Kawasan Perbatasan Kalimantan Indo Malay Techno Agropolitan Corridor (IMTAC). Bulletin Tata Ruang, 2003. hal. 8-9. Porter, Michael.E. The Competitive Advantage of Nation. New York : The Free Press. 1990. Riyadi, D.S. Dampak Globalisasi Ekonomi dan Kebijakan Regionalisasi Terhadap Pengembangan Wilayah Indonesia. Dalam Ambardi, M.U dan Prihawantoro, S. (eds). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah (pp.3-23). Jakarta : BPPT. 2002a Riyadi, D.S. 2002b. Pengembangan Wilayah : Teori dan Konsep Dasar. Dalam Ambardi, M.U dan Prihawantoro, S. (eds). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah (pp.47-64). Jakarta : BPPT. Wu, Chung- Tong. Cross-Border Development in a Changing World : Redefining Regional Development Policies. In Edgington, David W. et.al.(eds). New Regional Development Paradigms, Vol. 2, 2001. p.21-36. London : Greenwood Press.
4. KESIMPULAN Dengan melalui pendekatan teoritis dan berdasarkan kondisi eksisting kawasan perbatasan Belu – Timor Leste, maka pengembangan kawasan tersebut dapat dilakukan dengan melalui pendekatan perencanaan dengan mendahulukan membangun infrastruktur (infrastructure led) sebagai investasi sebelum aktifitas ekonomi dimulai. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini. Penelitian ini merupakan sebagian dari hasil penelitian Strategis Nasional (STRANAS) yang dilaksanakan pada tahun 2012 dibawa koordinasi Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang
T-81