1. A. Sifat-sifat Virus Virus adalah agen infeksius terkecil (dengan diameter antara 20 nm sampai dengan kira-kira 300nm) yang hanya mempunyai 1 jenis asam nukleat (RNA atau DNA saja) sebagai genom mereka. Asam nukleat terbungkus mantel protein yang dikelilingi oleh membran dari lipid. Unit infeksius secara keseluruhan disebut virion. Dalam lingkungan ekstraseluler virus akan bersifat inert (pasif). Virus hanya akan mengalami replikasi di dalam sel hidup dengan menjadi parasit pada tingkat gen. Asam nukleat virus mengandung informasi penting untuk bisa menghasilkan keturunannya yaitu dengan cara memprogram sel inang yang diinfeksinya agar mensintesis makromolekul virus-spesifik. Setiap siklus replikasi menghasilkan asam nukleat dan mantel protein virus dalam jumlah yang banvak. Mantel protein virus bergabung bersama-sama membentuk kapsid yang berfungsi membungkus dan menjaga stabilitas asam nukleat virus terhadap lingkungan ekstraseluler. Selain itu juga berfungsi untuk mempermudah penempelan serta penetrasi virus terhadap sel baru yang dapat dimasukinya. Infeksi virus terhadap sel inang yang dimasukinya dapat berefek ringan atau bahkan tidak berefek sama sekali namun mungkin juga bisa membuat sel inang rusak atau bahkan mati. Adapun sifat-sifat khusus virus menurut Lwoff, Home dan Tournier (1966) adalah: 1. Bahan genetik virus terdiri dari asam ribonukleat (RNA) atau asam deoksiribonukleat (DNA), akan tetapi tidak terdiri dari kedua jenis asam nukleat sekaligus. 2. Struktur virus secara relatif sangat sederhana, yaitu terdiri dari pembungkus yang mengelilingi atau melindungi asam nukleat. 3. Virus mengadakan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam nukleus, sitoplasma atau di dalam keduanya dan tidak mengadakan kegiatan metabolisme jika berada di luar sel hidup. 4. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan biner. Partikel virus baru dibentuk dengan suatu proses biosintesis majemuk yang dimulai dengan pemecahan suatu partikel virus infektif menjadi lapisan protein pelindunng dan komponen asam nukleat infektif. 5. Asam nukleat partikel virus yang menginfeksi sel mengambil alih kekuasaan dan pengawasan sistem enzim hospesnya, sehingga selaras dengan proses sintesis asam nukleat dan protein virus. 6. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk keperluan metabolismenya. 7. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan baru digabung di dalam sel hospes tidak lama sebelum dibebaskan. 8. Selama berlangsungnya proses pembebasan,beberapa partikel virus mendapat selubung luar yang mengandung lipid protein dan bahan-bahan lain yang sebagian berasal dari sel hospes.
9. Partikel virus lengkap disebut virion dan terdiri dari inti asam nukleat yang dikelilingi lapisan protein yang bersifat antigenik yang disebut kapsid dengan atau tanpa selubung di luar kapsid. 1.B. Prinsip-Prinsip Struktur Virus Jenis-jenis Bentuk Tangkup Partikel Virus Arsitektur virus dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan pada susunan sub unit morfologi: 1. Bentuk tangkup kubus, contoh: adenovirus 2. Bentuk tangkup heliks, contoh: orthomyxovirus 1. Tangkup Berbentuk Kubus Semua bentuk tangkup kubus yang terlihat pada virus binatang adalah berpola icosahedral yaitu susunan sub unit yang paling efisien di dalam mantel tertutup. Icosahedron mempunyai 20 muka (masing-masing sebuah segitiga ekuilateral), 12 puncak, dan bentuk aksis rotasionalnya 5 lipatan, 3 lipatan, dan 2 lipatan. Unit puncak mempunyai 5 perbatasan (pentatavalen), dan yang lain mempunyai 6 (heksavalen). Ada 60 subunit identik yang nyata pada permukaan dari icosahedron. Untuk membangun suatu ukuran partikel yang adekuat dalam menyelubungi genom virus, mantel virus disusun multiple dari 60 struktur unit. Pemakaian sejumlah besar sub unit protein yang identik secara kimiawi, sambil menjaga aturan bentuk tangkup icosahedral, dikerjakan oleh subtriangulasi masing-masing permukaan icosahedron. Kebanyakan virus yang mempunyai tangkup icosahedral, tidak berbentuk icosahedral; tampilan fisik partikelnya lebih berbentuk spheris. Asam nukleat virus memadat di dalam partikel isometric, virus mengkode inti protein atau di dalam kasus papovavirus, histone seluler terlibat di dalam kondensasi asam nukleat ke dalam bentuk yang pantas untuk pembungkusan. Terdapat pemaksaan ukuran molekul asam nukleat yang bisa dibungkus ke dalam kapsid icosahedral tertentu. Kapsid icosahedral terbentuk tidak tergantung dari asam nukleat. Kebanyakan preparasi virus isometric akan
berisi beberapa partikel kosong yang tidak berisi asam nukleat virus. Baik kelompok virus DNA maupun RNA menunjukkan contoh tangkup berbentuk kubus. 2. Tangkup Berbentuk Heliks Pada kasus tangkup berbentuk heliks, protein subunit terikat terhadap asam nukleat virus secara periodik, dan membelitnya ke dalam heliks. Kompleks protein asam nukleat virus filamentosa (nukleokapsid) kemudian terlilit ke dalam bungkus (amplop) yang mengandung lemak. Dengan demikian, tidak seperti nada kasus struktur icosahedral, pada virus dengan tangkup berbentuk heliks terdapat interaksi periodic, regular antara protein kapsid dan asam nukleat. Partikel heliks kosong tidak mungkin terbentuk. Pengukuran Partikel Virus
Sifat klasik dari virus adalah berukuran kecil dan mampu melewati suatu filter yang tidak bisa dilewati oleh bakteri. Namun, karena ada beberapa bakteri yang mungkin mempunyai ukuran lebih kecil dari virus yang terbesar, maka kemampuan untuk dapat melewati sebuah filter menjadi tidak menggambarkan ciri khas dari virus. Berikut ini adalah metode yang digunakan untuk menentukan ukuran virus beserta komponennya. A. Melihat langsung dengan menggunakan mikroskop elektron Untuk melihat virus dengan cara ini maka diperlukan preparat yang terbuat dari ekstrak jaringan atau irisan ultra tipis dari sel yang terinfeksi. Mikroskop elektron ini merupakan cara atau metode yang paling luas digunakan untuk memperkirakan ukuran partikel. B. Filtrasi melalui membran penyerapan bertingkat Apabila preparat virus berhasil melalui membran yang sudah diketahui ukuran poriporinya, maka dapat diperkirakan ukuran dari virus tersebut yaitu dengan cara menentukan membran mana yang bisa dilewati oleh unit infektif dan mana yang menahannya. Namun demikian, masuknya virus ke dalam poripori membran tersebut juga dipengaruhi oleh bentuk struktur fisik dari virus itu sendiri, maka cara ini hanya bisa memperoleh perkiraan ukuran virus yang paling mendekati.
C. Sedimentasi dengan menggunakan ultrasentrifuge Apabila partikel-partikel itu larut dalam cairan maka mereka akan mengendap sesuai proporsi ukuran mereka. Jika dengan ultrasentrifuge dengan kekuatan lebih dari 100.000 kali gravitasi mungkin bisa digunakan untuk menggiring partikel agar mengendap di dasar tabung. Hubungan antara ukuran dan bentuk partikel serta rata-rata pengendapannya bisa menentukan ukuran nartikel. Sekali lagi, struktur fisik virus akan mempengaruhi perkiraan ukuran yang diperoleh. D. Pengukuran dengan perbandingan Dengan membandingkan dengan ukuran bakteriofag, molekul protein, dan sebagainya. 2. Komposisi Kimia Virus Untuk dapat menganalisis komponen kimia virus, diperlukan virus murni. Untuk pemurnian dipakai bahan-bahan yang mengandung virus dalam jumlah besar dari jaringan atau biakan sel terinfeksi atau bahan ekstraselular seperti plasma, dan carian alantois, medium biakan sel ataujaringan. Adapun komposisi kimia virus adalah sebagai berikut: 1. Asam Nukleat Virus-virus hewan dan tumbuhan mengandung DNA dan RNA, tetapi virion yang sama tidak dapat mengandung kedua-duanya. Hal ini berbeda dengan semua bentuk kehidupan selular tanpa terkecuali mengandung kedua tipe asam nukelat dalam setiap sel. Ada empat jenis asam nukleat yang mungkin, yaitu: ● DNA berutasan tunggal ● RNA berutasan tunggal ● DNA berutasan ganda ● RNA berutasan ganda
Keempat tipe itu telah dijumpai pada virus hewan. Pada virus tumbuhan, telah dijumpai RNA berutasan tunggal dan ganda serta DNA berutasan tunggal. Disamping itu, struktur asam nukleat di dalam virion dapat lurus atau bundar. Sebagai contoh, virus simian membentuk vakuola (SV 40). Yang dijumpai pada sel-sel ginjal kera mempunyai DNA bundar berutasan ganda sedangkan virus herpes mempunyai DNA lurus berutasan ganda. Pengertian tentang asam nukleat virus mempunyai arti penting untuk memahami roses perkembang biakan virus, sifat biologik, dan sebagainya. Misalnya: ● Ukuran asam nukleat dihubungkan dengan jumlah informasi genetik yang dibawanya. ● Segmentasi asam nukleat pada virus influenza dihubungkan dengan terjadinya rekombinasi genetika yang menimbulkan terjadinya antigenic shift, derajat homolog basa-basa asam nukleat dihubungkan dengan taksonomi virus. 2. Protein Protein ialah komponen kimiawi utama terbesar dari struktur virus dan merupakan komponen tunggal dari kapsid, bagian terbesar dari selubung, dan dapat merupakan bagian protein inti (core protein) pada beberapa virus ikosahedral. Protein diatas disebut juga sebagai protein struktural karena mempunyai fungsi membentuk rangka virion. Banyak virus kini telah diketahui mengandung enzim-enzim yang berfungsi dalam replikasi komponen-komponen asam nukleatnya. Beberapa virion dapat mengandung suatu enzim khusus yang menggunakan RNA virus sebagai model untuk mesintesis utasan RNA kedua yang dapat mengarahkan sel-sel inang untuk membuat virus. Virus tumor RNA mengandung suatu enzim yang mensintesis utasa DNA dengan menggunakan genom RNA virus sebagai acauan. Beberapa virus yang mengandung enzim, dapat dikatagorikan ke dalam tiga golongan:
1. Neuramisida yang menghidrolisis galaktosa N asetil neuraminat. Enzim ini terdapat pada orthomyxovirus yaitu pada salah satu tonjolan glikoproteinnya. Enzim ini berfungsi membantu penetrasi ke dalam sel. 2. Beberapa jenis virion mengandung RNA polomerasi. Jika genom birus merupakan genom yang langsung dapat bertindak sebagai mRNA, maka ekspresi gendom dapat terjadi secara langsung. Hal demikian ditemukan pada picornavirus dan argovirus. Tetapi jika genom virus berupa DNA atau RNA dengan polaritas negatif, maka sebelum genom tersebut diexpresikan dalam bentuk protein, terlebih dahulu harus di traskipsikan menjadi RNA dengan polaritas positif. Dalam hal yang disebut terakhir, terdapat dua jenis sumber enzim polimerase. Pertama virus menggunakan polimerase yang terdapat di dalam sel hospes, seperti pada herpes virus, adenovirus, papofavirus. Kedua, virion mengandung polimerase sendiri seperti pada poxvirus, myxsovirus, rhabdovirus. Retrovirus mempunyai enzim traskripsi terbalik yang berfungsi membentuk DNA dari cetakan RNA. 3. Beberapa virion juga mengandung enzim yang bekerja pada asam nukleat. Adenovirus, poxvirusm dan retrovirus misalnya mengandung enzim nukleus. 3. Lipid Berbagai ragam senyawa lipid (lemak) telah ditemukan pada virus. Senyawa-senyawa ini meliputi fosfolipid, flikolipid, lemak-lemak alamiah, asam lemak, aldehid lemak, dan kolesterol. Virus yang berselebung mengandung lipid netral, fosfolipid, dan glikolipid pada selubungnya. Komposisi campuran ini tergantung pada jenis sel yang diinfeksikan, median dimana sel tumbuh dan jenis virus yang menginfeksi. 4. Karbohidrat Semua virus mengandung karbohidrat karena asam nukleatnya itu sendiri mengandung ribose dan deoksiribose. Beberapa virus hewan bersampul seperti virus influensa dan mikro virus yang lain, pada umumnya terdapat duri-duri yang terbuat dari glikoprotein. Unsur karbohidratnya terdiri dari monosakarida yang dihubungkan dengan rantai polipeptida oleh ikatan glikosida.
3. Pembiakan Virus Virus adalah parasit obligat intrasel, karenanya virus tidak dapat berkembang biak di dalam medium mati. Ada tiga cara mengembangbiakan virus, yaitu: cara perbenihan jaringan (in vitro) dan telur bertunas (in ovo). 1. Cara perbenihan jaringan (in vitro) In vitro pada sel yang ditumbuhkan dalam bentuk potongan organ (biakan organ), potongan kecil jaringan (biakan jaringan), sel-sel yang telah dilepaskan dari pengikatnya (biakan sel). Biakan organ dan biakan jaringan hanya dapat bertahan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu saja. Sedangkan biakan sel dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa waktu yang tak terbatas, tergantung pada jenis biakan. Biakan sel terbagi atas: ● Biakan sel primer Sel diambil dalam keadaan segar dari binatang. Sel demikian mampu secara terbatas membelah dan selanjutnya mati, misalnya biakan primer berasal dari ginjal monyet, embrio ayam, dll. Proses pembuatan biakan sel dimulai dengan pelepasan sel-sel dari alatalat tubuh dengan mengocok sepotong jaringan dengan larutan tripsin. Selsel yang didapatkan dalam suspensi ini kemudian dibiakan dalam larutan pembenihan tertentu. Sel-sel akan tumbuh melekat pada dinding tabung sampai mebentuk selapis jaringan yang siap digunakan untuk pembiakan virus. Sel-sel ini dapat dipindahbiakan dengan membuat suspensi baru dan disebarkan dalam tabung-tabung lain sehingga didapat biakan sekunder. Tergantung pada asal sel, di dalam biakan jaringan akan didapatkan sel-sel jenis tertentu. Misalnya biakan sel-sel jaringan yang berasal dari ginjal monyet akan menghasilkan sel-sel jenis epitel. Biakan yang berasal dari embrio ayam akan menghasilkan sel jenis fibroblas. Jenis sel tertentu diperlukan untuk pembiakan virus-virus tertentu.
Virus yang dibiakan di dalam sel biakan jaringan dapat menimbulkan ESP (Efek Sitopatogenik), seperti perubahan bentuk sel menjadi lebih bulat, perubahan pada inti sel, kemungkinan pembentukkan jisim atau sel sinsitia dan juga sel-sel akan melepas dari dinding tabung.infeksi selanjutnya akan menyerang sel-sel disekitarnya dan bila pada tepat itu sudah ada banyak sel yang terlepas, maka akan tampak sebagai tempat yang berlubang dan tempat ini disebut plaque. Tiap virion infektif dalam biakan sel dapat membentuk plaque dan ini dapat dipakai untuk titrasi virus, sama halnya dengan pembentukkan koloni oleh kuman pada permukaan perbenihan padat. ● Biakan sel haploid Yaitu kumpulan satu jenis sel yang mampu membelah kira-kira 100 kali sebelum mati. ● Biakan sel letusan (continous cell lines culture) Yaitu sel yang mampu membelah tak terbatas. Kromosomnya sudah bersifat poliploid atau aneuploid. Dapat berasal dari sel tumor ganas ataupun sel diploid yang telah mengalami transformasi. Diantaranya adalah sel Hela, Hep-2, KB yang berasal dari manusia, BHK-21 yang berasal dari binatang hamster, sel LLC-MK dari ginjal monyet, J-III dari leukemia manusia dan sebagainya. Cara pembiakan in vitro dapat bermanfaat untuk: ● Isolasi primer virus dari bahan klinis. Untuk itu, dipilih sel yang mempunyai kepekaan tinggi, mudah dan cepat menimbulkan ESP ● Pembuatan vaksin. Untuk itu, dipilih sel yang mampu menghasilkan virus dalam jumlah besar ● Penyelidikan biokimiawi, biasanya dipilih biakan sel terusan dalam bentuk suspensi
1. Cara telur bertunas (in ovo) Telur juga merupakan perbenihan virus yang sudah steril dan embrio telur yang tumbuh di dalamnya tidak mebentuk zat anti yang dapat mengganggu pertumbuhan virus. Karena telur merupakan sumber sel hidup yang relatif murah untuk isolasi virus, maka cara in ovo ini sering digunakan dalam laboratorium. Cara pertama: dengan mempergunakan lapisan luar (lapisan ektoderm) selaput korioalantois telur berembrio 10 hari. Cara penanaman ini berguna untuk isolasi virus yang menyebabkan kelainan pada kulit yang dulu digolongkan sebagai virus dermatotrofik seperti virus variola, virus vaccinia, dan virus herpes. Tiap virion yang infektif akan meyerang sel-sel di sekitarnya dan menibulkan reaksi inflamasi yang dapat dilihat sebagai bercak putih yang disebut pock. Pock ini berlainan ukurannya dan bersifat bergantung pada virus yang menyebabkannya. Cara penanaman pada selaput korioalantois juga berguna untuk titrasi virus dan titrasi antibodi terhadap virus dengan teknik menghitung jumlah pock. Cara kedua: dengan menyuntikkan bahan ke dalam ruang anion terlur berembrio yang berumur 10-15 hari. Cara ini terutama untuk isolasi virus influenza dan virus parotitis karena virus ini tumbuh di dalam sel epitel paru-paru embrio yang sedang berkembang.
Adanya
perkembangan
virus
dikenal
dengan
adanya
reaksi
hemaglutinasi. Cara ketiga: dengan menyuntikkan bahan pada kantung kuning telur berembrio 9-12 hari. Teknik penanaman ini menggunakan penyuntikan langsung melalui lubang kecil di kulit telur ke dalam kantung kuning telur. Dipakai untuk isolasi mikroorganisme
in vivo
golongan Bedsonia dan Rickettsia. Untuk maksud pembiakan suspensi virus diinfeksikan pada binatang percobaan yang cocok. Mencit yang baru lahir misalnya digunakan untuk virus-virus golongan arbovirus, coxsackie virus. Hamster banyak digunakan untuk golongan herpes virus tertentu. Adanya pertubuhan virus dikenal oleh timbulnya gejala-gejala yang khas atau adanya perubahan patologis lain. Adapun perkembangbiakan virus dapat dikenal melalui: 1. Timbulnya efek sitopatogenik Efek sitopatogenik adalah perubahan morfologis yang terjadi akibat infeksi oleh virus sitopatogenik. Pada sediaan yang tak berwarna, tampak sel menjadi lebih refraktil.
Perubahan morfologis dari sel dapat berupa piknosis, karioreksis, plasmolisis, pembentukkan sel raksasa, pembentukkan sel busa dan sebagainya. Tenggang waktu untuk timbulnya efek sitopatogenik dan jenis perubahan yang terjadi berbeda-beda untuk berbagai jenis virus. Karena itu ESP mempunyai arti penting dalam diagnosis, misalnya virus morbilli, parainfluenza cenderung menimbulkan sel raksasa, sedangkan adenovirus menimbulkan kelompok sel-sel besar yang bulat. Untuk melihat perubahan lebih terinci diperlukan pewarnaan. 1. Hambatan metabolisme Dalam metabolismenya, sel membentuk asam. Jika sel diinfeksi oleh virus, maka pada berbagai tingkatan akan terjadi hambatan metabolisme, termasuk pembentukan asam. Dengan memakai indikator tertentu, perubahan ini dapat dikenal. Tes hambatan ini perlu
dikembangkan
antara
lain
untuk
adenovirus,
arbovirus,
echovirus,
coxsackievirus, herpes simplex dan beberapa myxovirus. 1. Fenomena hemadsorpsi Selain efek dari sitopatogenik dan hambatan metabolisme, adanya infeksi virus dapat juga diketahui dari timbulnya fenomena hemadsorpsi. Misalnya pada parainfluenza virus dan influenza virus; pembentukan antigen reaksi ikat komplemen pada poliovirus, varicella zoter, adenovirus coxsackie, dan echovirus; pembentukan antigen hemaglutinasi
pada
coxsackie
virus;
pertunjukkan
antigen
dengan
reaksi
imunofluoresensi atau perubahan morfologik hospes akibat infeksi virus onkogenik yang biasanya diikuti oleh adanya loss of contact inhibition dan berkumpulnya sel-sel menjadi sel yang tak teratur. 4. Perhitungan virus Dalam perhitungan virus terdapat metode titrasi virus. Titrasi virus dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah partikel virus yang ada tanpa memandang kemampuan menginfeksi dari virus tersebut dan cara yang lain adalah menghitung jumlah virus yang infektif. A. Metode Fisika
Pada suspensi virus murni yang berkonsentrasi tinggi, jumlah partikel virus dapat dihitung mikroskop elektron. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan partikel latex yang berukuran sama dengan virus dan telah diketahui konsentrasinya ke dalam suspensi virus dan kemudian dicampur sehingga homogen. Dengan menghitung perbandingan antara latex dan virus yang tampak di bawah mikroskop electron, dapat ditentukan titer virus. Virus yang infektif maupun tidak, dapat menimbulkan aglutinasi sel darah merah, maka sifat ini dapat digunakan untuk menghitung jumlah virus yang ada. Satu seri larutan dengan konsentrasi virus tertentu, masing-masing ditetesi dengan sel darah merah. Jika konsentrasi virus mencukupi, maka akan terjadi pengendapan virus-cell complex di dasar tabung. Dengan metode pengenceran ini akan didapatkan titer virus yang diukur dengan hemagglutination unit. A. Metode Biologi Metode biologi biasanya dilakukan dengan menentukan kemampuan infeksi virus. Infektivitas virus ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan menggunakan kultur jaringan. 1. Metode kultur tabung Sejumlah 0,1 ml virus dari berbagai pengenceran, masing-masing diinokulasikan pada kultur tabung. CPE (Cytopatogenik Effect) yang terjadi pada pengenceran yang tertinggi dicatat dan dengan menggunakan metode Reed dan Muench dapat ditentukan TCID50 (50% tissue culture infectious dosis). 2. Plaque method atau Metode Plak Sel-sel monolayer diinfeksi dengan virus yang sudah diencerkan kemudian dieramkan selama satu jam agar cukup terjadi absorpsi virus ke dalam sel. Kemudian lapisan sel yang terinfeksi tersebut dilapisi dengan aar atau metilselulosa. Sesudah dieramkan selama beberapa hari, jumlah plaque yang terjadi dihitung dan dengan memperhitungkan angka pengenceran, maka PFU (Plaque Forming Unit) dapat ditentukan.
3. Tes Netralisasi Dalam tes ini yang paling sering digunakan adalah sistem dengan penyediaan virus dengan pengenceran tertentu dan berbagai tingkat pengenceran serum yang diperiksa. Sejumlah volume tertentu virus dari 1000 TCID50 dan serum dari pengenceran tertentu dengan volume yang sama dicampur dalam tabung dan disimpan pada suhu 370C, selama satu jam. Masing-masing tabung kultur sel diberi 0,2 ml campuran tersebut dan ditambahkan 1 ml medium pemelihara lalu dieramkan dan diamati selama satu minggu. 4. Teknik Immunofluoresens Prinsip dari cara ini adalah mengenal antigen virus yang terdapat dalam hapusan atau irisan jaringan yang bereaksi dengan antibodi yang mengandung zat warna fluoresens sehingga akan bersinar di bawah pengamatan mikroskop fluoresens. 5. Metode Imuniperoksidase Prinsip metode ini sana dengan immunofluoresens, namun sesudah terjadi reaksi antigen–antibodi yang mengandung horse raddish peroksidase sebagai pengganti zat warna fluoresens, dilakukan penambahan bahan substrat 3-3 diaminobenzidin tetrahidroklorida yang mengandung hydrogen peroksida. Hasilnya dapat dilihat dengan mikroskop biasa. 6. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Dengan metode yang baru ini, maka baik antigen maupun antibodi dapat dideteksi dengan lebih mudah. Sesuai dengan prosedur dari Voller yang sudah dimodifikasi, maka ELISA dapat dilakukan sebagai berikut: Sumur-sumur microplate diisi dengan 100 mikroliter antigen yang telah diencerkan dengan 0,05 M buffer karbonat-bikarbonat pH 9,6 dan dieramkan semalam pada lemari es untuk melapisi microplate dengan antigen. Sisa antigen dibuang dan sumur dicuci. Kemudian ke dalam sumur ditambahkan 100 mikroliter serum yang sudah diencerkan lalu dieramkan pada suhu 370C selama satu jam. Sesudah dicuci dari sisa-sisa serum, tambahkan 100 mikroliter peroksidase
konjugasi anti-human immunoglobulin yang sudah diencerkan, lalu eramkan lagi 370C selama satu jam. Akhirnya ditambahkan 100 mikroliter larutan substrat yang mengandung 0,5 mg o-fenilen diamin per ml dan 0,02% hydrogen peroksida dalan 0,05 M buffer sitrat-fosfat pH 5,0 ke dalam masing-masing sumur dan dieramkan pada suhu kamar dalam ruang gelap. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 4N hydrogen sulfoksida sebanyak 75 mikroliter dalam tiap-tiap sumur. Akhirnya optical density (OD) pada panjang gelombang 500 nm dapat dicatat dengan menggunakan mikrospektrofotometer. 7. Pock Assay Beberapa macam virus membentuk kelainan (pock) yang berbatas jelas pada membrane korioalantois telur berembrio. Dengan menghitung jumlah pock yang terbentuk sesudah penambahan larutan virus yang diketahui pengencerannya, maka jumlah partikel virus yang infektif dapat ditentukan. 8. Quantal Assay Satu seri pengenceran virus dibuat dan sel-sel yang peka dieramkan sesudah diinokulasi dengan virus. Sesudah beberapa waktu pengeraman, kultur, telur atau hewan percobaan diperiksa untuk mengetahui akibat repliksi virus. Untuk menentukan titik akhir titrasi quantal, digunakan kriteria: a. Pembentukan CPE dalam kultur sel b. Jumlah binatang yang mati atau yang menderita sakit akibat virus c. Kelainan yang terjadi pada membrane telur berembrio atau kelainan pada embrio, dan d. Terjadinya kelainan yang dapat dideteksi dengan prosedur in vitro misalnya tes hemaglutinasi dan hemadsorpsi. Titer dinyatakan dalam ID50 (50 persen infectious dose), yaitu pengaruh virus yang memiliki pengenceran tertinggi yang menimbulkan kelainan pada 50 persen kultur sel, telur atau bintang yang telah diinokulasi dengan virus.
5. Badan Inklusi Secara umum, virus menginfeksi sel manusia dengan 2 cara, yaitu dengan cara : 1. Cytocydal Infeksi virus yang terjadi dengan cara membunuh sel inangnya. 2. Cytopathic Infeksi virus yang terjadi tidak dengan cara membunuh sel inangnya, tetapi hanya menyebabkan kerusakan pada sel inangnya.
Ketika virus menginfeksi sel manusia, maka pada sel yang diinfeksi terjadi beberapa kemungkinan, yaitu : a. Lytic Infection Pada lytic infection, virus membunuh sel inangnya dengan cara melisis atau memecah sel inang. Ketika sel inangnya lisis, partikel-partikel virus yang baru dibentuk akan dibebaskan. b. Persistent infection
Infeksi virus jenis ini dapat bertahan selama beberapa tahun, menghasilkan partikel virus baru tanpa membunuh sel inang. Partikel virus baru dikeluarkan dari dalam sel inang dengan cara membentuk vesikel-vesikel, sehingga dapat melewati membrane sel inang. Proses ini hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada membrane sel inang, tetapi tidak membunuhnya. c. Latent infection Pada Latent infection, virus hidup di dalam sel inang, tanpa memproduksi partikel virus baru. Pada infeksi jenis ini, tidak ada kerusakan yang terjadi pada sel inang, akan tetapi ada beberapa rangsangan yang dapat mengaktifkan virus tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya lytic infection. d. Cancer-causing infection Pada latent infection, pengaktifan virus juga bias menyebabkan terjadinya perubahan pada sel yang terinfeksi menjadi sel kanker. Virus ini disebut juga virus oncogenic (penyebab kanker). Biasanya, pada sel yang terinfeksi virus, terdapat adanya efek cytopathic, sebagai contoh, yaitu timbulnya perubahan morfologi pada sel tersebut. Salah satu perubahan yang dapat terjadi pada sel yang terinfeksi virus bias berupa pembentukan badan inklusi. Pembentukan badan inklusi dapat dilihat dengan menggunakan bantuan mikroskop. Badan inklusi dapat dilihat pada saat virus bereplikasi dengan bantuan pewarnaan. Badan inklusi dapat mengandung asam nukleat virus, protein, virion dewasa ataupun produk reaksi sel yang tidak digunakan lagi. Letak badan inklusi di dalam sel menunjukkan tempat dimana virion-virion dibentuk. Badan inklusi dapat ditemukan di : 1. Inti sel Intranuclear inclusions ditemukan pada sel yang terinfeksi oleh virus DNA, sperti virus-virus herpes (herpes simplex, varicella-zooster, cytomegalovirus) dan adenovirus.
Gambar. badan inklusi dalam inti sel. 2. Sitoplasma Intracytoplasmic inclusions (badan inklusi yang terdapat di dalam sitoplasma sel) ditemukan pada sel yang terinfeksi oleh virus RNA, seperti paramyxovirus (parainfluenza, gondok, cacar), virus rabies, retrovirus, dan virus DNA, sperti poxyvirus (variola, vaccine, molluscum contangiosum). Beberapa badan inklusi memiliki sifat yang khas, sehingga bisa digunakan untuk kepentingan diagnosis. Pada penyakit Rabies, badan inklusinya ditemukan di dalam sel saraf, disebut juga Negri bodies. Pada penyakit cacar, badan inklusinya ditemukan di lesi kulit, disebut Guarnieri bodies. Negri bodies dapat dilihat dengan mikroskop. intracytoplasmic inclusions (cerebellum, manusia) pada sel Parkinje yang terinfeksi (cerebellum, manusia). 3. Inti sel dan Sitoplasma Pada beberapa virus, badan inklusinya dapat ditemukan baik di dalam inti sel ataupun di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi oleh virus tersebut. Hal ini dapat ditemukan pada virus cacar, yang merupakan suatu virus RNA.
Gambar. Pembentukan sel tumor 6. Perkembangbiakan Virus
Untuk perkembangbiakan, virus memerlukan lingkungan sel yang hidup. Oleh karena itu, virus menginfeksi sel bakteri, sel hewan, atau sel tumbuhan untuk bereproduksi. Ada dua macam cara virusmenginfeksi sel hospes, yaitu secara litik dan secara lisogenik. A. INFEKSI SECARA LITIK Infeksi secara litik melalui fase-fase sebagai berikut ini: 1. Fase adsorpsi dan infeksi Fag akan melekat atau menginfeksi bagian tertentu dari dinding sel hospes, daerah itu disebut daerah reseptor (receptor site = reseptor spot). Daerah ini khas bagi fag tertentu, dan fag jenis lain tidak dapat melekat di tempat tersebut. Virus tidak memiliki enzim untuk metabolisme, tetapi memliki enzim lisozim yang berfungsi merusak atau melubangi dinding sel hospes. Sesudah dinding sel hospes terhidrolisis oleh lisozim, maka seluruh isi fag masuk kedalam hospes. Fag kemudian merusak dan mengendalikan DNA hospes. 2. Fase replikasi (fase sintesa) DNA fag mengadakan replikasi (menyusun DNA) menggunakan DNA hospes sebagai bahan, serta membentuk selubung protein. Maka terbentuklah beratus-ratus molekul DNA baru virus yang lengakap dengan selubungnya. 3.Fase pembebasan virus (fag-fag baru)/ fase lisis Sesudah fag dewasa, sel hospes akan pecah (lisis), sehingga keluarlah virus atau fag yang baru. Jumlah virus baru ini dapat mencapai sekitar 200. B. INFEKSI SECARA LISOGENIK 1. Fase adsorpsi dan infeksi Fag menenpel pada tempat yang spesifik. Virus melakukan penetrasi pada hospes kemudian mengluarkan DNAnya kedalam tubuh hospes.
2. Fase penggabungan DNA virus bersatu dengan DNA hospes membentuk profag. Dalam bentuk profag, sebagian besar gen berada dalam fase tidak aktif, tetapi sedikitnya ada satu gen yang selalu aktif. Gen aktif berfungsi untuk mengkode protein reseptor yang berfungsi menjaga agar sebagian gen profag tidak aktif. 3. Fase pembelahan Bila sel hospes membelah diri, profag ikut membelah sehingga dua sel anakan hospes juga mengandung profag didalam selnya. Hal ini akan berlangsung terus-menerus selama sel bakteri yang mengandung profag membelah.
http://filzahazny.wordpress.com/2008/10/31/virologi/
TEKNOLOGI PEMBIAKAN DAN PERTUMBUHAN MIKROORGANISME Posted January 14, 2011 by aguskrisno in KAJIAN MIKROBIOLOGI UMUM. Leave a Comment Identifikasi biakan mikroorganisme seringkali memerlukan pemindahan ke biakan segar tanpa terjadi pencemaran. Pemindahan mikroorganisme ini dilakukan dengan teknik aseptik untuk mempertahankan kemurnian biakan selama pemindahan berulangkali. Mikroorganisme dapat ditumbuhkan dalam biakan cair atau padat. Kekeruhan dalam kaldu menunjukkan terjadinya pertumbuhan mikroorganisme. Bila mikroorganisme menumpuk pada dasar tabung maka akan membentuk sedimen, sedangkan pada permukaan kaldu pertumbuhannya terlihat sebagai pelikel (Lay, 1998). Pertumbuhan mikroorganisme dalam kaldu seringkali menggambarkan aktivitas metabolismenya. Mikroba aerob obligat berkembang biak pada lapisan permukaan karena pada bagian ini kandungan oksigen tinggi. Selain dalam media cair, mikroorganisme juga memperlihatkan pertumbuhan dengan ciri tertentu dalam biakan padat seperti agar miring atau lempengan agar. Agar miring lazimnya digunakan untuk menyimpan biakan murni sedangkan agar lempengan lazimnya digunakan untuk memurnikan mikroorganisme (Lay, 1998). Dalam teknik biakan murni tidak saja diperlukan bagaimana memperoleh suatu biakan yang murni, tetapi juga bagaimana memelihara serta mencegah pencemaran dari luar. Media untuk membiakkan bakteri haruslah steril sebelum digunakan. Pencemaran terutama berasal dari udara yang mengandung banyak mikroorganisme. Pemindahan biakan mikroba yang dibiakkan harus sangat hati-hati dan mematuhi prosedur laboratorium agar tidak terjadi
kontaminasi. Oleh karena itu, diperlukan teknik-teknik dalam pembiakan mikroorganisme yang disebut dengan teknik inokulasi biakan (Dwijoseputro, 1998). Pembiakan mikroorganisme 1. Reproduksi mikroorganisme Pekembangbiakan mikroorganisme dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Yang paling banyak terjadi adalah perkembangbiakan aseksual. Pembiakan aseksual terjadi dengan pembelahan biner, yakni satu sel induk membelah menjadi dua sel anak. Kemudian masingmasing sel anak membentuk dua sel anak lagi dan seterusnya. Tipe lain cara perkembangbiakan aseksual disamping pembelahan biner adalah pembelahan ganda dan perkuncupan. Reproduksi bakteri terjadi secara pembelahan biner. Perbanyakan sel dengan cara ini, kecepatan pembelahan sel ditentukan dengan waktu generasi. Waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah bevariasi tergantung dari spesies dan kondisi pertumbuhan. Pembelahan biner yang terjadi pada bakteri adalah pembelahan biner melintang yaitu suatu proses reproduksi aseksual, setelah pembentukan dinding sel melintang, maka satu sel tunggal membelah menjadi dua sel yang disebut dengan sel anak.
Reproduksi pada khamir, misalnya saccharomyces tipe pembelahan selnya ada yang seperti bakteri, yakni dengan pembelahan biner, tetapi ada yang membentuk kuncup, dimana tiap kuncup akan membesar seperti induknya. Kemudian tumbuh kuncup baru dan seterusnya, sehingga akhirnya membentuk semacam mata rantai. Tipe yang ketiga cara perkembangbiakan khamir adalah dengan pembelahan tunas, yakni kombinasi antara pertunasan dan pembelahan. Sedangkan cara keempat dengan sporulasi atau pembentukan spora, yang dapat dibedakan atas dua macam yaitu spora seksual dan aseksual. Reproduksi dengan cara pertunasan, pembelahan, pembelahan tunas, dan pembentukan spora aseksual disebut sebagai reproduksi vegetatif, sedangkan reproduksi dengan cara membentuk spora seksual dinamakan reproduksi seksual. Perkembangbiakan secara seksual, umumnya terjadi pada jamur dan mikroalga, serta secara terbatas terjadi pada bakteri, dapat terjadi secara:
Oogami, bila sel betina berbentuk telur Anisogami, bila sel betina lebih besar dari sel jantan Isogami, bila sel jantan dan sel betina mempunyai bentuk yang sama.
Pertumbuhan mikrooganisme
1. 1. Definisi pertumbuhan
Pertumbuahan secara umum dapat didefinisikan sebagai prtambahan secara teratur secara komponen didalam sel hidup. Pada organisme multi seluler yang disebut pertumbuhan adalah peningkatan jumlah sel perorganisme, dimana ukuran sel menjadi lebih besar. Pada organisme uniseluler pertumbuhan adalah pertambahan jumlah sel yang juga berarti pertambahan jumlah organisme yang membemtuk okolasi atau suatu biakan. Pada organisme aseluler selama pertumbuhan ukuran sel menjadi besar tetapi tidak terjadi pembelahan sel. Pertumbuhan mahluk hidup dapat juga ditinjau dari dua sudut yaitu pertumbuhan individu dan pertumbuhan kelompok. Pettumbuah individu diartikan sebagi adanya penambahan sel serta bagian bagian sel lainnya. Sedangkan pertumbuhankelompok merupakan akibat pertumbuhan individu misalnya dari satu sel menjadi dua sel. 2. Pengukuran pertumbuahn Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah jasad renik 1. Perhitungan jumlah sel
hitungan mikroskopik hitungan cawan MPN(most probable number)
1. Perhitungan masa sel secara langsung
Cara volumetrik Cara grafimetrik Turbidimetri (kekeruhan)
1. Perhitungan massa sel secara tidak langsung
Analisis komponen sel (protein, ADN, dan ATP) Analisis produk katabolisme (metabolik primer dan sekunder) Analisis konsumsi nutrien (karbon, nitrogen, dan oksigen)
3. Laju Pertumbuhan Cara khas bakteri berkembangbiak adalah dengan cara pembelahan biner melintang. Selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri menjadi dua kali lipat dinamakan waktu generasi atau waktu berganda. Tidak semua spesies mikroba mempunyai waktu generasi yang sama. Waktu generasi untuk suatu spesies bakteri tertentu juga tidak sama pada segala kondisi. Waktu generasi amat bergantung pada cukup atau tidaknya kondisi fisik. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
Nutrien Tersedianya air Nilai PH Suhu Tersedinya oksigen
Komponen anti mikroba
Teknik inokulasi mikroorganisme Teknik inokulasi merupakan suatu pekerjaan memindahkan bakteri dari medium yang lama ke medium yang baru dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Dengan demikian akan diperoleh biakan mikroorganisme yang dapat digunakan untuk pembelajaran mikrobiologi. Pada praktikum ini akan dilakukan teknik inokulasi biakan mikroorganisme pada medium steril untuk mempelajari mikrobiologi dengan satu kultur murni saja. Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengisolasi biakan murni mikroorganisme yaitu 1. Metode gores Teknik ini lebih menguntungkan jika ditinjau dari sudut ekonomi dan waktu, tetapi memerlukan ketrampilan-ketrampilan yang diperoleh dengan latihan. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah. Inokulum digoreskan di permukaan media agar nutrien dalam cawaan petri dengan jarum pindah (lup inokulasi). Di antara garisgaris goresan akan terdapat sel-sel yang cukup terpisah sehingga dapat tumbuh menjadi koloni (Winarni, 1997). Cara penggarisan dilakukan pada medium pembiakan padat bentuk lempeng. Bila dilakukan dengan baik teknik inilah yang paling praktis. Dalam pengerjaannya terkadang berbeda pada masing-masing laboratorium tapi tujuannya sama yaiitu untuk membuat goresan sebanyak mungkin pada lempeng medium pembiakan (Kus Irianto, 2006) Ada beberapa teknik dalam metode gores yakni: 1. 2. 3. 4.
Goresan T Goresan kuadran Goresan Radian Goresan Sinambun
2. Metode tebar Setetes inokolum diletakan dalam sebuah medium agar nutrien dalam cawan petridish dan dengan menggunakan batang kaca yang bengkok dan steril. Inokulasi itu disebarkan dalam medium batang yang sama dapat digunakan dapat menginokulasikan pinggan kedua untuk dapat menjamin penyebaran bakteri yang merata dengan baik. Pada beberapa pinggan akan muncul koloni koloni yang terpisah-pisah (Winarni, 1997). 3 Metode tuang Isolasi menggunakan media cair dengan cara pengenceran. Dasar melakukan pengenceran adalah penurunan jumlah mikroorganisme sehingga pada suatu saat hanya ditemukan satu sel di dalam tabung (Winarni, 1997). 4 Metode tusuk
Metode tusuk yaitu dengan dengan cara meneteskan atau menusukan ujung jarum ose yang didalamnya terdapat inokolum, kemudian dimasukkan ke dalam media (Winarn, 1997) Teknik Isolasi mikroorganisme Beratus-ratus spesies mikroba dapat menghuni berbagai macam bagian tubuh kita, misal: mulut, saluran pencernaan, kulit, dll. Sekali bersin dapat menyebarkan beribu-ribu mikroorganisme. Satu gram kotoran manusia/hewan dapat mengandung jutaan bakteri. Udara, air, tanah, juga dihuni oleh sekumpulan mikroorganisme. Populasi mikroorganisme tersebut pada umumnya terdapat dalam populasi campuran. Amat jarang mikroorganisme tersebut dijumpai sebagai satu spesies tunggal. Di sisi lain, untuk mencirikan dan mengidentifikasikan suatu spesies mikroorganisme tertentu, yang pertama harus dilakukan adalah memisahkannya dari organisme lain, hingga diperoleh biakan murni. Biakan murni adalah biakan yang sel-selnya berasal dari pembelahan satu sel tunggal. Proses pemisahan/pemurnian dari mikroorganisme lain perlu dilakukan karena semua pekerjaan mikrobiologis, misalnya telaah dan identifikasi mikroorganisme, memerlukan suatu populasi yang hanya terdiri dari satu macam mikroorganisme saja. Teknik tersebut dikenal dengan Isolasai Mikroba. Terdapat berbagai cara mengisolasi mikroba, yaitu: 1) isolasi pada agar cawan, 2) isolasi pada medium cair, dan 3) Isolasi sel tunggal 1. Isolasi pada agar cawan Prinsip pada metode isolasi pada agar cawan adalah mengencerkan mikroorganisme sehingga diperoleh individu spesies yang dapat dipisahkan dari organisme lainnya. Setiap koloni yang terpisah yang tampak pada cawan tersebut setelah inkubasi berasal dari satu sel tunggal. Terdapat beberapa cara dalam metode isolasi pada agar cawan, yaitu: Metode gores kuadran, dan metode agar cawan tuang. Metode gores kuadran, Bila metode ini dilakukan dengan baik akan menghasilkan terisolasinya mikroorganisme, dimana setiap koloni berasal dari satu sel. Metode agar tuang, Berbeda dengan metode gores kuadran, cawan tuang menggunakan medium agar yang dicairkan dan didinginkan (50oC), yang kemudian dicawankan. Pengenceran tetap perlu dilakukan sehingga pada cawan yang terakhir mengandung kolonikoloni yang terpisah di atas permukaan/di dalam cawan. 2. Isolasi pada medium cair Metode isolasi pada medium cair dilakukan bila mikroorganisme tidak dapat tumbuh pada agar cawan (medium padat), tetapi hanya dapat tumbuh pada kultur cair. Metode ini juga perlu dilakukan pengenceran dengan beberapa serial pengenceran. Semakin tinggi pengenceran peluang untuk mendapatkan satu sel semakin besar. 3 Isolasi sel tunggal Metode isolasi sel tunggal dilakukan untuk mengisolasi sel mikroorganisme berukuran besar yang tidak dapat diisolasi dengan metode agar cawan/medium cair. Sel mikroorganisme dilihat dengan menggunakan perbesaran sekitar 100 kali. Kemudian sel tersebut dipisahkan dengan menggunakan pipet kapiler yang sangat halus ataupun micromanipulator, yang dilakukan secara aseptis.
Isolasi Mikroba Setelah diperoleh biakan murni (koloni yang berasal dari sel tunggal), mikroorganisme tersebut siap dilakukan telaah dan identifikasi,dan kemudian ditumbuhkan sesuaitujuan. Pertumbuhan pada mikroorganisme diartikan sebagai penambahan jumlah atau total massa sel yang melebihi inokulum asalnya. Telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, bahwa sistem reproduksi bakteri adalah dengan cara pembelahan biner melintang, satu sel membelah diri menjadi 2 sel anakan yang identik dan terpisah. Selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri menjadi dua kali lipat disebut sebagai waktu generasi. Waktu generasi pada setiap bakteri tidak sama, ada yang hanya memerlukan 20 menit bahkan ada yang memerlukan sampai berjam-jam atau berhari-hari. Bila bakteri diinokulasikan ke dalam medium baru, pembiakan tidak segera terjadi tetapi ada periode penyesuaian pada lingkungan yang dikenal dengan pertumbuhan. Kemudian akan memperbanyak diri (replikasi) dengan laju yang konstan, sehingga akan diperoleh kurva pertumbuhan. Teknik pertumbuhan bakteri 1. Media biak dan persyaratan bagi pertumbuhan Untuk menumbuhkan dan mengembangbiakkan mikroorganisme diperlukan suatu substrat yang disebut media. Dikarenakan dengan media yang cocok, maka pertumbuhan mikroorganisme akan maksimal, subur dan cepat. Media biak (larutan biak) dapat di buat dari senyawa-senyawa tertentu. Media biak dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu: 1. Media biak sintetik : media ini dibuat dari senyawa – senyawa kimia. 2. Media biak kompleks, media ini dibuat dari senyawa yang mengandung ektrak ragi, otolitas ragi, pepton dan ekstrak daging. 3. Media biak padat, media ini dibuat dari larutan biak cair kemudian ditambahkan bahan pemadat yang memberi konsistensi seperti selai pada larutan air. Salah satu syarat untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah kadar ion hidrogen yang ada dilingkungannya. Perubahan kadar yang kecil saja sudah mampu menimbulkan pengaruh yang besar. Alasan inilah yang amat penting untuk menggunakan nilai pH awal yang optimum dan mempertahankannya sepanjang pertumbuhan. Organisme hidup paling baik pada pH 7. selain kadar ion hydrogen, dibutuhkan juga karbondioksida dan kadar air, suhu dan tekanan osmatik. Pertumbuhan mikroorganisme tergantung dari bahanbahan makanan. Pada dasarnya larutan biak sekurang-kurangnya harus mengandung sebagai berikut : 1. Kebutuhan nutrien pokok. Diantaranya karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, belerang, fosfat, kalium, magnesium dan besi. 2. Sumber-sumber karbon dan energi.
3. Zat-zat pelengkap, yaitu suplemen yang termasuk komponen dasar dan yang oleh beberapa mikroorganisme tidak dapat disintesis dari komponen-komponen sederhana. Dalam upaya mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan menyediakan media yang dikayakan. Kondisi pengkayaan adalah kondisi dimana organisme dapat tetap tumbuh dengan kehadiran saingan dengan menetapkan sejumlah faktor (sumber energi, sumber karbon dan sumber nitrogen akseptor hidrogen dan atmosfir gas, cahaya, suhu, pH dan selanjutnya) dapat ditetapkan kondisi lingkungan tertentu dan dapat ditanamkan populasi campur yang terdapat dalam tanah atau dalam lumpur. Bahan-bahan penanaman yang menguntungkan ialah bahan-bahan yang berasal dari tempat dimana telah terjadi “pengkayaan alamiah” seperti : mikroorganisme pengolah CO dalam limbah air pabrik gas, pengolah hemoglobin dalam limbah pajagalan dan oksidator hidrokarbon di ladang minyak bumi dan bak minyak. Untuk mikroorganisme yang sangat terspesialisasi harus dibuat kondisi pengkayaan yang sangat selektif. Medium mineral yang bebas nitrogen terikat dan tanpa cahaya merupakan medium yang amat selektif untuk sianobakteri yang memfiksasi nitrogen. Bila larutan medium yang sama dilengkapi dengan suatu sumber energi atau sumber energi dan sumber karbon maka pada keadaan gelap dan pada kondisi aerob dan tumbuh Azotobacter dan kalau Biak Murni. Untuk menumbuhkan dan mengembang-biakan mikroorganisme, diperlukan suatu substrat yang disebut media. Sedang media itu sendiri sebelum dipergunakan harus dalam keadaan steril, artinya tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme lain yang tidak diharapkan. Susunan bahan, baik berbentuk bahan alami (seperti tauge, kentang, daging, telur, wortel), ataupun bahan buatan (berbentuk senyawa kimia organik ataupun anorganik) yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme dinamakan media. Secara garis besar media dibedakan atas: 1. Media hidup Media hidup umumnya dipakai dalam laboratorium virology untuk pembiakan berbagai virus, sedangkan dalam bakterologi hanya beberapa jenis kuman tertentu saja dan terutama hewan percobaan. 2. Media mati Berdasarkan konsentrasinya: a. Media padat, terbagi media agar miring, agar deep dan agar sebar. Media ini umumnya dipergunakan untuk bakteri, ragi, jamur. b. Media cair, jika media tidak ditambahkan zat pemadat, biasanya media cair dipergunakan untuk pembiakan mikroalga, bakteri dan ragi. c. Media semi padat atau semi cair, jika penambahan zat pemadat hanya 50% atau kurang dari yang seharusnya. Ini umumnya diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme yang banyak memerlukan kandunga air dan hidup anaerobik atau fakultatif.
Berdasarkan komposisi atau susunan bahannya: Sesuai dengan fungsi fisiologis dari masing-masing komponen ( unsur hara ) yang terdapat di dalam media, maka susunan media pada semua jenis mempunyai kesamaan isi, yaitu: a. Kandungan air b. Kandungan nitrogen, baik berasal dari protein, asam amino, dan senyawa lain yang mengandung nitrogen. c. Kandungan sumber energi / unsur C, baik yang berasal dari karbohidrat, lemak,protein, ataupun senyawa-senyawa lain. d. Faktor pertumbuhan, umumnya vitamin dan asam amino. Berdasarkan kepada persyaratan,susunan media dapat berbentuk: a. Media alami, yaitu media yang disusun oleh bahan-bahan alami seperti kentang, tepung, daging, telur, ikan, umbi-umbian. b. Media sintetis, yaitu media yang disusun oleh senyawa kimia seperti media untuk pertumbuhan dan perkembang-biakan bakteri clostridium. c. Media semi sintetis, yaitu media yang tersusun oleh campuran bahanbahan alami dan bahan-bahan sintetis. Berdasarkan sifat Penggunaan media bukan hanya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme, tetapi juga untuk isolasi, seleksi,evaluasi, dan diferensiasi biakan yang didapatkan berdasarkan sifat-sifat media, yaitu: a. Media umum, kalau media a dapat dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan satu atau lebih kelompok mikroorganisme secara umum. b. Media penyangga, kalau media dipergunakan dengan maksud “memberikan kesempatan” terhadap suatu jenis atau kelompok mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari jenis atau kelompok lainnya yang sama-sama berada dalam satu bahan. c. Media selektif, adalah media yang hanya dapat ditumbuhi oleh satu atau lebih jenis mikroorganisme tertentu tetapi akan menghambat atau mematikan untuk jenis-jenis lainnya. d. Media diferensial, adalah media yang dipergunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme tertentu serta penemuan sifatsifatnya. e. Media penguji, yaitu media yang digunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan bantuan mikroorganisme. f. Media penghitungan, yaitu media yang digunakan untuk menghitung jumlah mikroorganisme pada suatu bahan. Media ini dapat berbentuk media umum, media selektif ataupun media differensial dan penguji.
Agar mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam media diperlukan persyaratan tertentu, yaitu: a. Bahwa di dalam media harus terkandung semua unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. b. Bahwa media harus dalam keadaan steril.
Gambar teknik pertumbuhan mikroba
KESIMPULAN Pekembangbiakan mikroorganisme dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Yang paling banyak terjadi adalah perkembangbiakan aseksual. Pembiakan aseksual terjadi dengan pembelahan biner, yakni satu sel induk membelah menjadi dua sel anak. Kemudian masingmasing sel anak membentuk dua sel anak lagi dan seterusnya. Pertumbuahan secara umum dapat didefinisikan sebagai prtambahan secara teratur secara komponen didalam sel hidup. Pada organisme multi seluler yang disebut pertumbuhan adalah peningkatan jumlah sel perorganisme, dimana ukuran sel menjadi lebih besar. Teknik inokulasi merupakan suatu pekerjaan memindahkan bakteri dari medium yang lama ke medium yang baru dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Dengan demikian akan diperoleh biakan mikroorganisme yang dapat digunakan untuk pembelajaran mikrobiologi. Pada praktikum ini akan dilakukan teknik inokulasi biakan mikroorganisme pada medium steril untuk mempelajari mikrobiologi dengan satu kultur murni saja. Populasi mikroorganisme tersebut pada umumnya terdapat dalam populasi campuran. Amat jarang mikroorganisme tersebut dijumpai sebagai satu spesies tunggal. Di sisi lain, untuk mencirikan dan mengidentifikasikan suatu spesies mikroorganisme tertentu, yang pertama
harus dilakukan adalah memisahkannya dari organisme lain, hingga diperoleh biakan murni. Biakan murni adalah biakan yang sel-selnya berasal dari pembelahan satu sel tunggal. Proses pemisahan/pemurnian dari mikroorganisme lain perlu dilakukan karena semua pekerjaan mikrobiologis, misalnya telaah dan identifikasi mikroorganisme, memerlukan suatu populasi yang hanya terdiri dari satu macam mikroorganisme saja. Teknik tersebut dikenal dengan Isolasai Mikroba. DAFTAR PUSTAKA Dwidjoseputro ,D, 1984 .Mikrobiologi Dasar. Jakarta ; Jembatan. Hadioetomo R.S, 1985 .Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Jakarta : Gramedia. Sastramiharja ,I. 1993 Peran Mikrobiologi Seminar Bioteknologi.Bandung Sastramiharja,I.1993. Isolasi Bakteri Seminar Bioteknologi. Bandung Surawiria, U. 1987.Mikrobiologi Air.Bandung : Alumni. Winarni, D. 1997. Diktat Teknik Fermentasi. Program Studi D3 Teknik Kimia FTI-ITS : Surabaya Waluyo, lud. 2004. Mikrobiologi umum. Umm press. Malang http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/teknologi-pembiakan-dan-pertumbuhanmikroorganisme/ Inokulasi Virus pada Telur Ayam Berembrio Virus adalah penyebab infeksi terkecil berdiameter 20-300 nm. Genom virus hanya mengandung satu macam asam nukleat yaitu RNA/DNA. Asam nukleat virus terbungkus dalam suatu kulit protein yang dapat dikelilingi oleh selaput yang mengandung lemak. Seluruh unit infektif disebut virion. Virus hanya bereplikasi dalam sel hidup. Replikasinya dapat intranuklear atau intrasitoplasmik (Jawetz, 1996). Diluar sel hidup partikel virus tidak dapat melakukan metabolisme, itu merupakan masa transisi dari virus. Fase transmisi diluar sel ini diselingi oleh fase reproduksi dalam sel, ketika itu virus terdiri atas gen virus aktif yang dengan menggunakan metabolisme inangnya menghasilkan genom turunan dan protein virus untuk dirakit menjadi virion baru (Fenner, 1993). Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah
kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Purchase, 1989). Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio (Purchase, 1989). Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus (Purchase, 1989). Newcastle Disease atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burungburung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100% (Alexander, 1991). Penyakit ini disebabkan oleh virus Paramixovirus dan memiliki kemiripan gejala dengan penyakit Avian Influenza dalam memicu pendarahan di bawah kulit dengan indikasi jengger dan kaki ayam berwarna kebiruan. Kemiripan gejala ini bisa dibedakan dengan cara melakukan bedah bangkai dan pemeriksaan laboratorium oleh ahli patologi. Gejala klinis pada penyakit terbagi menjadi tiga bentuk: Mildly Pathogenic (lentogenic), Moderately Pathogenic (mesogenic), dan Higly Pathogenic (velogenic). Velogenic gejala klinis yang tampak adalah adanya gangguan pernapasan, diare dengan feses hijau, dan kepala berputar (torticolis) (Haryanto 2006). Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negatif, panjangnya 15-16 kb dan mempuyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm. Genom virus Newcastle Disease membawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protein L, Protein H (hemaglutinin), protein N (neuraminidase), protein F (fusi), protein NP (nukleokapsid), protein P (Fosfoprotein), dan protein M (matik). Masa inkubasi penyakit ini bervariasi: antara 2-15 hari tergantung dari virus yang menginfeksi, umur dan status kekebalan ayam, infeksi dengan mikroorganisme lain, kondisi
lingkungan, dan jalur penularan. Kejadian infeksi oleh virus Newcastle Disease (ND) terutama terjadi secara inhalasi (Admin, 2008). Tujuan praktikum inokulasi virus pada telur ayam berembrio adalah memberikan pemahaman tentang macam-macam inokulasi virus, mengetahui bagaimana cara menginokulasi virus pada telur ayam berembrio, dan mengetahui ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus Newcastle Disease (ND).
1. Menggunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. 2. Peneropongan dilakukan pada telur yang digunkan. 3. Batas kantung udara dan letak kepala embrio ditentukan lalu diberi tanda. 4. Alkohol 70% dioleskan lalu suspensi virus diinokulasikan ke dalam ruang alantois (melewati batas kantung udara) dengan cara jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45o dan diinjeksikan 0,1-0,2 cc virus yang akan diinokulasikan. 5. Lubang ditutup kembali dengan lilin. 6. Lalu diinkubasi dengan suhu 38o-39oC selama 2-4 hari. 7. Hari ke-4 diamati embrio tersebut dan dibandingkan dengan telur yang tidak diinokulasikan virus. Newcastle Disease virus merupakan anggota pertama dari genus Paramyxovirus (PMV) yang diisolasi dari unggas pada tahun 1926. Virus yang tergolong genus Paramyxovirus dapat dibedakan dari virus lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan untuk bereplikasi di dalam sel-sel tertentu (Fenner,1993). Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Pertama kali yang harus dilakukan adalah telur berembrio yang berumur 9–11 hari diteliti dengan lampu teropong di kamar gelap untuk mengetahui apakah embrio tersebut masih hidup atau sudah mati, indikasi bahwa embrio tersebut masih hidup adalah adanya gerakan embrio di dalam telur (embrio akan menjauhi sinar), dan adanya pembuluh darah. Digunakan TAB umur 9– 11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang sehingga
daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih mudah dan mengurangi resiko. Kemudian bagian atas dan rongga hawa embrio diberi tanda pada kulit telurnya. Kedua tanda ini dilubangi setelah kulit telur didesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan iodium untuk menjaga agar daerah sekitar lubang tetap aseptis. Kemudian inokulasi virus dilakukan dengan cara memasukkan suspensi virus ke dalam lubang yang berada di atas embrio dengan menggunakan spuit 1 cc. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 450 ke arah bagian runcing telur agar tidak mengenai embrio. Injeksi dilakukan ke dalam cairan corioalantois untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang cocok dengan virus. Penambahan bahan ke dalam telur akan meningkatkan tekanan di dalam telur yang dapat mempengaruhi pertumbuhan embrio dan virus, oleh karena itu dibuatlah lubang pada kulit telur di atas rongga hawa untuk membuat jalan keluar sedikit udara sehingga tekanan dalam telur tetap konstan saat diinokulasi. Kemudian kedua lubang ditutup dengan menggunakan parafin solidum atau lilin untuk mengembalikan kondisi dalam telur yang steril, terhindar dari kontaminasi lingkungan luar. Inokulasi ini dilakukan di dalam safety cabinet bertujuan untuk mengurangi kontaminasi. Telur yang telah diinokulasi kemudian dieramkan pada suhu 370C selama 2–3 hari untuk kemudian diamati pertumbuhan embrio, perubahan yang terjadi, dan dilakukan panen virus. Ayam yang pernah terinfeksi Newcastle Disease (ND) dan tidak mengalami kematian akan memiliki kekebalan selama 6-12 bulan terhadap ND. Demikian juga dengan kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi. Sifat spesifik virus ND antara lain mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia. Virus Newcastle Disease bila dipanaskan pada suhu 56oC akan kehilangan kemampuan untuk mengaglutinasi eritrosit ayam, karena protein hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus (Alexander, 1991). Gejala Klinis Penyakit Newcastle Disease beragam dalam hal keganasan klinis dan kemampuan menyebarnya. Sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa, gejala klinis mungkin ringan. Gejala ringan ini tidak diikuti gangguan syaraf. Virus yang menyebabkan bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka mortalitas sampai 25%, seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini disebut mesogenik. Tipe mesogenik menimbulkan gangguan pernapasan antara lain sesak nafas, megap-megap, batuk dan bersin serta
penurunan produksi telur dan penurunan daya tetas. Wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangant tinggi kadang-kadang mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik. Infeksi velogenik menyebabkan ayam kehilangan nafsu makan, diare kehijauan, lesu, sesak nafas, megapmegap ngorok dan bersin. Ayam juga bias mengalami kelumpuhan pada sebagian atau total. Kemampuan menyibak virus F merupakanan faktor utama yang mempengaruhi virulensi.hemoragi pada Intestinum Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe :
1. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lesi menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap. 2. Bentuk Beach atau velogenic neitropic Newcastle disease (VVND) bersifat akut, menimbulkan gejala pernafasan dan syaraf, dan menimbulkan kematian ayam segala umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan 90 % pada ayam muda. 3. Bentuk Baudette, kurang ganas dibandingkan bentuk Beach menyebabkan kematian pada ayam muda, bentuk ini disebabkan oleh virus galur mesogenik. Pada ayam dewasa ditandai dengan penurunan produksi telur biasanya terjadi 1-3 minggu. 4. Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala klinisnya bersifat ringan atau tidak tampak jelas, tidak menimbulkan kematian pada ayam dewasa dan biasanya dipakai sebagai vaksin. 5. Bentuk enteric asimptomatik merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander, 1991). Newcastle disease adalah penyakit yang tersifat kompleks sehingga isolat strain virus berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derivat keparahan dari penyakit, termasuk pada spesies unggas yang sama. Patogenesis Ayam yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit dan sebagai sumber infeksi. Mulanya virus bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan; segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia skunder, ini menyebabkan infeksi pada organ seperti paru-paru, usus, dan system syaraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak nafas timbul akibat penyumbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak (Alexander, 1991).
Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu : rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar. Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain (Purchase, 1989). Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu : 1. In Ovo Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
Inokulasi pada ruang chorioalantois Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10% suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus influenza.
Inokulasi pada membran chorioalantois
Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas dari kerabang. Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas dari kerabang (Stephen, 1980).
Inokulasi pada yolk sac Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan di bagian ini adalah virus rabies. 2. In Vitro Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam cincang didalam serum atau larutan-larutan garam. Ini menuntun ke arah penggunaan kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini sel hewan dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan untuk sel bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi. Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur (Merchant and Packer, 1956). 3. In Vivo Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya FMDP atau Vesikular Stomatitis pada sapi.
Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut (Merchant and Packer, 1956). http://chanlightz.blogspot.com/2010/07/inokulasi-virus-pada-telur-ayam.html
UJI HA CEPAT DAN HA LAMBAT, UJI HI CEPAT DAN HI LAMBAT, UJI PRESIPITASI AGAR, DAN INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO 5:35 AM Diposkan oleh drh.Kunta Adnan S. UJI HA CEPAT DAN HA LAMBAT, UJI HI CEPAT DAN HI LAMBAT, UJI PRESIPITASI AGAR, DAN INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO I. TUJUAN a. Mengetahui prosedur, mekanisme, kegunaan dari HA dan HItest terhadap virus ND b. Mengetahui cara uji presipitasi agar c. Mengetahui ikatan kompleks antara Ab spesifik terhadap antigen d. Mengetahui cara inokulasi virus pada telur ayam berembrio
II. TINJAUAN PUSTAKA v VIRUS Virus adalah suatu unit nonseluler yang minimal mempunyai protein dan asam amino. Virus berbeda dengan mikroorganisme lain karena sifat-sifat berikut yaitu virus hanya mengandung salah satu asam nukleat saja, DNA atau RNA. Untuk reproduksinya hanya memerlukan asam nukleat saja. Virus tidak memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri di luar sel hidup. Di luar sel hospes, virus terdapat sebagai partikel virus yaitu virion. Virion terdiri dari asam nukleat dan selubung proteinnya yang disebut kapsid. Partikel virus ini disebut nukleocapsid. Nukleokapsid ada yang dalam keadaan telanjang dan ada yang terbungkus oleh suatu membran selubung. Sebagai contoh nukleokapsid yang telanjang dapat ditemukan virus Mosaik tembakau, virus kutil dan Adenovirus. Dan sebagai contoh nukleokapsid yang dibungkus membran sel selubung ialah virus influenza dan virus herpes. Virus dapat merusak seluruh kompleks sel dan menimbulkan kerusakan jaringan, bercak-bercak nekrosis dan piringan lisis. Lazimnya hospes virus yaitu tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme( Schlegel, 1994 ). v VIRUS NEWCASTLE DISEASE Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pernafasan dan sistemik, yang bersifat akut dan mudah sekali menular yang disebabkan oleh virus yang menyerang berbagai jenis unggas terutama pada ayam. Penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama, yaitu Pseudofowl pest, Pseudovogel
pest, Atypishe geflugelpest, Pseudopoultry plaque, avian pest, Avian distemper, Ranikhet dusease, Tetelo disease, Korean fowl plaque dan Avian pneumoencephalitis. Newcastle disease merupakan suatu penyakit yang bersifat komplek, oleh karena isolat dan strain virus yang berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derajat keparahan dari penyakit, termasuk pada spesies unggas yang sama, misalnya ayam (Tabu,2000). Virus ND dapat diidentifikasi dengan melihat morfologinya menggunakan mikroskop elektron dan dapat dengan uji serologis. Uji serologis yang dapat dipakai antara lain hemaglutinasi (HA), hambatan hemaglutinasi (HI), netralisasi virus dalam embrio ayam, netralisasi virus dalam kultur sel, MIT test, Egg bit, ELISA, agar gel presipitasi (AGP). Sedangkan antigen virus dapat dilacak dengan tehnik immunohistokimia dan immunofluorescence (Stephen, 1980). Penyakit ini disebabkan virus ND yang tergolong genus Avian Paramyxovirus dan famili Paramyxoviridae yang merupakan virus RNA yang mempunyai genom single strainded (ss) dengan polaritas negatif. Paramyxovirus berbentuk sangat pleomorfik biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm, tetapi ada juga yang berbentuk filamen. Virus yang tergolong genus paramyxovirus dapat dibedakan dari virus lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan untuk bereplikasi di dalam selsel tertentu(Tabu, 2000). Berdasarkan atas kesamaan antigenik pada uji hemaglutinasi inhibisi (HI), maka dikenal 9 serotipe Avian Paramyxovirus, yaitu paramyxovirus tipe 1 (PMV-1) sampai PMV-9. Diantara 9 serotipe tersebut maka virus ND termasuk dalam PMV-1 yang merupakan virus yang terpenting pada unggas. Avian Paramyxovirus tipe-2 (PMV-2) dapat ditemukan pada burung, termasuk burung peliharaan dan jarang pada ayam atau kalkun. Avian Paramyxovirus tipe-3 (PMV-3) dapat ditemukan pada burung peliharaan dan kalkun di kanada, USA, UK, Perancis dan Jerman (Fenner,1993). Berdasarkan atas virulensinya, maka virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik, mesogenik dan lentogenik. Pembagian tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio setelah disuntik oleh virus ND tertentu melalui selaput alantois . waktu kematian embrio untuk galur velogenik adalah kurang dari 60 jam , galur mesogenik sekitar 60-90 jam dan galur limtogenik lebih dari 90 jam . berbagai galur virus ND tersebut dipakai untuk menyatakan virys yang sangat virulen, moderat virulen dan kurang virulen. Semua avian paramyxovirus tumbuh didalam telur ayam bertunas. Berbagai isolat dan starain virus ND berbeda dalam kemampuan dan waktu yang dibutuhkan untuk membunuh telur ayam bertunas. Pada ayam , patogenesitas dari virus ND terutama dipengaruhi oleh galur virus ND, rute infeksi, umur ayam dan kondisi lingkungan (Tabu, 2000). Virus ND yang terutama bereplikasi di dalam salauran pencernaan akan menyebabkan adanya feses yang tercemar oleh virus tersebut. Penularan virus ND juga dapat terjadi secara oral akibat ingesti feses yang mengandung virus tersebut ataupun secara tidak langsung melalui pakan atau minuman yang tercemar atau perinhalasi akibat menghirup partikel feses yang mengering (Fenner, 1993). Penularan virus ND dapat secara langsung dari ayam yang sakit ke ayam yang peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau pekerja yang tercemar virus tersebut. Cara penularan virus ND dari ayam yang sakit ke ayam yang peka tergantung pada tempat bereplikasi dari virus tersebut. Ayam yang menunjukkan gejala gangguan pernafasan akan menyebabkan adanya udara bercampur titik air yang mengandung virus ND yang berasal dari mukus ayam sakit. Penularan virus ND dapat terjadi secara inhalasi (Tabu, 2000). Virus ND dapat ditemukan dalam telur ayam yang terinfeksi virus tersebut tapi penularan secara
transovarial mungkin tidak terjadi oleh karena embrio sudah mati sebelum telur menetas. Virus ini juga dapat menembus kerabang telur untuk menginfeksi embrio(Fenner, 1993). v HEMAGLUTINASI DAN PENGHAMBATAN HEMAGLUTINASI Virion dari beberapa keluarga virus berikatan dengan sel darah dan menyebabkan hemaglutinasi. Bila antibodi spesifik dan virus dicampur sebelum ditambahi sel darah merah, hemaglutinasi akan dihambat. Uji penghambatan hemaglutinasi ternyata sensitif kecuali untuk togavirus, sangat spesifik, karena uji itu mengukur antibodi yang berikatan pada protein permukaan yang paling gampang mengalami perubahan antigenik. Di samping itu, uji ini sederhana mengidentifikasi isolat dari virus yang menyebabkan hemaglutinasi(Fennner, 1993). Beberapa virus mampu mengaglutinasikan sel darah merah. Kemampuan ini sebagai contoh dari aktivitas biologik dan aktivitas ini dapat dihambat oleh antibodi tertentu. Sisi partikel virus yang spesifik dapat berinteraksi dengan reseptor mukoprotein pada sel darah merah dan permukaan sel lain. Interaksi dari sisi reseptor dan virion membuat aglutinasi sel darah merah menjadi tampak. Enzim virus neuraminidase memecah ikatan antara virus dan sel, dan melepas keduanya ke dalam larutan. Antigen adalah bagian virus yang mengandung ikatan dan antigen dari virus digunakan untuk uji hemaglutinasi(Stephen, 1980) Virus-virus Avian dapat mengaglutinasi sel darah merah, termasuk didalamnya NDV (Newcastle Disease Virus), Virus influensa dan virus adenovirus127. Hambatan dari aglutinasi oleh antibodi spesifik merupakan dasar dari uji HA dan HI cepat pada kaca benda. Uji HA dan HI cepat pada kaca benda merupakan uji yang sesuai dan cepat dilakukan yang penerapannya lebih luas untuk kontrol berbagai penyakit Avian seperti Newcastle Disease maupun Micoplasmosis.Tes HA positif akan menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping. HI cepat pada kaca benda menunjukkan positif apabila tidak terlihat aglutinasi pada cairan korioalantois yang diberi antiserum NDV. Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedang uji HI cepat biasanya dipakai untuk identifikasi NDV. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi ( end point ) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif. Hal itu ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumur (Stephen, 1980). Prinsip dari uji HI lambat adalah mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Uji ini untuk menentukan titik antibodi terhadap hemaglutinasi NDV. Bila terdapat antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk endapan (Allan, 1978). Hemaglutinasi oleh virus ND dapat dihitung dan di bawah kondisi standar dalam cairan dapat di lihat. Reaksi HA dapat di hambat oleh serum immune yang spesifik. Beberapa strain virus ND dapat ditunjukkan virulensinya dalam aktivitas HA dengan eritrosit mamalia dan dalam panas yang stabil. Antigen yang tidak signifikan tidak dapat dilaporkan(Purchase, 1979). v AGAR GEL PRESIPITATION ATAU UJI PRESIPITASI AGAR Presipitasi antigen oleh antibodi dapat pula terjadi pada medium semisolid yang biasa dipakai yaitu agar. Uji ini disebut agar gel presipitation test. Prinsip dari uji ini yaitu adanya ikatan antibodi spesifik dengan antigen. Uji ini dapat disebut juga dengan double immunodifution test atau ouchterlony´s double difution yang menempatkan antigen antibodi pada agar murni yang terpisah dalam cawan
petri. Dapat ditemukan bahwa Ag + Ab menyebar ke dalam agar murni. Dan pada awal pembentukan pita presipitasi disebabkan karena adanya keseimbangan rasio antara Ag-Ab. Jika terjadi kelebihan antigen, maka pita presipitasi yang terbentuk akan bergerak mendekati sumuran antibodi. Meskipun terjadi difusi yang radial dari sumuran, pita presipitasi tampak seperti lengkungan diantara sumuran Ag-Ab(Allan, 1978).Faktor-faktor yang mempengaruhi difusi di antara ikatan antigen dan antibodi yaitu berat molekul, bentuk, konsentrasi antigen dan antibodi dan suhu yang meningkat (Purchase, 1979). v INOKULASI VIRUS Walaupun ditemukan banyak tehnik diagnosis secara cepat untuk penyakit virus, isolasi virus masih merupakan standar emas yang harus di pakai bandingan bagi metode yang lebih bagus. Di samping itu, isolasi virus merupakan satu-satunya metode yang dapat mendeteksi, dengan mengidentifikasi virus yang sudah diketahui sebelumnya atau bahkan menemukan agen yang sepenuhnya baru (Fenner, 1993). Virus dapat di tanam melalui tiga cara yaitu 1. IN VIVO Dengan cara ini virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya FMDP atau Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut 2. IN OVO Metode ini merupakan penamaan virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara : v Inokulasi pada ruang korioalantois Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat di uji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10% suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi di panen setelah 1-4 hari inokulasi dilakukan. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran di tekan ke atas yolk sack dan cairan di ambil dengan spuit an dimasukkan ke dalam cawan. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). v Inokulasi pada membran korioalantois Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horisontal di atas tempat telur. Disinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencapi membran kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan di inkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan yolk sack dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas dari kerabang. Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas dari kerabang. v Inokulasi pada yolk sack
Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5 - 7 hari. Post inokulasi di inkubasi selama 3-10 hari. Virus di inokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri. 3. IN VITRO Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan. Secara umum kultur jaringan terdiri dari jaringan hidup yang di ambil secara aseptis dari hewan hidup, setelah itu jaringan di campur dengan plasma, serum,Ekstrak jaringan dan suspensi yang dilakukan dalam garam buffer yang kemudian di simpan di dalam tabung atau botol. Virus kemudian diinokulasikan dan diinkubasikan 2-5 hari (Stephen, 1980). v PERKEMBANGAN VIRUS DALAM TELUR BEREMBRIO Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi, perkembangan dan karaterisasi avian virus serta untuk memproduksi vaksin virus. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu: rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan,status imun kelompok dimana telur ayam berada(Purchase,1989 )Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik ( spesific pathogen free flock )atau jika tidak mungkindapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi NDV. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu : kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesipada embrio seperti kekerdilan , hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki,focinekrotik pada hepar. Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi : kemampuan cairan amnionallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain (Purchase , 1989 ). Struktur telur embrio Langsung dibawah cakang telur terdapatmembran kulit telur yang fibrinous. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas didalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat bervaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio. Pembentukan membrqan ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantoing kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio ( Purchase, 1989 ). Asal telur dan prosedur sebelum inkubasi Telur ayam fertil kurang dari satu minggu harus berasal dari kelompok yang sehat, aktif, dan bebas
patogen ( SPF, spesific patogen free ) yang secara teratur diperiksa untuk virus unggas dan bakteri patogen pada umumnya. Telur berembrioyang digunakan dapat berasal dari spesies lain, misalnya : puyuh, bebek, kalkun. Pada induk yang imun antibodi dapat ditemukan pada kuning telur. Telur dari induk ayam yang positifantibodi dapat digunakan untuk isolasi dan perkembangan bila rute inokulasi selain melalui kantong kuning telur. Prosedur isolasi harus selesai sebelum embrio mencapai umur 15 hari inkubasi ( waktu dimana antibodi mulai diabsobsi oleh embrio dan bersirkulasi dalam virus ). Empat rute yang paling umum untuk inokulasi pada telur berembrio melalui ruang allantois, kantung kuning telur,CAM,dan kantong amnion(Purchase,1989)
III. MATERI DAN METODE A. Uji Hemaglutinasi (HA), Uji Hemaglutination Inhibition (HI) dan Uji Presipitasi Agar (UPA) Ø Materi a. Alat : - Kaca benda - Tusuk gigi - Kotak pembaca aglutinasi - Pipet 1 ml dan 5 ml - Pelat mikro - Oven - Pipet mikro b. Bahan : - Cairan korioalantois - Eritrosit ayam 0,5 % dan 2,5 % - PBS (Phosphat Buffer Saline) pH 7 - Serum pekat - Virus - Larutan agar - 8,5 % NaCl - 0,1 % Phenol Ø Metode
§ HA cepat pada kaca benda Teteskan setetes cairan korioalantois diatas kaca benda l Teteskan setetes suspensi eritrosit ayam 2,5 % di dekat tetesan cairan korioalantois, ditempat yang berjauhan teteskan pula suspensi eritrosit ayam sebagai kontrol l Campur cairan korioalantois dan suspensi eritrosit ayam dengan menggoyang-goyangkan kaca benda atau dengan batang korek api, tusuk gigi atau aplikator l Tunggu 5 menit
l Periksa di atas kotak pembaca aglutinasi l HA + akan terlihat adanya suspensi agregat eritrosit yang tampak berkeping-keping l Bandingkan dengan kontrol, tetesan eritrosit yang tidak dicampur dengan cairan korioalantois § HI cepat pada kaca benda Teteskan setetes cairan korioalantois di dua tempat yang terpisah 2 cm pada kaca benda l Teteskan setetes serum anti NDV pada salah satu tetesan cairan korioalantois, campur dan tunggu 5 menit l Teteskan eritrosit ayam pada kedua tetesan, campur, tunggu 5 menit, amati di atas kotak pembaca aglutinasi l Bila pada tetesan yang diberi serum anti NDV tidak terlihat aglutinasi dan tetesan lain menunjukkan aglutinasi maka virus yang diuji NDV. Bila keduanya ada aglutinasi berarti virus yang tumbuh bukan NDV l Kalau tidak ada aglutinasi pada keduanya, dan bila ada pertumbuhan virus berarti bukan virus yang mampu mengaglutinasi eritrosit ayam § HA lambat dengan pelat mikro Isi lubang no. 1-12 pada pelat mikro dengan PBS 0,05 ml l Pada lubang yang pertama dimasukkan cairan alantois 0,05 ml dengan pipet mikro, campur pakai diluter l Pindahkan 0,05 ml campuran dari lubang pertama ke lubang kedua dengan diluter, dan dari lubang kedua dipindahkan ke lubang ketiga dan seterusnya sampai lubang ke-11. Dari lubang ke-11 tidak dipindahkan ke lubang 12 tapi dibuang l Masukkan eritrosit ayam 0,5 % sebanyak 0,05 ml ke lubang 1-12 l Tunggu sampai lubang ke-12 terjadi endapan eritrosit, pembacaan dimulai § HI lambat dengan pelat mikro Masukkan 0,025 ml PBS ke lubang 1-12 menggunakan pipet/dropper 0,025 ml l
Masukkan serum pekat 0,025 ml ke lubang pertama, campur memakai diluter 0,025 ml, masukkan ke lubang ke-2 dan seterusnya sampai lubang ke-10 l Masukkan PBS 0,025 ml hanya pada lubang 1 dan 12 l Masukkan virus 4 HA pada lubang 2-11 sebanyak 0,025 ml menggunakan pipet 0,025 ml l Campur dengan menggoyangkan plate, tunggu 30 menit l Masukkan eritrosit ayam 0,5 % sebanyak 0,05 ml ke lubang 1-12 l Tunggu sampai lubang 12 terjadi endapan eritrosit, pembacaan dimulai (30-60 menit) § Uji Presipitasi Agar Buat lapisan tipis agar pada kaca benda, bersihkan kaca benda dari kotoran dan lemak baru ditambahkan 3 ml 0,3 % larutan agar dalam air yang dipanaskan pada penangas air mendidih.. Setelah padat kaca benda ditaruh dalam oven 80°C atau tempatkan dalam inkubator 37°C sampai agar kering l Tempatkan kaca benda yang sudah dilapisi agar pada tempat yang datar. Tambahkan larutan agar 1 % dalam 8,5 % NaCl dalam PBS, tambahkan phenol sebagai pengawet, biarkan agar mengeras l Buatlah beberapa sumuran l Teteskan 0,05 ml anti NDV di tengah sumuran dan pada sumuran disekitarnya ditetesi 0,05 suspensi NDV l Tempatkan kaca benda pada cawan petri dengan kertas/kapas basah dan batang kaca untuk menempatkan kaca benda l Tempatkan cawan petri diatas meja datar, amati adanya presipitasi di antara sumuran antigen dan anti serum. Perhatikan adanya garis-garis presipitasi, garis identitas dan non identitas B. Inokulasi Virus Pada Telur Berembrio Ø Materi a. Alat : - Pompa suntik 1 ml dan 5 ml dengan jarum ukuran 27/28 - Lampu teropong - Bor untuk melubangi telur - Bejana gelas, cawan petri, nampan (stainless steel), nampan telur (egg tray), tabung reaksi, lampu spiritus, usa, safeti cabinet, kanule.
b. Bahan :
- Telur ayam berembrio - Larutan/suspensi antibiotika - Larutan PBS pH 7,2 - Kaldu alkalis - Parafin padat - Alkohol 70 % dengan preparat Iodium organik Ø Metode Periksa telur-telur berembrio yang telah dieramkan 10-14 hari dengan lampu di kamar gelap, apakah mati atau hidup l Telur-telur berembrio yang hidup diberi tanda dengan pensil dimana letak kepala embrio dan batas rongga hawa l Ambil telur yang akan diinokulasikan, suci hamakan kutub yang mengandung ruang hawa dan kerabang di atas embrio yang telah diberi tanda tadi dengan menggosokkan Iodium tincture atau alkohol 70 % ditambah boicid/betadine l Buatlah lubang di atas embrio dan di kutub yang mengandung ruang hawa dengan memakai bor kecil atau gerinda l Inokulasikan 0,1 ml suspensi virus yang telah disiapkan dengan mempergunakan kanule yang cukup halus ke dalam ruang alantois l Lubang ditutup dengan parafin yang sudah dicairkan, lubang di kutub juga ditutup dengan parafin l Eramkan telur berembrio tersebut selama 2-3 hari dalam mesin tetas IV. HASIL a. Uji HA cepat pada kaca benda v Eritrosit ayam + cairan korioalantois ® tampak suspensi agregat eritrosit v Eritrosit ayam tanpa cairan korioalantois ® tidak ada suspensi agregat eritrosit b. Uji HI cepat pada kaca benda v Cairan korioalantois + serum anti NDV + eritrosit ayam ® tidak terjadi aglutinasi - Cairan korioalantois + eritrosit ayam ® tampak adanya aglutinasi c. Uji HA lambat pada pelat mikro Urutan Aglutinasi sampai pelat no Titer virus 48
Rata-rata titer = 48/4 = 12 Dalam 0,2 ml cairan alantois terdapat 12 HA unit virus d. Uji HI lambat pada pelat mikro Urutan Aglutinasi sampai pelat no Titer virus 22
Rata-rata titer antibody = 22/4 = 5,5 e. Uji presipitasi agar Tidak terbentuk garis presipitasi berwarna putih diantara serum dan antigen ( virus) f. Penanaman telur ayam berembrio dan panen cairan alantois V . PEMBAHASAN Uji HA cepat Tujuan dari uji HA adalah mengetahui kemampuan virus untuk mengaglutinasi virus. Untuk uji HA cepat maka virus dalam cairan allantois diteteskan ke kaca benda, kemudian didekat tetesan tersebut diteteskan suspensi eritrosit ayan 23,5% dan satu tetes lagi di tempat yang berlainan sebagai control. Campurkan virus dengan eritrosit tunggu lima menit dan amati apakah ada agregat atau tidak. Dalam praktikum nampak eritrosit hancur berkeping – keeping karena adanya proses hemaglutinasi dari protein hemaglutinin virus terhadap eritrosit. Virus memiliki protein hemaglutinin yang mampu mengaglutinasi eritrosit. UJI HA lambat Pada uji HA lambat dapat diamati bentuk hemaglutinasi eritrosit pada dasar tabung yang berbentuk seperti bunga. Untuk uji HA lambat teramati reaksi hamaglutinasi pada pelat mikro rata – rata sampai pelat yang ketiga dan keempat. Titer virus yang diperoleh rata – rata adalah 12 HA unit virus jadi dalam 0,2 ml cairan allantois diperoleh terdapat virus 12 HA unit ( HA unit adalah satuan penghitungan virus). Interpretasi dari data adalah jika titer virus tinggi maka prognosanya kurang baik karena infeksi yang berjalan dalam tubuh berlangsung signifikan. Pada uji ini bisa jadi reaksi aglutinasi yang terjadi sudah tidak akurat lagi karena pengamatan dilakukan sudah agak lama setelah terjadinya proses reaksi aglutinasi sehingga bisa jadi tercampur dengan reaksi elusi karena virus juga memiliki protei neuraminidase yang mampu mengelusi reaksi aglutinasi yang sudah jadi. UJI HI cepat Prinsip HI adalah dengan uji ini diharapkan reaksi aglutinasi dari protein virus dapat dicegah dengan antibodi antigen yang terdapat dalam serum. Pada uji cepat terlihat darah tidak mengalami aglutinasi karena antigen virus yang mengaglutinasi yaitu agglutinin diikat oleh antibody dalam serum sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengaglutinasi. UJI HI lambat menggunakan pelat mikro Pada uji lambat digunakan pelat mikro sebanyak 4 baris, hal ini dimaksudkan agar hasil yang didapat lebih akurat yaitu dengan merata- ratakan hasil yang didapat dari tiap baris. Pada uji HI lambat control virus adalah lubang no 11, control eritrosit adalah lubang no 12 dan
control serum adalah lubang no 1. Uji ini dapat digunakan untuk menentukan titer antibody yang ada dalam serum darah ayam dan mampu digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kekebalan ayam terhadap virus tersebut. Pada praktikum digunakan virus 4 HA yaitu virus yang sudah mengalami pengenceran 3 x dengan cara mencampur 1 bagian virus dengan 3 bagian pengencer. Setelah 30 menit kemudian diadakan pembacaan dengan cara memiringkan lubang 450. Pada uji ini diperoleh hasil yang bervariasi. Eritrosit yang meleleh pada deret E, F, G, H berturutturut adalah 2, 3, 1, 3 dengan demikian titer yang diperoleh adalah rata – rata 5,5. Interpretasi dari data adalah jika titer antibody terhadap ND tingi maka prognosanya baik karena tubuh mempunyai respon yang baik dalam upaya untuk mengatasi gangguan infeksi. UJI Agar Gel Presipitasi Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah serum atau antibody yang ditest merupakan antibody spesifik terhadap virus digunakan yang telah diketahui. Uji ini dapat pula digunakan untuk mengetahui virus spesifik yang dapat bereaksi dengan antibody yang telah diketahui. Jadi proses reaksinya dapat dibalik. Pada uji agar gel presipitasi digunakan pure agar dari Euchemia spinosum. Reaksi positif akan ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi yang berwarna putih yang ada antara antibody dengan virus yang digunakan. Hal ini terjadi karena virus atau antigen dapat berdifusi melalui pori-pori gel dan bereaksi. Virus yang memiliki kecocokkan dengan jenis antibody yang digunakan akan bereaksi positip dengan membentuk ikatan antigen-antibodi berupa garis presipitat berwarna putih. Pada praktikum tidak ditemukan adanya garis presipitat warna putih, hal ini dimungkinkan disebabkan karena kesalahan prosedur uji, factor- factor eksternal seperti kelembapan, suhu, konsentrasi atau factor internal seperti ketidak cocokkan antara virus dengan antibody yang digunaka sehingga tidak ada reaksi antigen-antibodi. Kelembaban harus sesuai untuk interaksi virus dengan antibodi. Jika kelembaban rendah maka agar akan cepat kering sehingga pori – pori mengecil dan antigen –antibodi tidak bisa bereaksi dan difusi tidak bisa berjalan secara maksimal. Suhu yang cocok juga harus dipertimbangkan karena suhu dapat berpengaruh terhadap kelembaban, suhu yang baik adalah suhu kamar antara 27- 300 C dan sesuai dengan suhu dimana virus dapat bertahan dan survive. Konsentrasi antigen dan antibodi akan menentukan apakah masing – masing memiliki kecukupan jumlah molekul sehingga virus dapat berikatan. Antibodi dan antigen yang cocok menentukan ada tidaknya garis presipitasi. Konsentrasi agar menentukan lebarnya pori – pori, sehingga menentukan kemampuan difusi dari antigen dan antibodi, pH akan mempengaruhi kestabilan struktur antigen antibodi yang keduanya merupakan protein. Inokulasi telur dengan virus ND Praktikum ini digunakan untuk mengetahui kultur virus dengan menggunakan telur. Kultur virus dapat dilakuka dengan cara invivo yaitu dalam hewan percobaan, secara inovo dengan menggunakan telur dan secara invitro dengan menggunakan kultur sel. Percobaan menanam virus ND dilakukan dengan telur usia 9-10 hari karena pada waktu tersebut telur berembrio dalam kondisi aviabilitas dan sensitivitas paling baik untuk penanaman virus. Digunakan telur SPF dari induk yang gnotobiotik. Telur ini dinilai steril dan dapat digunakan untuk inokulasi dengan baik tanpa adanya kontaminasi dari berbagai parasit ataupun bakteri yang dapat ditularkan dari induk jika induk pernah terinfeksi atau mendapatkan antibody kekebalan dari induk. Virus hanya mampu bereplikasi dalam sel yang hidup karena dalam sel yang mati atau bahan sintetis biasanya virus hanya sebaga partikel inert yang tidak memiliki respon reaksi terhadap lingkungan sekitarnya.
Sebelum digunakan telur diteropong, hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui apakah telur mengandung embrio yang sehat dan hidup. Adanya embrio dapat dilihat dari adanya pergerakan dalam telur saat diteropong, demikian juga adanya pembuluh darah yang nampak lebih besar. Setelah diteropong dan dipastikan telur berembrio hidup maka telur diberi betadin / iodine dulu sebagai desinfektan agar tidak terjadi kontaminasi saat penanaman virus. Lalu dibor dan virus diinjeksikan pada rongga korioallantois. Lalu ditutup menggunakan paraffin solidum agar pertumbuhan virus tanpa kontaminasi dari lua rdan diinkubasi selama 2-3 hari dengan posisi tegak rongga udara berada diatas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi pertumbuhan virus adalah rute inokulasi, umur embrio, temperature inkubasi, lama waktu inkubasi, volume dan pengenceran inokulum, yang digunakan, status imun dari induk atau kelompok darimana telur berasal. Membuka telur ayam Cara membuka embrio adalah dengan cara menggunakan pinset embrio dibuka pada bagian rongga udara lalu selaput corioallantois dibuka, embrio dipinggirkan dengan menggunakan pinset dipinggirkan embrionya untuk mendapatkan rongga korioallantois. Kemudian cairannya diambil dengan menggunakan spuit. Embrio telur diambil dan diamati, tapi dalam praktikum kita tidak bisa membandingkan dengan embrio normal karena embrionya dari telur control tidak ada. V. KESIMPULAN 1. Virus ND (Newcastle Disease) diinokulasi pada ruang chorio - alllantois. 2. Telur diinokulasi virus ND (Newcastle Disease) tanpa embrio mengalami hemorrhagi. 3. Virus dapat dikumpulkan dengan mengambil cairan allantois. 4. Pada uji hemaglutinasi (HA) cepat terjadi hemaglutinasi eritrosit ayam oleh virus ND (Newcastle Disease) yang ditunjukkan dengan adanya agregat atau presipitat. 5. Pada uji HI lambat dapat ditentukan titer antibodi adalah 5,5 dan titer virus adalah 12 HA unit virus. 6 Pada uji presipitasi agar (UPA) tidak terbentuk garis presipitasi.
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under . Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site. http://www.fedcosierra.com/2007/05/uji-ha-cepat-dan-ha-lambat-uji-hi-cepat.html
Your Smille My Life
Jumat, 04 Desember 2009 INOKULASI VIRUS dan UJI HA-HI INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO, UJI PRESIPITASI AGAR, SERTA UJI HA-HI CEPAT DAN UJI HA-HI LAMBAT I. TUJUAN a. Inokulasi virus pada telur berembrio Mengetahui cara menginokulasi virus pada telur ayam berembrio dan cara pemanenannya. b. Uji Presipitasi Agar (UPA) 1. Mengetahui interaksi antara antigen dan antibodi virus ND ayam secara kualitatif. 2. Menentukan jenis virus berdasarkan antigen. c. Hemaglutination (HA) dan Hemaglutination Inhibition (HI) Test
1. Mengetahui ada tidaknya pertumbuhan virus ND dengan memakai uji HA dan HI cepat. 2. Mengetahui ada tidaknya pertumbuhan virus ND dengan memakai uji HA dan HI lambat. 3. Mengidentifikasi virus yang menghambat aglutinasi dengan uji HI cepat. 4. Mengukur titer antibodi terhadap virus ND dengan uji HI lambat. 5. Uji hemaglutinasi dengan pelat mikro untuk mengetahui titer enceran virus yang terkecil yang masih mampu mengaglutinasi eritrosit ayam dan hambatan aglutinasi dengan pelat mikro berguna untuk mengetahui titer pengenceran terkecil antibodi pada serum ayam yang masih mampu menghambat aglutinasi virus tertentu.
II. TINJAUAN PUSTAKA Virus adalah penyebab infeksi terkecil berdiameter 20-300 nm. Genom virus hanya mengandung satu macam asam nukleat yaitu RNA/DNA. Asam nukleat virus terbungkus dalam suatu kulit protein yang dapat dikelilingi oleh selaput yang mengandung lemak. Seluruh unit infektif disebut virion. Virus hanya bereplikasi dalam sel hidup. Replikasinya dapat intranuklear atau intrasitoplasmik (Jawetz, 1996). Diluar sel hidup partikel virus tidak dapat melakukan metabolisme, itu merupakan masa transisi dari virus. Fase transmisi diluar sel ini diselingi oleh fase reproduksi dalam sel, ketika itu virus terdiri atas gen virus aktif yang dengan menggunakan metabolisme inangnya menghasilkan genom turunan dan protein virus untuk dirakit menjadi virion baru (Fenner, 1993).
VIRUS DAN PROTEIN VIRUS Virus merupakan mikroorganisme uniseluler dengan diameter 20–300 nm mengandung satu jenis asam nukleat RNA atau DNA sebagai genomnya. Partikel virus lebih kecil daripada bakteri, virus tidak tumbuh pada media buatan.Virus hanya melakukan multiplikasi dalam sel hidup. Virus tidak membelah secara binner. Satu partikel virus yang komplek disebut virion. Protein yang ineksius yang ditemukan ada hewan dan manusia disebut prion. Siklus hidup virus ada 2 macam yaitu : 1. Fase intraseluler : fase ketika melakukan kegiatan (reproduktif) 2. Fase ekstraseluler : fase ketika tidak melakukan kegiatan (transmisi / inaktif) Di luar sel hidup partikel virus tidak dapat melakukan metabolisme, fase ini disebut dengan fase transmisi dari virus. Fase transmisi diluar sel ini diselingi oleh fase reproduksi dalam sel, ketika itu virus terdiri dari gen virus aktif yang dengan menggunakan sistem metabolisme inangnya menghasilkan genom turunan dan protein virus untuk dirakit menjadi virioun baru. Viral atau virus replikasi terjadi di dalam sitoplasma dan di dalam nukleus, adapun fase – fase dari reproduksi atau replikasi virus adalah attachment, penetration, uncoating, transcription of early mRNA, translation of early protein, replication of viral DNA, transcription of late mRNA, translation of late protein, assembly of virion dan akhirnya release. Protein Virus
Beberapa protein tersandi-virus merupakan protein struktur yaitu merupakan bagian dari virion.Peran dari protein struktur adalah memberi lapisan perlindungan terhadap asam nukleat . Termasuk ligan yang berfungsi untuk perlekatan pada sel hospes. Ada 2 macam protein virus, yaitu : 1. Protein structural Terdiri dari Capsomer yang menyusun kapsid dan glikoprotein pada amplop virus. 2. Protein non-struktural Berkaitan dengan virion dan merupakan enzim yang sebagian besar terlibat dalam transkripsi,regulasi dan replikasi. Contohnya enzim polymerase ketika berada dalam sel hospes. Dan contoh lainnya adalah transcriptase yang mentranskripsi mRNA dari genom virus ds DNA atau ds RNA atau dari genom virus dengan ssRNA polaritas minus. VIRUS NEW CASTLE DISEASE (Paramyxovirus unggas I ) Newcastle disease virus Virus classification Group: Group V ((-)ssRNA) Order:
Mononegavirales
Family: Paramyxoviridae Genus: Avulavirus Species: Newcastle disease virus (http://en.wikipedia.org/wiki/Newcastle_disease) http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Newcastle_disease_in_a_mallard.JPG Famili Paramyxoviridae mempunyai 3 genus, Paramyxovirus, Morbilivirus, dan Pneumovirus. Genus yang menyebabkan kerugian ekonomis paling besar adalah Newcastle Disease virus, Rinderpest virus dan Bovine Respiratory Syncitium Virus. Paramyxovirus memiliki nukleokapsid bagian dalam yang berukuran 18 nm. Nukleokapsid dan hemaglutinin dibentuk dalam sitoplasma. Genom virus bersifat linear, RNA rantai tunggal (single strainded RNA) dengan berat molekul (BM) 56
7 x 10 , tidak bersegmen, dan virionnya polimorfik (Jawetz, 1996).
Newcastle Disease virus merupakan anggota pertama dari genus Paramyxovirus (PMV) yang diisolasi dari unggas pada tahun 1926. Virus yang tergolong genus Paramyxovirus dapat dibedakan dari virus lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan untuk bereplikasi di dalam sel-sel tertentu (Fenner,1993) Tetelo merupakan penyakit ayam yang sangat merugikan, pertama kali ditemukan oleh Kraneveld di Jakarta (1926). Setahun kemudian, virus tetelo ditemukan juga di Newcastle (Inggris). Sejak saat itu, penyakit ini dikenal sebagai newcastle disease (ND) dan ditemukan di berbagai penjuru dunia. Di India, penyakit ini dikenal dengan nama aanikhet. Virus ND termasuk dalam genus Rubulavirus, famili Paramyxoviridae. Tidak semua virus ND yang ditemukan bersifat ganas. Beberapa di antaranya hanya bersifat ringan, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bibit vaksin untuk mencegah penyakit ND yang ganas. Mengingat virus ND ada yang ringan dan ganas, ditentukan empat kelompok keganasan virus ND : a. Infeksi virus velogenik-viserotropik(vvND) Menimbulkan penyakit akut dengan kematian tinggi b. ND - Neurotropic Velogenic Akut dan fatal pada ayam di berbagai umur disertai gejala syaraf dan respirasi, dan terdapat adanya lesi pada usus. c. Virus Mesogenik Menyebabkan kematian akut dengan kematian moderat disertai gejala pernafasan dan syaraf d. Virus Lentogenik Bertanggung jawab terhadap infeksi pernafasan ringan (www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/111/newcas... dan Pedoman Penyakit Unggas)
Untuk mengetahui keganasan virus ND dapat dilakukan dengan cara menghitung waktu kematian rata-rata (mean death time) pada telur berembrio yang ditulari dengan virus ND.
(www.poultryindonesia.com)
Gambar struktur virus ND http://www.fao.org/DOCREP/005/AC802E/ac802e0o.htm
Berdasarkan atas kesamaan antigenik pada uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI), maka dikenal 9 serotipe Avian Paramyxovirus, yaitu Paramyxovirus tipe 1 (PMV-1) sampai PMV-9. Diantara 9 serotipe tersebut maka virus ND termasuk dalam PMV-1 yang merupakan virus yang terpenting pada unggas. Avian Paramyxovirus tipe-2 (PMV-2) dapat ditemukan pada burung, termasuk burung peliharaan dan jarang pada ayam atau kalkun. Avian Paramyxovirus tipe-3 (PMV-3) dapat ditemukan pada burung peliharaan dan kalkun di kanada, USA, UK, Perancis dan Jerman. Berdasarkan atas virulensinya, maka virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik, mesogenik dan lentogenik. Pembagian tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio setelah disuntik oleh virus ND tertentu melalui selaput alantois. Waktu kematian embrio untuk galur velogenik adalah kurang dari 60 jam, galur mesogenik sekitar 60-90 jam dan galur limtogenik lebih dari 90 jam. Berbagai galur virus ND tersebut dipakai untuk menyatakan virus yang sangat virulen, moderat virulen dan kurang
virulen. Berdasarkan dari gejala klinis yang timbul pada ayam, maka ND dapat dibagi atas 5 bentuk, yaitu Doyle, Beach, Beaudette, Hitchner dan Enterik asimptomatik : 1. Bentuk Doyle tersifat adanya gangguan pencernaan akibat pendarahan dan nekrosisi pada saluran pencernaan sehingga dikenal dengan ND velogenik-viserotropik. 2. Bentuk Beach tersifat oleh adanya gejala gangguan pernafasan dan saraf sehingga disebut ND velogenik-neurotropik. 3. Bentuk Beaudette merupakan bentuk ND velogenik-neurotropik yang kurang patogenik dan biasanya kematian hanya ditemukan pada ayam muda. Virus ND penyebab infeksi pada bentuk ini tergolong tipe patologik lentogenik dan dapat dipakai sebagai vaksin aktif untuk vaksinasi ulangan terhadap ND. 4. Bentuk Hitchner di tandai oleh adanya infeksi pernafasan yang ringan atau tidak tampak, yang di timbulkan oleh virus dengan tipe patologik lentogenik, biasanya juga untuk vaksin aktif. 5. Bentuk enterik asimtomatik terutama merupakan infeksi pada usus yang ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenok dan tidak menimbulkan suatu gejala penyakit tertentu. Morfologi virus ND Virus ini terdiri dari single molecule dari single strand RNA dengan berat molekul 5 x 106 dalton, urutan dari sequencing nucleotida NDV adalah terdiri dari 15.156 nukleotida, partikel virus terdiri dari kira – kira 20–25 % lipid dan 6 % karbohidrat yang diperoleh dari sel hospesnya dan berat keseluruhan partikel virus tersebut adalah 500 x 106 dalton dengan densitas di dalam sukrosa adalah 1,18 – 1,20 g/ml. Morfology dari paramyxovirus adalah partikel virus berbentuk pleomorfik secara umum berbentuk melingkar dengan diameter 100 – 500 nm meskipun apabila dilihat kadang tampak adanya filamen yang melintang dengan panjang 100 nm, permukaan dari virus diselubungi dengan projection dengan panjang kira – kira 8 nm. Dibandingkan dengan kebanyakan paramyxovirus virus penyakit Newcastle relatif lebih tahan panas, sifat yang sangat penting berkaitan dengan epidemiologi dan pengendaliannya. Virus ini tetap menular pada sumsum tulang dan otot dari ayam yang disembelih paling tidak selama 6 bulan pada temperatur – 20
0
C dan sampai 4 bulan pada temperatur almari pendingin. Virus yang menular
dapat bertahan hidup sampai berbulan – bulan pada temperatur kamar pada telur dari ayam yang
terinfeksi dan sampai lebih dari satu tahun pada temperatur 4 0 C. Daya tahan hidup yang demikian itu dapat diamati untuk virus pada bulu dan virus dapat tetap menular untuk jangka waktu yang lama pada kandang terinfeksi, senyawa yang dapat digunakan untuk desinfeksi adalah seperempat bagian amonium, lisol 1- 2 %, kresol 0,1 %, dan formalin 2 %. ( Fenner, 1993)
Newcastle Disease Virus (Credit: Immunologisches Onkologisches Zentrum Köln www.ioz-cologne.de) (www.brandeis.edu/.../applicationsNewcastle.html) TABEL. 1. Fungsi dan terminologi dari protein virus pada Paramyxovirus. Genus Fungsi Pelekatan protein; Hemaglutinin, perangsangan imunitas produktif. Neuraminidase, perlekatan virion, perusakan penghambatan mucin. Protein penggabung; penggabumgan sel, penyusupan virus, penyebaran sel ke sel, membantu perangsangan imunitas perlindungan. Nukleoprotein; perlindungan terhadap RNA genom.
Paramyxovirus
Morbillivirus
Pneumovirus
HN
H
G (tidak ada aktifitas heaglutinasi)
HN
None
None
F
F
F
NP
N
N
Transkriptase; transkripsi genom RNA. Protein matriks; kestabilan inti virion. Lain-lain; fungsi yang tidak diketahui.
L dan P
L dan P
L dan P
M
M
M
SH
-
SH, 22K
(Fenner, 1993) Virus ND dapat diidentifikasi dengan melihat morfologinya menggunakan mikroskop elektron atau dengan uji serologis. Uji serologis yang dapat dipakai antara lain Hemaglutinasi (HA), Hemaglutination Inhibition (HI), Netralisasi virus dalam embrio ayam, netralisasi virus dalam kultur sel, MIT test, Egg bit, ELISA, Agar Gel Presipitasi (AGP). Sedangkan antigen virus dapat dilacak dengan teknik Immunohistokimia dan Immunofluorescence (Stephen, 1980). Protein-protein dalamVirus ND Virus ND sangat patogen dan V protein merupakan salah satu protein yang menentukan virulensi virus sementara itu hemagglutinin-neuraminidase (HN) protein merupakan protein yang memegang peranan penting dalam proses infeksi. Hampir semua spesies unggas peka terhadap infeksi ND, tetapi ayam adalah spesies yang paling peka. Laporan tentang kasus penyakit ND pada ayam dan penelitian penyakit ini sudah banyak dilakukan. Adapun penyusun dari komponen polypeptida virus ND adalah HN (hemaglutininn dan neuraminidase) yang bertanggung jawab pada proses hemaglutinin dan neuraminidase, F atau fusion protein, NP atau nucleocapsid protein, P atau phosphorylated, dan M atau matriks, pada kultur sel virus ini menunjukkan adanya cytopathic effect yaitu adanya formasi dari synsitium dan sekelompok sel yang mengalami kematian. Virus newcastle atau paramyxovirus unggas I adalah salah satu virus family paramyxoviridae dengan genus paramyxovirus yang menyebabkan terjadinya penyakit dengan gejala pada sistem saraf pusat yang menyerang pada unggas yang di piara secara liar maupun intensif. Penyakit yang ditimbulkan disebut dengan tetelo disease atau newcastle disease dengan sinonim yang lain yaitu antara lain pseudofowl pest, pseudovogel pest, atypische geflugel pest, pseudopoultry plague, avian pest dan sampar ayam. Gejala Klinis virus ND
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh virus New Castle Disease adalah masa inkubasi pada infeksi alami adalah 4 – 6 hari, keragaman dalam virulensi menentukan kelangsungan penyakitnya. Penyakit perakut yang berkaitan dengan galur virus velogenik biasanya mematikan. Penyakit akut dan sub akut yang berkaitan dengan galur virus mesogenik dan lentogenik paling umum ditemukan di negara maju dengan industri perunggasan modern. Penyakit dimulai dengan anoreksia, meningkatnya temperatur tubuh sampai 43 0 C (normal 40 – 41 0 C), kelesuan, kehausan, disertai bulu kusam, jengger berdarah, mata tertutup, dan larings serta farings yang kering. Unggas yang sakit akan bersin – bersin dan menderita gangguan pernapasan, serta mencret berair. Penurunan produksi telur dapat berlangsung sampai 8 minggu. Telur yang dikeluarkan selama fase ini kecil dan kulitnya lunak, dan albuminnya berair. Unggas yang sembuh memperlihatkan tanda kerusakan sistem saraf pusat, dicirikan dengan paralisis kaki, ataksia, tortikalis, dan pergerakan berputar – putar, atau oleh myokloni dan tremor. Pada kalkun gejala klinisnya mirip dengan ayam sedangkan pada burung ekor panjang, itik, dan angsa gangguan sistem saraf pusat yang pertamakali dapat diamati. Pada merpati terjadi penyakit ganas yang menyebar dengan cepat ditandai dengan anoreksia, mencret, poliuria, konjungtivitis, busung, gangguan sistem saraf pusat yang meliputi paresis kaki dan sayap.
Newcastle Disease affects the respiratory, nervous, and digestive systems. One of the clinical signs of the disease is swelling of the tissues around the eyes and the neck as shown in this photo. (Credit: U.S. Department of Agriculture) (www.brandeis.edu/.../applicationsNewcastle.html)
(www.urbanwildlifesociety.org/WLR/PMV-RH&H-WWW.htm)
Patogenesis dan immunitas Patogenesis dan imunitas dari virus New Castle Disease adalah pada mulanya virus bereplikasi pada epitel mukosa dari pembuluhan
pernapasan
bagian
atas
dan
pembuluhan
pencernaan, segera setelah terinfeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia sekunder, inilah yang menyebabkan viremia sekunder yang menimbulkan infeksi pada organ sasaran yaitu paru – paru, usus, dan sistem saraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak napas timbul akibat penyumbatan pada paru – paru dan kerusakan pada pusat pernapasan di otak. Perubahan pasca mati meliputi perdarahan echimose pada laryngs, trakea, oesofagus dan di sepanjang usus. Lesi histologi yang paling menonjol adalah nekrosis terpusat pada
Figure 28. Severe haemorrhagic and necrotic lesions in proventriculus and Peyers patches in the intestines of a broiler chicken suffering from one of the severe forms of Newcastle disease (viscerotropic velogenic).
mukosa usus dan jaringan limfe dan perubahan hiperemia di sebagian besar organ termasuk otak.
Hemaglutination Test (Uji HA) dan Hemaglutination Inhibition Test (Uji HI) Beberapa virus tertentu mampu mengaglutinasi eritrosit. Kemampuan ini sebagai contoh dari aktivitas biologik dan aktivitas ini dapat dihambat oleh antibodi tertentu. Sisi partikel virus yang spesifik dapat berinteraksi dengan reseptor mukoprotein pada sel darah merah dan permukaan sel lain. Interaksi dari sisi reseptor dan virion membuat aglutinasi sel darah merah menjadi tampak. Enzim virus neuraminidase memecah ikatan antara virus dan sel, dan melepas keduanya ke dalam larutan. Antigen adalah bagian virus yang mengandung ikatan dan antigen dari virus digunakan untuk uji hemaglutinasi (Merchant and Packer, 1956) Virion dari beberapa keluarga virus berikatan dengan sel darah merah (RBC) dan menyebabkan hemaglutinasi. Prinsip serologis dari hemaglutinasi inhibisi yaitu antibodi menghambat proses hemaglutinasi dari virus. Bila antibodi spesifik dan virus dicampur sebelum ditambah eritrosit, hemaglutinasi akan terhambat. Uji penghambatan hemaglutinasi ternyata sensitif kecuali untuk Togavirus, sangat spesifik, karena uji itu mengukur antibodi yang berikatan pada protein permukaan yang paling gampang mengalami perubahan antigenik. Terlebih lagi, uji ini sederhana, murah, dan cepat. Oleh karena itu, sering digunakan sebagai pilihan prosedur serologis dalam mengidentifikasi isolat dari virus yang menyebabkan hemaglutinasi (Fennner, 1993).
Virus-virus Avian dapat mengaglutinasi eritrosit, termasuk didalamnya NDV (Newcastle Disease Virus), Virus influenza dan virus Adenovirus127. Hambatan dari aglutinasi oleh antibodi spesifik merupakan dasar dari uji HA dan HI cepat pada kaca benda. Uji HA dan HI cepat pada kaca benda merupakan uji yang sesuai dan cepat dilakukan yang penerapannya lebih luas untuk kontrol berbagai penyakit Avian seperti Newcastle Disease maupun Micoplasmosis. Uji HA positif akan menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping. HI cepat pada kaca benda menunjukkan positif apabila tidak terlihat aglutinasi pada cairan korioalantois yang diberi antiserum NDV. Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedang uji HI cepat biasanya dipakai untuk identifikasi NDV. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif. Hal itu ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumuran (Stephen, 1980). Prinsip dari uji HI lambat adalah mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Uji ini untuk menentukan titik antibodi terhadap hemaglutinasi NDV. Bila terdapat antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk endapan (Allan, 1978). Hemaglutinasi oleh virus ND dapat dihitung dan di bawah kondisi standar dalam cairan dapat di lihat. Reaksi HA dapat di hambat oleh serum immune yang spesifik. Beberapa strain virus ND dapat ditunjukkan virulensinya dalam aktivitas HA dengan eritrosit mammalia dan dalam panas yang stabil. Antigen yang tidak signifikan tidak dapat dilaporkan (Aloisi, 1979). HI test (uji hemaglutinasi inhibisi) telah menjadi metode yang tepat dalam mendeteksi kehadiran antibodi spesifik dalam serum yang terinfeksi atau dari individu yang sembuh/ pulih dari sakit. Selanjutnya, dengan mendilusi (diencerkan) serum, jumlah komparatif dari antibodi dapat ditentukan. (Merchant, Ival Arthur, ) Faktor-faktor yan berhubungan dengan terjadinya proses non-spesific hemaglutinasi : 1. Kontaminasi kimia dari tabung atau bahan. Misalnya asam. 2. Substansi inhibitor dalam ekstrak jaringan. 3. Keanehan dari sel darah merah dari individu tertentu.
4. Komponen serum yang labil terhadap panas 5. Enzim dan toksin bakteri 6. Ketidaksesuaian spesies antara sel darah merah yang digunakan dan serum yang diuji. (Merchant, ) Uji Presipitasi Agar (UPA) atau Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Tujuan dilakukannya UPA adalah untuk mengetahui adanya antigen virus dan antibodi tubuh. Prinsip dari uji UPA yaitu adanya ikatan antibodi spesifik dengan antigen yang ditandai dengan adanya garis presipitat. Hal ini disebabkan karena antigen virus berdifusi melalui pori-pori purified semisolid agar dan bereaksi dengan antibodi. Presipitasi antigen oleh antibodi dapat pula terjadi pada medium semisolid yang biasa dipakai yaitu pure agar dari Euchemia spinosum. Uji ini dapat disebut juga dengan Double Immunodifusion Test atau Ouchterlowy´s Double Difusion yang menempatkan antigen antibodi pada agar murni yang terpisah dalam cawan petri. Dapat ditemukan bahwa antigen-antibodi (Ag-Ab) menyebar ke dalam agar murni. Dan pada awal pembentukan pita presipitasi disebabkan karena adanya keseimbangan rasio antara Ag-Ab. Jika terjadi kelebihan antigen, maka pita presipitasi yang terbentuk akan bergerak mendekati sumuran antibodi. Meskipun terjadi difusi yang radial dari sumuran, pita presipitasi tampak seperti lengkungan diantara sumuran Ag-Ab. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi pertumbuhan virus adalah : o pH Dapat terjadi presipitasi jika media berada pada pH 7,0-7,2, sedangkan pada pH 5,0-5,5 tidak menyebabkan terjadinya presipitasi. o Konsentrasi antigen dan antibodi Adanya konsentrasi antibodi yang sesuai dengan konsentrasi antigen dapat menyebabkan terjadinya presipitasi atau immunodifusi di luar sumuran. o Suhu Temperatur inkubasi pada reaksi aglutinasi bervariasi, kurang lebih 50-560 C. Sedangkan pada yang lain pada suhu 270 C. o Kelembaban Media agar tidak disimpan dalam lemari es karena agar akan menjadi kering, pada temperature panas media menjadi cair. Sehingga tempat penyimpanan dibuat menyerupai lembah dengan nampan yang diberi kapas dan air.
o Media agar Media yang digunakan adalah media agar semisolid, dapat juga dipakai agar gelatin/ silika. Yang paling umum digunakan adalah agar-agar. Agar-agar menjadi larut atau cair bila dipanaskan pada suhu hampir 1000 C dan tetap berbentuk cair bila didinginkan hingga kurang lebih 430 C. Pada gelatin, jika telah padat dan dipanaskan 1000 C untuk mencairkan kembali. Tidak dianjurkan membiarkan medium agar menjadi padat lalu mencairkannya kembali lebih dari 2 kali karena dapat memberikan hasil yang kurang baik. o Jarak sumuran Jika jarak terlalu jauh atau tidak sama antara kiri dan kanan dapat mengakibatkan tidak terbentuknya presipitat. o Lama inkubasi Pembentukan ikatan antibodi-antibodi membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari. Jadi jika kurang dari waktu yang ditentukan kemungkinan presipitat belum terbentuk. Interpretasi dari garis presipitat antara lain : Dapat teridentifikasi Jika ikatan antibodi dengan antigen yang sama determinannya pada tiap antigen sampel atau bisa juga dikatakan dua antigen tersebut identik sehingga mereka akan berdifusi dengan kecepatan yang sama dan daerah proporsi optimal akan terdapat pada lokasi yang sama. Identifikasi parsial Jika terjadi reaksi silang, yaitu dua antigen dapat serupa dan memiliki determinan bersama, sehingga menghasilkan pembentukan pita berbentuk tapal kuda. Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi terhadap antibodi terpilih sehingga tidak terjadi garis presipitasi yaitu dengan difusi antigen atau antibodi lebih lanjut, pembentukan kompleks solubel akan terjadi, tetapi penyatuan akan dipertahankan, karena pita-pita terus terbentuk dan larut
dengan kecepatan yang sama. Jika sebaliknya dua antigen tersebut berbeda sama sekali, pita-pita akan bersilang. Inokulasi Virus 1. In Ovo Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
r Inokulasi pada ruang chorioalantois Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10% suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus influenza.
r Inokulasi pada membran chorioalantois Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas dari kerabang. Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas dari kerabang (Stephen, 1980).
r Inokulasi pada yolk sac Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan di bagian ini adalah virus rabies. 2. In Vitro Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam cincang didalam serum atau larutanlarutan garam. Ini menuntun ke arah penggunaan kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini sel hewan dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan untuk sel bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi. Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur (Merchant and Packer, 1956). 3. In Vivo Dengan cara ini, virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya FMDP atau Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut (Merchant and Packer, 1956). INOKULASI DAN PANEN PADA TELUR AYAM BEREMBRIO Pengamatan Telur Melalui Transiluminasi (Peneropongan)
Embrio telur dipastikan hidup dengan cara transiluminasi yang diberi istilah candling dalam bahasa Inggris karena pada zaman dahulu cahaya lilin digunakan untuk tujuan ini. Pada masa ini, yang digunakan ialah kotak cahaya atau lampu teropong yang telah dimodifikasi. Tata cara Peneropongan Telur Bahan : 1. Telur berembrio 2. Lampu teropong 3. Kertas manila 4. Pita seloptip 5. Gunting 6. Pena penanda Alat untuk peneropongan : Gulungkan selembar kertas manila supaya berbentuk kon. Gunakan pita seloptip untuk melekatkannya dan mengekalkan bentuk ini. Gunting kedua ujung kon ini supaya tepinya menjadi sama rata dan garis pusat bagian yang lebih besar adalah sama dengan ukuran kepala lampu dan bagian kecil adalah lebih kurang sama dengan ukuran ujung telur yang lebih bulat. Pasangkan ujung kon yang besar kepada kepala lampu teropong. Perkuat dengan menambahkan pita seloptip. Dengan ini cahaya lampu akan ditujukan ke luar melalui lubang yang lebih kecil. Cara Kerja : 1. Pilih tempat yang gelap. 2. Tekan lubang terowong lampu teropong kepada cangkang telur. 3. Nyalakan lampu dan amatilah bagian dalam telur.
4. Pastikan pembuluh darah korioalantoik telur berembrio kelihatan jelas sekali dan embrio bergerak-gerak, bentuk embrio juga jelas kelihatan, khususnya mata embrio yang besar dan kehadiran ruang udara. Semua ini adalah tanda yang menunjukkan bahwa embrio tersebut masih hidup. Inokulasi Virus ke dalam Ruang Alantoik Pertumbuhan virus di dalam membran alantoik digunakan untuk virus influenza dan paramiksovirus yang telah disesuaikan beraplikasi dalam keadaan makmal. Cara Kerja Inokulasi Virus ke dalam Ruang Alantoik Bahan : 1. Telur berembrio berumur 10 hingga 12 hari. 2. Jarum (28 gauge) dan picagari. 3. Etanol 70% dan iodium tinctur. 4. Penggerudi berputar yang dipasang dengan cakera pemotong. 5. Pita seloptip. Cara Kerja 1. Teropong telur untuk menentukan embrio masih hidup. 2. Tandakan dengan pena tanda satu tempat yang agak berjauhan dengan pembuluh darah. 3. Gerudi satu lubang atau celah yang kecil pada cangkang pada tempat yang ditandakan untuk mendedahkan membran cangkang. 4. Lap tempat celah tersebut dengan etanol. 5. Suntikkan 0.1 ml inokulum ke dalam celah ini dengan jarum yang dimasukkan beberapa mm ke dalam celah. 6. Tutup celah dengan pita seloptip.
7. Eramkan dengan tempat yang diinokulasi virus di sebelah atas selama 1 hingga 3 hari sesuai kebutuhan.
Cara Kerja Mengumpulkan Cairan Alantoik (Panen virus) Bahan : 1. Telur berembrio selepas penyuntikan virus dan pengeraman 2. Gunting 3. Pipet Pasteur 4. Botol (steril) 5. Etanol 70% Cara Kerja : 1. Letakkan telur di dalam *)almari es selama beberapa jam atau di dalam peti beku suhu – 20°C selama 1 jam. 2. Lap cangkang di bagian atas ruang udara telur dengan etanol. 3. Pecahkan cangkang di atas ruang udara dan guntingkan satu lubang besar. 4. Gunakan pipet Pasteur untuk menolak embrio dan pundi kuning telur ke tepi dan kumpulkan Cairan alantoik dengan menggunakan pipet Pasteur lain. Keterangan :
*) Telur dimasukkan almari es untuk membunuh embrio serta mengecilkan pembuluh darah supaya pengumpulan cairan yang mengandung virus dilakukan tanpa pencemaran dengan sel darah merah.
Se lain
cara
di
atas masih terdapat metode lain tempattempat inokulasi virus,
yaitu : 1. Inokulasi Virus ke atas Membran Korioalantoik Pengkulturan virus di atas membran korioalantoik untuk membedakan antara poksvirus jenis variola dengan vaksinia dan di antara virus herpes simplex tipe 1 dengan tipe 2 berdasarkan morfologi poks yang dihasilkan. Contoh virusnya adalah poxvirus,vaccinia, virus penyebab ILT 2. Inokulasi Virus ke dalam Ruang Amniotik Cara ini digunakan untuk pemencilan primer (kali pertama virus ditumbuh dalam keadaan makmal) virus influenza dan mumps. 3. Inokulasi virus dalam Embrio Penanaman virus yang diletakkan pada bagian emrio dari TAB. Contoh virusnya adalah influenza 4. Inokulasi virus secara intracerebral
5. Inokulasi virus secara intravena 6. Inokulasi virus kuning telur (yolk sack) Penanaman virus pada bagian kuning telur / yolk sack dari TAB. Contohnya rabies,distemper dll. Perkembangan Virus Dalam Telur Berembrio Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi, perkembangan dan karaterisasi avian virus serta untuk memproduksi vaksin virus. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu : rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu : kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar. Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi : kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain (Purchase, 1989).
Struktur Telur Berembrio Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio. Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio (Purchase, 1989).
Gambar: Struktur telur berembrio (EnchantedLearning.com) Rute inokulasi Empat rute yang paling umum untuk inokulasi pada telur berembrio melalui : - Ruang allantois. - Chorio Alantois membran (CAM)
- Kantong kuning telur - Kantong amnion. (Purchase, 1989)
(EnchantedLearning.com) Gambar: Skema perkembangan telur ayam berumur 5, 10, 15 dan 20 hari ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Dapat digunakan secara kualitatif maupun kuantitatif dalam mengukur antigen dan antibodi binding. Berdasarkan variasi yang digunakan, ELISA akan mendeteksi antigen (hormon, enzim, antigen dari mikrobia, dll) atau antibodi (contoh anti-HIV pada screening test untuk infeksi HIV) pada cairan tubuh atau supernatan dari kultur jaringan.
Dibutuhkan untuk ELISA
Antigen purified (murni), jika digunakan untuk mendeteksi atau mengukur antibodi.
Antibodi purified (murni), jika digunakan untuk mendeteksi atau mengukur antigen.
Larutan standar (kontrol positif dan kontrol negatif)
Sampel yang diuji
Microtiter dishes : terbuat dari plastik dengan sumuran kecil
Buffer
Enzim yang melabeli antibodi dan substrat enzim
ELISA reader (spektrofotometer) untuk menghitungan kuantitatif
Prosedur Untuk mendeteksi antibodi (indirect ELISA)
Lapisi microtiter plate dengan antigen purified dengan cara memberikan larutan antigen pada wells/sumuran selama 30 – 60 menit. Bersihkan antigen yang tidak terbatasi, dengan menggunakan buffer dan ditutup dengan nonspesifik antibodi yang proteinnya tidak berkaitan , kemudian cuci lagi dengan unbound protein.
Tambahkan serum sampel yang akan diuji untuk antibodi spesifik ke plate and membiarkan antibodi spesifik untuk mengikat antigen. Bagian Fc dari anti-Ig akan berikatan dengan enzim. Bersihkan unbound antibodi-antigen komplek.
Tambahkan substrat chromogenic : substrat yang tidak berwarna yang akan diubah enzim menjadi produk yang berwarna. Inkubasi hingga terbentuk warna, ukur warna pada spektrofotometer. Semakin banyak warna yang terdeteksi, antibodi yang lebih spesifik dapat diketahui pada sampel yang tidak diketahui.
Kontrol negatif meliputi : antigen yang hilang dan test antiserum yang hilang atau subtitusi dengan antibodi yang tidak akan mengikat antigen.
Kontrol positif subtitusi yang diiketahui serum positif untuk serum yang tidak diketahui.
http://microvet.arizona.edu/Courses/MIC419/ToolBox/elisa.html Mendeteksi antigen (sandwich ELISA)
Lapisi microtiter dengan antibodi purified untuk antigen. Cuci unbound antibodi dan tutup dengan hambatan nonspesifik dengan protein yang tidak berkaitan.
Tambahkan sampel untuk diuji antigen ke plate dan biarkan antigen mengikat antibodi. Cuci unbound antigen.
Tambahkan enzim yang sudah terlabeli spesifik antibodi untuk epitope yang berbeda dari antigen untuk membuat “sandwich”, bersihkan unbound antibodi.
Tambahkan substrat chromogenic untuk enzim yang dapat mengubah ke produk yang berwarna
Kontrol negatif yaitu antigen yang tidak diketahui menghilang. Kontrol positif digunakan untuk mengetahui antigen
http:// microv et.arizo na.edu /Cours es/MIC 419/To olBox/e lisa.ht ml M enginte pretasi kan hasil dengan cara menghitung produk yang terwarnai adalah proporsional untuk menghitung enzymlinked antibodi yang terikat, dimana secara langsung berkaitan dengan jumlah antibodi yang ada pada antigen yang terikat atau antigen yang ada pada antibodi terikat. Jika jumlah antigen or antibodi ditambahkan, kurva standar yang dibuat akan memperbolehkan antigen atau antibodi yang tidak diketahui menjadi terhitung.
h ttp:// www .elisa assay .com /com petiti onelisaassay / CELL CULT URE Inter aksi antara virus dan hospes akan menunjukkan dua level ; pertama kemampuan dari virus untuk mencapai sel dan kedua adalah interaksi antara virus dan genome hospes untuk mengontrol sintesis pada sel. Interaksi antara virus dan hospes secara luas dapat dihitung dengan genetik constitution cell dan konsentrasi virus. Primary Cell Lines
Sel line didapat secara langsung dari hewan Ambil dari jaringan dalam bagian kecil dan diinkubasi dengan protease untuk merusak ikatan antar sel. Untuk memisahkan sel dengan gunting, pipet , mengumpulkan sel, dan sentrifuse Tempatkan sel pada media penumbuh jaringan yang ditambahkan dengan serum .
Kultur primer cenderung memiliki bentuk sel yang normal
Memiliki batas hidup yang terbatas.
Secondary Cell Lines
Populasi sel yang tidak dapat mati
Dapat meningkat secara spontan (pada rhodensia) atau dapat bertransformasi dengan tumor, virus, carcinogen atau mutagen
Komponen pertumbuhan berbeda dengan sel dari apa yang dihasilkan.
Interaksi antara virus dan hospes Keberadaan dari reseptor yang spesifik pada sel hospes akan membiarkan virus untuk mengikat, meskipun interaksi spesifik antara virus dan sel hospes dapat mengakibatkan hasil infeksi yang berbeda-beda PCR (Polymerase Chain Reaction) Merupakan teknik yang secara luas digunakan pada biologi molekular. PCR digunakan untuk menjelaskan bagian spesifik dari DNA target. Kebanyakan metode PCR menjelaskan DNA fragmen hingga 10kb, walaupun beberapa teknik memperbolehkan amplifikasi fragmen hingga 40kb. Secara umum persiapan untuk PCR membutuhkan beberapa komponen dan reagen, yaitu :
DNA template yang mengandung DNA target untuk diamplifikasi.
Satu atau lebih primer, yang akan melengkapi pada daerah DNA pada 5’ (five prime) dan 3’ (three prime)
DNA polymerase seperti Taq polymerase atau DNA polymerase yang lain dengan temperatur optimum sekitar 70ºC.
Deoxynucleotide triphosphatase (dNTPs), untuk membuat blok dimana DNA polymerase mensistesis strand DNA yang baru.
Larutan buffer, untuk menyediakan lingkungan kimiawi yang sesuai untuk aktivitas optimum dan stabilitas dari DNA polymerase.
Divalent cations, magnesium atau mangan (ion)
Monovalent cation potassium ion.
PCR digunakan pada volume reaksi 15-100µl pada tube kecil (0,2 – 0,5 ml) thermal cycler. Thermal cycler memanaskan dan mendinginkan tube reaksi untuk mengontrol suhu yang dibutuhkan pada tiap step reaksi.
Figure 2: Schematic drawing of the PCR cycle. (1) Denaturing at 94-96°C. (2) Annealing at ~65°C (3) Elongation at 72°C. Four cycles are shown here. Initialization step Terdiri
dari
reaksi pemanasan ke suhu 94 – 96ºC selama 1 – 9 menit. Hanya digunakan untuk DNA polymerase
yang
membutuhkan aktivasi panas
dengan
hot-
start PCR. Denaturation step Langkah yang biasa dilakukan dan mengandung pemanasan 94 – 98 ºC selama 20 – 30 detik . Akan
menyebabkan
peleburan dari DNA template dan DNA primer dengan memasukkan hydrogen bond antara complementary bases dari DNA strand, menjadi single strand DNA.
Annealing step Temperatur reaksi menurun menjadi 50 – 65 ºC selama 20 – 40 detik untuk membiarkan annealing antara primer dan single stranded DNA template. Kestabilan ikatan DNA-DNA hidrogen hanya dibentuk pada saat sequen primer berdekatan dengan sequen template. Ikatan polymerase hingga menjadi primer-template hybrid dan memulai sintesis DNA. Extension/elongation step Suhu pada langkah ini tergantung pada langkah dimna DNA polymerase digunakan. Taq polymerase memiliki aktivitas optimum pada suhu 75 - 80 ºC dan umumnya suhu 72 ºC digunakan enzim ini. DNA polymerase mensintesis DNA strand complementary baru hingga DNA template strand dengan menambahkan dNTPs . Extension time berdasarkan pada waktu yang digunakan DNA polymerase dan pada saat pemanjangan dari DNA fragmen untuk amplifikasi. Final elongation Biasanya pada suhu 70 - 74 ºC selama 5 – 15 menit setelah siklus PCR selesai dan singlestranded DNA sudah siap. Final hold Langkah ini pada suhu 4 - 15 ºC, waktu tidak berbatas.
Figure 3: Ethidium bromide-stained PCR products after gel electrophoresis. Two sets of primers were used to amplify a target sequence from three different tissue samples. No amplification is present in sample #1; DNA bands in sample #2 and #3 indicate successful amplification of the target sequence. The gel also shows a positive control, and a DNA ladder containing DNA fragments of defined length for sizing the bands in the experimental PCRs. Agarose gel electrophoresis digunakan untuk melihat pemisahan dari produk PCR. Ukuran dari produk PCR dapat diperkirakan dengan membandingkan dengan DNA ladder, yang mengandung DNA fragmen yang diketahui ukurannya, ada di samping produk PCR.
III. MATERI DAN METODE A. Inokulasi dan Pemanenan Virus Pada Telur Berembrio Materi a. Alat : - Pompa suntik 1 ml dan 5 ml dengan jarum ukuran 27/28. - Lampu teropong. - Bor untuk melubangi telur. - Bejana gelas, cawan petri, nampan (stainless steel), nampan telur (egg tray), tabung reaksi, lampu spiritus, usa, safeti cabinet, kanule. b. Bahan : - Telur ayam berembrio. - Larutan/suspensi antibiotika. - Larutan PBS pH 7,2. - Kaldu alkalis. - Parafin padat. - Alkohol 70 % dengan preparat Iodium organik.
Metode inokulasi
Pilih telur berembrio yang telah dieramkan 10-14 hari dengan lampu di kamar gelap (candling), apakah embrio mati atau hidup Telur-telur berembrio yang hidup diberi tanda dengan pensil dimana letak kepala embrio dan batas rongga hawa. Ambil telur yang akan diinokulasikan, suci hamakan kutub yang mengandung ruang hawa dan kerabang di atas embrio yang telah diberi tanda tadi dengan menggosokkan Iodium tincture atau alkohol 70 % ditambah boicid/betadine. Buat lubang di atas embrio dan di kutub yang mengandung ruang hawa dengan memakai bor kecil atau gerinda. Inokulasikan 0,1 ml suspensi virus yang telah disiapkan dengan mempergunakan kanule yang cukup halus ke dalam ruang alantois. Lubang ditutup dengan parafin yang sudah dicairkan, lubang di kutub juga ditutup dengan parafin. Eramkan telur berembrio tersebut selama 2-3 hari dalam mesin tetas. Metode pemanenan Desinfeksi kutub tumpul dari telur berembrio dengan menggosokkan Iodium tincture atau alkohol 70 % ditambah boicid/betadine.
↓ Dengan pinset tajam pecahkan kerabang telir, buat lubang sebesar / lebih dari rongga hawa. Jika perlu diambil membrane chorio alantois, gunting selaput tadi berbentuk bundaran menurut kehendak kita. ↓ Dengan pinset tekan embrio ke samping, akan terlihat cairan korio alantois di sisi embrio, ambil cairan dengan spuit 5 ml. ↓ Masukkan cairan dalam tabung reaksi dan amati warna dan viskositasnya
B. Uji Hemaglutinasi (HA), Uji Hemaglutination Inhibition (HI) dan Uji Presipitasi Agar (UPA) Materi a. Alat : - Kaca benda - Pelat mikro - Tusuk gigi - Oven - Kotak pembaca aglutinasi - Pipet mikro - Pipet 1 ml dan 5 ml b. Bahan : - Cairan korioalantois - 0,1 % Phenol - Eritrosit ayam 0,5 % dan 2,5 % - 8,5 % NaCl - PBS (Phosphat Buffer Saline) pH 7 - Larutan agar - Serum pekat - Virus Metode Uji Presipitasi Agar
Buat lapisan tipis agar pada kaca benda, bersihkan kaca benda dari kotoran dan lemak, tambahkan 3 ml 0,3 % larutan agar dalam air yang dipanaskan pada penangas air mendidih. Setelah padat kaca benda ditaruh dalam oven 80C atau tempatkan dalam inkubator 37C sampai agar kering. Tempatkan kaca benda yang sudah dilapisi agar pada tempat yang datar. Tambahkan larutan agar 1 % dalam 8,5 % NaCl dalam PBS, tambahkan phenol sebagai pengawet, biarkan agar mengeras. Buat beberapa sumuran. Teteskan 0,05 ml anti NDV di tengah sumuran dan pada sumuran disekitarnya ditetesi 0,05 suspensi NDV. Tempatkan kaca benda pada cawan petri dengan kertas/kapas basah dan batang kaca untuk menempatkan kaca benda. Tempatkan cawan petri diatas meja datar, amati adanya presipitasi di antara sumuran antigen dan anti serum. Perhatikan adanya garis-garis presipitasi, garis identitas dan non identitas. Metode Uji HA-HI HA cepat pada kaca benda Teteskan setetes cairan korioalantois diatas kaca benda.
Teteskan setetes suspensi eritrosit ayam 2,5 % di dekat tetesan cairan korioalantois, ditempat yang berjauhan teteskan pula suspensi eritrosit ayam sebagai kontrol. Campur cairan korioalantois dan suspensi eritrosit ayam dengan menggoyanggoyangkan kaca benda atau dengan batang korek api, tusuk gigi atau aplikator. Tunggu 5 menit. Periksa di atas kotak pembaca aglutinasi. HA + akan terlihat adanya suspensi agregat eritrosit yang tampak berkeping-keping. Bandingkan dengan kontrol, tetesan eritrosit yang tidak dicampur dengan cairan korioalantois. HI cepat pada kaca benda
Teteskan setetes cairan korioalantois di dua tempat yang terpisah 2 cm pada kaca benda. Teteskan setetes serum anti NDV pada salah satu tetesan cairan korioalantois, campur dan tunggu 5 menit. Teteskan eritrosit ayam pada kedua tetesan, campur, tunggu 5 menit, amati di atas kotak pembaca aglutinasi.
HA lambat dengan pelat mikro Isi lubang no. 1-12 pada pelat mikro dengan PBS 0,05 ml. Lubang pertama dimasukkan cairan alantois 0,05 ml dengan pipet mikro, campur pakai diluter. Pindahkan 0,05 ml campuran dari lubang pertama ke lubang kedua dengan diluter, dan dari lubang kedua dipindahkan ke lubang ketiga dan seterusnya sampai lubang ke-11. Dari lubang ke-11 tidak dipindahkan ke lubang 12 tapi dibuang. Masukkan eritrosit ayam 0,5 % sebanyak 0,05 ml ke lubang 1-12. Tunggu sampai lubang ke-12 terjadi endapan eritrosit, amati. HI lambat dengan pelat mikro Masukkan 0,025 ml PBS ke lubang 1-12 menggunakan pipet/dropper , 0,025 ml Masukkan serum pekat 0,025 ml ke lubang pertama, campur memakai diluter 0,025 ml, masukkan ke lubang ke-2 dan seterusnya sampai lubang ke-10. Masukkan PBS 0,025 ml hanya pada lubang 1 dan 12.
Masukkan virus 4 HA pada lubang 2-11 sebanyak 0,025 ml menggunakan pipet 0,025 ml. Campur dengan menggoyangkan plate, tunggu 30 menit. Masukkan eritrosit ayam 0,5 % sebanyak 0,05 ml ke lubang 1-12. Tunggu sampai lubang 12 terjadi endapan eritrosit, amati. IV. HASIL PRAKTIKUM 1. Inokulasi Virus Pada Telur Berembrio. Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Pada percobaan inokulasi virus pada telur ayam berembrio ini. Kelompok kami ternyata tidak menemukan adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher. Dapat dikatakan virus tidak tumbuh, pada kedua telur tersebut.
Gambar : embrio yang terkena virus ND Gambar : embrio kontrol 2. Uji Presipitasi Agar. Sumuran yang telah diberi substrat virus dan serum di inkubasi pada suhu 370C selama 2 hari, menunjukkan hasil negatif, terlihat tidak terbentuk garis presipitasi yang berarti tidak ada ikatan antara antigen dengan antibodi.
Tidak ada garis presipitat
Jika terjadi garis presipitat maka :
3. Uji HA-HI
a. Uji HA cepat pada kaca benda
Eritrosit ayam + cairan korioalantois tampak suspensi agregat eritrosit
Eritrosit ayam tanpa cairan korioalantois tidak ada suspensi agregat eritrosit
b. Uji HI cepat pada kaca benda Cairan korioalantois + serum anti NDV + eritrosit ayam tidak terjadi aglutinasi
Cairan korioalantois + eritrosit ayam tampak adanya aglutinasi
c. HA
Uji
lambat
pada pelat mikro End point dilihat dari
yang tertinggi
yaitu
pada
4
lubang nomor 4. Jadi jumlah titer virus adalah 2 = 16 unit HA yang berarti di dalam 0,05 ml cairan chorioalntois terdapat 16 unit virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit.
d. Uji HI lambat pada pelat mikro Eritrosit yang meleleh dilihat
pada
lubang
paling kecil yaitu pada lubang nomor 6. Jadi titer antibodi adalah 2
6
= 64 unit HI yang berarti, di dalam 0,025 ml serum terdapat 64 unit antibodi yang menghambat hemaglutinasi eritrosit. V. PEMBAHASAN 1. Inokulasi telur dengan virus ND Pada percobaan ini dilakukan penanaman virus pada ruang korio allantois, telur yang digunakan adalah telur SPF (Spesific Pathogenic Free), artinya telur tersebut tidak mengandung bakteri – bakteri patogen yang dapat menimbulkan antibodi dalam telur tersebut sehingga dapat menimbulkan kegagalan pertumbuhan bagi virus yang akan ditanam. Virus yang ditanam adalah
virus ND, untuk dapat menanam virus secara in ovo ini digunakan telur ayam berembrio dengan kondisi embrio masih hidup. Pertama kali yang harus dilakukan adalah telur berembrio yang berumur 9–11 hari diteliti dengan lampu teropong di kamar gelap untuk mengetahui apakah embrio tersebut masih hidup atau sudah mati, indikasi bahwa embrio tersebut masih hidup adalah adanya gerakan embrio di dalam telur (embrio akan menjauhi sinar), dan adanya pembuluh darah. Digunakan TAB umur 9–11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang sehingga daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih mudah dan mengurangi resiko. Kemudian bagian atas dan rongga hawa embrio diberi tanda pada kulit telurnya. Kedua tanda ini dilubangi setelah kulit telur didesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan iodium untuk menjaga agar daerah sekitar lubang tetap aseptis. Kemudian inokulasi virus dilakukan dengan cara memasukkan suspensi virus ke dalam lubang yang berada di atas embrio dengan menggunakan spuit 1 ml, ukuran jarum 28 G. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 450 ke arah bagian runcing telur agar tidak mengenai embrio. Injeksi dilakukan ke dalam cairan corioalantois untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang cocok dengan virus Penambahan bahan ke dalam telur akan meningkatkan tekanan di dalam telur yang dapat mempengaruhi pertumbuhan embrio dan virus, oleh karena itu dibuatlah lubang pada kulit telur di atas rongga hawa untuk membuat jalan keluar sedikit udara sehingga tekanan dalam telur tetap konstan saat diinokulasi. Kemudian kedua lubang ditutup dengan menggunakan parafin solidum untuk mengembalikan kondisi dalam telur yang steril, terhindar dari kontaminasi lingkungan luar. Inokulasi ini dilakukan di dalam safety cabinet bertujuan untuk mengurangi kontaminasi. Telur yang telah diinokulasi kemudian dieramkan pada suhu 37 0 C selama 2–3 hari untuk kemudian diamati pertumbuhan embrio, perubahan yang terjadi, dan dilakukan panen virus. Setelah selesai dieramkan kemudian dilakukan panen virus yang bertujuan untuk mengumpulkan virus yang telah dibiakan (dengan mengambil cairan allantois atau seluruh embrio) dan melihat perubahan – perubahan anatomi patologi pada selaput korio allantois dan pada embrio. Sebelum embrio di panen, di masukkan dalam almari es selama 18 jam dengan tujuan supaya embrionya mati dan mengecilkan pembuluh darah. Setelah diinkubasi 2-3 hari, telur dimasukkan ke dalam refrigerator 18 – 24 jam untuk memastikan embrio benar-benar mati, setelah itu, perkembangan virus dapat diamati. Pertama–
tama dilakukan desinfeksi kutub tumpul dari telur–telur berembrio dengan menggosokkan alkohol lalu disulut dengan api desinfeksi dapat pula dengan menggunakan alkohol 70 % ditambah biocid atau yodium tincture. Cara membuka embrio adalah dengan menggunakan pinset, embrio dibuka pada bagian rongga udara, lalu selaput corioallantois dibuka, embrio dipinggirkan dengan menggunakan pinset dipinggirkan embrionya untuk mendapatkan rongga korioallantois. Kemudian cairannya diambil dengan menggunakan spuit. Pada penanaman virus di membran korioalantois, pemanenan dilakukan pada membran tersebut. Hasil panen berupa membran chorioalantois yang nantinya dapat dibuat suspensi virus. Cairan korioalantois yang bagus akan memperlihatkan warna jernih, sedang cairan yang menunjukkan pertumbuhan virus memperlihatkan warna yang keruh dan kadang terjadi hemorrhagi. Embrio telur diambil dan diamati, amati pertumbuhan, perubahan yang terjadi, dan Cytophatic effect. Terdapat lesi-lesi patologi dan cairan chorioalantois mengalami hemoragi. Cytophatic Effect adalah perubahan pada morfologi sel embrio yang disebabkan oleh virus. Inokulasi yang dilakukan pada ruang korio-alantois, akan didapatkan hasil jika positif atau terdapat adanya virus ND maka embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Pada percobaan inokulasi virus pada telur ayam berembrio ini. Tiap kelompok diberi 2 butir telur yang diberi perlakuan sama. Pada kelompok kami ternyata tidak menemukan adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher. Dapat dikatakan virus tidak tumbuh, pada kedua telur tersebut. Pada awalnya kami mengira virus tersebut tumbuh karena pada salah satu embrio terlihat adanya tubuh yang kecil dan kerdil. Tapi ternyata bukan karena tumbuhnya virus tetapi karena umur embrio yang digunakan belum ada 10 hari sehingga terlihat kecil dan kerdil. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kultur virus dengan menggunakan telur. Kultur virus dapat dilakukan dengan cara in vivo yaitu dalam hewan percobaan, secara in ovo dengan menggunakan telur dan secara in vitro dengan menggunakan kultur sel. Percobaan menanam virus ND dilakukan dengan telur usia 9-10 hari karena pada waktu tersebut ruang alantois berkembang sempurna sehingga cairan alantois akan menjadi banyak dan memungkinkan virus untuk tumbuh dengan optimal. Digunakan telur SPF (Spesific Pathogen Free) dari induk yang sehat dan tidak divaksin. Telur ini dapat digunakan untuk inokulasi dengan baik tanpa adanya kontaminasi dari berbagai parasit ataupun bakteri yang dapat ditularkan dari induk jika induk pernah terinfeksi atau mendapatkan antibodi kekebalan dari induk. Selain embrio telur, media lain yang dapat digunakan untuk inokulasi virus antara lain; hewan coba, kultur jaringan, kultur sel, dan kultur in vitro.
Syarat media agar virus dapat tumbuh yaitu: 1. Media berupa sel hidup karena virus hanya dapat bereplikasi di dalam sel hidup. 2. Media berisi vitamin dan nutrisi. 3. Media harus steril (SPF). 4. Media mempunyai reseptor yang cocok dengan virus. 2. Uji Agar Gel Presipitasi Uji Presipitasi Agar atau nama lainnya adalah Double Immunodiffusion Test atau Ouchterlowy’s Test bertujuan untuk mengetahui apakah serum atau antibody yang ditest merupakan antibodi spesifik terhadap virus yang digunakan yang telah diketahui. Uji ini dapat pula digunakan untuk mengetahui virus spesifik yang dapat bereaksi dengan antibodi yang telah diketahui. Jadi proses reaksinya dapat dibalik. Pada uji agar gel presipitasi digunakan media purified agar semisolid. Prinsipnya adalah adanya ikatan antara antibody spesifik dengan antigen. Dalam percobaan, dibuat tiga sumuran pada medium purified agar semisolid. Sumuran yang berada di tengah ditetesi dengan antibodi virus ND dan dua sumuran yang lain ditetesi dengan antigen virus. Kemudian inkubasi pada suhu 370C selama 2 hari. Suhu tersebut adalah suhu tubuh yang merupakan suhu yang baik bagi pertumbuhan virus, sedangkan waktu 24 jam merupakan waktu minimal yang diperlukan virus untuk tumbuh. Setelah diamati didapat hasil negatif, dimana tidak terjadi garis presipitat diantara ketiga sumuran. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi virus atau antigen tidak seimbang, dan bisa juga disebabkan karena antibodi yang digunakan bukan merupakan antibodi spesifik, sehingga pita-pita akan terus terbentuk tetapi larut dan tidak mengendap dalam kecepatan yang sama sehingga tidak teridentifikasi. Keberhasilan uji ini ditentukan oleh : 1. Keseimbangan konsentrasi antigen dan antibodi 2. Jarak antara sumuran 3. Kedalaman sumuran
4. pH yang sesuai 5. Suhu (370C) 6. Kelembaban (70 – 80%). 3. Uji HA-HI a. Uji HA cepat Virus yang digunakan dalam praktikum ini adalah virus ND. Tujuan dari uji HA adalah mengetahui kemampuan virus mengaglutinasi eritrosit. Prinsipnya adalah terjadi ikatan antara antigen virus dengan eritrosit ayam sehingga terjadi hemaglutinasi. Percobaan dilakukan dengan memberikan satu tetes cairan korioalantois yang mengandung virus ND di atas kaca benda yang bersih dan kering. Di dekat tetesan tersebut diteteskan suspensi eritrosit ayam 2,5% dan teteskan satu tetes lagi suspensi tersebut di tempat yang agak berjauhan tanpa diberi cairan korioalantois untuk digunakan sebagai kontrol. Untuk mencampur suspensi dan eritrosit, kaca benda digoyangkan sedikit, dan tunggu selama 5 menit. Eritrosit yang diberi suspensi virus terlihat agregat karena adanya proses hemaglutinasi dari protein hemaglutinin virus terhadap eritrosit. Sedangkan pada kontrol terlihat adanya endapan eritrosit. Jadi, pada uji HA cepat ini menunjukkan bahwa virus mempunyai kemampuan menghemaglutinasi karena memiliki hemaglutinin. Proses hemaglutinasi ditandai dengan munculnya agregat seperti pasir pada suspensi. b. Uji HI cepat Uji HI cepat bertujuan untuk mengidentifikasi virus dengan antibodi yang spesifik. Prinsip kerjanya adalah terjadi ikatan antara antibodi virus dengan eritrosit ayam sehingga hemaglutinasi terhambat. Uji ini hanya dilakukan jika virus mampu menghemaglutinasi eritrosit. Pada kaca benda diteteskan satu tetes cairan corioalantois yang mengandung virus pada kaca benda di dua tempat yang berbeda. Di dekat salah satu tetesan diberikan serum anti-ND virus, sedang tetesan yang lain sebagai control dan tunggu selama 5 menit. Setelah itu ditambahkan suspensi eritrosit ayam 2,5% dan kemudian dicampur.
Eritrosit yang diberi virus dan serum anti-ND tidak mengalami hemaglutinasi, ditunjukkan dengan terbentuknya endapan eritrosit. Sedangkan eritrosit yang hanya diberi virus menunjukkan terjadinya proses hemaglutinasi dengan munculnya agregat berwarna putih. Dapat disimpulkan bahwa virus yang diteteskan merupakan virus ND karena mampu berikatan dengan antibodi yang terdapat di dalam serum anti virus ND sehingga kemampuan menghemaglutinasi eritrosit terhambat. Pada uji cepat terlihat darah tidak mengalami aglutinasi karena tidak terdapat antigen virus dalam cairan korioalantois yang dipakai sehingga tidak terjadi proses aglutinasi. c. Uji HA lambat Uji HA lambat dengan pelat mikro ini bertujuan untuk mengetahui jumlah titer virus. Titer virus adalah pengenceran tertinggi dari virus yang masih mampu mengaglutinasi eritrosit. Uji ini dimulai dengan memasukkan 0,05 PBS engan menggunakan dropper ke dalam 12 sumuran dalam pelat mikro. Kemudian pada sumur pertama diberi 0,05 ml cairan korioalantois yang mengandung virus. Selanjutnya, dengan menggunakann diluter 0,05 ml cairan dipindahkan dari sumuran 1 ke sumuran 2, dari sumuran 2 ke sumuran 3 dan seterusnya sampai sumuran ke-11. lalu ke dalam sumuran 1 s.d 12 diteteskan 0,05 ml eritrosit ayam 0,5%. Pengamatan dilakukan setelah eritrosit dalam sumuran ke-12 mengendap. Pada uji HA lambat dapat diamati bentuk hemaglutinasi eritrosit pada dasar tabung. Uji positif ditandai dengan terbentuknya endapan seperti bunga sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan eritrosit di dasar tabung. Untuk uji HA lambat teramati reaksi hemaglutinasi pada pelat mikro rata-rata sampai pelat yang ketiga dan keempat. Titer virus yang diperoleh adalah 6
2 = 32 unit HA, yang berarti di dalam 0,05 ml cairan allantois terdapat virus 32 unit HA (unit HA adalah satuan penghitungan virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit). d. Uji HI lambat Uji HI lambat bertujuan untuk menentukan titer antibodi yang ada dalam serum darah ayam dan mampu digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kekebalan ayam terhadap virus tersebut. Titer antibodi yaitu pengenceran tertinggi dari serum yang masih mampu menghambat reaksi aglutinasi eritrosit Pada uji lambat digunakan pelat mikro sebanyak 4 baris, hal ini
dimaksudkan agar hasil yang didapat lebih akurat yaitu dengan merata- ratakan hasil yang didapat dari tiap baris. Yang menjadi kontrol virus adalah lubang nomor 11, kontrol eritrosit adalah lubang nomor 12 dan kontrol serum adalah lubang nomor 1. Uji dimulai dengan memasukkan 0,025 ml PBS ke dalam sumuran 1-12 dengan menggunakan dropper. Kemudian, ke dalam sumuran 1 dimasukkan 0,025 ml serum ND pekat. Langkah selanjutnya adalah memindahkan campuran dari sumuran 1 ke sumuran 2, dari sumuran 2 ke sumuran 3, dan seterusnya sampai sumur ke-10 dengan menggunakan diluter. Kemudian ke dalam sumuran 2 hingga 11 dimasukkan 0,025 ml virus 4 HA, virus 4 HA yaitu virus yang sudah mengalami pengenceran 4 x dengan cara mencampur 1 bagian virus dengan 3 bagian pengencer. Setelah ditunggu 30 menit (agar reaksi berlangsung sempurna), ke dalam sumuran 1-12 dimasukkan 0,05 ml eritrosit ayam 0,5% dan kemudian ditunggu sampai mengendap. Hasil positif ditunjukkan dengan endapan eritrosit yang terbentuk di dasar tabung karena hemaglutinasi dihambat, sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan tidak adanya endapan, yang berarti eritrosit terhemaglutinasi. Pada uji ini diperoleh hasil sumuran yang tidak terjadi endapan (hemaglutinasi dihambat) 9 adalah sumuran 1 s.d sumuran 6, titer virus yang didapat adalah 2 = 512 unit HI yang artinya di
dalam 0,025 ml serum terdapat 512 unit antibodi yang mampu menghambat hemaglutinasi. Jika titer antibodi terhadap virus tinggi maka prognosanya baik karena tubuh mempunyai respon yang baik dalam upaya untuk mengatasi gangguan infeksi. Cara Memperoleh Virus 4 HA Ayam yang sakit diambil dan diperiksa, diperhatikan adanya gejala klinis yang menonjol atau spesifik. Ayam dibedah diambil organ-organ (predileksi) yang erat kaitannya dengan gejala penyakit tersebut, dalam hal ini Newcastle Disease. Organ didalam mortir, ditambah PBS 1:4 sehingga diperoleh suspensi dari organ. Suspensi dimasukkan kedalam tabung dan disentrifuse selama 15 menit, 3000 rpm. Bagian (cairan) supernatan dipindah kedalam tabung baru dan diberi antibiotik.
Contoh antibiotik yang dapat digunakan adalah Penisilin dan Sterptomisin. Selanjutnya di inkubasi 37oC selama 2,5 jam. Kemudian supernatan tersebut ditanam dalam PAD, diinkubasi 18-24 jam dan diamati ada tidaknya pertumbuhan bakteri. Bila tidak ada, supernatan yang telah diinkubasi ditanam ke dalam telur ayam berembrio yang bebas kuman pathogen spesifik (SPF). TAB tersebut diinkubasi pada mesin tetas telur 3-5 hari, sebagai control diinkubasikan juga TAB (Telur Ayam Bertunas) normal. Setelah diinkubasi TAB yang telah dipropagasi dimasukkan ke dalam refrigerator semalam penuh untuk memastikan embrio benar-benar mati dan untuk vasokonstriksi pembuluh darah. Telur diambil, bagian rongga udara dibuka, embrio disisihkan, cairan dalam ruang propagasi dipanen, cairan tersebut diharapkan tumbuh banyak virus. Untuk mengetahui bahwa virus tersebut tumbuh, maka embrio dikeluarkan dan diamati adanya perubahan-perubahan patologi-anatomi ukuran embrio dibandingkan dengan yang normal. Bila ada pertumbuhan virus maka ukuran embrio lebih kecil atau embrio tidak berkembang. Selanjutnya dapat dilakukan uji HA. 4
Setelah uji HA lambat didapat jumlah titer virus sebanyak 2 = 16 HA unit. Hasil tersebut dibagi 4, jadi 16/4 = 4. Jadi untuk mendapat virus 4 HA maka 1 bagian virus ditambah dengan 3 bagian PBS. Cara Memperoleh Eritrosit 0,5% Dan 2,5% Darah
diambil, dimasukkan dalam tabung steril, diberi antikoagulan 1:5, kemudian disentrifuse
selama 1 menit. Bagian supernatan di buang. Contoh antikoagulan yang adapat digunakan adalah EDTA, heparin, atau sitrat.
Endapan eritrosit dicuci dengan PBS hingga volumenya sama dengan volume darah semula. Tabung digoyang-goyangkan kemudian disentrifuse lagi selama 1 menit. Pencucian dilakukan 3X.
Pada pencucian yang terakhir, supernatan dibuang. Eritrosit ditambah lagi PBS, kemudian dimasukkan dalam tabung PCV, disentrifuse 15 menit.
Dalam hal ini PCV (%) adalah angka yang tertera pada pengendapan eritrosit dalam tabung PCV.
Misal
PCV 10 % untuk membuat konsentrasi 2,5 % maka (10 : 2,5 = 4) dibuat 1 bagian eritrosit
dalam 3 bagian PBS. Sedangkan
untuk membuat konsentrasi 0,5% maka (10 : 0,5 = 20), jadi dibuat 1 bagian eritrosit
dalam 19 bagian PBS. VI. KESIMPULAN 1. Virus ND (Newcastle Disease) diinokulasi pada cairan allantois telur berembrio yang berusia 9-10 hari. 2. Virus ND dapat dikumpulkan dengan mengambil cairan allantois, dan diuji dengan HA/HI test dengan serum anti ND. 3. Pada uji presipitasi agar (UPA) terbentuk garis presipitasi, yang menunjukkan terjadi ikatan antigen dengan antibody dan membuktikan bahwa virus tersebut adalah virus ND. 4. Pada uji hemaglutinasi (HA) cepat terjadi hemaglutinasi antara eritrosit dengan virus yang di tunjukan dengan adanya agregat/presipitat berwarna putih yang berarti virus memiliki hemaglutinin. 5. Pada uji HI cepat tidak terjadi hemaglutinasi karena tidak ada ikatan antara eritrosit dan virus karena sudah ada anti virus. 6. Pada uji HA lambat dapat ditentukan titer virus 26 = 32 unit HA 7. Pada uji HI lambat dapat ditentukan titer antibodi 29 = 512 unit HI DAFTAR PUSTAKA Fenner. F. 1993. Virology Veteriner Edisi kedua. New York: Academic Press Inc.
Jawetz, dkk, 1996. Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. Jakarta: Binarupa Aksara Merchant, Ival Arthur. Veterinary Bacteriology and Virology, 4th edition. The Iowa State College Press. Ames, Iowa. Merchant and Packer. 1994. Veterinary Bacteriology and Virology. USA: Iowa State University Press Purchase. H. G., 1989. A Laboratory Manual for the Isolation and Identification of Avian Phatogens, Third Edition. Amerika: Kendal/hint Publishing Company Tabbu, C.Rangga. 2000. Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius Diagrammatic
representation
of
Newcastle
disease
virus,
http://www.fao.org/DOCREP/005/AC802E/ac802e0o.htm http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.brandeis.edu/projects/wanghlab/images/ne wcastlevirus.gif&imgrefurl=http://www.brandeis.edu/projects/wanghlab/applicationsNewca stle.html&h=243&w=389&sz=16&hl=id&start=23&tbnid=p1uX8ORGrZ94cM:&tbnh=77&tbn w=123&prev= http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.nature.com/ncponc/journal/v4/n2/images/n cponc0736f4.jpg&imgrefurl=http://www.nature.com/ncponc/journal/v4/n2/fig_tab/ncponc0736_F4.ht ml&h=398&w=450&sz=38&hl=id&start=17&tbnid=uBs8zwcZJ_faM:&tbnh=112&tbnw=127&prev= http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.urbanwildlifesociety.org/WLR/Tabl32.14PM V.gif&imgrefurl=http://www.urbanwildlifesociety.org/WLR/PMV-RH%26HWWW.htm&h=244&w=282&sz=10&hl=id&start=26&tbnid=WY6VJj6vM17AWM:&tbnh=99& tbnw=114&prev= http://www1.fao.org/media_thumbs/Photos/1995/Apr1995/Thumbs_384/17857.jpg Shane, simon M. Buku Pedoman Penyakit Unggas. American Soybean Assosiation; Singapore. (www.poultryindonesia.com) http://www.vet.uga.edu/vpp/gray_book02/fad/vnd.php
http://en.wikipedia.org/wiki/Newcastle_disease http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/contents/Pa ramyxovirus1Fig1.jpg&imgrefurl=http://www.thepoultrysite.com/diseaseinfo/111/newcastl e-disease-paramyxovirus1&h=179&w=229&sz=8&hl=id&start=133&tbnid=Z97QQFMoZY2AOM:&tbnh=84&tbnw=108 &prev= Diposkan oleh Jendela Yudhie di 23:36 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Reaksi:
0 komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini Buat sebuah Link Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Jendela Yudhie kuliah di FKH UGM.....KOAS.... Asisten Lab Fisiologi FKH UGM. Lihat profil lengkapku
Total Tayangan Laman 74,661
Pengikut Arsip Blog
► 2011 (21)
► 2010 (98)
▼ 2009 (40) o ▼ Desember (9) Manajemen Ternak BAbi BUAH MERAH Antibiotik INOKULASI VIRUS dan UJI HA-HI CLOSTRIDIUM BOTULINUM Streptococcus pneumoniae TEKNIK SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI FERTILISASI KUDA Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) o ► Oktober (21) o ► September (10)