BAB 5 KESIMPULAN
Setelah seluruh data temuan lapangan telah peneliti jabarkan melalui argumen pada bab sebelumnya maka inilah saatnya peneliti menguraikan kesimpulan penelitian. Temuan peneliti terkait penelitian langsung dilapangan akan peneliti hadapkan pada teori implementasi kebijakan, gender mainstreaming, serta pelayanan publik yang peneliti gunakan sejak awal. Penjelasan mengenai kebijakan pengadaan gerbong wanita yang meliputi alur kebijakan public sudah peneliti jelaskan pada sub bab sebelumnya. Penarikan kesimpulan didasari oleh kerangka teori menurut Grindle yang menjelaskan implementasi kebijakan secara konteks dan konten. Content of implementation dan Context of implementation dan melihat outcomes ketika telah diaplikasikan, akan bersinergi dengan apa yang pemangku kebijakan telah dan ingin lakukan. Pertama peneliti akan menjelaskan mengenai kesesuaian antara apa yang ada dilapangan dengan Content of implementation. Penumpang kereta Prameks yang telah membentuk suatu komunitas memiliki kepentingan yang sama. Meskipun kepentingan yang ada ternyata tidak banyak berhubungan dengan gerbong khusus wanita. Kepentingan komunitas yang dibawa adalah meyangkut ketersediaan dan harga tiket kereta api. Bahkan untuk mewujudkan kepentingan yang dibawa, komunitas ini ini melakukan loby yang didampingi dengan pejabat publik setempat yang memiliki posisi tawar sama, dan setara dengan pemangku kebijakan dilingkup PT KAI. Hal ini membuktikan bahwa interest affected, dengan site decision making dalam teori Grindle telah bekerja dan saling bersinergi. Yakni suatu kebijakan apabila diimplementasikan selalu ada maksud dari pihak yang berkepentingan, dan jabatan dari pemangku kepentingan akan berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. 103
PT KAI dalam mengimplementasikan kebijakan yang akan berpengaruh terhadap orang banyak harus selalu bermanfaat, dan tidak merugikan public terutama bagi penumpang kereta api. Kereta khusus wanita dalam rangkaian kereta Prameks PT KAI telah berhasil melakukan perbaikan layanan khususnya untuk penumpang perempuan. Meskipun banyak menimbulkan komentar negative dari penumpang. Perubahan untuk lebih bertoleransi dan peduli terhadap perempuan telah dibuktikan oleh PT KAI DAOP VI Yogyakarta. Fakta diatas telah sesuai dengan teori implikasi kebijakan Type of Benefits dan Extent of Change Envision yang diungkapkan Grindle. Peneliti memaknai sebagai, suatu kebijakan yang diimplementasikan memiliki tujuan yang jelas, maka sebuah perubahan akan mengikuti kebijakan yang telah diimplementasikan. Kurangnya keterlibatan masyarakat, menunjukkan kebijakan ini tidak banyak mendapatkan dukungan dari penumpang. Untuk mempertahankan dan memperbaiki pelayanan terhadap penumpang syaratnya sederhana. Hanya, diperlukan keikutsertaan dari masyarakat untuk menjaga, mengawasi, dan menegakkan aturan di stasiun maupun didalam kereta api. Penilaian secara Content of implementation pada Program Implementer dan Resources Committed membuktikan tidak adanya sinergi kebijakan oleh penumpang terhadap PT KAI DAOP VI Yogyakarta. Teori implementasi menurut Grindle tidak hanya menjelaskan Content of implementation saja, namun juga menjelaskan tentang Context of implementation. Meskipun dalam pengambilan keputusannya PT KAI menyatakan tidak ada pihak swasta yang terlibat namun seluruh keputusan dari kebijakan diambil oleh pimpinan perusahaan. Implementasi KKW tergolong cepat karena merupakan instruksi dari direksi pusat, sehingga tidak ada perdebatan seperti pengambilan keputuan oleh anggota dewan yang mewakili banyak orang, dan memiliki banyak kepentingan politik sendiri. Karakteristik PT KAI yang lebih hierarkis lebih memudahkan kebijakan untuk segera dilaksanakan. Namun, tetap harus melihat sisi kesiapan impelemtor sendiri.
104
Implementor dan sumber daya baik kereta api maupun fasilitas didalam kereta Prameks khususnya kereta wanita yang menjadi ganjalan peneliti. Peneliti menemukan beberapa kereta rusak ketika ditengah jalan, implementor yang melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan penumpang, dan keterlambatan kereta yang tidak pernah bisa teratasi serta komentar dari penumpang yang tidak terakomodasi dengan baik. Ketika kebijakan telah dipersiapkan dengan baik namun, belum dilakukan dengan baik maka, kebijakan tidak dapat dipandang baik oleh public. Bahkan untuk kereta Prameks ungu penanda kereta khusus wanita telah dihapus. Kebijakan yang seperti inilah yang membuat kesan kebijakan ini terlihat dipaksakan untuk ada, sehingga pelaksanaanya pun terlihat setengah hati. Kebijakan bagus, namun daya tanggap implementor rendah tetap akan menjadi kebijakan yang dieksekusi secara tidak sempurna. Seperti halnya pada KKW yang banyak terjadi pembiaran karena implementor yang tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved, Institution and Regime Characteristic, dan Compliance and Responsiveness saling terkait dan sebuah kebijakan tidak bisa dinyatakan bagus apabila salah satu dari factor diatas tidak dilaksanakan dengan baik. Dilihat dari Content of implementation dan Context of implementation, maka peneliti sudah bisa melihat hasil dari kebijakan. Setelah adanya gerbong wanita, ada banyak perubahan yang terjadi baik secara individu maupun kelomok. Dampak yang paling nyata terlihat adalah banyaknya penumpang baik individu maupun kelompok khususnya perempuan yang beralih mencari gerbong wanita. Hal ini dikarenakan manfaat yang dirasakan oleh para penumpang didalam gerbong wanita. Dari seluruh rangkaian temuan lapangan yang telah dibalut dengan teori implementasi kebijakan Grindle dan pelayanan public Pagano dan McKnight dapat disimpulkan bahwa kebijakan implementasi kereta khusus wanita pada kereta Prameks dapat dikategorikan dalam dua hal besar yakni factor pendukung
105
adanya kereta khusus wanita dengan factor penghambat pengadaan kereta khusus wanita. A. Faktor Pendukung Berlangsungnya Kebijakan Sebuah kebijakan yang telah diimplementasikan tentunya memiliki dampak positif bagi kelompok target. Pada kebijakan kereta khusus wanita dalam rangkaian kereta Prameks akan peneliti jelaskan secara garis besar dalam factor pendukung masih berlangsungnya kereta khusus wanita sampa saat ini: 1. PT KAI masih memiliki rasa kemanusiaan terhadap kaum wanita. Argumennya adalah jika dalam sebuah kereta ekonomi khususnya local diterapkan gerbong campur semua, tanpa ada tanda tempat duduk prioritas maka, wanita akan kalah jika harus berebut tempat duduk dengan penumpang pria. Ada kereta khusus wanita saja masih banyak wanita hamil, ibu-ibu menggendong bayi, dan anak kecil yang tidak mendapat tempat duduk dikereta Prameks, apalagi jika kebijakan kereta khusus wanita dihapus. PT KAI masih memiliki belas kasihan terhadap penumpang wanita yang harus duduk lesehan di dalam kereta. Menurut pantauan dari peneliti, adanya gerbong wanita saja belum cukup efektif untuk menggugah kesadaran dari kaum wanita sendiri untuk berbagi tempat duduk dengan penumpang lansia, hamil, ataupun menyusui, yang sebenarnya sama-sama wanitannya. Perlu adanya kesadaran dari pihak penumpang sendiri yang juga harus mengerti situasi dan kondisi didalam kereta Prameks. Menurut Humas PT KAI DAOP VI Yogyakarta, PT KAI tidak berani menghapus peraturan baik yang sudah ada. Tidak bisa dibayangkan apabila kaum wanita khususnya kaum ibu harus ikut duduk lesehan didalam gerbong campur. Duduk lesehan saling berdesakan dengan penumpang pria. Apabila ini dilakukan, PT KAI merasa tidak memiliki peri-kemanusiaan terhadap wanita. Bahkan kondektur kereta api perempuan akan dipindah tugaskan ke bagian administrasi jika sudah berkeluarga dengan alasan kemanusiaan. Maka layanan terhadap penumpang pasti akan lebih diprioritaskan.
106
2. PT KAI memberi ruang berekspresi untuk kaum wanita. Wanita bisa berekspresi lebih jika diberada di gerbong wanita. Dilihat dari banyaknya komunitas atau kelompok antar penumpang yang lebih sering terlihat berkumpul di gerbong wanita. 3. Masih ada gerbong campur yang bisa menampung kapasitas penumpang. Untuk Prameks kuning kereta khusus wanita memang masih ada. Karena kondisi kereta yang masih layak jalan. Kapasitas penumpang dalam Kereta Prameks kuning lebih banyak daripada rangkaian kereta prameks ungu. Keberadaan kereta wanita pada Prameks ungu memang sudah tidak ada. Argument dari PT KAI ketiadaan gerbong wanita pada prameks ungu bukan tanpa kesengajaan. Rangkaian prameks ungu memang sering dibongkar pasang melihat kelayakan pada kereta. Apabila gerbong khusus wanita rusak maka rangkaian kereta pada Prameks Ungu ditiadakan. Argument PT KAI yang demikian, tidak sesuai dengan apa yang peneliti temukan dari observasi lapangan. Peneliti pernah mendapati kereta Prameks ungu yang awalnya terdapat rangkaian kereta khusus wanita, sebenarnya masih tetap ada. Hanya saja, terjadi pelepasan stiker penanda dari luar bahwa tidak ada gerbong wanita. Sedangkan didalam rangkaian gerbong stiker belum dilepas. Hal ini tentunya harus diungkapkan secara jujur oleh PT KAI bahwa kereta wanita memang dihapus dirangkaian kereta Prameks ungu. Menurut analisis dari peneliti, penghapusan kereta khusus wanita pada rangkaian kereta Prameks ungu adalah karena kapasitas angkut yang lebih sedikit dibandingkan dengan kereta prameks kuning. Kereta Prameks ungu tidak memiliki desain yang besar untuk mengangkut banyaknya jumlah penumpang, karena tempat duduk yang didesain tidak sejajar dengan kereta. Sedangkan pada rangkaian prameks kuning, tempat duduk didesain agar sejajar dengan kereta dan
107
memiliki lobi yang lebih lebar untuk mengangkut banyaknya penumpang tiket berdiri. B. Factor Penghambat Berlangsungnya Kebijakan Banyak factor yang bisa menghambat suatu kebijakan. Factor penghambat bisa dari implementor maupun dari sarana prasarana, bahkan tidak menutup kemungkinan dari penumpang sendiri. Factor penghambat kebijakan inilah yang akan menimbulkan ketidak puasan pelanggan kereta. Berikut adalah factor penghambat kebijakan kereta khusus wanita, pada kereta Prameks: 1. Anggaran yang minim Argumen minimnya anggaran dapat dinilai dari berbagai hal seperti:
Sarana dan Prasarana Kereta Api.
Peneliti bisa menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan sarana dan prasarana kereta api. Adalah, banyaknya kerusakan yang terjadi dalam beberapa rangkaian kereta api Prameks tidak dapat diatasi dengan baik. Kereta Prameks yang sudah tua, bukan saatnya lagi untuk memperbaiki, namun PT KAI sudah sepantasnya mengganti dengan kereta yang lebih baik dan lebih baru. Bukan dengan KRL bekas JABODETABEK yang di atur ulang permesinannya menjadi KRD. Bukan pula dengan rangkaian kereta istirahat seperti Kereta Sidomukti, dan Kereta Madiun Jaya. Dapat dibuktikan dengan wawancara terhadap Humas DAOP VI, bahwa kereta api Prameks merupakan kereta bekas kereta lain. Seperti KRL Jabodetabek, kereta Senja Utama Solo yang sudah sangat tua, dan kereta bekas Jepang yang sudah dihibahkan berkali-kali. Sekali lagi, keadaan ini menunjukkan PT KAI minim anggaran untuk perbaikan pelayanan sarana dan prasarana kereta.
Alasan kerusakan kereta.
108
Alasan kerusakan kereta, muaranya tetap anggaran. Ditambah lagi dengan banyaknya kereta yang sudah tua, dan sulit bahkan sudah tidak memiliki suku cadang. Seharusnya, jika memang pemerintah serius menggarap pasar angkutan masal bukan jalan raya yang ditambah namun angkutan masal lengkap dengan perundang-undangannya yang diperbaiki dan ditambah tingkat kenyamanannya. Pemerintah wajib menambahkan biaya perawatan, subsidi, dan penambahan jalur baru untuk angkutan masal seperti kereta api. Dalam aturan kerjanya PT KAI juga seharusnya telah menganggarkan biaya perbaikan kereta yang cukup. Hingga tidak ada alasan lagi kereta rusak tanpa perbaikan selama bertahun-tahun. Ini menentukan penilaian masyarakat terhadap kereta api bahwa PT KAI tidak bisa memberikan pelayanan yang baik terhadap pelanggan. Alasan kerusakan kereta selama beberapa tahun lamanya seharusnya tidak dijadikan alasan oleh PT KAI. Karena penumpang selalu membayar mahal tiket kereta yang akan mereka gunakan, dan tidak pantas ketika penumpang dengan setia menggunakan layanan jasa kereta api namun, internal PT KAI hanya berorientasi pada provit saja.
Alokasi dana perbaikan/penggantian kereta Prameks.
Ini yang harusnya menjadi agenda utama pemerintah. PT KAI selaku operator kereta api akan sulit mengalokasikan anggaran untuk membeli kereta baru. Akhirnya dengan anggaran yang terbatas PT KAI terpaksa membeli kereta bekas lagi. Bekas kereta akan diputar lagi untuk membuka dan mengisi jalur yang memiliki potensi tinggi namun masih belum memiliki sarana memadai. 2. Implementor yang tidak kapabel. Yang menjadi penghambat maju mundurnya pelayanan sebenarnya adalah implementor sendiri. Jika dimasa lalu implementor hanya sebagai pemenuh kebutuhan kereta, mulai kini implementor harus ikut menekankan aturan di lingkungan PT KAI. Sayangnya untuk kereta khusus wanita implementor masih
109
belum sepenuhnya melakukan tindakan yang nyata untuk peningkatan kenyaman penumpangnya. 3. Ide yang tidak sempurna Ketidak sempurnaan PT KAI dalam memahami pelayanan yang ditujukan terhadap kaum perempuan secara khusus membuat implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik. Ide yang berjalan setengah hati, justru menimbulkan persepsi yang terkesan ambigu. Kesan setengah hati didasari pada ide yang tidak terserap secara sempurna sejak awal terlihat dari minimnya sosialisasi, sarana yang tidak menujukkan perbedaan secara mencolok, bahkan implementor yang tidak memahami sebuah kebijakan. Sehingga penumpang yang salah tempat hanya diabaikan saja. Jika pelanggan merasa kurang puas dengan pelayanan yang didapatkan maka dapat diartikan bahwa kinerja petugas atau kemampuan petugas dalam melaksanakan pekerjaannya belum maksimal. Dengan kata lain baik atau buruknya citra dari pelayanan perusahaan sebagian besar berada di tangan mereka. Apalagi jika sebuah ide yang telah terimplementasi namun dasar pemikiran mengenai pelayanan terhadap kaum perempuan masih lemah, maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan dengan baik atau terkesan setengah hati. Berbeda halnya jika pemangku kebijakan sudah menguasai permasalahan dari seluruh kebijakan yang akan diimplementasikan akan lebih dipersiapkan dengan baik. Pemangku kebijakan tentunya sudah menghitung biaya perawatan, dan seluruh biaya operasional lainnya. 4. Tidak adanya peraturan yang tegas. Tidak adanya peraturan yang tegas akan membuat penumpang maupun implementor tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Kebijakan KKW dikeluarkan tanpa ada peraturan dan sangsi yang jelas. Implementor yang bekerja tentunya tidak akan menjalankan dengan tegas karena merasa tidak ada keuntungan maupun kerugian apabila tidak melaksanakan dengan baik.
110
Penumpang sendiri juga banyak yang terlihat abai terhadap kereta yang ditumpangi apabila ada tempat duduk kosong langsung duduk saja. 5. Penumpang yang abai terhadap dirinya dan penumpang lain. Penumpang sendiri harusnya memiliki sifat empati terhadap penumpang lain. Penumpang pria yang salah duduk harusnya segera beranjak ketika telah diingatkan salah penumpang. Tidak harus diusir oleh penumpang wanita atau kondektur kereta. Penumpang wanita juga harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan bukan hanya diam saja. KKW memang untuk penumpang wanita, tetapi yang lebih berhak adalah lansia, ibu hamil dan menyusui, jadi penumpang wanita harus memiliki kerelaan hati untuk berbagi tempat duduk dengan yang lebih diprioritaskan. Bukannya acuh terhadap penumpang prioritas dengan alasan telah duduk terlebih dahulu. Dari factor penghambat diataslah peneliti bisa menuliskan apa yang peneliti dapatkan sebagai penumpang dan apa yang didapatkan dari penelitian secara wawancara dan observasi. Kesimpulan peneliti disini adalah seluruh kebijakan yang telah diimplementasikan oleh PT KAI apabila disandingkan dengan teori implementasi kebijakan public milik Grindle dan pelayanan public dalam hal transportasi menurut Pagano dan McKnight tidak berjalan dengan baik bahkan, terlihat dilaksanakan dengan setengah hati. Gender mainstreaming yang menjadi dasar untuk mewujudkan kereta wanita juga tidak memiliki semangat seperti Inpres No 9 Tahun 2000. PT KAI secara umum, tidak serius menyediakan layanan kereta khusus perempuan pada trayek Yogya-Solo. Dasarnya adalah pelayanan yang bukannya meningkat malah cenderung stabil bahkan turun. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh penumpang dan tidak mendapatkan tindakan yang tegas dari implementor, atau terjadinya pembiaran pelanggan oleh implementor. Dari sisi penumpang juga tidak memiliki kesadaran untuk memberikan perlindungan terhadap penumpang yang lebih diprioriaskan. PT KAI harus segera melakukan
111
evaluasi ulang secara menyeluruh terhadap kebijakan pengadaan KKW, dan melakukan perbaikan pada seluruh layanan kereta Prameks pada umumnya.
112