Kolom IBRAHIM ISA Senin, 30 September 2013 ------------------------------------
--
“Gerakan 30 September”, “G30S” Adalah “Gerakan 1 Oktober” (“GESTOK”) . . .
--
Meningkatnya Kesedaran Mengungkap Kebenaran dan Keadilan . . Sekitar Peristiwa '65
Suatu peristiwa teramat krusial dalam sejarah Republik Indonesia, yang terjadi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965, telah mengubah jalannya sejarah negeri dan bangsa ini secara drastis, radikal dan berdarah. Peristiwa tsb diawali oleh suatu aksi militer “blitzkrieg”. Seperti yang dinyatakan oleh pencetus peristiwa” Gerakan 30 September”, aksi tsb bertujuan membela Presiden Sukarno terhadap suatu komplotan kudeta oleh suatu “Dewan Jendral”, – –. “G30S” mengklaim bertujuan membela Pesiden Sukarno. Enam orang perwira tinggi dan seorang perwira bawahan Angkatan Darat jadi korban pembunuhan. “G30S” membentuk suatu “Dewan Revolusi” . Yang dideklarasikan pada hari pembentukannya sebagai badan kekuasaan tertinggi Indonesia. Praktis menyisihkan Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno dari kedudukannya sebagai pejabat dan pimpinan tertinggi negara dan pemerintah. Makanya aksi “G30S” tsb oleh banyak fihak dikatagorikan sebagai suatu perebutan kekuasaan. Juga tercatat dalam dokumentasi media, bahwa tokoh-tokoh pimpinan “G30S” , seperti Brigjen Supardjo yang melapor kepada Presiden Sukarno dan Kol Untung, semua patuh pada perintah Presiden Sukarno untuk menghentikan aksi-aksi “G30S . Dengan demikian telah mencegah konfrontasi berdarah antara kekuatan militer Jendral Suharto versus “G30S”. “G30S” yang memulai aksi militer, taat pada Presiden Sukarno dan meletakkan senjata. Dengan demikian tuduhan bahwa “G30S” melakukan perebutan kekuasaan atau pemberontakan terhadap pemerintah, kembali dipersoalkan keabsahannya. *** Dalam perkembangan yang bersamaan waktunya, YANG AKTUIL, NYATA, MELAKUKAN KUDETA (merangkak) terhadap Presiden Sukarno adalah Jendral
Suharto. Jendral Suharto melakukan “penahanan rumah”(hakikatnya lebih ketat dari pemenjaraan) -- terhadap Presiden Repubik Indonesia, Ir Sukarno, mengasingkannya dari kontak dengan dunia luar, selain anggota keluarganya yang diseleksi. Selanjutnya, secrara berrencana diatur secara programatis, fihak militer dibawah Jendral Suharto dan Jendral Nasution, akhirnya menyingkirkan Presiden Sukanro, melalui suatu sidang MPRS yang direkayasa. Perkembangan berikutnya Jendral Suharto dan para pendukungnya di kalangan militer dan parpol serta sementara kekuatan sosial termasuk yang nasionalis dan religius --- menegakkan rezim Orde Baru (Orba). Suatu rezim paling otoriter yang melakukan pelanggaran HAM berat. Yaitu persekusi dan pembunuhan masal, serta pemenjaraan, termasuk pembuangan ke P. Buru. Keselurahan korban sekitar 3 juta warga yang tidak bersalah. . . . . Atas tuduhan terlibat “G30S”, anggota PKI, diduga atau simpatisan PKI dan para pendukung setia politik Presiden Sukarno. *** Entah apa sebabnya, para pencetus “G30S” menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Kesatuan militer AD dibawah Jendral Suharto, yang berhasil mengalahkan “G30S”, menamakan gerakan itu sebagai “Gestapu”. Dengan maksud mengidentikan gerakan tsb dengan “GESTAPO”, dalam bahasa Jerman, “Geheime Staatspolizei”. Yaitu polisi rahasia negara rezim Jerman Hitler. “Gestapo” diberi kekuasaan tak terbatas oleh Hitler, untuk menangkap siapa saia, atas nama “shutzhaft”, “diamankan”. Suatu cara yang seratus persen dipraktekkan oleh “Koptamtib” dan “BIN”, Badan Intelijen rezim Orba. Ratusan ribu orang tak bersalah yang “diamankan” itu lalu “hilang”, yang masih hidup tak tentu dimana rimbanya, yang mati tak seorangpun tahu dimana kuburannya. Orde Baru menuduh “G30S” adalah “Gestapo”. Dalam praktek yang dilakukan oleh Kopkamtib dan BIN, lebih kejam dan lebih biadab dibanding “Gestapo”-nya Nazi Hitler. Presiden Sukarno dengan tepat sekali menamakan “G30S” itu “GESTOK”, “Gerakan Satu Oktober”. Karena, nyatanya gerakan tsb dimulai sekitar jam 03.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965. Dengan tujuan jelas, Orba mengembangkan lanjut penamaan untuk “G30S”, menjadi “G30S/PKI”. Untuk melegitimasi klaimnya bahwa PKI adalah dalang “G30S”. Pada periode pemerintahan Megawati, nama itu dikembalikan pada aslinya, “G30S”. Tanpa embel-embel PKI. Karena memang para pelakunya menamakan gerakan mereka itu “Gerakan 30 September, G30S”. Tapi penguasa kemudian kembali menggunakan nama “G30S/PKI”.
Apa itu “G30S”, bagaimana “the who's and the “why's”-nya, bisa dibaca di banyak dan berbagai penulis dan analisis serta hasil studi. Orba punya versinya sendiri yang penuh rekayasa, fitnah dan dusta. Pakar-pakar sejarah dan politik nasional dan internasional, menuliskan varian mereka sendiri. Kebanyakan hasil studi dan kesimpulan serta penulisan, menuding bahwa “G30S” adalah dalih untuk suatu perebutan kekuasaan oleh militer di bawah Jendral Suharto. *** Empatpuluh delapan tahun telah lalu sejak terjadinya “G30S”. Namun, akibat serius dengan jatuhnya korban ditangan aparat dan pendukungya, sekitar 3 juta warga tidak bersalah serta diksriminasi dan pengucilan sosial dan politik terhadap keluarga korban yang tidak bersalah. Namun, sampai dewasa ini tidak satu kasuspun yang sudah ditangani oleh pemerintah-pemerintah yang didirikan sesudah digulingkannya rezim Orde Baru dan dimulainya proses Reformasi dan Demokratisasi. *** Di lain fihak, – – perkembangan positif juga tampak nyata. Kesedaran masyarakat luas, teristimewa di kalangan generasi muda, mengenai sejarah bangsa, khususnya mengenai peristiwa yang terjadi sekitar 1965, mengenai hak-hak demokirasi dan HAM semakin hari semakin bertambah. Aksi-aksi masyarakat menuntut diungkapkannya KEBENARAN dan ditegakkannya KEADILAN sekitar PERISTIWA 1965 semakin meningkat. Peningkatan ini tercermin antara lain dengan berhasilnya KomnasHAM membuat laporan (23 Juli 2012) yang menyimpulkan telah terjadinya pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan negara sekitar Peristiwa 1965/'66. KomnasHAM telah mengajukan rekomendasinya kepada Kejaksaan Agung untuk menindak lanjuti pelaanggaran HAM berat tsb. Dihasilkannya Uud Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi merupakan pertanda lainnya bahwa peningkatan kesadaran publik mengenai perlunya menanganan akibat dari pelanggarn HAM berat sekitar Peristiwa 1965, perlunya mengungkap kebenaran dan diusahakannya rekonsiliasi nasional.
Yang tidak kalah penting gejala yang menunjukkan peningkatnya kesadaran masyarakat mengenai perlunya mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan sekitar Peristiwa 1965, adalah berlangsungnya TeleConference antar kota-kota Jakarta – Melbourne – Vancover – Kopenhagen, yang dipandu oleh Prof Dr Baskara T. Wijaya pada akhir Agustus 2013 y.l. Di Jakarta hadir kira-kira 200 orang dan banyak dari generasi muda. Suatu pertanda bagus. Mencerminkan semakin meningkatnya perhatian kalangan terpelajar muda negeri kita mengenai sejarah bangsanya *** Di mancanegara masalah pelanggaran HAM berat di sekeitar Perisitiwa Tragedi Nasional 1965, mendapat sorotan meningkat besar-besaran dengan dirilisnya film dokumenter “THE ACT OF KILLING” , karya produser film Amerika, Joshua Oppenheimer. Situasi dewasa ini, 48 tahun sesudah terjadinya Tragedi 1965, menegaskan kegagalan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang berusaha keras untuk mencegah terungkapnya kebenaran dan tegaknya keadilan sekitar Pelanggaran HAM berat oleh aparat negara dalam Peristiwa 1965. Di fihak lain situasi tsb juga menunjukkan bahwa kekuatan retrogres sisa-sisa Orba itu tidak tinggal diam. *** Di bawah ini disiarkan sebuah tautan untuk film “The Act of Killing”, diriliss oleh mailis ”Exlibris 1965”, yang saya terima dari sahabatku Prof Said Salim, mantan Dubes R.I. di Praha, yang tekun menforwardkan berita-berita penting nasional dan internasional, sbb: Pembaca yang budiman, Kami kirim tautan untuk melihat film "The Act of Killing" yang disutradarai oleh Yoshua Oppenheimer/ http://viooz.co/movies/20433-the-act-of-killing-2012.html “Jagal “ – (''The Act of Killing'') Adalah film dokumenter karya sutradara asal Amerika. Dokumenter ini menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI yang terjadi di tahun 1965-1966
memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik. Setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S di tahun 1965, Anwar dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri. Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida. Dalam Jagal, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance. Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, JohnWayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya
berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat. Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah. Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri. Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak. Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral. Selamat menonton.
Maaf kalau terjadi pengiriman ganda. Pengelola ExLibris 1965 ***