‘ÂDAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DAN PRAKTEKNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH Yanis Maladi Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram Telp. (0370) 633726, 63305 Email:
[email protected]
Abstrak: Salah satu tujuan utama dari hukum adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Hukum tidak hanya dilihat sebagai kumpulan peraturan semata-mata, melainkan merupakan cermin ekspresi masyarakat mengenai kebajikan nilai-nilai moral dan etika. Kekuatan mendasar (essensial) dari hukum itu karena ia dapat menyalurkan ide, cita-cita, idealisme berdasarkan pengalaman yang bersifat kognitif dalam perkembangan masyarakat yang bersangkutan dari waktu ke waktu. Dalam al-Qur’an secara eksplisit diberikan contoh kebajikan nilai-nilai moral dan etika yang baik yakni memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menyampaikan amanah dan mempraktekkan musyawarah (asysyûrâ) atau berjiwa aspiratif. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai keunggulan ‘âdah yang dijadikan kekuatan nilai-nilai Islam sebagai sumber utama penyelesaian sengketa. Dengan tujuan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, yakni memperjuangkan kebenaran dan kebajikan yang berkeadilan. Dalam penelitian ini ditemukan ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa tanah yang dikenal di masyarakat, namun yang menjadi pilihan dan kecenderungan yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat adalah model penyelesaian secara musyawarah mufakat atau mediasi yang difasilitasi oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat berkedudukan sebagai mediator. Kata kunci: ‘âdah, nilai, etika, musyawarah, mediasi, non-litigasi
315
‘ÂDAH AS A SOURCE OF ISLAMIC LAWS AND ITS IMPLEMENTATION FOR SOLVING LAND DISPUTION Yanis Maladi The University of Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram Phone (0370) 633726, 633035 Email:
[email protected]
Abstract: One of the main purposes of law is to uphold truth and justice. Laws is not merely seen as a compilation of regulations but reflection of society‘s ideas of moral values and ethics. The basic strength of law lies on its ability to disseminate ideas, and visions based on people’s experiences from time to time. The Qur‘an, as a source of Islamic law, explicitly instructs people to adopt and apply virtues and good ethics such as assigning trustworthy to those who can bear it and to consult with each other to reach a consensus and resolve disputes. This study is aimed at giving understanding toward the society about advantages of Islamic values and ‘âdah as a main source for settling land disputes. The goal of these values is to gain truth, virtue and justice. The study found some model of land dispute resolutions. However, the most popular method taken by people is resolution out of courts (non-litigation) where religious or local figures often acted as the mediator of the conflict. Keywords: ‘âdah, values, ethics, syûrâ, mediations, non-litigation
316
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
PENDAHULUAN Sejak dilahirkan di dunia, manusia telah dianugerahi fikiran, kehendak dan perasaan, timbul hasrat untuk bergaul yang kemudian menghasilkan interaksi sosial yang dinamis. Mula-mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan yang dirasakan sebagai suatu yang baik lalu kemudian menjadi kebiasaan atau perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Berulang-ulangnya suatu perbuatan merupakan suatu pertanda bahwa perbuatan tersebut disukai dan dijadikan kebiasaan permanen yang bersifat dinamis. Kata ‘kebiasaan’ yang berupa perbuatan (‘urf ‘amali) yang merupakan makna tradisi, meliputi tradisi baik (al-’urf al-shahîh) bersumber pada sistem nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Jaih Mubarok bahwa sumber utama dari hukum yang berlaku di Arab pada zaman hukum arab pra-Islam, adalah adat-istiadat.1 Menurut Jallaludin Tunsam2 adat berasal dari bahasa Arab Adah yang berarti “kebiasaan-kebiasaan lokal dari masyarakat”. Hal ini dibenarkan oleh ahli hukum Indonesia bernama R. Van Dijk bahwa perkataan ‘adat’ adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab yang telah diterima dalam bahasa Indonesia.3 Macam adat istiadat itu misalnya ada istilah muzâra’ah (kerjasama pertanian, jual beli), mubâdalah (barter) dan lain-lain. Dalam pengelolaan dan pemilikan tanah-tanah pertanian pada masyarakat di pulau Lombok berpegang pada kebiasaan atau tradisi baik (al-’urf al-shahîh) yang dilandasi oleh asas “kejujuran”4 yang bersumber dari kutipan sebuah kalimat “Lombok Mirah Sasak Adi” yang ditulis dalam Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca (masa pemerintahan Kerajaan Majapahit)5 pada pupuh 14. Arti sesungguhnya dari kejujuran untuk orang-orang suku Sasak adalah permata kenyamanan yang utama. Karena itu “tau Sasak” (orang Sasak) yang menghuni Lombok atau gumi Selaparang, pada dasarnya dalam pergaulan hidupnya mengedepan-
1 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 21. 2 Htt:// www. Google.co.id/gwt/x?q=asal+kata+adat, diakses, 5 januari 2010 3 R. Van Dijk, Pengatar Hukum Adat Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung, 1982), 8-9. 4 Surat an-Nisâ’ (4):135; al-Mâidah: 8. 5 A.A. Gde Putra Agung, Wawasan Budaya Sasak untuk Pembangunan Birokrasi (Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata UGM: Menoleh Kearifan Lokal, 2004), 266-267.
317
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
kan sifat dan perilaku yang “lomboq” yang bermakna lurus atau jujur. 6 Konsep nilai kujujuran diatas sejalan dengan prinsip ajaran Islam yakni: Muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa akhdz bi al-jadîd al-ashlah (Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Ini berarti kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan adat dipandang sebagai suatu dinamika, karena merupakan perwujudan kreasi manusia dalam konteks milieunya (fisik dan nonfisik). Islam bersifat terbuka pada berbagai bentuk masyarakat, karena keidealannya maka Islam hadir dimuka bumi ini menjadi agama universal dan berlaku selamanya. Dalam perkembangan hukum Islam terlihat bahwa ‘âdah atau adat (kebiasaan) itu mengajarkan sesuatu yang baik sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan yang memperkaya khazanah budaya masyarakat. Oleh karena itu dengan sikap sedemikian, masyarakat akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dijadikannya hukum perdata Islam sebagai hukum positif karena ia telah melaksanakan fungsi utamanya mengatur hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya agar kehidupan mereka berjalan harmonis. Kekuatan mendasar (essensial) dari hukum itu, karena ia dapat menyalurkan idea, cita, nilai dan etika yang dikehendaki oleh masyarakat atau aktor pengguna hukum itu sendiri. Ukuran tertinggi penyaluran idea, cita, nilai dan etika dalam hukum Islam terletak pada ketentuan Allah, maka perbuatan ‘baik’ adalah semua yang diperintahkan oleh Allah kepada orangorang yang beriman.7 Sedangkan perbuatan ‘buruk’ adalah segala yang dilarang-Nya. Namun dalam al-Qur’an tidak ada penjelasan eksplisit tentang konsep abstrak nilai baik-buruk yang dikembangkan sepenuhnya.8 Oleh karenanya agar umat manusia tidak terjebak keadaan yang buruk maka ia dianugerahkan akal untuk melakukan pernilaian baik dan buruk atau dengan akalnya ia dapat mengenali nilai-nilai moral.
6 Djalaludin Arzaki, I Gde Madia, (et), Nilai-nilai Agama dan Kearifan budaya Lokal, Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat Relawan untuk Demokrasi dan HAM (Mataram: CV Bina Mandiri, 2001), 24. 7 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, Terj.Agus Fahri Husen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 21. 8 Mifhtahul Huda, “Dimensi Etika Pesan-Pesan Al-Qur’an”, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.5 No.2 Juni 2009, IAIN Mataram (Mataram: 2009), 190.
318
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
Berdasarkan pada uraian diatas, menunjukkan bahwa fundamental dari hukum itu berpusat pada nilai-nilai moral dan etika yang dikembangkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan yang diinginkan. Seperti dikemukakan Ahli hukum Masyarakat von Savigny menyatakan, hakekat setiap sistem nilai moral dari hukum adalah sebagai pencerminan jiwa dan hati nurani masyarakat yang mengembangkan hukum itu.9 Hukum itu, merupakan cerminan dan hasil dari cita-cita (atau idealisme).10 rasa, karsa, dan karya masyarakat, berdasarkan pengalamannya yang bersifat kognitif, dalam perkembangan masyarakat yang bersangkutan dari waktu ke waktu. Hukum tidak hanya dilihat sebagai kumpulan peraturan semata-mata, melainkan (hukum) merupakan cerminan ekspresi masyarakat (berbentuk legal culture) mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Berikut dalam al-Qur’an secara eksplisit memberikan contoh kebajikan nilai-nilai moral yang baik yaitu memerintahkan orang-orang beriman untuk menepati janji, 11 menyampaikan amanat kepada yang berhak,12 mendamaikan pihak-pihak yang tengah bermusuhan, 13 suka bermusyawarah/berjiwa aspiratif.14 Sedangkan contoh perilaku yang buruk yang disebutkan dalam al-Qur’an antara lain: mencuri, 15 perbuatan curang tentang sengketa hak milik,16 melukai orang lain17 dan lain-lainnya. Pencerminan moral dari hukum perspektif etika (ethics)18 dalam hukum perdata Islam hubungannya dengan penyelesaian sengketa tanah diluar sidang pengadilan yang berkeadilan pada masyarakat, maka peranan dan fungsi hukum benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Oleh karenanya tulisan ini bertolak pada kajian tentang keunggulan nilai-nilai moral dan etika yang sumber utamanya pada kitab al-Qur’an dan ‘âdah atau kebiasaan yang baik dan hidup, terpelihara serta berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya. Agar mendapatkan gambaran tentang adanya kecenderungan pilihan 9
Von Savigny, dalam Yanis Maladi, Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law), (Yogyakarta :Mahkota Kata, 2009), 44-45. 10 Donald Black, Ibid, 45. 11 Qs. al-Mâidah (5): 1. 12 Qs. an-Nisâ’ (4): 58. 13 Qs. al-Hujurât (49): 9. 14 Qs. asy-Syûrâ (42): 38. 15 Qs. al Mâidah (5): 38. 16 Qs. an-Nisâ’ (4): 29. 17 Qs. al-Mâidah (5): 45. 18 Qs. an-Nisâ’ (4): 85.
319
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
masyarakat menyelesaikan sengketa-sengketa tanah di luar pengadilan secara musyawarah mufakat atau mediasi maka faktor-faktor apa yang mempengaruhi melakukan pilihan tersebut? METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini merupakan penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan tersebut dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis hubungan sosial masyarakat yang terjadi, dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa tanah diluar sidang pengadilan sebagai salah satu bentuk pilihan hukum penyelesaian masalah di masyarakat. Pendekatan yang utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif19 berdasarkan kaidah penalaran Islam (Ushul al-Fiqh). 20 Penelitian ini dilakukan di Lombok Tengah dengan mengambil sampel penyelesaian sengketa tanah di Desa Bagu, Kecamatan Pringgarata. Pertimbangan pilihan lokasi penelitian ini, bertepatan di Desa Bagu sejak tahun 2006 telah terbentuk lembaga khusus penyelesaian sengketa di luar pengadilan bernama: “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah”. Sejak terbentuknya lembaga mediasi atau lembaga perdamaian ini, telah banyak menyelesaikan perkara-perkara sengketa tanah secara musyawarah mufakat, bahkan hampir tidak ada lagi sengketa-sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan (pengadilan Negeri dan pengadilan Agama). Berdasarkan pada jenis penelitian yang digunakan, maka peneliti bertindak sebagai perencana, pengumpul data, penganalisis data, penafsir data sekaligus sebagai penyusun hasil penelitian. Penelitian ini membutuhkan data yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa diluar sidang pengadilan melalui musyawarah, mufakat atau mediasi. Oleh karena itu, cara untuk memperoleh data digolongkan dalam data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber data yakni pihak-pihak yang bersengketa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan para mediator. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi dokumentasi dan kepustakaan yang berhubungan dengan kajian hukum Islam yang bersumber pada ‘âdah, al-‘urf atau adat kebiasaan masyarakat di lokasi penelitian. Sehubungan dengan data yang dibutuhkan terkait dengan pola persepsi, pandangan dan sikap masyarakat terhadap 19
Masri S. dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta:LP3ES,1989), 4. Tjun, Sudarman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosdakarya, 1994), 173-208. 20
320
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
penyelesaian sengketa diluar sidang pengadilan maka dalam penelitian ini diupayakan memperoleh data secara tuntas dan mendalam. Oleh karena itu peneliti sengaja menggunakan teknik wawancara sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Wawancara dilakukan secara terus terang, dan dalam suasana keterbukaan yakni peneliti menyampaikan maksud dan tujuan wawancara, melalui pembinaan hubungan yang akrab dengan masyarakat. Moleong menyebut wawancara yang berkarakteristik demikian dengan istilah wawancara terbuka (open intervew).21 Agar data yang diperoleh terkontrol keabsahannya, maka observasi digunakan sebagai salah satu alat yang diterapkan selain wawancara. Mengingat jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empirik, maka teknik analisis data yang dipakai adalah teknik deskriptif analitik. Teknik analisis deskriptif dilaksanakan setelah data lapangan, kemudian disusun dan dikategorisasi atau dipilahpilah dan selanjutnya diinterpretasi dan dianalisa. Menurut Moleong22 bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (wawancara, hasil pengamatan, dokumen-dokumen, dan sebagainya) kemudian direduksi dengan jalan membuat abstraksi. Untuk melengkapi teknik analisis (deskriptif analitik) tersebut di atas, peneliti juga menggunakan analisis data kualitatif, yakni reduksi data, penyajian data dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Reduksi data dengan menggunakan analisis kualitatif diartikan sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data-data. Proses ini dilakukan secara terus menerus selama peneliti melakukan pengumpulan data. Langkah berikutnya adalah melakukan penyajian data sebagai bagian dari analisis klarifikasi yang didasarkan pada teknik analisis induksi. HASIL DAN PEMBAHASAN ‘Âdah dan al-’Urf Sebagai Pijakan Hukum Al-‘âdah dan al-’urf adalah dua kata yang berasal dari bahasa arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘âdah berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan) sedangkan kata ‘urf sendiri berasal dari kata ‘araf yang mempunyai arti sesuatu yang dikenal/diketahui.23 Istilah ‘âdah dalam bahasa arab yang 21
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1994), 137. 22 Ibid, 190. 23 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 363.
321
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
berarti “kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat”. Untuk selanjutnya kata adah ini dikalangan ahli hukum di Indonesia sama pengertiannya dengan tradisi atau kebiasaan yang baik dalam pergaulan hidup manusia. Makna tradisi, meliputi tradisi baik (al-’urf alshahîh) bersumber pada sistem nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat, pada perkembangan selanjutnya menjadi sumber hukum perdata Islam. Di Indonesia kata adat baru digunakan pada sekitar abad 19. Macam adat istiadat itu misalnya ada istilah muzâra’ah (kerjasama pertanian, jual-beli), mubâdalah (barter) dan lain-lain. Secara garis besar ‘urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ‘urf shahîh yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua ummat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum syara‘ dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram serta tidak menegasikan kewajiban.24 Kedua, ‘urf fâsid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh manusia dan berlawanan dengan hukum syara‘ serta menghalalkan sesuatu yang haram dan menegasikan kewajiban.25 Dari dua model al-‘urf yang dikenal dalam hukum Islam, maka sudah tentu yang harus dipertahankan adalah ‘urf yang sejalan dengan sistem nilai, moral dan etika. Pengertian nilai disini merupakan kadar, mutu, sifat-sifat penting bagi kemanusiaan, bernilai artinya mempunyai harga, mempunyai nilai; bermutu, berharga.26 Pengertian etika dalam al-Qur’an menyangkut semua aspek kehidupan manusia maka dengan demikian secara ilmu teologi (ushûl al-din), etika itu adalah bangunan dasar-dasar agama yang luas terutama dalam konteks ushul fikih bermula dari persoalan yang ditinggalkan oleh teologi, dengan mengasumsikan kebenaran postulat-postulat teologi. Diantara postulat tersebut adalah kebenaran dan keotoritatifan al-Qur’an dan sunnah sebagai dasar hukumnya. Konsep etika secara fundamental memiliki hubungan erat dan tak terpisahkan dengan pandangan Allah.27 Eksistensi etika dan nilai moral terlihat pada aksionologis dalam al-Qur’an yang sangat fundamental terutama sekali pada deskripsi tentang manusia, konsep tentang sistem nilai dan keunggulan makna kebaikan moral. Penguraian tentang manusia dalam al-Qur’an mencakup pada aspek-aspek yang sangat luas, 24 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 131. 25 Ibid. 26 Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap bahasa Indonesia (Difa Publisher,tanpa tahun), 590. 27 Qs al-Baqarah (2): 216; Qs. al-An’âm (6): 116; Qs. al-Kahfi (18) 104 dan Qs.al-Ahzâb (33): 38.
322
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
ajaran Islam adalah agama yang sangat menghormati dan memuliakan ras manusia. Berikut ini Ahmad Syafii Maarif mengutip ayat al-Qur’an: “Dan sungguh kami telah memuliakan anak adam dan kami angkat mereka di darat dan di laut, dan kami riskikan mereka dengan makanan yang baik, dan kami utamakan mereka dari pada kebanyakan makhluk kami yang lain.”28 Dengan anugerah nilai, etika dan moral merupakan kemuliaan yang diberikan kepada manusia, maka ia telah dijadikan halifah dimuka bumi,29 dengan diwajibkan kepada ummat manusia menyembah kepada Allah.30 Oleh karenanya sebagai kewajiban dan tanggung jawab manusia kepada Allah yang menciptakannya, ia harus memelihara dan membangun bumi untuk kemakmuran manusia di bumi. Terpeliharanya kehidupan yang harmonis di muka bumi, dituntut kepada setiap orang berjuang untuk kebenaran dan kebajikan baik dengan jiwa maupun harta (alMaidah:35). Untuk mencapai pada sasaran yang dituju dalam perjuangan kebenaran dan kebajikan yang berkeadilan31 dalam pengelolaan sumber daya alam (sumber daya tanah), maka pembudayaan etika dan nilai moral menjadi utama dan mengedepan. Hak atas Tanah: Perspektif Hukum Perdata Islam Menurut pengertian umum hak ialah: yang benar; yang sesungguhnya ada; kebenaran32 atau suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan adanya kekuasaan/suatu beban hukum. Sedangkan secara istilah hak adalah: Kewenangan yang diakui oleh hukum syara’ (hukum Allah) untuk menguasai atau membebani.33 Pengertian ini mengisyaratkan bahwa sumber hak menurut hukum Islam ialah Allah swt. Dengan demikian hakhak dalam pandangan hukum Islam bersumber kepada syari’at, sehingga pengakuan terhadap kesatuan sumber hak merupakan bagian dari aspek tauhid. Sebagai sumber acuan dasar dapat disimak, misalnya dalam surat al-Baqarah: 147, Ali Imran: 60 dan juga Yunus: 94, yang menegaskan bahwa: ’’Kebenaran (hak) itu dari Tuhanmu’’. Sejalan dengan uraian tersebut menurut Satjipto 28
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Ketatanegaraan (Jakarta: Penerbit LP3S, 1984),169. 29 Qs. al-Baqarah (2):30. 30 Qs. Az-Dzâriyât (51): 56. 31 Qs. al-Mâidah (5) : 8, 42 ; Qs. Asy-syûra (42): 15. 32 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Besar (Jakarta: PN Balai Pustaka 1985), 339. 33 Wahbah al- Zuhaily, al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu (Lebanon: Dar alFikr cet. III, 1989), 9.
323
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
Rahardjo, 34 hak adalah pengalokasian suatu kekuasaan kepada seseorang untuk bertindak dalam kerangka melindungi kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu dapat disebut hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang dapat diberikan oleh hukum kepada seseorang. Mengenai pengertian kata milik, berasal dari al-milk, yang didefinisikan sebagai “kekuasaan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i”. Jadi pengertian hak milik (hak milkiyah) menurut konsep hukum Islam adalah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah, hak ini bisa diartikan sebagai hak ‘penuh’35 dengan syarat tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Berdasarkan uraian mengenai pengertian hak milik diatas menurut konsep hukum perdata Islam, maka sesungguhnya semua kekayaan dan harta benda milik Allah, sebagai Tuhan semesta alam. Dalam Islam, kewajiban datang terlebih dahulu baru setelah itu hak. Setiap makhluk Allah memiliki kewajiban tertentu. Setelah menjalankan kewajibannya, maka secara otomatis akan datang hak-hak tertentu pula. Seperti yang dicantumkan firman Allah tentang hak kepemilikan pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi, yakni: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.36 Uraian diatas menjelaskan bahwa Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal. Dengan memahami secara tepat kerangka filosofis sumber hak yang demikian akan dapat dimengerti kedudukan hak milik atas tanah dalam hukum Islam. Dalam konteks itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia bersumber dari fikih yang semula berkembang dengan corak syafi’iyah. Hal ini terungkap dari tulisan Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai ia adalah seorang ahli agama dan hukum Islam 34
Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum ,(Jakarta :Karunika, 1986), 78. Dalam konsep hak-milik barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek), hak penuh sama dengan hak induk, artinya eigendom dianggap menjadi hak induk hak-hak (lain) (Eigendom world beschouwd als een moederrecht, als een en ondeelbaar, als exklusieve en meest vooldige bevougdheld), tidak terbagi-bagi, ekslusif dan merupakan hak yang paling kuat. Sejalan dengan konsep tersebut Boedi Harsono mengartikan hak milik dalam konsep Undang-Undang Pokok Agraria juga merupakan induk hak-hak lainnya. Lihat dalam Achmad Sodiki dan Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, (Yogyakarta: Mahkota kata, 2009), 85. 36 Qs. Az-Dzariat: 19. 35
324
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
terkenal pada pertengahan abad ke XIV Masehi.37 Pada perkembangan selanjutnya buku hukum Islam yang pertama kali diterbitkan secara resmi adalah terbitnya Kitab Sirat al-Mustaqim yang di karang oleh Nurruddin ar-Raniri lalu menyusul buku yang dikarang oleh mujtahid Nusantara saat itu bernama Abdul al-Rauf as-Sinkili, ia menulis karya fikih yang oleh kalangan ahli hukum Islam sebagai buku fikih terbaik berjudul, Mir’at al-Tullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Menarik dicermati pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaan maupun pelaksanaan hukum perdata Islam dalam setiap perkembangannya terlaksana dengan sempurna karena digunakan dan dijadikan acuan utama oleh masyarakat dalam menata keteraturan hubungan sosial (social order) yang bersifat horizontal menyangkut masalah muamalah38, ahwal al-syakhsiyyah maupun berbagai penyelesaian sengketa tanah perspektif hukum perdata Islam yang besumber dari fikih. Oleh karenanya pada masa-masa jauh sebelum masuknya penjajahan kolonial Belanda, hukum Islam telah eksis dan menjadi hukum positif bagi masyarakat muslim Indonesia. Dalam konstitusi bangsa Indonesia kategori hukum Islam bersumber dari non-state law, kedudukannya sama kuatnya (strong legal) dengan hukum yang bersumber dari state law seperti peraturan perundang-undangan pada umumnya. Demikian halnya dengan keberadaan hukum adat yang memiliki kategori non-state law yang kedudukan diakui sama dengan hukum negara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, amandemen ke dua). Berdasarkan pengaturan dalam konstitusi negara, terminologi “Hukum Perdata Islam” pada prinsipnya, tetap pada pengertian dasar hukum perdata yang memiliki tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, dan memiliki ciri memperbolehkan dan melarang serta memiliki sifat/upaya memaksa (dwingenrecht) dan memiliki akibat hukum (rechtgevolgen) bagi mereka yang melanggarnya. Dari prinsip-prinsip dasar dan tujuan hukum perdata Islam terlihat dengan jelas bahwa hukum perdata Islam adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya 37 Muhammad Daud Ali, dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 3. 38 Qs. an-Nisâ’ (4): 29.
325
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
sebagai anggota masyarakat yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Muhammad Daud Ali39, “Hukum Perdata Islam” adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, warisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan. Memperhatikan perjalanan sejarah hukum perdata Islam di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, pelaksanaannya dalam praktek oleh masyarakat Islam Indonesia, hampir bisa dikatakan sempurna (syumûl) terutama mencakup masalah ahwal al-syakhsiyyah (masalah keperdataan bidang: perkawinan, perceraian dan waris), peradilan, mu’âmalah, serta dalam masalah ibadah.40 Oleh karena itu hukum perdata Islam sesungguhnya jauh sebelum kemerdekaan telah menjadi hukum positif di bumi nusantara. Hal ini dapat dibuktikan khususnya pada kerajaan-kerajaan Islam nusantara yang menempatkan hukum Islam sebagai hukum yang mandiri, keberadaannya telah lama memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat, bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi negara. Seperti pada masyarakat kerajaan Islam di Kerajaan Samudra Pasai yang dipimpin oleh Sultan Malikul Zahir, ia adalah seorang ahli agama dan hukum Islam pada pertengahan abad ke 14 Masehi, 41 Kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November tahun 839M. Demikian pula Kerajaan Ternate tahun 1440. Kerajaan Islam lain di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Seperti institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan 39
Http://www.blogger.com/post- , diakses, 5 Januari 2010. Ibid. 41 Muhammad Daud Ali, dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Prenada Media, 2004), 3. 40
326
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
Luwu. Di Nusa Tenggara Barat penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima.42 Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia perkembangan hukum Islam diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yakni: Pertama, Pihak Belanda melalui Verinigde Oost Indische Compagnie memberikan toleransi untuk memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, terdapat upaya intervensi dari pihak Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat. Pada fase kedua ini, Belanda mengeluarkan kebijakan strategiknya melalui teori Receptie in Complexu yang digagas oleh Salomon Keyzer, dikembangkan oleh Christian Van Den Berg teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan. Teori yang selanjutnya disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn ini kemudian menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya43 di nusantara. Hal ini berbeda ketika di jaman penjajahan Jepang, Jepang memilih untuk tidak atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan. Hal ini dikarenakan Jepang berusaha untuk menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, akibatnya pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang di Indonesia tidak begitu signifikan. Perkembangan hukum Islam mulai nampak pada masa kemerdekaan, ketika pada saat itu teori receptie tidak berlaku lagi karena dianggap bertentangan dengan konstitusi bangsa Indonesia (UUD 1945). Teori reseptie bisa dianggap “sesat” karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul, yang selanjutnya dicetuskannya teori receptie a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Penyelesaian Sengketa melalui Musyawarah (Mediasi) Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa tujuan melakukan musyawarah mufakat untuk penyelesaian sengketa atau perdamaian adalah untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan 42
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, 2002). 43 Http://www.blogger.com/post- , diakses, 5 Januari 2010.
327
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
atau mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam ungkapan teks agama, perdamaian sering dibahasakan dengan al-amân, kemudian oleh ulama fiqh, perdamaian sering dibahasakan dengan al-shulh, al-hudnah, al-muâhadah dan aqd al-zimmah. Dalam kamus al-Muhit karangan Fairus Abadi, al-shulh disepadankan dengan al-salâm. Keduanya mempunyai arti yang sama yaitu peace, yang jika diterjemahkan berarti perdamaian dan kerukunan. Namun dalam terminologinya, al-shulh adalah perpindahan dari hak atau pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau menghindari terjadinya perselisihan. Dengan demikian, al-Shulh berarti sebuah kesepakatan (ma’âqadah) yang berorientasi pada perbaikan antara dua pihak yang bertikai. 44 Terjadinya penyelesaian sengketa tanah secara musyawarah mufakat atau mediasi pada masyarakat di lokasi penelitian, menunjukkan telah terjadi perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan berkepanjangan, maka dilakukanlah upaya preventif terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, musyawarah mufakat merupakan hal yang essensial dalam kehidupan manusia, yang dapat menciptakan dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama. Rasa aman dan suasana damai merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Untuk memperoleh keadilan yang sesungguhnya, maka penyelesaian dengan menggunakan cara-cara bermusyawarah mufakat atau mediasi dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akherat kelak, hal ini merupakan inti dari hukum Islam yaitu memperoleh kemaslahatan umat. Abu Ishaq al Syatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqâshid al-khamsah atau al-maqâsid al-syari’ah (tujuantujuan hukum Islam).45 Dilakukannya pilihan penyelesaian sengketa dengan cara bermusyawarah yang difasilitasi oleh tokoh Agama (para Tuan Guru, penghulu) dan tokoh masyarakat pada masyarakat meru44
Http://www.docstoc.com/docs, ibnuharun.multiply.com/journal/item/12, Islam dan Perdamaian, diakses, 3 April 2010. 45 Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm (Cairo: Mustafa Muhammad, t.th), Jilid II, 5.
328
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
pakan hal yang positif dalam hukum Islam. Lebih-lebih bermusyawarat dalam penyelesaian sengketa memiliki kedudukan utama dan tertinggi dalam hukum Islam. Diperintahkan dalam al-Qur’an kepada setiap umat Islam untuk bermusyawarat tentang masalah keduniaan.46 Oleh karena itu agama Islam dapat menerima teori yang dikemukakan oleh Nader dan Todd yang menfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusi-institusi penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di beberapa negara,47 melalui tulisannya berjudul ‘Berkeley village law projects’, memberikan identifikasi penyelesaian sengketa yaitu lumping it, avoidance, coercion, negotiation, mediation, arbitration and adjudication 48 (membiarkan, mengelak, paksaan, perundingan, mediasi, arbitrasi, dan peradilan). Dari ketujuh alternatif penyelesaian sengketa yang ada oleh masyarakat di lokasi penelitian, menggunakan penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan, yang lazimnya disebut dengan musyawarah mufakat atau mediasi. Pertimbangan dipilihnya model penyelesaian sengketa tersebut diatas menurut seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat, yakni penghulu H Muhammad Sidiq, bahwa selama ia diangkat menjadi penghulu sejak tahun 1965 sampai dengan berakhir jabatannya pada tahun 2002, hampir sebagian besar pilihan masyarakat di wilayah kerjanya, menempuh cara penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat atau mediasi yang difasilitasi oleh tokoh Agama dan tokoh masyarakat (para Tuan Guru, Penghulu dan tokoh Adat). Hal ini dibenarkan oleh Ustadz Haji Zarkasi Efendi, kini menjadi penghulu menggantikan H. Muhammad Sidiq. Berdasarkan pengalaman sejak menjabat sebagai penghulu khususnya dalam menengahi sengketa tanah, para pihak yang 46
Qs. asy-Syûra (42): 38. Menurut Nader dan Toodd, tahapan sengketa itu pertama kali berawal dari keluhan-keluhan (grievance) dari salah satu pihak kepada pihak lain, karena adanya perlakuan tidak wajar, dipersalahkan, dilukai hatinya, diinjak harga dirinya dan lain-lain. Tahap awal konflik ini disebut sebagai tahapan prakonflik (preconflict stage) yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang bersifat monadik (monadic). Apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan reaksi negative berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan-keluhan dari pihak pertama, maka kondisi ini meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage), sehingga konfrontasi antara pihak-pihak berlangsung sebatas diadik (diadic). Konflik antara pihak-pihak tersebut di tunjukkan kepada halayak umum (masyarakat), dan kemudian diproses menjadi kasus perselisihan dalam situasi penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga, maka situasi ini telah meningkat menjadi sengketa (dispute stage), dan sifat konfrontasi pihak-pihak tersebut maka tahap ini disebut menjadi perselisihan (triadic). 48 Laura Nader dan Harry F. Todd, Introduction The Disputing Process: Law in Ten Societies (New York :Colombia University Press, 1978), 37. 47
329
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
bersengketa memilih penyelesaian masalahnya secara hukum faraid atau menurut cara-cara kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Lebih-lebih seluruh penduduk yang berada di lokasi penelitian adalah pemeluk Agama Islam, mereka merasa terikat pada prinsip-prinsip nilai-nilai yang bersumber pada Agama dan kebiasaan-kebiasaan yang terpelihara baik dalam masyarakat di lokasi penelitian. Adanya pilihan menggunakan model penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat atau mediasi, bukan hanya sekedar memilih begiu saja, melainkan pilihan itu dilandasi oleh keyakinan iman Islam. Menurut hasil wawancara dengan salah seorang intelektual bidang ilmu hukum yang juga alumni Ponpes Qamarul Huda di Desa Bagu menyatakan, ia mengakui adanya pengaruh positif didirikannya fakultas Syariah karena selama 5 (tahun) terakhir bahkan lebih, tidak ada sengketa tanah yang diajukan ke pengadilan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tidak dibawanya penyelesaian sengketa mereka ke lembaga formal seperti pengadilan, karena masyarakat lebih menginginkan jaminan kepastian hukum yang bersifat abadi (dunia dan akhirat) atas hak-hak yang telah ditetapkan oleh Allah.49 Pernyataan di atas dibenarkan oleh pakar hukum nasional Bagir Manan, ia menambahkan, bahwa penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan dengan menggunakan “mediasi” memiliki keunggulan yaitu prinsip win-win solution, tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik atara yang bersangkutan tetap dapat dipertahankan, dan terhindar dari publikasi yang berlebihan yang dapat mempengaruhi performance pihak-pihak yang bersengketa.50 Nampaknya dalam perkembangan hukum Nasional di bidang penanganan khususnya sengketa perdata (sengketa tanah waris, jual-beli, bagi hasil) dan bentukbentuk sengketa perdata lainnya menekankan kepada semua lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia setelah berlakunya peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008, Hakim mewajibkan para pihak yang bersengketa melaksanakan mediasi atau musyawarah mufakat/perdamaian setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.51 49
Sarkawi, Wawancara, tanggal 7 Maret 2010. Ia adalah alumni Ponpes Qamarul Huda, pendidikan terakhir Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Mataram, dosen tetap Fakultas Hukum Unram dan dosen luar biasa fakultas Syariah Ponpes Qamarul Huda, Bagu, 2010. 50 Bagir Manan, “Mediasi dan Perdamaian”, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Temu Karya tentang Mediasi (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia,2005), V. 51 Lihat Pasal 7, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 2008.
330
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
Demikian halnya Islam telah memerintahkan pada umatnya agar penyelesaian setiap perselisihan yang terjadi diantara mereka sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian, sebgaimana disebut dalam firman Allah, yang artinya:52 Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berbunuhan, maka damaikanlah antara keduanya, maka jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga mereka kembali kepada perintah Allah. Maka jika dia telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan hendaklah berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Terjadinya perdamaian atas suatu sengketa tanah, berarti telah memutuskan suatu sengketa disebut dengan istilah ishlâh. Menurut syara’ ishlâh adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.53 Diadakannya ishlâh dalam suatu sengketa tanah tujuannya adalah untuk mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan. Oleh karena itu setiap penyelesaian sengketa dengan melakukan ishlâh ini lebih ditekankan kepada kemaslahatan bagi semua pihak terutama kebaikan untuk diri sendiri dan tindak kebajikan untuk orang lain.54 Bertolak dari pengalaman penghulu Haji Muhammad Sidiq, Ustadz Haji Zarkasih Efendi dan hasil wawancara lapangan lainnya, nampaknya bagi masyarakat telah merasakan secara langsung manfaat dan kemaslahatan dari setiap penyelesaian sengketa dengen cara musyawarah mufakat atau mediasi. Agar cara-cara penyelesaian bermusyawarah menjadi semakin kuat dan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, maka pada tahun 2006 atas prakarsa para tokoh agama dan pemuka-pemuka masyarakat melalui Surat Keputusan Kepala Desa Bagu Nomor 02/XII/2006 tanggal 11 Desember 2006 terbentuklah lembaga/wadah bernama “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah” yang mengangkat/menetapkan mediator penyelesaian sengketa tanah maupun bentuk sengketa lainnya. Para mediator tersebut terdiri dari para tokoh agama (TGH Lalu Turmudzi Badarudin, TGH Muh Amin, TGH Abdurra’uf, TGH Salaman Syamsudin, H. Muh Zarkasih Efendi), H.Lalu Azhari (Kepala Desa) dan 14 (empat belas) orang penghulu desa/dusun sewilayah Desa Bagu. Pada tahun 2007 setelah 52
Qs. al-Hujurât (49): 9. As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah Juz III (Beirut: Dar Al Fikr, 1977), 305. 54 Qs. an-Nûr (24) : 49, Qs. an-Nisaa’ (4): 114. 53
331
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
pergantian Kepala Desa Bagu, Surat Keputusan Nomor 02/XII/ 2006 diperbaharui dengan Surat Keputusan Nomor 12/VIII/2007 dengan mencantumkan Kepala Desa yang terpilih bernama Mujahidin sebagai mediator tambahan. Sejak terbentuknya lembaga “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah” pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 jumlah sengketa tanah yang berhasil diselesaikan secara musyawarah mufakat atau mediasi tercatat lebih kurang sejumlah 15 kasus sengketa55. Dari jumlah kasus sengketa yang ada 3 (tiga) contoh kasus yang akan diuraikan sebagai berikut: Kasus sengketa 1 (satu): Sengketa tanah warisan yang terletak di desa Bagu Barat dengan Surat Pernyataan Perdamaian atau ishlâh tanggal 03 Maret 2007, posisi kasus: Obyek sengketa tanah seluas 0, 011 ha peninggalan almarhum Amaq Rudik. Para pihak (subyek) disini dirincikan sebagai berikut: almarhum Amaq Rudik memiliki dua orang anak masing-masing yakni: almarhum Amaq Muniyah dan Inaq Mun (pihak termohon), yang selanjutnya masing-masing memiliki anak yakni: (1). Ramiah, Sawiyah dan Nawiyah (Anak dari almarhum Amaq Muniyah); (2). Dahlan, Sahri, Mukiyah (Anak dari Inaq Mun) selanjutnya disebut para pemohon. Yang menjadi permasalahan adalah permintaan ahli waris agar tanah dibagi secara adil, dalam hal ini enam orang cucu dari Amaq Rudik, dengan catatan obyek sengketa sebelumnya telah ditebus oleh Sawiyah karena sebelumnya tanah dalam keadaan digadaikan ke pihak lain (dalam hal ini digadaikan oleh Amaq Rudik/kakek). Setelah melalui proses mediasi, berdasarkan hasil kesepakatan secara suka sama suka untuk melakukan soloh atau musyawarah mufakat, tanpa adanya tekanan atau paksaan untuk membagi tanah tersebut dengan kesepakatan sebagai berikut: tanah seluas 0,055 ha di bagikan masing-masing kepada Ramiyah, Nawiyah, Dahlan, Sahri, Mukiyah dan tanah seluas 0,055 ha sisanya diberikan kepada Sawiyah. Hasil dari kesepakatan ditandatangani/ disahkan secara bersama oleh ahli waris, pejabat desa dan mediator “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah”. Kasus sengketa 2 (dua): Sengketa hak kepemilikan atas tanah terletak di desa Bagu, Surat Pernyataan Perdamaian atau Islah tanggal 24 Januari 2008, posisi kasus: antara Inaq Rahme (pihak termohon), dan Inaq 55 Sumber Data:Buku Inventaris Perkara, Sekertariat Lembaga Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah, Desa Bagu, Kecamatan Pringgarata, Tahun 2006-2010.
332
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
Sriwarni (pihak pemohon), bertempat tinggal sama di Desa Bagu. Obyek yang dipersengketakan tanah seluas 2,5 are. Permasalahannya adalah permintaan penyerahan dan kepemilikan tanah dari Inaq Rahme ke Inaq Sriwarni. Dalam kasus ini, Inaq Rahme bersedia memberikan tanah obyek sengketa kepada Inaq Sriwarni dengan syarat berani melakukan pernyataan di depan saksi bahwa memang benar dia sebagai pemilik tanah tersebut sesuai yang diberikan almarhum Hajjah Aisah. Setelah terjadinya mediasi yang difasilitasi badan mediasi desa akhirnya pihak Inaq Sriwarni bersedia mengeluarkan pernyataan didepan saksi-saksi dan mediator dalam surat perdamaian untuk bertanggung jawab dunia dan akhirat atas kepemilikan tanah, bahwa memang benar tanah tersebut merupakan warisan yang diberikan oleh Hajjah Aisah. Setelah pernyataan tersebut dengan demikian Inaq Rahme sebagai pemilik tanah yang sah, rela dan ikhlas akan memberikan tanah seluas 2,5 are kepada Inaq Sriwarni, dan dihadapan saksi-saksi juga Inaq Sriwarni menyatakan diri menerima tanah seluas 2,5 yang diserahkan oleh Inaq Rahme dan tidak akan melakukan gugatan atau menuntut kembali. Kasus sengketa 3 (tiga) Sengketa tanah berdasarkan surat pernyataan perdamaian atau islah tertanggal 14 April 2010, posisi kasus: obyek sengketa tanah warisan milik almarhum Amaq Mariah/Inaq Mariah (pihak termohon), seluas 0,26 ha terletak di Subak Desa Bagu dan tanah kebun seluas 14, 20 Ha atau seluas 14 hektar 20 are. Tanah obyek sengketa tersebut dimintakan untuk dibagi secara musyawarah mufakat melalui proses mediasi dengan merujuk pada hukum Agama atau kebiasaan (adat atau al-’urf). Tanah warisan peninggalan dari almarhum Amaq Mariah ini dimintakan untuk dibagikan secara adil kepada kesepuluh orang ahli waris. Almarhum Amaq Mariah memiliki 6 orang anak masing-masing: Haeriah, Suriah, Sipakyah, Wasiah, Ani/Mahsun dan Supardi selanjutnya disebut para pemohon. Sedangkan ke empat orang ahli waris yang lain berasal dari anak saudara Amaq Mariah yakni masingmasing: Raisah, Ahyar, Niah dan Mahti juga termasuk para pemohon. Berdasarkan hasil musyawarah mufakat atau mediasi, diperoleh kesepakatan penyelesaian sengketa para pihak yakni dilaksanakan pembagian tanah sawah dan tanah kebun masingmasing sebagai berikut : Pertana, Tanah sawah seluas 0,260 ha dibagi masing-masing : Raisah, Ahyar, Niah dan Mahti memperoleh 0,080 ha (delapan are) ;Haeriah, Suriah, Sipakyah dan Wasiah memperoleh 0,060 ha (enam are) ;Ani/Mahsun memperoleh 0,060 ha (enam are) ;Supardi anak laki-laki memperoleh 333
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
0,060 are (enam are). Kedua,Tanah Kebun seluas 14,20 ha dibagi masing-masing: Raisah, Ahyar, Niah dan Mahti memperoleh 4,75 ha ; Haeriah, Suriah, Sipakyah dan Wasiah memperoleh 3,15 ha; Ani/Mahsun memperoleh 3,15 ha ;Supardi anak laki-laki memperoleh 3,15 ha. Dari ketiga contoh kasus sengkata tanah tersebut diatas terlihat secara jelas bahwa pihak-pihak yang bersengketa menerima dengan baik penyelesaian sengketa yang mereka alami. Bahkan dari hasil wawancara lansung dengan pelaku (aktor) dalam sengketa menghendaki penyelesaian masalahnya tidak mau disebut sebagai pihak yang dikalahkan atau pihak yang dimenangkan. Penyelesaian yang diinginkan adalah terbaik, dapat diterima dengan baik tanpa ada pemaksaan atau tekanan dari pihak lain seperti tertera pada surat pernyataan perdamaian atau ishlâh pada contoh kasus 1 (satu) diatas. Dalam hukum Islam, tidak dianjurkan perdamaian dilakukan dengan paksaan, perdamaian harus karena kesepakatan para pihak. Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata bahwa dia tidak sependapat jika hakim memaksa salah satu pihak yang berperkara atau mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak, karena semata-mata hanya menginginkan perdamaian. 56 Selanjutnya dinyatakan sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu menjadi penghalang untuk berbuat kebajikan untuk bertaqwa dan mengadakan perdamaian diantara manusia dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. 57 Segala bentuk pemaksaan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan, lebih-lebih dalam hal penyelesaian sengketa, hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang telah memberikan pedoman bagi warga masyarakat mengenai apa yang boleh dan yang tidak. Ukuran tertinggi penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat atau mediasi didominasi oleh evaluasi moral dan etika yang terletak pada ketentuan hukum Allah. Konsistensi pernyataan dari Allah tentang eksistensi etika dan nilai moral terlihat pada aksionologis dalam al-Qur’an yang sangat fundamental terutama sekali pada deskripsi tentang manusia, konsep tentang sistem nilai dan keunggulan makna kebaikan moral yang secara fundamental memiliki hubungan erat dan tak terpisahkan dengan pandangan Allah.58 56 Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Drs Imron AM. (Surabaya: Bina Ilmu cet. ke 4, 1993), 19-20. 57 Qs. al- Baqarah (2): 224. 58 Qs. al-Baqarah (2) 216; Qs. al-An’am (6): 116;Qs. al-Kahfi (18) 104 dan Qs.al-Ahzab (33): 38
334
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
Pada contoh kasus sengketa 2 (dua) dan contoh kasus sengketa 3 (tiga) oleh pihak termohon telah memperlihatkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketanya secara musyawarah mufakat yang ditengahi (difasilitasi) para mediator. Seperti pernyataan dari Inaq Rahme (pihak termohon/tergugat) pada contoh kasus 2 (dua) yakni bersedia untuk berikrar59 menyerahkan tanah obyek sengketa, apabila Inaq Sriwarni (pihak pemohon) menyatakan: bertanggung jawab dunia akherat bahwa ia (Inaq Sriwarni) adalah pemilik tanah obyek sengketa. Isi pernyataan tersebut harus dibuat dalam surat perdamaian dihadapan saksi-saksi dan pada mediator. Pada contoh kasus 3 (tiga) setelah mendengarkan saransaran dan pendapat para mediator seketika Inaq Mariah (istri almarhum Amaq Mariah/kakek) melakukan ikrar membagikan tanah obyek sengketa menurut hukum Agama Islam dan secara ‘âdah (al-’urf) atau adat kebiasaan masyarakat setempat yang telah lama berlaku bagi masyarakat di lokasi penelitian. Hal ini dibenarkan oleh pemuka-pemuka agama dan tokoh adat, seperti pengalaman yang pernah dilakukan oleh Lalu Azhari jabatan Kepala Desa Bagu dan Bahar sebagai sekertaris Desa Bagu60 yakni, pada tahun 1985 telah mendamaikan penyelesaian sengketa jual-beli tanah secara ‘âdah, subyek sengketa atas nama Seribawe alias Amaq Jazri (pihak termohon), dan Haji Muhdar sebagai pihak pemohon. Obyek sengketa seluas 0.335 ha. Kedua belah pihak yang bersengketa menerima dengan baik perdamaian sengketa jual-beli yang dituangkan dalam surat pernyataan perdamaian jual beli tanggal 9 Mei 1985 dihadapan saksi-saksi dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan keluarga pihak termohon (penjual) atas nama Nawasih cs, dengan mengetahui Kepala Desa dan Sekertaris Desa yang memfasilitasi tercapainya musyawarah mufakat atau mediasi. Bila memperhatikan terjadinya sengketa, proses penanganan sampai dengan penyelesaiannya pada uraian diatas, bahwa terlihat dengan jelas adanya keinginan kuat dari para pihak untuk mengakhiri sengketa secara lebih cepat dan mudah dengan me59
Pengertian Ikrar ialah mengakui kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya untuk orang lain. Sulaiman Rasjid, mencontohkan: “saya mengaku saya telah minum arak”, atau saya mengaku bahwa saya telah berutang kepada orang lain.” Sulaiman Rasjid menambahkan: kata ahli tafsir, saksi atas diri sendiri itulah yang dimaksud dengan ikrar. Ikrar tersebut berguna untuk membuktikan kebenaran, memelihara budi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang batil. 60 Lalu Azhari dan Bahar, dalam Surat Keputusan Kepala Desa Bagu Nomor 02/XII/2006 dan Nomor 12/VIII/2007 tercantum namanya sebagai mediator sampai sekarang dalam lembaga “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah” Desa Bagu, Kecamatan Pringgarata.
335
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
milih secara suka rela menggunakan norma-norma kebiasaan (‘âdah) dan norma-norma agama yang dijadikan sumber hukum penyelesaian sengketa mereka. Dalam hal ini, para pihak yang bersengketa dan para mediator, sungguh telah menyadari dirinya telah dijadikan khalifah dimuka bumi. Oleh karena itu dengan segala konsekwensinya setiap umat manusia harus menjunjung tinggi nilai moral dan etika dalam setiap langkah dan tindakannya. Dari sudut pandang etika dalam hidup manusia memiliki status ganda, disatu sisi ia adalah khalifah Allah, disisi lain ia adalah hamba-Nya (al-abid). Dalam hal ini manusia dituntut untuk bertindak adil, arif dan bijaksana demi membangun kemakmuran di muka bumi. Sudah tentu semua itu akan berhasil dan tercapai, ketika kita menjunjung tinggi etika yang bersumber dari al-Qur’an dan memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai penjabaran dari khair ummah (masyarakat yang ideal). Peranan, fungsi dan kedudukan para mediator benar-benar telah menjalankan perintah Allah, seperti dinyatakan dalam firman Allah, yang artinya: Tidak ada kebaikan dari pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar. 61
Terlaksananya perdamaian secara musyawarah mufakat atau mediasi diantara mereka yang bersengketa, telah memperlihatkan bahwa ‘âdah atau kebiasaan yang baik dalam kehidupan mereka tetap terjaga dan terpelihara. Apa yang telah dikemukakan di depan membawa suatu kejelasan bahwa peran adat tidak hanya terbatas pada pengambilan inisiatif dalam hukum ketika sumber hukum yang lain tidak memberikan jawaban, tetapi juga karena peran penting yang dimainkan dalam masalah aplikasi penyelesaian hukum yang baru muncul.62 Dengan demikian studi ini telah membuktikan bahwa hukum Islam dan adat dapat hidup berdampingan sehingga berkontribusi positif terhadap trend baru dewasa ini guna menyelesaikan sengketa di luar sidang pengadilan.
61
Qs. an-Nisâ’ (4): 114: 128 Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), 24. 62
336
'Adah Sebagai Sumber Hukum Islam (Yanis)
SIMPULAN Dari paparan diatas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: Pertama, dari berbagai macam alternatif model penyelesaian sengketa tanah yang dikenal luas oleh masyarakat, ternyata di lokasi penelitian masyarakat cenderung memilih salah satu diantara modelmodel yang ada, yakni menggunakan musyawarah mufakat atau mediasi, yakni penyelesaian di luar sidang pengadilan (non-litigasi). Penggunaan lembaga musyawarah oleh masyarakat dianggap lebih banyak mendatangkan manfaat dari pada mudlarat terutama sekali dalam menjaga ukhuwah Islamiyah, memelihara kemuliaan pribadi (karamah fardiyah) dalam arti Islam memelihara kepribadian ma’nawi dan kepribadian materiil (maddy), kemuliaan masyarakat (karamah ijtimaiyah), yang berbasis pada status persamaan hak. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan penyelesaian sengketa tanah dengan menggunakan model mediasi adalah karena, di satu sisi, masyarakat menghendaki jalan damai yang merupakan tradisi leluhur yang terus dilestarikan. Nilai kearifan lokal (local wisdom) amat mereka hargai, terlebih juga karena ‘âdah/’urf atau tradisi baik yang merupakan salah satu sumber hukum Islam. Digunakannya ‘âdah sebagai sumber hukum Islam dalam penyelesaian sengketa tanah terjadi karena faktor normatif agama yang dipegang teguh masyarakat dan juga karena faktor sosiologis yang mana masyarakat lebih suka memilih penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi. Daftar Pustaka Agung, AA Gde Putra. Wawasan Budaya Sasak untuk Pembangunan Birokrasi.Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata UGM: Menoleh Kearifan Lokal, 2004. Arzaki, Djalaludin, dan Madia, I Gde Madia, (et). Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Ber- masyarakat, Relawan untuk Demokrasi dan HAM. Mataram: CV Bina Mandiri, 2001. Buku Inventaris Perkara Sekertariat Lembaga “Balai Mediasi Desa Hidayatul Islah”, Desa Bagu, Kecamanatan Pringgarata, Tahun 2006-2010. Dijk, R.Van. Pengatar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1982. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Khilafah dalam bagian “Dunia Islam Bagian Timur”, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, 2002. Huda, Mifhtahul. “Dimensi Etika Pesan-Pesan Al-Qur’an”, Jurnal Penelitian Keislaman. Vol.5 No.2 Juni 2009, Mataram: IAIN Mataram, 2009. 337
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 315-338
Http://www.google.co.id/gwt/x?q=asal+kata+adat, diakses 5 Januari 2010. Http://www.blogger.com/post edit, diakses 5 Januari 2010. Http://www.blogger.com/postedit, diakses 5 Januari 2010. Http://www.blogger.com/post- , diakses, 5 Januari 2010. Http://www.ibnuharun.multiply.com/journal/item/12/ Islamdan Perdamian, diakses 3 April 2010. Http://www.docstoc.com/docs/21392657/POKOK-HUKUMISLAM, diakses, 3 April 2010. Khallaf, Wahhab Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990. Lukito, Ratno. Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998. Maarif, Ahmad Syaffii, Islam dan Masalah Ketatanegaraan. Jakarta: Penerbit LP3S, 1984. Maladi, Yanis. Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law). Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009. Manan, Bagir, “Mediasi dan Perdamaian”, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Temu Karya tentang Mediasi, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2005. Mazkur, Salam. Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Drs Imron AM. Surabaya: Bina Ilmu cet. ke 4, 1993. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya,1994. Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Nader, Laura dan Todd, Harry F. Introduction The Disputing Process: Law in Ten Societies. New York: Colombia University Press, 1978. Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 2008. Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Rahardjo, Satjipto. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta :Karunika, 1986. Sabiq, As Sayyid. Fiqh As Sunnah Juz III. Beirut:Dar Al Fikr, 1977. Sodiki, Achmad dan Maladi, Yanis. Politik Hukum Agraria. Yogyakarta: Mahkota kata, 2009. Sudarman, Tjun, (ed). Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Bandung: Rosdakarya, 1994. Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Toshihiko, Izutsu. Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, Terj.Agus Fahri Husen. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993. Wahbah, Al- Zuhaily. al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu. Lebanon: Dar al-Fikr,1989. 338