Volume 1 No. 1 Januari – Juni 2013
ISSN : 2337-6198 Halaman 19 - 28
Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan Abdul Rahim Harahap Dosen Tetap Yayasan UISU dpk FKIP-UISU Jl. Puri No. 18 Medan E-mail:
[email protected] ABSTRACT This criticism aims to see how extent the structural reinforcement novel “Pincalang” by Idris Pasaribu terms of themes and forms. The themes will question the existence of man marine (boat people) in North Sumatera Sibolga to exploit cultural values and religion. While the shape, just analyze the dominant elements in the novel. And then vote as strengths and weaknesses. The method used is the structure and descriptive methods. Both methods are used to see „what‟ and „how‟ the themes and forms of it in the novel. The research reveals that in fact of Presidential decree to launch a boat loan in addition failing to improve the welfare of fishermen in general, can also threaten boat human life. Proven decree only benefits the employers and authorities, while the lives of poor fishermen and boat people remain poor. And families victimized Amat (punished to 7 years in prison) despite his determination after getting out from prison are to continue living as the sea with the truth and trying to save the human nature of any land disturbance. The strength of this novel, apart from the intent is the novelist wants the dignity of boat people today, as well as conduct suspension at the beginning of the story, making in interest and memorable. But the weakness is the novelist did curbs on character actors that seem like reportage only. The authors concluded that the implementation of the presidential decree boat loans to the fishermen in the west coast of northern Sumatra province Sibolga need to review again. Keyword : Appreciation, Novel, Critical
1. Pendahuluan Perkembangan sastra Indonesia di Sumatera Utara, terutama dalam penerbitan novel secara kuantitas masih relatif rendah, bila dibanding penerbitan antologi puisi. Oleh karena itu, penerbitan novel “Pincalang” karya Idris Pasaribu ( lahir di Delitua Kabupaten Deli Serdang, 05 Oktober 1952 ) perlu mendapat perhatian. Apalagi penovel adalah juga seorang pemuisi, pecerpen dan pengesai sejak tahun 70-an serta aktif di organiasi kesenian seperti LKN dan KSI. Karyanya tampil di berbagai harian, majalah, buku terbitan regional, nasional dan internasional sampai dengan hari ini. Novel ini diterbitkan Salsabila Pustaka Alkautsar Jakarta, cetakan pertama April 2012. Novel ini sudah beredar ke pasar buku, misalnya di Medan. Menceritakan tentang keluarga „manusia perahu‟ dalam mengharungi kehidupan di laut dan di darat pantai barat Sibolga provinsi Sumatera Utara. Penuh ketegangan karena adanya tekanan „orang darat‟ kepada „orang laut‟ dalam hal bajak laut dan jual-beli hasil laut. Termasuk intimidasi pemerintah Orde Baru soal kapal Keppres. Semuanya dapat mengancam harta, jiwa dan raga „manusia perahu‟ di Sibolga dan sekitarnya. Berdasarkan asumsi bahwa begitu rendahnya kuantitas penerbitan novel di Sumatera Utara serta deskripsi cerita tentang tertindasnya kehidupan „orang laut‟ ( manusia perahu ) di Sibolga provinsi Sumatera Utara oleh „orang darat‟ ( perompak, pengusaha, penguasa ) maka penulis bermaksud ingin mengapresiasinya. Dalam apresiasi ini, penulis akan menelaah kedalaman isi novel untuk melihat sampai sejauhmana 1).penguatan struktur cerita yang terdiri dari tema dan bentuk novel serta 2).sejarah keberadaan „orang laut‟ dilihat dari nilai-nilai budaya dan agama.
19
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
Landasan teori apresiasi novel ini adalah jenis kritik praktik atau kritik terapan ( applied criticism ) yakni pembicaraan karya sastra dan para sastrawannya. Ada 3 macam jenis kritik ini 1). kritik judisial ( judicial criticism ), 2). kritik induktif ( inductive criticism ) dan 3).kritik impresionistik ( impresisionistic criticism ). Penulis memilih kritik praktik macam kritik induktif yang mengurai unsur-unsur dominan dalam tema dan bentuk secara objektif. Uraian unsur sebagai gejala yang tak memiliki ukuran standar, kecuali hanya menurut pertimbangan kritikus sastra itu sendiri.
2. Beberapa Pengertian Aprsiasi, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah 1).penilaian baik dan 2).penghargaan. Dalam mengapresiasi puisi misalnya, Abdul Rozak Zaidan, membuat syarat agar seseorang dapat 1).mengenal, 2).memahami, 3).menafsirkan, 4).menghayati dan 5).menikmati puisi tersebut. Disick pula membuat tingkat apresiasi adalah 1).menggemari, 2).menikmati, 3).mereaksi dan 4).produktif. Karena itu, dalam mengaprsiasi novel ini, penulis menekankan kepada 1).pemahaman ( seperti kata Abdul Rozak Zaidan ) dan 2).penghargaan ( menilai kekuatan dan kelemahan ) novel itu sendiri. Kritik, menurut Atar Semi adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik. Menurut Yudiono KS adalah telaah kritis tentang karya sastra tertentu dengan perumusan, klasifikasi, penerangan dan penilaian terhadap karya sastra atau studi ilmiah yang berurusan dengan penilaian karya sastra. Menurut Rachmat Djoko Pradopo, studi sastra untuk menghakimi karya sastra, memberikan penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Menurut penulis bahwa kritik sastra itu adalah ilmu/studi sastra tentang aprsiasi/ pendekatan karya/objek sastra/teks sastra. Banyak hal yang dapat diapresiasi/didekati, paling tidak dibagi atas 1).hasil interpretasi kritikus terhadap karya sstra ( sehingga penikmat/pembaca dapat memahami dan menghayati karya sastra itu) dan 2). hasil penilaian kritikus terhadap karya sastra ( sehingga penikmat/pembaca dapat menemukan kekuatan dan kelemahan karya sastra itu ). Pengertian kritik sastra inilah yang penulis lakukan dalam mengapresiasi karya sastra seperti novel Idris Pasaribu tersebut. Pengertian novel menurut Burhan Nurgiyantoro adalah karya fiksi menawarkan sebuah dunia berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, dibangun melalui berbagai unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain. Menurut Jakob Sumardjo daqn Saini KM, novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran luas dapat berati cerita dengan plot yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam dan setting cerita yang beragam pula. Atau mungkin yang luas itu hanya salah satu unsur fiksinya saja. Dengan demikian, novel ialah prosa, karya fiksi, dunia imajinatif, dunia yang diidealkan atau cerita atau kehidupan yang menggunakan unsur intrinsik dalam ukuran luas. Bisa unsur-unsur intrinsik itu diperluas sedemikian rupa atau salah satu unsurnya. Menurut penulis, yang diperluas Idris Pasaribu dalam novelnya adalah plot dan tema. Plot dimulai dari Amat belum masuk penjara sampai keluar penjara. Tema, selain cerita tentang keluarga Amat, juga tentang lingkungan dan kebijakan pemerintah Orde Baru. Jadi, novel ini tidak sepenuhnya hasil imajinatif atau yang diidealkan semata.
20
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
3. Novel “Pincalang” Karya Idris Pasaribu Judul novel ini jelas, lugas, singkat, padat, tepat. Begitupun, dia bukan judul biasa dari sebuah novel biasa pula. Sesuai judulnya “Pincalang” menurut WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ditulis „pencalang‟ ( istilah sastra lama ) adalah semacam perahu besar untuk memuat barang-barang dagangan ( 2007 : 863 ). Menurut Hasan Alwi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga sama, kecuali tambahan „sering dipakai untuk memata – matai musuh dengan memakai sifat dagangnya itu‟( 2007 : 848 ). Jadi, pincalang sama dengan pencalang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada lagi istilah „pinisi‟ perahu layar tradisional dari daerah Bone atau Buton Sulawesi Selatan yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu 3 di ujung depan, 2 di depan dan 2 di belakang digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau ( 2007:876 ). Jadi, pengertian pincalang, pencalang, pinisi, adalah perahu besar, perahu tradisional pengangkutan barang dagangan antar pulau, sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut yang mengancam harta, jiwa dan raga. Sementara pincalang dalam novel ini berfungsi lebih dari itu. Perahu berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu suku ( sekelompok orang ) yang hidup matinya di laut. Kemudian memiliki agama, budaya dan tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari musuh dan bersahabat dengan alam. Sehingga, konon manusia perahu ini terkebelakang, kaum marjinal, bersifat statis dan memandang orang darat dengan penuh curiga menjadi terbantahkan. Paling tidak, demikianlah yang dilukiskan pengarang kepada pembaca. Ada selusin subjudul mulai dari 1).Buyung, 2).Pernikahan, 3).Perompak, 4).Seuntai Kalung Emas dan Seorang Bayi, 5).Berdagang dan Rumah Baru, 6).Pengembangan Usaha, 7).Kapal Keppres, 8).KM Pincalang, 9).Sengkuni, 10).Kembali ke Habitat, 11).Persidangan sampai 12).Menanam Kembali ( tambahan, ada sebuah catatan/sinopsis cerita di halaman terakhir ). Menceritakan keluarga Amat (suami), Maryam (istri) dan anak-anak (Buyung, Upik, Nur) dalam melayarkan bahtera pincalang, baik di laut maupun di darat yang penuh dengan angin, petir dan ombak kehidupan. Episode 1, cerita dibuka menegangkan. Tetapi Amat, istri dan ketiga anaknya berhasil mengatasi ombak ganas. Episode 2, masa pengantin dan kehidupan baru Amat bersama Maryam ditandai kerja keras dan rajin beribadah ( surut ke belakang 1 ). Episode 3, menegangkan lagi, Amat dan para lelaki pincalang lain menang perang melawan perompak berkali-kali ( surut ke belakang 2 ). Episode 4, cerita menggembirakan karena Amat berhasil berniaga, membeli kalung emas dan Maryam melahirkan ( surut ke belakang) 3). Surut ke belakang dilihat dari depan jalan cerita yang telah dibuka. Episode 5, cerita berlanjut, kehidupan Amat, istri dan ketiga anaknya bergerak maju hingga terjadi perubahan. Diantaranya, satu, Amat menekuni perniagaan dengan pengusaha di darat. Dua, dalam menjalankan perniagaaan Amat dibantu Rohim, Sangkot dan Lokot. Tiga, Amat mampu membeli rumah dan tinggal di darat. Empat, Amat menyekolahkan Buyung, sedang ia dan Maryam ikut belajar membaca dan pengajian. Lima, Amat berhasil memahamkan orangtua/mertua yang memandang negatif terhadap kemajuan. Kemajuan itu juga miliki orang beragama, bukan hanya orang kafir. Episode 6, cerita Amat mengembangkan usaha, salah satunya toke minyak makan. Episode 7, orang darat berebut kredit kapal motor buatan Jepang. Episode 8, Amat membeli kapal motor buatan Indonesia, diberi nama “Pincalang”. Inilah bukti keberhasilan orang laut dalam berbisnis. Episode 9, cerita beberapa orang laut bak Sengkuni ( tokoh pewayangan ). Licik, di muka ia
21
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
prihatin, sebab orang darat mengancam kehidupan/keamanan orang laut, tetapi di belakang ia bersekutu dengan perbuatan orang darat demi menyelamatkan diri dan membiarkan orang laut ditindas orang darat. Episode10, cerita penguasa membela pengusaha. DPRD/Parpol, wartawan, nelayan dan Amat tak berhasil menuntut keadilan. Malah dampaknya, ia diburu patroli, tertembak dan tertangkap. Episode 11, Amat diadili. Terbukti melakukan pembunuhan berencana melanggar pasal 340 KUHP dan diganjar 7 tahun kurungan. Episode 12, cerita Amat bebas dari penjara. Ia terus bermenantu ( Buyung melaksanakan pernikahan ) dan kembali ke pincalangnya. Tekadnya, terus berjuang memperbaiki kerusakan alam dan tetap menegakkan kebenaran mempertahankan eksistensi orang laut.
4. Langkah Mengapresiasi Karya Sastra Pernah orang bertanya, metode dan langkah apa yang saya gunakan dalam menelisik karya sastra. Terus terang semula ( sejak tahun 80 ) saya peteater, pemuisi, pecerpen, penaskah drama, tetapi setahun kemudian cenderung menjadi pengeritik dan pengesai. Hal ini saya lakukan, setelah melihat kenyataan bahwa Sumatera Utara ( termasuk Indonesia ) langka akan kritikus sastra. Terbukti, para pengeritik itu berasal dari pencipta semisal Herman KS, B.Y.Tand, Damiri Mahmud, Mihar Harahap, Antilan Purba, Suyadi San, Afrion, Yulhasni dan nama lainnya. Hemat saya, masyarakat sastra itu 1).pencipta dan 2).pembaca serta 3).kritikus (setelah diperluas). Pencipta bisa menjadi pembaca, sedang pembaca tidak bisa menjadi pencipta ( kalau bisa bukan pembaca namanya ). Persoalannya, bahwa kemampuan apresiasi pembaca ( memahami dan menghargai ) karya sastra pencipta relatif rendah. Maka solusinya lebih baik menaikkan daya apresiasi pembaca itu ketimbang menurunkan kualitas karya sastra pencipta. Di sini perlu ditemukan orang yang mampu berperan me- laksanakan aprsiasi karya sastra dengan baik dan benar kepada pembaca. Mengingat peran terbatas (selama masih diperlukan) maka boleh jadi 1).pencipta (termasuk mengapresiasi karya sendiri) asal bisa berlaku objektif, jujur dan adil serta 2).kritikus (baik linear maupun tidak) tetapi harus serius. Fungsinya sebagai „jembatan‟ harus menghubungkan pencipta dan pembaca. Fungsi ke pencipta adalah menghargakan (menilai kekuatan dan kelemahan karya) sedang ke pembaca adalah memahamkan ( menyampaikan makna dan amanah karya ). Kedua fungsi hendaknya berjalan seimbang. Kalaupun tidak, maka mungkin ada sudut pandang lain yang dapat dibenarkan. Mencermati peran fungsi dan sistem apresiasi karya sastra, maka kritikus bebas 1). memilih metode dan langkah pendekatan ( emperisme atau holistik ), 2).menentukan metode dan langkah yang diinginkan ( struktural atau nonstruktural ) dan 3).bila tidak menggunakan metode dan langkah ( mungkin memiliki sistem sendiri ). Dengan demikian mestinya tidak ada satu orang/pihak manapun yang dapat mengarahkan/memaksakan metode dan langkah kritikus, kecuali untuk kepentingan akademik. Selain itu, kritikus bebas memilih, apalagi sudah merupakan ciri khasnya. Mungkin pencipta mengira saya „memilih‟ atau „menentukan‟ metode dan langkah ( seperti urut 1-2 di atas ) apalagi produk luar negeri. Padahal sesungguhnya, saya sendiri tak tahu / belum memberi tahu apa nama metode dan langkah itu ( tetapi cenderung urut 3 di atas ). Yang penting 1).saya punya sistem sendiri dalam mengeritik berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadi dan 2).saya bertekad hanya mengeritik karya sastra „anak daerah‟ secara „serius‟ dengan metode dan langkah sendiri. Dan saya siap bila tulisan saya dianggap tidak menasional atau mendunia.
22
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
Adapun metode atau langkah saya mengeritik, pertama, tahap memahamkan kepada pembaca dengan cara membaca, membayangkan dan meresapkan karya sastra yang dibaca. Kata kunci ialah persepsi sensitiviti. Kedua, tahap menghargakan kepada pencipta dengan cara memikirkan, merumuskan dan mengevaluasi karya sastra yang dibaca. Kata kunci ialah daya nalar. Jadi, kalau dengan kedua tahap ini saja saya mampu mengulas karya sastra itu, maka buat apa lagi metode dan langkah yang tak membumi pada diri. Biarlah saya menulis dengan diri tentang lingkungan sendiri. Sebagai contoh muncul gugatan Damiri Mahmud terhadap A.H.Johns, A.Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana dan Abdul Hadi WM yang mengatakan puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah bertema religi bahkan sufistis. Padahal menurutnya hanyalah puisi bertema cinta, semisal cinta Amir pada kekasihnya Ilik Sundari atau Aja Bun. Terlepas dari benar-tidaknya interpretasi ini, namun Damiri telah membuktikan bahwa metode dan langkah secara struktural tidak ketinggalan zaman, melainkan masih hangat dan menarik. Soalnya, tergantung bagaimana kritikus dapat mengolah-gunakannya.
5. Kapal Keppres Mengancam Pincalang Tema sentral novel ini adalah ternyata Keppres ( tak dijelaskan nomor, tanggal dan hal ) dapat mengancam kehidupan nelayan kecil, tak terkecuali suku perahu. Patut diduga, kalau Keppres ini soal kredit kapal yang diluncurkan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Bayangkan, harga kapal 100 juta ( panjar/uang muka/DP 32 juta sisanya 68 juta diangsur selama 5 tahun ). Nelayan mana yang sanggup mengkredit sebesar itu, kecuali para juragan nelayan kaya atau pengusaha berbagai niaga. Sementara, nelayan hanya berpenghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Memang bagi juragan atau pengusaha, operasi Keppres sangat menjanjikan. Lalu lintas niaga di perairan Sibolga semakin ramai, karena banyaknya orang-orang di luar Sibolga datang untuk bertransaksi. Rumah makan, penginapan, pertokoan dan lainnya pun bermunculan. Akan tetapi nelayan miskin tetap miskin, tak mampu mengikuti arus bangkit ekonomi kerakyatan demi kesejahteraan, kecuali hanya sebagai penonton saja. Malah perahunya rusak dihantam kapal kredit bila bersinggungan, sedangkan tetumbuh- annya punah karena digunduli orang-orang darat untuk dijual ke pasar ramai. Bagi Amat kapal Keppres tak menjadi persoalan. Sebab iapun mampu kalau ia mau mengkredit kapal itu. Bukankah ia mampu membuat KM Pincalang walau meminjam modal dari bank. Namun meski ia mampu, sebagai orang pincalang, ia tak tega melihat penderitaan nelayan miskin. Dicoba mengadu ke DPRD/Parpol malah orangnya di recall, wartawan pun digari penanya pakai amplop atau intimidasi. Bahkan Amat dianggap provokator, lalu diburu patroli hingga ke sudut pulau, ditembak, ditangkap, diadili dan dipenjarakan tanpa ampun. Begitulah nasib Amat, orang laut. Tema lain yang tak kalah penting adalah persoalan integrasi sosial suku perahu yang marjinal di laut dengan multi etnis masyarakat kota yang modern di darat. Barang kali dengan kondisi alam dan diskriminasi eksistensi kemanusiaan, maka ternyata lautan lebih besar dari daratan dalam mengancam kehidupan manusia. Terbukti di laut, pertama, Amat dan keluarganya mengalami ancaman angin kencang dan ombak ganas yang menghantam pincalang. Belum lagi hujan deras, kilat dan petir saling menyambar tiang. Pincalang pun oleng ke kanan ke kiri, tetapi tidak pecah dan tenggelam. Semua itu digambarkan penovel secara faktual, ekspresif dan menegangkan, justru di awal cerita. Menurut saya, penovel sengaja melakukan permainan plot ini karena ingin dan berhasil membuat suspen. Untungnya, hingga akhir cerita Amat dan keluarga mampu atau selamat dari
23
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
ancaman itu. Penovel mengisyaratkan bahwa sungguh pun manusia perahu ini akrab dengan alam kelautan, tetapi ganasnya ombak, hujan dan petir tetap saja merupakan ancaman. Lalu, meskipun mereka adalah „orang laut‟ tetapi tetap saja merasa khawatir/takut kalau pincalang tiba-tiba tenggelam. Kedua, ancaman yang paling menggetarkan jiwa adalah perompak. Sebab perompak tidak saja menguras habis muatan pincalang untuk diperjualbelikan ( hasil barang yang dijual akan dibelikan segala keperluan sehari-hari ) akan tetapi juga berhasrat memperkosa perempuan ( anak dan istri ) pincalang. Dan kalau sudah begitu, maka para perompak tidak segan-segan membunuh para lelaki pincalang asal hasil barang rompak menguntungkan dan hasrat atau nafsu biadabnya dapat terpenuhi secara gratis. Namun begitu, mereka tetap saja mempertahankan eksisitensinya sebagai orang laut. Di darat, kelatarbelakangan dan kemarjinalan suku perahu menjadi santapan masyarakat kota untuk menipu, menggertak bahkan merendahkan harkat-martabat kemanusiaannya. Misalnya orang-orang darat membeli niaga orang-orang laut dengan menekan harga serendah-rendahnya. Dan mau tak mau, orang-orang laut wajib menjual barang dagangan itu, karena hanya orangorang daratlah pembelinya. Daripada tak laku dijual atau malah dirompak, maka lebih baik dijual begitu saja tanpa berlama-lama lagi. Alhasil, orang darat mengeruk untung, sedangkan orang laut terus merugi. Pada kasus lain, dicontohkan penovel, ketika terjadi tawar-menawar harga jual. “Tahu dari mana naik,” tanya Aliong. “Aku juga „kan punya telinga,” kata Amat. “Ya. Naik Rp.5000,” kata Aliong. ”Siapa bilang? Rp.10.000,” kata Amat menggertak.”Ya Rp.10.000” kata Aliong. Keduanya tersenyum puas. Tetapi kenaikan harga minyak makan itu sebenarnya sebesar Rp.13.000. Amat saja yang sudah lebih dahulu maju dari suku perahu lain pun masih tertipu, apalagi yang lainnya itu. Namun begitulah kaum darat yang selalu memperdaya kaum laut, termasuk dalam soal perdagangan. Memang tak semua orang-orang darat mau melakukan penipuan, perompakan dan mengintimidasi orang-orang laut. Misalnya Pak Haji, Kepala Sekolah, pemilik RM Minang Maimbau, anggota DPRD yang direcall dan para wartawan yang merasa simpati. Akan tetapi kebanyakan orang-orang darat, khusus oknum „patroli‟ ( tak jelas atas perintah siapa, satuan mana dan apa kepentingannya ) menjadikan Amat sebagai buron. Mereka mencari, menembak, menangkap, mendakwa, mengadili dan menghukum Amat karena melakukan pembunuhan berencana. Ia jalani hukuman itu hingga selesai, walau sebenarnya ia hanyalah membela diri. Tema di luar teks justru lebih menarik dan patut menjadi perhatian. Menyoal eksistensi manusia perahu di Sibolga. Saya ingat suku bajo atau same di Sulawesi, konon telah ada ratusan tahun lalu tetapi sampai sekarang tak jelas silsilah turunannya. Ada yang mengatakan dari kerajaan Sriwijaya, Johor Malaysia, Filipina, Vietnam atau dari Laut Cina Selatan. Dari segi bahasa mirip bahasa di daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan pesisir Papua. Bahkan persis bahasa Indonesia. Kabarnya suku bajo/same juga memiliki tradisi, budaya dan agama. Bagaimana dengan manusia perahu di Sibolga? Apakah disebut juga bajo karena hidupnya nomaden hingga sampai ke Sibolga? Apakah ada hubungan antara orang bajo di Sulawesi dengan manusia perahu di Sibolga? Lalu, bagaimana dengan budayanya, agamanya, tradisinya dan kehidupan sosialnya? Memang penovel melukiskan bahasa, agama, tradisi, mirip orang Sibolga. Namun apakah sebenarnya seperti itu dan bukan karena pengaruh orang bajo di Sulawesi? Atau siapa yang mempengaruhi siapa, termasuk dengan orang-orang darat Sibolga yang terjadi sejak dahulu kala?
24
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
Dalam novel ini digambarkan hubungan sifnifikan budaya suku perahu di laut dan budaya masyarakat Sibolga di darat. Antara lain prihal bahasa yakni bahasa daerah Sibolga, jenis kesenian (tari Sikambang Sibolga dan tari Randai Minangkabau) serta agamanya yakni agama Islam (adakah karena pengaruh letak geografis daerah Barus sebagai pemula masuknya agama Islam di Sumatera). Selain itu, saya kira biasa-biasa saja (tradisi nelayan berlaku di mana saja) atau tak ada ciri khas pantai Sibolga. Kalau novel ini hasil penlitian, maka perlu dilanjutkan ke sejarah budayanya. Saya setuju dengan ucapan Ahmadun Yosi Herfanda: ”Pincalang. Masyarakatnya yang sudah punah, bersama dengan kondisi alam yang rusak, kembali diingatkan dengan manis dalam novel ini” (Komisi Sastra DKJ di kulit luar buku ini). Tampaknya, penovel berjasa membangkitkan batang terendam suku perahu di pesisir pantai Sibolga ini. Akan tetapi, menurut saya masih perlu kajian mendalam, sejauhmana eksistensinya di pulau itu. Berikut agama, budaya, sosial, latar kehidupannya dan yang lebih penting lagi di pulau mana ia kini. Apakah masih di Sibolga atau di berada di pulau lain?
6. Pengungkapan ; Kekuatan dan Kelemahan Memang tak salah bila pencipta menggunakan plot biasa di mana konflik dan klimaksnya muncul pada tengah hingga akhir cerita. Hanya pada awal hingga ke tengah cerita terkadang biasa-biasa saja atau kalaupun ada perkembangan, namun masih kurang signifikan. Akibatnya, pembaca merasa tidak tertarik, lantas meninggalkan novel itu sebelum selesai membacanya. Karena itu, pencipta semestinya perlu memikirkan apa dan bagaimana supaya pembaca merasa tertarik sejak mula hingga akhir cerita. Jangan gara-gara keteledoran soal ini, lantas pembaca merasa lebih baik membaca novel pop. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menarik minat pembaca. Misalnya memanfaatkan satuan unsur intrinsik atau ekstrinsik dengan teknik pengungkapan yang pas Menurut hemat saya, justru yang menjadi perjuangan penovel ialah bagaimana atau sampai sejauhmana ketajaman persepsi sensitiviti untuk mengungkap satuan unsur itu dengan baik, sehingga tercipta bentukan baru yang khas miliknya. Itulah sebabnya, saya lebih cenderung melihat perjuangan pengungkapan bentuk, dibanding satuan unsur yang sudah ada seperti tema. Bukankah tema itu sudah ada di depan mata? Terhadap “Pincalang” saya harus mengakui bahwa penovel telah melakukan hal itu, sehingga karyanya menarik, mengejutkan dan menegangkan. Dan saya merasa pasti bahwa hal ini dilakukan penovel bukan karena kebetulan atau biasa terjadi, melainkan memang diusahakan sedemikian rupa, sehingga awal novelnya berhasil seperti ini. Penovel telah memikirkan, mempersepsi-sensitivitikan dan berjuang mencari-temukan bentuk pengungkapan yang pas, sehingga terbitlah awal novel seperti ini. Artinya, krea-tifitas penovel telah menunjukkan hasil yang patut diperhitungkan juga. Sebagai gambaran, bacalah paragraf pertama novel ini. “Gelombang mengamuk hebat. Langit hitam. Angin terus menderu-deru. Dengan lincah, bagaikan seekor monyet Buyung naik memanjat tiang besar. Sebentar tubuhnya oleng ke kiri dan sebentar oleng ke kanan. Suara derak tubuh Pincalang terdengar kuat. Cekatan sekali Buyung melepaskan tali pengait ujung layar besar.” Analisa saya,1).laut mengamuk hingga kapal berderak kuat, maka tentu 2).kondisi ini amat meresahkan Amat dan keluarga, tetapi kemudian 3).Buyung berhasil menaklukkannya, bermakna selamat dari amukan laut. Bagi pembaca, pembukaan cerita ini mengejutkan. Lalu memancing pertanyaan, siapa si Buyung? Bagaimana bisa mengalami seperti ini? Maka, mau tak mau, pembaca pun melanjutkan bacaannya. Ternyata, Buyung bin Amat meski baru berusia 8 tahun, tetapi cekatan
25
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
memanjat tiang dan memainkan tali .Begitupun, mengapa anak sekecil ini melaut? Rupanya, karena ia anak manusia perahu yang hidup-matinya memang di laut. Bijaknya penovel, ia tampilkan Buyung dan bukan Amat, tokoh utama novel ini. Pertanda bahwa keterampilan melaut perlu diturunkan sejak dini kepada generasi. Kemudian, usaha lain, setelah episode 1 selesai, maka cerita mundur hingga 3 episode yakni episode 2(1), episode 3(2) dan episode 4 (3). Baru episode 5 cerita ber lanjut hingga episode 12, tamat. Berarti penovel tidak menggunakan plot biasa, melain kan plot mundur. Mengapa? Karena penovel ingin „memperkuat‟ ( jadi, bukan sesuka hati ) kepribadian Amat, sang tokoh. Ia pekerja keras dan rajin beribadah ( episode 2 ), berani menghadapi tantangan ( episode 3 ) serta pandai berniaga dan romantis ( episode 4 ). Jadi, episode ini turut menerangkan dan memperkuat kedalaman cerita. Dengan demikian sesuai judul pengantar diskusi ini, “Ada Apa Di Balik Pincalang Idris Pasaribu”, maka jawabnya ada tema dan pesan yang menjadi kekuatan penuh novel ini. Dengan tema/sub tema Keppres dapat mengancam kehidupan nelayan miskin, maka pesan penovel adalah, pertama, protes kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebab ternyata pelaksanaan Keppres itu hanyalah menguntungkan sepihak yakni para pengusaha/juragan kaya, sementara nelayan miskin bahkan semakin miskin kelas ekonominya/tingkat kesejahteraannya. Kedua, kritik sosial kepada masyarakat kota di darat yang melakukan diskriminasi dan kriminalisasi kemanusiaan terhadap kelompok manusia perahu di laut. Bahwa orang-orang darat di kota telah melakukan perompakan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan dan memandang rendah martabat orang-orang perahu di laut, karena mereka memang miskin, bodoh dan tertutup. Hanya Amat yang jauh berbeda, ia bahkan kaya, pintar, terbuka, mendidik dan memiliki solidaritas tinggi terhadap orang-orang miskin tak berdaya. Dan ia ingin mengentaskan kemiskinan orang-orang itu. Ketiga, memotivasi para intelektual (sejarawan, budayawan, antropolog, sosiolog) pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk melakukan penelitian secara mendalam tentang keberadaan manusia perahu di pesisir pantai barat Sibolga. Bahwa punahnya manusia perahu di daerah ini, berarti hilangnya sejarah peradaban, kebudaya an dan nilai-nilai kemanusiaan suatu bangsa yang sebenarnya sangat berguna untuk bangsa dan negara sesudahnya. Lalu, apakah motivasi ini bak gayung bersambut kata berjawab? Kita lihat, sejauhamana kepedulian pemerintah sekarang ini. Di mana ada kekuatan di situ ada kelemahan. Secara umum, kelemahan itu terjadi pada pengungkapan pendalaman penceritaan dan karakteristik manusia perahu yang relatif maksimal. Hal ini berarti saya setuju dengan Tandi Skober. Katanya:”ketika Idris Pasaribu menulis berita, beritanya seperti karya sastra. Ketika dia menulis karya sastra, karyanya mirip reportase.Tepat bila Idris Pasaribu disebut sebagai penulis sastra reportatif. Pincalang sebuah kisah yang menarik, sarat makna”(Sastrawan, kutipan kulit luar novel ini). Kita sambut „sastra reportatif‟, mungkin maksudnya positif. Tampak, penceritaan berlebihan (sebagai pelapor, peninjau, orang ketiga) bukan karena penovel mengantarkan/ menyampaikan cerita semata, akan tetapi karena sekaligus mengatur/menentukan cerita, laiknya mirip reportase. Buruknya, semua pelaku berada di bawah komando pencerita. Akibatnya, perwatakan, sifat dan ciri khas individu pelaku tidak terakumodasi dengan baik. Malah dialog/monolog, mestinya dapat menetralisir kelebihan penceritaan, tetapi kurang berpengaruh mungkin karena tidak dominan. Jika begitu, maka dialog/monolog perlu dilipatgandakan pemuatannya. Minimal karakteristik manusia perahu dibuktikan kutipan ini.”Seusai pernikahan, hanya beberapa hari saja mereka berada di atas pincalang ayahnya. Kemudian Amat dan Maryam
26
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
menempati pincalangnya sendiri. Kenaikan mereka ke atas pincalang diiring kedua belah pihak keluarga. Ada upacara singkat yang diisi makan bersama dan mendendangkan lagu-lagu Sikambang. Doa-doa syukur dipanjatkan kepada Tuhan agar keduanya hidup rukun dan damai sampai ke anak cucu…” ( episode 2, Pernikahan, hal 24 ). Kalimat paragraf ini mengesankan kegiatan itu dikungkung penceritaan. Hanya dinarasikan kalau Amat dan Maryam sudah menikah. Bagaimana kejadian pernikahan itu ( sebelum, sedang, sesudahnya ) tak diungkap. Begitu pula upacara pindah pincalang. Hanya dikatakan makan bersama, menyanyi lagu Sikambang dan berdoa. Juga tidak ada prosesesi ritual yang sebenarnya mengandung nilai-nilai magis atau filosofis. Padahal kedua upacara itu, ( pun hamil, melahirkan, dikaruniai anak dan lain-lain ) mestinya dapat mengeksploitasi nilainilai budaya ( tamsilan penuh makna hidup ) manusia perahu yang unik, menarik dan mengesankan pembaca.
7. Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan : 1. Novel “Pincalang” karya Idris Pasaribu menceritakan tentang keluarga Amat si „manusia perahu‟ yang sukses, baik hidup di laut maupun di darat. Meski harus masuk penjara, tetapi tetap tabah dan keluar dengan semangat baru untuk menata masa depan keluarga. 2. Pada hakikatnya kritikus adalah pembaca. Maka biarkan kritikus mengeritik karya sastra menurut kemauan dan kemampuannya. Biarkan dia menggunakan metode dan langkahnya sendiri, asal ia mampu menembus kedalaman karya sastra yang dibacanya. 3. Dengan tema Keppres dapat mengancam kehidupan nelayan miskin, maka pesan penovel adalah memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru, sebab pelaksanaan Keppres itu hanya menguntungkan pengusaha, sementara nelayan miskin bertambah miskin. 4. Penovel memotivasi para intelektual untuk melaksanakan penelitian secara mendalam tentang eksistensi manusia perahu di pesisir pantai barat Sibolga. Sebab punahnya manusia perahu di daerah ini, berarti hilangnya sejarah peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan suatu bangsa dan negara. 5. Novel “Pincalang” karya Idris Pasaribu ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan mencakup tema, subtema dan suspen pada awal cerita (sebagaimana telah diurai) sedang kelemahan terletak pada penceritaan berlebihan dan minimalnya karakteristik nilai-nilai budaya manusia perahu.
Daftar Bacaan 1.
Atar Semi, Kritik Sastra, 1984, Bandung, Angkasa.
2.
Burhan Nurgiyantoro, 2000, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
3.
Hasan Alwi dkk, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
4.
Herman J.Waluyo, 2005, Apresiasi Puisi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
5.
Idris Pasaribu, 2012, Pincalang, Jakarta, Salsabila Pustaka Alkautsar.
6.
Jakob Sumardjo dan Saini KM, 1986, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta, Gramedia
7.
Rachmat Djoko Pradopo, 2000, Kritik Sastra Indonesia, Yogyakarta, Gama Media.
27
Abdul Rahim Harahap: Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan
8.
-----------------------------, 2003, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta, PT.Hanindita Graha Widya
9.
Yudiono KS, 2009, Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, Jakarta, Grasindo.
10. WJS.Poerwadharminta,1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
28