Abstrak
Sunggul Pasaribu. Pendidikan Agama Kristen Yang Memberdayakan. Suatu Study Tentang Model Pendidikan Konsientisasi Paulo Freire. Program Pendidikan Agama Kristen. Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta 2009. Penulisan Tesis ini bertujuan untuk mengetahui atau melihat sejauhmanakah praktik PAK di gereja dan di sekolah dapat berhasil memberdayakan warga gereja dengan menggunakan model pendidikan konsientisasi Paulo Freire. Pendidikan Agama Kristen (PAK) merupakan salah satu tugas pelayanan gereja di bidang pengajaran dan pendidikan. Panggilan tugas melayani untuk mendidik dan mengajar sebagaimana amanat Agung Tuhan Yesus dalam Injil Matius 28:19-20, : “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.". Mengapa dalam PAK diperlukan metode mendidik dalam mengajar Firman Tuhan di sekolah dan di gereja.? Sebab, Tuhan Yesus selama pelayanan-Nya bukan hanya berkhotbah. Tetapi Yesus mengajar di Sinagoge, di depan orang banyak, di Pantai, di Bukit, bahkan di kayu Salib sekali pun kerapkali melakukan pengajaran secara dialogis, dan
memakai
perumpamaan-perumpamaan
sebagai
metode
pengajaran. Maka sejalan dengan metode yang dipakai Tuhan Yesus, gereja juga tidak boleh lalai, atau melakukan tugas PAK secara sambilan. Indikator kelalaian gereja dalam melakukan tugas PAK dapat dilihat : Pertama. Kurangnya pembinaan warga gereja memakai kurikulum dan metode
pengajaran Firman Tuhan berdasarkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga warga gereja menjadi tercecer, terasing, dan tertindas. Kedua. Merosotnya kualitas pendidikan dan sekolah-sekolah Kristen yang ditandai dengan banyaknya sekolah-sekolah Kristen yang tidak berfungsi (tutu) akhir-akhir ini. Salah satu contoh kasus yang diteliti penulis, dalam tempo 52 tahun (Tahun 1955 s/d 2007) sudah lebih 50 sekolah HKBP yang tutup. Penulis berpendapat, untuk mengembalikan harkat kemanusiaan (humanisasi) melalui usaha PAK dan pembinaan warga gereja, maka PAK perlu memakai model pendidikan konsientisasi Paulo Freire di sekolah dan di gereja. Masyarakat Brazil ketika itu sedang mengalami berbagai krisis kehidupan akibat perlakuan kaum penindas terhadap kaum tertindas. Paulo Freire dalam membebaskan rakyat yang teritindas saat itu tidak melawannya secara politik tetapi ia melakukan pendekatan dengan metode pendidikan konsientisasi. Metode yang dipakai oleh Paulo Freire merupakan konsep pendidikan kreatif dan memberdayakan. Demikian juga halnya program dan usaha PAK di sekolah dan di gereja seharusnya memakai metode pendidikan dan pengajaran Firman Tuhan yang dapat memberdayakan. Oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa model pendidikan konsientiasi relevan dipakai dalam PAK. Pada akhirnya, tibalah gereja kepada tujuan PAK untuk memberdayakan warga gereja sebagaimana dikatakan dalam Efesus 4:16, “ Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota-menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”.
Abstrak Sunggul Pasaribu. The Christian is an education which is useful -a study on Model of Education Konsientisasi by Paulo Freire. Program for religion of Christian Education. Postgraduate University of Kristen Indonesia Jakarta, November 2009. The purpose of this thesis is to know or to see more deeply how far the implication of Christian Education in the churches and in the schools can be sucess to improve the congregations of church by doing the mode of education konsientisasi by paul Freire. Christian Education is one of the church ministries in the field of teaching and education. The duty of this ministry is to educate and to teach as what Jesus delivered in his message in Matthew 28:19-20,: “Go ye therefore, and teach all nations, babtizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost. Teaching them to observe all things whatsoever I have commanded you: and, lo I am with you always (even) unto the end of the world.”. Why is in Christian Education (PAK), the technique to teach words of God needed in the school and in the church? Because Jesus was not only preaching in his ministry. But Jesus also taught in Sinagoge, for crowded, in the beach, in the hill, even at cross he taught conversationally, and used parabole. In relation with the method of Jesus’ teaching that had been used before, the church should not do the duties of Christian Education as side job. The indicate are because of the careless itself which the church has been faced in doing the duties of Christian Education that can be seen as follows: a lack of guidance to the congregations in using the curriculum and the method of teaching words of god which based on some aspects such as cognitive, affective and psycomotoric. So the congregations feel strange and unjustly. The lack of education’s quality and Christian Education can be seen from the increase of Christian shools which have no functions
as well. One of the examples that the writer had been observed, there are 50 schools of HKBP had been already closed in 52 years (1955 – 2007). According to the writer, in order to recover the humanity of congregations in applying the Christian Education at church and school, it is needed to use the Education model of Konsentisasi (Paulo Feire). His method is creative education and very usefull. People in Brazil had crisis because of colonialism’s period. Then Paulo Freire rescued people in Brazile by giving the method of education konsientisasi. He did not fight with politics. In the case of Christian Education program at school and at church should use the method of education and words of god which is usefull. The education model of konsientisasi is very relevant used to educate congregations in the church. Finally, let us come to the aim of Christian Education as written in Ephessians 4:16, “From whom the whole body fitly joined together and compacted by that which every joint supplieth, according to the effectual working in the measure of every part maketh increase of the body unto the edifying of itslef in love”.
Kata Pengantar
Pujian, syukur, dan hormat dipersembahkan kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, karena kemahakuasaan dan kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis pun percaya Roh Kudus yang telah menggerakkan hati orang-orang lain untuk membantu penulis secara moril maupun materil. Melalui kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih kepada : 1. Pdt. Dr Einar M. Sitompul sebagai dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Sudarsono Sudirdjo, M.Sc., Ed. sebagai dosen pembimbing II, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyususnan tesis ini sampai selesai dan memberi persetujuan untuk dapat mengikuti ujian. 2. Ibu Caroline E. Pattiasina,M.Th., sebagai Ketua Program Study Pascasarjana Pendidikan Agama Kristen UKI. 3. Para dosen yang telah membekali penulis selama kuliah di Pascasarjana PAK : Prof. W.B.P. Simanjuntak, M.Ed., Ph.D., Dr. Anung Haryono, M.Sc., CAS., Pdt. Dr. Jusen Boangmanalu,
Dr. Busnawir
M.Si., Pdt. Ir. Armand Barus, Ph.D, Pdt. Dr Nico Gara dan Bpk. Sunarto, M.Hum. 4. Istri terkasih, Yorida Silalahi, doamu, cintamu dan perhatianmu membuat hidup ini semakin bermakna. Anak-anakku tercinta : Ester Monika Pasaribu, Devi Septini Pasaribu, dan Samuel Hotasi Pasaribu. 5. Abangku, D. Pasaribu (Bapak Lydia) dan Adikku, Agustin Seven Pasaribu (Bapak Rio), serta Keponakanku, Roni Marpaung (Bapak Agus) yang dengan penuh kasih selalu memberi perhatian dan bantuan dana buat penulis. 6. Keluarga-keluarga yang telah menopang dana selama penulis menjalani study : Kel. Pdt. Djoys Anneke Karundeng-Rantung, Kel.
Pdt. Kristopel Pasaribu, MTh-Duma Hutapea,SH, Kel. Drs. Parasman Pasaribu, Oslin Pasaribu. Kel. Drs.S.L.Gultom-Br.Rajagukguk, Kel. Ir. T.Pasaribu-Br.Ritonga. 7. Bapak Rektor Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr.Ir.Jongkers Tampubolon,MSc dan Bapak Dekan FKIP UHN Pematangsiantar, Drs. M. Simbolon yang telah mengijinkan saya mengikuti Study Lanjut Program Pascasarjana. Dan tidak melupakan teman sejawat Drs. Sanggam Siahaan,M.Hum, Drs. Bluner Sinurat,M.Hum, dan Dr Tagor Pangaribuan yang mendorong saya melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana ini. 8. Teman-teman kuliah yang menjalani hari-hari bersama baik dalam suka maupun duka : Pdt. Djoys Rantung, Ibu Tyas. Pdt. Benget Simamora. Pdt. Cherly Narai. Denny Caltar Dahlan,STh. Carlito Dias Markes,STh. Irene,STh Mercy,STh. Anne,STh. Novi Sitorus,SPd.. 9. Para pelayan di jemaat HKBP Ciganjur, HKBP Pasar Minggu, HKBP Lenteng Agung, juga jemaat sektor di HKBP Kebayoran Lama, yang senantiasa menopang dalam doa buat penulis. 10. Bpk. Parwoto dan Bpk Herman sebagai pegawai kantor Pascasarjana MPAK. 11. Semua
pihak
yang
menyelesaikan tesis ini.
Jakarta, November 2009. Penulis
telah
membantu
sehingga
penulis
dapat
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN YANG MEMBERDAYAKAN Studi Tentang Model Pendidikan Konsientisasi Paulo Freire Bab I. Pendahuluan. 1. LatarBelakang 2. Identifikasi Masalah Pembatasan Masalah Rumusan Masalah 3. Hypotesa 4. Metode Penulisan 5. Tujuan / Manfaat Penulisan a. Tujuan Penulisan b. Manfaat Penulisan 6. Ringkasan Bab. Bab
II. Pengertian Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen 1.1. Pengertian Pendidikan 1.2. Pendidikan Dalam Alkitab 1.3. Sejarah Singkat Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen 1.3.1. Di Sekolah-sekolah Umum 1.3.2. Di Sekolah-sekolah Kristen 1.4. Pendidikan Agama Kristen Di Gereja 1.4.2.1. Sekolah Minggu 1.4.2.2. Katekisasi Sidi 1.4.2.3. Pembinaan Warga Gereja
Bab III.
Bab IV.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan Dan Konsientisasi 1.
Riwayat Hidup Paulo Freire
2.
Pengertian Konsientisasi
3.
Pandangan Paulo Freire Tentang Konsientisasi
Pendidikan Agama Kristen dan Pemberdayaan Umat. 1.
Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi didalam Pendidikan Agama Kristen di Sekolah.
2.
Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi dalam Pembinaan Warga Gereja yang Memberdayakan Umat.
.
Bab V. Kesimpulan dan Saran Daftar Kepustakaan. Riwayat Hidup : Sunggul Pasaribu. Jakarta, 11 Oktober 2009.
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN YANG MEMBERDAYAKAN Studi Tentang Model Pendidikan Konsientisasi Paulo Freire
Bab
I. Pendahuluan. 1. LatarBelakang 2. Identifikasi Masalah 2.1.
Pembatasan Masalah
2.2.
Rumusan Masalah
3. Hypotesis 4. Metode Penulisan 5. Tujuan / Manfaat Penulisan 5.1.
Tujuan Penulisan
5.2.
Kegunaan / Manfaat Penulisan
6. Ringkasan Bab. Bab
II. Pengertian Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen 1.1. Pengertian Pendidikan 1.2. Pendidikan Dalam Alkitab 1.3. Sejarah Singkat Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen 1.3.1. Di Sekolah-sekolah Umum 1.3.2. Di Sekolah-sekolah Kristen 1.4. Pendidikan Di Gereja 1.4.2.1. Sekolah Minggu 1.4.2.2. Katekisasi Sidi 1.4.2.3. Pembinaan Warga Gereja
1
Bab III.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan Konsientisasi 1. Riwayat Hidup Paulo Freire 2. Pengertian Konsientisasi 3. Pandangan Paulo Freire Tentang Konsientisasi
Bab IV.
Pendidikan Agama Kristen dan Pemberdayaan Umat. 1. Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi didalam Pendidikan Agama Kristen di Sekolah. 2. Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi dalam Pembinaan Warga Gereja yang Memberdayakan Umat.
.
Bab V. Kesimpulan dan Saran Daftar Kepustakaan. Riawayat Hidup : Sunggul Pasaribu.
Jakarta, 22 Oktober 2009.
2
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang. Hampir semua orang menilai pendidikan keagamaan bagi anakanak itu sangat penting. Karena itu kita yakin bahwa pendidikan keagamaan adalah salah satu faktor yang menentukan dalam membentuk etika. Tapi, kita terkadang hanya mewajibkan pelaksanaan rutinitas ajaran agama melalui disiplin atau cukup mengajak anak merayakan seremonial belaka, sehingga nilai-nilai pendidikannya tidak sampai. Pada hal tujuan dan rutinitas atau seremonial keagamaan itu adalah membentuk perilaku sehari-hari. Adapun cara untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan rutinitas atau seremonial keagamaan sehingga efeknya bagi perilaku anak dapat memberikan pertumbuhan sesuai kadar imannya, hal itulah yang menjadi tugas Pendidikan Agama Kristen (PAK). (Band. Kejadian 18:19, Amsal 22:6, Mazmur 127:3, Lukas 6:39-40, Yohannes 14:6, Kolose 2:8-10). Ada dugaan menurut pemikiran masyarakat dan warga gereja selama ini bahwa pelaksanaan tugas PAK merupakan tanggungjawab sekolah semata. Pandangan seperti ini yang menimbulkan sikap gereja kurang serius memberi perhatian terhadap tugas PAK terhadap warganya. Sebab, tugas pelayanan rutinitas ibadah formal gereja sudah dianggap otomatis sebagai bentuk PAK. Dengan kata lain, gereja mengasingkan diri dari tugas PAK. Pengasingan diri gereja dari PAK itulah yang menjadi sebabmusabab adanya pandangan dan praktik-praktik yang kurang tepat di sekolah. Sempitnya pemahaman fungsi teologia terhadap PAK merupakan kritik terhadap semua ajaran dan praktik yang ada dalam gereja. Apakah pelayanan gereja sudah sesuai dengan apa yang dinyatakan Allah sendiri dalam Firman-Nya untuk menguji sifat gereja yang benar. Dalam hal ini PAK tidak boleh diabaikan sebagai bagian
3
pelayanan gereja. Dengan demikian dapat dilihat apa yang harus ada dan apa yang tidak boleh ada. (Clement Suleeman, hl.14). Homrighausen menekankan, bahwa PAK itu merupakan suatu fungsi gereja yang sangat penting, PAK itu adalah pendidikan yang seharusnya
dijalankan
oleh
gereja
itu
sendiri.
Seandainya
ada
kecenderungan bahwa PAK dilaksanakan oleh institusi di luar lingkungan gereja, maka perlu ditegaskan bahwa PAK itu tak boleh diserahkan
kepada
instansi-instansi
partikulir
semata,
biar
bagaimanapun baik dan sucinya cita-cita mereka. Sebaiknya mereka diarahkan untuk menggabungkan usahanya dengan pekerjaan gereja, supaya kerajinan dan orang itu disalurkan melalui jalan gereja (Homrighausen, Enklaar, hlm. 20). Gereja tidak boleh berdalih karena kekurangan tenaga pendidik professional jadi kurang memperhatikan praktik pengajaran. Perlu diingat bahwa Tuhan sendiri telah memberi amanat kepada gereja dan orang percaya, yakni supaya mengajar (Band. Matius 28:18-20). Pelbagai tugas diletakkan Tuhan di atas bahu jemaat ; beberapa pelayanan dipercayakan-Nya kepada gereja di bumi ini, di antaranya termasuk pula tugas mengajar dan mendidik orang dalam agama Kristen. (Haumrighausen, Enklaar hl. 21.). Pemahaman Gereja yang sempit tentang pelaksanaan PAK di gereja di mana anggapan PAK sudah dilaksanakan oleh gereja melalui seksi Sekolah Minggu. Anggapan ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa tingkat kategorial usia Sekolah Minggu sama dengan program PAK sebagaimana di sekolah umum. Harus kita akui, praktik PAK dalam Sekolah Minggu belumlah dilakukan secara efektif apabila kita membandingkan dengan cara program pembelajarann PAK di sekolah umum. Hal itu dapat diketahui dengan melihat perbedaan cara gereja dengan cara sekolah umum melaksanakan program PAK. Salah satu perbedaannya, gereja belum
4
memiliki model, dan kurikulum yang terarah dan terpadu untuk mengembangkan unsur kognitif, afektip, maupun psykomotorik. Buku panduan pengajaran Sekolah Minggu yang dipersiapkan gereja masih sebatas bahan (materi) pelajaran yang memuat penjelasan dari teks Alkitab yang ditentukan oleh Sinode Gereja. Penulis menganalisa materi pelajaran PAK tersebut berupa penjelasan, penafsiran, dan skope (tujuan) teks Alkitab yang akan diajarkan. Tetapi materi pelajaran ini belum mengacu kepada skenario kurikulum. Untuk melaksanakan program PAK ini dituntut tersedianya model pendidikan dalam kurikulum, ketrampilan cara mengajar, serta ditopang dengan adanya kesiapan dan keseriusan pihak institusi gereja. Kelemahan seperti ini bisa diatasi oleh gereja dengan memperhatikan dan memberdayakan potensi yang dimiliki warga gereja sehingga melibatkan peran aktif warganya yang potensial mengabdikan dirinya menjadi nara sumber pendidikan, atau menjadi tenaga pengajar. Oleh sebab itu kita tak boleh memandang PAK itu sebagai sesuatu sambilan saja. Pekerjaan ini selayaknya dan sewajarnyalah terhisab dalam tugas gereja yang sah, sehingga harus dilaksanakan bersama oleh seluruh warga gereja. Kelemahan gereja dalam hal praktik PAK dapat dilihat ketika tidak terlaksananya model, dan kurikulum PAK sebagaimana tujuan penididikan
untuk
memberdayakan
potensi
manusia
dalam
mengembangkan unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terukur. Dalam arti yang umum, ilmu pendidikan dan PAK tidak jauh berbeda. Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala pebuatan mendidik. (M.Ngalim Purwanto 1989 : 1). Sedangkan PAK adalah upaya gereja untuk mengajarkan firman Tuhan melalui metode pendidikan. Kebanyakan
orang
tua
mendidik
anak-anaknya
hanya
berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis saja. Mereka banyak
5
meniru perbuatan nenek moyangnya yang belum tentu benar dan baik. Mereka beranggapan bahwa kepandaian mendidik itu sudah dengan sendirinya akan dipunyai oleh setiap orang dari pergaulannya dengan anak-anak. Mereka percaya bahwa setiap situasi, secara “intuitif” akan mendapat sikap dan tindakan yang tepat. Jadi mereka berkehendak bekerja secara “intuitif” belaka, tidak atau kurang mau mempelajari dan menyelidiki hal mendidik secara ilmu pengetahuan, atau secara teoritis. (M.Ngalim Purwanto 1989 : 1). Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan, mendidik (pendidikan)
berdasarkan
hasil-hasil
penyelidikan
(teori)
dan
berdasarkan pengalaman-pengalaman (praktik) lebih banyak dan baik hasilnya daripada hanya berdasarkan pengalaman dan intusi belaka. Pendidik hanya dapat memimpin perkembangan anak itu dengan mempengaruhinya dari luar (M.Ngalim Purwanto 1989 : 3). Kita tidak dapat menjadikan seorang nara-didik menjadi pintar, menjadi cerdas, menjadi orang yang taat (saleh), menjadi orang kaya, menjadi orang terkenal. Tetapi, peran dan fungsi pendidik hanya sebatas membimbing, membentuk karakter, memperkenalkan nilai-nilai agar ia menjadi manusia yang utuh dan dewasa. Mengapa
dikatakan
pendidikan
itu
memimpin,
bukan
membentuk, atau menjadikan – tetapi mempersiapkan, mendampingi si nara-didik.? Dalam teori pendidikan, ada dua pendirian yang bertentangan : a). Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon). Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi. Jadi sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Karenanya anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuasaan ada pada pendidikan. Pendidikan atau lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Pendapat ini disebut teori empirisme. b). Teori Nativisme (Schopenhauer). Teori ini lawan dari empirisme. Nativisme (Bhs. Latin, Nativus, berarti : karena kelahiran). Aliran Nativisme
6
berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak dapat mempengaruhi pembawaan itu. (M.Ngalim Purwanto 1989 : 18-19). Pendapat para ahli pendidikan di atas mengambarkan manusia sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, atau belum memiliki fikiran. Dalam hal ini kedudukan manusia akan ditempatkan sebagai objek pendidikan. Akan tetapi kedua pendapat di atas berat sebelah, namun ada benar dan ada salahnya msing-masing. Untuk mengatasi konflik pendapat kedua teori tersebut maka lahir sebuah teori konvergensi (W.Stern), menurut teori ini hasil pendidikan anak-anak itu ditentukan atau dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : pembawaan dan lingkungan. Teori konvergensi menolak kemutlakan manusia. Sebab, bagaimana pun keberadaan seseorang, baik atau jahat, pandai atau bodoh, rajin atau malas, senang atau sedih, perilaku ini tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal turut mempengaruhi kepribadain seseorang. Dari teori pendidikan yang dipaparkan di atas, jika kita menghubungkan dengan model pendidikan konsientisasi Paulo Freire maka peran dan kedudukan PAK dapat dijadikan sebagai rujukan untuk memberdayakan manusia. Karena secara teologis manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Maka melalui PAK manusia dihargai dan ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pendidikan sebagaimana dikatakan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”. Di sini Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menginginkan supaya dengan kesadaran (pertobatan) manusia sendiri ia dapat membedakan manakah yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Dalam
7
rangka penyadaran (konsientisasi) inilah peran dan fungsi PAK di gereja dan di sekolah. Dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pendidikan merupakan
teori
untuk
menanamkan
nilai-nilai
budaya,
dan
kemanusiaan. Sedangkan Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah pelayanan kegerejaan yang membimbing orangtua untuk memenuhi panggilannya sebagai orang tua Kristen, dan sekaligus pula memperlengkapi warga jemaat untuk hidup sebagai anggota persekutuan yang beribadah, bersaksi, mengajar, belajar dan melayani atas nama Yesus Kristus (R. Boehlke
1992 : 501). Singkatnya, adapun persamaan antara Ilmu
Pendidikan secara umum dengan PAK, keduanya membicarakan masalah Paedagogik (Bhs. Yunani : paedos, anak dan agoge, membimbing, memimpin). Adakah perbedaan antara pendidikan dengan pengajaran.? Marilah kita menganalisa perbedaan tersebut. Di atas sudah dijelaskan arti pendidikan. Di dalam Alkitab kata ‘pengajaran’ berasal dari kata ‘mengajar’ (Bhs. Yunani ‘Katekhein’). Kata ‘Katekhein’ adalah muasal kata katekese, kateketik, dan kateisasi. Makna utama kata ‘Katekhein’ memberi tekanan kepada otoritas (wewenang, kekuasaan yang sah) dalam hal pendidikan; karena katekhein berarti mengajar dari atas ke bawah. Pengajar di atas (yang berwewenang), dan pelajar ada di bawah (yang takluk). Dalam kata ini sekaligus terkandung makna aksi dan reaksi; aksi dari pihak pengajar mengundang reaksi dari pelajar. Jadi di samping aspek otoritatif, kata katekhein juga beraspek dialogis. (G.Riemer 1999 : 22). Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan hal-hal dari kegiatan mengajar dalam pendidikan : ajaran harus terarah kepada manusia sebagai pribadi yang utuh, bukan hanya kepada akal, tapi juga kepada hati dan emosi, ajaran harus praktis sehingga manusia mampu menikmati kebaikan Allah dalam kehidupan dan berjalan pada jalan keselamatan setiap saat, ajaran merupakan salah satu cara yang dipakai
8
Allah untuk mengantar manusia menuju keselamatan. (G.Riemer 1999 : 27-28). Jadi perbedaan antara pendidikan dengan pengajaran adalah terletak pada substansi materi. Pendidikan adalah usaha manusia dalam menstranformasikan sejumlah pengetahuan dengan memakai metode yang
relevan untuk merubah keberadaan manusia.
Sedangkan
pengajaran adalah aktifitas pendidikan yang mempengaruhi nilai kehidupan seseorang. Substansinya adalah pendidikan dapat merubah dari dan oleh dirinya, sedangkan pengajaran dalam merubah dirinya bersumber dari luar diri manusia. Oleh karena itu, gereja akan kuat dan hidup serta menjadi perkumpulan orang-orang yang punya vitalitas tinggi jika : 1). Orang tua tetap bertanggung jawab ihwal pendidikan dan pengajaran anakanak mereka. 2). Anak-anak wajib taat belajar dan membaca Alkitab. Agar tercapai tujuan diselenggarakannya PAK, untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal : 1. Dalam mencari dan menentukan objek itu sudah tentu Firman Tuhanlah yang merupakan satu-satunya dasar dan pangkalan bagi usaha itu. 2. Objek itu harus sesuai dengan sifat gereja kita sendiri. Jikalau misalnya merencanakan PAK bagi gereja yang bersifat CalvinisPresbiterian, tentulah kita perlu mengingat kepercayaan, kebaktian, organisasi dan suasana gereja itu dalam menentukan tujuan-tujuan pengajaran agama itu. 3. Penetapan objek dan pembagian bahan-bahan itu harus dilakukan sesuai dengan unsur murid-murid. Objek-objek yang dipilih bagi kelompok diskusi pemuda-pemuda tentu saja tidak cocok pada Sekolah Minggu yang terdiri dari anak-anak yang berumur 10-12 tahun. 4. Ada pula latar belakang murid-murid yang perlu diperhatikan.
9
5. Objek pengajaran kita juga perlu berhubungan dengan macamnya PAK. 6. Perlu mengenal jiwa dan pribadi orang-orang didikan kita, sambil mengetahui
pergumulan
dan
masalah-masalah
mereka.
(Haumrighausen. Enklaar hlm. 31-32.).
Model Pendidikan Konsientisasi Paulo Freire. Dalam tesis ini, penulis akan membahas PAK yang memberdayakan umat dengan pendekatan model pendidikan ‘konsientisasi’ Paulo Freire. Oleh karena itu tanggungjawab gereja menyelenggarakan PAK bagi warganya supaya missi Allah terhadap manusia berlangsung sebagaimana yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus dalam Mateus 28:1819, : “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." . Dalam hal ini tugas gereja dalam penginjilan adalah ‘mengajar’ seperti yang diperintahkan oleh Tuhan. Tujuannya, supaya semakin banyak orang yang percaya (beriman) dan menerima keselamatan. Adapun cara untuk mewujudkan amanat agung Tuhan Yesus di atas adalah dengan melaksanakan program PAK di sekolah dan di gereja. Dengan demikian pelaksanaan PAK tersebut, perlu dipersiapkan metode yang paling tepat agar PAK benar-benar mencapai sasaran sebagaimana tertuang dalam kurikulum PAK. Teori pendidikan tidak pernah bersifat statis tetapi selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Salah seorang dari pelaku pendidikan yang bergumul, berjuang, dan relevan di jamannya (tahun 1969) Paulo Freire. Pengakuan kita terhadap pengalaman Paulo Freire
yang
melahirkan
satu
gagasan
unik,
menyentuh,
memperbaharui sistim dan model dunia pendidikan, yaitu ;
dan
bahwa
praktik pendidikan yang membebaskan belenggu dirinya turut
10
berpengaruh untuk melakukan perubahan tingkahlaku terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Hasil pemikiran Paulo Freire tersebut dituangkan dalam beberapa judul buku yang ditulisnya, antara lain : Pendidikan sebagai pelaksanaan pembebasan (tahun 1967), Paedagogy of the oppressed (Pendidikan yang membebaskan, tahun 1970). Pada tesis ini penulis secara khusus mengkonsentrasikan diri membahas pemikiran Paulo Freire dari bukunya yang berjudul, “Pendidikan Kaum Tertindas” (Penerbit LP3ES Tahun 1970). Pemikiran kritis Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas dapat kita ketahui dari latar belakang pergumulan dan pengalaman hidupnya bahwa dunia saat itu tidak dapat menyediakan pendidikan yang menghasilkan manusia berkwalitas untuk menjawab krisis sosial, ekonomi, dan politik. Menjadi pertanyaan, mengapa penulis tertarik membahas pendapat Paulo Freire tersebut dalam muatan PAK.? Pahal hal Paulo Freire bukanlah seorang teolog, atau pendidik Kristiani, tetapi ide dan konsep
pendidikan
yang
dilakukannya
mengandung
nilai-nilai
kemanusiaa, dan pembebasan melawan penindasan. Menurut penulis, tugas gereja adalah memberdayakan jemaat agar semua berpartisipasi membangunan tubuh Kristus. Firman Tuhan mengatakan,: “Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” (I Korintus 12:6-7). Paulo
Freire
di
negaranya,
melihat
perlakuan
yang
diskriminatifdari para penguasa, di mana realitas yang membelenggu rakyat Brazil adanya sikap penindasan di berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu Paulo Freire dalam mengatasi penindasan yang dialami rakyat maka ia berpendapat diperlukan pendidikan konsientisasi. Model pendidikan ini dimaksudkan untuk melawan model pendidikan sistim bank (pendidikan botol kosong yang siap untuk diisi, pendidikan menabung).
11
Memang, model pendidikan konsientisasi Paulo Freire bukanlah sebuah teori baru di dunia pendidikan. Tetapi, ia baru menemukan model pendidikan konsientisasi setelah mengalami penindasan dalam keterasingan selama enam tahun di Chile. Paulo Freire menemukan, baik
dalam
kegiatan-kegiatan
pelatihan
yang
menganalisis
“penyadaran” (conscientization) untuk suatu bentuk pendidikan yang benar-benar membebaskan dari adanya perasaan “takut kebebasan” (istilah
“penyadaran”
ini
diartikan
sebagai
belajar
memahami
kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi) serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut. Kata ‘konsientisasi’ (berasal dari bahasa Brasil conscientizacao), proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan, tidak seharusnya dipahami manipulasi kaum idealis. Bahkan jika visi kita mengenai konsientisasi bersifat dialogis, bukan subjektif atau mekanistik, kita tidak dapat memberi lebel pada kesadaran ini dengan sebuah peran yang tidak dimilikinya yakni peran untuk melakukan perubahan terhadap dunia. Kita juga tidak boleh mereduksi kesadaran menjadi sekedar refleksi realitas. (Paulo Freire 1999 : 183). Paulo Freire mengusulkan kurikulum yang bertolak dari realitas konkret peserta didik dan yang muatannya mampu menumbuhkan kesadaran kritis. Artinya kurikulum dapat mendorong perkembangan pola pikir dan kemampuan refleksi peserta didik. Kurikulum ini mengutamakan pengalaman dan menekankan pada aspek-aspek personal tertentu (oleh karena itu disebut juga dengan experiencecentered curriculum). Pemikiran Paulo Freire lebih cenderung menyoroti bagaimana praktik pendidikan yang tidak benar, yaitu ; ketika manusia memasuki dunia pendidikan namun tidak menemukan hakekat dirinya sebagai out-put (hasil) kaum terdidik. Manusia memasuki dunia pengajaran (pembelajaran) namun tidak menemukan realitas kehidupan yang
12
kreatif, kritis, dinamis, dan objektif. Manusia memasuki sebuah sisitim pendidikan namun jiwa yang dialaminya justru terbelenggu. Akibatnya, manusia tidak mengalami perubahan dan tidak pula mampu melakukan perubahan terhadap lingkungannya di mana dia hidup. Inilah yang disebut Paulo Freire penindasan sistim.
Harapan Paulo Freire Terhadap Pendidikan Konsientisasi. Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Maka dari itu tidak ada pilihan lain, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satusatunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. (Paulo Freire 1999 : vii). Dari pendapat Paulo Freire ini, kita mengartikan bahwa dengan pendidikan harkat kemanusiaan harus dikembalikan kepada manusia itu sendiri, melalui pendidikan konsientisasi. Demikian juga halnya dengan tugas dan tujuan PAK itu menjadi sentral bagi gereja. Sebab, warga gereja dewasa ini ditengah arus globalisasi dan perubahan zaman yang semakin deras membuat mereka mengalami keterasingan, tersisih, terpuruk di bidang ekonomi, peindasan hak-hak civil oleh penguasa. Akibatnya, warga gereja sedang kehilangan orientasi dan harapan hidup. Pada konteks inilah tugas dan peran PAK baik di sekolahsekolah dan gereja menjadi amat penting supaya mereka diberdayakan menghadapi roh-roh zaman. (Lihat Lukas 4:18-20).
23-10-2009/18.00.
13
Oleh karena itu, penulis ingin mendalami hasil dari pengamatan, pengalaman, dan pemikiran Paulo berdasarkan
teori
pendidikan
dan
Freire dengan menganalisis pendapat
para
ahli
serta
menyorotinya dengan kebenaran Alkitabiah. Sehingga penulis membuat tesis ini dengan judul : PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN YANG MEMBERDAYAKAN “Studi Tentang Model Pendidikan Konsientisasi Paulo Freire” 3. Identifikasi Masalah Keberhasilan program PAK di gereja atau di sekolah akan mendapat kesulitan praktik pelaksanaannya apabila mereka yang terkait dengan program PAK memandang objek pendidikan (warga gereja) ditempatkan seperti orang yang tidak tahu sama sekali tentang pokok-pokok iman Kristen. Padahal sebagai warga gereja, mereka sudah menerima baptisan, pernah mendengar Firman Tuhan, aktif beribadah, bahkan di sekolah pun mereka mendapat mata pelajaran PAK. Namun, menurut paramater tujuan pendidikan ternyata belum nampak hasil afektifnya secara terukur. Maka, melalui program PAK dengan model pendidikan konsientisai akan dapat diketahui sejauhmana tingkat keberhasilan PAK itu memberdayakan umatNya. 3.1.
Pembatasan Masalah Ketika gereja melakukan pendidikan dan pengajaran hanya dalam bentuk menabur (Khotbah), menjelaskan (Ceramah), dan
menguraikan
sejumlah
muatan
pengajaran
(Buku
Pembinaan kategorial; Sekolah Minggu, Remaja, Perempuan, Bapak). Hal itu berarti, gereja mengabaikan proses afektif dan psikomotorik program PAK.
14
Masalah yang berkaitan dengan kelalaian dan kelemahan gereja dalam tugas PAK di sekolah dan di gereja dapat
mengakibatkan
orang
percaya
akan
mengalami
berbagai krisis dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan secara literatur dan apabila dibutuhkan juga dilakukan dengan penelitian lapangan sesuai objeknya. Adapun pembatasan masalah penelitian ini dibatasi pada studi pelaksanaan tugas PAK di sekolah dan di gereja dengan memakai model pendidikan konsientisasi pemikiran Paulo Freire. Tugas PAK yang memberdayakan dalam kajian teori dari pemikiran Paulo Freire digunakan sebagai kajian kritis terhadap model pendidikan konsientisasi di sekolah dan di gereja. Karena keberhasilan pendidikan yang efektif apabila manusia ditempatkan sebagai mitra, sebagai sahabat dalam hubungan proses belajar - mengajar antara guru dan siswa. Sehingga penguatan PAK dapat diukur sejauhmana tingkat kesadaran
dan
kecerdasan
emosional
dan
intelektual
seseorang. Oleh karena itu, penulis membatasi masalah tesis ini hanya pada model pendidikan konsientisasi Paulo Freire dalam PAK yang memberdayakan umat di gereja dan di sekolah. 3.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas maka perumusan masalah penelitian adalah : 1.Apakah
Kelemahan
PAK
di
sekolah
sehingga
mengakibatkan rendahnya sumber daya manusia dalam peran aktifnya di gereja, masyarakat, bangsa, dan negara pada masa sekarang maupun masa depan.?
15
2.Bagaimanakah gereja melaksanakan PAK bagi warganya dengan memakai model pendidikan Konsientisasi.? 3.Sejauhmanakah relevansi model pendidikan konsientisasi pemikiran Paulo Freire terhadap PAK di gereja dan di sekolah dapat memberi kontribusi yang positif .? 4.Apakah gereja memakai model pendidikan konsientisasi Paulo Freire dalam PAK terhadap pemberdayaan jemaat di gereja.? 1.3.
Hipotesis : Sehubungan dengan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka penulis membuat hipotesis : 1.3.1. PAK
yang dilaksanakan di Sekolah-sekolah belum
mengarah kepada pemberdayaan potensi kognitif, dan afektif nara-didik, jika dikaji dengan model pendidikan konsientisasi . 1.3.2. Gereja belum memberdayakan jemaat, bila dikaji dengan model pendidikan konsientisasi PAK. 1.3.3. Gereja belum menerapkan model pendidikan konsientisasi PAK dalam program Pembinaan Warga Gereja (PWG). 4. Metode Penulisan Adapun metode penulisan yang dilakukan untuk menganalisa judul tesis di atas, yaitu,
melalui pembahasan dari berbagai sumber
literatur, pemikiran kritis oleh masyarakat, terutama pendapat mereka
yang
ahli
di
bidangnya.
Namun,
tidak
tertutup
kemungkinan penulis perlu melakukan penelitian lapangan (tehnik wawancara kepada penyelenggara pendidikan Agama Kristen) di gereja ataupun di sekolah apabila diperlukan. 5. Tujuan / Manfaat Penulisan
16
5.1.Tujuan Penulisan Secara umum Tesis ini bertujuan untuk mengetahui atau melihat sejauhmanakah praktik PAK di gereja dan di sekolah dapat berhasil memberdayakan warga gereja dengan menggunakan pendekatan model pendidikan konsientisasi. Paulo Freire.
Secara
lebih khusus, penulisan dalam tesis ini bertujuan untuk : a. Mengetahui peranan PAK dalam memberdayakan warga gereja. b. Mempersiapkan warga gereja agar menjadi jemaat yang missioner di tengah-tengah tantangan jaman. c. Menggali pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan PAK di gereja dan di sekolah. 5.2. Kegunaan / Manfaat Penulisan Dengan tujuan tersebut, diharapkan hasil pembahasan dalam tesis ini memberikan sejumlah manfaat, antara lain : a. Secara praktis berguna bagi Gereja dalam membina, dan memberdayakan
umat-Nya,
sehingga
hasil
akhirnya
dapat
meningkatkan peran warga Gereja dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Lebih dari pada itu, warga gereja yang dipersiapkan mental, spiritualnya melalui PAK di gereja dan di sekolah dengan pendekatan model pendidikan konsientisasi agar menjadi pewaris Kerajaan Allah yang bertanggungjawab. b. Secara akademis dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang pendidikan, khususnya dalam pengembangan model dan sistim PAK di gereja dan di sekolah, serta dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyusun program PAK dalam penelitianpenelitian yang relevan dengan topik pembahasan selanjutnya. c. Untuk mempersiapkan masa depan warga gereja melalui pembinaan dan PAK yang relevan, dan dapat menjawab
17
perkembangan dan tantangan jaman yang senantiasa berubah. Sehingga iman warga gereja semakin bertumbuh dan berkembang. Ringkasan Bab. Bab I. : Bab ini mengenai pendahuluan, yang memaparkan latar belakang, masalah, hipotesis, dan tujuan penulis membahas judul tesis tersebut. Dengan pemaparan dan membahas masalah akan memudahkan penulis untuk melihat apa yang akan dipelajari dari pemikiran Paulo Freire tentang model pendidikan konsientisasi. Sedikitnya, pada bab ini sudah tergambar arti pendidikan secara umum, pengertian dan sejarah PAK, serta manfaat model pendidikan konsientisasi Paulo Freire bagi pembinaan warga jemaat dan peranan PAK dalam meningkatkan keimanan, dan kwalitas hasil belajar siswa di sekolah melalui bidang materi PAK. Kemudian penulis menganalisa penerapan kurikulum pemerintah dan kurikulum gereja diperhadapkan dengan model pendidikan model konsientisasi Paulo Freire. Semua ini penulis utarakan secara ringkas pada bab pendahuluan ini. Bab 2. : Bab ini penulis mengawali pembahasan secara deskriptif mengenai arti pendidikan menurut Alkitab dan pengertian secara umum. Sehingga dengan pemaparan arti, makna dan tujuan pendidikan akan menolong kita untuk mengantarkan pemahaman PAK sebagai bidang ilmu. Berangkat dari pemahaman PAK sebagai bidang ilmu, maka peran dan fungsi gereja di bidang pengajaran Kristen dapat menerapkan model pendidikan konsientisasi dalam materi pembinaan warga gereja dan kurikulum PAK di sekolah-sekolah. Dalam hal ini, penulis
mengangkat
pengajaran
dan
sejarah
pendidikan
perkembangan agama
di
PAK
gereja,
khususnya
masih
belum
mementingkan tujuan pembuatan kurikulum dan materi pengajaran. Gereja
masih
cenderung
melakukan
tugas
pengajaran
hanya
18
mengikuti penetapan oleh sinode gereja yang membuat topik, dan nats Alkitab sebagai bahan pengajaran. Bab 3. : Bab ini penulis memaparkan riwayat hidup Paulo Freire di dalam pergumulannya di Negara yang sedang menghadapi situasi sulit khususnya di bidang sosial, ekonomi, dan politik Negara Brazilia. Permasalahn ini dilihat dan dialami Paulo Freire sehingga ia melahirkan sebuah pemikiran yang baru di bidang pendidikan. Lahirnya pikiran pendidikan konsientisasi tidak terlepas dengan terjadinya penindasan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Brazilia. Memerdekakan manusia menurut Paulo Freire dapat dilakukan melalui pendekatan pendidikan, bukan hanya pendekatan politik. Sebab tujuan kemerdekaan disebutnya, humanisasi sedangkan penindasan disebutnya sebagai dehumanisasi. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kejahatan politik dapat dilawan dengan strategi pendidikan model konsientisasi. Sikap seperti inilah yang dilakukan Paulo Freire walaupun mengandung resiko pribadi. Bab 4. : Bab ini penulis menyoroti pelaksanaan PAK di sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah Kristen serta gereja menyangkut kurikulum PAK. Sebagaimana latar belakang dan tujuan penulis mengangkat judul tentang studi model pendidikan konsitentisasi model
ini
penulis
anggap
mempunyai
Paulo Freire karena manfaat
baru
bagi
pengembangan pengajaran PAK di sekolah-sekolah dan di gereja. Sebab, sebagaimana hipotesis yang dibuat penulis, bahwa penulis beranggapan bhawa gereja hanya melakukan tugas rutinitas, ibdah gormal, pengajaran dan pembinaan warga gereja dilakukan seadanya saja. Hal ini, kurang membuahkan hasil untuk pembangunan “Tubuh Kristus” (Band. Efesus 4:11-14), sebagaimana tugas amanat Agung Yesus dalam Injil Mateus 28:19-20.
19
Bab 5. : Bab ini memaparkan hasil pembahasan penulis mengenai kesimpulan model pendidikan konsientisasi yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dan gereja. Dalam bab ini dapatlah diketahui, apakah sekolah-sekolah dan gereja mempergunakan kurikulum pengajaran yang menyentuh aspek konsientisasi (penyadaran). Kenyataannya, setelah penulis mempelajari dari dokumen kurikulum pendidikan pemerintah dan materi pembinaan warga gereja masih belum mendapat penekanan yang maksimal pada aspek konsientisasi (kesadaran). Tetapi, masih cenderung menekankan aspek pengetahuan semata. Oleh karena itu, penulis mengusulkan supaya sekolah-sekolah dan gereja mau meperbaiki model kurikulum pengajaran dan pendidikan yang lebih banyak menekankan aspek kesadaran.
Jakarta, Oktober 2009. Mhs. Pascasarjana UKI T.A. 2008/2009. Sunggul Pasaribu.
20
Bab
II.
Pengertian Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen 1.Pengertian Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen Secara Alkitab. 1.1. Pengertian Pendidikan Kata ‘pendidikan’ berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya, memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. (Poerwadaminta 1991 : 232 ). Kemudian kata pendidikan ini diartikan dari dua istilah bahasa Yunani yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie, terdiri dari akar kata “paid” dan "agogos". Kata "paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang artinya membimbing "sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai "ilmu dan seni mengajar anak". Sedangkan “paedagogiek” berarti ilmu dan seni mengajar anak. Dari arti asal-usul kata pendidikan, berarti kedudukan pendidikan adalah suatu ilmu. Lebih jelasnya, ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. (M.Ngalim Purwanto. 1985 : 1). Menurut UU No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Wikipedia Indonesia, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
21
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
(http://id.wikipedia.Org/wiki
/Pendidikan). Dari pernyataan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan,
peradaban,
serta
keterampilan
yang
diperlukan dirinya dan masyarakat. Dalam menganggap
pemikiran enteng
dan
yang
klasik,
mudah
kebanyakan
mengenai
hal
orang
masih
mendidik
itu.
Kebanyakan orang tua mendidik anak-anaknya hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis saja. Mereka banyak meniru perbuatan nenek moyangnya yang belum tentu benar dan baik. Mereka beranggapan bahwa kepandaian mendidik itu sudah dengan sendirinya akan dipunyai oleh setiap orang dari pergaulannya dengan anak-anak. Mereka percaya bahwa dalam setiap situasi, secara intuitif mereka bersikap dan bertindak tepat. Jadi mereka bekerja secara intuitif belaka, tidak atau kurang mau mempelajari dan menyelidiki hal mendidik secara ilmu pengetahuan, atau belajar secara teoritis. Namun bukan berarti bahwa model pendidikan yang tidak berteori
tidak
berdasarkan
berharga. hasil-hasil
Menurut
Ngalim
penyelidikan
Purwanto,
(teori)
dan
mendidik
berdasarkan
pengalaman-pengalaman (praktik) lebih banyak dan baik hasilnya daripada
hanya
beradasarkan
pengalaman
dan
intuisi
belaka.
(M.Ngalim Purwanto 1985 : 2). 1.2. Tujuan Pendidikan. Di atas telah dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dalam rangka proses pembelajaran untuk mengubah
22
kondisi manusia. Sehingga pencapaian proses perubahan sudah tentu mempunyai tujuan. Orang tua menyuruh anaknya mandi setiap hari, melarang anaknya mencabuti tanaman yang sengaja ditanamnya, memasukkan anaknya ke sekolah, menyuruh anaknya beribadah, semua itu ada maksud dan tujuannya. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebut, bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pengertian pendidikan dan tugas mendidik adalah membimbing perkembangan pendidik terhadap anak didik ke arah kedewasaan. Maka, tujuan pendidikan berarti bahwa supaya ia sanggup menentukan diri sendiri dan bertanggungjawab sendiri sehingga ia menjadi dewasa dalam fisik dan jiwa. Orang dewasa adalah orang yang sudah mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagamaan, kebenaran, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma itu. (M.Ngalim Purwanto 1985 : 23). Untuk
memberdayakan
seseorang
menjadi
dewasa
berdasarkan tujuan pendidikan, demikian pula tujuan matap elajaran dan satuan pelajaran lazim dirumuskan dari tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah (domain) itu saling berkaitan : a). Hasil belajar afektif memerlukan dasar afketif. b). Kebanyakan keterampilan seperti membaca peta, bermain tenis dan lain-lain mencakup dimensi kognitif dan psikomotor serta oleh dipengaruhi sikap. c). Kebanyakan hasil belajar psikomotor diasosiasikan dengan kognisi dan sering juga dengan afeksi. (S.Nasution 2006 : 59-60). Dari uraian ini bahwa tujuan pendidikan adalah proses pendewasaan.
23
1.2. Pendidikan Menurut Alkitab 1.2.1.Menurut Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama (PL) bagi Bangsa Israel mendidik anakanaknya merupakan tanggungjawab orangtua sebagaimana perintah Tuhan (Band. Ulangan 6:4-9, 20-25, Bilangan 15:37-41), mendidik anak-anaknya untuk dapat mengenal Taurat Allah (Mazmur 78:3-7), mendidiknya di jalan yang benar (Amsal 22:6), dan menjawab pertanyaan seorang anak dengan tepat (Keluaran 12:26,27; 13:8). Kewajiban mendidik anak dilakukan, karena anak merupakan warisan Allah kepada orang tua (Mazmur 127:3). Tujuan pendidikan kepada anak supaya mereka taat mematuhi perintah Taurat dan adat-istiadat (Ulangan 4:1), sehingga mereka diizinkan mendidik anak dengan memberikan hukuman jasmani (Amsal 22:15; 19:18; 23:13-14; 29:15,19). Pendidikan juga dianggap sebagai sumber hikmat dan pengetahuan (Amsal 2:1-6), serta cara untuk mengetahui tentang yang baik dan yang jahat (Amsal 28:5, Mazmur 119:33). Di sini tujuan pendidikan adalah untuk ketaatan dan kepatuhan anak kepada orang tua. Itulah
sebabnya,
bagi
bangsa
Israel
dianggap
suatu
kebodohan apabila orang tidak menghiraukan arti pendidikan, orang bodoh biasanya menghina hikmat atau pendidikan (Amsal 1:7), orang inilah yang suka melakukan kejahatan dan selalu berlaku cemar (Amsal 10:23). Akhirnya, ia menjadi orang yang sombong dan bebal (Amsal 27:22, 21:24). (A.A Sitompul 1979 :40-41). Menurut Amsal Salomo orangtualah instansi yang pertama, yang
mendidik
atau
mengajar
anaknya.
Kepada
merekalah
disampaikan tugas yang pertama sebagai guru dalam keluarganya. Merekalah yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anakanak. Sebagaimana dikatakan dalam Amsal 3:1-2, : “Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan
24
ditambahkannya
kepadamu.”
Dan
Amsal
4:10-13,
“Hai
anakku,
dengarkanlah dan terimalah perkataanku, supaya tahun hidupmu menjadi banyak. Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus. Bila engkau berjalan langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung. Berpeganglah pada didikan,
janganlah
melepaskannya,
peliharalah
dia,
karena
dialah
hidupmu.”. (A.A Sitompul 1979 : 35-36). Dari penjelasan di atas kita mengetahui di zaman PL bangsa Israel sangat mementingkan pendidikan terhadap anak. Pada zaman di mana pesan hampir seluruhnya dikomunikasikan secara lisan. Dalam kitab Amsal 1:8, dikatakan : “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu” . Demikian pula dalam sejarah perbuatan-perbuatan Allah dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (G. Riemer 1999 ; 37). Kita dapat melihat bagaimana cerita tentang pengalaman bangsa Israel di mana Tuhan memanggil dan membawa mereka dari perbudakan di Mesir ; Saya akan berjalan denganmu, dan menjadi Tuhanmu dan kamu adalah bangsaKu supaya kamu beribadah kepadaKu. (Band. Keluaran 3:12 ). Inti pengajaran dalam PL adalah Allah mengikat perjanjian kepada umat-Nya dengan memberikan Hukum Taurat, inilah yang harus diajarkan dari generasi ke generasi (lihat Keluaran 18:19). Hukum Taurat merupakan hukum dan menjadi kehidupan bagi umat Allah. (Iris v Cully, : 74). Menurut Sitompul sebelum masa Kerajaan pengajaran Taurat masih bersifat lisan sifatnya, Orang tualah instansi pertama, yang mendidik atau mengajar anaknya. (A.A.Sitompul 1974 : 36). Kemudian pendidikan dan pengajaran semakin berkembang, bukan hanya imam, tetapi para nabi-nabi pun diberi kesempatan mendapat pendidikan khusus dari orang-orang bijak (lihat Yesaya 29:12; Band. Hakim-hakim 8:14).
25
Dalam pendidikan kepada anak,
umat
Yahudi
sudah
mengenal model pendidikan yang dilakukan secara formal, seperti ; “Beth-ha-sefer”. Pada abad-abad pertama Masehi, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut “beth-ha-sefer”. Kata “Beth-hasefer”, artinya ; “rumah sang kitab” (beth = rumah, sefer = kitab). Di sekolah inilah pengetahuan tentang Taurat diajarkan kepada anakanak.
Taurat
dibaca
berulang-ulang
dan
anak-anak
wajib
menghafalkan secara seksama dan harfiah. Sekolah itu bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat. Sejak berusia 5 atau 7 tahun, seorang anak sudah dibawa orangtuanya
ke
sekolah
itu.
Tapi
tujuannya
bukan
untuk
memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang Taurat. Tujuannya, supaya mereka menjadi anak-anak Taurat. “Beth-ha-midrash” Tingkat yang lebih tinggi untuk pengajaran setelah “beth-ha-sefer” diberikan di “rumah pengajaran”, beth-ha-midrash (“Beth-ha-midrash” berasal dari kata “beth”, artinya, rumah ; dan
“midrash” artinya,
pengajaran). Tujuan sekolah ini bukan hanya mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Pendidikan di “rumah pengajaran” ini dianggap sebagai model bagi penyusunan katekese (pendidikan). Yang diutamakan bukan sematamata memahami Taurat sebagai ilmu, tapi juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sejak dini anak-anak sudah dibiasakan menaati peraturan agama. (G.Riemer 1999 : 37-38). Dari uraian di atas penulis berpendapat, pendidikan pada jaman PL yang menekankan unsur kognitif dan psikomotorik dimaksudkan supaya menjadi orang yang patuh, taat, dan setia kepada
ajaran
Tuhan
yang
disampaikan
melalui
orangtua.
26
Masalahnya, model pendidikan dalam PL ini bersifat indoktirnasi. Akibatnya seorang anak menjadi lamban untuk berkembang, dewasa, mandiri, dan bertanggungjawab. Kelemahan pendidikan dan pengajaran model indroktinasi mengabaikan unsur pemahaman. Hal ini disebabkan pendidikan formal yang belum tersedia bagi pendidikan anak-anak mereka. Sejalan dengan uraian di atas Wuwungan menyebut model pengajaran dan pendidikan yang diterapkan dalam PL sebagai pendidikan nilai. Dengan nilai, kemampuan seseorang diukur berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ada tolok ukur yang dikenakan kepada semua orang dalam pelaksanaan suatu tugas, sehingga dapat ditetapkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berhasil mana yang gagal. Apa yang baik dikehendaki Tuhan harus diteruskan kepada angkatan-angkatan yang berikut (Ulangan 6:6-7). Itu berarti bahwa Tuhan menginginkan pendidikan yang terusmenerus, supaya apa yang diperintahkan-Nya itu tetap diperhatikan dan dilaksanakan. Melalui Musa disampaikan-Nya apa yang menjadi pegangan hidup (Ulangan 5:6-21), yang dalam ringkasannya dikenal dengan ‘hukum kasih’ (Ulangan 6:5, dan Imamat 19:18b). Tuhan Yesus menekankan kembali ‘hukum kasih’ itu sebagai hukum yang terutama (Mateus 22:37-40). Hukum itu mengandung nilai relasi antara pelaku hukum dengan Tuhan dan sesamanya, yang menjamin kebahagiaan, kesejahteraan dan kelangsungan hidup (Band. Ulangan 6:2b-3). (O.E.Ch. Wuwungan 1997 :309-311). 1.2.2. Dalam Perjanjian Baru Pengajaran tampak dalam kata “pendidikan” dalam Bhs. Yunani, katekhein , κατήχηὶν ( William D. Mounce 1995 : 275) mengacu pada pendidikan Taurat (Roma 2:18) dan pendidikan ajaran Kristen (Kis. 18:25, 21:21, 24, Lukas 1:4. I Kort 14:19, Galatia 6:6, Kol. 1:28).
27
Katekhein adalah muasal kata katekese, kateketik, dan katekisasi. Istilah ini mempunyai beberapa makna dalam Alkitab. Makna utama memberi tekanan kepada otoritas (wewenang, kekuasaan yang sah) dalam hal pendidikan; karena katekhein berarti mengajar dari atas ke bawah. Pengajar ada di atas (yang berwewenang), dan pelajar ada di bawah (yang takluk). Dalam kata “pendidikan” ini sekaligus terkandung makna aksi dan reaksi ; aksi dari pihak pengajar mengundang reaksi dari pelajar. Jadi disamping aspek otoritatif kata katekhein juga aspek dialogis. (G. Riemer 1999: 22). Dalam kata, katekhein juga terkandung makna tertib, siasat, hukuman, terutama seperti yang dimaksud oleh PL mengenai penyerahan diri kepada Hukum Allah.
(G. Riemer 1999 ; 36).
Sebagaimana mengutip pendapat Clement Suleeman, tugas PAK lebih banyak ke arah pewarisan iman dan perbendaharaan Kristen lainnya agar supaya itu dapat diterapkan dan diwujudkan ke dalam hidup sehari-hari (Andar Sulaiman 1998 ; 29). Pemakaian kata “pengajaran” dalam pendidikan di PB juga berisikan pelajaran singkat mengenai ajaran Tuhan Yesus. Kata pengajaran, “ajaran” dalam bahasa Yunani didakhe , διδαχῇ (William D. Mounce 1999 : 144 ). Istilah Yunani didaskein juga diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu ; didaktik (ilmu tentang cara mendidik),
didaktikus
(ahli
mendidik),
dan
didaktis
(bersifat
mendidik). Penekanan istilah didaskein yang menunjuk kepada praktik atau kelakuan untuk hidup sesuai Firman Tuhan, bukan hanya sekedar menafsirkan dan melaksanakan hukum Taurat, Mateus 26:55,: “Padahal tiap-tiap hari Aku duduk mengajar di Bait Allah,..” Kata didaskein sudah dipakai dalam terjemahan PL ke bahasa Yunani (lihat Ulangan 4:1), kira-kira Tahun 150 SM yang disebut Septuaginta. Kata ini menekankan segi otoritas (wewenang guru) terhadap murid dan intelektualitas (penekanan kepada akal budi manusia) dalam aktivitas
28
mengajar, dan selalu mengacu kepada praktik mengajar (cara mendidik, metodik). (G Riemeer 1999 : 24). Pemberitaan Firman (khotbah) oleh pelayan dalam ibadah dewasa ini dituntut penekanan unsur didache dalam kerygma. Dalam beberapa tahun akhir ini, para ahli Perjanjian Baru telah sering menggunakan istilah "kerygma" dan "didache". Hal itu penting untuk pemahaman implikasi dari istilah teologi dan pendidikan agama untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang apa yang dituliskan. Beberapa pendeta menggangap dengan serius mengenai perbuatan yang baik dan tidak berkenaan dengan isi Alkitab untuk tetap “menyampaikan Firman" (2 Timoteus 4 : 2), dan memahami kewajiban berkenaan dengan "didache"
bagi semua yang berada
dalam aktifitas khotbah di mimbar dengan penuh iman sebagai "kerygma”.
Pemberitaan
akan
menemukan
bahwa
gambaran
khotbah adalah jauh berbeda dari model sermon. Kenyataan seperti ini dapat dikatakan bahwa itu hanya jenis dari khotbah saja yang hanya bercerita. (Ralph G. Turnbull 1967 : 414). Pokok-pokok pengajaran (Didakhe) adalah dokumen Kristen tertua di luar Perjanjian Baru. Dokumen itu berjudul : Ajaran Tuhan Yesus yang diberikan oleh para rasul kepada bangsa-bangsa. Ini adalah buku katekisasi pertama yang mungkin berasal dari akhir abad pertama. (G. Riemer 1999 : 45). Ajaran Kristen dapat diringkaskan sebagai ajaran Kristus, yang diawali oleh pemberitaan (kerugma) yang ada hubungannya dengan apa yang dialami oleh orang percaya. Kaitan antara didaskein (mengajar) dan manthenein (belajar), diungkapkan sebagai dua kata kerja yang komplementer (seperti nats Yohannes 6:45). Belajar dalam arti manthanein bukan hanya berarti
memperoleh pengetahuan,
tetapi juga dalam arti sampai mencapai pengertian. Dari sudut Alkitab, belajar mempunyai arti teologis-Kristologis, yakni berasal
29
dari Allah sendiri yang tujuannya menggenapi kehendak Allah (PL) dan mengikut Kristus (PB). (N.K. Atmadja Hadinoto 1990 : 280). Pendidikan terhadap anak, merupakan tanggung jawab orang tua. Dalam Kolose 3:21 dan Efesus 6:4 disebutkan bahwa orang tua harus mendidik anak dalam ajaran Firman Allah. Kewajiban orang tua dalam mendidik anak adalah memelihara mereka, mencukupi kebutuhan materi dan emosi mereka, serta menasihati mereka agar bertumbuh. Tugas mengajar, mendidik oleh gereja berdasarkan atas perintah Tuhan Yesus, sebagaimana dikatakan dalam Mateus 28:1920, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Yesus mengucapkan perintah ini setelah Ia mengajar murid-muridNya secara intensif selama tiga tahun. Siang dan malam muridmurid bersama Guru Besar ini, dan Dia disebut sebagai Guru dan Tuhan (Mateus 26:18, Yohannes 13:13) ; dan pada tahun ketiga Ia menyuruh mereka mengajarkan segala sesuatu yang telah mereka pelajari dari Dia. Ini bukannya pekerjaan ringan, baik dari segi materi
maupun
luasnya
wilayah
pengajaran;
sebab
mereka
diperintahkan menjadikan semua bangsa murid Yesus. (G. Riemer. 1999 ; 7-8).
1.2.3. Pada zaman Tuhan Yesus. Apabila kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam Perjanjian Baru, tentu saja pertama-tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan Yesus sendiri. Di samping jabatan-Nya sebagai penebus dan pembebas, tuhan Yesus
30
juga menjadi seorang Guru (lihat mateus 22:36, 26:18). Ia mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar mereka” (Mateus 7:29). Pada zaman Tuhan Yesus program pengajaran dan pendidikan berkaitan erat dengan missi penginjilan.
Bahkan, penginjilan dan
keselamatan akan berhasil efektif apabila fungsi dan pokok-pokok pengajaran dan pendidikan tentang firman Allah dapat dilaksanakan. Setelah mereka mendapat pengajaran dan pendidikan, kemudian tugas penginjilan itu dilaksanakan oleh para murid-murid, rasul-rasul, dan para pengajar dari kalangan umat Yahudi sendiri (Mateus 28:1920. Rom 2:20. Efesus 4:11. I Timoteus 1:7). Pengajaran Tuhan Yesus merupakan cikal bakal pendidikan kekristenan, mula-mula para murid melihat, mendengar, diajar, dan merasakan isi pengajaran. Sehingga pengajaran Tuhan Yesus menjadi bagian
dari
hidup
mereka.
Artinya,
perbuatan
Tuhan
yang
memampukan mereka menjadi saksi dan mengajar. Tuhan Yesus mengajar di mana saja ; di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di di kayu salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung yang tertentu,; meskipun Tuhan Yesus pernah mengajar di Sinagoge (Markus 1:22). Tiap-tiap keadaan dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk mengajar dan memberitakan Firman Allah (Markus 10:17-22, Lukas 18:18-27). Dalam tradisi pengajaran Tuhan Yesus di Perjanjian Baru, sedikit pun Yesus tidak memandang rendah seorang anak. Banyak ayat yang membuktikan bahwa Yesus sangat mengasihi anak-anak, misalnya : Markus 9:36,37; 10:13-16; Matius 11:16-17; 18:3-10; 19:13-15; 21:15-16; Lukas 18:15-17, dll. Di tengah-tengah kesibukan-Nya, Yesus belum pernah menolak kehadiran anak-anak, dengan rela Ia mendekati mereka, memenuhi kebutuhan mereka, bahkan memberkati
31
mereka. Di sini perbuatan mengajar disertai dengan tindakan mengasihi. Orang–orang Kristen tidak mengutamakan hafalan terhadap Alkitab agar dikatakan suci. Tetapi orang Kristen mengenal Kristus sebagai
Tuhan
dengan
cara
membaca,
merenungkan
dan
melakukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam Alkitab, orang Kristen melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam kehidupanNya. Di dalam pengajaran dan perbuatan orang orang yang ada dalam Alkitab terdapat contohnya bagaiman seseorang memuji Tuhan, melayani terhadap yang lain. (Iris v Cully : 19 ). Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu dan tempat tertentu. Siang-malam, pada setiap saat Ia bersedia menerangkan Jalan Keselamatan dan Kerajaan Sorga yang telah datang itu kepada siapa saja yang ingin belajar itu. (Homrighausen, Enklaar 1957 : 6). Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengajaran Tuhan Yesus adalah suatu usaha yang ditujukan kepada pribadi tiap-tiap orang (Mateus 19:16-26, Markus 10:17-27, Lukas 18:18-27). Meskipun pengajaran itu diberikan serempak kepada sejumlah orang secara bersama-sama, tetapi maksudnya ialah supaya masing-masing orang yang mendengarkan-Nya akan menyambut Dia secara pribadi (Mateus 13:46-50). Ingatlah akan cara yang sering dipakai Tuhan Yesus sendiri. Bilamana orang bersoal kepadaNya, Ia tidak memberi jawaban langsung dengan tegas, tetapi Ia memaksa si penanya itu befikir dan memberi jawab sendiri. (Mateus 15:1-20, Markus 7:1-23). Tuhan menghendaki supaya kita memahami soal-soal kepercayaan. Inilah imamat orang percaya, yakni kita mempunyai dan mengikrarkan satu iman yang memang menjadi milik kita sendiri. Memang Tuhan yang membaharui dan meneguhkan iman itu dalam batin kita selama kita hidup di bumi ini, tetapi kita sendirilah yang
32
menganut dan mengaku iman itu di hadapan sesama kita, baik dengan mulut maupun dengan segala tingkah laku kita. (Homrighausen, Enklaar 1957 : 26). Menurut penjelasan di atas penulis berpendapat bahwa Tuhan Yesus adalah Maha-Guru, yang menguasai teknik, model, dan sistim mengajar yang memberdayakan para pendengar-Nya. Sebab dalam pengajaran-Nya, selain menaburkan pengetahuan (unsur kognisi), ia juga mampu melakukan model pendidikan yang dialogis (unsur afektif), sehingga orang menjadi percaya dan melakukan sesuai dengan yang Dia ajarkan (unsur psikomotorik). 1.2.4. Pada zaman Gereja mula-mula Sejak mulai berdirinya jemaat mula-mula jemaat Kristen menjunjung pengajaran agama. Seperti diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulan-perkumpulannya sendiri. Di dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan Perjamuan Suci (Kisah Rasul 1:12-14, 2:1-4). Mereka yakin bahwa sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru ini dengan Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru dan dengan tugas yang baru pula. (Homrighausen dan Enklaar 1957 : 7). Dalam Kisah Rasul 18:11, kita bisa melihat bahwa di Korintus Paulus mengajar Firman Tuhan selama 18 bulan atau satu setengah tahun. Dan dalam 1 Korintus 3:2 ia berkata bahwa ia hanya memberi mereka ‘susu’ dan ‘bukan makanan keras’. Lalu dalam 1 Kor 3:6 ia mengatakan bahwa ia hanya ‘menanam’ (menginjil), Apolos yang ‘menyiram’ atau memberi pelajaran lanjutan. Lalu dalam 1 Korintus
33
3:10 ia berkata bahwa apa yang ia lakukan hanyalah ‘meletakkan dasar’. Di dalam persekutuan dan kebersamaan para murid murid dimampukan untuk melakukan tugas penginjilan ke seluruh dunia (Kisah Rasul 1:8). Akibatnya ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar supaya orang percaya kepada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Semua orang yang bertobat dan mau bergabung dengan jemaat Kristen itu, dididik dengan seksama. Di dalam dan di luar kebaktian mereka belajar tentang diri dan pekerjaan Juruselamat itu. Kerajinan
dan
kesetiaan
Israel
diteruskan,
hanya
perbedaannya ialah sekarang bukan lagi Taurat yang menjadi dasar dan pusat pendidikan itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian jemaat purba itu itu mengajarkan agama Kristen di rumah-rumah, di dalam kebaktian dan perkumpulan-perkumpulan, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita kesukaan yang mereka siarkan. (Homrighausen dan Enklaar 1957 : 8). Dalam jemaat mula-mula untuk menjadi seorang anggota jemaat ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai proses pendidikan agama, yaitu : a). Harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada pejabat gereja, atau melalui seseorang yang sudah menjadi anggota
gereja.
b).
Setelah
itu
pemimpin-pemimpin
jemaat
mengadakan pembicaraan yang bertujuan memeriksa motif orang tersebut. c) Pada pembicaraan itu calon anggota harus berjanji untuk menjauhkan diri dati segala berhala dan kehidupan fasik. d). Orang yang “dikristenkan”, menerima peletakan tangan di atasnya, serta tanda salib dan doa. e). Kaum katekumen (pelajar agama) mempunyai tempat tersendiri dalam ibadah. Mereka belum diperbolehkan mengikuti ibadah seluruhnya . f). katekisasi berlangsung tiga tahun (mereka disebut ‘audientes’). Ada beberapa kelas yang harus diselasaikan. Jangka waktu tersebut terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama; peserta pemula boleh hadir dalam kebaktian-kebaktian, tapi
34
hanya sebagai pendengar (audientes khotbah), tahap kedua, mereka diwajibkan belajar, tahap ketiga, pengakuan untuk bersaksi. Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa proses pengajaran agama pada zaman gereja mula-mula dilakukan untuk memperlengkapi,
dan
mendorong
para
murid-murid
untuk
memberitakan Injil Kerajaan Allah. Pengalaman dan cara pengajaran yang
dilakukan
oleh
Tuhan
Yesus
telah
mendidik
mereka
memberitakan Injil (kerugma). 1.2.5. Pada zaman abad Reformasi Reformasi pada abad ke-16 telah membawa perubahan besar dalam gereja juga termasuk dalam katekese. Perubahan itu juga meliputi kemerdekaan pribadi manusia dari kungkungan pengajaran “institut” Roma. Tetapi pembaharuan itu tidak mengesampingkan bahan katekese lama. Keempat unsur tradisionalnya (iman, titah, doa, sakramen) mampu bertahan bahkan muncul dengan kekuatan baru sebagai ringkasan ajaran Kitab Suci yang sangat baik dan berguna. Reformasi akbar itu menghasilkan aneka ragam karangan katekismus, tapi pada umumnya semua mempertahankan keempat unsur tradisional itu. (G Riemer 1999 : 70-71). Pengajaran agama di masa reformasi dianggap sebagai tugas khusus sekolah-sekolah. Itu mudah dimengerti mengingat hubungan erat antara gereja dan sekolah. Sesuai dengan itu pendapat Luther, bahwa keluarga dan sekolah adalah tempat terbaik bagi katekese, sedangkan gereja memberi penjelasan tambahan lewat katekismus. Demikianlah keadaannya, sampai sekarang di negara-negara yang dipengaruhi ajaran Luther. Kata Ajaran Agama yang berasal dari sekolah disetujui secara umum bagi katekese gereja. Dan sebaliknya, kata katekismus beberapa waktu yang lamanya digunakan di luar kosa kata gereja. Pada akhir abad ke-18 dan pada paroan pertama abad ke19, kata katekismus bahkan dipakai dalam makna yang sedemikian
35
luas, yakni buku pelajaran atau buku pedoman dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan dengan ajaran gereja. (G. Riemer 1999 : 7879). Pada tahun 1529 Luther menulis Katekhesmus Besar dan Katekismus Kecil. Dalam buku tersebut ia menguraikan ajarannya yang didasarkan atas ketiga semboyan reformasi : Sola Scriptura, Sola Fide, Sola Gratia. Ada beberapa pemikiran Martin Luther tentang pengajaran di antaranya, : 1. Martin Luter menentang model pendidikan biara sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk mendapat suatu Allah yang rahmani, atau untuk mendapatkan keselamatan. Menurut Martin Luther segala bahwa segala perbuatan manusia, meski sangat baik dan saleh sekalipun, tidak berharga di hadapan Tuhan. 2. Martin Luther menentang ajaran gereja yang menyatakan, manusia tidak sanggup berbuat baik dengan kekuatannya sendiri. Untuk itu ia perlu dibantu oleh kuasa rahmat yang dicurahkan ke dalam batinnya dengan perantaraan sakramen. Menurutnya, amalan itu hanya menguntungkan diri sendiri bukan menguntungkan Allah. Dalam pelajarannya ia telah menemukan ayat Alkitab, Roma 1:17, “Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus: Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus.” Menurut pemikiran Martin Luther, ia mau membebaskan Injil dari
belenggunya
yang
sudah
berabad-abad
lamanya
dan
merintanginya. Lutherlah yang pertama sadar akan kesesatan dan kekhilafan itu, yang sekian lamanya melemahkan gereja Kristus. (Berkhof dan Enklaar 1961 : 123-134). Bentuk pengajaran Iman Kristen yang diringkaskan dalam Katekismus Kecil Marthin Luther, yang isinya, ; Pengajaran Dasa Titah
36
(sepuluh firman Tuhan), Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Sakramen (Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus). (Kantor Pusat HKBP 1953 : 3 ). Menurut penulis, kemampuan Martin Luter melakukan reformasi di tengah-tengah gereja pada saat itu adalah berkat pergumulan mempelajari ajaran gereja yang salah dan menyesatkan. Pergumulan dan kesadaranlah yang mendorong jiwanya untuk melakukan tindakan mereformasi dari kekliruan selama ini. 1.3.Sejarah Singkat Dan Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen. Horace
Bushnell
memakai
kata
“Christian
Nurture”(arti
“nurture”,asuhan. “Christian”, Kristen) untuk PAK dan akhirnya menjadi judul buku “Asuhan Kristen” yang diterbitkan tahun 1861. Buku itu dikarang sebagai hasil refleksi Bushnell atas cara anugerah Allah dialami di kalangan keluarga Kristen. Pengalamannya sebagai suami dan ayah, di samping pendeta jemaatnya, menghadapkan pada kenyataan yang bertentangan dengan pokok teologi dan praktik pelayanan jemaat yang lazimnya berlaku di jemaat-jemaat Kongregasional di daerahnya. Teologi itu mengorbankan kemauan manusia demi penekanan atas kedaulatan Allah sehingga manusia sama sekali tak berdaya untuk bertobat dan menerima Kristus sebagai Juruselamat. Tidak ada jalan terbuka baginya kecuali menunggu sampai Allah mencurahkan Roh atasnya. (R.Boelkhe 1997 : 466). Di sini Bushnel menekankan betapa pentingnya peranan dan fungsi pendidikan Kristen dilakukan gereja dan keluarga. Bushnell memulai Christian Nurture dengan mengutip pendapat Luther Weigle dengan praduga yang berporos pada Surat kepada Jemaat di Efesus,"... didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (6:4): “Ada sejenis asuhan (nurture) Kristen yang berasal dari Tuhan; dan Tuhan pulalah ajaran itu menerima sifat dan kekuatan yang akan disampaikan kepada orang tertentu. Oleh karena Tuhanlah
37
yang memprakarsainya, maka tentu saja asuhan itu disifatkan oleh metode dan ciri ilahi yang khas pula. Pendidikan yang saya maksud tersebut akan menjadi cara Tuhan mendidik, dengan tujuan-tujuan
yang
sesuai
dengan-Nya
pula,
dan
akan
memperoleh hasil yang mustahil dicapai hanya melalui metodemetode apa pun yang bersifat insani”. (R.Boelkhe 1997 : 466). Sesudah mencatat praduga itu, Bushnell segera menjawab pertanyaan tentang arti PAK dengan memaparkan dalil yang ia pertahankan melalui seluruh isi bukunya: “Saya berdalil bahwa anak yakni, yang dibesarkan dalam keluarga Kristen akan dibesarkan sebagai seorang Kristen yang tidak pemah mengingat kapan ia bukan seorang Kristen. Pendek kata, tujuan, usaha dan harapannya bukanlah seperti yang lazim diduga berlaku, yakni bahwa mula-mula anak harus dibesarkan dalam dosa, supaya ia bertobat tatkala ia akil balig nanti, melainkan bahwa ia bersikap terbuka terhadap dunia sebagai orang yang senantiasa diperbami secara rohani dan yang tidak pernah mampu mengingat saat kapan ia mempunyai pengalaman rohani yang hebat. Sebaliknya, sejak masa kecil ia mengenal dirinya sebagai orang yang memihak pada hal-hal yang baik.” (R.Boelkhe 1997 : 467). Dalam dalil itu tampak pertentangan yang tajam antara pihak revivalis, yang menolak kemungkinan untuk mendidik anak dalam Tuhan sebelum ia bertobat, dan Bushnell yang ingin menanamkan bibit iman Kristen dalam diri anak dari keluarga Kristen supaya ia memeluk nilai-nilai Kristiani secara wajar dan semakin mengabdikan diri kepada Allah dalam Yesus Kristus, tanpa harus lebih dulu mengalami pergumulan rohani. Bushnell tidak menolak kenyataan pertobatan yang hebat bagi orang yang tidak dibesarkan dalam keluarga Kristen, tetapi ia menghormati kemerdekaan Roh Kudus, karena itu ia menolak untuk memutlakkan hanya satu cara saja yang tersedia baginya untuk
38
mengalami anugerah Allah. ( R. Boehlke
1997 : 466-467 ). Artinya,
pendidikan Kristen sudah harus dimulai sejak masa kanak-kanak sekalipun, bukan menunggu setelah dewasa barulah dilakukan pendidikan dan pengajaran Kristen. Bushnell
memanfaatkan
dua
sumber
utama
untuk
mempertahankan dalilnya tentang arti pendidikan Kristen, yakni pengalaman anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, dan metodemetode yang Allah berlakukan. Artinya, Bushnell memandang PAK dengan menilik masa lalu untuk menanamkan visi kekristenan. Hal ini juga senada dengan pendapat Grome yang mengatakan pendidikan religius Kristen adalah : “A political activity with pilarim in time that deliberatly and internationally attends with them to the activity of God in our present, to the story of the Christian faith Community, and to the vision of God’s Kingdom, the seeds of which are already among us”. Gambaran ini secara khusus menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh pendidikpendidik religius Kristen berkenan dengan visi tentang penyempurnaan Kerajaan Allah yang diekspresikan di dalam Yesus Kristus berdasarkan pada “the story” (sejarah). (Groome, 1980 : 25-26). Bushnell merasa terganggu sekali oleh kebiasaan gereja yang ingin menaklukkan jiwa melalui kebaktian kebangunan rohani. Bukan melalui kebaktian kebangunan rohani gereja harus menambah jumlah anggotanya, melainkan melalui mutu kehidupan orangtua Kristen dan rencana PAK yang dilaksanakan jemaat dan gereja. ( R. Boehlke 1997 : 471 ). Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa PAK menurut Bushnell dan Groome bukanlah masalah penerapan dogma melalui pendidikan dan pengajaran, tetapi lebih dekat kepada bimbingan dan keselamatan yang menyeluruh terhadap individu sebagai bagian dari warga gereja sejak kanak-kanak dan dilakukan oleh orangtua, kemudian oleh gereja.
39
1.3.1. Di Sekolah-sekolah Umum Pengajaran agama diperlukan oleh pendidikan umum untuk membangun karakter dan moral, serta nilai-nilai budaya manusia. Hal itu dikatakan oleh Bapak pendidikan modern, Yohannes Amos Comenius sebagaimana dikutip oleh R Boehlke bahwa tujuan umum
PAK itu melibatkan orang dalam upaya mencapai tiga
prestasi, yaitu pengetahuan/pengertian, kebajikan, dan kesalehan. Dan ketiganya perlu dipersatukan dalam diri setiap pelajar : “Kalau kita ingin melayani Allah, sesama manusia dan diri kita sendiri, maka dalam hubungan dengan Allah, kita perlu hidup secara saleh; dalam hubungan dengan sesama manusia kita perlu bertindak secara bajik ; dan dalam hubungan dengan kita sendiri, kita perlu memperoleh pengetahuan. Akan tetapi, ketiga azas tersebut berkaitan satu sama lain secara erta. Demikianlah demi keuntungan pribadi, sebaiknya seseorang tidak hanya terpelajar tetapi berkebajikan tetapi terpelajar dan saleh juga; dan demi keuntungan kemuliaan Allah, sebaiknya ia tidak hanya saleh, tetapi terpelajar dan berkebajikan pula”. (R.Boehlke 1997 : 45). Krisis yang menghantam Indonesia sejak beberapa tahun terakhir di akhir abad 20 telah mengantar bangsa dan negeri ini pada kondisi yang amat memprihatinkan. Realitas yang sedemikian itu hampir terjadi di semua aspek. Media massa menurunkan laporan yang amat transparan dan rinci tentang carut-marut wajah Indonesia, tanpa harus merasa risih dan rikuh. Dilaporkan misalnya Indeks Pembangunan Manusia mengalami kemerosotan dari 0,684 ke 0,682 sehingga peringkat Indonesia turun dari posisi 110 menjadi 112 dari 175 negara di dunia (Kompas, 10-07-2003). Sebagai bahan renungan, United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2007, dengan menggunakan
40
indikator Human Development Index (HDI), menempatkan Indonesia pada urutan ke-107 dari 117 negara. Vietnam ke-105, Malaysia ke-63 dan Singapura ke-25. Dalam pencapaian teknologi, Indonesia pada urutan ke-60 dari 72 negara. World Economic Forum (WEF) pada tahun 2007 juga mencatat Indonesia pada urutan ke-60 dari 125 negara dalam hal Indeks Daya Saing Pertumbuhan atau Global Competitiveness Index (GCI). Beberapa masalah perlu dicermati bahwa substansi Undang-Undang Sisdiknas secara normatif sudah cukup ideal, tetapi masih banyak proses yang perlu dilakukan tentang aturan dan ketentuan hukumnya. Landasan filosofis Pancasila dan kerangka ideologis UUD 1945 sering diabaikan. Langkah strategis dari fungsi pendidikan masih belum terlihat hasilnya secara aktual. Kualitas kehidupan dan martabat manusia Indonesia di kancah dunia internasional masih terpuruk. Dilihat dari segi tujuan pendidikan nasional membangun manusia Indonesia seutuhnya, lulusan pendidikan saat ini memiliki kecerdasan dan kompetensi. Namun, mental dan kecerdasan emosional serta spiritualnya masih kurang terbina. (Kompas, Senin, 19 Oktober 2009). Menurut penulis masalah sumber daya manusia yang mengalami kemerosotan kwalitas dan penurunan kwalitas pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan tugas PAK sebagai element pendidikan Agama dan Keagamaan. Pendidikan agama di sekolah-sekolah diatur dalam PP 55 Tahun 2007, ; Pendidikan Agama dan Keagamaan, yang merupakan derivasi dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas). PP
55 Tahun 2007 belum
sepenuhnya dapat diterima oleh semua agama, khususnya agama Kristen dan agama Katolik. Hal ini disebabkan karena, sejak semula di sekolah-sekolah Kristen dan Katolik tidak diajarkan
41
agama lain selain dari agama yang menjadi ciri khas sekolah yang bersangkutan. Hal ini juga berlaku pada sekolah-sekolah yang beragama lain. Pendidikan agama di sekolah seharusnya memberikan warna bagi lulusan pendidikan, khususnya dalam merespon segala tuntutan perubahan yang ada di Indonesia. Hingga kini pendidikan agama dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi dalam kenyataannya dipandang hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Akibatnya, peranan serta efektivitas pendidikan
agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual
terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakatpun akan lebih baik. (Naskah Akademik DEPDIKNAS 2007 : hl. 2.). Ada sikap yang salah, seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah perbaikan kondisi masyarakart sehingga perhatian pemerintah kurang seirus memberi perhatian. Setelah ditelusuri, pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain,; waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya. (Naskah Akademik DEPDIKNAS 2007 : hl. 2.). Tujuan
pendidikan
agama
Pada
dasarnya
bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari. (Naskah Akademik DEPDIKNAS 2007 : hl. 3.). Hakekat pendidikan agama merupakan rumpun mata pelajaran yang mengembangkan kemampuan peserta didik
42
untuk memperteguh iman dan takwa kepada Tuhan Yang maha Esa, serta berakhlak mulia/budi pekerti luhur dan menghormati penganut agama lain. Materi kurikulm PAK yang terdiri dari aspek: Allah dan Karya-Nya,; serta Nilai-nilai Kristiani. (Naskah Akademik DEPDIKNAS 2007 : hl. 3.). Permasalahannya
sekarang,
bagaimana
mensiasati
kurikulum dan silabus mata pelajaran agama yang pada satu sisi – dirasakan terlalu sedikit waktu atau jam pembelajarannya sementara pada sisi yang lain teramat banyak atau berat tuntutan yang dibebankan pada pendidikan agama. Maka mutlak diperlukan rancang-bangun kurikulum pendidikan agama yang pada satu sisi harus rela menyesuaikan dengan waktu jam pembelajaran yang tersedia,; sementara pada sisi yang lain harus pula mampu memberikan pendidikan agama dan bahkan keagamaan yang relatif menyeluruh (komprehensip) dan bahkan utuh (holistik). (Naskah Akademik DEPDIKNAS 2007 : hl. 6.). Pelaksanaan Pasal 55 Ayat 1, UU Sisdiknas No. 20 Thn 2003, yang diatur dengan PP No. 19 Thn. 2005, pada Pasal 32, ayat 1, 2 : (1) Pendidik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31. (2) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama dapat memberikan kriteria tambahan. Harus diakui gereja akan kewalahan dan terkendala untuk melakukan tugas PAK apabila gereja tidak turut memikirkan keterbatasan tenaga pendidik khusus di bidang Agama Kristen. Keterbatasan
penyediaan
(supplier)
tenaga
pendidik
matapelajaran agama di sekolah seharusnya mendapat perhatian gereja. Minimnya tenaga pada matapelajaran PAK di sekolah
43
umum menjadi penghambat missi pengajaran Kristen, salah satu penyebabnya adalah terbitnya PP No. 19 Thn 2005. Konsekwensi Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 bagi gereja harus menerima kenyataan bahwa ada banyak sekolahsekolah yang diasuh negara tidak memperoleh PAK secara efektif lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian gereja memikirkan kebutuhan siswa Kristen di sekolah umum untuk memperoleh hak
pendidikan
agama
sesuai
dengan
keyakinan
yang
dimilikinya. Oleh karena itu, keterlibatan gereja dalam PAK di sekolah dapat diukur sejauh mana gereja memikirkan, mendorong pemerintah, serta turut berperan aktif mempersiapkan tenaga pendidik yang dilakukan oleh gereja melalui lembaga pendidikan keagamaan atau pendidikan umum yang mempunyai jurusan PAK. 1.3.2.Di Sekolah-sekolah Kristen. Pendidikan
(atau
Pengajaran)
Kristen
biasanya
dipergunakan untuk pengajaran di sekolah-sekolah Kristen, baik di sekolah-sekolah rakyat, maupun di sekolah-sekolah lanjutan, yang masih dijalankan oleh gereja atau organisasi (perhimpunan) Kristen. Jadi, nama ini menunjuk kepada pengajaran biasa, tetapi yang diberikan dalam suasana Kristen. Sedangkan Pendidikan Agama lebih spesifik menunjuk kepada ajaran, teologia, teosofi, aliran-aliran modern gereja mengenai agama Kristen yang diberikan oleh gereja-gereja kita di negeri ini, baik kepada anggotaanggota gereja sendiri, maupun kepada orang yang masih belum masuk ke dalam persekutuan Kristen. (Homrighausen dan Enklaar 1957 : 19-20). Ada beberapa pengertian PAK menurut Iris v Cully :
44
1.PAK merupakan tanggung jawab orang-orang Kristen karena dalam Alkitab dijelaskan tentang pujian, kesaksian orang Kristen yang sudah selayaknya menjadi tanggung jawab orang Kristen . 2.PAK adalah
bagaimana seseorang itu mengenal Tuhan dan
bertumbuh sehingga hidupnya menjadi berkat bagi orang lain seperti saling menolong dan mengasihi. Jadi PAK dari segi Alkitab bukan hanya belajar tentang isi Alkitab dan kekudusan saja. (Iris v Cully : 13-17). Sebenarnya gereja sama sekali tidak mengabaikan pentingnya keluarga dalam PAK, orang tua ditugaskan untuk mendidik anakanak mereka. Dalam kehidupan kekristenan ditekankan secara sungguh-sungguh kaitan antara ajaran dan kehidupan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen. Jadi sejak permulaan sudah jelas bahwa akal (rasio) dan hati (batin) sama-sama penting. Ajaran kekristenan tidak cukup hanya ditekankan secara intelektual, emosi atau penghayatan tetapi aspek perbuatan (psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari juga penting. (G, Riemer 1999 : 57). Gereja-gereja di Indonesia menyadari benar bahwa pelayanan di bidang pendidikan memiliki makna yang amat strategis karena bidang pendidikan terkait erat dengan penyiapan SDM yang berkualitas. Dari fakta sejarah, pelayanan gereja di bidang pendidikan memang telah dimulai jauh sebelum Indonesia lahir. Di era itu, sekolah-sekolah Kristen mampu memberi peran signifikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Sejak dasawarsa 70-an, gereja-gereja makin meningkatkan kualitas partisipasinya dengan memahami bahwa pelayanan di bidang pendidikan adalah wujud partisipasi
gereja
mencerdaskan
dalam
bangsa.
pembangunan
Melalui
dalam
partisipasi
seperti
rangka itulah
kekristenan diperkenalkan kepada masyarakat luas. Nuansa Kristiani
yang
dikembangkan
dalam
lingkup
persekolahan
45
memiliki makna signifikan dan melalui proses itu visi dan misi kristiani diimplementasikan. ( IOI DGI 1981 : 20 ). Dalam konteks pendidikan ada dua pusat, yaitu ; Pendidikan kulturil adalah Pendidikan anthroposentris dan Pendidikan gereja adalah teosentris. Namun, masing-masing mempunyai sesuatu untuk disaksikan pada yang lain. Pendidikan kulturil mengingatkan manusia akan nilainya selaku makhluk manusia dan potensi-potensinya untuk mencapai sesuatu. Ia akan meletakkan titik-berat pada kemajuan dan kekayaan-kekayaan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan dan kesenian pada saat orang tidak menghargai pemberian-pemberian kepada umat manusia ini. (Iri v Cully. 1976 :12). Menurut A.A Sitompul
pembangunan sekolah Kristen
adalah sebagai hasil pekerjaan gereja yang nampak, yang dapat menjadi teladan untuk masyarakat yang ada di sekelilingnya. Realisasi kehidupan Kristen dalam hidup peningkatan kedaulatan dan kesejahteraan manusia, dapat diperjuangkan bukan hanya dalam bentuk terbatas, yakni dengan hanya memperkenalkan atau memperdalam hidup iman, tetapi juga sekolah tersebut dapat memenuhi tuntutan hidup seluruhnya dalam seluruh lapangan, bidang ekonomi, sosial, dan lain-lain. Pada pihak lain, usaha mendirikan sekolah Kristen tersebut adalah sebagai sumbangan atau partisipasi gereja dalam nation-bulding di negara-negara yang telah memperoleh kemerdekaannya, di mana pemerintah masih belum kuat membangun dalam lapangan pendidikan, atau masih belum dapat merealisasi rencana pendidikannya. (A.A Sitompul 1979 : 134). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendirian sekolah-sekolah Kristen pada awalnya dimaksudkan sebagai sarana pengajaran Kristen. Tetapi, belakangan hari peran dan fungsi sekolah Kristen karena perkembangan zaman diharapkan
46
menjadi berubah agar menjadi alat untuk mempersiapkan dan memberdayakan warga gereja (A.A.Sitompul 1979 : 133), agar mampu berperan sebagai garan dan terang dunia (Mateus 6:13-14) melalui pendekatan pendidikan. Gereja HKBP dalam melakukan tugas pendidikan tidak memandang sebagai bagian dari penginjilan. Tugas ini adalah sebagai wujud panggilan dan pelayanan warga gereja dan masyarakat karena gereja dipanggil bukan untuk dilayani tetapi melayani (Markus 10:45). Tugas pelayanan dimaksud bertujuan untuk memerangi segala kebodohan, keterbelakangan, kelemahan, penyakit dan ketidak-adilan dalam masyarakat, sebagaimana yang diperbuat oleh Yesus sendiri (Mateus 4:23, Lukas 4:18-19). (GBKPP HKBP 1989 : 12). Oleh karena itu gereja HKBP mengartikan pendidikan adalah merupakan salah satu pengajaran Tuhan Yesus di dunia, tiap-tiap hari Ia mengajar di rumah-rumah ibadat (Lukas 19:47). Tugas pengajaran ini juga diamanatkan Yesus kepada muridmurid-Nya (Mateus 28:19-20). Itu sebabnya pengajaran atau pendidikan merupakan bagian dari tugas pelayanan gereja. HKBP sendiri telah melaksanakan tugas ini sejak zaman penginjilan dahulu. Pelayanan pendidikan ini dikelola melalui Departemen Pendidikan/Sekolah HKBP (Peraturan HKBP 1994-2004, psl. III A.3), Yayasan-yayasan dan Lembaga-lembaga. (GBKPP HKBP 1989 : 56). Dari uraian dia atas penulis mengambil kesimpulan bahwa gereja tidak boleh menutup mata terhadap PAK di sekolah-sekolah umum,
meskipun
pemerintah
tidak
maksimal
memberi
perhatiannya terhadap masalah pemberdayaan PAK. 1.4. Pengajaran Di Gereja 1.4.1. Sekolah Minggu.
47
Pada masa akhir abad 18, Inggris sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu, wartawan Robert Raikes mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak- anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah harian (koran) milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan sebab anak- anak gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur bagi mereka yang dihabiskan untuk bersenang-senang. Tapi karena mereka
tidak
pernah
mendapat
pendidikan
(karena
tidak
bersekolah), anak-anak itu menjadi sangat liar. Mereka minumminum dan melakukan berbagai macam kenakalan dan kejahatan. ( R. Boehlkhe 1997 : 379 ) Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan.
Ia
dengan
beberapa
teman
mencoba
melakukan
pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Selain mendapat makanan, di sana mereka juga diajarkan sopan santun termasuk membaca dan menulis. Tapi hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab. ( R. Boehlkhe 1997 : 383 ) Pada awalnya, gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Tetapi karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas bantuan
John
Wesley
(pendiri
gereja
Methodis),
akhirnya
kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula hanya oleh Gereja Methodis, namun akhirnya juga oleh gereja-gereja
48
Protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak
hanya
diselamatkan
dari
revolusi
sosial,
tapi
juga
diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan. ( R. Boehlkhe 1997 : 384-385 ) Hampir di semua gereja ada PAK untuk anak-anak, ada yang menamakannya Kebaktian Anak, ada yang menamakannya Sekolah Minggu. Masing-masing tentu memiliki latar belakang dan alasan mengapa memilih nama tersebut. Biasanya yang memilih istilah Kebaktian Anak beralasan bahwa kegiatan ini sama seperti kebaktian umum yang diadakan setiap hari Minggu, tetapi pesertanya anak-anak, sebut saja kebaktian anak. Di dalamnya anak beribadah, berbakti kepada Tuhan ; ada unsur-unsur liturgi yang dipakai, seperti nyanyian, doa, pemberitaan Firman, persembahan syukur. (Tabita Kartika Christiani 1998 : 126). Pemakaian istilah Sekolah Minggu secara historis ada keterkaitan antara kegiatan untuk anak Sekolah Minggu pertama yang diadakan oleh Raikes di inggris tahun 1970-an, yakni semangat penginjilan bagi buruh anak-anak melalui “sekolah” baca tulis dan etika. Istilah Sekolah juga dapat menunjukkan unsurunsur
pendidikan
yang
dipakai,
misalnya
murid,
guru,
materi/bahan, proses belajar-mengajar dengan tujuan yang jelas dan emosional, yang semuanya termasuk bagian dari kurikulum. (Tabita Kartika Christiani 1998 : 127). Menurut penulis dapat disimpulkan jika kita amati alasan yang dikemukakan memakai kata Sekolah Minggu, “Sekolah” dan “Minggu”, masing-masing memberi makna, yaitu : ada unsur kebaktian dan unsur pendidikan. Di gereja HKBP tugas panggilan pelayanan kepada anakanak diakui berasal dari perintah dan pengajaran Tuhan Yesus.
49
Anak-anak disambut Tuhan Yesus untuk datang ke dalam kerajaan-Nya (Markus 10:13-16). Tuhan mengharapkan agar anakanak dididik dalam pengenalan akan Firman Tuhan (Ulangan 6:47, Efesus 6:4). Oleh sebab itu HKBP sebagai perwujudan tubuh Kristus di dunia ini terpanggil untuk melayani anak-anak seperi yang dikehendaki Tuhan. Pelayanan kepada anak-anak ini diselenggarakan dalam wadah sekolah minggu (Peraturan HKBP 1994 pasal II : A.1) dalam HKBP. (GBKPP 1988 : 48). Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa titik berat pendidikan di sekolah minggu menekankan kepada pemahaman dan penghayatan dasar tentang Firman Tuhan, serta pengenalannya melalui perbuatan dan perilaku sebagai anak-anak. Untuk melihat bagaimanakah program pengajaran terhadap anak sekolah minggu oleh gereja, penulis mengambil salah satu contoh bentuk kurikulum pengajaran yang dilaksanakan di gereja HKBP, yaitu : Tabel Kurikulum Pengajaran Sekolah Minggu HKBP, 8 Feb 2009. No:
Keterangan
HKBP Pearaja Tarutung
1.
Judul
:
Penderitaan Yesus membawa keselamatn
HKBP Dsitrik VIII JawaKalimantan. Mengikut Yesus Tidak selalu menyenangkan
2.
Nats
:
Lukas 18 : 31 - 34
Lukas 18 : 31 - 34
3.
Tujuan Umum : Supaya anak sekolah minggu mengetahui bahwa Yesus mau menderita untuk menyelmatkan manusia dari dosa. Khusus : 1.Mau berbuat baik 2.Tau bahwa Yesus sangat mengasihi mereka 3.Mengetahui bahwa bersama Yesus ada
1.Menceritakan pengalaman mereka yang tidak menyenangkan karena menjadi seorang Kristen 2.Menyatakan komitmen untuk tetap setia pada Kristus.
50
4.
Metode
:
5.
Ayat Hafalan
:
kesenangan dan keselamatan 1.Guru menceritakan bagaimana muridmurid bersama Yesus 2.Guru menunjukkan gambar ketika Yesus bersama murid-muridNya berjalan ke Yerusalem Lukas 18:33, “Dan mereka menyesahkan dan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan bangkit.”
1 Petrus 4:16, “tetapi, jika ia mendeita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.”
(Kurikulum Pengajaran Sekolah Minggu HKBP 2009 : 12). Dari uraian di atas penulis berpendapat, kurikulum pengajaran di sekolah minggu masih lebih banyak menekankan unsur kognitif, bersifat mengindroktinasi, dan belum menyentuh aspek afeksi. 1.4.2.Katekisasi Sidi. Pengertian Katekisasi Istilah katekisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Katechein, artinya; menggemakan (to echo) dan menyuarakan dari atas (to sound from above). Suara itu datang dari podium dan ditujukan kepada para pendengar (listeners). Kata ini juga diartikan dengan kata mengajarkan (to teach) yang berasal dari bahasa Latin, yaitu : instituere, docere. Menurut Papo, istilah katetchein
mengandung
dua
pengertian.
Pertama,
berarti
pewartaan yang sedang disampaikan atau diwartakan. Kedua, berarti ajaran dari para pemimpin. (Yakop Papo 1988 : 11).
51
Pada mulanya istilah katechein digunakan oleh umum, tetapi lama kelamaan istilah ini diambil alih oleh orang Kristen menjadi istilah khusus dalam bidang pewartaan gereja. Kata katechein menjadi istilah teknik untuk pelbagai aspek ajaran gereja, dan secara ilmiah pemikiran sistematis dan padagogis tentang pewartaan Injil, ajaran Tuhan dan ajaran gereja kepada manusia dalam hidup konkretnya (Yakop Papo 1988 : 11). Sejalan dengan istilah dan pendapat di atas, katekisasi ada karena ada ajaran gereja. Apa yang diyakini dan dipahami gereja, diajarkan atau diteruskan lewat suatu bentuk dan proses pembinaan yang bersasaran, yang dikenal dengan nama katekisasi. Dengan cara demikian gereja membangun kesadaran warganya tentang apa yang dapat dijadikannya pegangan hidup dalam iman serta memperlengkapi untuk tugas-tugas panggilan gereja. (Wuwungan 1997 : 124). Tujuan Katekisasi Sidi Sebagai gereja-gereja yang berasal dari pekerjaan Zending Eropah (Belanda), tradisi katekisasi sidi sudah lama dilakukan gereja terhadap calon baptisan dan sidi. Di Indonesia, katekisasi masih dikaitkan sebagai “persyaratan wajib” bagi orang yang ingin dibaptiskan atau sidi (Admadja Hadinoto 1999 L 174). Bahkan persyaratan wajib ini membuat gereja dengan paksa mengadakan upacara pengukuhan sidi, tanpa mengikuti pelajaran dalam katekisasi sidi. Sementara itu, Marthin Lhuter yang berupaya dengan sebaik mungkin untuk menyusun katekismus mencoba untuk merumuskan tujuan katekisasi atau pendidikan agama Kristen, seperti yang dikutip dan dirumuskan oleh Robert R. Boehlke, dengan mengatakan bahwa tujuan PAK ialah :
52
“Untuk melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam firman Tuhan Yesus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, firman tertulis, Alkitab dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu gereja.” (Robert R. Boehlke, 1998 : hlm. 342) Sesuai dengan kutipan di atas menjelaskan bahwa tujuan katekisasi sidi untuk memperlengkapi semua warga jemaat agar dapat memberi kesaksian dalam hidup persekutuan gereja dan juga ditengah-tengah masyarakat dan mampu memberi pelayanan terhadap sesamanya untuk masyarakat dan negara. Secara
khusus
E.G.
Homrighansen,
I.H.
Enklaar,
mengusulkan tentang bahan pelajaran atau scope dalam katekisasi
sidi.
Cakupan
(scope)
tersebut
terdiri
dari
:
pengetahuan isi Alkitab, pokok-pokok iman, kesusilaan Kristen, susunan gereja, kebaktian
gereja, tugas
gereja terhadap
masyarakat dan kaum bukan Kristen, sejarah gereja, dan pengakuan iman, dasa titah, hubungan Alkitab dengan diri sendiri, tugas sebagai warga gereja. (Homrighansen, Enklaar, 1957 : 107). Secara ilmiah katekese dimengerti sebagai “pemikiran sistematis dan pendagogis tentang pewartaan Injil ajaran Tuhan dan ajaran gereja kepada manusia dalam hidup konkritnya” (Andar Ismail, 1990 : 84). Dari uraian katekisasi di atas penulis melihat bahwa diperlukan bahan (materi) pelajaran yang dapat menghasil kesadaran nara-didik terhadap diri sendiri sebagai umat Allah (aspek afektif).
53
1.4.3. Pembinaan Warga Gereja Secara Umum. Gereja
bukanlah
orang-orang
yang
terpanggil
lalu
diasingkan dari dunia ini. Ia justru dihadirkan di tengah-tengah tantangan bahkan ancaman yang berkecamuk di dunia ini (Yohannes 17:11, 14-19). Itu sebabnya nama aslinya gereja ‘Ekklesia’, yang artinya dipanggil keluar dari segala sesuatu yang dianggap aman atau tenteram. (Wuwungan 1997 :114). Untuk menjawab tantangan zaman ini maka tugas gereja adalah bagaimana memperlengkapi warga jemaat sebagai tubuh Kristus agar mampu menghadapi roh-roh zaman (lihat Epesus 4). Tugas memperlengkapi, mempersiapkan, mengajar, mendidik menurut A.A Sitompul merupakan pintu gerbang pembinaan bagi warga gereja (A.A. Sitompul 1979 :19-32). Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari kata Inggris training, yang berarti latihan, pendidikan, pembinaan. Sejauh
berhubungan
dengan
pengembangan
manusia,
pembinaan merupakan bagian dari pendidikan. Namun karena tekanan pengembangan dalam pembinaan berbeda dalam pendidikan, pembinaan dibedakan dari pendidikan. Pembinaan menekankan
pengembangan
manusia
pada
segi
praktis:
pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Sedang pendidikan menekankan pengembangan manusia pada segi teoritis,:
pengembangan
pengetahuan
dan
ilmu.
(Mangunhardjana 1986 : 11). Dalam lingkungan gereja, adapun tujuan pembinaan : “untuk
mewujudkan
jemaat
yang
dewasa
iman
dan
pengetahuannya akan aksih Allah Bapa, Anugerah Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus, dan persekutuan Roh Kudus (Efesus 4:13-16 ), Jemaat yang demikian ialah jemaat yang memenuhi tri tugas panggilannya secara mandiri, baik dalam arti teologi, maupun daya dan dana (1 Korintus 15:58; 2 Petrus 1:12, 2 Tessalonika
54
2:15), dan yang selalu hidup dalam kasih Tuhan Yesus Kristus dan sadar akan perlunya membina dan mengembangkan seluruh ciptaan Allah secara terpadu dan mengupayakan agar selalu berada dalam kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan kehidupan yang seimbang, selaras, dan serasi (Markus 16:15, Kejadian 1:28). (GBKPP HKBP 1989 :20). Pembinaan
Warga
Gereja
dalam
arti
toerusting
(memperlengkapi) sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk “belajar”, namun belajar secara Alkitabiah selalu berwujud perbuatan. “Belajar dan berbuat” tidak boleh dipisahkan, maka dalam hal ini juga pengikut-pengikut katekisasi sudah harus dilibatkan dalam praktek kehidupan berjemaat. Belajar dalam Alkitab selalu berati “Mengikut Yesus” : “ ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mateus 28:20). (Clement Suleeman 1980 : 22). Dengan demikian tugas PAK dan PWG tidak sekali-kali bertentangan
atau
berlawanan
satu
terhadap
yang
lain,
melainkan justru saling isi mengisi, melengkapi satu sama lain. Dengan adanya PWG, gereja lebih ditolong untuk mewujudkan dan menerapkan iman Kristen, sedangkan dengan PAK maka warga gereja lebih banyak lagi dibekali dengan Iman dan warisan Kristen yang dapat merupakan sumber bagi perwujudan tugas panggilannya. (Clement Suleeman 1980 : 30). Kegiatan di bidang PWG nampak merupakan salah satu jawaban terhadap berbagai kebutuhan gereja, yaitu,; kebutuhan akan
kepemimpinan
gereja
di
seluruh
tingkatan
untuk
menghadapi situasi, Kebutuhan akan pemahaman dan sikap teologis
yang
tepat
untuk
menjawab
tantangan
jaman,
Kebutuhan akan pengetahuan, sikap dan ketrampilan baru bagi warga gereja.
( IOI DGI 1981 : 21-22 ). Dengan demikian
55
diharapkan akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan iman warga jemaat ditengah kehidupannya. Pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, baik intensif maupun ekstensif. Intensif, dalam arti peningkatan kwalitas keimanan seluruh warga gereja sebagai orang percaya yang dewasa, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh ruparupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan
(Efesus 4:14). Ekstensif,
dalam arti pertambahan orang-orang percaya dan pertumbuhan gerak dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia : “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus terus ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). ( LDK PGI 1995 : 18). Dari uraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa pembinaan warga gereja adalah tugas yang mendesak dilakukan gereja dewasa ini untuk mengantisipasi dan mempersiapkan mereka menghadapi roh-roh zaman. Gereja sebagai perwujudan tubuh Kristus, terpanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani (Markus 10:45). Tugas pelayanan dimaksud mengharuskan Gereja untuk memerangi segala kebodohan, keterbelakangan, kelemahan, penyakit dan ketidak-adilan dalam masyarakat, sebagaimana yang diperbuat Yesus Kristus (Mateus 4:23, Lukas 4 18-19). Hakekat dari seluruh pelayanan Gereja adalah kasih yang bersumber dari Yesus Kristus (Lukas 10:25-37). (GBKPP HKBP 1988 :12). Tugas panggilan pelayanan gereja ke tengah-tengah dunia yang kita lihat banyak perubahan-perubahan yang ditemui sejak kemerdekaan. Perubahan zaman ini, ada yang membawa dampak psoitif – tetapi ada yang membawa dampak negatif. Sehingga secara langsung atau tidak langsung perubahan zaman
56
turut juga mempengaruhi kehidupan warga jemaat. (A.A. Sitompul 1979 : 55). Menurut Einar Sitompul, ada beberapa kecenderungan yang sedang dihadapi warga gereja ditengah krisis bangsa, diantaranya, ; Masalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang berawal
dari
krisisi
moneter
sudah
berlangsung
sejak
pertengahan tahun 1997 lalu, tampaknya belum meperlihatkan proses menuju pemulihan. Sudah sering diberitakan krisis ekonomi melipatgandakan jumlah orang miskin dan jumlah orang-orang korban PHK masih terus bertambah. Beberapa waktu yang lalu dikabarkan sudah jatuh korban jiwa akibat kekurangan gizi. Yang tak kurang mengkhawatirkan ialah kekurangan gizi di kalangan banyak penduduk mengakibatkan kualitas generasi mendatang jatuh merosot. Terjadinya krisis ekonomi – sebagaimana sudah kita ketahui – tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Korea Selatan, Thailand, Filipina dan Malaysia dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda – bukan semata-mata akibat kelemahan dalam negeri. Ia terkait erat dengan globalisasi. (Einar Sitompul 2006 : 59060). Masalah yang dihadapi warga gereja dan masyarakat dewasa ini sebagaimana yang dikatakan Einar Sitompul menjadi tugas panggilan gereja. Kita terpanggil untuk menjadi komunitaskomunitas yang non-komformis dan transformatif. Kita diajak untuk membiarkan diri kita diubah melalui pembebasan akal budi
kita
dari
cara
berpikir
imperialis
yang
ehoisitik,
menaklukkan dan mendominasi, sehingga dengan demikian kita melakukan
kehendak Allah (sesuai dengan taurat) yang kita
lakukan dalam kasih (Agape) dan solidaritas (Roma 13:10, 1 Yohannes 3:10-24).unitas-komunitas transformatif diubahkan oleh anugerah kasih Allah. Mereka mempraktikkan ekonomi solidaritas dan saling berbagi (sharing).
57
Kita menjadi saksi pelanggaran besar-besaran martabat manusia dan ketutuhan ciptaan. Kita berhadapan dengan penderitaan, kesenjangan ekonomi dan sosial yang sangat besar, kemiskinan yang hina papa dan penghancuran hidup yang diakibatkan neoliberal globalisasi ekonomi. Sebagai gereja, kita perlu menerima dan memikul panggilan untuk menentang pemikiran zman sekarang agar diri kita sendiri diubah oleh anugerah Allah, serta dengan berani membangun strategi jangka panjang yang visioner. Sudah merupakan tugas pastoral dan rohani
gereja-gereja
penyesuaian
palsu,
komunitas-komunitas
untuk serta
mengatasi
mendorong
iman
untuk
spiritualitas umat
merangkul
dan
Kristen
dan
spiritualitas
kehidupan dan transformasi yang berakar pada anugerah kasih Allah. Inilah cara di mana agape , yaitu kasih terhadap Allah dan sesama, diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial ekonomi. (AGAPE DGD 2006 : 6-7). Oleh karena itu, PGI memandang tugas panggilan dalam rangka PWG sebagaimana diuraikan di atas, ini disikapi gereja sebagai wujud partisipasi dan pelayanannya dalam konteks Pembangunan Nasional. Bahwa partisipasi dan pelayanan dalam pembangunan
Nasional
bukan
dimaksudkan
mengganti
pelayanan karikatif yang biasa dilakukan oleh gereja, melainkan melengkapinya.
Berpartisipasi
dan
melayani
dalam
pembangunan ini adalah bagian dari tugas pokok gereja untuk mengelola ciptaan Tuhan dalam rangka ikut menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera bagi semua orang dan sebagai antisipasi kepada kedatangan Kerajaan Allah, yaitu kegenapan “langit baru dan bumi baru di mana terdapat kebenaran” (2 Petrus 3:13). Menurut PGI ada penekanan-penekanan khusus, yaitu menyangkut pembangunan desa yang dianggap penting bagi
58
pembangunan nasional dan juga mengingat sebagaian besar rakyat dan jemaat ada di pedesaan. Demikian pula perhatian khususnya diberi kepada penduduk kota yang tercecer, serta memberikan perhatian pada sumber daya manusia dan masalahmasalah lapangan kerja dan lain sebagainya. (LDK PGI 1994 : 34). Dari uraian di atas penulis mengambil kesimpulan, PWG adalah
tugas
panggilan
pelayanan
gereja
yang
lebih
memfokuskan kepada pemberdayaan warga jemaat dalam menghadapi roh-roh zaman. (Efesu 4:14-15).
59
Bab III. Pandangan Paulo Freire Tentang Konsientisasi 1. Riwayat Hidup Paulo Freire. Paulo Freire lahir di Recife tanggal, 19 September 1921, sebuah kota Pelabuhan di Brasil bagian timur laut. Ayahnya bernama, Joaquim Temistocles Freire. Ayahnya, baik budi, cakap, dan mampu untuk mencintai, seorang anggota Polisi Militer di Pernambuco yang berasal dari Rio Grande Do Norte. Ibunya seorang yang lembut, baik budi, dan adi Merekalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain. Orangtuanya termasuk kelas menengah itu mengalami kejatuhan finansial yang sangat hebat ketika Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi tahun 1929. Sehingga Freire terpaksa belajar mengerti apa artinya menjadi lapar bagi seorang anak sekolah. Pengalaman mendalam akan kelaparan sewaktu masih bocah menyebabkan Freire pada umur sebelas tahun bertekad untuk mengabdikan kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai mengalamai kesengsaraan yang tengah dialaminya. ( Paulo Freire 1984 : xiv). Karena kemiskinan yang menimpa hidup Paulo Freire, ia tertinggal dua tahun dibanding dengan teman-temannya sekelas. Pada umur lima belas tahun dia lulus dengan nilai pas-pasan untuk dapat masuk sekolah lanjutan. Namun setelah situasi ekonomi keluarganya agak membaik, Paulo Freire mampu menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan dan masuk ke Universitas Recife. Dia mengambil Fakultas Hukum, juga belajar filsafat dan psikologi bahasa sambil menjadi guru paroh-waktu bahasa Portugis di sekolah lanjutan. Pada tahun 1931, keluarga Freire terpaksa pindah ke Jabatao. Ayahnya meninggal dunia di tempat itu. Pada tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maia Costa Oliviera, seorang guru sekolah dasar yang berasal dari Recife. Ia mempunyai dua
60
orang anak. Pada saat itu ia mengatakan, bahwa pada masa itu perhatiannya mengenai teori-teori pendidikan mulai tumbuh. Dia banyak membaca tentang pendidikan dari pada hukum, di bidang tempat dia mengajar. ( Paulo Freire 1984 : xi). Setelah lulus Sarjana Hukum, dia bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan menjadi Direktur bagian Pendidikan dan Kebudayaan (Pelayanan Sosial) di negara bagian Pernambuco. Friere semenjak masih sangat muda betul-betul sudah tertarik dengan praktek pendidikan. Pada usia belia itu, pernah menjadi Guru sekolah menengah atas yang dalam pengajarannya menggunakan bahasa Portugis. Mengajar sekaligus belajar sintaksis bahasa Portugis mengasikkan bagi Freire. (Paulo Freire 1999 : 284 ). Ketertarikannya dalam bahasa Portugis khusus sintaksisnya, bukubuku mengenai liguistik, filologi dan filsafat bahasa, inilah yang memampukan Freire berkomunikasi dengan wajar. Isu-isu inilah yang paling mengasyikkan bagi pengembangan intelektual Freire ketika ia berusia 19-20 tahun. Disamping faktor lain adalah dorongan istrinya Elza. Kemudian studi linguistik yang dia lakukan dan dengan pertemuan dengan Elza mengarahkan dirinya pada bidang pendidikan. Freire mengembangkan gagasan pendidikan seiring dengan refleksi historis, budaya dan filosofis. Ketika ia mengembangkan gagasan ini, ia harus menentang kenyataan sosial di sekitar Freire yakni di daerah timur laut Brasil. (Paulo Freire 1999 : 285 ). Pengalaman Freire selama tahun 1946-1954 membawanya pada kontak langsung dengan kaum miskin di kota-kota. Pengalaman itu sangat bermanfaat dalam penelitian-penelitiannya tahun 1961, dan menjadi bahan dalam mengembangkan metode dialogik dalam pendidikan. Paulo Freire memperoleh gelar doktor tahun 1959 di Universitas Recife, di mana ia mengajar. Pada tahun 1980 Paulo Freire diangkat diangkat menjadi guru besar di Universitas Negeri Campinas dan Universitas Katolik Santo Paulo.
61
Paulo Freire dibesarkan oleh kondisi sosial, politik yang tidak stabil di Brasil. Tahun 1960-an terjadi keresahan, berkembang sejumlah gerakan pembaruan secara serentak : ada yang yang beraliran sosialis, ada yang beraliran komunis, ada yang beraliran Kristen, ada yang bergerak di bidang kemahasiswaan, bergerak di kalangan seniman, ada yang menggerakkan buruh, dan petani. Masing-masing aliran ini digerakkan oleh tujuan politik. ( Paulo Freire 1984 : xii). Kudeta mileter 31 Maret 1964 mengakhiri gerakan di atas. Paulo Freire dipenjarakan dengan tuduhan menjalankan kegiatan subversif. Dia akhirnya dibebaskan setelah mendekam dalam penjara selama 70 hari. Paulo Freire sangat berperan aktif dalam gerakan politik di Brasil ketika itu, ia ditugaskan menjadi Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara di kalangan petani di daerah Timur laut. Metode yang dipakai kelak dikenal sebagai Metode Paulo Freire, meskipun dia sendiri tidak pernah mau menamakan demikian. ( Paulo Freire 1984 : xiv ). Sambil kuliah, ia bekerja “paroh waktu” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan
“gaya
bank”.
Sistem
pendidikan
hadap-masalah
yang
penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Akibat gerakan politik ini maka Presiden Brasil Janio Quadros digantikan oleh Joao Goulart pada tahun 1961. Presiden Bari Brasil ini dikenal sangat dekat dengan rakyat. Setelah kejatuhan pemerintahan Janio Quadros, kemampuan Freire pun dihargai oleh pemerintah sehingga pada
62
tahun 1963-1964 ia bekerja dengan timnya untuk seluruh Brasil. Mereka berhasil menarik kaum tuna aksara untuk belajar membaca dan menulis dalam waktu cukup singkat, tidak lebih dari 45 hari. Hingga pertengahan tahun 1979 Paulo Freire masih hidup dalam pengasingan dan tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di tanah airnya. Ia diijinkan kembali ke Brasil sewaktu Joao Batista Figuelredo memerintah sebagai Presiden Brasil. Tahun berikutnya ia bergabung dengan Partai Buruh di Sao Paulo. (Paulo Freire 1984 : xvi). Apa yang dibangkitkan dalam proses kenal aksara tidak hanya terbatas pada kemampuan mereka di bidang itu, tetapi juga sekaligus membawa mereka ke proses
penyadaran politik; mereka berpartisipasi
aktif dan secara nyata ikut menentukan arah perkembangan bersama. Pada tahun 1986, istrinya Elza meninggal dunia. Paulo Freire kemudian menikah dengan Ana Maria Araujo, mantan mahasiswinya, yang tetap meneruskan kegiatan dalam pendidikan radikal. Paulo Freire wafat pada usia 75 tahun, tepatnya 2 Mei 1997 di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo. Pengenalan kita kepada Paulo Freire melalui sejumlah tulisan, yang warisan pemikirannya dalam keteladanan hidup sebagai pribadi yang terbuka, jujur, lugas, kreatif, dan penuh perjuangan. Dia selalu berusaha sungguh-sungguh agar tindakannya mencerminkan kata-katanya. Semua pergumulan, dan pemikiran Paulo Freire dapat kita ketahui melalui hasil karya dalam bukunya, antara lain ; 1. Paedagogy Of the Oppressed ( 1970 ) 2. Paedagogy of the City ( 1973 ) 3. Paedagogy of the Hope ( 1995 ) 4. Paedagogy of the Heart ( 1997 ) Buku Paulo Freire, “ Paedagogy of the Oppressed ” (Pendidikan kaum tertindas) dapat mengantar kita untuk lebih dekat mengenal kehidupan mereka yang mengalami keterpurukan di bidang sosial, ekonomi, sekaligus memberi inspirasi yang baru kepada mereka yang
63
terlibat dalam dunia pendidikan. Bagaimana pendidikan dapat memberi jawaban kepada persoalan manusia secara utuh tanpa menyalahkan diri orang yang tertindas, dan sistem yang menindas. Oleh karena itu pada akhirnya manusia itu sendiri yang perlu dikembangkan kesadarannya (istilah yang dipakai Paulo Freire “Konsientisasi”). ( Paulo Freire 1984 : xv ) 1.1.Pergumulan Paulo Freire. Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun ditengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan” (Paulo Freire 1995 : 6). Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan (Sumaryo 1981 : 29), karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu” (Aloys Sumarioto 1994 : 18).
Kesadaran refleksi kritis dalam
budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan. (Mudji Sutrisno 1995 : 33). sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. (L.Subagi 1985 : 104-105). Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka (Paulo Freire 1995 : 1-4).
64
Paulo Friere semenjak masih sangat muda betul-betul sudah tertarik dengan praktek pendidikan. Pada usia belia itu, pernah menjadi Guru sekolah menengah atas yang dalam pengajarannya menggunakan bahasa Portugis. Mengajar sekaligus belajar sintaksis bahasa Portugis mengasikkan bagi Freire. (Paulo Freire 1999 : 284 ). Kehidupan, kepribadian dan pandangan hidup Paulo Freire tidak terlepas dari pengaruh sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di mana ia lahir, dibesarkan, dan mengecap pendidikannya. Paulo Freire adalah anak seorang Militer. Keterpurukan ekonomi di Amerika Serikat tahun 1959 yang merembes ke Brasil membuat kehidupan keluarganya jatuh miskin sehingga mengakibatkan Freire mengalami kendala untuk menempuh pendidikannya. Pada tahun 1960-an masyarakat Brasil mengalami keresahan sosial. Dari jumlah penduduk 34,5 juta jiwa hanya 15,5 juta dapat mengikuti pemilihan umum karena kepentingan politik dan kenyataan aksara,
sehingga
berlangsung
mereka
pemilihan
tidak
umum.
bisa
menuliskan
Munculnya
nama
gerakan
buta ketika
menentang
penguasa oleh berbagai kalangan, dan Paulo Freire ditugaskan sebagai Direktur Pelayanan Extension Kultural Universitas Recife untuk memberantas buta aksara. Tema kampanye simpati buta aksara, kemiskinan, dan penindasan dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembaharuan dan pergantian pemerintahan di Brasil melalui gerakan berbagai
elemen
masyarakat.
Jabatan
yang
diembannya
telah
memotivasi Paulo Freire untuk berjuang bersama masyarakat sehingga Presiden Janio Quadros digantikan oleh Joao Goulart tahun 1961. ( Paulo Freire 1984 : xii). Konsep pemikiran Paulo Freire dalam menentang penindasan seperti ini yang pernah dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara (Tahun 1922-1937) seperti dikutip oleh Moh.Yamin bahwa melawan penjajahan tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan pergerakan politik saja, tetapi harus juga dipentingkan penyebaran benih hidup mereka di
65
kalangan rakyat dengan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (Moh.Yamin 2008 : 168-173). Dari uraian di atas penulis menilai masalah sosial, politik, dan ekonomi yang menimpa masyarakat Brazil ketika itu bukan sebagai penghambat bagi Paulo Freire dalam melanjutkan cita-citanya; justru masalah yang dihadapinya mendorong jiwanya untuk melakukan aksi perlawanan terhadap penindasan meskipun harus menanggung resiko. Pada usia yang begitu muda Freire telah bergabung dengan anakanak dari kelas pekerja dan para petani. Ketika beranjak dewasa, ia bergabung dengan para buruh, petani dan nelayan yang juga masih muda-muda. Ini masalah yang dihadapi Freire yang tidak begitu naif, dan yang tidak ia dapatkan dalam buku. (Paulo Freire 1999 : 286 ). Freire melihat pemberantasan buta huruf itu hal yang paling penting, karena jumlah orang yang buta huruf di Brasil semakin membumbung tinggi. Freire ingat dengan jelas, bahwa Freire menjadi salah satu korban ketidakadilan ini, dan itu menyita waktu Freire ketika ia merefleksikan dan mempelajari penyebab penindasan tersebut. Pengalaman pahit dalam kehidupan keluarganya, ketimpangan hidup ekonomi di sekitar masayarakat Brasil, kurangnya perhatian pemerintah dengan masalah dunia kanak-kanak yang putus sekolah, masyarakat pinggiran (petani, nelayan, dan buruh pabrik), serta sistim dan model pendidikan oleh pihak pemerintah yang terkesan menindas hakekat kemanusiaan yang bernilai budaya, humanis, jauh dari pengharapan Paulo Freire. Sehingga lahirlah gagasan pimikiran untuk membangun manusia dengan pendekatan model pendidikan yang menyadarkan (dikenal istilah Paulo Freire “Konsientisasi”). 2. Pengertian Konsientisasi. Pengertian Konsientisasi dalam Bahasa Inggris, berasal dari kata ; ‘conscience’ ; kata hati, suara hati, hati nurani (John M. Echols, Hassan Shadily
1975 : 139 ). Jadi konsientisasi (kata benda) adalah suatu sikap
66
perilaku atau keputusan etis yang dilakukan berdasarkan kata hati, atau suara hati, atau hati nurani. Oleh karena itu manusia diciptakan Tuhan sebagai
makhluk
yang
memiliki
kesadaran
(hati
nurani),
dan
tanggungjawab dalam perbuatan atau tindakannya. Dalam
konteks
‘konsientisasi’,
inilah kata kunci
yang
sering
dipergunakan Paulo Freire, harus dimengerti. Kesadaran diri di sini tidak sekedar berhenti pada tahap refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang akan selalu direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus. Prakasis dalam pengertian Paulo Freire adalah proses dialektis yang berjalan tiada henti antara aksi dan refleksi serta antara refleksi dan aksi. Freire memang sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brasil yang bercirikan menggurui dan hafalan. Cara semacam itu dinilainya akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan manusia, yang diharapkan mampu ikut serta menentukan nasib sendiri. Dia juga mengkritik kaum cendikiawan Brasil yang banyak berfikir dan menulis melalui kacamat pandang Eropa atau Amerika Serikat, serta diilhami oleh kepentingan golongan tertentu dalam masyarakat yang ingin mempertahankan status quo keuntungan yang dinikmati selama ini. (Paulo Freire 1999: xii-xiv). Dalam bidang psikologi sebagai ilmu pengetahuan, kata ‘conscience ’, artinya, ; kata hati, suara hati, hati nurani, yang dijadikan sebagai objek adalah kesadaran orang normal, dewasa dan beradab. Hal ini timbul terutama karena pengaruh ‘pikiran’ manusia, sebagaimana Descartes dalam pendapatnya yang berpangkal kepada semboyan : Cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada – manusia sebagai aspek berfikir sehingga ia berpengetahuan) menetapkan bahwa objek psikologi adalah kesadaran. Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran itu, kesadaran yang digambarkan terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses dalam pancaindera. Psikologi berusaha mencari unsur dasar daripada kesadaran itu dan menentukan bagaimana unsur-unsur itu bergabung. Maka, ada hubungan antara pengetahuan dengan kesadaran manusia.
67
Sigmund Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagaian kecil saja dari pada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan psyche itu sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada di atas permukaan air laut itu menggambarkan kesadaran, sedangkan di bawah pemukaan air laut – yang merupakan bagian terbesar – menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi. Karena itu untuk benar-benar memahami kepribadian manusia psikologi kesadaran – yang oleh Freud disebut psikologi permukaan – tidak mencukupi; orang harus menjelajah lebih dalam ketidaksadaran mengembangkan
itu
dengan
teori
metode
kepribadian
assosiasi yang
bebas
kemudian
ke daerah
dan besar
berhasil sekali
pengaruhnya dalam lapangan psikologi. (Sumadi Suryabrata 1982 : 121122). Dari pemahaman di atas penulis berpendapat bahwa ada keterkaitan kesadaran (Penyadaran) bagi manusia terhadap hati nurani, suara hati, kata hati, dengan pengetahuan yang dimiliki dalam membentuk nilai, kepribadian, dan sikap pandangnya. Manusia merupakan mahluk berkesadaran akan diri sendiri dan kesadaran akan dunia sekitarnya – mengada dalam suatu hubungan dialektis
antara
ketentuan-ketentuan
yang
membatasinya
dengan
kemerdekaan yang dimilikinya. Begitu mereka menarik garis pemisah antara dirinya dengan dunia, sebagai objek kesadaran mereka, menarik garis pemisah antara dirinya dengan tindakannya, menetapkan keputusankeputusan bagi diri mereka sendiri dan bagi kaitannya dengan dunia dan sesama manusia lainnya, maka ketika itulah manusia mengatasi situasisituasi yang membatasinya. (Paulo Freire 1984 : 94). Dengan pendapat Paulo Freire seperti di atas, kita mengartikan bahwa kesadaran (penyadaran) memegang peran penting bagi manusia untuk mampu membuat keputusan dan tindakan dari dalam dirinya. Oleh karena itu, sepanjang manusia tidak memiliki kesadaran dalam dirinya, maka ia sulit membuat keputusan, dan bertindak. Kalaupun ia
68
memngambil keputusan, maka hasilnya tidak menjadi benar (objektif). Maka
menjadi
tugas
dan
tanggungjawab
pendidikan
mempersiapkan model dan metode pendidikan yang
bagaimana mendorong,
berusaha, dan menyadarkan proses belajar - mengajar yang menyadarkan. 3. Pandangan Paulo Freire Tentang Konsientisasi. Pemikiran yang terutama menjadi pejuangannya, ‘Kebutuhan suatu pendidikan bagi kaum tertindas’. Tujuan akhir yang akan dicapai supaya terjadi perkembangan akan kesadaran, untuk mengajak bahwa adanya akan suatu pendidikan kaum tertindas. Sebab masalah manusia adalah “Humanisasi” (kemanusiaan yang beradab). Ada dua alternatif yang nyata, yaitu ; masalah ‘humanisasi’ dan ‘dehumanisasi’. Kenyataan bahasa humanisasi telah disangkal dan diputarbalikkan oleh ketidakadilan, eksploitasi, dan kekerasan kaum penindas. Maka, kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keinginan untuk merenggut kembali kemanusiaan yang hilang. Sedangkan dehumanisasi, ialah di mana kemanusiaannya telah dirampas oleh kaum penindas. Maka perjuangan melawan penindas harus datang dan dimulai dari kaum tertindas itu sendiri. Praktik pembebasan kaum tertindas perlu kehati-hatian, supaya : a. menghindarkan cara-cara karikatif (perbuatan murah hati) b. kaum tertindas jangan ditempatkan pada posisi sebagai seorang pengemis. Sebab menurut Paulo Freire sikap seperi ini hanya sikap murah hati yang palsu. Tetapi, pembebasan yang sejati adalah kalau tangan-tangan yang terangkat mengemis itu diubah menjadi tangan-tangan manusiawi yang mampu mengubah dunia. Oleh karena itu perjuangan pembebasan itu merupakan suatu tindakan cinta kasih melawan kebencian dan kemurahan hati palsu yang mewarnai kehidupan kaum tertindas.
69
Namun dalam praktik belas kasih, menurut Freire ada bahaya yang harus dicermati, kaum tertindas jangan sampai menjadi penindas jika ia sudah dibebaskan – Jangan terjadi ‘Pembalikan peran’. Pemahaman relasi antara penindas dan yang tertindas, kaum tertindas harus dipulihkan percaya dirinya supaya jangan jadi penindas, jangan beridentitas palsu jika ada konflik baru terhadap pilihan : a). menjadi diri sendiri atau pribadi yang terbelah, menolak atau menerima gambaran kaum terindas, b).mengikuti perintah penindas atau keputusan sendiri (kesadaran), c).menjadi penonton atau pelaku drama kehidupan, berbicara atau bungkam. Di sini Paulo Freire memberikan solusi cara mendidik kaum tertindas; “bersama, dengan” – Bukan menciptakan “untuk kaum tertindas”.. 3.1.Mengubah Pendidikan Deposite. Bagaimana proses pendidikan kaum tertindas. Model pendidikan lama, dengan “sistem bank”, yaitu ; guru merupakan subjek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Di sini murid adalah wadah atau suatu tempat ‘deposite’ belaka, dalam proses itu murid semata-mata obyek. Masalahnya, cara seperti ini tidak terjadi komunikasi yang seharusnya antara murid dan guru, cara ini hanya mencerminkan penindasan, memperkuat struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakan. Dalam membebaskan
kondisi
semacam
masyarakatnya
itu,
yang
Freire tertindas
terpanggil dan
yang
untuk telah
“dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan,
70
tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya
daya
cipta.
Pendidikan
gaya
bank
dinilai
hanya
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia. (Marthen Manggeng 2005 : 41). Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan
dialogis.
Ia
adalah
teman
dalam
memecahkan
permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari. (Marthen Manggeng 2005 : 42). Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas menciptakan sistim baru yang dinamakan “problem–possing education” – atau “pendidikan hadap masalah” yang memungkinkan “konsientisasi” (penyadaran). Konsep pendidikan ‘konsientisasi’ yang diartikan Paulo Freire, yaitu : a). Guru dan murid bersama-sama menjadi subyek dan disatukan oleh obyek yang sama. b). Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berfikir bersama. c). Pengetahuan yang
sejati menuntut
penemuan kembali melalui
penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia dan dengan
71
sesama. d). Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. e). Dialog merupakan unsur sangat penting dalam pendidikan. Model pendidikan ‘hadap masalah’ itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid. Kedua pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk megerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Dunia bukan merupakan realitas yang statis. Pendidikan ‘hadap masalah’ senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan menuntut manusia untuk menjawab tantangan itu. Dengan jawaban yang ditemukan sendiri akan membawa manusia kepada dedikasi yang utuh. Paulo Freire berpendapat bahwa Pengetahuan adalah keterlibatan. (Marthen Manggeng 2005 : 43). Menurut Freire metodologi pendidikan itu dialog. Dan ‘Inti dialog adalah kata’. Sedangkan dimensi ‘kata’ adalah refleksi dan ‘aksi’. Dialog diadakan
;
a).
Berdasarkan
kepekaan
terhadap
kemampuan-
kemampuan bawaan di dalam setiap manusia untuk menemukan diri sendiri. b). Mengandung kerendehan hati, yaitu; kemauan untuk belajar dari orang lain, meskipun orang itu rendah dari kita atau tidak sederajat. c). Menuntut kepercayaan untuk mengubah manusia sebagai subyek/pelaku perubahan diri sendiri. d). Menuntut sikap mau mendengar, memahami diri sendiri, memiliki ‘sense of belonging’ (rasa memiliki). Pada pokoknya, dialog diadakan berdasarkan ; Cinta kasih, Kerendahan hati, Kepercayaan terhadap orang lain, dan mau mendengar serta memahami orang lain. Penyusunan program dialog adalah penyusunan program pendidikan yag eksistensial dan konkrit. Tema pembebasan Paulo Freire yang paling esensial, yaitu ; Pertama, Metode kenal aksara (Universe words). Kedua, Metode sesudah kenal aksara
(Generative
words).
Singkatnya,
menurut
Freire,
“dialog
merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan”. (Paulo Freire 1999 : 105).
72
Eksperimen Paulo Freire dengan konsep “Eksistensial”, yaitu ; mengubah bahan alamiah dengan karya pengamatan – analisa/nalar – ekspressi (menemukan harga diri, dan mengungkapkannya). Pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni : 1. Pengajar 2. Pelajar atau anak didik 3. Realitas dunia Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive) yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari(cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini . ( Paulo Freire 1999 : X ). Daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut : 1. Guru mengajar, murid belajar 2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa 3. Guru berpikir, murid dipikirkan 4. Guru bicara, murid mendengarkan 5. Guru mengatur, murid diatur 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti 7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya 8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri 9. Guru
mengacaukan
wewenang
ilmu
pengetahuan
dengan
wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid 10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya ( Paulo Freire 1999 : XI ). Apa yang diungkapkan Paulo Freire tentang antagonisme dunia pendidikan yang dilihatnya, sebagai realitas penindasan mendidik hendaknya diterima menjadi upaya perbaikan dan memperbaharui
73
untuk mencapai cita-cita pembebasan manusia dari ketertinggalan, kebodohan, dan keterasingan lingkungannya. Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan
kaum
tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi). (Paulo Freire 1999 : XVII ). Maka proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Penyadaran (Konsientisasi) itu lebih dekat kepada
kecerdasan
emosional
sebagaimana
pendapat
Goleman.
Kecerdasan emosional adalah kesanggupan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain; untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya-sebagaimana dirumuskan oleh Aristoteles, keterampilan langka “untuk marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik”. Model yang telah diperluas tentang apa arti menjadi “cerdas” ini menempatkan emosi sebagai inti daya hidup. (Daniel Goleman 1996 : xv). Dalam hal ini Daniel Goleman melihat kesadaran itu merupakan keterampilan bertindak secara benar, dan tepat. Moh.Yamin memaknai pendidikan konsientisasi Paulo Freire sebagai inti pendidikan. Bila dikaitkan dengan tiga tipe pendidikan yang digagas oleh Paulo Freire ; pendidikan magis, pendidikan naif, dan pendidikan kritis. Pendidikan magis menyaratkan masyarakat untuk tidak memberontak kepada sebuah sistem yang telah ada dan membentuk kepada sebuah sistem yang telah ada. Menerima keadaan apa adanya. Pendidikan naif, masayarakat sudah paham dan mengerti
74
segala carut marut kehidupan di sekitarnya. Namun kendatipun masyarakat mengetahui dan mengerti persoalan serta penyebabnya, masyarakat seolah apatis dengan itu semua. Masyarakat seakan-akan merasa nikmat dengan realitas kendatipun sesungguhnya telah menyebarkan benih-benih kesusahan. Berbeda dengan dua konsep pendidikan sebelumnya, pendidikan kritis justru hadir
untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka, sebut saja kemiskinan, dan penindasan yang dilakukan penguasa. Secara tegas, Moh. Yamin cenderung menyalahkan tipe pendidikan magis dan pendidikan naif yang membenarkan pemahaman bahwa nasib yang menimpa dirinya adalah takdir yang diatur oleh Sang Pencipta. ( Moh.Yamin 2008 : 141 ). Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun mulai masuk ke dalam proses pengertian
dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang
mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”. ( Paulo Freire 1999 : XVIII ). Maka, pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses fungsional, bukan sekedar suatu teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. (Paulo Freire 1999: XIX ). 3.2.Dalam Sosiologi Pendidikan.
75
Sosiologi pendidikan yang baru muncul secara utuh di Inggris dan Amerika serikat pada awal tahun 1970-an sebagai reaksi kritis atas apa yang disebut dengan teori dan penyelenggaraan pendidikan tradisional. Pertanyaan utama dalam sosiologi pendidikan ini, yang mengkritisi
sekolah-sekolah
tradisional
dan
wacana
yang
dikembangkannya, sangat bercirikan Freire , yaitu bagaimana kita dapat menciptakan pendidikan yang bermakna, kritis, bersemangat dan emansipatoris.? (Paulo Freire 1999 : 7 ). Munculnya
kritik
yang
radikal
terhadap
sebagian
besar
komponen yang terlibat dalam pendidikan dikarenakan para ahli pendidikan tradisional secara umum mengabaikan pertanyaan diatas, dan masih menjalankan kebijakan yang paradoksal, yaitu melakukan depolitisasi
sekolah
dan
dalam
waktu
yang
bersamaan
tetap
melestarikan dan mengesyahkan ideologi kapitalis. Wacana sosiologi pendidikan yang baru ini mengkritisi teori pendidikan tradisional yang mengabaikan pentingnya hubungan antara pengetahuan, kekuasaan pendominasian. Selain itu, wacana yang baru ini menggelindingkan ‘bahasa teoritis’ dan model kritik yang berbeda. (Paulo Freire 1999 : 8 ). Kritik-kritik yang radikal dalam sosiologi pendidikan tersebut menyediakan berbagai model analisa yang berguna untuk meruntuhkan ideologi pendidikan tradisional. Berbeda dengan teori pendidikan konservatif yang menjadikan sekolah sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan objektif. Teori sosiologi pendidikan yang baru justru berusaha membuka kedok adanya kepentingan tertentu yang terdapat di balik ilmu pengetahuan objektif dan mengembangkan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum). (Paulo Freire 1999 : 9 ). Perbedaan utama antara pemikiran Freire dengan sosiologi pendidikan yang baru adalah bahwa yang terakhir ini tampak mengawali dan mengakhiri pembahasannya dengan dengan logika reproduksi politik, ekonomi dan budaya, sedangkan analisa Freire
76
dimulai dengan proses produksi yang terdiri dari bermacam-macam cara. (Paulo Freire 1999 : 11 ). Dari uraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa model pendidikan konsientisasi dalam sosiologi pendidikan dapat menolong untuk melihat realitas perilaku masyarakat, dan kecenderung yang mempengaruhi politik pendidikan yang menindas. 3.3. Pendidikan yang Membebaskan. Konsep politik dan pendidikan Freire mempunyai visi filosofis yakni manusia yang terbebaskan (liberated humanity). Visi ini berpijak pada penghargaan tehadap manusia dan pengakuan bahwa harapan dan masa depan yang disampaikan kepada kaum tertindas tidak sekedar menjadi hiburan, sebagaimana juga bukan untuk terus-menerus mengecam dan menantang kekuatan objektif kaum tertindas. (Paulo Freire 1999 : 12 ). Visi politiknya dikatakan profetis karena seharusnya manusia meyakini kekuasaan Tuhan sehingga memilki kesadaran dan semangat untuk selalu menumpas kebatilan. Kesadaran yang dimaksud Freire di sini muncul karena penderitaan kaum tertindas. Bahwa penderitaan ini tidak boleh berlanjut dan visi profetik ini merupakan proses yang terus berkelanjutan, ini merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. (Paulo Freire 1999 : 13-14 ). Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subjektif maupun objektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk kehidupan sosial, sebagai titik awal melakukan analisa. (Paulo Freire 1999 : 18-19 ).
77
Karena mengetahui adalah sebuah proses, maka mengetahui menuntut komunikasi dialektis : bukan hanya menurut seseorang namun banyak orang (bukannya I think, namun We think ) . Bukannya I think yang menyebabkan We think, namun sebaliknya we think yang menyebabkan I think. (Paulo Freire 1999 : 172 ). Pendapat Freire di atas, kita menyebut konsep pengetahuan ala ahli gizi sebagai konsep yang artifisial, yakni pembaca dan orang yang melakukan studi dianggap sebagai intelektual yang gemuk (fat intellectuals). Konsep ini melahirkan istilah lapar pengetahuan (hungry of knowledge), haus pengetahuan (thirst of knowledege), dan nafsu untuk mengerti (appetite for understanding). Jika pengetahuan itu statis dan tidak melibatkan kesadaran manusia sehingga dapat diletakkan di dalam bagian tubuh manusia yang masih kosong, maka praktik pendidikan seperti di atas bisa dibenarkan. Akan tetapi sesungguhnya,
pengetahuan itu
tidak
demikian. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang dibuat kemudian selesai. Sedangkan kesadaran merupakan kemauan terhadap sesuatu. Dalam pengertian yang humanistik, pengetahuan melibatkan kesatuan yang tetap antara aksi dan refleksi terhadap kehidupan. Seperti kesadaran akan kehadiran kita di dunia ini kemudian akan menimbulkan pengetahuan, menyebabkan diri kita bertindak dan berpikir bagaimana kita dapat sampai pada tahap refleksi. (Paulo Freire 1999 : 173-174 ). Keterlibatan
Freire
dalam
memperjuangkan
pendidikan
masyarakat tertindas sangat luar biasa, dia hidup bersama para petani dan buruh di wilayah miskin di Brasil timur laut. Di sanalah pertama kali
ia
mengembangkan
metodenya
yang
berpengaruh
untuk
menghadapi persoalan buta huruf. Di
bawah
pengelolaannya,
program-program
pendidikan
progressif, seperti pendidikan orang dewasa, restrukturisasi kurikulum,
78
partisipasi masyarakat, dan seperangkat kebijakan ambisius untuk demokratisasi sekolah dikerjakan Tanpa pemihakan, visi, analisis, dan mandat yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari status quo dan ikut melanggengkan ketidakadilan. Bahkan, tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan hanyalah sebagai alat penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Menurut pendapat Moh. Yamin, sedikitnya ada empat hal penting yang cukup signifikan model pendidikan konsientisasi Paulo Freire, : Pertama, pendidikan merupakan sebuah pendekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan
dari
sistim
yang
menindas.
Penganut
pendidikan
sedemikian berangkat dari sati titik pijak bahwa pendidikan tidak steril dari kepentingan politik maupun lepas dari pelanggengan sebuah sistim sosila ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Oleh karenanya, dalam pendidikan Freire, yang cukup radikal dan menolak sebuah kemapanan tersebut, maka ia berpendapat bahwa pendidikan adalah produksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, ataupun kesadaran kritis lainnya. Kedua, pendidikan merupakan pembangunan paradigma berpikir yang lebih mengedepankan realitas sosial terbuka ketimbang mengedepankan realitas sempit maupun kerdil. Dalam konteks ini, realitas sosial terbuka adalah kondisi masyarakat yang secara nyata hadir tanpa dilakukan rekayasa dengan sedemikian rupa demi menyembunyikan
proses
penindasan
maupun
eksploitasi
dari
kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Keadaan masyarakat yang ada sejatinya dijadikan sebuah diskusi dan refleksi kritis untuk melahirkan ketergugahan nurani sosial untuk bangkit melawan ketidakadilan yang sedang terjadi. Ketiga,
pendidikan
bertujuan
membangun
hidup
yang
demokratis. Kebebasan berpendapat adalah sebuah keniscayaan yang
79
harus digelar dengan sedemikian rupa. Kebebasan berpikir juga demikian. Setiap mahluk berhak untuk menyampaikan pendapatnya di depan publik, jangan sampai ditutupi dengan sedemikianrefresif karena sebuah kepentingan kekuasaan tertentu. Keempat, pendidikan bertujuan membangun hidup yang demokratis. Kebebasan berpendapat adalah sebuah keniscayaan yang harus digelar dengan sedemikian rupa. Kebebasan berpikir pun juga demikian. Setiap mahluk berhak untuk menyampaikan pendapatnya di depan publik, jangan sampai ditutupi dengan sedemkian repressif karena sebuah kepentingan kekuasaan tertentu. (Moh. Yamin 2008 : 163-165). Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah gerakan perubahan pendidikan yang progresif. Gerakan perubahan tersebut lahir dari dialog, debat, pertukaran pendapat, kebebasan untuk menyatakan pendapat. Menurut pendapat John Dewey sebagaimana dikutip Tilaar, tujuan pendidikan adalah, pertumbuhan yang diarahkan kepada pertumbuhan yang berkelanjutan melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan selalu menantang dan berubah, oleh sebab itu belajar adalah berbuat sesuatu dalam interaksi dengan lingkungan. (Tilaar 2006 : 117). Dalam hal ini, pendidikan konsientisasi dapat merubah, dan mempengaruhi perubahan untuk membebaskan segala bentuk penindasan yang membelenggu manusia. 3.4. Pendidikan Humanis. Pada dasarnya, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal, di satu sisi, dengan dominasi dan dehumanisasi, di sisi yang lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan
proses
pemindahan
ilmu
pengetahuan,
sedangkan
humanisasi merupakan proses pemberdayaaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Memang keduanya saling berlawanan, yang otomatis juga
80
menciptakan prosedur yang juga berlainan, yang berkisar pada hubungan antara kesadaran manusia dan dunia. Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi; sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang kesadaran itu sebagai suatu ‘hasrat’ (intention) terhadap dunia. Dengan mengasumsikan pendidikan sebagai proses dominasi, orang yang menguasai ilmu pengetahuan justru meniadakan prinsip kesadaran aktif. Pendidikan ini menjalankan praktik-praktik yang digunakan
orang
untuk
‘menjinakkan’
kesadaran
manusia,
mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Pendidikan budaya dalam dominasi ini diarahkan pada situasi dimana guru merupakan satu-satunya orang yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sebagai orang yang tidak tahu apaapa. Dalam
pendidikan
yang
humanis,
ketika
kita
sudah
menindaklanjuti rasa keingintahuan kita sebagai peneliti dan penyelidik (bukan termenung saja), dan ketika kita sudah berhasil mengakses ilmu pengetahuan, kita otomatis mengetahui dengan pasti kapasitas kita untuk dapat mengenali atau menciptakan ilmu pengetahuan baru. (Paulo Freire 1999 : 192-193 ). Banyak orang membicarakan kepentingan umat manusia, namun hanya menjadi sebuah ungkapan kosong, karena mereka tidak mengerti bahwa kenyataannya dimensi humanis manusia hanya dijadikan obyek penderita. Banyak orang mengklaim dirinya punya komitmen dalam usaha pembebasan, tetapi mereka masih menganut mitos yang menentang tindakan-tindakan humanis. Banyak dosen yang melakukan analisis bagaimana jangan sampai terjadi penindasan sosial ini, namun mereka justru terus-menerus menahan mahasiswanya dengan cara-cara
81
represif. Banyak orang mengklaim sebagai kaum revolusioner, tetapi mereka tidak mempercayai kaum tertindas yang pura-pura mereka bebaskan, seolah-olah ini bukan kontradiksi yang salah. Banyak orang menginginkan pendidikan yang humanis, tetapi mereka masih ingin mempertahankan struktur sosial dehumanis ini. Singkatnya , mereka takut kalau proses pembebasan itu terjadi. Dan dengan ketakutan itu, mereka menjalin persaudaraan, yang sesungguhnya untuk mencabut kebebasan orang banyak . (Paulo Freire 1999 : 199 ). 3.5. Dalam Realitas Masyarakat. Kesadaran tidak begitu saja membentuk realitas, sebagaimana yang mereka kira pada masa idealisme yang naif pada jaman dahulu. Maka, mereka perlu mengetahui bahwa kesadaran manusia tidak akan berubah hanya dengan pelajaran, kuliah, dan khotbah yang mengesankan, tetapi akan dirubah oleh aksi manusia di dunia. (Paulo Freire 1999 : 205). Mereka juga akan menemukan sejauh mana idealisme mereka mengobrak-abrik beragam konsep yang sudah ada – misalnya , konsientisasi, yang mereka pahami ketika mereka berusaha menawarkan pengobatan magis untuk menyembuhkan kesadaran manusia tanpa mengubah sturuktur sosial, atau ketika mereka mengklaim bahwa konsientisasi merupakan cara magis untuk menyatukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa disatukan . Selanjutnya bagi mereka konsientisasi tampak sebagai cara ketiga yang akan membebaskan mereka dari konflik sosial, dengan cara menciptakan dunia yang penuh kedamaian dan harmoni antara kaum penindas dan tertindas
melalui
saling
pengertian.
Ketika
keduanya
sudah
mempraktikkan konsientisasi ini, maka tidak akan ada lagi penindas ataupun tertindas, karena mereka akan saling mencintai seperti saudara, dan perbedaan akan dapat diselesaikan melalui diskusi yang hangat – atau dalam suasana santai. (Paulo Freire 1999 : 205 ).
82
Oleh karena itu, konsientisasi harus merupakan sebuah usaha kritis untuk menguak realitas, tidak sekedar mengesampingkan hal-hal yang kecil. Artinya , ia harus dengan partisipasi politik. Tidak ada konsientisasi, jika tidak menghasilkan kesadaran kaum tertindas sebagai kelompok yang dieksploitasi, agar berjuang memperoleh kebebasan. Yang lebih penting lagi, tidak ada seorang pun yang bisa menyuruh orang lain melakukan konsientisasi seperti yang ia lakukan. Guru dan masyarakat bersama-sama melakukannya, di dalam gerakan dialektis yang menghubungkan refleksi kritis tentang aksi-aksi masa lampau dengan usaha-usaha yang sedang dan terus dilakukan. (Paulo Freire 1999 : 207 ). Seluruh kesadaran seseorang merupakan kesadaran akan sesuatu yang ingin diketahuinya. Kesadaran diri manusia mengimplikasikan kesadaran akan sesuatu, yakni sebuah dunia nyata di mana masyarakat melihat dirinya sebagai makhluk pembuat sejarah dalam konteks di mana mereka belajar melalui kemampuan berpikirnya. Pengetahuan tentang kehidupan nyata sangat penting untuk mengembangkan kesadaran diri dan meningkatkan pengetahuan selanjutnya. Karena kesadaran itu betulbetul berasal dari lubuk hatinya, maka cara untuk memperoleh pengetahuan selalu menuntut pengungkapan obyeknya. Artinya tidak mendikotomikan antara obyektivitas dan subyektivitas, aksi dan refleksi, serta praktik dan teori. (Paulo Freire 1999 : 275 ). Sepanjang pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi anak-anak didik, sedangkan guru dalam mencermati realitas sosial – jika mereka benar-benar mau melakukannya – tidak lebih dari sekedar mendiskripsikannya, maka tujuan pendidikan semacam ini sangat terbatas. Pendidikan untuk kebebasan ini tidak sekedar dengan menggunakan proyektor dan kecanggihan sarana teknologi lainnya yang ditawarkan sesuatu kepada peserta didik yang berasal dari latar belakang apapun. Namun pendidikan sebagai sebuah praksis sosial, pendidikan berupaya memberikan bantuan untuk membebaskan manusia di dalam
83
kehidupan objektif dari penindasan yang mencekik mereka. (Paulo Freire 1999 : 228 ). Sebagaimana dalam Bukunya, Paulo Freire, “Pendidikan Kaum Tertindas”, hakekat utama yang sedang diperjuangkan Paulo Freire dalam pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Kunci pokoknya adalah konsientisasi atau pembangkitan kesadaran kritis. Dalam pandangan Freire, pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan kembali pada saat mereka
mendapat
penindasan,
hegemoni,
keterasingan,
maupun
kepentingan-kepentingan politis tertentu yang menyebabkan masyarakat terasing dari realita lingkungan mereka tinggal dan berinteraksi. Meskipun terdapat realitas yang paradoks ; ada yang pintar – ada yang bodoh, ada yang sekolah – ada yang tidak sekolah, ada yang malas – ada yang rajin. Manusia jangan dianggap seolah-olah tidak mengetahui apa-apa, tidak punya pikiran sehingga peran dan fungsi pendidikan cukup dilakukan dengan verbal. Paulo Freire menilai sistim pendidikan seperti itu monolog (satu arah). Pada hal pendidikan yang konstruktif adalah pendidikan yang bersifat dua arah ; hubungan saling isi – mengisi (sharing, prinsip kesetaraan). Dengan model pendidikan yang dialektik manusia akan digugah kesadarannya (Conzientation) hingga manusia mampu berkembang dari dirinya, dan melalui dirinya, serta untuk orang lain (sesama). Dari penjelasan di atas penulis sependapat dengan Paulo Freire tentang model pendidikan konsientisasi dengan metode dialogis sebagai proses
menuju
kesadaran
(penyadaran,
konsientisasi)
untuk
memberdayakan manusia. Karena kesadaran untuk bertindak yang perlu digerakkan,
disinilah
hubungan
konsientisasi
(penyadran)
dengan
kecerdasan emosional. Menurut Goleman bahwa spesies manusia berutang banyak pada kekuatan emosi karena dengan adanya emosilah manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi : Hanya cinta yang amat kuatlah – desakan untuk menyelamatkan anak
84
tercinta
–
yang
dapat
mendorong
orangtua
mengalahkan
hasrat
menyelamatkan diri sendiri. Bila ditinjau dari aspek nalar, pengorbanan diri semacam itu tidak rasional; bila ditinjau dari aspek perasaan, tindakan tersebut merupakan satu-satunya pilihan. (Daniel Goleman 2007 : 4). Bagi Paulo Freire, pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, juga dari penindasan dan rasa takut serta keterasingan. Paulo Freire berasal dari keluarga miskin dan tertindas. Pengalaman hidup dan pergulatan intelektual menggiring dia ke dalam pandangan yang memihak kaum tertindas. Dengan keberpihakan yang tegas kepada kaum tertindas, ia melawan struktur sosial yang tidak adil dan diskriminatif yang menyebabkan
kemiskinan
keterasingan.
Pendidikan
dan
kemelaratan
merupakan
serta
pekerjaan
rasa
takut
budaya
dan untuk
mewujudkan dunia. Karena itu, pendidikan harus mampu mematahkan dominasi kekuatan buruk dan mendobrak status quo guna menghasilkan sistem sosial baru yang lebih adil dan manusia. Indonesia sudah memilih jalur pendidikan formal dan informal sebagai upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Dari waktu ke waktu, pendidikan formal terus berkembang dengan peran negara yang semakin besar (UUD 45). Tetapi setelah 63 tahun merdeka, Indonesia masih memiliki 15,4 juta warga buta aksara. Yang memprihatinkan, sekitar 5 % penduduk tidak bisa mengikuti pendidikan SD. Sekitar 2,75 % siswa SD putus sekolah dan SLTP 2,4 %. Tingginya angka putus sekolah disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Data statistik menunjukkan, penduduk miskin masih 35 juta atau 15,5 % dari total penduduk. Tingkat pendidikan pekerja Indonesia jauh dari menggembirakan. Pada Tahun 2007, sekitar 53,5
% pekerja Indonesia paling tinggi
berpendidikan SD. Sedangkan yang berpendidikan SLTP dan SLTA masing-masing 20,3 % dan 19,1 %, yang berpendidikan diploma 2,5 %, dan 3,6 % Universitas.
85
Rendahnya mutu pendidikan kita juga tercermin pada tingginya tingkat korupsi, yang merasuk berbagai lembaga, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dari pusat hingga daerah. Dari uraian ini kita menyadari betapa pentingnya peran pendidikan yang membebaskan manusia dari berbagai penindasan supaya ia mampu melawan kemiskinan, kebodohan, dan keterasingan. (Suara Pembaruan, 2008 : 5). Menurut Wim Tangkilisan, ada sejumlah penting dari pemikiran Paulo Freire bagi pengembangan dunia pendidikan : a. Tidak boleh ada lagi rakyat Indonesia yang tidak memiliki akses untuk mengenyam pendidikan. Sesuai UUD, pendidikan dasar sembilan tahun harus gratis, selambatnya mulai tahun 2009. b. Jumlah pelajaran untuk pendidikan dasar tidak perlu terlalu banyak mata pelajaran. Pelajaran wajib bahasa, matematika, fisika, olahraga, musik, dan etika moral. c. Prioritaskan mata pelajaran tambahan yang sesuai kondisi nyata siswa. Di wilayah agraris dan peternakan, ada pelajaran bertani dan beternak. d. Pentingnnya pendidikan moral dan motivasi. Hasil penelitian menunjukkan, sukses seseorang lebih ditentukan oleh soft skill atau emotional intelligence ketimbang IQ (Inteligence quation) atau hard skill. e. Perkuat pendidikan kejuruan dan seleksi lebih ketat siswa yang ke perguruan tinggi (PT). Hanya siswa yang pandai yang boleh ke PT. Tapi ada pelatihan yang benar bagi siswa kejuruan agar usai tamat bisa langsung dipekerjakan. f. Pentingnya kemampuan guru dan dosen untuk membangkitkan kesadaran para siswa dan mahasiswa untuk terus belajar tanpa henti serta mengembangkan diri setiap hari agar menjadi lebih berkualitas. ( Suara Pembaruan 2008 : hal. 1). Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pemikiran dan prinsip Paulo Freire dapat digunakan untuk menelaah terjadinya pola
86
‘penindasan’ dalam sistem pendidikan di Indonesia. Walalupun dengan latar belakang yang cukup berbeda, ada beberapa pola persamaan mengenai ‘penindasan’ yang dikemukakan oleh Freire di dunia Brasil dengan yang terjadi di Indonesia. Dalam sistem pendidikan yang selama ini ada di Indonesia, disadari atau tidak, telah terjadi dehumanisasi. Dehumanisasi yang terjadi telah terimplikasi dalam proses pendidikan dan aktivitas belajar di sekolah-sekolah – lebih dalam lagi, aktivitas belajar di dalam ruangan kelas – pada umumnya, dengan ciri-ciri, ; adanya ketergantungan, membudayanya budaya bisu, kesadaran kritis yang terkekang, komunitas yang hanya bisa ‘nrimo dan tidak mampu berpikir kritis-analitis, dan mereka sebagai komunitas yang tidak sadar bahwa
sebenarnya
mereka
mengalami
penindasan.
(http:
www.vanillamis.com). Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, peran pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang aktif, jadi adalah sebuah keharusan
menempatkan
pendidikan
manusia
dalam
kelompok
kebutuhan pokok manusia. Sudah sewajarnya pula apabila perhatian secara intensif kita berikan kepada lembaga pendidikan, terutama lembaga formal seperti sekolah, karena dari sini pendidikan anak bangsa direncanakan secara sistematis. Perhatian pemerintah Indonesia berbentuk alokasi anggaran untuk pendidikan sebagai implementasi dari Undang- undang Dasar tentang anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Amanat UUD45 sebagaimana tersebut diatas, memberikan gambaran kepada kita bahwa pembiayaan pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Salah satu masalah pokok dalam hal pembiayaan pendidikan adalah bagaimana mencukupi kebutuhan operasional sekolah di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana melindungi masyarakat (khususnya dari keluarga tidak mampu) dari hambatan biaya untuk memperoleh pendidikan.
87
Bab IV. Pengajaran Agama Kristen dan Pemberdayaan Umat. 1.Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi Didalam Pendidikan Agama Kristen di Sekolah. Pada Bab terdahulu telah dibahas model pendidikan konsientisasi Paulo Freire dengan menganalisa secara eksplisit dan sistimatis. Analisa ini berangkat dari pemahaman terhadap manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam dan dengan dunia. Karena pelaku konsientisasi adalah subjek (makhluk yang sadar), maka konsientisasi – seperti juga pendidikan – merupakan sebuah proses kemanusiaan yang khusus dan eksklusif. Dalam proses kemanusian sebagai makhluk yang sadar, manusia bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama dengan dunia, bersama dengan orang lain. Hanya manusia sebagai makhluk yang ‘terbuka’ yang dapat melakukan transformasi terhadap dunia secara berkesinambungan dengan aksi, pemahaman dan mengungkapkan kenyataan dalam bahasa yang kreatif. (Paulo Freire 1999 : 123). Dalam hal ini manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dia dapat menjaga jarak dengannya secara objektif. Tanpa objektifikasi (objectification) seperti ini, termasuk mengobjektifikasi dirinya, manusia hanya dapat hidup di dunia tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan, yang mampu membebaskan dirinya. Semua ini merupakan refleksi yang akan menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan tindakan di dunia adalah konstituen yang tak terpisahkan dari transformasi dengan pelaku manusia yang menjadi makhluk yang mempunyai hubungan (beings of relations). Kita, gereja dan orang percaya, terpanggil untuk melihat realitas dunia dari perspektif rakyat, terutama dari perspektif mereka yang tertindas dan tersingkir. (DGD 2006 : 6).
88
Kita terpanggil untuk menjadi komunitas-komunitas yang nonkonformis dan transformatif. Kita diajak untuk membiarkan diri kita diubah melalui pembebasan akal budi kita dari cara berpikir imperialis yang egoistik, menaklukan dan mendominasi, sehingga dengan demikian kita melakukan kehendak Allah (sesuai dengan Taurat) yang kita lakukan dalam kasih (agape)
dan solidaritas (Roma 13:10,1 Yoh.3:10-24).
Komunitas-komunitas transformatif diubahkan oleh anugerah kasih Allah. Mereka mempraktikkan ekonomi solidaritas dan saling berbagi (sharing). (DGD 2006 : 6-7). Ciri-ciri kemanusiaan seperti refleksi, kesungguhan, terikat waktu,
transendensi,
kesadaran
dan
aksi,
membedakannya
dari
hubungan binatang dengan dunia. Hubungan binatang dengan dunia tidak kritis; binatang tidak mempunyai proses asosiasi pengalaman. Binatang itu singular, tidak plural. Binatang tidak merumuskan tujuan hidupnya, maka ia hidup pada tingkat immersion dan tidak mengenal waktu (atemporal). (Paulo Freire 1999 : 124). Menjadi
pertanyaan,
mengapa
perlu
model
pendidikan
konsientisasi.? Jawabnya, sebagaimana pertanyaan Antonio Fandes kepada Paulo Freire tentang konsep pembebasan manusia dari buta huruf,
buta
politik,
penindasan,
pembodohan,
diskriminasi,
pembangkangan, pembuangan, yang belum disentuh oleh teori para pemikir (ahli filsafat) ke dalam dunia nyata sebagai interpretasi sejarah yang dapat diubah. Pergumulan
dan
yang
mendorong
Paulo
Freire
dengan
konsientisasi dalam pengakuannya kepada Antonio Fandes, dikatakannya, “Saya mengajar filsafat di universitas, namun di masa itu filsafat itu sudah diinterpretasikan dari segi praktis. Saya dan kolega-kolega saya di jurusan tersebut berusaha untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi di Cile. Kami ingin mengetahui bagaimana caranya gagasangagasan menjadi konkret di dalam aksi-aksi, di dalam mitos-mitos mengenai kelas-kelas sosial di Cile, di antara kaum intelektual Cile. Jadi
89
dengan demikian kami bukan hanya memikirkan mengenai sistem-sistem filsafat besar, mengenai Hegel, Plato dan Aristoteles, tetapi kami pada waktu itu berpikir tentang bagaimana caranya gagasan-gagasan itu mendapatkan bentuk nyata di dalam kegiatan-kegiatan dan pikiranpikiran kaum intelektual dan kelompok-kelompok, dengan tujuan menginterpretasi situasi sejarah dan mengubahnya, atau untuk tidak mengubahnya. Jadi dari segi itu pada waktu itu dari pengalaman saya sudah ada suatu pencarian ke arah kenyataan.” (Paulo Freire 1996 : 7). Konsep analisis Paulo Freire tentang peran aktif manusia memberdayakan dirinya terhadap lingkungannya dimulai dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, manusia sekaligus subjek dan objek bagi dirinya dan terhadap lingkungannya. Adapun cara yang dipikirkan Paulo Freire untuk
membangkitkan
kesadaran
itu
dengan
‘pendidikan
yang
membebaskan – pendidikan hadap masalah – pendidikan demokratis – sebagai pendidikan memanusiakan (pendidikan humanisasi)’. Pendidikan demokratis memberikan kesempatan yang sama pada peserta-didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Tidak semua evaluasi belajar yang mengikuti standar yang dibutuhkan dari atas sesuai dengan situasi belajar-mengajar program pendidikan. Misalnya di dalam bidang kesenian yang diperlukan adalah suatu kemampuan untuk menemukan sesuatu (invention), kemampuan untuk memperluas kreasi seseorang, kemampuan untuk mengadakan hubungan (connection) serta kemampuan untuk memiliki. Sifat-sifat ini tentunya akan sangat sulit bahkan tidak mungkin diadakan evaluasi dari luar tetapi suatu evaluasi diri yang hanya dapat diketahui oleh guru di dalam suatu proses belajar yang berkesinambungan. Dengan demikian standarisasi pendidikan dapat merupakan suatu bentuk penipuan terselubung. Suatu contoh yang gamblang lainnya, misalnya kita lihat di dalam apa yang disebut “sekolah-sekolah plus” yang hanya dapat dimasuki oleh peserta-didik dari golongan ekonomi kaya. (H.A.R. Tilaar 2006 : 136).
90
Standar yang diterapkan di sini adalah suatu standar penipuan yang menjual mutu pendidikan dengan biaya yang tinggi tetapi mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah-sekolah plus tersebut telah mengesampingkan anak-anak dari kelompok sosial ekonomi yang lemah dan oleh sebab itu bertentangan dengan masyarakat Pancasila. Mereka berkedok
di
dalam
pendidikan
yang
berkualitas tetapi
pendidikan yang dibayar mahal dalam arti material dan juga di dalam arti moral. Dalam arti material sekolah-sekolah plus tersebut meminta dana yang sangat besar, dan dalam arti moral sekolah-sekolah plus tersebut telah menyepelekan anak dari golongan masyarakat miskin. Sebenarnya kualitas pendidikan merupakan suatu gambaran dari kemiskinan. Negara-negara
berkembang
sebagai
negara-negara
yang
miskin
mempunyai kualitas pendidikan yang rendah. Peningkatan kualitas pendidikan ternyata tidak terlepas dari peningkatan kehidupan ekonomi dan perbaikan sosial. Peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya dapat dicapai melalui standarisasi pendidikan dalam arti akademik tetapi merupakan bagian upaya yang lebih besar ialah pemberantasan kemiskinan. (H.A.R. Tilaar 2006 : 136-137). Menurut penulis tentang pendapat Tilaar di atas bahwa pola atau model pendidikan seperti ini hanya menciptakan manusia elitis dan terasing dengan dunia sekitar. Pendidikan seperti yang dikatakan Tilaar di atas merupakan pendidikan menara gading, yang membangun piramida pendidikan yang menindas. Kabar gembira dari Paulus adalah bahwa, di hadapan kerajaankerajaan dan kekuasaan-kekuasaan yang ada sekarang ini, sebuah dunia yang lain bukanlah mustahil. Tradisi Kristen, bersama dengan kearifan yang ada dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain, dapat memberi sumbangsih kepada visi kehidupan ini dalam hubungan berkeadilan yang diwujudnyatakan oleh Roh Allah, dan dapat memberi visi yang mengilhamkan alternatif-alternatif (Bdn Rom 12:2).
91
Rasul Paulus menyampaikan nasihatnya kepada jemaat Roma berkaitan dengan diskusinya bahwa Taurat bukan lagi suatu norma untuk kelakukan. Tentu saja ada tuntutan baru bagi kaum beriman, tetapi ini beradasar pada kasih, bukan huku. Tuntutan-tuntutan baru ini berkembang dalam diri pribadi dan merupakan syarat atau stndar. Standar adalah nilai yang diterapkan pada interaksi yang terjadi secara umum antara dua pihak (lihat Galatia 2:11-12). Dalam pemikiran Paulus, hanya ada dua lembaga resmi dan berbeda: pemrintah dan keluarga. Lembaga-lembaga tambahan lainnya yang kita kenal, misalnya lembaga ekonomi, agama, dan pendidikan, melekat dalam dua lembaga formal di atas. Maka nasihat-nasihat yang dialamatkan kepada umat Kristen perdana seringkali berbicara mengenai tantangan hidup sehari-hari yang lebih berkaitan dengan teladan daripada dengan perintah atau tuntutan. (D. Bergant, R.J. Karris 2002 : 264-265). Nasihat ini menunjuk kepada kemampuan, keberdayaan manusia untuk menyadari serta melakukan perubahan dari dan oleh dirinya sendiri. Kita sebagai gereja diajak untuk menciptakan ruang bagi, dan menjadi agen dari, transformasi bahkan pada saat kita masih terjerat dan menjadi bagian dari sistem yang diserukan kita ubah. (DGD 2006 : 6-7). Pemikiran gereja-gereja dunia (DGD) tentang keterlibatan gereja memecahkan persoalan manusia adalah dengan cara mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang berpengetahuan, berakhlak, dan memiliki kommitmen terhadap masalah sosial, ekonomi, dan politik. Maka penurut penulis, bahwa fungsi pengajaran dan pendidikan dituntut secara optimal agar manusia dapat membebaskan dirinya dari segala kuk. Sejarah pendidikan Kristen di Indonesia mempunyai sejarah yang bukan asing bagi pembangunan masyarakat Indonesia baru. Artinya di dalam perkembangan pendidikan Kristen baik sejak jaman kolonial sampai
jaman
kemerdekaan, pendidikan Kristen bukanlah
missi
pendidikan yang eksklusif tetapi yang membantu pengembangan atau terwujudnya
masyarakat
Indonesia
yang
demokratis..
Di
dalam
92
masyarakat majemuk tentunya sifat keterbukaan atau inklusivisme dalam pendidikan Kristen merupakan suatu keharusan. Namun demikian inklusivisme bukan berarti menghilangkan identitas atau ciri khasnya. Inklusivisme justru harus memperjelas isi dan penyusunan visi yang jelas supaya lembaga-lembaga pendidikan Kristen dapat mempunyai identitas yang jelas dan baktinya kepada masyarakat Indonesia. Sesuai dengan kecenderungan masyarakat demokrasi, tentunya sifat keterbukaan pendidikan Kristen juga menuntut adanya partisipasi yang aktif dari masyarakat yang memilikinya. Keterbukaan pendidikan Kristen bukanlah suatu bentuk sekularisme. Sekularisme merupakan suatu ciri yang bertentangan dari suatu sub-sistem yang mempunyai ciri khas Kristen. Pendidikan Kristen sebagai sub-sistem pendidikan nasional bukan hanya milik masyarakat Kristen tetapi juga milik masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu misi pendidikan Kristen bukanlah misi yang eksklusif tetapi yang membantu pengembangan atau terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis. (H.A.R. Tilaar 2000 : 181-182). Pengakuan Tilaar terhadap peran dan fungsi gereja dalam memajukan umat melalui pendidikan Kristen seharusnya dapat dijadikan sebagai pendorong di mana koreksi dan pembaharuan model dan sistim pendidikan yang selama ini telah, sedang, atau belum dilakukan gereja perlu terus menerus diperbaharui. Sebab, sejarah mencatat penginjilan gereja dilakukan dengan pendekatan pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu gereja tidak mengasingkan diri dari masalah pendidikan dan pengajaran. Meskipun Tilaar tidak mengungkapkan bagaimana peran dan keterlibatan para penginjil pada masa gereja mula-mula di Indonesia, khususnya di Tapanuli, tetapi sejarah mencatat prakarsa para penginjil dan gereja membangun pendidikan dapat kita ketahui dari Lehmann Tahun 1918 tercatat : 180.000 anggota yang sudah dibaptiskan, 510 buah sekolah-sekolah dengan jumlah murid 32.700 dengan para pelayan gereja
93
dari pribumi 34 Pendeta dan 788 guru-guru sekolah dan 2.200 para penatua. (Paul B. Pederson 1970 : 66). Sedangkan pada Tahun sebelum catatan Lehmann, menurut catatan Almanak HKBP bahwa Sekolah guru dimulai Tahun 1868 di Parausorat dengan murid pertama 5 orang. Dan sembilan tahun kemudia sekolah ini ditutup dan dipindahkan ke Pansurnapitu tarutung, kemudian tahun 1901 dipindahkan lagi ke Sipaholon dengan nama Seminarium Sipaholon Tarutung. (Almanak HKBP Tahun 2009 : 475).
Istilah
Seminarium mengingatkan akan gagasan seorang tokoh Pietis Jerman Agus Herman Francke di mana beliau dijuluki sebagai pendiri pertama suatu lembaga untuk melatih guru-guru Sekolah. (Robert Ulich 1968 : 26). Dari penjelasan pendapat di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan model pendidikan konsientisasi dalam PAK dilakukan dengan memakai metode penginjilan. Dalam hal ini, kerygma (kabar baik) disampaikan melalui PAK, dan PAK dilaksanakan sekolah untuk mewujudkan kerygma (kabar baik). 1.1.PAK dan Perkembangan Sekolah Kristen. Jenis-jenis sekolah yang diselenggarakan Zending - kecuali yang sifatnya sangat khusus, yakni lembaga-lembaga pendidikan calon pengerja gereja/jemaat pada umumnya sama dengan jenis-jenis sekolah pemerintah. Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain: (a) Baik Zending maupun pemerintah berangkat dari tradisi pendidikan atau persekolahan yang sama, yakni tradisi pendidikan Barat, sehingga jenis-jenis sekolah yang mereka selenggarakan sebagian besar adalah tiruan yang di Barat; (b) Terutama sejak keluarnya peraturan-peraturan subsidi sejak 1890-an, Zending harus memenuhi berbagai persyaratan - mengenai jenis, jenjang, kurikulum, pola dan struktur organisasi, dan sebagainya - agar boleh menerima subsidi; (c) Pemerintah menentukan syarat atau kualifikasi tertentu bagi para lulusan sekolah yang hendak melanjut ataupun memperoleh pekerjaan
94
hal yang harus dipenuhi sekolah-sekolah Zending agar lulusannya boleh mendapat kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah pemerintah. (J.S. Aritonang : 31). Hingga 1870 sekolah-sekolah Zending yang sudah ada dibiayai
Zending
dengan
dukungan
masyarakat
setempat.
Kebijaksanaan dan peraturan pemerintah sejak 1871 memang memberi peluang bagi sekolah-sekolah swasta - termasuk sekolah Zending — untuk menerima subsidi. Tetapi asas netralitas-nya, yang dijabarkan dalam bentuk larangan pengajaran agama di sekolah yang menerima subsidi, membuat Zending menolak tawaran itu, karena Zending menilainya bertentangan dengan asas, tujuan dan kepentingannya bahkan juga dengan sifat dasar masyarakat Indonesia yang religius. Zending menilai kebijaksanaan itu tidak memperhatikan sifat dan kebutuhan masyarakat, dan hanya merupakan penjiplakan mentahmentah dari wawasan dan kebijakasanaan pendidikan liberal di Belanda. Oleh sebab itu hingga dasawarsa 1880-an Zending tetap bertahan menyelenggarakan sekolah-sekolahnya tanpa subsidi, dan ternyata bisa berkembang pesat. (J.S. Aritonang 1988 : 32). Kebijaksanaan dan peraturan pendidikan tahun 1890-an (supra, h. 18) disambut gembira oleh kalangan Zending pada umumnya, karena di satu pihak kebijaksanaan dan peraturan itu tidak melarang pengajaran agama dan di lain pihak Zending sudah semakin kewalahan
membiayai
sendiri
usaha
pendidikannya,
karena
pemekaran wilayah kerja dan pertambahan sekolah-sekolahnya tidak diimbangi dengan kemampuan finansial Zending maupun swadaya masyarakat. (J.S. Aritonang 1988 : 33). Sekolah Kristen dan fungsi-fungsinya : Fungsi sekolah Kristen seperti digariskan dalam Konferensi Nasional Pendidikan Kristen tahun 1970, adalah sebagai berikut, : - Sebagai alat kesaksian dan alat untuk mendemonstrasikan Injil Pemasyuran Kerajaan Allah.
95
- Sebagai alat pelayanan yang terpanggil untuk berpartisipasi dalam meningkatkan pendidikan rakyat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. - Sebagai alat komunikasi antara gereja dan masyarakat, yakni menumbuhkan pengertian tentang keberadaan, sifat dan maksud gereja dan umat Kristen dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat (MPPK, lamp. 1, 19-24 Aug ’70:1) Di
atas
tercantum
tiga
fungsi
sekolah
Kristen.
Dalam
perkembangannya sejak Tahun 1970-1975 yang lalu, tampak adanya pergeseran tujuan. Tujuan PI bukan lagi merupakan satu-satunya tujuan pengadaan sekolah Kristen. Walaupun dalam kenyataan, seperti dikatakan Tanaman : “Warisan pemikiran lama yang seolah-olah hendak menjadikan sekolah Kristen sebagai umpan PI masih terdapat sampai sekarang” (Departemen Pendidikan dan Komunikasi DGI-MPPK, 1-4 Aug ’75:16). Hasil dari pekerjaan zending di bidang pendidikan telah berhasil membuka
mata
masyarakat
Tapanuli
terhadap
kebodohan,
ketertinggalan, dan kekafiran. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pelayanan para zendeling, mulailah tumbuh kesadaran warga jemaat untuk menerima pendidikan Tahun 1883, Johannes Siregar, Markus Siregar, dan Johannes Sitompul,
masuk sekolah Pendeta Tahun 1889,
terbuka pendidikan kepada remaja dan anak-anak. (Almanak HKBP 2009 : 475). Pendidikan zending bukan hanya tentang agama, tetapi mereka juga mendirikan sekolah keterampilan, seperti : sekolah teknik, dan pertukangan di Laguboti dan di Pematangsiantar tahun 1961 (lihat Almanak HKBP 2009 : 479). Dewasa ini untuk melihat sejauhmanakah gereja membangun pendidikan di gereja dapat kita ketahui kebijakannya dalam Tata gereja masing-masing. Penulis mengangkat salah satu contoh kasus tersebut khusus di lingkungan gereja HKBP.
96
Dalam Keputusan Sinode Agung Tahun 1991, ditetapkan : a.).agar ditetapkan peraturan pendidikan HKBP, b.).mengadakan study banding ke sekolah swasta yang sudah lebih maju, c.).meminta modal ke yayasan Universitas HKBP Nommensen,, mengadakan Konferensi Nasional Pendidikan HKBP, d.).membantu sekolah-sekolah yang ada di jemaat untuk memohon guru kepada pemerintah. (Daftar Keputusan Tahun 1991 No. 13. IV. halaman 79-80). Keputusan Sinode Agung Tahun 1991 menetapkan kebijakan tersebut sebagaimana tertuang dalam Aturan peraturan HKBP Tahun 1994-2004, adapun tujuan pendidikan HKBP : a).Mencari pengembangan sekolah HKBP. b).Mengajarkan pengetahuan sesuai dengan kekristenan. c). Membimbing kepada hidup Kristiani. Sedangkan tugas gereja (HKBP), disebutkan : a).Membina sekolah yang ada di Jemaat, Ressort, Distrik, dan
umum
HKBP.
b).Memberi
informasi
ke
jemaat
melalui
perkunjungan, brousur, majalah, tentang sekolah Kristen. c).Memberi tugas kepada pengurus sekolah HKBP untuk membina sekolah-sekolah. d).Memajukan
pengajran
kekristenan
pada
sekolah
Kristen.
e).Mempelajari metode dan tujuan sekolah Kristen. f).Mempersiapkan anggaran sekolah, yang ditetapkan Majelis Pusat. g).Mencari usaha memajukan sekolah dan meningkatkan kwalitas sekolah. i).Menerima tugas dari jemaat, Ressort, Distrik, dan para guru serta mengadakan pembinaan kepada Majelis Ressort untuk mengembangkan sekolah. (Aturan/Peraturan HKBP 1994-2004 : 78-79). Tetapi di gereja HKBP dewasa ini, masalah pendidikan nampaknya kurang begitu jelas lagi digariskan dalam Aturan/Peraturan HKBP jika dibandingkan dengan Aturan/Peraturan pada periode sebelumnya. Sebab kebijakan yang dapat dilihat hanya tiga point, yaitu : Aturan/Peraturan 2002 Bab IV, Pasal 16, ayat 2. Badan Penyelenggara Pendidikan HKBP, : a.). Badan Penyelenggara Pendidikan HKBP adalah organ Pusat HKBP untuk menyelenggarakan seluruh pendidikan HKBP dalam satu sistim yang berorientasi mutu. b.). Badan Penyelenggara
97
Pendidikan HKBP bertanggungjawab kepada Pimpinan HKBP c.). Pendidikan yang beorientasi mutu di HKBP ditentukan dalam kebijakan Dasar Pendidikan HKBP yang ditetapkan oleh Sinode Agung HKBP. Menurut
penulis,
akhir-akhir
ini
HKBP
(khusunya
Aturan/Peraturan HKBP Tahun 2002) belum memiliki visi yang jelas, belum merancang upaya strategis, dan perangkatnya sangat minim dalam memajukan usaha pendidikan HKBP. Sebab hasil konkret yang akan dicapai belum tergambar dalam Aturan/Peraturan dan perangkat lainnya untuk dilaksanakan oleh seluruh lapisan institusi gereja HKBP. Sedangkan Aturan Peraturan 1994-2004 Bab II.A. Pasal 80 tentang pelaksanaan Pendidikan HKBP
lebih mendekati missi kekristenan
sebagaimana bunyi tujuan pada ayat 2, Mengajarkan pengetahuan umum sesuai dengan kekristenan. Dalam hal ini, gereja HKBP mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk memajukan pengajaran kekristenan pada sekolah Kristen (HKBP). Dari uraian di atas penulis berpendapat gereja HKBP pada Aturan peraturan HKBP 1992-2002 yang lebih tegas dan kommit dalam memajukan pendidikan, dibandingkan dengan bunyi Aturan/Peraturan HKBP 2002. 1.2.Model Pendidikan Konsientisasi PAK di Sekolah. Ada beberapa hal yang perlu diketahui untuk mengerti permasalahan sekolah di Indonesia secara lebih jelas. Di Indonesia terdapat tiga jenis pengelola persekolahan, yakni : 1.Sekolah-sekolah
swasta
konfesional,
yang
didirikan
oleh
lembaga
keagamaan dan di mana diajarkan pelajaran agama menurut keyakinan sekolah itu (Sekolah Madrasah Islam, Sekolah Katolik, Sekolah Kristen, dan sebagainya). (Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK). ’81 : 71). 2.Sekolah-sekolah swasta non-konfesional, yakni yang tidak berafiliasi pada suatu lembaga keagamaan manapun. Biasanya sekolah-sekolah itu didirikan
98
oleh organisasi sosial nasional. Contohnya : Taman Siswa, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan sebagainya. 3.Sekolah-sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah. (N.K. Atmadja Hadinoto 1990 : 157). Di sekolah-sekolah jenis kedua dan ketiga diberikan pelajaran agama bagi murid-murid menurut agama masing-masing. Jadi muridmurid Kristen dikumpulkan jadi satu dan menerima pelajaran agama Kristen dari guru Kriten, demikian juga murid Muslim, Buddhis, dan seterusnya (syaratnya harus lebih dari sepuluh murid untuk tiap kelompok agama). Sedangkan di swasta konfesional, seperti sekolahsekolah Kristen, semua murid diwajibkan mengikuti pelajaran agama Kristen. Hal ini ada yang dicantumkan dalam perjanjian dengan pihak orangtua, pada saat memasukkan anak ke sekolah bersangkutan. (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Berita Buana 7 Febr ’85). Dalam kenyataan, banyak sekolah-sekolah Kristen yang muridmurdinya 75% bukan Kristen. Mereka memilih sekolah-sekolah Kristen, karena bermacam-macam motivasi : karena mutu pendidikannya baik (tamatan sekolah tersebut rata-rata nilainya baik dan mudah diterima di sekolah lanjutan, universitas), atau karena tidak diterima di sekolah lain. (N.K. Atmadja Hadinoto 1990 : 157-158). Mengenai pemberian PAK pada ketiga jenis sekolah di atas, tampak ada perbedaan-perbedaan tekanan. Di sekolah Kristen PAK lebih ditekankan pada pekabaran Injil dan penanaman nilai-nilai Kristen. Hal ini mengingat keadaan murid-murid di sekolah Kristen yang heterogen (sebagian besar murid-murid bukan Kristen). Di sekolah negeri dan swasta non-konfesional, ditekankan pada kedewasaan iman bukan PAK sebagaimana yang digariskan oleh UU atau peraturan pemerintah. Artinya lebih bersifat pembinaan iman, karena mengingat murid-murid yang berasal dari keluarga Kristen (Pusat Pengembangan Pendidikan Kristen, ’82:2).
99
Pada dasarnya soal pendidikan agama adalah ‘wewenang dari keluarga’ dan ‘umat agama tertentu’ dan bukan pemerintah melalui instansi sekolah. Kalau pemerintah mulai mencampuri soal doktrin ajaran agama, maka di situ soal kebebasan warga negara dalam beragama yang dijamin oleh UUD ’45 pasal 29, telah dibatasi oleh negara sendiri (Mardiatmadja, Febr ’87). Tugas pemerintah dalam soal penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah adalah ‘subsidier’, dan bukan ‘primer’. Artinya negara menyediakan sarana dan struktur yang memberi kemungkinan
pendidikan
agama
diberikan
secara
bebas
dan
bertanggung-jawab di sekolah, namun pelaksanaannya adalah tanggung jawab jemaat suatu agama tertentu. Di sini kita berhadapan masalah campur tangan Pemerintah yang dinilai terlalu jauh dalam soal-soal agama. Soal keyakinan murid-murid seharusnya wewenang orangtua, umat beragama dan/atau sekolah swasta yang didasarkan pada keyakinan agama tertentu (Mardiatmadja, Febr ’87). Bagaimana mungkin dapat diharapkan out-put pendidikan agama (soal-saoal keyakinan) yang dilakukan sekolah dapat membentuk kesadaran yang mandiri, dan bertanggungjawab apabila di pihak pemerintah masih merasa perlu untuk mengintervensi, mengatur, dan menentukan model, isi, dan kurikulum pengajaran PAK dalam rangka mencapai kwalitas pendidikan. Intervensi pengaturan dan penentu kebijakan mutu pendidikan agama tersebut tercermin dalam PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional, Pasal 8, ayat 3, Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Menurut penulis, lembaga BSNP tidak dapat menjamin mutu pendidikan agama disebabkan oleh masalah agama yang
lebih
berkompeten merancang, dan merumuskan pokok-pokok pengajaran adalah seharusnya oleh lembaga keagamaan itu sendiri.
100
Belum tercerminnya cita-cita pemerintah untuk mewujudkan tujuan pendidikan agama pada tingkat afektif dan psikomotorik, sebagaimana terlihat dalam rumusan
PP 55 Tahun 2007, tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab I, Pasal 1. : “Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.” Maka lebih jauh dapat dilihat penjabaran dan pelaksanaan ketentuan yang dimaksud oleh PP 55 Tahun 2007 ini, tentang isi dan muatan pengajaran pendidikan agama khususnya agama Kristen. Oleh karena itu penulis mengambil salah satu sample dari materi pelajaran agama Kristen untuk Kelas XII (Sekolah Menengah Umum Kelas 3 Semester 1) untuk melihat sejauhmanakah pemerintah merespon unsur konsientisasi dalam materi kurikulum mata pelajaran PAK. Di bawah ini table kurikulum pengajaran PAK,; Pelajaran Agama Kristen di kelas 10 SMA/SMK ini dibahas berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompentensi Dasar dengan masing-masing indikator, judul pelajaran, dan referensi Alkitab sebagai berikut :
101
STANDAR KOMPETENSI Allah Tritunggal dan karya-Nya, dan nilai-nilai kristiani Mewujudkan nilai-nilai kristiani dalam pergaulan antar pribadi dan kehidupan sosial dengan menunjukkan bahwa remaja Kristen bertumbuh sebagai pribadi dewasa yang tidak kehiangan identitas Kompetensi Dasar 1 : Mengalami proses pertumbuhan sebagai pribadi yang dewasa dan memiliki karakter yang kokoh dengan pola pikir yang komprehensif dalam segala aspek. Indikator
Judul
Referensi Alkitab
Pelajaran 1
Luk. 2:52;
indikator manusia
Bertumbuhan menjadi
Mzm. 90:12;
yang bertubuh sebagai
Dewasa.
Pkh. 11:9
Pelajaran 2
Ul.6:1-2; Ams. 1:7, 20-33;
Takut akan Tuhan
Kis. 9:31.
Pelajaran 3
1 Sam. 1-2, 16-17;
Karakter Remaja
1 Sam. 11-12
Menyebutkan
pribadi yang dewasa.
Kristen Mendaftarkan potensi dan kelemahan diri
Pelajaran 4
Yes. 43:4a
Membangun Jati Diri
melalui pikiran, perkataan, dan
Pelajaran 5
Rm. 8:28;
perbuatan serta
Berpikir Positif
Flp. 4:4
Pelajaran 6
Kej. 50:19-21
mendeskripsikannya. Memiliki pola pikir yang komprehensif.
Berpikir Kreatif dan Kritis
102
Kompetensi Dasar 2 :
Pelajaran 7
Luk. 4:1-13;
Menghadapi Tantangan
Ef. 6:10-20
Mengidentifikasi berbagai pergumulan dalam
keluarga dalam kaitannya dengan pengaruh modernisasi. Pelajaran 8
Kej. 1:28; 2:18; Mat. 19:1-
Dasar Keluarga Kristen
12.
kelangsungan hidup
Pelajaran 9
Yes. 43:4;
keluarga.
Cinta Kasih sebagai
1 Kor. 13;
Pengikat Keluarga
Ef. 5:22-6:4
Pelajaran 10
Ef. 5:22-6:4
Mengidentifikasi pengaruh modernisasi terhadap
Menganalisis makna keluarga yang
Pengaruh Gaya Hidup terhadap Keluarga
bertumbuh dalam Kristus. Pelajaran 11
Ul. 6:4-9; Ef. 6:4;
menjaga keutuhan
Tanggung Jawab Orang
Ams. 22:6
keluarga.
Tua terhadap Anak
Berperan aktif
Mengasihi dan menghormai anggota
Pelajaran 12
Kel. 20:12;
Tanggung Jawab Anak
Ef. 6:1-3;
terhadap Orang Tua
Kol. 3:20
Pelajaran 13
Ef. 6:4; Ams. 22:6,
keluarga Mengidentifikasi
103
pengaruh modernisasi
Keluarga dan Sekolah
terhadap
sebagai Lembaga
kelangsungan hidup
Pendidikan
Ul. 6:4-9
keluarga. Memahami pentingnya peran keluarga dan sekolah dalam mendidik anak.
Kompetensi Dasar 3 : Menjelaskan makna kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan identitas. Pelajaran 14
Mat. 4:18-22; 9:9-13;
mewujudkan identitas
Menjadi Murid Yesus
28:19-20; Luk. 9:22-26;
sebagai murid Kristus.
Kristus
14:25-33
Pelajaran 15
Kej. 1:26;
Menghargai Orang Lain
Yes. 43-4;
Menjelaskan cara
Menjelaskan cara mewujudkan sikap menghargai orang lain
Yoh. 8:1-11
sesuai dengan ajaran Yesus Kristus. Bersimpati dan berempati terhadap organg lain.
104
Bersimpati dan berempati terhadap
Pelajaran 16
1 Sam. 18:1;
Persahabatan
Mat. 18:21-22; Mrk.
organg lain.
10:43-44;
Menjalani hidup
Luk. 10:25-37; Yoh.
sebagai remaja Kristen
13:13-15; 15:12-17; 21:15-
secara benar dan suci
19; 1 Kor. 13; Yak. 4:4a.
dalam persahabatan dan pacaran.
Menjalani hidup sebagai remaja Kristen
Pelajaran 17
Mat. 5:28;
Pacaran
Yoh. 15:9; Lbr. 13:4
secara benar dan suci dalam persahabatan dan pacaran. (PGI, BPK 2007 : xvi-xvii) Setelah mencermati dan menganalisa materi pokok (judul pelajaran atau materi yang akan diajar) maka penulis menilai bahwa penekanan tujuan mata pelajaran PAK yang dimuat masih sekitar “pembentukan karakter” (karakter-building). Belum mengajarkan materi “pemberdayaan” dan “konsientisasi”. Misalnya, Kompetensi Dasar 3 : Menjelaskan makna kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan identitas. Indikator, “Bersimpati dan berempati terhadap orang lain”. Materi pelajaran 15, “Menghargai orang lain”. Referensi Alkitab (1 Samuel 18:1, Mateus 18:21-22, Markus 10:43-44). Menurut penulis, kompetensi dasar 3 ini temanya “Pluralisme”. Berdasarkan pendidikan dialogis dan model pendidikan konsientisasi, maka judul pelajaran “Pergaulan majemuk”, dan referensi Alkitab
105
(Kejadian 4:2, 13:8, Imamat 10:4, Markus 6:3, Kisah Rasul 2:29, 2 Samuel 1:26, 2, Tawarikh 31:15, 2 Raja-raja 9:). Apabila kita melihat materi pokok yang diajarkan : “Allah Tritunggal dan karya-Nya, dan nilai-nilai kristiani “ (lihat table di atas “Standar Kompetensi”), dan setelah mencermati Kompetensi Dasar 1, 2, dan 3, terhadap Indikator masing-masing kompetensi dan judul pelajaran (lihat table ‘Kompetensi Dasar’). Maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Standar Kompetensi tidak dicerminkan oleh materi/judul pelajaran sebagaimana yang dimaksud oleh kompetensi dasar dalam indikator 1, 2, dan 3. Topik pelajaran ‘Allah Tritunggal dan karya-Nya’ adalah topik yang bersifat dogmatis, sedangkan dalam penjabaran yang diurai dalam buku tersebut bersifat praktika (nilai-nilai kristiani). Dari analisis kurikulum pendidikan agama tahun 2004 untuk jenjang SMA agama Protestan, penulis menilai bahwa para perumus kurikulum mempunyai maksud
untuk mengantar siswa berwawasan
pluralis. Namun maksud tersebut umumnya Protestan, tidak terjabarkan dalam pengorganisasian materi (materi pelajaran tidak terlihat pengajaran “pluralisme”). Demikian pula standar kompetensi yang diharapkan dicapai siswa juga tidak mencatumkan kemampuan dalam berinteraksi dan mengelola pluralitas agama dalam masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwa dalam kurikulum-kurikulum pendidikan agama tersebut tidak mengusahakan upaya penyadaran tentang realitas kehidupan agama yang majemuk. Dalam
kurikulum agama Protestan tidak menyebut
secara spesifik bagaimana hidup bersama dengan agama-agama lain. Model
pendidikan
konsientisasi
dalam
PAK
di
sekolah
sebagaimana telah dibahas dalam uraian di atas dan kita telah banyak belajar dari Freire dengan ide “pendidikan yang membebaskan”, bahwa sikap tertutup
dari pelajaran PAK terhadap dunia kenyataan yang
dialami sehari-hari oleh pelajar, dan tidak adanya dialektika antara dunia kenyataan dengan tradisi iman kepercayaan dalam proses belajar membawa pelajar
pada “gambar semu tentang kenyataan”. (N.K.
106
Admadja Hadinoto 1990 : 215). Maka model pendidikan konsientisasi dalam PAK di sekolah adalah pendidikan menuju proses humanisasi dan homonisasi sebagaimana dikatakan oleh Romo Mangunwijaya yang dikutip oleh Tilaar ( H.A.R. Tilaar 2000 : 189). 1.3. Peran Guru sebagai Mediasi. Salah satu pemimpin pemerintahan gereja, disebut ; pengajar (Efesus 4:11).
Disebut
pemerintahan
gereja,
karena
pengajar
ditetapkan
berkedudukan setara dengan jabatan lain, seperti : rasul, nabi, dan pemberita Injil. Dan Tuhan Yesus pun disebut sebagai guru (Yohannes 13:13), juga Rasul Paulus tugasnya tidak terlepas dari pekerjaan mengajar (Kisah Rasul 19:8). Peran dan fungsi seorang guru dalam proses belajarmengajar ia menjadi nara sumber, tetapi nara sumber yang harus banyak sekali belajar, ia mengambil tempat di mana ia diperlukan. Murid berpartisipas melalui guru. Guru itu sendiri menjadi medium bagi partisipasi, tetapi ia ditolong dalam tanggungjawabnya oleh media pengajaran yang ada di tangannya. (Iris v Cully 1976 : 125-126). Dari pengertian ini, dapat diartikan bahwa seorang guru merupakan panggilan jiwa yang diamanatkan oleh pemberi mandat, yaitu, untuk melakukan tugas pengajaran dan pemberitaan kabar baik (kerygma) sebagaimana Tuhan Yesus melakukan tugas pemuridan untuk menjadi seorang pengajar (Lukas 6:40). Berdasarkan pemahaman ini penulis sependapat dengan Doni Koesuma A. Bahwa guru bukanlah agen ilmu pengetahuan, bukan agen perubahan, bukan agen pengubah. Tetapi, ia mrupakan bagian dari masalah yang dihadapinya di tengah-tengah realitas dirinya (secara internal) dalam soal ekonomi, sosial, budaya, dan politik, serta masalah di sekitar lingkungan dunia pendidikan itu sendiri (secara eksternal). (Doni Koesuma A. 2009 : 9-11). Akibat realitas masalah yang mengelilingi kehidupan seorang guru, maka peran guru itu lebih tepat diposisikan sebagai mediasi antara pelajaran dan pelajar.
107
Guru adalah pembimbing anak-anak muda agar mereka mampu berdialog dan aktif terlibat dalam kehidupan masyarakat dan membangun dunia. Kalau apa yang diajarkan tidak ada hubungannya dengan tantangan yang ada dalam masyarakat, sekolah bisa kehilangan relevansi dan fungsinya dalam masyarakat. (Doni Koesoema A 2009 : 2). Gereja sangat dibutuhkan perhatian, dan tanggungjawabnya untuk turut serta memikirkan, mempersiapkan, serta melatih tenaga pendidik yang terampil, kreatif, kritis, dan dinamis melakukan tugas-tugas PAK di sekolah. Salah satu segi dari asas kesatuan Gereja dengan sekolah adalah dwi- fungsi guru (bahkan pada mulanya zendeling Eropa sendiri): guru jemaat atau guru injil sekaligus guru sekolah. Untuk mencetak tenagatenaga guru bumi-putera yang mampu berdwifungsi, sejak dini Zending telah memprioritaskan pengadaan sekolah guru atau seminari, yang dalam perkembangannya men-jadi tulang punggung dan dapur utama sistem pendidikan Zending. Itulah sebabnya, ditinjau secara umum, Zending lebih dahulu mendirikan sekolah guru bumiputera daripada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Guru-guru Zending ini sangat berperanan, baik dalam hal pengembangan gereja/jemaat maupun sekolah, kendati pun santunan yang mereka terima jauh lebih kecil dari yang diterima sejawat mereka guru-guru sekolah pemerintah, sementara tugas mereka jauh lebih berat. (J.S. Aritonang : 31). Kegiatan belajar PAK bersifat spiritual. Karena itu bersama murid, guru harus giat berdoa, beribadah, memuji dan menyembah Dia. Guru PAK hanyalah hamba Tuhan. Dia hanya perantara (imam) Sang Raja Kristus dengan murid (1 Petrus 2:9,10). Roh Kuduslah menjadi pengajar sesungguhnya dalam diri orang percaya (Yohannes 16:11-13;1 Yohannes 2:20,27). Pengakuan kita sebagai guru, kepada Pribadi Roh Tuhan ini sangat penting. Kita juga berdoa supaya dipenuhi oleh-Nya (Efesus 5:18), dipimpin dan berjalan menunaikan karya bersama Dia (Galatia 5:16-18). Kita juga harus menjaga diri supaya tidak mendukakan Dia (Efesus 4:30).
108
Atau supaya tidak menghambat pekerjaan-Nya (1 Tessalonika 5:20). Kitab Kisah Para Rasul menyatakan bahwa ketika Roh Kudus hadir dan bekerja dalam hidup komunitas orang percaya, maka proses pembelajaran berlangsung dengan baik dan membawa perubahan hidup. (B.S. Sijabat, file:///D:/TEORI BELAJAR AKTIF DALAM PEMBELAJARAN PAK = Institut Alkitab Tiranus.htm) 2.Penerapan Model Pendidikan Konsientisasi Dalam Pembinaan Warga Gereja (PWG). PWG adalah usaha pendidikan gereja yang bertujuan menolong warga gereja agar bertumbuh dalam iman kristiani sehingga mampu merealasikan iman itu dengan kehidupan dan pekerjaan sehari-hari (Band. Efesus 4:15-16, Kisah Rasul 4:32-37). PWG lahir dari pemahaman ekklesiologis yang secara expresif merumuskan tempat warga gereja dalam hakikat dan missi gereja. Gereja-gereja
di
Indonesia
berpartisipasi
dan
melayani
dalam
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang sedang bereformasi mewujudkan mayarakat berkeadaban (civil society) berdasarkan panggilanNya yang bersumber pada injil Yesus Kristus. Gereja-gereja di Indonesia yang mengikuti teladan Tuhan-Nya yang sudah menjadi manusia bagi sesamanya (band. Kej. 12:1-9 ; Luk 10:25-37). (DGI 1992 : 55). Akhir tahun 1950-an beberapa gereja tertentu telah memiliki gembala pendidikan kader (LPK didirikan tahun sekitar 1958/1959) atau sekarang dengan nama yang lebih populer : Lembaga Pembinaan Warga Gereja (PWG) (IOI, ’81:22-23). Selama ini telah banyak tema dan pokok yang diajarkan kepada berbagai kelompok warga jemaat dan banyak pula hasil-hasil yang dicapai. Sebagai badan yang dibentuk oleh gereja, tetapi berdiri di samping gereja, lembaga-lembaga
seperti
ini
mempunyai
potensi
besar
untuk
menginovasikan sesuatu yang baru dan mencanangkan perubahan yang diperlukan
oleh
gereja.
Misalnya,
PWG
menganggap
perlu
untuk
memperkenalkan gereja pada agama-agama lain yang amat relevan bagi
109
konteks di mana gereja berada. Dan hasil informasi dan refleksi teologis itu dapat dimanfaatkan dalam meninjau ulang berbagai bentuk PAK gereja, seperti : khotbah, katekisasi, sekolah minggu, dan sebagainya. Apakah dalam praktik perubahan dapat dicapai? Tentunya ada faktorfaktor lain yang ikut memainkan peranan. Misalnya, orang tidak akan tertarik mempelajari dan memahami soal pluraritas agama-agama, kalau ia tahu bahwa secara politis dapat membahayakan keamanan dirinya. Mungkin orang sama sekali tidak tertarik, karena selama ini yang ia terima dari gereja hanya sikap sepihak yang menjadikan agama-agama lain sekedar obyek pekabaran injil. Namun bagaimanapun juga, lembaga ini adalah wadah yang ideal untuk memperkenalkan pluralitas agama-agama dan membangkitkan kesadaran akan kepentingan masalah-masalah kemasyarakatan lainnya kepada anggota-anggota gereja. Pokok tentang pluralitas agama-agama selain dalam seminar agamaagama, yang diselenggarakan oleh Komisi Penelitian dan Studi PGI, agaknya masih belum banyak dikenal oleh warga gereja. Berarti dialog antar agama dikuatirkan hanya menjadi ‘kegiatan intelektual dari para pemimpin gereja’ saja. Di sini lalu dirasakan kebutuhan bagaimana ‘mengoperasionalkan’ menjadikannya kegiatan ‘conciliar’ yang makin meluas radiusnya, melalui bermacam-macam kegiatan diskusi kelompok di gereja, konsultasi, seminar mengenai pokok-pokok pergumulan masyarakat, PWG dapat membuka kontak, mengundang berbagai lembaga dan kelompok lain dalam dialog. (N.K. Atmadja Hadinoto 1990 : 176). Karena itu, sebagai langkah pengenalan tentang pemikiran dasar pembangunan jemaat, kita bertolak dari pandangan K.A Schippers. Menurut Schippers, “Pembangunan jemaat adalah bagian dari teologi praktika yang dari segi teoritis mengolah kesalingterhubungan dalam dan keterarahan dari jemaat, demi berfungsinya jemaat itu dalam konteksnya”. Dari formulasi di atas terlihat bahwa secara teoretis pembangunan jemaat mempunyai dua sisi yang terkait erat: keberadaan jemaat dan fungsionalitas jemaat dalam konteksnya. Keberadaan jemaat itu lalu dapat
110
digambarkan
sebagai
sebuah
kesalingterhubungan/kesatuan
elips dan
dengan
dua
keterarahan.
apinya,
Dengan
yaitu
demikian,
keberadaan jemaat dimengerti sebagai satu sistem yang utuh dan terbuka. Sebagai yang demikian, jemaat berada dalam interaksi yang dinamis secara terus-menerus dengan masyarakat yang di dalamnya ia ditempatkan agar justru ia dapat menjalankan fungsinya secara berdayaguna dan berhasilguna di sana. Dalam kaitan ini, segala upaya untuk mewujudkan dan mempertahankan keutuhan yang terbuka dari jemaat dan serentak untuk menyatakan dan mengembangkan fungsionalitas jemaat dalam konteksnya itu berarti tidak lain daripada upaya untuk menjalankan proses perubahan atau proses transformasi jemaat itu sendiri. semua hal ini akan lebih lanjut dituangkan dan dilaksanakan dalam langkah-langkah pembangunan jemaat yang lebih praktis dan operasional sifatnya . Dari pemikiran teoritis dasar itu, Schippers mendefinisikan, bahwa pembangunan jemaat adalah “satu fungsi dasar dari jemaat, yang dengannya jemaat, melalui pelayanan kepemimpinan, membuka diri bagi karunia kehidupan dan pertumbuhan, dan dengan bantuan metode-metode yang tersedia dan cocok, berusaha mewujudnyatakan hakikatnya sebagai jemaat yang sesuai dengan maksud Yesus Kristus di dunia”. (Lazarus H. Purwanto 1999 : 6-7). Pendek kata, pembangunan jemaat bergerak di antara “apa yang ada” (Jer: das Sein; Inggr; what is) dan “apa yang seharusnya” (Jer : das Sollen; Inggr: what should be) mengenai keberadaan dan fungsi jemaat. Dengan perkataan lain,
pembangunan
jemaat
mengusahakan
suatu
proses
perubahan
(transformasi) secara sistematis dan metodis agar jemaat sebagaimana ia ada sekarang berubah menjadi jemaat yang seharusnya. Sementara itu kita perlu mencatat
bahwa
yang
dimaksudkan
dengan
proses
(atau
sistem)
transformasi jemaat adalah keseluruhan dari cara-cara dan sarana-sarana yang melaluinya jemaat mentransformasikan “bahan-bahan mentah“ yang diperolehnya (misalnya : manusia, uang, pengetahuan teologis dan nonteologis, teknologi) menjadi “hasil-hasil” yang diinginkan misalnya :
111
pertobatan, spiritualitas, pelayanan sosial, pekabaran injil. (Lazarus H. Purwanto 1999 : 11). Ada empat peristiwa sebagai tindakan yang dibuat Allah untuk menyatakan bahwa Ia tetap melakukan tindakan untuk menyelamatkan bahwa dengan demikian menghadirkan umat-NYA, yakni peristiwa kematian, kebangkitan, kenaikan Tuhan Yesus dan peristiwa turunnya Roh Kudus. Dengan demikian lahirnya umat atau dalam hal ini Gereja terpaut dengan pengutusan Yesus Kristus ke dalam dunia. Gereja bukanlah orangorang yang terpanggil lalu diasingkan dari dumia ini. Ia justru dihadirkan di tengah-tengah tantangan bahkan ancaman yang berkecamuk di dunia ini (Yoh 17:11 , 14-19). (O.E.Ch. Wuwungan 1997 : 114). Warga jemaat yang diberdayakan sebagai orang yang diselamatkan ia berada
dalam
konteks
sejarah,
yang
senantiasa
terbuka
terhadap
pembaharuan yang Tuhan hendak adakan melalui gerak Roh Kudus. Persekutuan dapat diartikan sebagai ketergantungan bersama kepada Kristus
dan
kesalingtergantungan
di
antara
sesama
warga
jemaat.
Kesalingtergantungan ini dapat tercapai dalam jemaat jika di antara mereka ada pengakuan karunia yang dimiliki masing-masing dan menyadari bahwa mereka saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu perbedaan peran dan fungsi dalam jemaat sangat dihargai sehingga dalam gereja sebagai persekutuan kaum awam pun diberi peran menurut fungsi masing-masing dalam kesederajatan. (O.E.Ch. Wuwungan 1997 : 115). Pembaruan tersebut
adalah suatu penataan yang memulihkan,
meningkatkan, memelihara rasa-kebersamaan yang mengantar kepada kesejahteraan bersama. Hukum Taurat mengatur hidup bersama di Perjanjian Lama supaya kesadaran umat ‘baik’ dan Tuhan membiarkannya ‘hidup’ (Ulangan 6:24-25), begitu pula hukum kasih, yang dikatakan bahwa seluruh Hukum Taurat dan kitab para nabi tergantung padanya (Mateus 22:37-40). Kesempurnaan dan kekudusan Allah tersebut harus dipancarkan umat (Mateus 5:48, Imamat 20:26). Tidak dapat diingkari bahwa dalam dalam prakarsaNya Tuhan menciptakan umat yang mencerminkan suatu ‘orde’
112
baru bagaikan tubuh yang segala organnya berfungsi dengan ‘rapih’ dan ‘serasi’ (Ef 4:11-16, I Kor 12: 27-28). (O.E.Ch. Wuwungan 1997 : 116). Persekutuan jemaat dikiaskan sebagai Tubuh Kristus ( I Kor 12:12 dan Roma 12: 4-8). Penggambaran sebagai tubuh Kristus, menurut Paimoen menandakan bahwa keberadaan dari anggota Tubuh Kristus yang berbeda bentuknya dan fungsinya, akan menyebabkan interaksi timbal-balik, yang akan menimbulkan rasa saling berbagi. Hal tersebut akan menyebabkan saling bergantung dan saling membutuhkan (Eddy Poimoen . Cipanas 1997 :143). (Eddy Poimoen 1997 : 143). Bertitik dolak dari pemahaman model pendidikan konsientisasi PAK dalam memberdayakan umat, maka PWG sebagai bagian yang integral dari kegiatan dan program gereja, menurut penulis kegiatan yang harus dilakukan untuk mewujudkan jemaat yang missioner tersebut, adalah : a. Membangkitkan kepedulian warga jemaat terhadap masyarakat yang membutuhkan pertolongan, lewat khotbah, PA, dan diskusidiskusi, Seminar, sehingga warga jemaat semakin memahami dan memiliki kesadaran bahwa penderitaan orang lain yang berbeda keyakinan/agama
adalah
tanggungjawab
gereja
untuk
mengatasinya. b. Mendorong warga jemaat yang berpotensi untuk terlibat dalam pelayanan sosial. Mereka yang mempunyai kehidupan yang lebih baik untuk mendukung pendanaan program sosial gereja. c. Membentuk jaringan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Karena gereja memiliki keterbatasan sumber daya manusia, mungkin lembaga lain akan dapat menolong gereja untuk membangun kerja sama dalam bentuk pelaksanaan program pemberdayaan umat. d. Mengajak warga jemaat yang potensial untuk pelayanan terhadap yang
membutuhkan
pertolongan.
Yang
diharapkan
dapat
berpartisipasi dalam pelayanan tersebut adalah mereka yang
113
memiliki keahlian di bidang Hukum, Psikologi, Tehnik, Ekonomi, Kesehatan, dan Teologi. e. Menyususn kurikulum atau materi pembinaan. Kurikulum atau materi pembinaan yang akan disusun harus didasarkan atas model kader yang diinginkan. Kurikulum/materi sangat menentukan model kader yang hendak dilahirkan lewat pembinaan-pembinaan yang dilakukan. f. Mengadakan program studi banding ke lembga-lembaga atau gereja atau jemaat yang dianggap mempunyai keunggulan tertentu yang dapat diteladani gereja. g. Melaksanakan
seminar-seminar
dengan
topik
khusus
yang
membentuk pandangan para ahli sehingga umat dapat menemukan sikap sendiri terhadap satu masalah. Memperhatikan kegiatan-kegiatan yang diprogramkan di atas, jelas bahwa kegiatan-kegiatan tersebut membutuhkan keterlibatan banyak orang untuk menanganinya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan terlaksana dengan baik jika didukung oleh banyak warga jemaat lewat kesediaan dan partisipasi dalam penanganannya. Hal tersebut dapat terlaksana jika struktur dan wawasan kepemimpinan gereja terbuka untuk menampung keinginan tersebut.
114
Bab V. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pendidikan Agama Kristen dalam konteks pendidikan di Indonesia, di mana pemikiran dan prinsip Paulo Freire dapat digunakan untuk menelaah terjadinya pola ‘penindasan’ dalam sistem pendidikan di sekolah dan gereja. Walalupun dengan latar belakang yang cukup berbeda, ada beberapa pola persamaan mengenai ‘penindasan’ yang dikemukakan oleh Freire di dunia Brasil dengan yang terjadi di Indonesia. Dalam sistem pendidikan sekolah yang selama ini ada di Indonesia, disadari atau tidak, telah terjadi dehumanisasi. Dehumanisasi yang terjadi telah terimplikasi dalam proses pendidikan dan aktivitas belajar di sekolahsekolah – lebih dalam lagi, aktivitas belajar di dalam ruangan kelas – pada umumnya, dengan ciri-ciri yang sama seperti yang sudah dikemukakan dalam tesis ini, adanya ketergantungan, membudayanya budaya bisu, kesadaran kritis yang terkekang, komunitas yang hanya bisa ‘nrimo dan tidak mampu berpikir kritis-analitis, dan mereka sebagai komunitas yang tidak sadar bahwa sebenarnya mereka mengalami penindasan. Demikian juga halnya di gereja, pemahaman kita terhadap gereja yang hanya mengartikan missi gereja pada soal-soal ibadah formal, dan rutinitas kegiatan gereja semata, ditandai dengan kebaktian, dan program pelayanan kategorial, serta pembangunan fisik gereja. Tetapi, gereja mengabaikan model pendidikan yang memberdayakan, membebaskan, dan membangun umat. Sikap pengabaian seperti ini sesungguhnya gereja sedang terjebak dalam perilaku yang menindas pertumbuhan iman warganya. Terbuktilah, meskipun dalam uraian dipaparkan penulis tentang pemikiran Paulo Freire terjadi dalam konteks di Amerika Latin di mana dalam suasana pergumulan, dan perjuangan hidupnya sehingga melahirkan model pendidiakan konsientisasi yang diterapkannya di negaranya sendiri. Namun, permasalahan seperti di Amerika Latin tidak jauh berbeda di negara Indonesia ini. Hal ini dibuktikan oleh penulis berdasarkan penelitian literatari secara
115
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun kenyataan yang masih dilakukan, dan dialami gereja tentang masalah PAK sebagai pemberdayaan umat di sekolah dan di gereja. Ternyata model, sistim, dan kurikulum PAK yang dilakukan oleh sekolah dan gereja belum mampu memberdayakan umat. Hal ini dapat dibuktikan misalnya, rendahnya angka partisipasi pendidikan dan kwalitas sumber
daya
manusia
Indonesia,
tingginya
angka
putus
sekolah,
meningkatnya jumlah pengangguran setiap tahun. Demikian halnya di gereja misalnya : gereja hanya terlena melakukan tugas rutinitas ibadah formal, semakin redupnya keberadaan sekolah-sekolah Kristen, menipisnya pergaulan yang pluralis. Padahal sesuai dengan pesan Alkitab salah satu tugas gereja dalam penginjilan adalah mengajar dan mendidik, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, : “ Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mateus 28:18-20). Berangkat dari masalah penindasan yang terjadi selama ini di sekolah dan gereja, maka penulis mencoba mengkaji, dan menganalisis model pendidikan konsientisasi di kala PAK dalam memberdayakan umat. Dan setelah membahas pokok-pokok pikiran pendidikan konsientisasi Paulo Freire, serta mengkonfrontir dengan teori pendidikan secara umum, maupun menurut Undang-undang pemerintah terhadap model pendidikan agama Kristen, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan : 1. Pendidikan adalah upaya sadar manusia yang berlangsung secara terus menerus untuk merubah pola, dan nilai-nilai kebudayan, serta kemanusiaan : dari yang tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari yang buta huruf menjadi melek huruf, dari keterbelakangan dan
116
ketertinggalan menuju hidup yang maju dan modern, dari hidup yang tertindas menjadi merdeka. Dan untuk mewujudkan cita-cita manusia ke arah perubahan hidup yang memiliki harkat dan martabat, maka dibutuhkan model, dan sistim pendidikan yang menyadarkan (dalam hal ini penulis menawarkan model pendidikan konsientisasi Paulo Freire). 2. PAK adalah pengajaran Alkitabiah kepada gereja dan orang percaya, di mana tugas dan tanggungjawab kita sebagai orang percaya menjadikan semua bangsa agar menjadi murid Tuhan Yesus untuk melakukan kehendak-Nya. Agar manusia dapat melakukan kehendak Bapa di surga, gereja harus mengajarkan dan mendidik warganya tentang Firman Tuhan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam sistim kurikulum yang berdayaguna dan berhasil guna. 3. Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Pendidikan kritis tidak mungkin atau susah direalisasikan jika guru sebagai ujung tombak pembelajaran tidak memahami hakikat pendidikan kritis itu sendiri. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya.
Langkah
pertama
yang
paling
strategis
adalah
memperbaiki konsep kurikulum PAK di gereja, sekolah dan lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Langkah kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari paedagogik ke andragogik. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri. Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar. Langkah ketiga adalah mengoptimalkan
peran dan fungsi institusi
penyelenggaran pendidikan. Kecurigaan kita terhadap pemerintah dan gereja kurang memperhatikan dan memajukan dunia pendidikan. Karena pendidikan dianggap menyerap dana cukup besar, dianggap tidak memberi keuntungan finansial. Pada hal pendidikan adalah investasi masa depan Bangsa dan Gereja.
117
4. Penerapan model pendidikan konsientisasi di gereja dan sekolah akan membawa dampak memanusiakan manusia (humanisasi) secara utuh, berdaulat, demokratis, mandiri, dan bertanggungjawab. Dengan demikian, penanaman nilai penyadaran melalui proses pendidikan sebagaimana yang dibahas oleh penulis akan menghasilkan produk pendidikan yang anti penjajahan, dan penindasan. Gereja dan juga prinsip Negara yang berdaulat memiliki pandangan yang sama bahwa manusia diciptakan supaya merdeka dari segala bentuk penjajahan dan penindasan terutama merdeka dari kuk dosa (Band. Galatia 3:28). 5.
Pelaksanaan PAK dalam gereja juga tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih memprihatinkan sebab justru dalam gereja pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan yang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu dan Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan dalam konteks yang berbeda dengan konteks Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk “membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat. Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”.?
118
Saran-saran. 1. Pemerintah hendaknya memahami pendidikan konsientisasi sebagai cara untuk mempercepat kedalaman, dan ketajaman proses memanusiakan (humanisasi) siswa didik. Sehingga ketika menyusun kurikulum agar unsur, dan materi pelajaran lebih banyak menekankan pokok-pokok pengajaran yang dapat memberdayakan siswa (unsur penyadaran). Tetapi bukan bermaksud meniadakan unsur kognitif dan afektif. 2. Gereja hendaknya tidak hanya asyik dengan program rutinitas pelayanan yang verbalistik ; ibadah, pelayanan kategorial seadanya, dan pembangunan gedung gereja. Model pelayanan gereja seperti ini hanya menempatkan warga gereja sebagai objek pelayanan. Pada hal, warga gereja adalah pelaku Firman (Band. Jakobus 1:22). Oleh karena itu, gereja sebaiknya berkenan memperbaharui model pengajaran Firman Tuhan dalam Pembinaan Warga Gereja (PWG). Sebab menurut penelitian penulis dalam tesis ini bahwa buku pembinaan warga gereja masih dalam bentuk deskriptif (uraian secara tafsiran, semi khotbah). 3. Di dalam penyediaan materi kurikulum PAK di sekolah, ternyata ada terdapat ketidak sesuaian di dalam Kurikulum PAK Tahun 2004, yaitu, antara
materi
kompetensi
dasar
dengan
materi
pokok-pokok
pengajaran. Penulis memberikan saran untuk diperbaiki, khusus materi pokok pengajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang dapat menumbuhkan kesadaran (lihat Bab VI, Tabel Kurikulum matapelajaran PAK Kelas X SMU/SMK, “Standar Kompetensi”, Indikator, dan Judul). Misalnya, supaya dalam materi pelajaran mengajarkan model dan cara Tuhan Yesus mengajar murid-murid atau khalayak ramai yang memakai metode dialogis, seperti yang terdapat dalam Injil Lukas 10:1722.
119
Jakarta, 22 Oktober 2009. Sunggul Pasaribu. Mhs. Pasacasarja PAK UKI.
120