DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………….…………………….…………………... i LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………………. ii KATA PENGANTAR .............................................................. …………………….…..... iv ABSTRAK ................................................................................ …………....................... vi BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ...…………………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah ………..………………………………………………... 7 C. Tujuan Penelitian ……….………………………………………………….. 8 D. Manfaat Penelitian ……….………………………………………………… 8 E. Metode Penelitian ………….………………………………………………. 9 F. Sistematika Pembahasan……..……………………………………………. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….…………………………………………….. 14 A. Pengertian Perkawinan …….……………………………………………. 14 B. Asas-asas Perkawinan………..……………………………………….……...19 C. Syarat-syarat Sahnya Perkawina……………………………………………. 28 D. Sejarah Perkawinan di Indonesia ..…………………………………………. 37 E. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak ………………………… 44 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………….………………….... 49 A. Keabsahan Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam …..……………… 49 B. Keabsahan Nikah Sirri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 …………..….………………………………….…………….. 58 C. Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin (Nikah Sirri) ……………. 65 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .…………………………………………………. 72 A. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 72 B. Saran …………………………………………………………………………. 76 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 77
ABSTRAK Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Laporan Penelitian Mandiri, Register Perpustakaan Pusat Unisma No. 907, 17-12-2014) Abdul Rokhim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai: (1) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif hukum Islam; (2) Keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan (3) Perlindungan hukum terhadap Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka ini hanya menggunakan data sekunder yang dalam penelitian hukum normatif disebut bahan-bahan hukum (legal materials), yang mencakup: (1) bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan; (2) bahan hukum sekunder, meliputi bukubuku dan kitab-kitab hukum (fiqh), dokumen-dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan; serta (3) bahan hukum tersier, berupa kamus dan ensiklopedi hukum. Berdasarkan studi pustaka, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Karena itu, masalah pencatatan perkawinan secara hukum dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan, termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Hal ini maka hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan
status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah atau negara. Padahal hal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara. 2. Rumusan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masih menimbulkan kontroversi dan multi-interpretasi di kalangan para ahli hukum. Kontroversi dan perbedaan pendapat tentang rumusan pasal tersebut pada dasarnya terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, pendapat yang menganggap pencatatan perkawinan termasuk salah satu syarat sahnya perkawinan. Berdasarkan perdapat ini, “nikah sirri” (perkawinan yang tidak dicatatkan) adalah tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang. Sedangkan, pendapat kedua menyatakan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah pelengkap untuk kepentingan administrasi yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Dengan mengacu pada pendapat kedua ini, “nikah sirri” adalah sah hukumnya, hanya saja persyaratan administrasinya dalam bentuk pencatatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang belum dilakukan. Pencatatan nikah ini sama sekali tak ada hubungannya dan tak mempengaruhi keabsahan perkawinan, meskipun dari segi pembuktian lemah dan dari segi kepastian hukumnya “nikah sirri” tidak dijamin oleh ketentuan undang-undang. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, “nikah sirri” termasuk perkawinan yang sah, apabila hal itu dilakukan menurut hukum agamanya. 3. Menurut 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai hubungan keturunan (kekeluargaan) dan hubungan waris dengan bapak biologisnya. Sebab, menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja, ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai
satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin, termasuk anak yang lahir dari nikah sirri, membawa implikasi yang tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM tidak boleh ada perbedaan di antara keduanya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Anak Luar Kawin; Hak Asasi Manusia