ABSTRAK Nama
: Walfrid Hot Patar Simanjuntak
Program Studi
: Hukum/Hukum Tentang Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat
Judul Skripsi
: Gugatan Ganti Rugi Terhadap Tindakan Penyitaan Penyidik Atas Dasar Perbuatan Melawan Hukum Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad)
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan berdasarkan undang-undang. Benda-benda yang dapat disita harus memiliki keterkaitan dengan tindak pidana. Pelampauan kewenangan dalam melakukan penyitaan yakni dengan menyita benda-benda yang tidak berhubungan dengan tindak pidana yang disangkakan merupakan perbuatan melawan hukum. Orang yang merasa dirugikan berhak untuk menuntut ganti rugi karena tindakan ini dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kapasitasnya sebagai penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Kata Kunci: Penyitaan, Pelampauan kewenangan, Perbuatan Melawan Hukum Penguasa ABSTRACT
Name
: Walfrid Hot Patar Simanjuntak
Program Study
: Law
Title
: Compensation Claim for Seizure Action Investigators as Tort by Goverment
Investigators Corruption Eradication Commission (KPK) has the authority to seize based on regulation. Objects that can be seized should have relevance to the crime. Abuse of power on seizure which seize things that have no relation to an offense may be alleged to cause tort. The person whose rights are aggrieved may submit a claim on damages due to unlawful seizure which done by KPK, on its role/standing as the goverment. Keywords: Seizure, Abuse of Power, Tort by Goverment
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan dan pengembangan peristiwa pidana membutuhkan langkah-langkah investigasi yang harus mampu menggali kebenaran atas kejadian-kejadian pada peristiwa tersebut. Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikannya diberikan hak istimewa oleh kosntitusi untuk memangil, memeriksa, menangkap dan menahan tersangka serta menggeledah lalu menyita barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.1 Berbicara mengenai upaya paksa penyitaan, ini merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan investigasi atau penyidikan. Penyitaan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah inbeslagneming.2 Pada prinsipnya, penyitaan bukan serta merta menjadi suatu bentuk penghukuman, meskipun secara teori yang mendasari dilakukannya penyitaan ini, memang bisa dilakukan untuk merampas keutungan finansial pelaku kejahatan yang bersumber dari perilaku sosial yang tidak dapat diterima.3 Penyitaan dibutuhkan dalam rangka pengejaran atau pencarian pelaku tindak pidana untuk menghasilkan bukti-bukti untuk penuntutan suatu dugaan tindak kejahatan.4 Jika benda sudah diamankan dan ditempatkan dalam penguasaan petugas, maka statusnya menjadi benda sitaan. Oleh karena itu, untuk sementara seseorang dilarang untuk melakukan pemindahan, pengubahan, pengaturan atau pengalihan aset-aset atau keuntungan-keuntungan ekonominya tersebut.5 Namun, meskipun demikian tetap terdapat limitasi dalam melakukan penyitaan ini yakni setiap orang berhak untuk dilindungi dari penyitaan yang tidak beralasan.6 Pertanyaan timbul, ketika ditemukan fakta di lapangan terdapat penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dari salah satu lembaga penegak hukum Indonesia yakni Komisi 1
M.Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 95. 2
Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hlm. 69.
3
Michael Levi and Lisa Osofsky, Investigating, Seizing and Confiscating the Proceeds of Crime, (Crime Detection and Prevention Series), (London : Home Office Police Research Group, 1995), page 12. 4 5
http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Search+and+Seizure, diunduh 8 Maret 2013. www.usip.org/files/.../MC1-Part1Section13.pdf, diunduh 8 Maret 2013.
6
Charles A Reynard, Fredom from unreasonable search and seizure a second class constituional right? (Indiana Law Journal Vol. 25 Issue 3 Article A), hlm. 259.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang justru kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi kepada lembaga yang bersangkutan. Permintaan ganti rugi yang dialamatkan pada KPK ini dilakukan dengan menggunakan jalur hukum perdata yakni gugatan perbuatan melawan hukum. Menurut penggugat, KPK telah melanggar pasal 1365 Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (KUHPerdata) yakni dengan melakukan perbuatan melawan hukum dalam kapasitasnya sebagai penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Gugatan ini diajukan oleh orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri yakni Syarifuddin. Syarifuddin adalah seorang hakim pengawas dalam perkara kepailitan PT. Skycamping Indonesia yang terlibat dugaan penyuapan. Berdasarkan surat perintah penyelidikan dari pimpinan KPK tertanggal 29 April 2011 yang ditujukan kepada 18 penyidik KPK atas nama Jus Marfinnoor dan kawan-kawan, penggugat diselidiki atas pertimbangan “penelaahan atas dugaan tindak pidana korupsi berupa pemberian sesuatu kepada hakim pengawas pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas perkara kepailitan PT. Skycamping Indonesia.” Sebagai lembaga yang memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka dan terdakwa pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga ini mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional dan berkesinambungan.7 Penyelidik, penyidik dan penuntut umum dari lembaga ini juga diberikan kewenangan seperti yang diatur oleh KUHAP. Hukum pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada undangundang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana materiil juga memuat hukum pidana formil.8 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.9 Artinya dalam hukum pidana formil korupsi diatur hal-hal khusus tertentu saja, sedangkan secara umum tetap berdasarkan hukum acara pidana dalam kodifikasi (KUHAP). Gugatan tersebut berawal dari penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 1 Juni 2011 di kediaman
Syarifuddin di
7
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 183.
8
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2008), hlm. 5.
9
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, UU. No. 31 Tahun 1999, LN No.140 Tahun 1999, TLN 3874, Pasal. 26.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
kawasan Sunter, Jakarta Utara. Penyitaan dilakukan sebanyak dua kali dimana yang kedua dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2011. Penyitaan dilakukan setelah sebelumnya, beberapa orang telah melakukan pengintaian di kediaman penggugat. Pada saat itu petugas mengamankan uang yang diduga sebagai bentuk suap yang ada di dalam tas merah dan sejumlah uang lain dalam bentuk pecahan mata uang asing maupun rupiah serta benda lain yakni berupa berkas perkara pidana yang kemudian dibawa ke kantor KPK untuk diamankan. Adapun dalil pada gugatan ini adalah bahwa ketika melakukan tugasnya, penyidik telah melanggar hukum dengan menyita dan menahan benda-benda atau lebih tepatnya harta kekayaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkara korupsi yang sedang disangkakan kepada dirinya saat itu. Berdasarkan dokumen-dokumen hukum yang dibuat oleh KPK seperti berita acara penyitaan, berita acara pemeriksaan dan publikasi tergugat sendiri kepada publik didapatkan fakta bahwa tersangka hanya diduga menerima suap dari seorang kurator. Sementara pertimbangan mengenai uang pribadinya yang turut disita tidak pernah didasarkan atas suatu sangkaan tindak pidana apapun. KPK bahkan pernah bermaksud untuk mengembalikan sebagian kecil dari harta benda milik Syarifuddin yang telah disita tersebut karena dinilai tidak memliki keterkaitan dengan delik yang disangkakan kepada penggugat. Oleh karena penyitaan yang melewati batas kewenangan tersebut, penggugat merasa hak subjektif yakni berupa hak kebendaanya telah dilangggar oleh KPK. Ternyata, seiring berjalannya pemeriksaan atas dirinya bahwa barang bukti berupa uang pribadi baik dalam bentuk mata uang asing dan rupiah yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah itu tidak disebutkan dalam dakwaan penuntut umum dan pengadilan pun dalam amar putusannya menyatakan bahwa benda-benda tersebut tidak berhubungan dengan perkara. Penggugat yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhkan vonis dengan pidana penjara selama empat tahun penjara karena terbukti telah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan keempat penuntut umum yakni: Menerima sesuatu berupa uang tunai sejumlah Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) tunai dari Puguh Wirawan S.H selaku kurator PT. Skycamping Indonesia (dalam pailit) karena atau yang berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, yaitu Terdakwa yang ditunjuk sebagai hakim Pengawas dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit PT. SCI (dalam pailit) telah membantu kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit PT. SCI (dalam pailit) dengan menyetujui tindakan kurator menjual asset Boedel Pailit SHGB 7251 secara Non Boedel Pailit tanpa penetapan
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
pengadilan yang merubah Penetapan Hakim Pengawas Nomor.01/Pembatalan Perjanjian Perdamaian /2008/PN. Niaga. Jkt.Pst tertanggal 9 Desember 2008 yang menetapkan aset SHGB 7251 sebagai aset boedel pailit padahal terdakwa mengetahui bahwa aset tersebut adalah boedel pailit. Selain menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Syarifuddin, salah satu amar putusan majelis hakim pada saat itu adalah memerintahkan agar barang bukti yang disita selain uang suap Rp.250.000.000,- dikembalikan kepada Terdakwa Syarifuddin sebagai pemilik.10 Sementara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa perkara terkait gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Syarifuddin pun menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pihak tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan penyitaan aset yang tidak terkait dengan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh penggugat sehingga menimbulkan kerugian terhadap Syarifuddin. Majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi berupa kerugian immateriil sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah). Bantahan dari tergugat yang mengatakan tindakan tersebut dilakukan karena dilandasi dengan ketentuan pada undang-undang tidak diterima oleh majelis hakim sehinga memutuskan amar yang mengalahkan tergugat. Setelah putusan itu dijatuhkan penggugat mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tingi Jakarta. Tetapi, terhadap putusan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Jakarta justru berpendapat lain. Pertimbangan dan amar putusan yang dijatuhkan bertolakbelakang dengan putusan pada tingkat pertama. Dalil yang disampaikan oleh tergugat menjadi hal yang dipertimbangkan disini dan majelis sependapat dengan alasan tergugat. Pada tingkat banding, hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan alasan hakim dalam perkara perdata sehingga hakim dalam perkara perdata tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memutus perkara aquo. Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan meneliti dan melakukan kajian mengenai apakah memang terdapat perbuatan melawan hukum dalam tindakan penyitaan yang dilakukan oleh pihak penyidik KPK terkait penanganan kasus kejahatan tindak pidana korupsi sehingga dapat dijadikan dasar gugatan untuk menuntut ganti rugi terhadap pelaku. Pelaku yang dimaksud disini adalah penyidik itu sendiri yang melakukan tugasnya atas nama KPK. Penulis juga akan menganalisis mengenai tuntutan pengembalian benda yang telah disita dan ganti rugi atas penyitaan yang tidak sah oleh penyidik dengan menggunakan upaya 10
Berdasarkan putusan pidana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor 54/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST atas nama terdakwa H. Syarifuddin, S.H, M.H, yang diucapkan di persidangan pada tanggal 28 Februari 2012.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
hukum perbuatan melawan hukum karena mengingat di dalam hukum acara pidana terdapat lembaga hukum praperadilan yang bisa dipergunakan. 1.2 Pokok-Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang timbulnya gugatan perbuatan melawan hukum karena tindakan penyitaan terhadap benda-benda yang tidak terkait dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik maka dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap benda-benda yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang disangkakan dapat didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sehingga dijadikan sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi? 2. Bagaimana pendapat pengadilan terhadap gugatan yang diajukan dalam hal terjadi penyitaan yang menimbulkan kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum dalam perkara Syarifuddin melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisa tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap benda-benda yang tidak terkait dengan tindak pidana yang disangkakan dapat dijadikan sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi dengan mendalilkannya sebagai Perbuatan Melawan Hukum. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa pendapat pengadilan terhadap gugatan yang diajukan dalam hal terjadi penyitaan yang menimbulkan kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum dalam perkara Syarifuddin melawan Komisi Pemberantasan Korupsi. 1.4 Defenisi Operasional Penulis akan menggunakan beberapa istilah yang terkait penyitaan. Agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran maka defenisi yang akan digunakan oleh Penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.11 11
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
hlm. 29.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
2. Kerugian adalah ketiadaan penerimaan suatu keuntungan, yang mula-mula diharapkan si korban (winstderving) sebagaimana diatur dalam pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.12 3. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.13 4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.14 5. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. 6. Barang Bukti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik.15 7. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 8. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan.16 12
Ibid., hlm. 71.
13
Indonesia (b), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981 TLN No 3209, Pasal 1 angka 1. 14
Ibid., Pasal 1 angka 2.
15
Andi Hamzah (b), Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hlm. 100.
16
Indonesia (c), Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PP No. 27 Tahun 1983, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Pasal 1 angka 3.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
9. Keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah bilamana ada kekhawatiran bahwa benda yang patut disita segera akan dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dalam waktu singkat.17 1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian perbuatan melawan hukum penguasa terhadap penyitaan penyidik ini adalah metode yang nantinya bertujuan untuk mengetahui norma hukum tertulis terkait dengan perbuatan melawan hukum dan penyitaan. Penelitian ini akan mengacu pada berbagai peraturan peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan lain yang terkait maupun pada doktrin. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sifat dari penelitan ini adalah yuridis normatif. Penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif adalah penelitian hukum yang mencakup penelitian terhadap prinsipprinsip hukum dan sistematika hukum serta sejarah hukum yang dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan terkait dan bahan pustaka dalam melakukan analisa terhadap permasalahan. Metode pengolahan dan menganalisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengolahan data seperti ini memusatkan kepada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang dianalisis, gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan khaidah hukum positif yang bersangkuan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.18
17
H.M.A. Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2005), hlm. 121.
18
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 20.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
BAB 2 PEMBAHASAN
Menurut pengugat, rangkaian tindakan penyelidikan maupun penyidikan yang dilakukan oleh tergugat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dengan alasan: a.
Penggeledahan yang dilakukan tidak sah karena tidak disertai dengan surat perintah penggeledahan dan tidak dibuat berita acara penggeledahan.
b.
Tergugat telah bertindak membongkar, menggeledah, mengobrak-abrik semua barang dan harta benda milik pribadi milik penggugat yang sama sekali tidak terkait
dan
tidak
tersangkut
paut
dengan
tindak
pidana
yang
dituduhkan/disangkakan kepada penggugat c.
Bahwa uang dalam bentuk mata uang asing maupun uang rupiah milik penggugat sebagaimana yang dicantumkan dalam berita acara penyitaan tertanggal 2 Juni 2011 adalah milik penggugat dan penyitaan penyidik tersebut adalah suatu perbuatan yang berlebihan, bertentangan dengan tugas dan kewenangan tergugat serta melanggar hukum.
Kesempatan penggugat untuk memohon praperadilan sangat terbuka karena selain waktu yang masih memungkinkan juga ditambah dengan dukungan dasar hukum yang kuat yakni berangkat dari pasal 63 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 yang memberikan kesempatan bagi orang yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan kompensasi dan rehabilitasi kepada KPK dengan tak mengurangi haknya untuk mengajukan permohonan praperadilan sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHAP. Mengenai pernyataan tergugat bahwa obyek praperadilan terbatas pada pasal 77 KUHAP, tidak bisa dikatakan sebagai jawaban yang tepat. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf b dan 82 ayat (3) huruf d KUHAP serta contoh kasus penyitaan yang dialami oleh Heri Sapto Aji dan putusan praperadilan atas nama Marnis Kahar, dapat diambil kesimpulan bahwa obyek praperadilan tidak terbatas pada hal-hal itu saja tetapi penyitaan juga termasuk wewenang pemeriksaan praperadilan. Jadi, jika penggugat menginginkan harta bendanya yang dalam penyitaan KPK kembali dalam penguasaannya, maka sangat dimungkinkan apabila menempuh jalur praperadilan. Tetapi meskipun demikian, penggugat justru lebih memilih upaya hukum perdata yakni dengan menyusun surat gugatan perbuatan melawan
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
hukum yang dituduhkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi lalu mendaftarkannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan . Apabila seandainya penggugat mengajukan permohonan praperadilan maka pihak pemohon harus dapat menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh penyidik tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, mereka juga harus mengatakan perbuatan penyidik yang menyita uang pribadi milik penggugat dan benda lain yang tidak terkait adalah suatu perbuatan melawan hukum sehingga harus dinyatakan tidak sah sama halnya seperti apa yang mereka sebutkan dalam gugatannya. Hal yang perlu diingat disini, bahwa karena lembaga praperadilan ini adalah masih dalam ruang lingkup hukum acara pidana maka penafsiran melawan hukum tidak sama dengan apa yang diatur dalam lembaga perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum perdata. Hukum pidana sangat mementingkan legalitas yakni adanya peraturan yang sudah dibentuk dan selama peraturan tersebut belum ada, suatu perbuatan tidak dapat dipersalahkan atau bahkan dipidana sehingga tentunya berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata yang mengalami perluasan. Bahwa mengenai perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung terkait dengan jenis perbuatan melawan hukum oleh penguasa, tidak semuanya dapat dikatakan memenuhi unsur. Adapun salah satu alasannya karena perbuatan tersebut merupakan suatu kebijaksanaan dan oleh sebab itu tidak dapat dijadikan obyek gugatan.19 Kompetensi pengadilan di Indonesia untuk mengadili tindakan pemerintah atas dasar onrechtmatige overheidsdaad juga dibatasi. Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran tanggal 25 Februari 1977 No. MA/Pemb/0159/77 yang menyatakan bahwa perbuatan kebijakan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali ada unsur sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang. KUHAP sendiri dalam hal ini telah mengatur tentang penyitaan, khususnya mengenai penentuan obyek yang dapat dikenakan penyitaan. Terdapat kualifikasi yang harus diperhatikan untuk dapat menjatuhkan keputusan suatu benda bisa atau tidak untuk disita. Adapun ketentuan yang mengatur kualifikasi tersebut terdapat pada pasal 39 KUHAP yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil tindak pidana.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. d. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Khusus untuk penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan, undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk dapat langsung menyita suatu benda atau alat: a. Yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana atau b. Benda dan atau alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau c. Benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Artinya, jika mengacu pada berbagai ketentuan dalam KUHAP terkait dengan penyitaan dan dihubungkan dengan penafsiran perbuatan melawan hukum yang luas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ketentuan tersebut adalah kewajiban hukum yang melekat pada KPK sehingga harus diikuti dan ditaati dalam bertindak. Berdasarkan keterangan-keterangan saksi di persidangan perdata ini telah didapatkan fakta bahwa meskipun tindak pidana ini tertangkap tangan tapi sebenarnya tergugat telah mengetahui apa yang harus mereka cari ketika berada di lokasi rumah penggugat yakni uang yang diduga sebagai suap yang dimasukkan dalam sebuah tas berwarna merah. Oleh karena pengetahuan tersebut maka tidak seharusnya tergugat menduga-duga lagi barang mana yang harus diamankan atau tidak. Sehingga berdasarkan pasal 40 KUHAP tergugat dapat langsung menyita alat atau benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Pada saat kejadian tanggal 1 Juni 2011 pun ketika tas itu sudah dikuasai oleh para penyidik mereka tetap mengambil uang yang ada di kantong celana, dompet, dan jaket yang ada di rumah penggugat. Surat dakwaan juga tidak menyertakan uang dan barang sitaan lain selain uang dugaan suap senilai Rp.250.000.000. Padahal surat dakwaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam acara persidangan pidana yaitu menjadi dasar untuk menentukan batas-batas pemeriksaan hakim.20 Putusan yang diambil oleh hakim hanya boleh mengenai peristiwaperistiwa yang terletak dalam batas-batas yang ditentukan dalam surat dakwaan itu.21 Hakim 20 21
Darwain Prints, Hukum Acara Pidana suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 92. Ibid.,
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
pun dalam bermusyawarah untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.22 Pertanyaan apakah semua uang dan benda yang telah disita oleh penyidik berhubungan dengan dugaan suap yang merupakan tindak pidana yang disangkakan dalam perkara tersebut semakin jelas terjawab dalam putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat kepada penggugat. Adapun pertimbangan hakim yang memeriksa perkara pidana tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa dalam dakwaan penuntut umum, hanya mendakwakan uang yang Rp.250.000.000,- saja, maka Majelis hanya akan mempertimbangkan barang bukti yang ada hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan, sebagaimana dikehendaki dalam pasal 39 ayat (1) huruf e KUHAP. Bahwa oleh karena uang dan barang bukti lainnya yang tidak ada hubungannya dengan perkara pokok, maka tidak dapat Majelis pertimbangkan dan karenanya harus dikembalikan kepada terdakwa. Kondisi yang terjadi pada surat dakwaan atas nama penggugat dan pertimbangan hakim ini tidak terlepas dari tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada tanggal 1 Juni 2011. Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dari mulai tahap penyidikan hingga persidangan atas nama penggugat dapat diketahui dengan jelas bahwa benda yang ada hubungan dalam perkara pidana ini adalah hanya uang yang ada dalam tas merah tersebut. Selanjutnya, penyidik masih mempunyai kewenangan untuk mengembalikan bendabenda tersebut sesuai ketentuan hukum acara. Pasal 46 ayat (1) huruf a dengan tegas memperbolehkan pengembalian benda sitaan jika memang tidak diperlukan lagi dalam pemeriksaan.23 Apabila memang benda-benda selain uang yang ada di dalam tas merah ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana suap terkait dengan perkara Kepailitan PT Skycamping yang disangkakan kepada penggugat dan benda-benda itu tidak diperlukan lagi dalam kepentingan penyidikan maka benda yang dikenakan penyitaan seharusnya dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang yang paling berhak. Tergugat dalam menanggapi gugatan penggugat justru memberikan jawaban yang tidak menyinggung soal penyitaan sedikitpun yakni dengan menunjukkan kewenangan lain yang ada melekat padanya. Tergugat mengatakan mereka mempunyai kewenangan 22
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal 182 ayat (4).
23
Ibid., Pasal 46.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
berdasarkan pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 untuk meminta penggugat menjelaskan harta-harta yang disita tersebut. Meskipun demikian harus dicermati terlebih dahulu bahwa terdapat pembatasan pada pasal-pasal tersebut yakni keterangan itu diwajibkan jika harta tersebut diduga mempunyai hubungan dengan dengan tindak pidana yang dilakukan tersangka. Selain pembatasan itu, perlu dicermati juga bahwa ketentuan ini tidak bisa dimaknai bahwa penyidik mempunyai kewenangan untuk menyita benda-benda yang tidak terkait dengan tindak pidana apalagi tidak mengembalikannya kepada pihak penggugat dengan menahan di bawah kekuasannya padahal tidak diperlukan dalam proses pembuktian. Berdasarkan uraian di atas, titik letak perbuatan melawan hukum yang terkualifikasi sebagai pelanggaran terhadap kewajiban hukum tergugat adalah dimulai dari penyitaan benda-benda yang tidak seharusnya disita. Tergugat dalam hal ini telah melanggar pasal 39 ayat (1) dan 40 KUHAP. Selanjutnya tindakan penyidik yang menahan benda-benda tersebut padahal tidak berhubungan dengan tindak pidana serta tidak diperlukan dalam proses pemeriksaan juga merupakan suatu pelanggaran. Ketiadaan hubungan tersebut dapat dibuktikan dengan tidak adanya materi pemeriksaan sejumlah mata uang asing dan mata uang rupiah milik penggugat itu yang mengarah kepada adanya suatu tuduhan pelanggaran delik tertentu yang dilakukan penggugat dan tidak dimasukkan pula dalam uraian surat dakwaan tetapi justru tetap ditahan oleh KPK di bawah kekuasaannya tanpa ada tindakan pengembalian. Maka oleh karena itu tergugat telah melanggar ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP. Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka rangkaian perbuatan penyitaan yang dilakukan oleh tergugat telah melanggar kewajiban hukumnya yakni ketentuan pasal 39, 40 dan 46 ayat 1 huruf a KUHAP, dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan yang ada padanya. Penyitaan terhadap benda-benda yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan sebagai benda yang dapat disita dimana tidak berhubungan dengan tindak pidana juga telah melanggar hak subjektif yang dimiliki oleh penggugat yakni hak kebendaan berupa kepemilikan atas uang pribadi dan benda lain yang pada saat itu diambil dari penguasaannya. Dengan demikian unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi. Penyidik yang mengatakan bahwa penyitaan ini dilakukan demi kepentingan hukum atau atas perintah undang-undang memang tidak dapat dibantah lagi. Namun pada faktanya penyidik telah melanggar dan melampaui batas kewenangan yang diberikan undang-undang kepadanya (Abuse of Power) dengan sewenang-wenang (willekeur) menyita harta pribadi penggugat. Perbuatan penyitaan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dilakukan
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
secara sadar dan adanya pengetahuan bahwa penyitaan terhadap benda yang tidak terkait dengan tindak pidana akan menimbulkan konsekuensi terhadap harta penggugat. Penyitaan yang sedemikian rupa dapat menimbulkan kecurigaan
masyarakat
terhadap tersangka atas benda tersebut yang dianggap juga berasal dari korupsi. Selain harus memikul beban sebagai tersangka dalam suatu perkara tindak pidana, fakta terkait dengan penyitaan tersebut dapat menambah stigma negatif terhadap penggugat. Oleh karena keadaan seperti itu dapat menambah beban dan tekanan bagi penggugat sehingga dapat dikualifikasikan sebagai kerugian yang tidak terhitung nilainya atau immateriil. Kerugian idiil atau immateriil ini merupakan kewenangan majelis hakim untuk mempertimbangkannya. Pada pertimbangan putusan pengadilan Jakarta Selatan hakim telah mempertimbangkan kedudukan kedua belah pihak untuk menentukan besaran ganti kerugian immateriill yang harus dibayar. Tindakan mengambil, memindahkan dan menguasai benda-benda milik seorang tersangka tanpa landasan hukum yang jelas serta tidak mengembalikannya saat tidak diperlukan lagi kepada penggugat merupakan titik perbuatan yang merugikan tersangka. Kerugian ini tidak akan muncul begitu saja tanpa didahului oleh penyitaan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan sebab akibat ini timbul secara langsung.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
BAB 3 PENUTUP 3.1
Kesimpulan Berdasarkan seluruh pembahasan dan penjelasan yang telah diuraikan dan dikaitkan
dengan rumusan pokok permasalahan, maka kesimpulan yang dapat didapatkan adalah sebagai berikut: 1. Penyitaan adalah salah satu kewenangan upaya paksa yang dimiliki oleh penyidik dan dilaksanakan menurut hukum acara. Khusus untuk pemberantasan tindak pidana korupsi penyidik mempunyai kewenangan tersebut didasarkan 4 undangundang sekaligus yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena bagian hukum acara pidana, maka penyitaan harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Penyitaan uang asing dan uang dalam mata uang rupiah milik penggugat dan benda lain berupa berkas perkara pidana yang disita dari rumah penggugat tanpa didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran undang-undang seperti diatur dalam pasal 39 ayat (1) dan 40 KUHAP yang mengakibatkan pelampauan batas kewenangan. Tindakan penyidik yang menahan dan tidak segera mengembalikan benda-benda tersebut padahal selama proses pemeriksaan di penyidikan tidak ada materi pemeriksaan terhadap benda-benda tersebut juga merupakan pelanggaran. Seluruh dokumen yang dibuat penyidik pun tidak pernah menunjukkan hubungan uang pribadi itu dengan tindak pidana yang disangkakan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 46 ayat (1) KUHAP. Pelanggaran tersebut adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan penyidik KPK dalam melakukan penyitaan sehingga dengan demikian tindakan tersebut dapat didalilkan dan dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan yang dilakukan
tergugat
dalam
kapasitasnya
sebagai
penguasa
(onrectmatige
overheidsdaad) yang telah melanggar kewajiban hukum tergugat (pelangggaran KUHAP) dan hak subjektif penggugat (hak kebendaan). Tindakan penyitaan yang melanggar hukum ini menimbulkan kerugian bagi penggugat yaitu berupa tekanan dan stigma negatif karena ada anggapan bahwa sejumlah uang pribadi itu sebagai
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
hasil korupsi. Maka kerugian yang demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk kerugian immateriil. Sehingga dengan adanya kerugian yang disebabkan perbuatan tersebut maka pelaku yang bersalah dalam melakukan penyitaan ini harus bertanggungjawab atas tindakan merugikan yang diperbuatnya. Jadi, perbuatan tergugat yang menyita benda-benda padahal tidak terkait dengan tindak pidana yang disangkakan adalah suatu perbuatan melawan hukum sehingga penggugat sebagai korban berhak untuk menuntut ganti kerugian. 2. Putusan majelis hakim pada Pengadilan Tinggi yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan alasan perkara ini adalah ranah pidana sehingga demi menjaga status barang bukti yang telah disita secara sah adalah tidak tepat. Bahwa perkara dengan obyek gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa dengan menuntut ganti rugi dari pelakunya ini adalah ranah perdata oleh karena itu hakim dalam perkara perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang untuk menilai apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak. Keputusan pengadilan yang menyatakan perbuatan tergugat yang menyita bendabenda yang tidak berhubungan dengan tindak pidana dan menahan serta tidak mengembalikannya adalah suatu perbuatan melawan hukum sudah tepat. Meskipun hakim menjatuhkan hukuman agar benda-benda itu dikembalikan tetapi hakim tetap mempertimbangkan status benda-benda tersebut sebagai barang sitaan dalam perkara pidana dengan menyatakan bahwa pengembalian baru bisa dilakukan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana No.54/Pid.B/TPK /2011/PN.JKT.PST atas nama penggugat. 3.2
Saran Saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah jika
memang dalam pemberantasan korupsi menerapkan instrumen hukum acara secara khusus dalam hal penyitaan maka sebaiknya diatur terlebih dahulu dengan konstruksi hukum yang lebih tegas. Jangan sampai penegakan hukum yang pada dasarnya diatur dalam hukum tersendiri yakni hukum acara pidana dilaksanakan dengan melanggar hukum. Pengaturan yang lebih tegas akan lebih memperjelas kewenangan yang dimiliki penyidik sehingga tidak akan menimbulkan perdebatan mengenai pelampauan batas kewenangan yang dimiliki.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
DAFTAR PUSTAKA Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Agustina, Rosa. Et. al. Hukum Perikatan (Law of Obligation). Denpasar: Pustaka Larasan, 2012. Ashshofa, Burhan. Metode Peneltian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Alumni, 2008. Djaja, Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: PT. Alumni, 2008. Djojodirjo, M.A Moegni. Perbuatan Melawan Hukum, cet. 2. Bandung: Pradnya Paramita, 1982. Emong Sapardjaja. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia. cet.1. Bandung: Alumni, 2002. Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hamid, H. Hamrad dan Harun M. Husein. Pembahasan dan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan (Dalam Bentuk Tanya Jawab). Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Harahap, Yahya. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan. cet. 3. Jakarta: Ind.Hil-Co, 2005. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana. Bandung: PT. Alumni, 2006. __________. Praperadilan Indonesia dalam Perkembangan. Jakarta: O.C Kaligis & Associates, 2004. Kuffal H.M.A. KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press, 2005. Marpaung, Leiden. Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan rehabilitasi Dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. cet. 2. Bandar Lampung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 2002. Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya dan Hasan Madani. Mengenal Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1995. Nugraha, Safri Et al. Hukum Administrasi Negara. cet. 1. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Nurul Afiah, Ratna. Barang Bukti dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1988. Pangaribuan, Luhut. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan. Jakarta: Djambatan, 2006. Poernomo, Bambang. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. cet. 2. Yogyakarta: Liberty, 1993. Prakoso, Djoko. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidan. Yogyakarta: Liberty, 1998. Prints, Darwain. Hukum Acara Pidana Indonesia suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan, 1989. Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. cet. 9. Bandung: Sumur Bandung. Sabuan, Ansori, Syarifuddin Pettnase, Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa, 1990. Santosa, Brima Priya Et. Al. Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana. Jakarta: Paramadina Public Institute, 2010. Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Binacipta, 1991. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Grafindo, 2006. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. cet. 3. Jakarta: UI Press, 2008. Peraturan Perundang-undangan Indonesia (a). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999. TLN No. 3699 ________ (b). Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981. TLN No. 3209. ________ (c). Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. PP No. 27 Tahun 1983. TLN No. 3209.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.
________ (d). Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001. TLN No. 4150. ________ (e). Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No. 30Tahun 2002. LN No. 137 Tahun 2002. TLN No. 4250. ________ . Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). UU No. 5 Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 3344. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H dan R. Titrosudibio. cet.40. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Kamus Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Internet, Makalah dan Jurnal Ilmiah Erman Rajagukguk. “Perbuatan Melawan Hukum Oleh Individu dan Penguasa Serta Kebijaksanaan Penguasa Yang Tidak Dapat Ditagih” http://www.ermanhukum.com/Makalah ER pdf/PERBUATAN MELAWAN HUKUM.pdf, diunduh 2 April 2013. http://ec.europa.eu/environment/aarhus/pdf/2012_access_justice_report.pdf, page 11, diunduh pada hari selasa, 30 april 2013. Abdullah, H. Ujang. “Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa.” Makalah disampaikan dalam Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Pemerintah Provinsi Lampung, Lampung 13-14 Juli 2005. Komisi Yudisial, Menakar Res Judicata. Vol.6. No. 1. Jakarta: Komisi Yudisial, 2013. Jon E. Gordon, Money Laundering, Facilitation and Forfeiture. Vol.44. No. 4. Duke Law Journal, 1995. Levi, Michael and Lisa Osofsky. Investigating, Seizing and Confiscating the Proceeds of Crime (Crime Detection and Prevention Series). Home Office Police Research Group, 1995. Reynard, Charles A. Fredom from unreasonable search and seizure a second class constituional right. Vol. 25 Issue 3 Article A. Indiana Law Journal, 1950.
Gugatan ganti..., Walfrid Hot Patar Simanjuntak, FH UI, 2013.