ANALISIS INTERAKSI ANTARKOTA DOMESTIK MELALUI PENDEKATAN PENGANGKUTAN UDARA: PENERAPAN MODEL GRAVITASI Paramagarjito B. Irtanto Suahasil Nazara Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini menganalisis karakteristik interaksi antarkota di Indonesia melalui pendekatan pengangkutan udara untuk penumpang dan kargo pada tahun 2008-2011. Dengan menggunakan pendekatan model gravitasi, ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara pengangkutan udara antarkota dengan besaran Produk Domestik Regional Bruto, populasi, struktur ekonomi, interaksi antar kota utama dan dan terdapat hubungan terbalik dengan jarak sebagai proksi penghambat interaksi. Adapun pengaruh beberapa kota utama memberikan hasil yang berbeda di masing-masing estimasi. Pemisahan analisis untuk wilayah Indonesia Barat, Indonesia Timur dan antarwilayah Indonesia menemukan bahwa pengangkutan udara untuk masing-masing wilayah memiliki karakteristik tersendiri. Kata Kunci
: Interaksi Spasial; Model Gravitasi; Penggal Rute; Transportasi Udara.
Klasifikasi JEL : R12, R40. PENDAHULUAN Susunan perkotaan adalah kumpulan kota yang membentuk sistem (urban system), terorganisir secara spasial, saling berinteraksi dan memiliki hubungan hierarki yang melibatkan pergerakan manusia, barang serta informasi (Rodrigue et. al., 2006). Implikasi hal ini adalah diperlukan keberadaan transportasi sebagai penunjang interaksi antar wilayah. Keberadaan transportasi turut memberikan dampak positif pada pembangunan ekonomi regional (Button et. al, 1999; Goetz, 1992; Debagge 1999); mempengaruhi biaya input dan menentukan daya tarik investasi serta aksesibilitas daerah (McCann, 2001). Salah satu transportasi penting dalam sistem perkotaan adalah transportasi udara. Transportasi udara mendorong interaksi yang lebih intensif dengan penyediaan transportasi yang cepat dan efisien, mengurangi efek dari hambatan jarak dan mendorong perkembangan industri jasa; perbankan dan pariwisata (Songguang, 2007). Goetz dalam Song dan Ma (2006) mengemukakan bahwa
perkembangan
populasi
dan
lapangan
kerja
pada
wilayah
metropolitan
tertentu
mempengaruhi peningkatan jumlah penumpang pesawat per kapita. Dalam konteks Indonesia, salah satu moda transportasi yang penting adalah transportasi udara, mengingat kondisi geografis dan bentang alam yang ada (Suleman dan Iqbal, 2012). Transportasi udara tidak bergantung pada
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
permukaan daratan, memiliki kemampuan untuk terbang di atas rintangan terestrial yang menjadi penghalang di masyarakat (Songguang, 2007). Pemerintah Indonesia menyadari urgensi dari peranan transportasi dan konektivitas antar wilayah. Melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, pemerintah menetapkan penguatan konektivitas nasional sebagai salah satu strategi utama untuk mencapai Visi Indonesia tahun 2025. Dengan melakukan integrasi empat komponen konektivitas nasional,
yakni:
Sistem
Transportasi
Nasional,
Sistem
Logistik
Nasional,
Information and
Communication Technology dan Pengembangan Wilayah, dirumuskan visi konektivitas nasional sebagai “Terintegrasi Secara Lokal, Terhubung Secara Global”. Melalui hal ini pula pemerintah berupaya untuk melakukan integrasi sistem konektivitas dalam mendukung perpindahan komoditas baik barang, jasa, dan informasi secara efektif dan efisien (Kemenko Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2011). Pengangkutan udara domestik mendominasi total produksi pengangkutan udara di Indonesia. Terlihat pada Gambar 1, pengangkutan penumpang maupun barang domestik mendominasi lebih dari 80% pengangkutan udara nasional setiap tahunnya. Produksi pengangkutan udara domestik mengalami peningkatan signifikan, sebesar 42,9% selama periode 2006-2010 (naik dari 79,8 juta WLU1 menjadi 114 juta WLU). Data tersebut menandakan interaksi antar wilayah dalam negeri terus tumbuh pesat dengan pusat-pusat pertumbuhan memiliki interaksi besar, tercermin dalam besarnya produksi pengangkutan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, persebaran produksi penumpang pada masing-masing bandar udara tidak merata. Produksi penumpang udara domestik hanya didominasi oleh 8 bandar udara utama (sebesar 70% dari total pengangkutan) sedangkan 30% lainnya diangkut oleh 148 bandar udara lainnya (Gambar 2). Mayoritas pengangkutan penumpang udara pada 2010 dilaksanakan oleh bandar udara Soekarno-Hatta (CGK) sebanyak 33% dan Juanda (SUB) sebanyak 10% serta beberapa bandar udara lainnya sebesar 5%. Indikasi pertama dari perbedaan produksi ini adalah pengangkutan udara sebagai proksi dari interaksi antar kota dipengaruhi oleh besaran pendapatan per kapita masing-masing wilayah tersebut; semakin besar pendapatan per kapita suatu daerah maka cenderung semakin besar interaksi daerah tersebut dengan lainnya (Matsumoto, 2007; Bin Alam dan Karim, 1998; Verleger, 1972). Selain itu, interaksi yang diciptakan juga akan berbanding lurus dengan besaran populasi pada kedua daerah (Matsumoto, 2007; Grosche et. al., 2007; Howrey, 1969). Hal lainnya adalah semakin jauh jarak antara dua kota maka semakin kecil pula interaksi antara keduanya (Matsumoto, 2007; Howrey, 1969; Taaffe, 1962). Secara umum, indikasi hubungan tersebut dalam interaksi spasial di Indonesia terlihat pada Gambar 3. Indikasi kedua adalah pengangkutan antar kota utama memiliki intensitas dan volume yang lebih tinggi dibandingkan pengangkutan antar kota lainnya. Secara sederhana, hal ini dapat dilihat dari lebih banyaknya frekuensi penerbangan yang melayani rute Jakarta-Surabaya, Jakarta-Medan 1
WLU adalah Workload Unit, ekuivalen satu penumpang atau seratus kilogram kargo diangkut (Doganis, 1992)
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
maupun Jakarta-Denpasar dibandingkan penerbangan antar daerah di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Gambaran umum terkait perbedaan pengangkutan udara antar kota utama dengan antar kota lainnya terlihat pada Tabel 1 dan 2. Selain kedua indikasi di atas, indikasi lainnya adalah struktur perekonomian suatu wilayah akan mempengaruhi interaksi antar wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Howrey (1969) dan Long (1968). Howrey (1969) dalam analisisnya menyimpulkan bahwa pendapatan dari beberapa sektor jasa (sebagai pendekatan struktur ekonomi suatu daerah) berbanding lurus dengan pengangkutan antar daerah dengan yang lainnya. Di sisi lain, Long (1968) juga memaparkan bahwa struktur ekonomi suatu daerah yang didapatkan melalui pendekatan pengukuran banyaknya pekerja di beberapa kategori perusahaan terpilih (dalam hal ini disebut size of employing business) juga menunjukkan hubungan yang positif dengan interaksi antar wilayah yang diciptakan. Dalam konteks Indonesia, terlihat pada Gambar 4 bahwa diduga terdapat hubungan positif antara proporsi sektor jasa pada PDRB (proksi struktur ekonomi) terhadap pengangkutan penumpang antar kota sesuai dengan pola scatterplot yang tergambar. Hal menarik lain untuk dianalisis adalah dikarenakan wilayah Indonesia yang luas dan heterogen, masing-masing wilayah memiliki karakteristik tersendiri dalam hal interaksi antarkota di dalamnya. Indikasi umum terlihat pada Tabel 3 dimana interaksi antarkota di wilayah barat Indonesia memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah timur (tercermin dari lebih besarnya volume pengangkutan udara baik penumpang atau kargo), walaupun rerata jarak antar kota pada keduanya relatif sama. Adapun untuk massa interaksi PDRB per kapita dan populasi, wilayah barat memiliki nilai yang lebih tiggi dibandingkan wilayah timur. Hal ini juga membuka kemungkinan bahwa perbedaan intensitas interaksi dalam masing-masing wilayah akan dipengaruhi oleh faktorfaktor sosioekonomis lain. Masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah terkait pola serta interaksi antarkota di Indonesia melalui pendekatan transportasi udara dengan metode gravitasi dengan tujuan spesifik untuk: (1) menganalisis pengaruh PDRB, jumlah penduduk, jarak dan struktur perekonomian terhadap pengangkutan penumpang dan barang udara antar kota; (2) Menganalisis karakteristik dari pengangkutan udara antarkota untuk wilayah Indonesia barat, Indonesia Timur dan antar wilayah di Indonesia; (3) Mengetahui perbedaan pengangkutan udara antarkota utama dan pada beberapa kota utama dengan pengangkutan antarkota lainnya dan bukan kota utama. Penulisan penelitian ini disusun dengan sistematika berupa pendahuluan, studi literatur yang membahas landasan teoritis dan empiris, metode penelitian, analisis serta kesimpulan dan saran. TINJAUAN LITERATUR Niedeieorn dan Bechdolt (1969) memaparkan bagaimana model gravitasi yang diadaptasi dari ilmu fisika dapat memiliki landasan teori ekonomi yang kokoh. Dengan menggunakan pendekatan utilitas, keduanya melakukan derivasi atas model gravitasi sehingga didapatkan intuisi ekonomi terkait pendekatan model untuk interaksi antar wilayah.
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
Pembangunan dan derivasi model diawali dengan asumsi terdapat ! + 1 wilayah subnasional dalam sebuah negara dengan seorang individu ! berada pada wilayah asal !, (! = 0) dan wilayahwilayah tujuan yang dinotasikan sebagai !, (! = 1,2, … , !). Diasumsikan hanya terdapat satu orang atau barang di setiap wilayah tujuan di mana individu pada wilayah ! akan berinteraksi pada setiap perjalanan. Sehingga utilitas seorang individu dari perjalanan tersebut ditunjukkan sebagai ! !!"
=!
! !!"
(1)
Dengan !!!" sebagai utilitas netto dari individu ! pada daerah asal ! berinteraksi dengan satu orang atau barang pada daerah tujuan !, per unit waktu tertentu; serta !!!" sebagai jumlah perjalanan yang dilakukan oleh individu ! dari asal ! ke tujuan !, per unit waktu tertentu. Apabila indivitu tersebut melakukan perjalanan ke seluruh daerah tujuan !, maka total utilitas netto pada persamaan 1 menjadi ! ! !!
=
!
! !!"
(2)
!!!
Untuk mendekatkan model tersebut dengan kondisi riil, maka individu atau barang pada daerah tujuan ! tidaklah tunggal, namun diasumsikan proporsional terhadap populasi pada daerah tujuan ! (sebesar !!! ) sehingga total utilitas netto individu ! atas interaksinya dengan individuindividu atau barang-barang di seluruh wilayah ! adalah ! ! !!
= !
!! !
! !!"
(3)
!!!
Namun di sisi lain, seorang individu tidak dapat melakukan perjalanan yang tidak terbatas (diasumsikan
! !!
> 0 untuk
! !!"
> 0 ) atau utilitas terus meningkat tanpa batasan. Dalam
pengembangan model, dianggap terdapat dua hal yang membatasi jumlah perjalanan individu tersebut, yakni jumlah uang dari pendapatan ( !!! ) atau banyaknya waktu ( !!! ) yang seorang individu bersedia keluarkan untuk melakukan perjalanan. Derivasi pertama dilakukan atas batasan moneter dengan definisi batasan sebagai sejumlah uang yang dikeluarkan untuk perjalanan ( !!! ). Ketentuan batasan moneter ini adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk perjalanan ke semua tujuan harus lebih kecil atau sama dengan jumlah biaya perjalanan yang bersedia dikeluarkan. Dengan ! sebagai biaya per mil perjalanan serta !!" sebagai jarak antara daerah asal ! dan daerah tujuan ! ! ! !! ≥ !
!!" !!!"
(4)
!!!
Derivasi lainnya dilakukan bagi batasan waktu. Jumlah waktu individu ! habiskan untuk perjalanan ke seluruh tujuan harus lebih kecil atau sama dengan waktu yang individu tersebut bersedia alokasikan untuk perjalanan per unit waktu ( !!! ), dengan ! sebagai rerata kecepatan perjalanan dinotasikan sebagai ! ! !! ≥ 1/!
!!" !!!" !!!
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
(5)
Adapun kedua batasan tersebut memiliki pengaruh yang berbeda untuk masing-masing individu. Batasan yang paling relevan bagi seorang individu dapat dilihat dari perbandingan jarak maksimum yang dapat ditempuh, ( !!! /! ) atau ( !!! / !). Seseorang disebut lebih relevan terkendala secara moneter apabila !!! /! < !!! / ! dan berlaku sebaliknya. Analisis dilanjutkan dengan mengasumsikan seorang individu cenderung terkendala moneter ( !!! /! < !!! / !). Jumlah utilitas netto dari individu ! untuk melakukan interaksi dengan seluruh tujuan ! ketika diberikan kendala moneter dimaksimisasi melalui persamaan ! ∗ ! !!
!
= !
!! !
! !!"
− ! !
!!!
!!" !!!" − !!!
(6)
!!!
Dengan melakukan derivasi terhadap jumlah perjalanan per unit waktu, didapatkan kondisi turunan pertama berupa !! !!∗ !!( !!!! ) = !!! − !"!!! = 0 !! !!! ! !!!!
(7)
!! !!∗ !!( !!!! ) = !!! − !"!!! = 0 !! !!! ! !!!!
(8)
⁞
⁞
⁞
⁞
⁞
!! !!∗ !!( !!!" ) = !!! − !"!!" = 0 !! !!" ! !!!" !! !!∗ = ! !!
(9)
!
!!" !!!" − !!! = 0
(10)
!!!
Sehingga didapatkan !!
!!(! !!! ) !!! !!( !!!! ) − ! =0 !! !!! !!! ! ! !!!!
(11)
Apabila dilakukan atas ! turunan parsial pada persamaan 10 dan 11, dihasilkan persamaan ! − 1 dan turunan parsial terhadap !. !!
!!(! !!" ) !!" !!( !!!! ) − ! =0 !! !!" !!! ! ! !!!!
(12)
!
!
!!" !!!" − !!! = 0
(13)
!!!
Nilai
! !!"
yang memaksimumkan utilitas untuk seluruh ! akan didapatkan dengan
memecahkan persamaan secara simultan, atau solusi eksplisit dapat ditemukan hanya setelah fungsi utilitas perjalanan !( !!!" ) ditentukan. Namun, penyelesaian persamaan di atas dapat pula diturunkan mealui metode logaritmik, jika diasumsikan (14)
!( !!!" ) = ln !!!" Sehingga, ! !!"
=
! !!
!
!! ! !!! !!
1 !!"
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
(15)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa jumlah perjalanan yang memaksimasi utitlitas bagi individu ! ke daerah tujuan ! per unit waktu adalah: Berbanding lurus dengan total jarak yang ditempuh individu ! ke seluruh daerah tujuan per unit waktu , proporsi dari populasi di daerah !, dan !,
! !!"
!! ! ! !!! !
!!!
!
; Berbanding lurus dengan
dan; Berbanding terbalik dengan jarak antara wilayah !
.
Adapun jumlah perjalanan yang dilakukan oleh seluruh individu, !; (!!" ) dari daerah asal ! ke daerah tujuan ! adalah !
!!" =
(16)
! !!" !!! !
!!
1 1 !!" = ! !!"
! !!! !!
!!!
!!
!! !!" = !
(17)
! !!
! !!! !!
1 !!"
(18)
Apabila waktu perjalanan merupakan batasan yang lebih relevan, maka
!! !
pada persamaan di
atas diganti menjadi !!! , di mana !! adalah jumlah waktu keseluruhan individu bersedia alokasikan untuk perjalanan. Dari hasil penyelesaian di atas, dapat dilihat bahwa persamaan akhir penyelesaian merupakan persamaan yang identik dengan model gravitasi pada model awal, dengan besaran pangkat jarak bernilai satu. Untuk melakukan rekonsiliasi dengan model dasar gravitasi, maka beberapa penurunan lanjutan perlu untuk dilakukan. Dalam bentuk yang paling umum, model gravitasi ditunjukkan sebagai !
!!" =
!
!"! !!
(19)
! !!"
Dengan !! adalah populasi pada daerah asal !, dan
,
,
,
adalah parameter. Hal tersebut
menjadikan persamaan atas dengan hambatan moneter dapat direkonsiliasi dengan persamaan ini. Mengasumsikan bahwa !! berbanding lurus dengan populasi asal !! dengan pangkat
. sehingga !!
dapat dinyatakan sebagai (20)
!! = !!! !! = !!!
!! !!
(21)
Dimana !! sebagai pendapatan agregat di daerah asal ! dan ! sebagai bagian dari pendapatan di daerah asal yang dialokasikan untuk perjalanan. Pada persamaan di atas, pendapatan per kapita di daerah asal !, yakni
!! !!
dianggap konstan dan !! adalah proporsional terhadap populasi daerah asal
dikali denga pendapatan per kapita. Penelitian terkait dengan analisis interaksi spasial melalui pendekatan model gravitasi untuk transportasi udara telah dilakukan sebelumnya dalam tataran sistem perkotaan dunia. Taaffe (1962)
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
membangun sebuah model gravitasi sederhana dengan variabel populasi dan jarak untuk menganalisis hierarki perkotaan di Amerika Serikat dan menarik kesimpulan bagaimana kota-kota besar mendominasi kota kecil lainnya dalam hal transportasi udara serta perkembangannya. Estimasi pengangkutan udara lainnya dengan menggunakan pengembangan model gravitasi dialakukan oleh Richmond (1957), dengan memasukkan beberapa faktor penghambat lainnya dan mengelompokkan analisis
interaksi
berdasarkan
wilayah
(Verleger,
1972);
mengembangkan
model
untuk
mengakomodasi pengaruh struktur ekonomi suatu perkotaan dan memasukkan unsur supply side dalam analisis (Howrey, 1969); mengembangkan faktor demografis dalam model dengan memasukkan unsur tingkat pendidikan (Long, 1968); memasukkan unsur sisi permintaan dan kompetisi antar bandar udara (Grosche et. al., 2007); menganalisis derajat penghubung dari bandar udara pengumpul dan karakteristik penerbangan di masing-masing regional (Matsumoto, 2007). Adapun beberapa penelitian terkait sebelumnya dirangkum dalam Tabel 4. Berbeda dengan studi-studi yang telah dilaksanakan sebelumnya, maka penelitian ini akan mengambil analisis pada pengangkutan udara domestik di Indonesia yang masih terbatas pada tataran ilmu teknik dan geografi (Priyanto, 2009) dan distribusi perjalanan penumpang pada sebuah bandar udara (Indrawati, 2011). Analisis interaksi spasial domestik melalui pendekatan transportasi udara di Indonesia secara agregat menjadi menarik dikarenakan pertumbuhan industri penerbangan meningkat dengan pesat dan menjadi salah satu moda transportasi utama bagi masyarakat, sehingga diharapkan studi ini akan memperkaya literatur dalam topik ini. METODE PENELITIAN Untuk membatasi penelitian, analisis pengangkutan udara domestik secara nasional dilakukan hanya pada penerbangan antar bandar udara di bawah pengelolaan PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II ditambah dengan Bandar Udara Hang Nadim, Batam pada tahun 2008-2011. Adapun untuk analisis per wilayah dibagi ke dalam tiga bagian, yakni analisis pengangkutan udara di wilayah barat Indonesia (Koridor Ekonomi Sumatera, Jawa dan Kalimantan), wilayah timur Indonesia (Koridor Ekonomi Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku) dan antar wilayah barat dengan timur. Kategorisasi wilayah ini dilakukan dengan landasan sesuai yang tercantum dalam MP3EI. Analisis per wilayah dilaksanakan secara panel untuk tahun 2008-2010, dengan penambahan sampel untuk pengangkutan udara dari kota bandar udara yang memiliki pelayanan dengan bandar udara PT. Angkasa Pura I, PT. Angkasa Pura 2. Kriteria tambahan lainnya adalah pengangkutan penumpang per tahun antar kota adalah minimal 10.000 orang atau 15.000 kilogram kargo. Estimasi model penumpang di wilayah barat, sampel ditambah dengan kota-kota lain yang memiliki bandar udara dengan interaksi dengan bandar udara di bawah pengelolaan PT. Angkasa Pura 2 dan PT. Angkasa Pura 1 dengan minimal pengangkutan dalam pasangan kota sebesar 10.000 penumpang per tahun. Pembatasan pasangan kota untuk model kargo wilayah barat adalah minimal sebesar 15.000 kilogram dan jarak antar kota minimal 300 kilometer. Hal ini dilakukan karena pada
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
jarak di bawah 300 kilometer, pengangkutan kargo dengan moda transportasi lainnya dipastikan akan sangat kompetitif dibandingkan kargo udara. Estimasi model penumpang di wilayah Indonesia timur, sampel ditambah dengan kota lain dengan bandar udara yang memiliki interaksi dengan bandar udara di bawah pengelolaan PT.Angkasa Pura 1 dengan minimal pengangkutan antarkota sebesar 1.500 penumpang per tahun. Penyesuaian jumlah penumpang dalam penentuan kriteria pemilihan sampel dilakukan untuk mengakomodasi banyaknya pasangan kota di wilayah Indonesia timur dengan volume pengangkutan kecil. Adapun penyesuaian tambahan lainnya dilakukan dalam penentuan kriteria sampel pasangan udara untuk estimasi kargo, dengan kargo yang diangkut antar pasangan kota adalah minimal 2.000 kilogram per tahun. Adapun pada estmasi interaksi antarkota pada wilayah barat dengan timur, sampel ditambah dengan bandar udara kota lain yang memiliki interaksi dengan bandar udara di bawah pengelolaan PT. Angkasa Pura 1 dan PT. Angkasa Pura 2. Dalam melakukan analisis terhadap karakteristik jaringan pengangkutan udara antar daerah di Indonesia, digunakan model gravitasi seperti yang diajukan oleh Matsumoto (2007) dengan penyesuaian berupa penambahan beberapa variabel bebas, dan dengan diestimasi menggunakan panel maka didapatkan: ln !!"# = ln ! + ! ln(!! !! )! + ! ln(!! !! )! + ! ln(!! !! )! + ! ln(!!" )! + !!_!"#$#! + !!!" + !!"#
(22)
Dimana !!" adalah jumlah penumpang yang diangkut antara kota i dan kota j. !! !! adalah massa interaksi PDRB kedua kota (operasionalisasi dalam bentuk perkalian PDRB per kapita konstan dari kota i dan kota j. !! !! adalah massa ineraksi populasi kedua kota (operasionalisasi dalam bentuk perkalian populasi kota i dan kota j). !!" adalah jarak geografis antara kota i dan kota j. !! !! adalah massa interaksi sektor jasa (operasionalisasi dalam bentuk perkalian proporsi sektor jasa terhadap PDRB untuk masing-masing kota i dan kota j). !_!"#$# adalah variabel interaksi boneka untuk pengangkutan udara antar kota utama (bernilai 1 jika pengangkutan antar kota utama, 0 jika lainnya) dan !! adalah variabel boneka untuk beberapa kota dengan bandar udara yang dikategorikan sebagai bandar udara pengumpul primer. Adapun kota-kota yang termasuk kota utama adalah Jakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Batam, Manado, Balikpapan dan Medan. Adapun terkait penyesuaian model untuk pengangkutan kargo udara, variabel terikat yang digunakan adalah !!"# , yakni jumlah kargo yang diangkut antara kota i dan j pada tahun t, dan model tidak mempergunakan variabel struktur perekonomian (dalam hal ini massa ineraksi sektor jasa). Hal ini dikarenakan pengangkutan kargo udara hanya menyumbang proporsi yang sangat kecil bila dibandingkan dengan pengangkutan kargo menggunakan laut dan darat, sehingga ketika dilakukan estimasi dengan menggunakan struktur perekonomian umum (misalnya dalam bentuk proporsi keseluruhan sektor industri terhadap PDRB akan memberikan hasil estimasi yang overestimate). Data jumlah penumpang atau kargo diangkut antarkota diperoleh dari Statistik Lalu Lintas Angkutan Udara PT. Angkasa Pura 1 dan PT. Angkasa Pura 2 untuk tahun 2008-2011 dengan sifat
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
pengangkutan adalah netto antara kota i dan j. Data PDRB per kapita serta populasi per kabupaten diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Proporsi sektor jasa terhadap PDRB merupakan hasil olahan dari data tersebut. Dummy kota utama didapatkan dari Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 11 Tahun 2010 tentang Kebandarudaraan, untuk kota dengan bandar udara kelas pengumpul primer. Dummy interaksi antar kota utama merupakan olahan atas data tersebut. Data untuk jarak antar kota didapatkan dari Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 26 Tahun 2010. HASIL DAN ANALISIS Tabel 5 menunjukkan rangkuman deskripsi data yang dipergunakan dalam penelitian ini. Terlihat bahwa rerata pengangkutan udara intrawilayah barat Indonesia lebih besar dibandingkan dengan intrawilayah timur baik untuk penumpang maupun kargo. Hal serupa juga terlihat pada jumlah pengangkutan untuk masing-masing intrawilayah per tahun, dengan penumpang intrawilayah barat hampir sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah pengangkutan penumpang intrawilayah timur. Terkait dengan jumlah pengangkutan udara antarwilayah (barattimur), pengangkutan tersebut menyumbang sekitar 10% dari total pengangkutan udara domestik nasional. Hal ini terlihat dalam Gambar 5a dan Gambar 5b. Perbedaan volume maupun rerata pengangkutan udara di masing-masing intrawilayah menjadi indikasi awal terdapatnya karakteristik unik di setiap wilayah, dengan wilayah barat Indonesia yang memiliki pembangunan ekonomi yang lebih maju dibandingkan di wilayah timur Indonesia, lebih banyaknya kota-kota besar, serta lebih banyaknya penduduk di wilayah barat sehingga hal ini mendorong interaksi antarkota di intrawilayah barat Indonesia secara lebih intensif. Namun hal menarik terlihat pada pola pertumbuhan pengangkutan per tahun dimana pengangkutan udara intrawilayah timur Indonesia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan intrawilayah barat, baik untuk penumpang maupun kargo (sebesar 18,6% dan 9,6%, dibandingkan dengan 14,7% dan 2,6%). Di sisi lain, pengangkutan udara antarwilayah terlihat tumbuh dengan tingkatan yang relatif lebih moderat (sebesar 17,6% per tahun untuk penumpang dan 7,3% untuk kargo), seperti dirangkum dalam Tabel 6. Analisis lantas dilanjutkan dengan pola pengangkutan udara domestik sebagai analisis awal interaksi antar kota domestik di Indonesia. Apabila dibagi berdasarkan volume pengangkutan penumpang, maka hanya terdapat dua pasangan kota yang memiliki pengangkutan udara yang sangat padat, lebih dari 3.000.000 penumpang per tahun, yakni antara Jakarta-Medan dan JakartaSurabaya (Gambar 6), sedangkan pasangan kota dengan pengangkutan antara 2.000.000-3.000.000 penumpang per tahun adalah Jakarta-Denpasar (Gambar 7). Indikasi awal atas intensitas yang tinggi tersebut adalah dikarenakan karakteristik kota Jakarta, Surabaya dan Medan yang sudah memiliki sektor perekonomian yang mapan dengan besaran pendapatan regional yang besar dan didorong oleh karakteristik penumpang antar ketiga kota yang membutuhkan perjalanan bisnis harian, sehingga mendorong tingginya intensitas penumpang udara.
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
Pada rentang pengangkutan yang lebih sedikit, yakni antara 1.000.000-2.000.000 penumpang per tahun (Gambar 8), terdapat sepuluh pasangan kota yang masuk dalam kriteria tersebut. Namun terlihat pengangkutan ini masih didominasi di wilayah barat Indonesia, sedangkan pengangkutan antarwilayah dengan intensitas di rentang tersebut hanya terdapat pasangan kota Jakarta-Makassar. Pola serupa juga terlihat pada rentang pengangkutan antara 500.000-1.000.000 penumpang (Gambar 9). Pengangkutan udara baru terlihat heterogen pada rentang 100.000-500.000 penumpang per tahun (Gambar 10). Pada rentang tersebut, sudah banyak dominasi pengangkutan udara intrawilayah timur (dalam pulau Sulawesi maupun dalam wilayah Nusa Tenggara) serta penerbangan antarwilayah (didominasi oleh Jakarta dan Surabaya di wilayah barat dan Makassar dan Denpasar di wilayah timur). Hal ini menunjukkan bahwa pengangkutan udara antarkota domestik masih memiliki volume yang relatif lebih kecil. Hasil Regresi Nasional Estimasi model gravitasi sebagai analisis interaksi spasial melalui pendekatan pengangkutan udara antar kota domestik nasional dilakukan secara panel. Adapun hasil pengujian ekonometrika atas model tersebut dirangkum dalam Tabel 7. Dengan tingkat kepercayaan 90%, 95% dan 99%, seluruh variabel bebas untuk kedua estimasi adalah signifikan, kecuali untuk intersep pada model penumpang. Baris kedua pada Tabel 7. menunjukkan hasil Uji LM dan baris-baris selanjutnya menunjukkan besaran koefisien dari variabel independen dengan angka di dalam tanda kurung adalah besaran standard error dan tanda bintang menunjukkan tingkat kepercayaan (*90%, **95%, ***99%). Besaran PDRB per kapita signifikan bagi kedua estimasi walaupun bagi estimasi kargo tingkat kepercayaan pada 5%. Secara umum hal ini menggambarkan bahwa semakin besar PDRB di kedua kota akan semakin besar pula interaksi (dalam hal ini pengangkutan udara) di antara keduanya. Kondisi yang serupa juga terlihat pada pengaruh populasi kedua kota terhadap pengangkutan udara domestik, dimana peningkatan 1% massa interaksi populasi pada pasangan kota akan cenderung meningkatkan pengangkutan udara antar kota tersebut sebesar 0,53% untuk penumpang dan 0,27 untuk kargo. Temuan ini sejalan dengan hipotesis yang telah dibangun di awal dan sesuai dengan temuan pada penelitian-penelitian lainnya bahwa semakin besar perekonomian kedua kota (dalam hal ini menggunakan pendekatan PDRB maupun populasi) maka akan semakin besar pula interaksi di antara keduanya (Matsumoto, 2007; Grosche, 2007; Howrey, 1969; Long, 1968; Taaffe, 1962). Bagi kedua estimasi, jarak secara signifikan memberikan pengaruh yang negatif terhadap pengangkutan udara antarkota, menunjukkan bahwa jarak merupakan variabel penghambat interaksi antar kota. Semakin jauh jarak antara kedua kota maka akan berimplikasi pada semakin rendah interaksi antar keduanya. Namun besaran koefisien untuk jarak untuk kedua estimasi berbeda. Indikasi dari perbedaan besaran koefisien ini adalah pengangkutan penumpang bersifat lebih sensitif terhadap jarak dibandingkan dengan pengangkutan kargo, kenaikan 1% pada jarak antar pasangan kota akan menyebabkan penurunan pengangkutan penumpang yang lebih banyak dibandingkan penurunan pengangkutan barang (sebesar 0,6% dibandingkan dengan 0,32%). Signifikansi dan arah
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
variabel jarak dalam estimasi tersbut sesuai dengan hipotesis awal yang dibangun dalam penelitian dan sejalan dengan hasil penelitian-penelitian lainnya (Matsumoto, 2007; Howrey, 1969; Taaffe 1962). Namun dalam estimasi ini tidak ditemukan bahwa jarak akan memiliki pengaruh yang positif terhadap pengangkutan antar kota seperti dalam temuan Grosche (2007) dan Richmond (1957). Struktur perekonomian kedua kota dalam pasangan kota tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengangkutan penumpang diantara keduanya. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin terspesialisasi kota tersebut dalam sektor jasa, maka semakin tinggi pula interaksi penumpang udara antar kota tersebut. Temuan ini juga sejalan dengan temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Howrey (1969) dan Long (1968) dengan pendekatan yang berbeda. Untuk variabel pengangkutan antarkota utama (D_Utama) menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pengangkutan udara. Pengangkutan udara, baik untuk penumpang maupun barang antarkota utama lebih besar dibandingkan pengangkutan antarkota lainnya (baik antara kota utama dengan kota non-utama, maupun antara kota non utama). Untuk penumpang, pengangkutan antarkota utama cenderung 0,71 kali lebih besar dan untuk kargo 1,12 kali lebih besar dibandingkan antarkota lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa kota utama memiliki interaksi yang lebih intens sehingga pengangkutan udara antar keduanya pun akan lebih mendominasi total pengangkutan dibandingkan antarkota lainnya. Di sisi lain, untuk pengangkutan kargo, ditemukan bahwa pengangkutan kargo yang melibatkan Jakarta dalam pasangan kota maka akan lebih besar dibandingkan pasangan kota yang bukan Jakarta. Atau dalam hal ini, pasangan kota yang ada Jakarta sebagai salah satu kotanya akan memiliki pengangkutan kargo yang lebih besar 1,6 kali dibandingkan pasangan kota tanpa Jakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa kargo masing banyak bergerak dari/dan ke Jakarta. Hasil Regresi per Wilayah Secara umum, model yang dibangun cukup baik dalam menggambarkan interaksi antarkota domestik melalui pendekatan pengangkutan udara seperti terlihat dalam Tabel 8. Estimasi model dilakukan dengan menggunakan pendekatan random effect dikarenakan selain adanya variabel bebas berupa jarak dan variabel boneka yang time invariant. Variabel independen berupa besaran massa interaksi PDRB per kapita pasangan kota signifikan bagi seluruh estimasi kecuali estimasi kargo di wilayah barat Indonesia, walaupun dalam tingkat kepercayaan yang berbeda. Salah satu hal menarik adalah terlihat bahwa peningkatan PDRB akan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap volume pengangkutan udara dalam pasangan kota untuk penerbangan antar wilayah (barat-timur), sedangkan pengaruh yang sama pada pengangkutan di wilayah barat dan timur relatif lebih kecil. Dimungkinkan hal ini terjadi dikarenakan perbedaan PDRB per kapita intrawilayah tidaklah terlalu besar, sedangkan perbedaan PDRB per kapita antarkota dalam sampel barat-timur relatif cukup besar (salah satu kota memiliki PDRB yang jauh lebih besar dibandingkan PDRB kota pasangannya). Sehingga ketika PDRB kota pasangan yang kecil tersebut meningkat, akan memberikan efek berlipat terhadap peningkatan
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
jumlah penumpang antar kota (Long, 1968). Untuk memberikan gambaran statistik atas hal tersebut, rerata perbedaan PDRB per kapita kota i dan kota j dirangkum pada Tabel 9. Dapat dilihat bahwa PDRB pada dua kota untuk estimasi antarwilayah (barat-timur) memiliki rerata yang cukup besar (24.947.378) dibandingkan dengan rerata perbedaan PDRB per kapita di intrawilayah (di wilayah timur sebesar 6.997.603). Di sisi lain, apabila pengaruh PDRB ini dibandingkan antara pengangkutan penumpang dengan barang, maka dampaknya akan relatif sama besar (terlihat dari besaran koefisien yang tidak terpaut jauh). Terkait dengan variabel PDRB untuk estimasi 4 yang tidak signifikan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan data PDRB suatu kota untuk menjelaskan pergerakan kargo untuk pengangkutan intrawilayah barat tersebut (Richmond, 1957). Spesifikasi PDRB yang dipergunakan dalam analisis adalah menggunakan basis yuridiksi kabupaten/kota di mana bandar udara tersebut berada. Pola positif PDRB terhadap pengangkutan antarkota juga terlihat pada pengaruh populasi kedua kota terhadap pengangkutan udara domestik di masing-masing wilayah estimasi, dimana peningkatan 1% pada massa interaksi populasi pada pasangan kota akan cenderung meningkatkan pengangkutan udara antar kota tersebut sebesar 0,57% (Estimasi 3), 0,70% (Estimasi 4), 0,36% (Estimasi 5), 0,49% (Estimasi 6), 0,11% (Estimasi 7), dan 0,21% (Estimasi 8). Hubungan positif ini terjadi dikarenakan jumlah kemungkinan hubungan interpersonal dan interorganisasional dari interaksi antarkota akan semakin besar dengan semakin besarnya populasi, serta populasi merupakan stok dari aktivitas migrasi antarwilayah (Lewer dan Van den Berg, 2008; Richmond, 1957). Argumen dasar dari pengaruh besaran populasi terhadap pengangkutan kargo adalah penambahan populasi di sebuah kota akan menambah angkatan kerja di kota tersebut. Bahkan dalam penelitiannya, Matsumoto (2007) mengemukakan bahwa besaran koefisien populasi pada estimasi kargo yang bernilai lebih besar dibandingkan besaran koefisien yang sama pada estimasi penumpang menunjukkan adanya vertical division, di mana barang-barang industri diproduksi di wilayah dengan tenaga kerja yang lebih murah lalu didistribusikan ke kota lainnya. Hasil estimasi pada wilayahwilayah di Indonesia menunjukkan pola serupa dengan penelitian Matsumoto (2007) tersebut, namun masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa hasil koefisien menunjukkan adanya pola vertical division pada sistem perkotaan di Indonesia, Karakteristik wilayah dalam pengaruh populasi dalam pengangkutan penumpang udara antarkota juga terlihat, bahwa pengaruh populasi terhadap pengangkutan udara di wilayah barat lebih besar dibandingkan di wilayah timur dan dan antarwilayah. Hal ini menggambarkan mobilitas yang cukup tinggi di intrawilayah barat Indonesia, di mana tercermin bahwa peningkatan yang sama pada jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan jumlah penumpang antarkota yang lebih besar dibandingkan di intrawilayah timur atau pengangkutan antarwilayah. Analisis hasil estimasi selanjutnya adalah pada variabel jarak. Variabel jarak hanya signifikan pada Estimasi 3, Estimasi 7 dan Estimasi 8, sehingga dalam estimasi tersebut, jarak dapat disebut memberikan pengaruh yang negatif terhadap pengangkutan udara antarkota, dan menunjukkan sebagai variabel penghambat interaksi antar kota. Semakin jauh jarak antara kedua kota maka akan
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
berimplikasi pada semakin rendah interaksi antar keduanya. Hal ini dikarenakan waktu dan biaya yang dihabiskan untuk interaksi antarkota semakin besar dengan meningkatnya jarak, sehingga probabilitas penyusunan hubungan interpersonal dan interorganisasional akan semakin sedikit dengan meningkatnya jarak (Richmond, 1957) Besaran koefisien untuk jarak pada estimasi penumpang intrabarat (Estimasi 3) lebih kecil dibandingkan pada pengangkutan penumpang antarwilayah (Estimasi 7). Hal ini mengindikasikan bahwa secara geografis, kota-kota di barat lebih compact, sehingga kenaikan jarak tidak terlalu banyak mempengaruhi penurunan pengangkutan penumpang. Karakteristik ini sesuai dengan temuan Matsumoto (2007) dalam penelitiannya, yang menunjukkan bahwa parameter jarak untuk estimasi di kawasan intra-Eropa lebih kecil dibandingkan intraregional lainnya, yang menunjukkan bahwa kotakota di Eropa terletak saling berdekatan, mengakibatkan elastisitas dari jarak bernilai kecil. Adapun fenomena menurunnya intensitas interaksi seiring dengan meningkatnya jarak disebut dengan “distance decay” (Fotheringham, 1981). Untuk mengklarifikasi hal tersebut, Tabel 10. menyajikan perbandingan rerata jarak antarkota per wilayah. Terlihat bahwa jarak antarkota dalam interaksi barat-timur lebih jauh dengan rerata sebesar 1.821 km dibandingkan untuk rerata jarak di masingmasing kawasan barat atau timur dengan kisaran jarak antarkora sejauh 700 kilometer. Hal menarik lainnya dari hasil estimasi atas jarak tersebut adalah pada estimasi barat-timur. Apabila dalam model nasional (Estimasi 1 dan 2) ditemukan bahwa pengangkutan penumpang lebih sensitif terhadap jarak dibandingkan pengangkutan kargo, Hal ini berlaku sebaliknya pada pengangkutan antarwilayah (barat-timur). Pada pengangkutan jarak yang jauh, moda angkutan laut bagi kargo akan jauh lebih efisien dibandingkan dengan moda lainnya. Hal ini berkebalikan dengan pengangkutan penumpang udara bahwa ketika dihadapkan pada jarak yang jauh, maka orang memilih menggunakan moda transportasi udara. Terkait dengan efisiensi pengangkutan kargo udara, karakteristik barang yang diangkut melalui udara memiliki beberapa perbedaan dengan barang lain. Di sisi lain, kapasitas kargo udara domestik cukup terbatas. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pesawat kargo khusus, sehingga kargo udara bergabung dengan pesawat penumpang, sehingga kapasitas per pesawat hanya mampu mengangkut maksimal 15 ton barang (Marifunur, 2013). Permasalahan ini menyebabkan kapasitas kargo udara bersifat stokastik, berbeda dengan kapasitas pengangkutan penumpang udara yang sudah memiliki kuantitas tertentu (Turner, 2001). Adapun ketidaksignifikanan variabel jarak terhadap pengangkutan di penumpang dan kargo di wilayah timur dan pengangkutan barang di wilayah barat. Untuk kasus wilayah timur, pilihan transportasi sangatlah terbatas dikarenakan bentang alam wilayah timur yang cukup ekstrim. Peranan penerbangan perintis menjadi sangat penting baik bagi transportasi orang maupun barang (Hoyle, 1988). Hal ini menjadikan jarak bukanlah variabel penghambat yang signifikan bagi pengangkutan udara di intrawilayah timur. Hal ini berbanding terbalik dengan situasi di wilayah Indonesia barat. Dalam estimasi pengangkutan kargo, variabel jarak juga turut tidak menunjukkan signifikansi dalam mempengaruhi variabel dependen. Hal ini dikarenakan wilayah barat Indonesia sudah cukup terhubung dengan
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
transportasi darat, sehingga pengangkutan kargo utama di Indonesia barat adalah dengan menggunakan moda transportasi darat. Hal ini dapat dikonfirmasi melalui Tabel 11. Terlihat bahwa produksi kargo di bandar udara pada beberapa kota utama jauh lebih sedikit dibandingkan produksi kargo di pelabuhan. Variabel struktur perekonomian kedua kota dalam pasangan kota tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengangkutan penumpang diantara keduanya. Melalui pendekatan proporsi sektor jasa terhadap PDRB maisng-masing kota, maka dapat diinterpretasikan bahwa ketika massa interaksi sektor jasa dalam PDRB meningkat sebesar 1%, maka pengangkutan penumpang diantara kota tersebut akan meningkat sebesar 1,18% di wilayah Indonesia barat, 0,37% di wilayah Indonesia timur dan 2,71% untuk pengangkutan antarwilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin terspesialisasi kota tersebut dalam sektor jasa, maka semakin tinggi pula interaksi penumpang udara antar kota tersebut (Songguang, 2007). Untuk variabel pengangkutan antarkota utama (D_Utama) menunjukkan pengaruh yang positif (pegangkutan antarkota utama lebih besar dibandingkan pengangkutan antarkota lainnya baik antara kota utama dengan kota non-utama, maupun antara kota non utama); terhadap pengangkutan udara di intrawilayah barat dan intrawilayah timur, walaupun dengan derajat pengaruh yang berbeda. Namun secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa Dalam menganalisis apakah terdapat perbedaan untuk pengangkutan udara yang melibatkan kota utama, maka dibangun variabel boneka untuk beberapa kota. Berdasarkan hasil estimasi per wilayah, terlihat adanya perbedaan pengangkutan udara yang melibatkan kota Balikpapan dan Medan (Estimasi 3), Surabaya dan Medan (Estimasi 4), Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar (Estimasi 7) serta Jakarta dan Surabaya (Estimasi 8). Arah koefisien yang positif menjelaskan pengangkutan yang melibatkan kota tersebut akan bernilai lebih besar dibandingkan pengangkutan yang tidak melibatkan kota tersebut dan berlaku sebaliknya. Sedangkan besaran koefisien menunjukkan seberapa besar perbedaan dibandingkan terhadap pengangkutan yang tidak melibatkan kota tersebut. Hal menarik yang dapat dianalisis lebih lanjut adalah pada pengangkutan antarwilayah (Estimasi 7 dan 8). Pengangkutan yang melibatkan Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar (untuk penumpang) serta Jakarta dan Surabaya (untuk kargo) bernilai lebih besar dibanding yang tidak melibatkan kedua kota tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa untuk pengangkutan antarwilayah, penerbangan dari/dan ke beberapa kota utama masih mendominasi pengangkutan antarwilayah di Indonesia. Indikasi pertama dapat dikonfirmasi dalam Gambar 11 dan Tabel 12. Dominansi pengangkutan penumpang antarwilayah dari/dan ke Jakarta terlihat dari besaran proporsi pengangkutan yang mencapai 65-67% terhadap seluruh pengangkutan penumpang antarwilayah per tahunnya. Apabila dilihat dari sisi pengangkutan kargo, hampir 80% disumbang oleh pengangkutan kargo antarwilayah yang melibatkan Jakarta setiap tahunnya. Besarnya jumlah produksi pengangkutan udara ini juga sejalan dengan banyaknya pasangan kota yang melibatkan Jakarta. Terlihat pada Gambar 11, proporsi pasangan kota yang melibatkan Jakarta pada sampel mencapai 53% atau 48 pasangan kota dari total keseluruhan sampel. Sehingga dugaan terkait dengan dominasi
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
pengangkutan
dari/dan
ke
Jakarta
terhadap
produksi
pengangkutan
antarwilayah
dapat
dikonfirmasi. Indikasi kedua dari signifikansi variabel beberapa kota ini adalah dimungkinkannya terdapat pola pengumpulan dan pengumpanan (hub-and-spoke) dalam pengangkutan antarwilayah di Indonesia dengan kota Surabaya, Denpasar serta Makassar sebagai kota transit baik dari/dan ke Indonesia timur. Hal ini dikonfirmasi dalam Gambar 12, terlihat bahwa jumlah penumpang domestik yang melakukan transit di ketiga bandar udara cukup besar, terutama untuk bandar udara Sultan Hasanuddin yang mencapai 1,8 juta penumpang transit di tahun 2011 dan bandar udara Juanda yang hampir mencapai 800.000 penumpang transit di tahun yang sama, dengan pola transit penumpang di ketiga bandar udara tersebut cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Fenomena transit ini juga dapat dilihat per masing-masing bandar udara dan secara umum ketiga bandar udara tersebut memiliki karakteristik bandar udara pelayanan sendiri. Untuk bandar udara Juanda (Surabaya), mayoritas bandar udara yang dilayani adalah dengan skala besar, baik untuk kawasan barat maupun timur Indonesia. Sedangkan untuk bandar udara Ngurah Rai (Denpasar), selain melayani bandar udara besar di wilayah barat, juga spesifik melayani bandar udara di wilayah Nusa Tenggara. Hal unik lain ditemukan di bandar udara Sultan Hasanuddin (Makassar). Karakteristik bandar udara layanan untuk bandar udara tersebut sangat beragam, baik bandar udara besar di wilayah barat dan timur, serta beberapa bandar udara kecil di timur, terutama yang berlokasi di Sulawesi. SIMPULAN Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pengangkutan domestik antarkota sebagai pendekatan interaksi spasial memiliki hubungan yang positif dengan besaran Produk Domestik Regional Bruto, populasi, struktur ekonomi, interaksi antar kota utama dan berbanding terbalik dengan jarak sebagai proksi penghambat interaksi. Adapun pengaruh pengangkutan di beberapa kota utama memberikan hasil yang berbeda di masing-masing estimasi. Hasil analisis per wilayah juga menunjukkan adanya karakteristik unik untuk masing-masing wilayah. Terdapat beberapa keterbatasan terkait penelitian ini dan masukan yang dapat dilakukan dalam studi lanjutan, diantaranya: (1) Mempertimbangkan transportasi laut dan darat. (2) Memasukkan pengangkutan antarkota domestik untuk bandar udara di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Perhubungan atau memperpanjang periode. (3) Memasukkan faktor supply side dalam pembangunan model. (4) Mendefinisikan populasi atau PDRB sesuai dengan daerah pelayanan bandar udara (disesuaikan dengan wilayah metropolitan) serta menggunakan basis data selain Peraturan Menteri Perhubungan untuk menentukan kota utama. (5) Pelaksanaan pengujian stabilitas struktural. (6) Penyempurnaan dalam penggunaan variabel penghambat interaksi selain jarak geografis. (7) Pemisahan karakteristik penumpang. (8) Kompilasi Statistik Lalu Lintas Angkutan Udara per tahun yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dan adanya standardisasi dalam
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
penyusunan laporan tersebut sehingga memudahkan pihak-pihak yang akan menggunakan data. (9) Penggunaan data dalam unit nilai (satuan moneter dalam rupiah) selain berat untuk kargo.
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
Lampiran Tabel Tabel 1 Perbandingan Pengangkutan Penumpang Udara Antarkota Utama dengan Antarkota Lainnya 2008
2011 Jumlah Pengangkutan 2.809.075 2.644.474 2.266.046
Pasangan Kota Jakarta – Surabaya Jakarta – Medan Jakarta – Denpasar
Jumlah Pengangkutan 4.573.928 3.113.993 3.017.555
Pasangan Kota Jakarta – Surabaya Jakarta – Yogyakarta Jakarta – Denpasar
Yogyakarta – Pontianak 67.428 Yogyakarta – Pontianak Pangkal Pinang – Palembang 47.390 Bandung – Yogyakarta Pekanbaru – Tanjung Pinang 13.483 Pekanbaru – Tanjung Pinang Sumber: Sumber: PT. AP 1, PT. AP 2, telah diolah kembali
84.986 30.110 14.780
Tabel 2 Perbandingan Pengangkutan Kargo Udara Antarkota Utama dengan Antarkota Lainnya (dalam Kilogram) 2008
2011 Jumlah Pengangkutan 31.018.470 20.551.651 17.685.029
Pasangan Kota Jakarta – Medan Jakarta – Surabaya Jakarta – Denpasar
Jumlah Pengangkutan 44.056.478 34.183.047 25.998.405
Pasangan Kota Jakarta – Surabaya Jakarta – Medan Jakarta – Makassar
Pangkal Pinang – Palembang 656.574 Yogyakarta – Pontianak Yogyakarta – Pontianak 460.819 Pekanbaru – Tanjung Pinang Pekanbaru – Tanjung Pinang 36.516 Bandung – Yogyakarta Sumber: Sumber: PT. AP 1, PT. AP 2, telah diolah kembali
448.494 199.594 5.841
Tabel 3 Karakteristik Umum Interaksi Antarkota per Wilayah Penumpang Wilayah
Massa Interaksi PDRB
Kargo (Kilogram)
(Jiwa)
2
Massa Interaksi
per kapita (miliar Rp)
Populasi3 (juta jiwa)
Jarak (km)
Nasional
398.005,4
2.978.287
322.600
3.610.000
1.065,12
Barat
501.507,8
3.894.440
692.651
3.654.177
732
Timur BaratTimur
71.942,19
507.254,9
83.500
210.000
780
316.296,2
2.520.832
341.132,7
1.610.000
1.821
Sumber: PT. AP1, PT. AP 2 dan BPS, telah diolah kembali Tabel 4 Ringkasan Penelitian-Penelitian Model Gravitasi Terdahulu No. 1.
Penulis International Structures Density
Perumusan Masalah
Hasil Penelitian
Network
Menganalisis struktur jaringan transportasi udara,
PDB (+), Populasi (+), Jarak (-), Dummy
Air
Traffic
bagaimana pentingnya bandar udara penghubung
kota utama (+/-)
World
Cities
di masing-masing regional maupun di dunia
Air and
of
(Matsumoto, 2007) 2.
3.
Gravity
Models
secara keseluruhan. for
Airline
Menganalisis
karakteristik
pengangkutan
Populasi (+), Area tangkapan bandar
Passenger Volume Estimation
penumpang udara antar kota untuk melakukan
udara (+), Indeks daya beli (+), PDB (-),
(Grosche, 2007)
estimasi volume
Jarak (+), Rerata waktu tempuh (-)
On The Choice of Forecasting
Membandingkan
dengan
Populasi (+), Biaya perjalanan (-), Waktu
Models for Air Travel
menggunakan model gravitasi sederhana dan
perjalanan (-), Jarak (-), Sektor jasa (+),
(Howrey, 1969)
model gravitasi yang dikembangkan
Waktu perjalanan relatif (-), Frekuensi
hasil
analisis
penerbangan
(+),
Proporsi
biaya
perjalanan terhadap pendapatan (-) 4. 2 3
City Characteristics and the
Menganalisis pengaruh karakteristik perkotaan,
Populasi (+), Pendapatan (-), Pendidikan
Dalam bentuk massa interaksi (PDRBi x PDRBj) Dalam bentuk massa interaksi (Pi x Pj)
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
Demand 5.
for
Interurban
Air
spatial
arrangement
terhadap
pengangkutan
Travel (Long, 1968)
udara antar kota
Interspatial
Analisis interaksi antara kota melalui transportasi
Relationships
Affecting Air Travel (Richmond,
(+/-), Ukuran perusahaan (+), Lokasi (-) Jarak (?)
udara dengan model gravitasi sederhana
1957) 6.
The Urban Hierarchy: An Air
Menganalisis hierarki dan dominasi penerbangan
Dominasi kota besar terhadap kota kecil
Passenger Definition
kota besar ke kota lainnya
lainnya, adanya perbedaan karakteristik
(Taaffe,
1962)
pelayanan per bandar udara, kompetisi antara pengangkutan udara dan jalan raya Sumber: Telah diolah kembali Tabel 6 Jumlah Pengangkutan Penumpang dan Kargo Udara per Wilayah
Penumpang
Kargo
2008
2009
2010
Pertumbuhan (%)
Barat
23.684.051
27.821.233
31.213.166
14,7
Timur
2.608.800
2.809.200
3.672.704
18,6
Barat-Timur
8.067.613
9.302.101
11.159.608
17,6
Barat
191.350.493
180.736.584
201.820.707
2,6
Timur
13.445.862
13.319.243
16.168.171
9,6
Barat-Timur
74.263.924
69.700.387
85.609.262
7,3
Sumber: PT. Angkasa Pura 1 dan PT. Angkasa Pura 2, olahan penulis Tabel 7 Rangkuman Hasil Estimasi Model Gravitasi Nasional
Variabel Uji LM Intersep PDRB Populasi Jarak Sektor Jasa
Estimasi 1 Penumpang 0,0000 -2,79593 (4,9191) 0,7463 *** (0,2043) 0,5311 *** (0,1357) -0,6085 *** (0,2151) 1,2143 *** (0,3466) 0,7173 ** (0,3657)
Estimasi 2 Kargo 0,0000 11,0021 ** (5,4034) 0,4035 ** (0,1823) 0,2717 * (0,1604) -0,3278 * (0,2131)
1,1273 *** (0.3474) Dummy Jakarta 1,6060 *** (0,4154) Wald chi2(5) 106,24 106,90 Prob > chi2 0,0000 0,0000 R-Square Overall 0,52 0,63 Observasi 232 260 Sumber: Telah diolah kembali, Tingkat kepercayaan *) α = 0,1 ; **) α = 0,05 ; ***) α = 0,01 Bilangan dalam tanda kurung ( ) menunjukkan standar deviasi
Interaksi Kota Utama
Tabel 9 Rerata Perbedaan PDRB per Kapita Kota i dan Kota j Rerata Perbedaan Penumpang 6.997.603 Timur Kargo 7.365.471 Barat-Timur 24.947.378 Sumber: Olahan Penulis Tabel 10 Rerata Jarak Antarkota per Wilayah Rerata Jarak (Kilometer) Nasional 1.065,12 Penumpang 732,22 Barat Kargo 794 Penumpang 779,62 Timur Kargo 788,12 Barat-Timur 1.821
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013
Sumber: Olahan Penulis Tabel 12 Perbandingan Pengangkutan Udara Antarwilayah Melibatkan Jakarta dan Surabaya 2008
2009
2010
Dari dan ke Jakarta
5.340.028
6.136.549
7.294.040
Non Jakarta
2.664.920
3.165.552
3.865.568
66,71
65,97
65,36
Dari dan ke Jakarta
57.076.248
57.139.499
66.754.164
Non Jakarta
14.488.966
12.560.888
18.855.098
79,75 Sumber: Olahan Penulis
81,98
77,98
Penumpang
Persentase Jakarta (%) Kargo
Persentase Jakarta (%)
Tabel 11 Perbandingan Volume Kargo Udara, Kargo Laut dan Kargo Kereta Api4 di Masing-Masing Kota (Dalam Ton)
2008 Kota
Kargo Udara
Kargo Laut
Jakarta
224.031
24.211.903
Surabaya
42.881
17.909.991
Medan
34.003
9.456.177
Balikpapan
23.632
Makassar
40.152
2009 Kargo Kereta Api
Kargo Udara
Kargo Laut
216.422
23.493.826
45.790
16.594.816
15.480.000
31.164
8.743.402
14.949.000
20.199.613
n.a.
27.547
15.819.792
n.a.
8.286.853
n.a.
32.277
10.384.893
n.a.
3.964.000
2010 Kota
Kargo Udara
Kargo Laut
Kargo Kereta Api
3.976.000
2011 Kargo Kereta Api
Kargo Udara
Kargo Laut
303.836
30.416.498
77.255
11.682.191
Kargo Kereta Api
Jakarta
240.501
24.832.513
Surabaya
59.546
16.656.165
Medan
33.462
7.305.527
15.255.000
42.001
8.035.638
15.850.000
Balikpapan
33.362
14.631.573
n.a.
41.805
18.047.337
n.a.
Makassar
39.619
12.579.615
n.a.
42.499
10.416.664
n.a.
3.859.000
4.589.000
Sumber: BPS (2013), PT. AP 1 dan PT AP 2 (2012)
4
Kargo kereta api untuk kolom Jakarta dan Surabaya adalah jumlah pengangkutan barang melalui jasa kereta di Pulau Jawa, sedangkan untuk Medan adalah jumlah pengangkutan barang melalui jasa kereta di Pulau Sumatera.
Analisis Interaksi..., Paramagarjito B Irtanto, FE UI, 2013