Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Abstrak Tanaman penghasil gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk dibudidayakan. Budidaya gaharu melalui pembangunan tanaman mulai dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk tanaman campur ataupun sistim monokultur. Produktifitas gaharu yang didapatkan bergantung pada jenis, asal tanaman, kondisi lingkungan, bahan inokulan. Selain itu, perkembangan gaharu sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang selama ini masih terselubung dan rantai yang panjang. Sinergitas pengembangan tanaman gaharu mulai dari hulu sampai hilir diperlukan untuk menghasilkan produksi gaharu dengan kuantitas dan kualitas serta nilai jual yang tinggi. Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malaccensis) alami di Sumatera tumbuh di hutan sekunder yang berasosiasi dengan karet alam. Pertumbuhan tanaman terbaik pada pola hutan campur (agroforestry) daripada pola monokultur.Identifikasi pohon induk berdasarkan kemampuan pohon induk untuk menghasilkan gaharu alami di dapatkan sebanyak 72 pohon induk yang tersebar di Kab. Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, Banyuasin, Lahat dan Kota Palembang. Masalah utama dalam pemasaran gaharu adalah ketidaksetaraan dalam proses transaksi yang disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan informasi yang diterima petani.Kontrak kerjasama merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan, kontrak dapat digunakan untuk mereduksi dan mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris
Kata Kunci : Gaharu, produktifitas, pengembangan, pohon induk, riap, pemasaran, kontrak
1 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi, sosial dan budaya yang sangat tinggi. Dalam Permenhut Nomor P.35/MenhutII/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati yang potensial untuk dikembangkan. Selain itu, gaharu termasuk dalam 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangan, selain jenis rotan, bambu, madu lebah dan sutera (Santoso et al, 2012). Pulau Kalimantan, Papua, Sumatera dan Kepulauan Nusa Tenggara, merupakan wilayah persebaran alami tanaman penghasil gaharu. Beberapa jenis yang populer sebagai tanaman penghasil gaharu diantaranya adalah Aquilaria spp,
Gyrinops spp dan Gonystilus spp. Beberapa literatur menunjukkan bahwa populasi dan keberadaan tanaman penghasil gaharu sudah mulai langka pada daerah sebaran alaminya. Dalam rangka melindungi jenis-jenis tanaman penghasil gaharu dari kepunahan, maka sejak tahun 2004, komisi CITES telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam, yaitu dengan memasukkan Aquilaria spp dan Gyrinops sp ke dalam daftar tumbuhan Appendix II CITES. Mengingat nilai penting serta tingginya harga dan permintaan gaharu di pasar perdagangan Internasional, sementara populasi dan ketersediaannya di hutan alam sudah semakin langka, maka upaya perlindungan jenisjenis penghasil gaharu dari kepunahan merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Melalui upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya dan pengembangan, khususnya jenis Aquilaria spp dan Gyrinops sp, produksi gaharu sebagai komoditas eksport diharapkan dapat terus berkelanjutan. Berdasarkan hasil pengamatan, dari populasi pohon penghasil gaharu yang ada di alam, hanya 10% atau kurang yang terinfeksi jamur dan mengandung gaharu. Kalaupun mengandung gaharu maka jumlah gaharu yang kualitasnya tinggi yang ada di pohon penghasil gaharu mungkin hanya beberapa gram saja dan selebihnya kualitasnya rendah dan bahkan tidak ada gaharunya sama sekali. Oleh karena itu untuk bisa mendapatkan 1 kilogram gaharu yang kualitasnya menengah sampai tinggi diperlukan ratusan, bahkan ribuan pohon yang perlu ditebang. Tingginya permintaan dan harga jual gaharu di pasar internasional serta semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, pada sisi lain telah mendorong masyarakat di berbagai daerah melakukan budidaya tanaman pengahasil gaharu seperti 2 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan (Squidoo, 2008 dalam Suharti, 2010). Menurut Santosodkk (2012), saat ini penanaman atau budidaya tanaman penghasil gaharu oleh masyarakat, kelompok tani, swasta serta instansi pemerintah telah banyak dilakukan di berbagai wilayah/kabupaten di seluruh Indonesia. Untuk meningkatkan produksi gaharu, maka pada kegiatan tahun 2016 akan dilakukaninokulasi secara buatan pada pohon penghasil gaharu dengan menggunakan inokulan (jamur). Berdasakan pengamatan pada beberapa kegiatan inokulasi yang pernah dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan produksi gaharu yang dihasilkan antar individu tanaman.Produk gaharu, baik kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman, asal tanaman (provenans), umur tanaman yang diinokulasi, respon tanaman terhadap inokulasi (resistensi tanaman), jenis dan asal inokulan/isolat serta kondisi lingkungan tempat tumbuh (Isnaini, 2004 dan GIFNFC, 2007). Faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil produk gaharu adalah umur atau lamanya waktu inokulasi pada saat panen (Santoso dkk., 2010). Sampai dengan saat ini data dan informasi yang berhubungan dengan produksi gaharu berdasarkan integrasi komponen jenis-inokulan-kualitas tempat tumbuh-kadar “wangi” gaharu belum tersedia, sehingga diperlukan penelitian yang komprehensif mengenai hal tersebut. Selain dari permasalahan produk gaharu yang bervariasi baik jumlah maupun kualitasnya, kondisi sosial ekonomi gaharu terutama yang berhubungan dengan pasar gaharu belum banyak diketahui. Pemasaran gaharu selama ini masih mempunyai rantai yang panjang, kondisi semacam ini secara langsung akan mempengaruhi petani dengan semakin rendahnya harga jual gaharu di tingkat petani. Selain itu, harga jual gaharu sangat dipengaruhi oleh “warna” dan kualitas “wangi” gaharu yang tentu saja hal ini bersifat “subjektif” bagi pembeli gaharu. Sehingga peranan penelitian bidang sosial ekonomi sangatlah penting khususnya dalam bidang penemuan rantai pemasaran gaharu yang efektif dan efisien serta kajian bidang produk dan penilaian kualitas gaharu sebagai pedoman standart harga jual tingkat petani dan pedagang. Pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau hutan tanaman mempunyai prospek yang sangat potensial untuk diwujudkan, baik ditinjau dari sumber daya lahan, ketersediaan materi atau bahan bibit serta keragaman jenis yang kita miliki. Hal ini juga ditunjang oleh teknik budidaya tanaman gaharu yang dapat dikatakan relatif mudah. Namun demikian, untuk memperoleh produktivitas gaharu yang maksimal (kuantitas maupun kualitas), dukungan dari berbagai aspek khususnya teknik budidaya serta teknik produksi (inokulasi) dalam pembentukan gaharu harus terus dilakukan.Selain itu juga diperlukan dukungan sistem pemasaran produk gaharu yang efektif dan efisien, 3 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
menguntungkan masyarakat petani dan pedagang dengan indikator penetapan harga yang sesuai dan disepakati bersama. Dalam rangka memperoleh hasil yang bersifat menyeluruh, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat integratif. Melalui penelitian ini produktivitas dalam budidaya gaharu dapat dicapai secara maksimal dan pemasaran gaharu dapat diketahui dengan jelas. B. TUJUAN Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menyediakan iptek budidaya gaharu yang memiliki produktivitas tinggi sehinggadapat mendorong percepatan operasionalisasi
KPH
melalui
usaha
budidaya
gaharu
yang
prospektif
dan
tergambarkannya sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien. Tujuan yang ingin dicapai untuk kegiatan penelitian dalam tahun 2015 adalah sebagai berikut: a. Mengetahui potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian Selatan b. Mengetahui kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian Selatan c. Mengetahui karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu d. Mengetahui pertumbuhan (riap) pohon penghasil gaharu budidaya di masyarakat pada berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)
C. HIPOTESA Hipotesa dalam kegiatan penelitian ini adalah: a. Di Pulau Sumatera Bagian Selatan terdapat beberapa populasi tanaman gaharu b. Populasi tanaman gaharu di Sumatera Bagian Selatan mempunyai kualitas tempat tumbuh yang spesifik sesuai dengan lokasi populasinya. c. Dengan mengetahui informasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu mampu meningkatkan harga dan pendapatan masyarakat d. Berbagai pola tanam gaharu dengan memperhatikan tempat tumbuhnya mempunyai riap tanaman gaharu yang berbeda
4 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
D. KELUARAN Keluaran yang di harapkan dalam jangka panjang adalah paket teknologi budidaya dan proyeksi produksi gaharu berbasiskan site-spesies serta pemasaran gaharu di Sumbagsel. Sedangkan keluaran yang di harapkan tahun 2015adalah sebagai berikut: a. Peta potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian Selatan b. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian Selatan c. Data dan informasi identifikasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu d. Diketahuinya riap pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan masyarakat dengan berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)
5 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu merupakan produk kehutanan yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Gaharu yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood, atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan bahan kimia berupa resin (alpha-betha oleoresin). Sesuai dengan Permenhut Nomor P.35/Menhut-II/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati yang potensial untuk dikembangkan.Selain itu, gaharu termasuk dalam 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangannya selain Rotan, Bambu, Madu Lebah, dan Sutera. Selain mengandung resin (alpha-betha oleoresin), gaharu juga mengandung essens yang disebut sebagai minyak essens (essential oil) yang dapat dibuat dengan ekstraksi atau penyulingan dari gubal gaharu.Essens gaharu ini digunakan sebagai bahan pengikat (fixative) dari berbagai jenis parfum, kosmetika, dan obat-obatan herbal.Selain itu, serbuk atau abu dari gaharu dapat digunakan sebagai bahan pembuatan dupa/hio dan bubuk aroma therapy, dan daun pohon gaharu bisa dibuat menjadi teh yang dapat membantu kebugaran tubuh. Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae, dengan 8 (delapan) genus yang terdiri dari 17 spesies pohon penghasil gaharu, yakni
Aquilaria (6 spesies), Wilkstroamia (3 spesies), Gonystilus (2 spesies), Gyrinops (2 spesies), Dalbergia (1 spesies), Enkleia (1 spesies), Excoccaria (1 spesies), dan Aetoxylon (1 spesies).Maraknya penebangan gaharu alam menyebabkan kondisi tanaman penghasil gaharu di alam semakin berkurang. Untuk melindungi jenis-jenis tanaman/penghasil gaharu terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. dari kepunahan di alamnya maka komisi CITES sejak tahun 2004 telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam dengan memasukanya dalam daftar tumbuhan Appendix II CITES. Upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya di luar hutan alam terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. menjadi hal yang sangat mendesak. Sebagai langkah kongkrit untuk mengetahui potensi tanaman gaharu di alam, maka beberapa kegiatan survey perlu dilakukan untuk mengetahui status dan kondisi populasi tanaman gaharu di beberapa lokasi. Survey yang dilakukan di Ipuh, Bengkulu Utara (Rumayanto, 1992), mengemukakan bahwa pada empat plot pengamatan seluas 0,25 hektar dengan ukuran empat persegi, ternyata pada masing-masing plot terdapat 2 pohon (0,31%), 8 tiang (1,06%) dan 11 anakan (1,38%) Aquilaria malaccensis, dari total 6 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
jumlah pohon sebanyak 642 pohon, 751 tiang dan 793 anakan dari berbagai macam pohon per hektar. Populasi A. malaccensis di Kalimantan juga menunjukkan kondisi yang hampir sama, dimana jenis yang biasa tumbuh terpencar dan hidup di dataran rendah dan di bukit kini sudah mengalami penurunan drastis, misalnya di Kalimantan Timur (Sumadiwangsa, 1997), di Kalimantan Barat (Soehartono dan Mardiastuti, 1997). Beberapa hasil survey populasi tanaman gaharu tersebut di atas mengindikasikan bahwa keberadaan tanaman gaharu di alam sangat sedikit dan tidak merata penyebarannya. Potensi tanaman gaharu semakin menurun akibat serangan hama dan eksploitasi anakan alam untuk diperjualbelikan, misalnya pada tanaman A. malaccensis di Bengkulu (Setyawati, 2010). Selain itu adanya perluasan pembukaan lahan, penebangan pohon (induk) gaharu dan belum adanya kesadaran dalam pembangunan sumber benih tanaman gaharu pada lokasi yang permanen, merupakan beberapa komponen yang turut menyumbang semakin langkanya tanaman gaharu alam. Potensi jenis dan penyebaran tanaman gaharu di Sumatera khususnya Sumatera Selatan belum banyak diketahui. Data dan informasi yang berhubungan dengan potensi gaharu di Sumatera disampaikan oleh Mucharromah (2009), bahwa beberapa wilayah di Sumatera dijumpai pohon penghasil gaharu seperti di Belitung, Riau, Bengkulu, Jambi, Lampung, dan Padang. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak dijumpai adalah
Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta dan A. agallocha .Namun belum pernah di adakan survey yang mendetail mengenai jenis-jenis tersebut, padahal dengan potensi dan harga jual yang tinggi, gaharu dapat dijadikan sebagai salah satu komoditas andalan dalam perdagangan di Indonesia umumnya dan lokal Sumatera khususnya. Saat ini kelompok tani, masyarakat, swasta dan instansi pemerintah telah melakukan budidaya pohon penghasil gaharu pada tanah pekarangan, kebun, hutan adat dan kawasan hutan. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah: A. malaccensis, A. microcarpha, Gyrinops dan sedikit A. filaria dan A.
crassna. Penanaman secara terbatas oleh petani secara individu atau kelompok masyarakat telah dimulai sejak 1989 dan sejak 2004, penanaman
pohon penghasil
gaharu telah banyak dilaksanakan secara massal di banyak kabupaten di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Siran (2010) di temukan bahwa jumlah pohon gaharu yang telah ditanam di seluruh Indonesia adalah 2.218.949 yang tersebar di 45 kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Selama ini penanaman tanaman penghasil gaharu hanya berdasarkan pada ketersediaan bibit dan ketersediaan lahan. Di Sumatera Selatan misalnya, sebagian besar masyarakat pada umumnya “popular” untuk menanam jenis A. malaccensis untuk 7 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
budidaya tanama gaharu, di lain pihak di Sumatera terdapat beberapa jenis tanaman penghasil gaharu lainnya seperti A. microcarpa, A. beccariana dan A. hirta yang juga potensial untuk di budidayakan. Penanaman jenis tanaman penghasil gaharu yang tidak berdasarkan syarat tumbuhnya, secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman itu sendiri. Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan bahwa performance pohon penghasil gaharu khususnya Aquilaria crassna dan A.microcarpa yang tumbuh di Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) menunjukkan pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita. Dari segi lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama yaitu curah hujan tipe A, suhu berkisar 20-300C,kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai bergelombang.
Kondisi yang berbeda diantara ketiga lokasi tersebut adalah
berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah. Tanah di KHDTK Carita merupakan tanah tua dan telah mengalami pelapukan lanjut bila dibandingkan dengan tanah di Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di KHDTK Carita lebih rendah bila dibandingkan tanah di daerah Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi). Sumarna (2008) melakukan penelitian tempat tumbuh (ekologi) tanaman Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa di hutan alam daerah Jambi (Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis Aquilaria tersebut tumbuh baik pada suhu antara 20-33oC, ketinggian tempat 100-200 mdpl, kelembaban berkisar 77-85% serta intensitas cahaya sekitar 56-75%. Berdasarkan hasil penelitian di atas nampak bahwa secara umum ekologi tanaman penghasil gaharu khususnya jenis Aquilaria di Hutan Penelitian Dramaga, Kampung Tugu (Sukabumi), Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita serta di Merangin (Jambi) secara umum mempunyai karakteristik ekologi yang hampir sama yaitu berada pada kisaran suhu 20-33oC dan kelembaban kelembaban 77-85%. Walaupun mempunyai ekologi yang sama, namun bisa dipastikan mempunyai perbedaan pada jenis tanah dan kandungan kimiawi tanahnya. Sampai dengan saat ini penelitian yang berhubungan dengan kualitas tempat tumbuh (sifat-sifat tanahnya, iklim dan keadaan biofisik lainnya) secara menyeluruh untuk tanaman gaharu yang ada di wilayah Sumatera Selatan masih belum banyak dilakukan. Pengetahuan mengenai kualitas tempat tumbuh ini sangatlah penting untuk mengetahui karakteristik tempat tumbuh tanaman gaharu secara spesifik, sehingga data dan informasi yang didapatkan nantinya akan sangat berguna sebagai bagian dari strategi pengembangan jenis tanaman gaharu yang sesuai untuk di tanam (dikembangkan) pada suatu wilayah tertentu. 8 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Pengembangan tanaman gaharu dalam bentuk tanaman budidaya merupakan salah satu wujud nyata dalam upaya untuk melestarikan tanaman gaharu.Beberapa nilai penting dari pengembangan budidaya gaharu adalah: a. budidaya merupakan wujud dari pelestarian jenis tanaman penghasil gaharu, mengingat beberapa jenis sudah termasuk dalam kategori langka, b. permintaan pasar dan harga yang masih tinggi, sementara pasokan gaharu terbatas, c. berbuah sepanjang tahun, pembiakan generatif relatif mudah dan regenerasi alami masih tinggi yang di tandai masih banyaknya anakan alam di bawah pohon induk gaharu d. sudah dikuasainya teknologi rekayasa produksi gaharu yang menjamin kuantitas dan kualitas produksi. Salah satu poin penting dari budidaya gaharu adalah bahwasanya tanaman ini membutuhkan naungan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sumarna (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan tanaman gaharu akan ideal pada tempat tumbuh dengan intensitas cahaya 56-75%. Kebutuhan tanaman gaharu akan cahaya yang tidak dalam kondisi terbuka ini membuka peluang untuk mengembangkan budidaya gaharu secara pola tanam campuran. Beberapa keuntungan dari budidaya tanaman gaharu dengan pola tanam campur adalah (Sofyan dan Imam, 2013): 1. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh pada kondisi alaminya. Tanaman gaharu yang di tanam secara terbuka membutuhkan “perlakuan khusus” untuk memperoleh pertumbuhan yang normal seperti: pemupukan yang tepat ataupun sistem penyiapan lahan yang khusus (jalur dan cemplongan). 2. Meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh (spasial). 3. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya. 4. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur, maka elemen biaya pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman gaharu hanya sebatas biaya pengadaan bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama. 5. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur (lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi dampak buruk perubahan pasar. Gaharu pada umumnya terbentuk pada bagian kayu atau akar setelah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Perubahan tersebut terjadi akibat respon dari tanaman sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang 9 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
terinfeksi oleh agen tertentu seperti rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman (Isnaini, 2004). Sistem pertahanan dalam tanaman tersebut karena adanya zat ekstraktif atau metabolit sekunder yang terdapat pada pohon. Konsentrasi metabolit sekunder tersebut bervariasi antar species, antar pohon dalam species yang sama dan pengaruhnya sangat bervariasi pada kondisi lingkungan yang berbeda (GIFNFC, 2007; Hills, 1987). Adanya varietas jamur dari berbagai tempat asal, juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap gaharu yang dihasilkan. Santoso dkk., (2011) melakukan kegiatan inokulasi pada tanaman A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita dengan menggunakan isolate Fusarium spp yang berasal dari berbagai daerah yaitu Gorontalo, Kalimantan Barat, Jambi dan Padang. Hasil inokulasi pada umur 6 bulan, menunjukkan bahwa isolate dari Gorontalo mempunyai nilai infeksi yang tertinggi yaitu 4,13 cm sedangkan yang terendah adalah infeksi isolate dari Jambi yaitu sebesar 1,86cm. Hasil ini mengindikasikan bahwasanya gaharu yang terbentuk pada tanaman merupakan hasil interaksi dari tiga factor utama yaitu individu tanaman (jenis dan resistensinya terhadap infeksi isolate), jenis jamur yang menyerang dan kondisi tapak spesifik (edafis dan klimatis).Kombinasi yang tepat dari ketiga faktor tersebut di atas, diharapkan dapat menghasilkan gaharu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.Kombinasi yang dihasilkan pada tegakan alam tentu saja sangat bervariasi karena merupakan interaksi ketiga faktor di atas, yang sejak semula tidak ada sentuhan atau campur tangan manusia.Sehingga gaharu pada tegakan alam sangat bervariasi, baik dari aroma maupun kualitas yang dihasilkan. Dengan berkembangnya teknologi inokulasi, manusia ingin menghasilkan gaharu dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Teknologi tersebut dilakukan dengan tindakan penyuntikan/ inokulasi dengan jenis isolat tertentu pada jenis-jenis tanaman penghasil gaharu, dengan harapan dapat menghasilkan gaharu yang mempunyai nilai pasar dan kualitas yang tinggi dalam waktu yang relatif cepat.Namun, tidak semua pohon yang dilakukan inokulasi menjadi berhasil dan mengandung gaharu, bahkan beberapa pohon yang di inokulasi mengalami kematian. Hal ini dimungkinkan karena sampai dengan saat ini belum tersedia data dan informasi yang akurat dan detail yang berhubungan dengan kesesuaian (kecocokan) antara jenis tanaman penghasil gaharu dengan kualitas tempat tumbuh dan inokulan yang digunakan. Produksi gaharu Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dan diimbangi dengan peningkatan kuota produksi di perdagangan Internasional. Siran (2010) mengemukakan bahwa untuk jenis A. malaccensis, pada tahun 2007 Indonesia bisa merealisasikan produksi sebesar 79% dari kuota sebesar 30.000 ton dan realisasinya 10 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
meningkat menjadi 100% dengan kuota yang sama pada tahun 2008. Sedangkan pada tahun 2009 terjadi peningkatan kuota sebesar 173.250 ton dan terealisasi sebesar 43% (Siran, 2010). Nilai ekspor gaharu Indonesia pada tahun 2013 sebesar 758 ton (Sukoco, 2014). Data dan informasi ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi pengusahaan gaharu untuk dapat memenuhi kuota produksi yang ada. Upaya pemenuhan kuota perdagangan gaharu relative lebih cepat terpenuhi melalui produksi gaharu yang dibentuk oleh proses inokulasi. Selama periode 2-3 tahun setelah inokulasi, gaharu dapat dipanen dengan kuantitas yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kuantitas gaharu alam. Proses pemanenan gaharu tidaklah mengalami kesulitan yang berarti. Permasalahan mulai muncul berhubungan dengan perdagangan gaharu.Pasar perdagangan gaharu di tingkat petani masih “tertutup”.Harga perdagangan gaharu per kg di tingkat internasional mempunyai harga yang sangat tinggi berkisar antara 1 juta sampai dengan puluhan juta rupiah tergantung dari kualitas mutu gaharu.Pada tingkatan petani, harga gaharu biasanya relative rendah.Pasar yang tertutup menyebabkan petani tidak bisa menjual produk gaharunya secara langsung pada pembeli utama, sehingga harga di tingkat petani sangat tergantung pada harga yang di tawarkan oleh pengepul yang biasanya mempunyai rantai pemasaran yang panjang. Sampai dengan saat ini penentuan harga produk gaharu bersifat subyektif. Pedagang yang membeli produk gaharu menentukan harga berdasarkan dua komponen utama yaitu berdasarkan warna dan kandungan “wangi” gaharu yang biasanya di uji cobakan dengan membakar sedikit gaharu dan mencium harum “wangi” gaharu yang ada. Pada prinsipnya semakin hitam warna gaharu dan semakin harum baunya, maka gaharu tersebut semakin.Standart warna dan harum tersebut sangat bersifat subyektif karena indikator “warna” dan “”wangi” akan berbeda bagi setiap orang dan secara otomatis hal ini akan bisa dipermainkan oleh pembeli. Identifikasi kandungan “wangi” gaharu berhubungan erat dengan komponen kimiawi yang terdapat di dalamnya. Adanya senyawa seskuiterpen dan khromon dengan porsi dan karakteristik tertentu pada masing-masing ke empat mutu gaharu (kacangan A, Teri B, kemedangan A dan Kemedangan B) berindikasi dapat menjelaskan pembagian mutu gaharu tersebut mulai dari terbaik hingga terendah (Waluyo dan Anwar, 2012). Pengetahuan identifikasi senyawa kimiawi aktif dalam hubungannya dengan produk gaharu yang bisa dihasilkan pada suatu tempat, pada suatu jenis tanaman dan inokulan tertentu dengan kondisi kualitas tempat tumbuh yang spesifik sangatlah penting sebagai tolok ukur produksi dan identifikasi kualitas yang berdampak pada penentuan harga yang “adil” sesuai dengan kualitas “wangi” yang sesungguhnya. 11 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian pada tahun 2015 dilakukan dengan metode survey dan eksperimental dalam bentuk pembuatan petak ukur dan perancangan percobaan.Studi persyaratan tumbuh jenis tanaman penghasil gaharudilakukan secara langsung di lapangan dan secara tidak langsung dengan mengumpulkan data sekunder. Parameter kualitas tapak (tempat tumbuh) yang diukur/diamati terdiri dari 21 karakteristik tapak yang dikelompokkan dalam 9 kualitas tapak (CSR dan FAO, 1983) seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kualitas dan karakteristik tapak untuk studi persyaratan tempat tumbuh tanaman penghasil gaharu Cara Mendapatkan Kualitas Tapak Karakteristik Tapak Data 1 2 3 1. Drainase (w) - Kondisi Drainase Penilaian 2. Retensi Hara (a) - KTK subsoil (me/100 g) Analisa Laboratorium - pH permukaan Analisa Laboratorium - Kejenuhan Al (%) Analisa Laboratorium - Kedalaman Sulfidik (cm) Pengukuran Lapangan 3. Media Perakaran (s) - Tekstur (pasir, debu, liat) Analisa Laboratorium - Lereng (%) Pengukuran Lapangan - Batuan Permukaan (%) Penilaian Lapangan - Batuan Singkapan (%) Penilaian Lapangan 4. Kedalaman Tanah - Kedalaman Efektif (cm) Pengukuran Lapangan (sd) 5. Ketersediaan Air - Bulan kering (CH<75 mm) Data Sekunder - Curah Hujan Tahunan (mm) Data Sekunder - Temperatur Tahunan rata- Data Sekunder rata - Bahaya Banjir Penilaian Lapangan 6. Erosi (e) - Tingkat Bahaya Erosi Penilaian Lapangan 7. Hara Tersedia (n) - N-total (%) Analisa Laboratorium - P-tersedia (ppm) Analisa Laboratorium - K-tersedia 9me/100 g) Analisa Laboratorium 8.Kemudahan - Tekstur Penilaian Lapangan Pengolahan (p) - Struktur Penilaian Lapangan - Konsistensi Penilaian Lapangan Studi sebaran dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder yang terkait dengan sebaran alami jenis tersebut atau pada tegakan tanaman penghasil gaharu yang telah dibudidayakan oleh masyarakat/ perusahaan.Studi sebaran populasi meliputi pemetaan lokasi sebaran, dan pengukuran serta pengamatan kuantitatif dan 12 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
kualitatif tegakan. Selain data tersebut di atas, juga dikumpulkan informasi dari masyarakat lokal yang terkait dengan status pengelolaan dan pemanfaatan jenis tanaman penghasil gaharu. Pengukuran data kuantitatif tegakan di lapangan disesuaikan dengan ukuran populasi, jika ukurannya cukup besar disampling dengan intensitas sampling sebesar 1 – 10 %. Pengambilan sampel/contoh tanah dilakukan pada lokasi pengambilan data primer tanaman penghasil gaharu. Contoh tanah diambil dengan melakukan pengeboran yang terbagi dalam 3 tingkatan kedalaman yaitu 0-20 cm, 20-40 cm. Masing-masing contoh tanah dimasukkan dalam kantong plastik berlabel untuk selanjutnya dilakukan analisa kimiawi tanah. Analisis kimia tanah dilakukan berdasarkan masing-masing populasi untuk mendapatkan data-data kimiawi tanah seperti kandungan pH tanah, C-organik, N-total, PBray, K-dd, Na, Ca, Mg, KTK, Al-dd, H-dd. Bilamana dalam satu populasi terdapat lebih dari satu lokasi maka sampel tanah yang ada dilakukan pencampuran terlebih dahulu (komposit). Data dan informasi letak geografis populasi tanaman penghasil gaharu, data dan informasi ekologi dan hasil analisis kimiawi tanah dilakukan analisis secara deskriptif untuk menentukan kualitas tempat tumbuh dari tanaman penghasil gaharu. Persebaran populasi tanaman penghasil gaharu nantinya di gunakan sebagai dasar dalam pembuatan peta persebaran dan kualitas tempat tumbuh tanaman penghasil gaharu. Populasi/ tegakan tanaman penghasil gaharu yang ada di lapangan, sekaligus dilakukan pemilihan dan penandaan pohon induk. Pohon induk dipilih dengan beberapa kriteria yaitu : pertumbuhan pohon lebih baik dari rerata populasi (tinggi dan diameter), bebas dari hama penyakit tanaman, arsitektur pohon bagus (silindritisitas batang, proporsi tajuk), kemampuan tanaman untuk berbunga, berbuah serta potensi anakan alam. Pohon induk terpilih diberi label/ tanda dengan kodefikasi tertentu dan dilakukan pemetaan untuk memudahkan dalam pelacakan lokasi tanaman. Koleksi materi perbanyakan (benih atau anakan alam) dilakukan pada pohon induk terpilih secara terpisah dengan masing-masing masih tetap mempunyai identitas dari pohon induknya. Koleksi bahan perbanyakan (biji ataupun anakan alam) digunakan sebagai materi pembibitan dan juga di gunakan sebagai materi untuk pembangunan demplot pada tahun berikutnya. Penelitian pertumbuhan tanaman gaharu dilakukan
membuat petak ukur
permanen (PUP) pada tanaman gaharu budidaya yang dikembangkan oleh masyarakat baik yang dikembangkan dalam pola monokultur ataupun yang dikembangkan dengan berbagai pola tanam campuran. Masing-masing petak ukur dilakukan pengukuran dimensi tanaman penghasil gaharu meliputi diameter setinggi dada (dbh), tinggi total dan lebar 13 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
tajuk. Masing-masing individu tanaman dalam suatu lokasi dilakukan pemetaan pohon (peta pohon) dan pola tanamnya.Pengamatan dan pengukuran petak ukur permanen ini dilakukan secara periodic satu tahun sekali untuk mengetahui riap tahunan (CAI atau MAI). Secara umum penelitian analisis sosial ekonomi untuk karakteristik pemasaran dan sosial budaya gaharu menggunakan metode survei dimana data primer maupun data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi lapang dan teknik wawancara. Teknik observasi lapang dilakukan guna mendapatkan informasi awal pada lokasi yang akan dijadikan areal penelitian, dan wawancara dilakukan untuk menggali informasi sedalam mungkin terhadap masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan pembudidayaan gaharu dan pihak terkait lainnya dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan semi terstruktur. Identifikasi pelaku pemasaran dilakukan untuk mengetahui tata niaga pemasaran gaharu yang hingga saat ini terkesan tertutup. Metode yang digunakan adalah metode bola salju (snowball sampling), yaitu metode dimana tokoh kunci terpilih akan membawa peneliti pada tokoh-tokoh kunci selanjutnya. Snowball sampling digunakan karena objek penelitian tergolong langka dan umumnya bersifat berkelompok.
14 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sebaran dan Potensi Tanaman Penghasil gaharu Pulau Sumatera dan Bangka Belitung merupakan salah satu pulau sebagai tempat habitat alami tanaman penghasil gaharu.Identifikasi sebaran dan populasi tanaman penghasil gaharu dilakukan di beberapa tempat yaitu di Propinsi Sumatera Selatan yaitu di Kabupaten Lahat, Musi Banyuasin, Banyuasin, Kota Palembang, Musi Rawas dan Musi Rawas Utara; sedangkan identifikasi sebaran dan populasi tanaman penghasil gaharu yang ada di Propinsi Bangka Belitung dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah. Populasi tanaman penghasil gaharu yang terdapat di wilayah Sumatera Selatan umumnya merupakan tanaman penghasil gaharu alami yang banyak tumbuh di lahan hutan sekunder ataupun pada lahan-lahan tanaman karet tua.Tanaman penghasil gaharu tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan daerah dataran tinggi, kemiringan lahan yang datar sampai topografi yang curam dan bergelombang, serta pada berbagai tipologi tanah.Hasil ini memberikan gambaran bahwa tanaman penghasil gaharu mempunyai penyebaran yang luas dalam pengertian dapat tumbuh baik pada berbagai kondisi lahan/tapak dan lingkungan. Bilamana mempunyai persebaran yang luas, maka bisa diyakinkan tanaman penghasil gaharu mempunyai variasi genetik yang besar pula.Persebaran tanaman penghasil gaharu yang luas juga memberikan dampak positif dan menunjukkan bahwa tanaman penghasil gaharu dapat dapat dikembangkan pada berbagai walayah yang sangat luas. Masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya mengenal tanaman gaharu sebagai jenis tanaman yang mampu untuk menghasilkan “kayu gubal” yang beraroma wangi.Namun, masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa tanaman gaharu salah satunya bisa menghasilkan “wangi” gaharu dengan perlakuan inokulasi. Potensi alami tanaman gaharu yang ada di lahan hutan sekunder ataupun kebun karet tua hanya sebagai asset yang tidak termanfaatkan, menunggu bilamana ada pemburu gaharu alami ataupun menunggu dana untuk dilakukan perombakan lahan sebagai lahan perkebunan. Namun, di beberapa tempat (Kabupaten Musi Banyuasin) juga terdapat beberapa pemilik tanaman gaharu alami yang mengetahui bahwasanya aroma wangi bisa terbentuk dengan adanya penyuntikan dan berharap ada “pemodal” yang bisa melakukan inokulasi. Sebagian besar masyarakat mempunyai pemikiran bahwa untuk melakukan inokulasi harus mempunyai modal yang tinggi untuk pembelian inokulan dan proses inokulasi di lapangan.
15 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Pengelolaan tanaman penghasil gaharu yang intensif sudah mulai dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Musi Rawas dan Musi Rawas Utara.Masyarakat sudah mulai melakukan inokulasi pada pohon-pohon gaharu alam dengan menggunakan inokulan yang dikerjasamakan/ kemitaraan.Selain itu, masyarakat sudah mulai mengembangkan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk budidaya yang dikembangkan di antara tanaman perkebunan karet.Pola budidaya seperti ini mempunyai perbedaan waktu tanam dan terdapat “fase penantian tanam” untuk tanaman penghasil gaharu.Tahap awal tanaman karet di tanam terlebih dahulu, ketika tanaman karet berumur 3-4 tahun dan kondisi tajuk sudah mulai menutup, dilakukan penanaman tanaman gaharu di antara tanaman karet (titik diagonal).Budidaya tanaman gaharu di antara tanaman karet (pola tanam campur) mempunyai beberapa keuntungan yaitu: 1. Pertumbuhan tanaman gaharu mempunyai sifat “toleran” atau butuh naungan. Sumarna (2008) dalam Santoso dkk., (2012) mengemukakan bahwa tanaman penghasil gaharu (A. malaccensis dan A. microcarpa) tumbuh baik pada suhu 2027oC, kelembaban nisbi 78-85% dan intensitas cahaya 56-75%. Penanaman gaharu di sela sela tanaman karet mampu memberikan kecukupan naungan yang dibutuhkan oleh tanaman gaharu untuk tumbuh dan berkembang optimal. 2. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal, batang pokok tunggal, bebas cabang tinggi sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh pada kondisi alaminya. 3. Meningkatkan produktifitas lahan melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh (spasial). 4. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya. 5. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur (bukan tanaman pokok), maka elemen biaya pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman gaharu dengan karet hanya sebatas biaya pengadaan bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama. 6. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur (lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi dampak buruk perubahan pasar.
16 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
a.
b.
c.
Gambar 1. Tanaman gaharu yang terdapat di Musi Rawas (a), Lahat (b) dan Musi Banyuasin (c) Propinsi Sumatera Selatan
Pola tanam gaharu dengan sistem campur ini juga sudah mulai banyak dilakukan pada beberapa daerah lain dan dengan jenis tanaman penghasil gaharu yang berbeda. Pola tanam campur antara tanaman karet dengan A. malaccensis terdapat di Kabupaten Banyuasin-Sumatera Selatan,Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010), campuran
Aquilaria spp dengan tanaman karet atau kakao terdapat di Propinsi Bengkulu (Wiriadinata dkk., 2010), sedangkan campuran antara tanaman karet dengan A.
microcarpa terdapat di Sarolangun-Jambi (Wiriadinata, 2004 dalam Wiriadinata dkk., 2010). Tumpangsari antara Gyrinops versteegii dengan coklat, jagung dan singkong terdapat di Rarung-Nusa Tenggara Barat (Surata dan Soenarno, 2011). Campuran antara tanaman sungkai dengan gaharu di Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010). Penanaman A. malaccensis dengan kelapa sawit terdapat di Kabupaten Rokan Hulu-Riau (Suhartati dan Wahyudi, 2011). Campuran antara gaharu dengan vanili terdapat di Luwu Utara-Sulawesi Selatan (Subehan dkk., 2005). Pengelolaan tanaman gaharu pada lahan hutan yang didominasi oleh tanaman pohon (meranti, mahoni, pulai, khaya) dan tanaman buah (melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka) terdapat di KHDTK Carita Banten, Jawa Barat (Suharti, 2010). Budidaya tanaman penghasil gaharu yang terdapat di beberapa daerah di Pulau Bangka mempunyai pola yang berbeda dengan budidaya yang dilakukan di pulau Sumatera.Budidaya tanaman penghasil gaharu mempunyai karakteristik yang spesifik bila dibandingkan dengan daerah lainnya.Kondisi iklim Pulau Bangka yang panas, jenis tanah yang mengandung banyak pasir atau bahkan pasir murni pada areal bekas tambang timah, namun masih mampu untuk membuat budidaya tanaman penghasil gaharu yang cukup luas. 17 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malacensis maupun A microcarpa)dapat ditanam dan tumbuh baik pada areal terbuka, dengan perkataan lain pengembangan budidaya tanaman gaharu dilakukan dengan tanpa naungan.Pola budidaya pada lahan terbuka (tanpa naungan) yang diterapkan oleh masyarakat bangka terbentuk dalam pola tanaman monokultur murni atau berupa tanaman campuran. Pengembangan secara monokultur mempunyai teknik penanaman yang sama seperti penanaman tanaman keras lainnya (jati, mahoni, sungkai dsb) dan tidak terdapat suatu pengelolaan yang khusus. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanya sebatas pada kegiatan pengendalian gulma dan pemupukan rutin. Pengembangan pola tanam campur yang terbuka merupakan pola budidaya lahan terbuka yang lebih optimal bila dibandingkan dengan pola monokultur terbuka.Seperti kita ketahui, bahwasanya sebagian besar masyarakat di pulau Bangka aktif mengembangkan tanaman lada (Piper nigrum) sebagai komoditi utama perkebunan.Pengembangan tanaman lada menjadi semakin aktif sejak terjadinya kemorosotan harga tanaman karet.Tanaman gaharu umumnya di tanam sebagai batas kepemilikan lahan lada atau ditanam pada jalur tanaman lada dengan jarak tanam yang relatif lebar. Mengingat tanaman lada bukanlah jenis tanaman yang rimbun, maka tanaman gaharu yang dikembangkan secara otomatis akan mendapatkan cahaya matahari penuh dan juga mendapatkan tambahan nutrisi “gratis” dari sekitar tanaman lada yang intensif mendapatkan pemupukan yang dilakukan oleh petani.
b.
a. c. Gambar 2.tanam gaharu campuran ternaungi di Kabupaten Musi Rawas (a), pola tanam campur terbuka (b) dan pola tanam monokultur terbuka (c) di Pulau Bangka
18 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Satu hal yang sangat menarik untuk dicermati dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman gaharu pada tempat terbuka dan tempat yang ternaungi adalah pada kondisi batang utama gaharu.Penanaman tanaman penghasil gaharu pada tempat ternaungi umumnya membentuk batang tunggal ( monopodial).Naungan memberikan pengaruh pengaktifan pertumbuhan meninggi untuk mendapatkan sinar, pertunasan cabang yang kurang aktif dan mengoptimalkan potensi peluruhan cabang (pruning) alami yang tinggi, sehingga batang relatif lebih lurus dan bebas cabang tinggi.Penanaman tanaman penghasil gaharu pada tempat terbuka umumnya akan membentuk batang ganda (lebih dari satu batang utama) dengan porsi diameter masing-masing batang yang relatif sama.Batang tanaman penghasil gaharu akan menerima cahaya matahari penuh, pertunasan batang akan aktif dan membentuk batang utama baru. Batang ganda yang terbentuk umumnya berkisar antara 3-6 batang utama. Pertumbuhan tanaman gaharu dengan jumlah batang pokok yang lebih dari satu sebenarnya mempunyai beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan tanaman gaharu yang hanya mempunyai satu batang pokok. Tanaman gaharu batang ganda umumnya mempunyai jumlah batang 3-6 batang dengan rerata pertumbuhan diameter pohon yang lebih besar bila dibandingkan dengan diameter pohon yang mempunyai batang pokok tunggal/ individual. Penampilan batang ganda dengan jumlah 3 batang mempunyai ukuran diameter yang relatif sama, namun bilamana jumlah batang lebih dari 3 umumnya batang ke 4 dan 5 mempunyai ukuran diameter yang lebih kecil (Sofyan dkk., 2010). Semakin besar diameter batang pokok, maka luas bidang dasar batang yang bisa di inokulasi juga semakin besar, sehingga nantinya hasil yang di dapatkan juga semakin besar.Namun, untuk memperoleh pertumbuhan tanaman gaharu yang optimal sesuai dengan tujuan penanaman.sebaiknya jumlah batang ganda tetap harus dikontrol (dijaga), misalnya dengan membatasi jumlah batang pokok agar tidak terlalu banyak dengan menyeleksi atau menyisakan 2-3 batang pokok saja.
19 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
a. b. c. Gambar 3. Penampilan batang utama tunggal tanaman penghasil gaharu pada lahan ternaungi (a), batang ganda saat umur 10 bulan dan 8 tahun pada lahan terbuka (b,c)
Keuntungan lain dari adanya batang ganda ini adalah berhubungan dengan pengaturan proses produksi dan memperkecil tingkat resiko kegagalan inokulasi. Proses inokulasi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya bilamana terdapat batang pokok berjumlah 3 maka inokulasi dapat dilakukan dengan 3 tahapan waktu yang berbeda atau waktu inokulasi yang sama, namun waktu pemanenan yang dapat dilakukan berbedabeda. Pemanenan pada waktu yang berbeda-beda menjamin kontinuitas produksi tanaman gaharu yang di dapatkan dan berdampak pada pendapatan yang berkelanjutan. Adanya waktu inokulasi dan kegiatan pemanenan yang berbeda-beda ini secara tidak langsung akan memperkecil resiko tingkat kegagalan. Bilamana proses inokulasi mengalami kegagalan pada suatu batang, maka masih terdapat batang lain dalam pohon yang sama yang bisa diinokulasi sebagai pengganti inokulasi pada batang yang gagal tersebut. Selain itu, waktu pemanenan yang berbeda juga mempengaruhi jaminan kualitas dari hasil yang didapatkan, pemanenan dalam jangka waktu panjang umumnya akan mempunyai kualitas hasil yang lebih baik bla dibandingkan dengan pemanenan dalam jangka waktu pendek. Dengan sistem seperti ini, petani bisa membuat rencana produksi/ pemanenan berdasarkan jaminan kualitas hasil dan nilai ekonomi (harga jual) gaharu sesuai kebutuhan. 2. Aspek Silvikultur dan Pemuliaan Budidaya tanaman merupakan salah satu pembuatan tanaman dengan berbagai input (perlakuan/treatment) dalam usaha untuk memaksimalkan produksi (produktifitas). Budidaya tanaman gaharu dalam konteks peningkatan produktifitas bertujuan untuk tidak hanya sekedar mengembangbiakkan jenis tanaman penghasil gaharu, namun tanaman 20 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
yang telah dikembangkan tersebut juga harus mampu menghasilkan gaharu dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Peningkatan produktifitas tanaman dapat dilakukan dengan melakukan tiga aspek pengelolaan yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik silvikultur dan perlindungan tanaman. Penggunaan benih unggul merupakan salah satu aspek penting dalam upaya peningkatan produktifitas tanaman, karena memang sebagian besar kinerja pertumbuhan tanaman dibentuk dan dibangun dari bibit yang berasal dari benih.Benih yang bergenetik unggul dapat mewariskan sifat-sifat keunggulannya kepada keturunannya.Sampai dengan saat ini, belum terdapat sumber benih yang menghasilkan benih unggul dalam pengertian unggul secara kuantitas dan kualitas genetik dari jenis-jenis tanaman penghasil gaharu. Sumber benih dapat diartikan sebagai suatu tegakan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ditunjuk atau dibangun khusus untuk dikelola untuk memproduksi benih bermutu (Badan Standardisasi Nasional, 2005). Dalam definisi sumber benih tersebut terdapat beberapa elemen yang menjadi komponen dalam suatu sumber benih yaitu: a. Suatu sumber benih merupakan “tegakan” dalam pengertian mempunyai lebih dari satu pohon dan tidak sendiri (soliter) serta terdapat interaksi antar pohon. Sumber benih dipersyaratkan berupa tegakan dengan maksud agar benih yang dihasilkan merupakan
hasil
dari
penyerbukan
silang
dan
bukan
penyerbukan
sendiri
(inbreeding). b. Tegakan dapat berupa hutan alam ataupun hutan tanaman yang ditunjuk atau dikonversi menjadi sumber benih; ataupun berupa hutan tanaman yang memang dari awal perencanaan dibangun sebagai sumber benih. c. Terdapat pengelolaan dalam tegakan tersebut seperti pemeliharaan, perlindungan hama penyakit, pemupukan dan lain sebagainya. d. Tegakan tersebut mampu menghasilkan (memproduksi) benih yang bermutu, dimana mutu benih secara genetik akan berbeda pada setiap masing-masing sumber benih. Berdasarkan Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan, terdapat 7 kelas sumber benih yang ada di Indonesia yang dibagi berdasarkan kualitas genetik dari benih yang dihasilkannya. Macam kelas sumber benih tersebut adalah: (1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi (TBTs), (3) Area Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenan (TBP), (5) Kebun Benih Semai (KBS), (6) Kebun Benih Klon (KBK), dan (7) Kebun Pangkas. Sumber benih pada kelas 1 dan 2 dilakukan melalui penunjukan, kelas 3 dilakukan melalui penunjukan/ konversi dari TBT/ TBTs dan atau pembangunan, sedangkan sumber benih dari kelas 4-7 dilakukan melalui 21 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemuliaan pohon. Semakin tinggi kelas sumber benihnya, maka kualitas genetik dari benih yang dihasilkan juga semakin baik, begitu juga sebaliknya. Pembangunan tanaman gaharu (budidaya gaharu) yang dikembangkan oleh masyarakat pada dasarnya menggunakan materi yang berasal dari beberapa sumber yaitu: (1) masyarakat mengelola tanaman gaharu yang sudah tumbuh secara alami di kebunnya, (2) masyarakat menggunakan materi berupa cabutan dari anakan alam yang banyak terdapat di sekitar tanaman penghasil gaharu, umumnya cabutan berukuran kecil dan mempunyai daun 4-6 daun, (3) masyarakat menggunakan materi berupa benih yang dikecambahkan terlebih dahulu dan pada saat sudah mempunyai daun 2-4 dipindahkan ke dalam polybag. Penggunaan materi berupa cabutan anakan alam merupakan yang paling
banyak
pelaksanaannya
di
gunakan
dan
oleh
mempunyai
masyarakat resiko
yang
karena lebih
memang
kecil
mudah
dibandingkan
dalam dengan
menggunakan biji yang umumnya cenderung tidak tahan disimpan, sehingga harus segera di kecambahkan. Sampai dengan saat ini, penggunaan materi benih atau anakan alam yang digunakan untuk pembuatan tanaman penghasil gaharu masih menggunakan benih/ anakan alam secara asalan. Hal ini dilakukan karena memang sampai dengan saat ini sumber benih untuk jenis tanaman penghasil gaharu yang mempunyai kualitas genetik unggul memang belum tersedia. Data dan informasi menyebutkan bahwa sumber benih untuk jenis tanaman penghasil gaharu di indonesia yang telah disertifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) adalah sebanyak 21 sumber benih (SIM-RHL, 2015). Rekapitulasi sumber benih dari beberapa jenis tanaman penghasil gaharu selengkapnya disajkan pada Tabel 2. Tabel 2. Sumber Benih Tanaman Penghasil Gaharu Di Indonesia No. No Lokasi Sumber Benih 1. 12.13.001 Kel.Pekan Bahorok, Kec. Bahorok, Kab. BPTH Sumatera Langkat, SUMUT 2. 12.13.004 Desa Timbang Jaya, Kec. Bahorok, Kab. BPTH Sumatera Langkat, SUMUT 3. 13.09.013 Desa Rumbai, Kec. Mapatunggal, Kab. BPTH Sumatera Pasaman, SUMBAR 4. 15.02.001 Desa Pulau Aro, Kec. Tabir Ulu, Kab. BPTH Sumatera Merangin, JAMBI 5. 17.04.005 Desa Jembatan II, Kec. Kaur Selatan, BPTH Sumatera Kab. Kaur, BENGKULU 6. 18.04.001 Desa Bumi Jawa, Kec. Batanghari BPTH Sumatera Nuban, Kab. Lampung Timur, LAMPUNG 7. 61.03.001 DESA: Desa Sumsum, Kec Mandor, Kab. BPTH Kalimantan Landak, KALBAR 8. 61.06.016 Desa Nanga Tayap, Kec. Nanga Tayap,
Luas (Ha) 0.80
TBT
0.75
TBT
A. malaccensis
2.00
TBT
A. malaccensis
4.00
TBT
A. malaccensis
1.50
TBT
A. malaccensis
0.25
TBT
A. malaccensis
3.00
TBT
A. malaccensis
2.00
TBT
Jenis
Aquilaria malaccensis A. malaccensis
Kelas
22 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
BPTH Kalimantan Kab. Ketapang, KALBAR 62.04.054 Desa Sarimbuah, Kec. Gunung Bintang BPTH Kalimantan Awai, Kab. Pontianak, KALTENG 10. 63.02.022 Desa Gedambaan, Kec. Pulau Laut BPTH Kalimantan Utara, Kab. Kota Baru, KALSEL 11. 63.03.042 Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab. BPTH Kalimantan Kapuas, KALSEL 12. 63.06.050 Desa Jambu Hulu, Kec. padang Batung, BPTH Kalimantan Kab. Hulu Sungai Selatan, KALSEL 13. 63.06.055 Desa Gumbil, Kec. Telaga langsat, Kab. BPTH Kalimantan Hulu Sungai Selatan, KALSEL 14. 63.07.001 Desa Setiyap, Kec. Pendawan, Kab. BPTH Kalimantan Hulu Sungai Tengah, KALSEL 15. 63.07.002 Desa Murung A, Kec. Batu Benawa, BPTH Kalimantan Kab. Hulu Sungai Tengah, KALSEL 16. 63.09.001 Desa Mangkupum, Kec. Muara Uya, BPTH Kalimantan Kab. Tabalong, KALSEL 17. 63.10.042 Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab. BPTH Kalimantan Balangan, KALSEL 18. 64.01.050 Desa Tampakan, Kec. Batu Engau, Kab. BPTH Kalimantan Pasir, KALTIM 19. 64.03.062 Desa Bukit Merdeka, Kec. Samboja, BPTH Kalimantan Kab. Kutai Kertanegara, KALTIM 20. 81.03.006 Desa. Laimu, Kec. Teluti, Kab. Maluku BPTH Maluku Tengah, MALUKU Papua 21. 91.06.004 Desa Warsa, Kec. Biak Utara, Kab. Biak BPTH Maluku Numfor, PAPUA Papua Keterangan: TBT= Tegakan Benih Teridentifikasi, Sumber: SIM-RHL 9.
A. malaccensis
TBT
A. malaccensis
15.0 0 2.00
A. malaccensis
1.83
TBT
A. malaccensis
2.00
TBT
A. malaccensis
1.00
TBT
A. malaccensis
0.13
TBT
A. malaccensis
0.10
TBT
A. malaccensis
4.00
TBT
A. malaccensis
1.83
TBT
A. malaccensis
1.00
TBT
A. malaccensis
3.00
TBT
A. filaria
0.23
TBT
A. filaria
1.00
TBT
TBT
(2015)
Sumber benih tanaman penghasil gaharu (Tabel 2.) yang telah disertifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) untuk jenis A. malaccensis dan A. filaria semuanya berada pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT).Sumber benih dalam kelas TBT merupakan sumber benih yang dibentuk berdasarkan penunjukan dari tegakan yang
sudah
ada
dengan
beberapa
kriteria/
indikator
sebagai
dasar
penunjukan(Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan), yaitu: 1) Tegakan yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman yang tidak direncanakan dari awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, 2) Asal-usul benihnya tidak diketahui, 3) Terdapat minimal 25 pohon induk, 4) Kualitas tegakan rata-rata, 5) tidak memerlukan jalur isolasi, 6) Tidak memerlukan penjarangan.Kriteria dan indikator penunjukan dari sumber benih kelas TBT tersebut mengindikasikan bahwasanya sumber benih kelas TBT ditunjuk berdasarkan kriteria dasar adanya tegakan yang bisa menghasikan benih dan belum mempertimbangkan aspek kualitas genetik dari benih yang dihasilkan. Pembangunan sumber benih jenis tanaman penghasil gaharu memegang peranan yang sangat penting sebagai daya dukung pembangunan tanaman gaharu. Beberapa nilai penting dari pembangunan sumber benih gaharu ini adalah sebagai berikut: 23 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
a. Keberlanjutan regenerasi tanaman. Gaharu mempunyai nilai jual yang sangat tinggi
dan
prospek
yang
menguntungkan,
sehingga
setiap
orang/lembaga/perusahaan mempunyai motivasi yang sangat tinggi untuk memanen gaharu khususnya gaharu yang terdapat di alam. Bilamana hal ini terus dibiarkan, maka tanaman gaharu akan semakin langka. Keberadaan sumber benih yang memang dari awal dibangun dan diperuntukkan untuk memproduksi benih dapat menjamin produksi benih sebagai bahan regenerasi dalam pembangunan hutan tanaman gaharu. b. Sebagian besar tanaman gaharu yang ada saat ini sebagian besar berada di kebun-kebun masyarakat. Keberadaan tanaman gaharu yang terdapat di kebun masyarakat tersebut sesungguhnya tidak mempunyai kepastian “kehidupan”, karena bilamana masyarakat membutuhkan produksi gaharu, maka tanaman tersebut bisa di tebang/ dipanen, sementara pembangunan sumber benih yang khusus dibangun di lahan pemerintah dapat menjamin keberlanjutan tanaman gaharu karena “khusus” sebagai produksi sumber benih. c. Menambah nilai ekonomi tanaman gaharu melalui pengembangan ekonomi bisnis “perbenihan” dan “pembibitan” dengan jaminan kualitas yang baik. d. Pembangunan sumber benih dengan kualitas genetik yang lebih baik masih belum tersedia di Indonesia. Faktor utama yang sangat penting dalam pembangunan sumber benih adalah berhubungan dengan teknik pemilihan pohon yang nantinya digunakan sebagai “indukan”dalam pengambilan benih.Pemilihan pohon induk (mother trees) harus sesuai dengan tujuan dari pengusahaan tanaman.Sampai dengan saat ini, petunjuk teknis kriteria untuk pemilihan pohon induk masih banyak yang mengacu pada produksi kayu. Untuk produksi kayu, pemilihan pohon induk dari suatu populasi harus berdasarkan kriteria superioritas dari kayu itu sendiri untuk dijadikan sebagai bahan baku kayu pertukangan seperti mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter yang baik, batang bebas cabang tinggi, batang lurus dan silindris, tajuk dan percabangan ringan, tidak terserang hama penyakit, dan sebagainya. Petunjuk teknis pemilihan pohon induk ini tidak bisa digunakan untuk tanaman yang produk utamanya adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti pada tanaman penghasil getah, buah, kulit, gubal gaharu, dan sebagainya; sehingga diperlukan teknik/ metode lain sebagai bahan rujukan untuk pemilihan pohon induk tanaman HHBK. Soehartono dan Mardiastuti (1997), telah melakukan ujicoba inokulasi tanaman gaharu (Aquilaria) di Kalimantan Timur
pada beberapa kelas diameter pohon. Hasil 24
Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
pengujian menunjukkan bahwasanya produksi resin gaharu tidak berkorelasi dengan diameter dan volume pohon. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwasanya ukuran diameter dan volume pohon tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur (kriteria) produksi gaharu. Kriteria pemilihan pohon induk untuk jenis tanaman penghasil gaharu bersifat spesifik dan berbeda dengan kriteria pemilihan pohon induk pada penghasil kayu. Kriteria pemilihan pohon induk gaharu berhubungan langsung dengan produksi gaharu yang dihasilkannya, karena memang nantinya pengusahaan tanaman gaharu mempunyai tujuan utama menghasilkan gaharu sebagai hasil akhir budidaya.Oleh karena itu pemilihan pohon induk tanaman penghasil gaharu harus memperhatikan “gubal gaharu” itu sendiri sebagai obyek utama standart pemilihan dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan/ mempengaruhi produksi gaharu. Santoso dkk., (2010) dan Oldfield dkk., (1998) mengemukakan bahwa gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu berupa endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai hasil dari reaksi tanaman terhadap proses pelukaan atau adanya infeksi penyakit yang umumnya disebabkan oleh jamur ataupun jasad renik lainnya.Van Beekdan Phillips (1999) mengemukakan bahwa gaharu merupakan respon tanaman terhadap perlukaan, sedangkan infeksi jamurmeningkatkan produksiresinsebagairespon tanaman
terhadappeningkatan
kerusakanakibatpertumbuhan
jamur.Berdasarkan
hal
tersebut, maka terdapat dua hal yang menjadi kunci dalam pembentukan gaharu yaitu adanya “infeksi” baik oleh jamur atau organisme ataupun teknik lainnya dan adanya “respon/ reaksi”tanaman dalam bentuk resin gaharu sebagai bentuk pertahanan akibat adanya infeksi (Oldfield et al. 1998; Van Beek dan Phillips, 1999). Infeksi pada tanaman dapat dilakukan melalui pelukaan yang dianggap merupakan pengaruh faktor luar (lingkungan) dan adanya respon/ reaksi dari pelukaan tersebut yang berhubungan dengan resistensi (ketahanan) dari dalam tanaman itu sendiri terhadap infeksi yang terjadi. Melihat dari proses terbentuknya gaharu, peningkatan kualitas pada “diri” tanaman yang dapat dilakukan adalah dengan memilih dan menggunakan jenis-jenis tanaman gaharu alam yang sebenarnya secara alamiah sudah mampu menghasilkan gaharu (proses infeksi alamiah) dan diharapkan sifat “reaksi alami” dalam menghasilkan gaharu ini diturunkan pada keturunannya. Mengingat gaharu merupakan hasil reaksi dari adanya infeksi dan hal ini berhubungan dengan resistensi dan reaksi tanaman terhadap penyakit, maka langkah awal yang paling tepat untuk dilakukan adalah mengidentifikasi pohonpohon induk yang secara alamiah dapat dan telah menghasilkan gubal gaharu. Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan resistensinya terhadap hama dan penyakit sebenarnya telah dilaksanakan dalam pembangunan tanaman pada beberapa jenis tanaman. Pada tanaman penghasil kayu pertukangan, keberadaan hama penyakit 25 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
tanaman merupakan ancaman bagi produksi kayu. Tanaman Ash (Fraxinus excelsior) terserang oleh pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus, dimana hanya 1% tanaman mempunyai tingkat kerusakan sebesar < dari 10% (Kjaer dkk., 2011). Adanya variasi genetik dari resistensi terhadap serangan penyakit juga terdapat pada beberapa jenis tanaman kehutanan lainnya, seperti pada tanaman Eucalyptus globules (Keane dkk., 2000; Burdon, 2001). Upaya tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah sesegera mungkin mengupayakan konservasiuntuk jenis-jenis yang sehat sebagai bahan konservasi genetik, produksi benih, ataupun sebagai bahan utama program breeding resistensi penyakit (Stener, 2012). Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan ketahanan terhadap penyakit yang dilakukan pada sebagian besar tanaman produksi kayu, mempunyai strategi yang berkebalikan dengan pemilihan pohon induk pada tanaman penghasil gaharu. Pada tanaman gaharu, pemilihan pohon induk didasarkan pada tanaman yang secara alamiah sudah terserang oleh penyakit (penyebab jamur) dan bereaksi membentuk resin gaharu. Menurut Novriyanti (2010), mekanisme “pertahanan” tanaman penghasil gaharu terhadap penyakit ini dibawa oleh faktor genetik dan hal ini berhubungan dengan adanya variasi dari phytoanticipin. Berdasarkan sifat tersebut (genetik), maka pemilihan pohon induk tanaman
penghasil
gaharu
utamanya
harus
didasarkan
pada
indikator
adanya
pembentukan gaharu secara alami. Identifikasi tanaman penghasil gaharu di alam yang secara alamiah bisa menghasilkan “gaharu” telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ng et al., (1997) mengemukakan bahwa pada tanaman A. malaccensis dan A. sinensis yang terdapat di alam, hanya sekitar 7-10% dari populasi yang ada yang mempunyai kandungan gaharu akibat terinfeksi oleh jamur. Sedangkan Gibson (1977) dalam Donovan dan Puri (2004) mengemukakan bahwa hanya sekitar 10% dari tanaman Aquilaria di Indonesia (Kalimantan) yang mempunyai kandungan gaharu alami. Gianno (1986) dalamLa Frankie (1994) mengemukakan bahwa hanya 10% dari pohon dewasa yang bisa menghasilkan gaharu.Hal ini menjadi sangat menarik bahwa walaupun relatif kecil, potensi 7-10% tersebut sesungguhnya merupakan potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi pohon induk.Hal ini dimungkinkan karena walaupun pohon tersebut tidak dilakukan inokulasi buatan, namun secara alamiah bisa menghasilkan gaharu secara alamiah. Identifikasi pohon induk yang secara alamiah mempunyai kandungan gaharu bisa dilakukan melalui kombinasi dua cara yaitu identifikasi morfologi tanaman yang mengandung gaharu dan identifikasi tahap lanjut dengan analisis kandungan kimiawi resin gaharu. Identifikasi morfologi tanaman yang mengandung gaharu dapat dilakukan 26 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
dengan melakukan pengamatan pada batang luar tanaman penghasil gaharu. Akter dkk., (2013) mengemukakan bahwa tanaman yang telah membentuk gaharu ditunjukkan oleh adanya batang yang retak dan kulit batang yang mudah untuk dibuka dan dirobek. Hal yang sama di kemukakan oleh Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I” di Kabupaten Musi Rawas (Ribut, komunikasi pribadi). Ketua Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I” merupakan salah satu pekerja pencari gaharu alam yang sudah banyak melakukan eksplorasi gaharu alam. Menurut Ketua Kelompok Tani, tanaman penghasil gaharu yang batangnya terdapat resin gaharu biasanya ditandai dengan batang yang retak dan terdapat semut yang bergerombol di sekitar batang retak tersebut. Anakan hasil dari pohon induk tersebut bilamana digunakan sebagai tanaman baru, maka tanaman baru secara alamiah juga akan membentuk gaharu yang sama seperti yang terjadi pada tanaman induknya. Bukti nyata dari pendapat Ketua Kelompok Tani tersebut adalah adanya tanaman gaharu berumur 5 tahun yang di tanam di sela-sela kebun karet, saat ini secara alamiah telah mengandung gaharu yang ditandai adanya retakan dan aroma wangi gaharu hasil pembakaran bagian batang yang mengalami retakan.Berdasarkan data dan informasi ini dapat dipastikan bahwasanya: 1. Proses pembentukan gaharu yang terjadi secara alamiah pada suatu pohon akan diturunkan dari induk kepada keturunannya, 2. Morofologi batang gaharu yang mempunyai kandungan gaharu alamiah dapat dideteksi dari adanya retakan/ pembengkakan kulit/ kayu dan umumnya pada retakan tersebut dihuni oleh gerombolan semut, 3. Identifikasi dan deteksi tahap lanjut dilakukan dengan pengecekan bagian batang yang terdeteksi mengandung gaharu secara alamiah, yaitu mengambil bagian kayu di bawah tanda retakan dan dilakukan pembakaran untuk mendeteksi aroma wangi yang sesungguhnya. Ketiga indikator tersebut selanjutnya dijadikan sebagai panduan dalam identifikasi pohon induk gaharu.
27 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
a.
b.
Gambar 4. Batang Gaharu Yang Retak Sebagai Identifikasi Awal Adanya Gaharu (a), Pengecekan Ada Tidaknya Gaharu Pada Batang Retak (b)
Kegiatan identifikasi dan eksplorasi materi genetik pohon induk tanaman penghasil gaharu dilakukan di beberapa Kabupaten di Pulau Sumatera yaitu di Kabupaten Musi Rawas, Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Banyuasin, Banyuasin serta Kabupaten Lahat. Identifikasi pohon induk tanaman penghasil gaharu yang mampu menghasilkan gaharu secara alami adalah sebanyak 72 pohon induk yang terdiri dari 8 pohon berasal dari KabupatenMusi Rawas, 8 pohon induk dari Muratara, 14 pohon induk dari Lahat, 11 pohon induk dari Banyuasin, 6 pohon induk dari Kota Palembang dan 25 pohon induk dari Musi Banyuasin. Masing-masing pohon induk mempunyai diameter batang yang berbedabeda dan berkisar antara 20-35cm. Dimungkinkan pohon induk terpilih mempunyai diameter yang lebih kecil bila dibandingkan dengan populasinya.Hal ini tidaklah menjadi masalah, karena memang aspek pemilihan pohon induk tidak mempertimbangkan aspek pertumbuhan diameter, namun lebh penting pada aspek kemampuan individu untuk menghasilkan gaharu secara alamiah.
28 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
b.
c.
a.
d.
Gambar 5. Pohon induk tanaman penghasil gaharu di Kab. Musi Banyuasin (a), pengumpulan materi genetik (anakan) (b), pengepakan bibit (c), penanaman bibit di polybag
Dari masing-masing pohon induk yang telah teridentifikasi, dilakukan pengambilan materi genetik dalam bentuk benih (generatif) ataupun dalam bentuk anakan alaminya, tergantung dari ketersediaan materi yang ada. Mengingat kegiatan identifikasi dan eksplorasi materi genetik berada pada pertengahan tahun 2015 dan periode pembuahan tanaman penghasil gaharu terjadi pada awal tahun, maka materi genetik yang di dapatkan hanya berupa materi anakan alam.Pengambilan materi genetik anakan alam dilakukan tepat berada di bawah pohon induk yang bersangkutan dan tidak terjadi tumpang tindih tajuk dari pohon lain yang bisa mengakibatkan “kontaminasi” materi. Anakan alam yang berada tepat di bawah pohon induk dan masih dalam area luasan tajuk, maka diyakinkan murni berasal dari pohon induk yang bersangkutan.Hal ini berhubungan dengan sifat dari buah/benih pohon gaharu yang bersifat “ barochory” yaitu benih yang jatuh ke bawah dan benih tidak terbang seperti yang kebanyakan terjadi pada jenis tanaman Dipterocarpaceae. 29 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Materi genetik berupa anakan alam, dikumpulkan dan diberi tanda identitas/ nomer sesuai dengan identitas/ nomer pohon induknya dan mempunyai identitas/ nomer yang berbeda dengan pohon induk lainnya.Materi genetik berupa anakan alam yang telah di dapatkan, kemudian segera dilakukan penanaman pada polybag yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Penanaman juga tetap mempertahankan identitas/ nomer pohon induk dengan cara memberikan label nomer pohon induk pada setiap bedeng polybag. Materi genetik yang telah terkumpul, nantinya digunakan sebagai bahan pembuatan demplot tanaman pebghasil gaharu tahun 2016 dengan konsep “progeny
test”. Progeny test (uji keturunan) dimaksudkan untuk menguji nilai genetik induk berdasarkan penampilan keturunan/ anaknya. Nilai genetik yang dimaksud untuk jenis tanaman penghasil gaharu adalah nilai (kandungan) gaharu yang terjadi pada “keturunannya” secara alamiah.Bilamana antar keturunan (pohon iduk) mempunyai variasi (terdapat variasi genetik) dalam potensi kandungan gaharu alamiah, maka peluang untuk dilakukan seleksi/ pemilihan pohon terbaik yang mempunyai kualitas dan kuantitas gaharu yang tinggi akansangat mungkin untuk dilakukan. 3. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan kajian sosial ekonomi gaharu pada tahun 2015 ini lebih difokuskan pada aspek pemasaran.Survei penelusuran pemasaran gaharu dilakukan dalam rangka mempersiapkan informasi pasar bagi pengembang gaharu, baik KPH maupun masyarakat secara peorangan.Untuk menggali informasi pasar tersebut kajian dilakukan di wilayah Sumatera Selatan (mewakili Sumatera Daratan) dan Bangka (mewakili Kepulauan). Pemasaran gaharu hasil budidaya (gaharu hasil inokulasi) di wilayah Sumatera Daratan dan Kepulauan menunjukkan prospek yang berbeda.Oleh karena itu pemaparan hasil investigasi pada kedua lokasi tersebut disajikan secara terpisah.Pada bagaian awal dipaparkan hasil kajian di wilayah daratan dan kemudian dlanjutkan di wilayah kepulauan. 3.1. Pemasaran Gaharu di Sumatera Selatan Saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu oleh masyarakat telah berkembang relatif pesat. Sebagai contoh, kondisi demikian dapat diamati di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon penghasil gaharu agar dapat membentuk resin aromatik tersebut. Dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan, terdapat tiga jenis proses perekayasaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk merangsang pembentukan gaharu, yaitu: a). pelukaan batang, b). pembakaran batang dan c). Penyuntikan (injeksi) larutan pembentuk 30 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
gaharu ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Untuk proses injeksi, masyarakat mengenal dua jenis larutan, yakni inokulan (larutan yang mengandung cendawan
Fusarium) dan inducer (bahan kimia). Namun dalam perkembangan terkini, sebagian masyarakat di Kabupaten Musi Rawas telah melakukan uji coba penyuntikan dengan menggunakan landucer yang merupakan kombinasi antara inokulan yang mengandung cendawan Fusarium dan inducer. Keberhasilan pada proses budidaya (tahap produksi) tersebut tidak serta merta diikuti dengan respon positif pada level pemasaran. Bahkan, pasar meberikan sinyal yang cenderung bersifat kontraproduktif yaitu dengan memasang harga gaharu hasil induksi pada tingkat yang tergolong jauh lebih rendah dibandingkan produk gaharu alami. Malahan, ada pedagang pengumpul gaharu di Kabupaten Musi Rawas yang tak berminat sama sekali untuk membeli gaharu hasil induksi. Hasil wawancara dengan pengepul gaharu di sekitar wilayah Musi Rawas terungkap bahwa
bahwa
pada
saat
ini
mereka
tidak
bersedia
menerima
gaharu
hasil
injeksi/penyuntikkan karena pengepul di atas mereka tidak mau membelinya. Jikapun mau menerima, umumnya gaharu hasil penyuntikan dihargai sangat rendah, sehingga keuntungan marjin keuntungan yang mereka dapatkan sangat minim. Pedagang pengepul gaharu di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya umumnya hanya menerima gaharu dari alam atau gaharu dari kebun karet masyarakat yang proses pembentukkan gaharunya terjadi secara alami (tanpa injeksi), baik melalui pelukaan dengan menggunakan benda tajam (pembacokan) maupun dengan cara pembakaran batang pohon penghasil gaharu. Sungguhpun gaharu yang terbentuk secara alami relatif lebih mudah dipasarkan, namun petani dihadapkan pada sistem perdagangan yang bersifat monopsoni. Petani yang bertindak sebagai penjual berperan sebagai penerima harga ( price taker) dan pengepul sebagai penentu harga (price maker). Selain itu, penentuan harga gaharu pun sangat subjektif. Harga gaharu yang ditawarkan penjual akan ditentukan berdasarkan hasil penelaahan pembeli (pedagang pengepul) terhadap kualitasnya yang ditaksir berdasarkan warna, aroma dan bentuk penampakan. Standar klasifikasi kualitas gaharu menurut SNI telah tersedia sebagaimana terdapat di dalam Setyaningrum & Saparinto (2014), namun karena keragaman gradasi warna yang relatif banyak serta faktor subjektivitas penilai (pengepul) sangat berpotensi untuk menimbulkan ketidakadilan dalam proses transaksi, yaitu pengepul cenderung akan menarik keuntungan di atas beban kerugian petani (penjual). Sebagai gambaran, Tabel 3 berikut ini menyajikan variasi harga gaharu pada berbagai jenis kelas gaharu alami yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan 31 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
pedagang pengepul gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Berdasarkan penuturan pengepul, kualitas gaharu Super King dan Super B saat ini tak ditemukan lagi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Adapun, jenis gaharu yang masih dapat diperoleh antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan dan gaharu teri. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada Gambar 6. Tabel 3. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas No.
Kelas Kualitas
1.
Super King
2.
Super B
3.
Harga (Rp) 240.000.000,8.000.000,- s/d 12.000.000,-
Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai bentuk ikan sepat)
4.
Triplek (berbentuk pipih)
5.
Kemedangan
6.
Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil)
6.000.000,- s/d 8.000.000,3.000.000,500.000,- s/d 700.000,300.000,-
Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek, (c) kemedangan dan (d) teri.
32 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas umumnya hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya, gaharu yang dia peroleh dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru atau Jakarta. Jika disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari Kabupaten Musi Rawas dapat terbagai menjadi tiga pola sebagai berikut:
Pengepul di Lubuk Linggau
Pengepul di Jambi
Pengepul di Jakarta
Petani/ Pengumpul
Pengepul di Musi Rawas
Arab
Singapura
Pengepul di Pekanbaru
China
Gambar 7. Alur pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya . Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan China. Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris sebagai penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012). Sebagaimana dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut terjadi karena pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas atau aspek tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan.
Solusi Melalaui Kontrak Kerjasama Menindaklanjuti kondisi pemasaran gaharu yang timpang seperti diuraikan di muka, diantaranya dapat diselesaikan melalui kontrak. Kontrak umumnya dibutuhkan untuk dapat mereduksi eksistensi informasi asimetris. Kontrak juga merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris (Yustika, 2012). 33 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Upaya mereduksi informasi asimetris melalui kontrak tersebut telah dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Sinar Tani 1, Desa Trijaya, Kecamatan Bulang Tengah Suku (BTS) Ulu/ Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Kemitraan yang ada berupa kerja sama antara KTH Sinar Tani 1 yang bertindak sebagai pemilik tegakan pohon penghasil gaharu dengan CV. HD Agarwood Project yang bertindak sebagai investor (penyedia inokulan/landucer). Investor bertangggung jawab untuk menyediakan landucer dan menanggung seluruh biaya operasional penyuntikkan. Adapun petani berkewajiban untuk memelihara dan menjaga tegakan yang telah diinjeksi. Berdasarkan bentuk kontrak kerjasama yang telah dibuat para pihak di Desa Trijaya, maka pola kontrak yang mereka kembangkan termasuk ke dalam kategori kontrak relasional. Kontrak jenis ini dikenal sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa silam, saat ini dan ekspektasi terhadap hubungan di masa depan diantara para pelaku yang terlibat kontrak (Furubotn dan Richter, 2005). Hal tersebut juga nampak dalam butir-butir kesepakatan diantara kedua pihak yang tanpa memperhitungkan risiko pencurian kayu. Kontrak demikian juga dapat dikategorikan sebagai kontrak informal dan tanpa ikatan (non-binding). Jika mengacu kepada bentuk kontrak yang umumnya berlaku dalam sektor pertanian yang dikemukakan Cheung (1969) sebagaimana dikutip oleh Yustika (2012), maka kesepakatan antara pihak KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project merupakan bentuk kontrak bagi hasil (share contract). Bagi hasil penjualan gaharu antara kedua belah pihak telah disepakati yaitu dengan porsi pembagian 50:50. Dari proporsi 50% bagi hasil yang diperoleh kelompok tani, 40% dibagikan kepada anggota KTH, sedangkan sisanya, 10% dialokasikan sebagai uang Kas KTH. Kedua belah pihak telah sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke tempat penjualan yang menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih rendah maka investor bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran penjualan melalui CV. HD Agarwood Project. 3.2. Pemasaran Gaharu di Bangka Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari Pejabat di Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diketahui bahwa sentra pengembangan gaharu di Provinsi ini dipusatkan di Kabupaten Bangka Tengah.Namun demikian, pedagang pengepul gaharu tersebar di beberapa daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, termasuk di Kota Pangkal Pinang, ibukota provinsi. 34 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Berawal dari informasi awal tersebut, penelusuran selanjutnya diarahkan ke Kabupaten Bangka Tengah.Untuk menggali informasi lebih mendalam, wawancara dilakukan terhadap pejabat pemerintahan dan petani di kabupaten tersebut.Hasil wawancara dengan Sekretaris Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah beserta stafnya terungkap bahwa pengembangan dan pengolahan gaharu di Kabupaten tersebut disukung penuh oleh pemerintah. Dinas Perekbunan dan Kehutanan mendapat mandate untuk menyokong segi budidaya dan pengembangan gaharu. Adapun pengolahan gaharu ditangani oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Peran Dinas perkebunan dan kehutanan mengembangakan inokulan khas lokal berbentuk serbuk, sekarang sedang dijuikan di plot pengembangan gaharu di desa trubus dan juga pada tanaman gaharu yang dikembangkan oleh kelompok tani di desa Lubuk. Pada bagian hilir (pengolahan hasil), pemda Kab Bangka Tengah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah memfasilitasi infrastruktur pengolahan the gaharu dan pengolahan hasil gaharu lainnya di Desa Lubuk. Peran Pemda yang patut diapresiasi tersebut kami nilai masih ada kekurangan karena
aspek
pihaknya
belum
mempersiapakan
infrastruktur
untuk
pemasaran
produknya.Walaupun demikian, pemasaran gaharu di Bangka jauh lebih berpihak kepada petani, karena selain menerima gaharu alami, pedagang pengumpul di Bangka juga menerima gaharu hasil inokulasi. Berdasarkan pedagang pengumpul yang berhasil ditemui, di Bangka terdapat tiga saluran pemasaran gaharu.Ketiga alur pemasaran tersebut dapat dibaca pada Gambar 8. Pembeli di Timur Tengah, Asia Timur, Eropa dan Kanada
Pedagang Pengumpul Bangka 1
Petani/ Pengumpul
Pedagang Pengumpul Bangka 2
Pedagang Pengumpul di Jakarta
Pedagang Pengumpul Bangka 3
Pedagang Pengumpul di Bogor
Pembeli di Timur Tengah, China dan Eropa
Pembeli di Timur Tengah
Gambar 8. Alur pemasaran gaharu di Bangka Seperti perdagangan gaharu pada umumnya, harga gaharu di Bangka juga sangat ditentukan oleh pembeli. Harga paling tinggi yang pernah dicapai oleh petani gaharu untuk gaharu hasil inokulasi adalah Rp. 3 Juta per Kg. Gambar 9 berikut memperlihatkan 35 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
bentuk dan penampakkan gaharu hasil inokulasi yang dibeli oleh Pedagang pengumpul (pengepul) di Bangka pada tingkat harga tersebut.
Gambar 9.Gaharu hasil inokulasi umur yang dihargai Rp. 3 Juta per Kg. Gaharu yang dibeli dari petani pada tingkat harga tersebut, umumnya dapat dipasarkan oleh pedagang pengepul pada level harga Rp. 5 – 8 Juta per Kg. Harga tersebut dapat dicapai setelah gaharu yang diperoleh dari petani dibersihkan ( carving) ulang untuk menghilangkan bagian-bagian kayu yang berwarna terang. Biaya yang dibutuhkan untuk proses tersebut umumnya sekitar Rp. 1 Juta per Kg. Dengan demikian jumlah keuntungan yang diperoleh pedagang berkisar antara Rp. 1 – 4 Juta per Kg atau sekitar 33 – 133%. Untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, pemerintah daerah telah mengucurkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur pengolahan gaharu.Salah satunya pabrik pengolahan gaharu yang dibangun di Desa Lubuk Pabrik, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Gambar 10). Pabrik tersebut direncanakan akan memproduksi teh gaharu, sabun dan dupa gaharu.
36 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Gambar 10. Pabrik pengolahan gaharu di Kabupaten Bangka Tengah Pengolahan kayu gaharu yang saat ini telah dilakukan oleh Kelompok Tani adalah pembuatan minyak gaharu, teh gaharu, gelang dan tasbih kayu gaharu.Gambar 11 berikut memperlihatkan produk-produk kayu gaharu oleh Kelompok Tani di Kabupaten Bangka Tengah.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11. Produk gaharu yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Gaharu Harapan, Desa Lubuk Pabrik, Kabupaten Bangka Tengah, yang terdiri dari: (a) minyak gaharu; (b) gelang; dan (c) tasbih. Jika dibandingkan dengan pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas, pemasaran gaharu hasil inokulasi di Bangka memiliki prospek lebih bagus.Dukungan pemerintah dalam rangka pengembangan gaharu juga relatif baik. Sokongan tersebut tidak hanya dalam bentuk bantuan bibit seperti umumnya ditemukan di beberapa daerah lain di wilayah Sumatera daratan, tetapi juga didukung dengan riset yang memadai yang 37 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan untuk mengembangkan inokulan yang paling baik dan speseifik Bangka. Keunggulan kedua adalah pada aspek pemasaran yang telah memberikan nilai yang lumayan tinggi bagi gaharu hasil inokulasi.Walaupun penentuan harga masih menjadi kekuasaan pembeli, namun terbukanya peluang pasar adalah keunggulan yang belum dicapai oleh gaharu hasil inokulasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas. Keunggulan ketiga pemasaran gaharu di Bangka adalah banyaknya varian produk, sehingga petani (pembudidaya) gaharu tidak tergantung pada satu jenis produk. Jika petani menemui kejatuhan harga kayu chip gaharu maka dia dapat mengolah chip tersebut menjadi produk turunan lainnya. Kemampuan seperti ini yang belum dimiliki oleh petani atau Kelompok Tani Pembudidaya gaharu di Kabupaten Musi Rawas. Keunggulan keempat, di Bangka sudah ada pengepul yang memiliki akses langsung ke pembeli gaharu di luar negeri, yaitu di Brunei Darusalam, China, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Abu Dhabi.Bahkan pedagang tersebut juga sudah mampu menembus pasar Eropa seperti Inggris, Italia, Swedia dan Perancis dan juga tembus hingga ke Amerika. Masing-masing Negara tersebut memiliki minat yang tidak sama baik jenis produk maupun jenis wangi gaharu yang diinginkannya. Misalkan Negara Jepang dan China lebih menyukai produk aksesoris seperti gelang dan tasbih serta kayu gaharu yang berbentuk menyerupai binatang atau bentuk lainnya yang unik. Dalam perdagangan gaharu, jenis kayu gaharu demikian dikenal dengan istilah gaharu dekor. Istilah tersebut muncul karena fungsinya yang digunakan untuk menghiasi ruangan atau tempat tertentu (dekorasi). Negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dan lain sebagainya lebih menyukai produk kayu chip dan minyak gaharu. Kayu chip umumnya dibakar untuk mengharumkan ruangan dan tempat tempat tertentu seperti masjid. Adapun minyak gaharu digunakan sebagai wewangian.Bahkan menurut informasi dari pedagang gaharu di Bangka tersebut, prosesi pencucian hazar aswad (batu hitam yang terdapat di Ka’bah), biasanya menggunakan minyak gaharu. Adapun Negara-negara Eropa dan Amerika umumnya menyukai produk minyak gaharu.Berdasarkan pengalaman pengepul di Bangka, permintaan minyak gaharu terbanyak dari negara di Eropa adalah Inggris, sedangkan di benua Amerika adalah Kanada. Keberhasilan pedagang pengepul gaharu di Bangka dalam menembus pasar luar negeri tidak lepas dari kemampuannya menjalin hubungan dan menjaga kepercayaan dengan pihak pembeli. Terlebih, transaksi yang dilakukanya tanpa bertemu langsung, sehingga nama baik penjual mesti dijaga dengan baik. 38 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
3.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Gaharu Informasi yang diperoleh dari hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan Bangka Belitung sebagaimana telah diuraikan di muka dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan pengembangan gaharu di areal KPHP.Belajar dari kondisi yang berkembang di Kabupaten Musi Rawas, Sumsel dan Kabupaten Bangka Tengah, dukungan pemerintah pada pengembangan gaharu selayaknya diberikan secara meneyeluruh dari aspek budidaya hingga pemasaran produk. 4. Aspek Pertumbuhan Tanaman gaharu Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu yang dibudidayakan masyarakat di beberapa lokasi di Propinsi Lampung, menunjukkan adanya keragaman pertumbuhan tanaman, baik antar lokasi maupun pola penanaman yang berbeda. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman padaberbagai umur dan lokasidi beberapa lokasi di Provinsi Lampung (Kab. Lampung Tengah dan Lampung Timur), selengkapnya disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu pada plot ukur No Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lokasi
Umur
Pola Tanam
Notoharjo, Trimurjo Lampung Tengah Pekalongan, Lampung Timur BatanghariNuban, Lampung Timur Batanghari Nuban, Lampung Timur LLLampungPrapto Pekalongan, Lampung Timur Probolinggo, Lampung Timur Trimurjo, Lampung Tengah
6 6
Campuran (Kakao) Monokultur
2
Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah
Letak Geografis
Dbh
H
X 526505
Y 9436179
(cm) 11.20
(m) 7.70
540445
9443537
9.49
6.25
Monokultur
549396
9444234
3.78
4.37
12
Monokultur
549395
9444283
17.08
9.96
6
Monokultur
538672
9437588
6.50
5.29
3
Campuran
560068
9449348
4.14
4.40
2
Campuran
526693
9432677
2.54
4.35
6
Campuran (Kakao) Campuran (Kakao)
526693
9432677
8.44
6.52
526693
9432677
5.60
5.60
6
Data hasil pengukuran pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa pertumbuhan antar tegakan pohon penghasil gaharu (walaupun pada pola tanam dan umur yang sama, 6 tahun) namun dengan perberbedaan lokasi dan kepemilikan, nampak memiliki rerata pertumbuhan yang relatif berbeda (plot 1, 8 dan plot 9). Rerata pertumbuhan tanaman 39 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
pada plot 1 nampak sangat tinggi yaitu sebesar 11,20 cm dan 7,70 m masing-masing untuk diameter dan tinggi, sementara pada plot 8 sebesar 8,44cm dan 6,52m, dan pada plot 9 masing-masing sebesar 5,60 untuk pertumbuhan diameter dan tinggi. Perbedaan pertumbuhan tanaman atau tegakan merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Namun demikian faktor lingkungan seperti kondisi dan kesuburan lahan, intensitas pemeliharaan serta pola tanam merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertmbuhan tanaman (Foth and Turk, 1972). Perbedaan pertrumbuhan tanaman pada plot 1 dan plot diduga dipengaruhi oleh ada perbedaan pengeloaan (intensitas pemeliharaan) seperti durasi pemeliharaan, penyiangan lahan dan pemupukan tanaman. Perbedaan pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pola tanam (pada umur sama, 6 tahun), sebagaimana ditunjukkan pada plot 1, 2, 5, 8 dan plot 9. Dari data pertumbuhan tanaman yang diperoleh, nampak bahwa, dengan pola penanaman agroforestry/campuran telah menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi dibanding pola monokultur, baik pertumbuhan diameter maupun tinggi.
a. b. Gambar 12. Penanaman pola Agroforestry (a), Penanaman pola monokultur (b) Hubungan diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu dapat digunakan sebagai pedoman dalam pola tanam serta jarak tanam dalam pembudidayaan gaharu.Hasil analisis hubungan antara diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu seperti pada Gambar 13 berikut ini.
40 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
4,0 y = 0.352 + 0.230x - 0.004x2 R² = 0.794
3,5 Diameter Tajuk (m)
3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Dbh (cm)
Gambar 13.Grafik hubungan diameter setinggi dada dengan diameter tajuk Berdasarkan gambar diatas pembudidayaan gaharu dengan pola monokultur dengan target diameter setinggi dada sebesar 18 cm jarak tanam yang diperlukan sebesar 3 m x 3 m. Pohon penghasil gaharu memiliki tipe tajuk yang sempit sehingga pohon gaharu sangat cocok dikembangkan dengan pola campuran maupun pola agroforestri. Pola gambar diatas dapat menjadi pedoman dalam pengmbangan gaharu.
41 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
V.
Kesimpulan
1. Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh pada lahan hutan sekunder atau lahan tanaman karet tua. Budidaya tanaman gaharu bisa dilakukan secara campuran (memanfaatkan naungan) ataupun sistem terbuka (tanpa naungan), namun pertumbuhan tanaman gaharu optimal bilamana dikembangkan secara campuran (agroforestri). 2. Pembentukan gaharu secara alamiah yang di alam akan diturunkan ke keturunannya, sehingga
pemilihan
pohon
induk
di
dasarkan
pada
kemampuannya
untuk
menghasilkan gaharu secara alamiah melalui identifikasi batang tanaman yang terdapat retakan dan aroma wangi gaharu pada saat dilakukan pembakaran serpihan kayu. Di dapatkan sebanyak 72 pohon induk dari Sumsel dan koleksi materi genetik berupa anakan alam di persemaian. 3. Di Sumatera Selatan budidaya pohon penghasil gaharu telah berkembang relatif pesat dan masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon penghasil gaharu, namun tidak disertai dengan respon positif pada level pemasaran. Gaharu hasil rekayasa memiliki harga yang jauh lebih rendah dibanding dengan gaharu yang dihasilkan secara alami. Untuk mereduksi kondisi tersebut, kontrak kerjasama dapat dijadikan salah satu solusi yang dapat diterapkan di masyarakat. 4. Di Bangka Tengah, pengolahan gaharu didukung penuh oleh pemerintah setempat melalui pembangunan pabrik pengolahan gaharu untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani. Selain bantuan bibit, riset yang memadai juga dilakukan untuk mengembangkan inokulan paling baik dan spesifik Bangka. Gaharu hasil rekayasa di Bangka memiliki harga yang lebih baik dibanding dengan gaharu hasil rekayasa di Sumatera Selatan. Adanya pengepul yang memiliki akses langsung ke pembeli gaharu di luar negeri, membuat prospek pemasaran gaharu di Bangka menjadi lebih baik.
42 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Akter, S., Islam, M. T., Khan, S. I. (2013). Agarwood production, a multidiciplinary field to be explored in Bangladesh.International Journal of Pharmaceutical and Life Sciences. 2(1), 22-32 Badan Standardisasi Nasional. 2005. Sumber Benih Jati ( Tectona grandis Linn F.) SNI 017135-2005. Burdon, R. D. (2001). Genetic diversity and disease resistance: some considerations for research, breeding, and deployment. Canadian Journal Forestry Resesearch. 31(4), 596–606. Donovan, D.R., Puri, P. K. ( 2004). Learning from traditional knowledgeof non-timber forest products: Penan Benalui and the autecology of aquilara in Indonesian Borneo. Ecology and Society. 9(3):3. Foth, H.D and L.M. Turk. 1972. Fundamentals of Soil Science. Fifth Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York. Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory : The Contribution of The New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of Michigan Press. Ann Arbor. Gibson, I.A.S. (1977). The role of fungi in the origin of oleoresin deposits (Agaru) in the wood of Aquillaria agallocha (Roxb.).Bano Biggyn Patrika 6(1), 16-26. GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http://treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. diakses tanggal 2 Januari 2015. Hills WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-Verlag. Isnaini, Y. 2004. Induksi produksi gubal gaharu melalui inokulasi cendawan dan aplikasi faktor biotik (Disertation). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Keane, P. J., Kile, G. A., Podger, F.D., Brown, B. N. (2000). Diseases and pathogens of eucalypts. CSIRO, Melbourne. Kjaer, E, D., McKinney, L. V., Nielsen, L. R., Hansen, L.N.N., Hansen, J.K. (2011). Adaptive potential of ash (Fraxinus excelsior) populations against the novel emerging pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus.Evolutionary Applications. 5(3), 219-228. La Frankie, J. (1994). Population dynamics of some tropical trees that yield non-timber forest products. Economic Botany, 48(3), 301-309. McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics : Principles, Problems, and Policies. 17th Ed. McGraw-Hill. USA Mucharromah. 2009. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1). Bogar, 29 April2009. Ng L.T., Chang, Y. S, Kadir, A. A. (1997). A Review on agar (gaharu) producing aquilaria species.Journal of Tropical Forest Products. 2(2): 272-285. Novriyanti, E., Santosa, E., Syafii, W., Turjaman, M., Sitepu, I. R. (2010).Antifungal activity of wood extract of Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte against agarwood-inducing fungi, fusarium solani.Journal of Forestry. 7(2), 155-165.
43 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Oldfield, S., Lusty, C., MacKinven, A. (1998).The Word List of Threatened Trees. Heart of
the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis.TRAFFIC International. Pratiwi. 2010. Karakteristik Lahan Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa hutan Tanaman di Jawa Barat. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu berbasis pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor. Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, A.Y.P.B.C. Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmullah., A. Yani, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu (Induction Technology of Eaglewood). Info Hutan. Volume VII. Nomor 2, Tahun 2010.ISSN 1410-0657. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmulah, A. Yani, Aryanto. 2011. Gaharu-Producing Tree Induction Technology. Proceeding of Gaharu Workshop Development of Gaharu Production Technology.ITTO PD425/06 Rev.1 (I). R&D Center For Forest Conservation and Rehabilitation. Forestry Research and Development Agency (FORDA) Ministry of Forestry. Indonesia. Setyawati, T. 2010. Potensi dan Kondisi Regenerasi Alam Gaharu (Aquilaria malaccensi Lamk) di Provinsi Lampung dan Bengkulu, Sumatera.Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu berbasis pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor. SIM-RHL. (2015). Data base Sumber Benih Gaharu. Diakses Tanggal 21 Agustus 2015.http://sim-rhl.com/tes/smbbnh_list.php?qs =aquilaria&criteria=or. Siran, S. A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat “Perkembangan Pemanfaatan Gaharu”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Soehartono, T and A. Mardiastuti. 1997. Review on current trade in gaharu in West Kalimantan. Biodiversitas Indonesia 1(1):1-10. Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai bahan Obat di Sumatera. Laporan Hasil Penelitian Program insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Tidak dipublikasikan. Sofyan, A., I. Muslimin. 2013. Peningkatan Produktifitas Budidaya Gaharu Melalui Pembentukan Batang Ganda dan Teknik Permudaan.Makalah di sampaikan pada seminar Hasil Hutan Bukan Kayu di Mataram, November 2013. Stener, L. G. (2012). Clonal differences in susceptibility to the dieback of Fraxinus excelsior in Southern Sweden.Scandinavian Journal of Forest Research.28(3). DOI: 10.1080/028827581.2012.735699.
44 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Subehan, J.U., F. Hiroharu, A. Faisal, and K. Shigetoshi. 2005. A Field Survey of Agarwood in Indonesia. Journal of Traditional Medicine 22: 244-251. Suhartati, A. Wahyudi. 2011. Pola Agroforestry Tanaman Penghasil Gaharu dan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:363-371, 2011. Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000. Sukoco.2014. Di Pasar Global, Harga Kayu Gaharu Kalimantan “Selangit”.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/14/1722029/Di.Pas ar.Global.Harga.Kayu.Gaharu.Kalimantan.Selangit. diakses tanggal 25 Januari 2015. Sumadiwangsa, S. 1997. Kayu Gaharu Komodite Elite.Kalimantan Timur.Duta Rimba 20: 205-206. Sumarna, Y. 2008. Beberapa aspek ekologi, populasi pohon dan permudaan alam tumbuhan penghasil gaharu kelompok karas ( spp.) diWilayah Provinsi Jambi. Jurnal PenelitianHutan danKonservasiAlam.V(1): 93-99. Surata, I. K., Soenarno. 2011. Penanaman gaharu (Gyrinops verstegii (Gilg.) Domke) Dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:349-361, 2011. Van Beek, H., Phillips, D. (1999). Agarwood.trade and CITES implementation in Southeast Asia. Report TRAFFIC Southeast Asia, Malaysia Waluyo, T. K., F. Anwar. 2012. IIdentifikasi Komponen Kimia Empat Kelas Mutu Gaharu (Kacangan A, Teri B, Kemedangan A dan Kemedangan B). Jurnal Penelitian Hasil hutan Vol. 30 No. 4, Desember 2012:291-300. Wiriadinata, H., G. Semiadi, D. Darnaedi, E. B. Waluyo. 2010. Konsep Budidaya gaharu (Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No. 4:371-380, 2010.
45 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
VII.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta persebaran tanaman penghasil gaharu di Sumatera Selatan
46 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
Lampiran 2.Kerangka Kerja Logis Kegiatan Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan Tahun 2015 Narasi Tujuan : menyediakan iptek budidaya gaharu yang memiliki produktivitas tinggi sehinggadapat mendorong percepatan operasionalisasi KPH melalui usaha budidaya gaharu yang prospektif dan tergambarkannya sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien. Luaran: 1. Peta potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera 2. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera 3. Diketahuinya riap pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan masyarakat dengan berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site) 4. Data dan informasi identifikasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu
Indikator Diperolehnya informasi dan Iptek silvikultur pohon penghasil gaharu yang memiliki produktivitas tinggi
Alat verifikasi
Asumsi
Publikasi ilmiah Demplot Gelar teknologi Infotek
- Tersedianya dana penelitian yang kontinyu - Tersedianaya sarana dan prasarana - Penelitian berjalan secara berkesinambungan
Adanya peta - Paket data dan penyebaran informasi tanaman penghasil - Makalah gaharu di Sumatera seminar - Paket data dan informasi - Makalah seminar
- Dana memadai - Data dan informasi diperoleh dari lapangan - Penelitian berjalan lancar - Dana memadai - SDM memadai - Hasil analisis kimia tanah tepat waktu
- Paket data dan informasi - Laporan tahunan - Makalah seminar
- Dana memadai - Data dan informasi diperoleh dari lapangan - Penelitian berjalan lancar
Diperolehnya - Paket data dan informasi informasi karakteristik - Laporan pemasaran dan tahunan sosial budaya gaharu - Makalah seminar - Makalah jurnal
- Dana memadai - Data dan informasi diperoleh dari lapangan - Penelitian berjalan lancar
Data dan informasi kualitas tempat tumbuh tanaman penghasil gaharu di Sumatera data dan informasi pertumbuhan tanaman gaharu pada berbagai pola tanam dan tempat tumbuh
-
47 Laporan Hasil Penelitian 2015