FRAKSI ETANOL 96% BUI KORO BENGUK ( Mucuna pruriens L. ) SEBAGAI PENINGKAT KUALITAS SPERMATOZOA MENCIT (Mus musculus) The 96% Ethanol Fraction Seed of "Koro Benguk" (Mucuna Pruriens L) to Enhance The Quality Of Spermatozoa Of Mice (Mus Musculus) Sri Winarni1, Rina Judiwati2, Bambang Prajogo3, Alfiah Hayati4 'Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro 2 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 4 Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Email:
[email protected]
Abstract Background:The examination of sperm quality is the main priority for infertility diagnosis. Based on previous study with mice, active ingredient of Mucuna pruriens L. or koro benguk (Papilionaceae), the Ldopa, mav affect the quality of spermatozoa. Objective: Research was to study the effect of 96% ethanol fraction Mucuna pruriens seed on spermatozoa quality of mice exposed to 2-Methoxy ethanol. L-dopa in 96% ethanol fraction of M. pruriens seed was 14.7%. Methode: This was an experimental study using complete randomized design. Subjects were BALB/C mice (Mus musculus). Five groups served as control, 3 groups received subcutaneos injection of2-ME as much as 100 mg/kg.bw/day for 12 days, followed with 96% ethanol fraction Mucuna pruriens seed starting from 14 mg/kg.bw/day, 28 mg/kg.bw/day, and 56 mg/kg.bw/day for 51 days. Result: The 96% ethanol fraction of Mucuna pruriens seeds are significant increase motility (p<0,01) and the percentage of normal spermatozoa morphology (p= 0,042). Conclusion: 96% ethanol fraction of Mucuna pruriens seeds are able to increase motility and the percentage of normal spermatozoa morphology in mice exposed to 2-ME. Keywords: Mucuna pruriens L., L-dopa, mouse spermatozoa
Abstrak Latar belakang: Pemeriksaan kualitas spermatozoa (sperma analisa) merupakan penentu pertama diagnosa infertilitas. Berdasarkan penelitian pada mencit, bahan aktif dari Mucuna pruriens L, atau koro benguk (Papilionaceae) yaitu L-dopa dapat meningkatkan kualitas spermatozoa. Tujuan: Mempelajari pengaruh fraksi etanol 96% biji Mucuna pruriens terhadap kualitas spermatozoa mencit yang terpapar 2-Metoksietanol. L-dopa yang terdapat pada fraksi etanol 96% biji M. pruriens L. = 14,7%.
Metode: Penelitian bersifat eksperimental dengan rancangan acak lengkap. Subjek adalah mencit (Mus musculus). Lima kelompok sebagai kontrol, 3 kelompok diberikan injeksi subcutan 2-ME 100 mg/kg.bb/ hari selama 12 hari, dilanjutkan dengan fraksi etanol 96% yang dimulai dari dosis 14 mg/kg.bb/hari, 28 mg/kg.bb/hari, dan 56 mg/kg.bb/hari selama 51 hari. Hasil: Fraksi etanol 96% biji Mucuna pruriens meningkatkan motilitas (p<0,01) dan persentase morfologi spermatozoa normal (p= 0,042). Kesimpulan: Fraksi etanol 96% biji Mucuna pruriens dapat dipakai meningkatkan motilitas dan persentase morfologi spermatozoa normal mencit yang terpapar 2-ME. Kata kunci: Mucuna pruriens L, L-dopa, spermatozoa mencit.
PENDAHULUAN Beberapa jenis koro (Papilionaceae) antara lain koro pedang (Canavalia ensijormis),
koro glinding (Phaseolus lunatus), koro kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), dan koro benguk (Mucuna pruriens L). Mucuna pruriens L. yang dikenal di daerah dengan
60
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 60 - 66
koro benguk mempunyai kandungan hydrogen cyanide (HCN) yang tinggi apabila dibandingkan dengan jenis koro yang lain. Beberapa penelitian terdahulu, dengan penanganan dan pengolahan yang tepat (menghilangkan bahan toksik) tanaman ini mempunyai potensi yang sangat tinggi. Di India (terutama) banyak memanfaatkan kadar mikroelemen dan makroelemen ekstrak biji M. pruriens. Pada hewan coba terbukti meningkatkan aktifitas seksual hewan coba tikus putih jantan yang normal.1 M. pniriens dapat dimanfaatkan juga sebagai obat herbal mengurangi stres dan meningkatkan kualitas sperma, memperbaiki profil semen dan parameter biokimia seminal plasma dan meningkatkan fertilitas pria2'3'4. Semua ini didukung oleh bahan yang terdapat pada M pruriens, terutama kandungan mikroelemen non protein asam amino (-)-3-(3,4dihydrox)'phenyl)-L-alanine (L-dopa) (3,6% - 4,2%).3 Hal ini sangat berbeda dengan pemanfaatan biji M. pruriens di Indonesia. M. pruriens selama bertahun-tahun di Indonesia dikenal sebagai tumbuhan beracun yang berbahaya bagi manusia dan ternak. Kandungan HCN tersebut, menyebabkan M. pruriens banyak diabaikan bahkan dimusnahkan. Ada beberapa tempat di Indonesia misalnya di Kabupaten Klaten, Wonogiri, Karanganyar dan Surakarta, industri rumah tangga memanfaatkan biji M. pruriens untuk dibuat tempe (tempe benguk), geblek, besengek, kecap." Manfaat M. pruriens untuk penanganan masalah kesehatan reproduksi (infertilitas) di Indonesia belum diteliti secara maksimal. Hal ini sangat diperlukan, karena mengingat infertilitas dalam dekade terakhir ini semakin meningkat. Insiden infertilitas meningkat sejak 40 tahun terakhir.6 Kurang lebih 10-15% jumlah penduduk mengalami infertilitas. Panati7 menyatakan bahwa dua dari setiap sepuluh pasangan suami istri infertil, sedangkan Aesoph7 menjelaskan bahwa 10-15% pasangan suami isteri infertil. Dikatakan bahwa 50% kasus infertil faktor pria terlibat di dalamnya, baik sebagai problem primer atau kombinasi dengan pasangan wanitanya. Pendapat lain menyatakan bahwa penyebab infertil 40% dari pihak pria dan 40% terdapat pada wanita serta 30% pada pihak pria dan 61
wanita.8 Olsen9 melaporkan bahwa konsentrasi spermatozoa berkurang sebanyak 50% dalam kurun waktu 50 tahun (1940-1990). Adanya penurunan konsentrasi sperma dari 113 juta spermatozoa/ml menjadi 66 juta spermatozoa/ml. Faktor yang menyebabkan infertilitas dan dapat berinteraksi dengan sistem endokrin adalah faktor mayor (imun, infeksi), faktor minor (hormon, radiasi, obat, bahan kimia baik yang alami maupun sintetik, dan bahan toksik dari lingkungan dan pekerjaan), dan idiopatik. Salah satu bahan toksik yang sering digunakan dan diketahui mempengaruhi fertilitas adalah 2-Metoksietanol (2-ME). Bahan ini sering dijumpai di industri kimia sebagai pelarut cat, tinta, dan vernis, perekat lem, parfum, kosmetik, pelapis porselin, bahan pembersih, digunakan dalam industri kecil, industri kulit, dan industri plastik pembungkus makanan.10 Toksisitas 2-ME pada pekerja di industri kimia yang menggunakan 2-ME mempunyai resiko infertilitas 1,73 kali dari pada pekerja lain.11 Pada hewan coba, 2ME bisa menyebabkan kerusakan sel, abnormal morfologi spermatozoa, atrofi testis, temporary infertile, infertil yang permanen pada hewan coba. l 2 Harapan dan penyembuhan baru bagi pasangan-pasangan yang tidak mempunyai anak merupakan perhatian utama dalam kemajuan-kemajuan medis di bidang seksologi selama tahun 1980-an. Penyembuhan bisa melalui hormonal dan non hormonal (sintetik dan alam). Menurut Panati, perawatan ini ditujukan tidak hanya untuk para wanita, tetapi juga para pria, karena diketahui bahwa para suami menyebabkan hampir sepertiga masalah infertilitas. Hal ini didukung dengan royal college of obstetricians and gynaecologist (RCOG) sebagai hasil ESHRE Capri Workshop (2000)13 yang menyatakan bahwa sperma analisa merupakan penentu pertama diagnosa infertilitas disamping patensi tuba, diagnosis ovulasi. Berdasarkan hasil workshop tersebut, maka faktor spermatozoa sangat penting dalam mengatasi kasus infertilitas. Keberhasilan proses fertilisasi salah satunya dipengaruhi oleh kualitas spermatozoa yang dihasilkan dari testis. Salah satu penyembuhan melalui jalur non hormonal dari bahan alam yang bisa digunakan adalah biji M. pniriens.
Fraksi etanol 96% biji koro...( Sri, Rina, Bambang & Alfiah)
Berdasarkan data di atas maka peneliti akan menganalisa apakah dengan pemberian fraksi etanol 96% biji M. pruriens dapat memperbaiki (meningkatkan) kualitas spermatozoa mencit yang terpapar bahan toksik (2Metoksietanol). Pada penelitian ini digunakan hewan coba mencit, karena tidak memungkinkan apabila dilakukan pada manusia baik secara etika dan moral. METODE Hewan coba mencit (Mus musculus) yang digunakan adalah mencit jantan, umur 8 minggu, dengan berat badan 25-30 gram dengan jumlah 5 ekor pada tiap kelompok (8 kelompok perlakuan). Hewan coba tersebut diberi perlakuan fraksi etanol 96% biji M. pruriens dari mulai dosis 14 mg/kg.bb/hari, 28 mg/kg.bb/hari, 56 mg/kg.bb/hari selama 51 hari dan sebelumnya diberi perlakuan bahan toksik 2-ME dosis 100 mg/kb.bb/hari selama 12 hari. Fraksi etanol 96% biji M. pruriens diperoleh dengan cara fraksinasi berdasarkan metoda MWEL-1299.14'17 Fraksi etanol 96% biji M. pruriens diberikan kepada hewan coba dengan cara peroral disonde selama 51 hari. Jenis penelitian ini adalah penelitian true experimental laboratoric dengan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dilakukan di laboratorium. Penelitian ini dilakukan dengan pemberian perlakuan fraksi etanol 96% biji M. pruriens selama 51 hari pada mencit jantan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol, yang sebelumnya dipapar dengan 2-ME (2-Metroxyetanol) selama 12 hari. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari delapan kelompok yaitu lima kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Pemberian nomernya dengan randomisasi/dilotre. Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian biji Mucuna pruriens L. (bentuk bahan uji dan dosis). Variabel tergantung penelitian ini adalah jumlah, kecepatan motilitas. persentase viabilitas spermatozoa, dan persentase morfologi spermatozoa normal. Variabel kendali penelitian ini meliputi lama dan cara pemberian fraksi etanol 96% biji M. pruriens, jenis dan cara pemberian aquabidestilata, dosis, cara dan lama pemberian 2-ME, dosis, cara, dan lama
pemberian L-dopa, kesehatan fisik (sehat), pemeliharaan mencit, lingkungan kandang dan ukuran kandang. Setelah perlakuan terhadap hewan coba berakhir, pembedahan diawali dengan pengurbanan hewan coba dengan cara dislokasio os atlas, desinfeksi dengan alkohol 70%, pembedahan abdomen dengan cepat untuk pengambilan epididimis-vas deferen, dan pengumpulan spermatozoa. Pengumpulan spermatozoa dilakukan dengan cara epididimis dan vas deferen dari masingmasing kelompok dipisahkan secara perlahan dari lemak dan testis. Epididimis bagian kauda dipisahkan dengan bagian lainnya (kaput dan korpus) secara perlahan-lahan dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi 2 ml larutan fisiologis (NaCl 0,9%) pada suhu 37-40 °C. Spermatozoa dikoleksi dengan cara flushing, dengan menggunakan mikroskop. Jarum suntik insulin yang mengandung 1 ml larutan NaCl fisiologis dimasukkan ke dalam lubang vas deferen. Jarum ditekan pelan-pelan sampai larutan NaCl fisiologis dapat mendorong spermatozoa yang ada di vas deferen dan epididimis ke luar.15'16 Suspensi spermatozoa ditampung dan siap dianalisis kualitas spermatozoa. Data yang diperoleh dianilisis menggunakan uji komparasi Kruskal-wallis test dan oneway analysis of variance (one-way ANOVA). Hasil yang diperoleh signifikan (menunjukkan perbedaan), uji komparasi Kruskal-wallis test dilanjutkan dengan uji Mann-whitney test dan one-way ANOVA dilanjutkan dengan multiple comparisons (LSD), pada tingkat signifikan 0,05. HASIL Bahan baku dan bahan uji (fraksi etanol 96% biji M. pruriens} dilakukan uji keamanan sebelum perlakuan. Hasil uji keamanan ini diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh Winarni (2010). Kandungan HCN pada biji mentah M. pruriens adalah 123,66 ppm. Setelah dilakukan fraksinasi, kandungan HCN-nya menjadi 0,02879 ± 0,0067 ppm (jauh di bawah batas aman). Iy Batas aman makanan yang mengandung HCN adalah 10 ppm.18 Batas maksimal HCN yang terkandung dalam makanan (bisa diterima) di negara Indonesia adalah 40 ppm.'9 Sisa kandungan HCN dalam fraksi etanol 96%
62
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 60 - 66
biji M. pruriens yang sangat kecil di dalam tubuh akan dinetralisir (detoksifikasi) dengan bantuan enzim rodanase dan asam amino sistin dan metionin yang akan dikeluarkan lewat urin dalam bentuk tiosianat.20 Hal ini didukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa biji M. pruriens mengandung metionin sebesar 0,75 gram/16 gram protein.21
dopa, dengan proporsi 77,6 %, biji M. pruriens memiliki 10 peak, satu puncak
Hasil HPLC menunjukkan bahwa fraksi etanol 96% biji M. pruriens memiliki 19 peak, satu puncak dominan dimiliki oleh L-
Pengaruh fraksi etanol 96% biji M. pruriens pada masing-masing variabel kualitas spermatozoa bisa dilihat pada tabel 1 .
dominan dimiliki oleh L-dopa, dengan kemurnian 94,7 %, dan L-dopa memiliki 9 peak, satu puncak dominan dimiliki oleh Ldopa, dengan kemurnian 94,2 %. Kandungan L-dopa dalam fraksi etanol 96% biji M l7 pruriens sebesar 14,7%.
Tabel 1. Perbandingan mean dan median masing-masing variabel kualitas spennatozoa antara kelompok kontrol (negatif dan positif) dengan kelompok perlakuan fraksi etanol 96% biji M pruriens berbagai dosis Variabel Perlakuan
jumlah spermatozoa (106)
kecepatan motilitas (um/detik)
persentase viabilitas (%)
persentase morfologi spermatozoa norma (%)
2,25 "
4,54 ± 0,6 l a
81,00a
84,50 a
Kontrol negatif (aqua)
4,18a
5,44 ± 0,76 a
79,00 a
92,50 b
Kontrol positif
4,81 a
8,32 ± 0,72 b
83,00a
95,00 b'cj
Fraksi dosis I
5,15 a
7,36 ± 1,05 b
83,50 a
94,50 b'c'*
Fraksi dosis II
4,82 "
7,68 ± 0,86
b
84,50 a
94,00 b'c
Fraksi dosis HI
4,88 a
8,04 ± 0,96 b
87,00 a
95,00 b'c'd
Kontrol negatif (2-ME dan aqua)
Keterangan : Huruf kecil yang mengikuti angka sama menunjukkan tidak ada perbedaan (tidak signiflkan median antar kelompok (p > 0,05)
Ada peningkatan jumlah spermatozoa antara kelompok kontrol (positif dan negatif) apabila dibandingkan dengan kelompok perlakuan, akan tetapi secara statistik tidak ada beda yang signiflkan. Hal ini bisa dilihat dari uji Kruskal-wallis test, yang menyatakan nilai p = 0,298 atau tidak signiflkan. Dari data pada tabel 1. di atas didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan kecepatan motilitas spermatozoa secara signiflkan apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini bisa dilihat dari uji one-way ANOVA yang menyatakan nilai p = 0,000 (p< 0,05 atau signiflkan). Uji one-way ANOVA dilanjutkan dengan uji LSD, untuk melihat letak perbedaan antara masing-masing kelompok perlakuan. Uji 63
LSD yang dilakukan dapat diketahui bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signiflkan kecepatan motilitas antara kelompok kontrol positif (L-dopa) dengan kelompok perlakuan fraksi dosis I sampai dengan dosis III. Tidak terdapat perbedaan yang signiflkan kecepatan motilitas antar kelompok perlakuan fraksi etanol 96% biji M. pruriens. Ada perbedaan yang signiflkan kecepatan motilitas antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan fraksi etanol 96% biji M. pruriens berbagai dosis. Ketiga kelompok kontrol (positif dan negatif) dibandingkan dengan kelompok perlakuan pada variabel persentase viabilitas spermatozoa. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan persentase
Fraksi etanol 96% biji koro...( Sri, Rina, Bambang & Alfiah)
viabilitas spermatozoa secara signifikan. Hal ini bisa dilihat dari uji Kruskal-wallis test yang menyatakan nilai p = 0,252 (p>0,05 atau tidak signifikan). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase morfologi spermatozoa normal pada kelompok perlakuan secara signifikan. Hal ini bisa dilihat dari uji Kruskal-wallis test yang menyatakan nilai p = 0,042 (p<0,05 atau signifikan). Uji Kruskal-wallis test dilanjutkan dengan uji Mann-whitney test, untuk melihat letak perbedaan antara mas ingmas ing kelompok perlakuan. Uji Mann-whitney test menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan persentase morfologi spermatozoa normal antara kelompok kontrol positif dengan fraksi etanol 96% biji M. pruriens berbagai dosis. Ada perbedaan yang signifikan persentase morfologi spermatozoa normal antara kelompok kontrol negatif dengan perlakuan fraksi dosis I sampai dosis III dan antara kelompok kontrol negatif tersebut dengan kelompok kontrol positif. PEMBAHASAN
(0,53 %), coumarins, flavonoid (0,55%), metionin (0,75 gram/16gram protein) dan alkilamin yang mempunyai aktivitas meningkatkan antioksidan.21'" Selain yang disebutkan di atas biji ini juga mengandung tirosin yang lebih tinggi dari kedelai, yaitu sebesar 5,17 gram/16gram protein. 21 Tirosin berfungsi untuk mensin hormon tiroid, anak ginjal, dan merupakan suinber terbentuknya L-dopa (neurohormon otak).26 Pemberian fraksi etanol 96% biji M. pruriens, terbukti dapat meningkatkan kualitas spermatozoa secara signifikan (kecepatan motilitas dan persentase morfologi spermatozoa normal) dibandingkan kelompok kontrol. Data penelitian menunjukkan ada peningkatan kualitas spermatozoa (jumlah spermatozoa dan persentase viabilitas) akan tetapi tidak signifikan. Hal ini dikarenakan sejak awal perlakuan pemberian 2-ME tidak menyebabkan penurunan jumlah spermatozoa. Variabel jumlah spermatozoa dan presentase viabilitas tidak mengalami kenaikkan secara signifikan. Hal ini disebabkan karena dosis yang diberikan pada fraksi terlalu kecil dan dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor pemeriksaan jumlah dan persentase viabilitas spermatozoa (pemeriksaan yang dilakukan adalah secara manual dan tidak menggunakan alat seperti CASA / Computer Assisted Sperm Analysis). Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan- nya tidak ada beda secara statistik (tidak signifikan). Hal-hal yang mempengaruhi persentase viabilitas antara lain lingkungan pemeriksaan (suhu, sterilitas, kelembaban), kecepatan pemeriksaan, dan faktor teknis yang lain. Penelitian sebelumnya LD50 L-dopa per oral untuk mencit adalah 3650 mg/kg.bb.27
Nilai masing-masing variabel kualitas spermatozoa dibandingkan pada perlakuan dengan fraksi etanol 96% biji M. pruriens dengan L-dopa ada sedikit perbedaan (kenaikan). Hal ini disebabkan karena fraksi etanol 96% biji M. pruriens mengandung bahan aktif lain di luar L-dopa yang dapat mendukung peningkatan kualitas spermatozoa, antara lain kandungan mineral Zn (5,0-10,9 mg/100 gram serbuk biji), Mg (174,9-387,6 mg/100 gram serbuk biji), Cu (0,9-2,2 mg/100 gram serbuk biji), Fe (10,815,0 mg/100 gram serbuk biji).4'22 Hal ini juga didukung penelitian lain dari Pugalenthi et al, kandungan mineral dalam biji M. pruriens, Zn :1,0 - 15 mg/100 gram serbuk biji, Mg :85 - 477 mg/100 gram serbuk biji, Cu :0,33 - 4,34 mg/100 gram serbuk biji, Fe :1,3 - 15 mg/100 gram serbuk biji. 21 Mg dan Zn berperan dalam spermatogenesis dan membentuk kofaktor dari beberapa metaloenzim.23 Penelitian Aydemir et al (2006)24 menyatakan bahwa Cu dan Fe ikut berperan
Dosis kelompok fraksi etanol 96% biji M. pruriens perlu dinaikkan dan tetap memperhatikan lethal dose dan dosis lazim. Dosis lazim maksimal untuk L-dopa adalah 800 mg/ hari per oral. Jika dosis tersebut dikonversikan ke mencit menjadi 28 2,08 mg/hari. Dosis yang terbesar dari fraksi etanol 96% biji M. pruriens apabila dibandingkan dengan LD5o L-dopa, yaitu :
penting dalam spermatogenesis dan fertilitas. Biji M. pruriens juga mengandung alkaloids
Fraksi = 14,7X56/100 = 8.23 = 8,23/73 64
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 60 - 66
= 0,11 LD50 (untuk mencit berat badan 20 gram) Nilai yang diperoleh menyatakan bahwa fraksi masih jauh apabila dibandingkan dengan nilai LD50. Peneliti lain yang akan menaikkan dosis fraksi etanol 96% biji M.pruriens dalam perlakuan ke mencit masih memungkinkan. Harapannya jumlah spermatozoa dan persentase viabilitas spermatozoa dapat meningkat secara signifikan. Perlakuan fraksi etanol 96% biji M. pruriens dapat meningkatkan kecepatan motilitas spermatozoa secara signifikan. Hal ini bisa dilihat dari uji one-way ANOVA yang menyatakan nilai p = 0,000 (p< 0,05 atau ada perbedaan yang signifikan). Uji LSD menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kecepatan motilitas antara kelompok kontrol positif (L-dopa) dengan kelompok perlakuan fraksi dosis I sampai III. Ada perbedaan yang signifikan kecepatan motilitas antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan fraksi berbagai dosis. Perlakuan fraksi etanol 96% biji M pruriens dapat meningkatkan persentase morfologi spermatozoa normal secara signifikan. Hal ini bisa dilihat dari uji Kruskalwallis test yang menyatakan nilai p = 0,026 (p< 0,05 atau signifikan). Berdasarkan uji Mann-whitney test menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan persentase morfologi spermatozoa normal antara kelompok kontrol positif dengan fraksi berbagai dosis. KESIMPULAN DAN SARAN
65
etanol untuk melihat sisa etanol yang masih ada dalam fraksi etanol 96% biji M. pruriens. UCAPAN TERIMA KASIH Saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala kasih sayang dan kemudahan yang diberikan-Nya sehingga penelitian ini dapat selesai dan memberikan manfaat untuk diri saya sendiri dan orang lain yang membacanya. Dengan selesainya penelitian ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro (Dra. V.G. Tinuk Istiarti, M.Kes) atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada saya. 2. Tim Laboratorium Biologi Fakultas Sainstek Unair, Laboratorium Fitofarmaka-Farmakognosi Unair, LPPT Unit I Universitas Gadjah Mada, Laboratorium BATAN (Yogyakarta), Laboratorium Kimia Pangan di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan/Umbi-umbian (Malang) dan bagian pemeliharaan hewan percobaan Bioteknologi Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. 3. Bu Rina, Pak Bambang, Bu Alfiah, dan teman kantor yang lain, yang telah memberikan semangat dan dukunganya. 4. Semua pihak yang telah banyak membantu penelitian ini selesai, yang namanya tidak dapat disebutkan saru-persatu.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah fraksi etanol 96% biji koro benguk (Mucuna pruriens L.) meningkatkan kecepatan motilitas dan persentase morfologi spermatozoa normal.
DAFTAR PUSTAKA
Saran yang bisa disampaikan untuk peneliti selanjutnya adalah menaikkan dosis dan lama paparan bahan toksik (2-ME) lebih tinggi dari 100 mg/kg.bb/hari dengan waktu paparan di atas 12 hari, menaikkan dosis L-dopa standart yang dipakai lebih tinggi dari 1,3 mg/hari, dengan tetap memperhatikan dosis lazim dan LDso L-dopa, menaikkan dosis fraksi etanol 96% lebih tinggi 56 mg/kg.bb/hari, dengan tetap memperhatikan LD5o L-dopa, dan melakukan uji residu
2.
1.
3.
4.
Suresh S, Prithiviraj E, Prakash S. Dose and time dependent effects of ethanolic extract of mucuna pruriens linn, seed on sexual behaviour of normal male rats. Journal of Ethnopharmacology, 2009; 122 (3): 497-501. Shukla KK, Mahdi AA, Ahmad MK, Jaiswar SP, Shankwar SN, Tiwari SC. Mucuna pruriens reduces stress and improves the quality of semen in infertile men. eCAM Advance Access published, 2007: pp 1-8. Ahmad MK, Mahdi AA, Shukla KK et al. Effect of mucuna pruriens on semen profile and biochemical parameters in seminal plasma of infertile man. Fertility and Sterility journal, 2008; 90(3): 627-635. Shukla KK, Mahdi AA, Ahmad MK, Shankwar SN, Rajender S, Jaiswar SP. Mucuna pruriens improve male fertility by its action on the
Fraksietanol 96% biji koro...( Sri, Rina, Bambang & Alfiah)
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
hypothalamus-pituitary-gonadal axis. American Society for Reproductive Medicine Published, 2008. Rukmi. Pengaruh berbagai konsentrasi tempe gembus dalam ransum pakan terhadap profil lipid serum darah mencit. Tidak dipublikasi. MGI, 1999. Magister Ilmu Biomedik. Undip. Semarang. Rayburn WF dan Carey JC. Obstetri dan Ginekologi (Obstetrics and Gynecology). Alih bahasa oleh Chalik TMA, 2004. Jakarta: EGC: him 313-332. Pasqualotto FF, Lucon AM, Sobreiro BP, Pasqualotto EB, and Arap S. Effects of medical therapy, alcohol, smoking, and endocrine disrupters on male infertility. Rev. Hosp. Clin. Med. S. Paulo, 2004; 59(6): 375-382. Speroff L, & Fritz MA. Clinical gynecology endocrinology and infertility. (7th edition). 2005. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. Sigman M and Jarow JP. Male infertility, In: Campbell-Walsh Urology. University of Pennsylvania Medical Center. (9th edition). 2007. Saunders-Elsevier; 1:609-625. Wang W and RE. Chapin. Differential gene expression detected by supression subtractive hybridization in the cthylene glycol monomethyl ether-induced testicular lesion. Toxicological Sciences, 2000; 56:165-174. Shih TS, AT Hsieh, YH Chen, GD Liao, CY Chen, JS Chou, and SH Liou. Follow up study of hematological effects in wokers exposed to 2methoxyetbanol. Occupational and Environmental Medicine, 2003; 60:130-135. Millar JD. Glycol ether, 2-methoxyethanol and 2ethoxyethanol in current Intelligent Bulletin 39. DHHS (NIOSH) Publication, 1983: 83-112 RCOG Guidelines. The first category the basic routine infertility, investigation grade B recommendation 1999 in ESHRE Capri Workshop, 2000. National Guidelines Clearinghouse. Misra L, Wagner H. Extraction of bioactive principles from mucuna pruriens seeds. Indian Journal of Biochemistry & Biophysics , 2007; 44: 56-60. Goyal HO, TD Braden, M Mansour, CS William, A Kamaleldin, and KK Srivastava. Diethylstilbestrol-treated adult rats with altered apididymal sperm numbers and sperm motility parameter but without alteration in sperm production and sperm morphology. Biology of reproduction, 2001; 64: 927-934
16. Hayati A. Kajian kualitas dan protein membran spermatozoa tikus (Rattus novergicus) akibat pemaparan 2-methoxyethanol. Disertasi, 2007. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17. Winarni S. Pengaruh fraksi etanol 96% dan isolat biji koro benguk (Mucuna pruriens L.) terhadap kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus) terpapar 2-metoksietanol. Tesis, 2010. 18. FAO/WHO. Joint FAO/WHO food standarts programme. Codex Alimentarius Commission XII. FAO, 1991; Supplement 4. Rome. Italy. 19. Cardoso AP, Mirione E, Ernesto M, Massaza F, Cliff J, Haque MR, et al. Processing of cassava roots to remove cyanogens. Journal of Food Composition And Analysis, 2005; 8:451-460. 20. Montagnac JA, Davis CR, Tanumihardjo SA. Processing techniques to reduce toxicity and antinutrients of cassava for use as a staple food. In Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Institute of Food Technologists, 2009; 8: 17-27. 21 Pugalenthi M, Vadivel V, Siddhuraju P. Alternative food/feed perspectives of an underutilized legume mucuna pruriens var. utilisA Review. Plant Foods for Human Nutririon, 2005; 60: 201-218. 22 Vijayakumari K, Smitha KB, Junardhanan K. Biochemical characterization of the tribal pulse, Mucuna utilis Wall ex. Weight Seeds. J Food Sci Technol, 2002; 39: 650 - 653 23 Galdes and Vallee. Categories of zinc metalloenzymes. In: Sigel H, ed. Metals ions in biological system, 1983. New York : Dekker: 1-6. 24. Aydemir, Kizeler, Onaran. Aliei, Ozkara, Akyoleu. Impact of Cu and Fe concentrations on oxidative damage in male infertility. Biol Trace Elem Res, 2006; 112: 193-203. 25. Rajeshwar Y, Kumar GPS, Gupta M, Mazumder UK. es on in vitro antioxidant activities of methanol extract of Mucuna pruriens (Fabaceae) seeds. Eur Bull Drug Res, 2005; 13: 31-39. 26. Tjay T.H. and Rahardja K. Dasar-dasar diet sehat. (Ed 5). 2002. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: 838-850. 27. Budavari S, O'Neil J, Smith Ann, Heckelman PE. The Merck Index. An Encyclopedia of chemicals, drugs, and biological. (Eleventh Edition). 1989. USA: Merck & Co.,Inc: 860-861. 28. Dorfman P and de Landoni JH. Levodopa. 1999.. Diakses pada tanggal 8 Januari 2010. melalui www.inchem.org/documents/pims/pharm/levedop a.htm -
66
PERUBAHAN KONSENTRASI SPERMATOZOA PADA PRIA TERPAPAR EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI SURABAYA TAHUN 2007 The Changes of The Spermatozoa Concentration In Men Exposed To Vehicle Exhaust Emissions In Surabaya In 2007 Reny Ftishom1, Kerry Sofyan Lubis 2 , Onny Pieters Sono \ Hamdani Lunardhi 1 1 .Departemen Biologi Kedokteran FK Unair 2. Klinik Andrologi RS PELNI Jakarta Email:
[email protected]
Abstract Background: Lead is a toxic metal that can affect fertility in men . Objective: To evaluate sperm concentration and the blood lead levels in men occupationally exposed to motor vehicle gas emission. Methode: Sample semen from 60 men as parking workers (severe exposed workers and mild exposed workers). In a comparative cross sectional study of 30 men as parking workers (severe exposed workers, 8 hours/day, 8.1 ±3.1 years exposure) and 30 men mild exposed as control living in the same area. Semen was analyzed following World Health Organization (WHO) procedure and blood lead levels was measured using atomic absorption spectrophotometty. Result: Mean of sperm concentration was significantly lower in severe exposed workers versus mild exposed workers. Mean levels of sperm concentration was 27,63 ± 10,16 x l(f/cc (severe exposed -workers), and 38,99 ± 14,46 x l(f/cc (mild exposed workers). Mean blood lead levels were significantly higher in severe exposed workers, i.e. 1.8 times higher than in mild exposed workers (168.22 ± 28.68 jUg/dL versus 92.01 ± 23.25 jUg/dL). Blood lead levels were inversely correlated with sperm concentration. Conclusion: The present study shows that the blood lead levels: 1) have adversely affected sperm concentration, 2) are inversely correlated with sperm concentration, and 3) are below the WHOrecommended health based limit for occupational lead exposure in male subjects. Key words : gas emission, lead, sperm concentration
Abstrak Latar belakang: Timbal merupakan logam toksik yang dapat mempengaruhi fertilitas pada pria. Tujuan: Mengetahui gambaran kadar timbal darah dan konsentrasi spermatozoa pada pria terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor. Metode: Rancangan penelitian deskriptif-observasional, comparative cross sectional, purposive sampling, laboratoris. Subyek adalah 30 orang petugas parkir (kelompok terpapar berat) dan 30 orang kelompok pria (kelompok terpapar ringan) tidak memakai obat-obatan hormonal, tidak terkontaminasi bahan kimia, tidak tergantung alkohol dan obat-obatan psikotropika, Body Mass Index(BMI) antara 18,5 - 24,9 di Surabaya tahun 2007. Hasil: Konsentrasi spermatozoa menunjukkan perbedaan secara bermakna (p<0,05) antar kelompok : a) Nilai konsentrasi: 27,63 ± 10,16 juta/ml (terpapar berat), dan 38,99 ± 14,46 juta/ml (terpapar ringan), b) Nilai kadar timbal darah: 168,22 ± 28,68 ug/dL (terpapar berat), dan 92,01 ± 23,25 ug/dL (terpapar ringan). Ada korelasi negatif antara nilai kadar timbal darah dan konsentrasi spermatozoa secara bermakna (p < 0,05) Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar timbal darah: 1) telah mempengaruhi konsentrasi sperma, 2) berkorelasi terbalik dengan konsentrasi sperma, dan 3) paparan timbal pada pria berada di bawah batas kesehatan yang direkomendasikan WHO . Kata kunci: Emisi gas, timbal dalam darah, sperma, petugas parkir
67
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 67 - 72
PENDAHULUAN Dari 15 % pasangan usia produktif yang mengalami infertil, peranan pasangan pria hampir 20 % dan kedua pasangan berperan 30-40 % terhadap infertilitas1. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap menurunnya fertilitas pria yaitu kualitas semen normal menjadi rurun terutama yang dialami oleh negara-negara industri, maupun di negara berkembang akibat penggunaan jumlah kendaraan bermotor yang meningkat dengan pemakaian bensin bertimbal.2'J Timbal merupakan salah satu logam yang dapat mencemari lingkungan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor maupun lingkungan tempat kerja tertentu, yang bersifat toksik multi organ pada manusia. Salah satu efek toksik timbal berupa penurunan fertilitas pria meliputi kualitas spermatozoa. Prevalensi keracunan timbal pada penduduk di Amerika Serikat adalah 0,7 % dari survei yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 1999-2002.4 Akibat efek negatif timbal berupa toksik multi organ pada manusia, maka dilakukanlah usaha yang kongkrit dengan menurunkan produksi timbal secara total di dunia dari 3,4 juta ton tahun 1970 menjadi 3,1 juta ton tahun 2000. Demikian juga usaha berupa larangan pemakaian bensin bertimbal pada kendaraan bermotor telah ditetapkan sejak KIT Bumi di Rio 1992 dan diikuti oleh negara seperti AS sejak 1980-an dan negara-negara di Asia Tenggara sejak 1990-an. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui efek dari timbal terhadap penurunan kualitas spermatozoa, baik pada hewan maupun pada manusia menunjukkan hasil berupa penurunan kualitas spermatozoa.5'6'7'8'9 Program pencanangan langit biru melalui penghapusan pemakaian bahan bakar kendaraan bermotor tanpa timbal di Indonesia telah dilakukan oleh pertamina per 1 Juli 2001 untuk kota Jakarta dan per 1 Januari 2003 untuk nasional.10 Terhitung mulai per 1 Januari 2003 di Indonesia telah dicanangkan secara nasional program "bebas timbal", tapi kenyataannya program tersebut
tidak terlaksana secara serempak diseluruh wilayah Indonesia. Penyuplai pencemaran udara terbesar berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor sampai ± 70 %. Kondisi inilah yang memberikan efek negatif pada pasangan pria usia produktif yang mempunyai profesi beresiko terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor. Dari Kajian Bapedal Jatim tahun 2001 sebanyak 85 orang terhadap anak jalanan dan polisi lalu lintas di Surabaya yang mempunyai resiko besar terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor, didapatkan nilai kadar timbal dalam darahnya cukup tinggi yaitu 216,50 687,50 ug/L.11 Dengan berbagai alasan teknis dan biaya, program pemakaian bensin bebas timbal belum terlaksana secara maksimal di Indonesia. Kalaupun ada, hanya menyediakan SPBU untuk bahan bakar bebas timbal seperti: Super TT 98, BB2L (Bensin Biru 2 Langkah) yang jumlahnya sangat terbatas. Permasalahan ini tentu akan menjadi resiko pada pria usia produktif yang akan mendepositkan timbal dalam tubuh, sehingga berpengaruh terhadap fertilitasnya. Di Indonesia, penelitian tentang timbal baru sebatas penentuan kadar timbal dalam darah pada pria yang pekerjaannya mempunyai resiko terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor, dan belum menghubungkan dengan masalah infertilitas pria (penurunan kualitas spermatozoa normal). Pada penelitian ini, diharapkan dapat membuktikan hubungan kadar timbal (Pb) dalam darah pada pria terpapar berat emisi gas buang kendaraan bermotor terhadap konsentrasi spermatozoa. METODE Rancangan penelitian ini suatu studi diskriptif - observasional, laboratoris dalam bentuk disain comparative cross sectional study. Pengamatan dilakukan satu kali yaitu pengamatan konsentrasi spermatozoa dan kadar timbal (Pb) darah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2007 sampai Januari 2008 di Klinik Andrologi RSU Dr. Soetomo Surabaya dan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Surabaya. Penelitian ini mendapatkan sertifikat Kelaikan Etik dari Unit Bioetik Kedokteran dan Humaniora Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga 68
Konsentrasi spermatozoa pada pria...( Reny, Hery, Onny & Hamdani)
Surabaya. Besar sampel yang digunakan adalah 60 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok, menggunakan teknik purposive random sampling. Kelompok pertama adalah pria yang mempunyai resiko terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor dan kelompok kedua yaitu pria yang tidak terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor dan berdomisili di kota Surabaya. Subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi akan diberi penjelasan tentang tujuan/penelitian serta efek samping jika ada. Sebagai kriteria inklusi adalah pria berusia 21 -- 40 tahun dan telah bekerja minimal 1 tahun, sehat jasmani dan rohani (kriteria WHO), tidak ada varicocele, tidak ada obstruksi jalannya plasma semen secara fisik, tidak leukospermia, tidak disfungsi seksual, tidak ada kelainan letak dan ukuran testis, tidak ada riwayat penyakit sistemik atau kronis, tidak pernah mengalami keradangan pada testis paska pubertas, tidak mengalami demam dalam waktu 6 bulan terakhir, tidak memakai obat-obatan hormonal, tidak terkontaminasi bahan kimia, tidak tergantung alkohol dan obat-obatan psikotropika, Body Mass Index (BMI) antara 18,5 24,9. Bila bersedia mengikuti penelitian, subyek akan mengisi dan menanda tangani Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Statement of Consent), setelah membaca Penjelasan Untuk
Mendapatkan Persetujuan (Information consent).
for
Semen diperoleh dengan cara masturbasi, sebelumnya subyek dianjurkan abstinensi selama 2 hari serta tidak lebih lama dari 7 hari. Metode pengukuran konsentrasi menurut WHO l2, semen yang telah dikocok rata dan telah mengalami likuifaksi sempurna diencerkan 1:10, 1:20 tergantung kepadatan spermatozoa/lp. Untuk pengenceran tersebut dapat dipakai pipet lekosit. Caranya semen dimasukkan dalam pipet lekosit sampai dengan angka 0.5 - 1, kemudian ditambah larutan pengencer sampai angka 11, dikocok menurut angka 8 selama 15-20 menit. Kemudian buang 3 tetes pertama sebelum diteteskan ke kamar hitung Neubeaur. Biarkan 15-20 menit agar semua sel mengendap/merata di dalam kamar hitung. Hitung spermatozoa yang terlihat uruh mulai kepala sampai ekor. Untuk pengenceran 10 kali X 100.000 dan untuk pengenceran 20 kali X 200.000. Hasil hitungan dalam satuan juta/ml. Darah untuk pemeriksaan kadar timbal diambil dari vena kubitip sebanyak 3 ml dan dilihat dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). HASIL Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
label 1. Karakteristik Subyek Penelitian
Subyek Terpapar
Jumlah (orang) 30
Umur (tahun) 22-39
Kontrol
30
21-40
Lama kerja (tahun) 2-15
1-20
Hasil diskripsi rerata dan simpangan baku konsentrasi spermatozoa, kadar timbal dalam darah dan umur pada kelompok terpapar
Waktu kerja jam/hari 8-12
8-10
emisi gas buang kendaraan bermotor dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rerata dan simpangan baku konsentrasi spermatozoa, kadar timbal dalam darah, dan umur kelompok terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor dan kelompok kontrol Kelompok
Statistik
Terpapar
Rerata Simpangan Baku Rerata Simpangan Baku
Kontrol
69
Konsentrasi Spermatozoa (Juta/ ml) 27,63 10,16 38,99 14,46
Kadar Pb Darah 168,22 28,68 92,01 23,25
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 67 - 72
Rerata konsentrasi spermatozoa pada kelompok terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor nilainya lebih rendah (27,63 ± 10,16 juta/ml) dibandingkan dengan rerata kelompok kontrol (38,99 ±1 4,46 juta/ml), namun secara klinis nilai rerata konsentrasi spermatozoa masih dalam range normal. Sedangkan rerata kadar timbal dalam darah pada kelompok terpapar lebih tinggi (168,22 ± 28,68 ug/dL) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (92,01 ± 23,25 ng/L). Hasil uji korelasi antara kadar timbal dalam darah dan konsentrasi spermatozoa dengan menggunakan Pearson Correlation dapat dilihat pada label 2.
label 2. Matrix uji korelasi antara kadar timbal dalam darah dan motilitas spermatozoa. Variabel Bebas
Statistik
Konsentrasi
Kadar Timbal
Korelasi
-0,341
Probabilitas
000
Nilai koefisien korelasi kadar timbal dan konsentrasi spermatozoa : - 0,341 (p<0,05). Pada tabel 2, makin tinggi kadar timbal dalam darah makin kecil nilai konsentrasi spermatozoa. Hasil uji regresi sederhana linier konsentrasi spermatozoa pada kadar timbal dalam darah dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji regresi linier konsentrasi spennatozoa pada kadar timbal VARIABEL SLOPE PROBABILITAS KORELASI KONSTAN N= Konsentrasi a+b
-0,341
-0,100
46,384
60
0,000
KONSENTRASI 80 70 60 50 40 30 20 0
10
Observed
° Linear
0 100
200
300
KADAR TIMBAL Gambar 1. Regresi linier kadar timbal darah dengan konsentrasi spermatozoa
Korelasi negatif antara konsentrasi spermatozoa dengan kadar timbal dalam darah dapat dilihat pada gambar 1. PEMBAHASAN Konsentrasi Spermatozoa pada Pria Terpapar Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Konsentrasi spermatozoa pada kelompok terpapar berat lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada pria penjaga pintu tol yang terpapar emisi gas buang kendaraan bermotor, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.13 Sedangkan penelitian lainnya yang dilakukan terhadap pria yang bekerja di pabrik cat menunjukkan perbedaan yang bermakna.9'14 Penelitian lainnya yang dilakukan terhadap pria pekerja di peleburan timbal, juga menunjukkan penurunan konsentrasi spermatozoa.7 70
Konsentrasi spermatozoa pada pria...( Reny, Hery, Onny & Hamdani)
Penurunan kualitas sperma- tozoa akibat paparan timbal karena timbal dapat menembus/melewati blood testis barrier, 5'14 pendapat ini diperkuat dengan tidak ditemukannya perubahan pada konsentrasi hormon reproduksi pada pria yang terpapar timbal di peleburan timbal.7 Kadar Timbal dalam Darah pada Pria Terpapar Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Rerata kadar timbal dalam darah pada kelompok terpapar berat 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil ini hampir sama dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Rosa et al.,2003; Naha dan Chowdhury, 2005; Naha dan Manna, 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Rosa et al.,2003 terhadap pria penjaga pintu tol, rerata pada kelompok terpapar 20,1 ± 0,6 ug/dl (range 10-32 jag/dl) dan kelompok kontrol 7,4 ± 0,5 ^g/dl (range 1,316,5 ng/dl). Rerata kadar timbal di dalam darah pada kelompok terpapar pada penelitian ini, nilainya lebih rendah dari batas ambang yang direkomendasikan oleh WHO, dimana nilai > 400 |ug/L baru memberikan pengaruh pada kualitas semen 15>16. Pada penelitian lainnya, dikatakan bahwa nilai kadar timbal > 15 (ig/dl (nilai dibawah batas ambang) sudah bisa mempengaruhi konsentrasi spermatozoa akibat paparan timbal di tempat peleburan 7. Kadar nilai timbal dalam darah di bawah batas ambang sudah memberikan pengaruh terhadap kualitas semen, hal ini kemungkinan disebabkan karena: (1) Efek timbal yang bersifat kumulatif di dalam tubuh terutama di rulang,17 (2) Tergantung asupan gizi (zat besi, kalsium, seng), dimana defisiensi ke tiga zat tersebut akan meningkatkan absorpsi timbal,4 (3). Adanya tiga gen yaitu : gen yang mengkode d-aminolevulinic acid dehydratase, res eptor gen vitamin D dan gen hemochromatosis yang mengkode HFE protein yang berperan terhadap bioakumulasi dan toksikinetik timbal pada manusia.18 Hubungan Kadar Timbal dalam Darah dan Konsentrasi Spermatozoa pada Pria Terpapar Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
71
Pemeriksaan kadar timbal dalam darah merupakan petanda yang baik pada kasus penurunan kualitas spermatozoa akibat efek toksik timbal pada sistem reproduksi pria 15. Efek toksik akibat akumulasi timbal dalam tubuh dapat mengakibatkan perubahan proses biokimia dan histopatologis pada testis dan epididimis pada tikus setelah diberi timbal dosis toksik per oral selama 3 bulan.8 Partikel timbal di udara dari emisi gas buang kendaraan bermotor bermasa tinggal di udara 4-40 hari,19 kondisi inilah yang memberikan resiko kepada pria yang mempunyai profesi seperti petugas parkir. Hampir 95 % timbal yang terabsorpsi di dalam tubuh akan terakumulasi di dalam tulang, dengan waktu paruh di tulang selama 28 tahun, 4 yang selanjutnya memberikan pengaruh berupa penurunan kualitas semen baik langsung menembus blood testis barrier 5>l4 maupun secara tidak langsung mempengaruhi kelenjar seks aksesoris 9 ' I4>2 °. Beberapa mekanisme akibat paparan timbal yang memberikan efek berupa penurunan konsentrasi spermatozoa diantaranya adalah sebagai berikut: a) timbal diduga dapat menghambat Na+fC-ATP pump, yang akan berdampak terhadap membran sel dan mitokondria dan selanjutnya akan meningkatkan fragilitas sel (bisa lisis),6 b) Inhibin B merupakan petanda yang baik dari fungsi sel Sertoli dan proses spermatogenesis. Kadar Inhibin B berkorelasi positif secara signifikan terhadap kadar timbal dalam darah dan konsentrasi spermatozoa, c) selama proses spermatogenesis (pembentukan elongated spermatid), protein histone diganti oleh protamin, yang berperan unruk mengkondensasi dan melindungi DNA spermatoza. Pada manusia, seng berperan menstabilkan kromatin spermatozoa dan mengikat protamin P2 (HPa). Timbal dapat berkompetisi atau mengganti seng pada HP2 secara in vivo. Timbal mempunyai kemampuan unruk mempengaruhi ikatan HP2-DNA yang bisa merubah kondensasi kromatin pada spermatozoa dan selanjutnya akan menurunkan fertilitas,21 d) teori mengcnai blood-testisbarrier (yang fungsinya sama dengan bloodbrain-barrier) menunjukkan bahwa epitel germinal dibagi menjadi dua bagian ruangan : 1. daerah basal, terdiri dari sperma-
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 67 - 72
togonia, dan 2. daerah adluminal, daerah diferensiasi sel. Makanan maupun bahan toksik lebih mudah masuk ke daerah basal dibandingkan daerah adluminal karena adanya tight junction di daerah adluminal. Jadi interaksi antara timbal dan sel germinal lebih mudah pada spermatogonia dibandingkan dengan sel diferensiasi di daerah adluminal.5 KESIMPULAN Karakteristik subyek penelitian adalah petugas parkir yang berumur 22 - 39 tahun, bekerja selama 2 - 1 5 tahun dan tiap hari bekerja selama 8 12 jam, sedangkan kelompok kontrol adalah umur 21 - 40, lama bekerja 1 - 20 tahun dan tiap hari bekerja selama 8 - 1 0 jam. Konsentrasi spermatozoa kelompok terpapar sebesar 27,63 juta/ml dan menurut WHO adalah normal yaitu sebesar D 20 juta/ml, sedangkan kelompok kontrol adalah sebesar 3 8,99 juta/ml.12 Kadar timbal dalam darah pada kelompok terpapar adalah sebesar 168,22 ng/dL dan kelompok kontrol 92,01 ng/L. Menurut WHO, ambang batas kadar Pb dalam darah adalah sebesar 400 tig/L. Dengan paparan timbal yang dibawah ambang batas WHO, sudah dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa meskipun secara Minis masih dalam batas normal. UCAPAN TERIMA KASIH
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
Penelitian ini didanai oleh Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. DAFTAR PUSTAKA 1.
1.
3.
4.
Thonneau P Marchand S, Tallec A, Ferial ML, Ducot B, Lansac J. Incidence and main causes of infertility in a resident population (1,850 ,000) of three French region (1988-1989). Human Reprod. 1991. 6:811-6. Benoff S, Jacob A, Hurley IR. Male infertility and environmental exposure to lead and cadmium. Hum Repro 2000; 6(2): 107-21. Dohle GR, Weidner W, Jungwirth A, Colpi G, Papp G, Pomerol J. 2004. Guidelines on male infertility. European Association of Urology. Habal R. Toxicity. lead, (cited 2007 2435.may). Available from: http://www.emedi. com. 2006.
17.
18.
19.
20.
21.
Apostoli P, Kiss P, Porru S, Ponde JP, Vanhoorne M. Male reproductive toricity of lead in animals and humans ASCLEPIOS Study Group. Occup Enviroi M"d 1998. 55:364-74. Agarwal A. 2005. Role of oxidative stress in male infertility and antioxidant upplementation. Business Briefing: US & Urological disease. Alexander BH., Checkoway H., van Netten C., Muller CH., Ewers TG., Kaufman ID., Mueller BA., Vaughan TL., Faustman EM. Semen quality of men at a lead smelter. Occup. Environ. Med. 1996 : 53, 411-6. Batra N, Nehru B, Bansal MP. Influence of lead and zinc on rat male reproduction at biochemical and histopathological levels. J. Appl. Toxicol. 2001. 21:507-12. Naha N, Manna B. Mechanism of lead induced effect on human spermatozoa after occupational exposure. Kathmadu Univ Med J. 2007.5,1 (17):85-94. Sirait T. Kebijakan bersih-bensin tanpa timbal menyelainatkan generasi bangsa. Jakarta. 2001. Arisandi P. Mewaspadai bahaya polusi timbal di Surabaya. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. 2004. 21:42:11 World Health Organization. WHO laboratory manual for the examination of hum?'! jmen and sperm-servical mucus interacti .; irth ed. Cambride University Press. 1 . ork. 1999: 14-146. De Rosa M., Zarrilli S., Paesano L. Traffic pollutants affect fertility in men. Hum. Repr>. 2003: 18(5). 1055-61 Naha N, Chowdhury AR, Toxic effect of lead on human spermatozoa: A study among pigment factory workers. Indian J Occitt> Environ Med.2005. 9(3):118-123. Telisman S, Cvitkovic P, Jurasovic J, Pizent A, Gavella M, Rocic B. Semen quality and reproductive function in relation to biomarkers of lead, cadmium, and copper in men. Enviro:-. Heath Perspect. 2000. 108(l):45-53 SCOEL. Recommendation of the scientific committee on occupational exposure limits for lead and its inorganic compounds, (cited 2007 Agust). Available from: http://www.ee.europa. eu/employment social. 2002. KPBB. Kebijakan energi bersih melalui penghapusan bensin bertimbal (Pb). Jakarta. 2007b. Eibensteiner L, Sanz ADC, Frumkin H, Gonzales C, Gonzales GF. Int. J. Occup. Environ. Health; 2005: (11): 161-6. KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal). Dampak pemakaian bensin bertimbal dan kesehatan. Jakarta. 2007a. Pant N, Banerjee AK, Pandey S, Mathur N, Saxena DK, Srivastava SP. Correlation of lead and cadmium in human seminal plasma with seminal vesicle and prostatic markers. Hum Experimental Toxicol. 2003. 22:125-8. Vega BQ, Hoover DJ, Bal W. Lead interaction with human protamin (HP2) as a mechanism of male reproductive toxicity. Chem Res Toxicol, 2000. 13 (7), 594-600.
72
AKTIVITAS SEHARI-HARI, POLA MAKAN DAN PERILAKU PENCARIAN PENGOBATAN IBU HAMIL DAN NIFAS SUKU KAMORO, PAPUA Daily Activity, Diet And Health Seeking Behavior of Pregnant and Postpartum
Women in Comoros Tribe, Papua Qomariah Alwi Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Email:
[email protected]
Abstract Background: According to a quick Survey of Papua in 2000, MMR of Papua province was about 750 to 1.300, especially Mimika district was about 1.100per 100.000 live birth. This number is 4 times higher than national number. Objective: The aim of this research is to get information due to pregnant and lactating mother behaviors in health care. Methode: Design is qualitative fenomenologic approach. This research was carried out in 2005 in Mimika District ofPTFreeport Indonesia (PT FI) project area to indigenous people: Kamoro tribe who lived in Mwapi and Poumako villages. Collecting data by indepth interview and observation in daily activities, food patern dan seeking health care. Result: That pregnant and lactating mother's daily activities in seeking food to jungle, river and sea tend to dangering mothers health. Beside that their food taboos with high protein caused anaemia and low energic chronic. Those mothers also still seeked treatment of traditional birth attendants and avoided health care of midwife who live near their houses. Conclusion: Explanation about diet and security on the pregnant and lactating mother to prevent the occurrence complication or even dead. Keywords: activity, foodpatern,treatment, pregnancy, Kamoro Tribe Abstrak Latar belakang: Menurut Survei Cepat AKI Papua tahun 2000, AKI propinsi Papua berkisar antara 750 sampai 1.300, khususnya AKI Kabupaten Mimika sebesar 1.100 per 100.000 KH. Angka ini sekitar 3-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional. Tujuan: Mengetahui perilaku ibu-ibu Suku Kamoro selama kehamilan dan masa nifas dalam memelihara kesehatannya. Metode: Disain penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomonologi Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mimika pada wilayah kontrak kerja PT Freeport Indonesia (PT FI) pada penduduk asli: Suku Kamoro yang tinggal di desa Mwapi dan Poumako. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan pengamatan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilaku pencarian pengobatan. Hasil: Aktivitas sehari-hari ibu hamil dan masa nifas mencari bahan makanan di hutan, sungai dan laut berpotensi membahayakan kesehatan ibu. Pola makanan pantang yang mengandung protein tinggi menyebabkan ibu menderita anemia and kurang energi dan kalori. Pencarian pengobatan dari dukun bayi dan menghindari pertolongan bidan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Hal ini dapat memungkinkan terjadi komplikasi persalinan atau kematian ibu. Kesimpulan: Perlunya penjelasan pola makan dan keamanan pada ibu hamil dan nifas untuk mencegah terjadinya komplikasi persalinan yang berakibat kematian ibu. Kata kunci: aktivitas, pola makan. pengobatan, kehamilan, nifas, Suku Kamoro.
73
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1, No 2, April 2011 : 73 - 83
PENDAHULUAN Goal kelima MDGs adalah meningkatkan kesehatan ibu. Untuk Indonesia dua dari tiga goal yang ditetapkan adalah pertama menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 390 per 100 000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 1990 menjadi 102 pada tahun 2015, kedua meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 40,7% (1990) menjadi 100% (2015).' Menurut Survei Cepat AKI Papua tahun 2000, AKI propinsi Papua masih sangat tinggi yaitu sekitar 750 sampai 1.300 per 100 000 KH, dan untuk Kabupaten Mimika AKI sebesar 1100 per 100 000 KH.2 Untuk menurunkan AKI berbagai upaya pemerintah telah dilakukan antara lain sejak tahun 1990 mendidik sejumlah besar tenaga bidan desa dan kemudian dilanjutkan bidan tingkat akademi sehingga jumlah bidan seluruh Indonesia sekitar 98 000 orang pada tahun 2008. Angka ini merupakan angka yang tertinggi di dunia dalam satu negara, dan bila dibandingkan dengan jumlah desa di Indonesia (70 611 desa) maka ratio sudah melebihi. Namun menurut Ketua Umum Penguins Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), ada sekitar 22 906 desa tidak lagi memiliki bidan misalnya di Papua dalam empat desa hanya ada satu bidan, sehingga mereka kembali kepada dukun bayi yang sejak dulu dipercaya masyarakat. Sayangnya banyak dukun bayi yang belum memahami kebersihan dan pertolongan persalinan yang aman sehingga persalinan berakhir dengan kematian.3 Konsep yang melatar-belakangi kematian ibu menurut McCarthy and Maine adalah: pertama, status kesehatan ibu hamil itu sendiri; kedua akses ke pelayanan kesehatan; dan ketiga perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya. Ketiga konsep itu dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya.4 Budaya dan perilaku masyarakat di Indonesia adalah antara lain perkawinan di usia muda (47% pada usia 10-19 tahun),1 pantangan melakukan aktivitas dan makanan tertentu selama hamil dan nifas serta di perdesaan masih banyak memilih dukun untuk menolong persalinan. Budaya berunding sering mengakibatkan terjadi keterlambatan pertolongan persalinan.5 Peristiwa kematian ibu dalam persalinan kurang mendapat perhatian selayaknya, sering dianggap se
suatu yang wajar bahkan masuk syurga. Namun ada pula yang menganggap sebagai suatu kejadian yang mengerikan misalnya arwah ibu dapat menjadi kuntilanak/leak, sehingga cenderung disembunyikan dan tidak dilaporkan.6 Salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Mimika yang baru dibentuk secara defmitif pada tahun 2000 terletak di bagian Selatan pulau. Daerah dataran rendah, delta dan pesisir dihuni oleh Suku Kamoro (suku pantai). Suku Kamoro menganggap bahwa mereka tidak pernah berpisah dengan alam sekitarnya, tanah adalah kehidupan, tanah adalah aku, tanah adalah tempat tinggal arwah nenek mo yang.7 Sejak awal masa orde baru tahun 1967 di Kabupaten Mimika dibuka penambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia (PT FI). Visi PT FI adalah meningkatkan kesejahteraan dan harga diri masyarakat asli Papua secara nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, serta terbukanya kesempatan kerja dan usaha bagi mereka agar mandiri dan berperan aktif dalam pembangunan di masa depan.8 Untuk itu maka PT FI membebaskan biaya untuk segala bentuk pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk asli Kabupaten Mimika. Namun demikian berbagai fenomena muncul dengan kehadiran PT FI, pertama penduduk memandang para pendatang tersebut sebagai pembawa kemajuan, pembaharu serta produsen, kedua menganggap pendatang sebagai penghancur, perusak dan perampas, * Berdasarkan uraian ini di atas timbul pertanyaan penelitian yaitu: bagaimanakah perilaku ibu-ibu Suku Kamoro di Kabupaten Mimika selama hamil dan masa nifas. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggambarkan perilaku ibu-ibu Suku Kamoro selama hamil dan masa nifas yaitu aktivitas ibu sehari-hari, pola makan ibu sehari-hari, dan perilaku pencarian pelayanan kesehatan/pengobatan. METODE Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif pada tahun 2005. Lokasi penelitian termasuk dalam wilayah kontrak kerja PT FI yaitu di Kecamatan Mapurujaya yaitu desa Mwapi dan desa Paomako. Pada kedua desa 74
Aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilaku...( Qomariah)
ini pemerintah bersama dengan PT FI membangun beberapa unit rumah tembok untuk tempat tinggal penduduk Suku Kamoro yang dipindahkan sekitar 6-10 tahun yang lalu dari rumah aslinya bertiang panjang (kapiri kame) di desa-desa tepi laut, delta, atau pulau kecil. Karena keterbatasan waktu dan tenaga maka penelitian ini dibatasi hanya pada Suku Kamoro. Cara pengumpulan data yaitu dengan wawancara mendalam one to one (indepth interview), pengamatan berperan-serta (participant observation) dan studi dokumentasi. Pengamatan berperan serta dilaksanakan secara berulang-ulang secara serentak dengan wawancara mendalam pada subyek/informan inti ibu usia kehamilan tujuh bulan sampai dengan satu bulan setelah persalinan. Informan inti sebanyak 4 orang yaitu 2 ibu dari desa Mwapi dan 2 dari desa Poumako. Pemilihan informan didasarkan atas kaidah yang berlaku dalam metode penelitian kualitatif yaitu kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequacy). Pada wawancara mendalam ditanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilaku pencarian pengobatan. Sedangkan pada kegiatan observasi diamati kegiatan ibu sewaktu berada di rumah dan lingkungannya, pengolahan dan pendistribusian makanan untuk keluarga, serta bila sakit kemana ibu berobat dan bagaimana konsumsi obatnya. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan sekitar 30 orang informan pendukung yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pemeliharaan kesehatan ibu antara lain; keluarga informan, tetangga, dukun bayi, kader, bidan, dokter dan kepala suku. Untuk kepala suku ditanyakan hal-hal yang terkait dengan budaya misalnya tentang tanggung jawab pengadaan makanan untuk keluarga, makanan pantang, sanksi terhadap pelanggaran budaya, dan tentang pengobatan tradisional. Selain itu wawancara dilakukan dengan pejabat terkait langsung maupun tidak langsung yaitu pejabat Bappeda Pemda Mimika, Suku Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, dan Departemen Kesehatan Masyarakat dan Pengawasan Malaria PT FI. Dalam studi dokumentasi dikumpulkan laporan pemerintah daerah (Bappeda dan Dinas Kesehatan), laporan PT FI, majalah, 75
brosur, surat kabar harian lokal Timika Pos, Radar Timika dan Jayapura Post. Analisis data dilakukan dengan mengikuti James Spradley yaitu dengan analisis domain (menggabungkan) dan analisis taksonomik (menghubungkan).10 Keabsahan data diperiksa dengan triangulasi yaitu trianggulasi sumber informasi, dan trianggulasi metode pengambilan data. Selain itu keabsahan diperiksa dengan ketekunan pengamatan (dilakukan berulang-ulang), dan review informan kunci (dukun, bidan).'' HASIL 1. Aktivitas dan Pola Makan Sehari-hari Gambar berikut ini adalah taksonomi aktivitas dan pola makan sehari-hari ibu-ibu hamil dan masa nifas Suku Kamoro. Aktivitas sehari-hari ibu-ibu hamil 7 bulan sampai bersalin dengan ibu-ibu mulai 1 minggu masa nifas tidak begitu berbeda yaitu mencari bahan makanan dari pukul 6 pagi hingga pukul 4 sore. Ibu-ibu ini secara berkelompok 2-4 orang ataupun sendirian naik perahu kayu (kole-kole) berdayung menyusuri sungai atau delta untuk mencari ikan, karaka, siput, ulat tambelo, daundaunan dan buah-buahan. Kegiatan ini disebut 'meramu" dengan membawa alat berupa kapak, jaring, pancing dan noken (tas kulit kayu tradisional). Perahu ditambatkan di suatu tempat sesuai kesepakatan, dan mereka menyebar di sekitarnya, sorenya berkumpul kembali ke perahu untuk pulang bersama. Pada waktu menangkap berbagai jenis binatang air mereka merendamkan tubuh sampai pinggang di air rawa dan delta. Bila membutuhkan kayu bakar maka melakukan penebangan pohon, memanjat pohon untuk mengambil daun atau buahnya dan menggali tanah untuk mengambil umbi-umbian. Kegiatan rutin meramu ini menurut mereka tidaklah memberatkan, malah mereka senang setiap hari pergi meramu dan makan sepuasnya dari pada berdiam diri di rumah mengerjakan tugas 'ringan' seperti mengurus rumah dan anak-anak dengan bahan makanan yang terbatas untuk seluruh keluarga. Ibu-ibu masa nifas sering pergi meramu dengan membawa anak yang masih menyusu, dimasukkan dalam noken dan
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1, No 2, April 2011 : 73 - 83
dibaringkan dalam perahu. Setelah sampai di lokasi meramu, bayi ditinggal dalam perahu yang ditambat di bawah pohon pinggir sungai atau dibaringkan di bawah pohon sementara ibunya meramu di sekitarnya. Bila bayi sudah lepas menyusu maka bayi ditinggalkan diurus oleh kakak-kakaknya yang juga sudah biasa mengolah makan siangnya sendiri dari bahan makanan yang
dibawa ibunya. Di lokasi meramu, untuk makan siang ibu memanggang bahan makanan yang diperoleh dengan kayu bakar atau dimakan mentah seperti ulat tambelo kemudian selebihnya dibawa pulang. Lama perjalanan sekitar 1-1,5 jam sehingga tiba di desa sekitar pukul 5 sore, mereka tersebut berkumpul di lapangan menggelar sebagian bahan makanan yang diperoleh untuk dijual.
Ibu secara berkelompok atau perorangan: Selama hamil sampai bersalin Mulai 1 minggu pasca persalinan
Pergi ke Hutan, Sungai, Rawa Delta/laut Pantai Mencari Bahan Makanan
Beli Bahan Makanan lain
Makanan Diutamakan Untuk Suami /anak-anak
Terkena Penyakit
Derajat Kesehatan ibu Hamil Rendah
Derajat Kesehatan Masa nifas Rendah - Belum pulih - Beban Menyusui - Membawa Bayi
dan komplikasi
T
Mengolah Makanan Mengurus Anak-anak dan Rumah tangga
1'
Terjadi Persalinan berisiko
Kurang Energi Kalori, Anemia
Kelelahan Fisik
f
ii
Ibu mendapat Makanan yg masih tersisa
Konsumsi Terbatas Jenis/ Jumlah Tradisi Makanan Pantang
Gambar 1. Taksonomi Aktivitas dan Pola Makan
Pembelinya adalah para pendatang yang tinggal di sekitar desa atau penduduk asli yang berhalangan pergi meramu. Uang hasil
penjualan dibelikan bahan makanan seperti garam, minyak goreng, bawang, gula, kopi dan lainnya. Sampai di rumah ibu-ibu 76
Aktivitas sehari-hari, pola makan dan^perilaku...( Qomariah)
mengolah bahan makanan dengan membakar/memanggang atau merebus, bila ada minyak goreng maka menumis atau menggoreng. Ibu menyajikan makanan dengan memisahkan sebagian makanan yang lebih istimewa untuk suami, selebihnya untuk anak-anak dan dirinya sendiri. Urusan rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengurus anak dilakukan dari sisa waktu yang ada atau sudah dilakukan oleh anak-anak pada siang hari. "Ibu-ibu hamil masih tetap pergi meramu meski sudah hamil tua, mereka bam berhenti meramu apabila merasakan mulai sakit perut tanda mau melahirkan atau merasakan ada keluhan penyakit yang dapat mengganggu perjalanan. Oleh karena itu tidakjarang terjadi persalinan di lokasi meramu karena tidak sempat atctu tidak kuat lagi untuk pulang ke rumah. Proses persalinan yang terjadi di lokasi meramu dapat ditolong oleh ibuibu dalam kelompok terutama yang sudah berpengalaman melakukan persalinan atau menolong persalinan, atau dapat dilakukan sendiri tanpa pertolongan siapapun ". Ibu AY yang didampingi oleh dukun bayi (mama biang) BA di Mwapi menceritakan tentang kegiatannya selama hamil sampai bersalin. "Kami jarang menghitung kapan waktu bersalin, meskipun perut sudah besar kami tetap seperti biasa pergi meramu hingga sore hari. Tidak masalah terjadi persalinan di pinggir sungai, rawa, delta atau pantai. Tidak ada tradisi yang melarang ibu hamil pergi meramu. Tergantung kemauan kami sendiri merasakan kemampuan fisik dan kondisi persediaan bahan makanan di rumah ". Jenis, jumlah dan frekuensi makanan ibu sehari-hari tidak menentu dan tidak teratur. Dalam keadaan hamil dan masa nifas, kemampuan dan kekuatan fisik ibu terbatas untuk mengambil dan mengangkut bahan makanan serta kayu bakar ke rumah. Namun ibu yang anggotanya keluarga banyak harus membawa bahan makanan yang banyak pula, karena kalau kurang maka ibu yang terakhir makan akan tidak kebagian.
77
Masalah lain dalam pola makan ibu hamil adalah makanan pantang yang harus diikuti antara lain: ikan belut yang dipercayai dapat menyebabkan bayi menjadi cacat; burung kasuari yang dipercayai dapat membuat mata bayi kerjap-kerjap; penyu yang dipercayai dapat membuat jari tangan dan kaki bayi seperti jari kura-kura; dan kelapa putih diyakini dapat membuat bayi menjadi besar. Pada masa nifas, jenis pantangan setelah persalinan antara lain ulat tambelo, sagu bola, ikan mulut tikus, ikan kakap, ikan pari, cumi-cumi, kus-kus, ikan pasir, kura-kura, biawak, cendrawasih, dan daging anjing. Dukun bayi GV di desa Mwapi menguraikan hal berkaitan dengan itu: "Ibu yang sedang hamil tidak boleh makan kepala burung terutama burung pelikan, apabila dilanggar anaknya akan lahir cacat misalnya tidak bisa mengisap susu ibunya. Tidak boleh makan kuskus pohon nanti mata bayinya akan seperti mata kuskus, juga makan penyu dan ikan pari burung yang akan membuat petumbuhan bayilambat". 2. Pencarian Pelayanan Kesehatan dan Pengobatan Ibu-ibu dalam penelitian ini adalah penduduk pindahan sekitar 6-10 tahun berada di pemukiman baru rumah tembok bangunan pemerintah dan PT FI. Perubahan lingkungan pemukiman ini membuat perubahan dalam pola kehidupannya termasuk perilaku pencarian pengobatan. Gambar 2 di atas memperlihatkan alur perilaku ibu-ibu tersebut yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu pengaruh keluarga, tetangga termasuk pendekatan dari petugas kesehatan serta jarak rumah ke pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini untuk faktor pengaruh keluarga tetangga tidak terlalu besar karena sebagian besar penduduk di desa ini adalah Suku Kamoro yang baru pindah (homogen). Faktor jarak juga tidak masalah karena ada 2 unit pelayanan kesehatan yaitu Puskesmas Mapurujaya yang tidak jauh dari desa Mwapi dan Klinik Poumako di desa Poumako yang berjarak sekitar 7 km. Yang menjadi permasalahan besar di sini adalah faktor pendekatan petugas kesehatan kepada penduduk. Pelaksanaan pelayanan
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1, No 2, April 2011 : 73 - 83
kesehatan di Puskesmas Mapurujaya terlihat sangat sepinya pengunjung. Pasien yang datang berobat jalan hanya sekitar 5 orang sampai 20 orang perhari (sebagian besar adalah pendatang), sedangkan petugas kesehatan yang bekerja di Puskesmas
tersebut sebanyak 30 orang. Sarana bangunan gedung Puskesmas beserta bangunan tempat perawatan cukup memadai dan sebagian besar petugas kesehatan,tersebut tinggal di perumahan yang tersedia di sekitar Puskesmas.
Ke Pemukiman Baru
Kampung Asal
Faktor Internal
Faktor Eksternal Pengaruh dari Keluarga/ Tetangga Jarak ke Pelayanan Kesehatan Ketersediaan obat-obatan di sekitar rumah
Tidak Periksa ke Pel. Kesehatan
Terkena Sakit/Kelainan Kesibukan Bernomaden Lebih Percaya pada Dukun
Periksa ke Pelayanan Kesehatan
-
Puskesrnas Mapurujaya Klinik Poumako
Periksa Kesehatan/ PengobatanUlangan
Antisipasi ibu hamil menghadapi Fersalinan Pemulihan Kesehatan Ibu Masa nifas
Gambar 2. Taksonomi Pemeriksaan Kesehatan dan Pengobatan
78
Aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilaku...( Qomariah)
Dalam beberapa kali kunjungan peneliti, Puskesmas terkesan kotor dengan halaman penuh ilalang, terlihat petugas Pus- kesmas duduk ngobrol di bangku depan dari pukul 9 pagi, dan pada pukul 11 mulai hilang satu persatu. Alasan petugas Pus kesmas, sepinya pengunjung disebabkan penduduk jarang berada di desa, penduduk lebih suka bernomaden ke daerah delta/pantai selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Bidan di Puskesmas tersebut ada 5 orang, mereka menyatakan sulit melakukan pendekatan kepada penduduk. Mereka mengeluh masyarakat di sekitar Puskesmas memanggil bidan hanya karena ibu mau melahirkan sudah dalam keadaan darurat. Bila dapat ditolong juga, penduduk tidak mau membayar jasa bidan yang sudah dipanggil ke rumah bahkan berterima kasihpun tidak. Karena itu bidan sering mencari dalih mengelak datang, penduduk lalu bersikap kasar mencaci maki dan mengancam sehingga membuat bidan makin menjauh. Terjadilah hubungan antara penduduk dengan petugas Puskesmas Mapurujaya yang tidak harmonis karena saling menyalahkan. Petugas kesehatan Puskesmas Mapurujaya juga menyatakan bahwa penduduk Suku Kamoro terlalu dimanjakan oleh PT FI, rumah bagus disediakan. Pelayanan kesehatan Klinik Poumako PT FI dengan mendatangi pasien ke rumah, pasien dijemput diantar ke rumah sakit dan sebagainya. Petugas Puskesmas Mapurujaya mau memberikan menyatakan tidak pelayanan seperti itu dan terserah saja kalau penduduk desa Mwapi mau ke Klinik Poumako yang letaknya jauh atau mau berobat sendiri. Dalam wawancara dengan penduduk desa Mwapi, mereka menyatakan tidak mau berobat ke Puskesmas yang harus membayar karcis dua ribu rupiah, dibandingkan dengan klinik Poumako yang tidak membayar. Untuk memeriksakan kehamilan mereka menyatakan sudah mempunyai mama biang yang sudah mereka percaya. Alasan lain mereka berkeberatan mendatangi Puskesmas karena pagi/siang hari adalah waktu pergi meramu, mereka juga menyatakan bidan-bidan Puskesmas angkuh pada penduduk.
79
Untuk Klinik Poumako yang diselenggarakan oleh PT FI, kunjungan pasien cukup ramai setiap hari sekitar 100 orang. Petugas kesehatan tidak tinggal di klinik, mereka tinggal di Timika setiap hari pukul 7.00 pagi sudah berada di klinik dan pulangnya pukul 4.00 sore (lama perjalanan Timika Poumako sekitar 1 jam). Menurut penduduk mereka lebih suka ke klinik karena tidak membayar dan obat-obatan klinik lebih bagus kemasannya, bahkan dari desa Mwapipun ada yang berjalan kaki mendatangi klinik Poumako. Mereka juga menyatakan petugas klinik ramah dan sering mendatangi rumahrumah penduduk untuk mencari penduduk yang sakit yang tidak (mau/sanggup) datang ke klinik; untuk diobati di rumah atau di bawa ke klinik/rumah sakit. Namun di klinik tetap saja tidak banyak ibuibu hamil yang datang memeriksakan diri karena mereka lebih suka pergi meramu sehingga bidan kadang-kadang tidak datang ke klinik. Bidan klinik PT FI tidak tinggal di Polindes yang terletak di sebelah Klinik Poumako karena merasa takut. Bidan sudah pernah mencoba tinggal di Polindes tersebut tetapi hanya satu bulan karena merasa tidak aman meskipun ada ditugaskan laki-laki yang menemaninya sebagai penjaga klinik. Ibu MA di desa Poumako menceritakan tentang pemeriksaan kehamilannya. "Pemeriksaan kehamilan cukup dengan mama biang pada malam hari. Lagi pula menurut teman-teman dan tetangga, di klinik sering tidak ada bidan, yang memeriksa adalah perawat laki-laki, jadi kami segan ". Faktor internal adalah dari aspek penduduknya sendiri, dorongan ibu-ibu hamil dan masa nifas untuk mencari pelayanan ke petugas kesehatan terganrung pada berat ringan kondisi kesehatannya. Budaya penduduk bernomaden sekeluarga atau yang terdiri dari beberapa kelompok keluarga ke lokasi yang cukup jauh juga menyebabkan ibu-ibu hamil tidak dapat menjangkau pelayanan kesehatan di Puskesmas atau klinik. Selain itu masih kuatnya keyakinan ibu-ibu pada dukun bayi juga menyebabkan ibu-ibu tidak mau memeriksakan kesehatan dan pengobatan ke bidan yang ada.
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1, No 2, April 2011 : 73 - 83
Pengobatan tradisional umumnya yang dilakukan penduduk Suku Kamoro yaitu dengan mengiris bagian yang sakit dengan silet atau benda tajam lainnya, misalnya kepala pusing maka yang diiris-iris dahinya, atau ditempel dengan sejenis tumbukan yang disebut daun gatal. Obat tradisional diyakini membawa manfaat misalnya untuk memperlancar persalinan, untuk membersihkan perut, menambah kekuatan, mencegah demam. Misalnya daun rebusan rumput halus, daun taleh, daun alang-alang, opworo, daun pisang kering, daun jambu, jeruk, daun gedi, ramuan kaki kuda dan lain-lainnya. Kepala Suku Kamoro (HN) di Poumako berpendapat tentang obat tradisional. "Kami mempunyai dua orang mama biang untuk melayani pengobatan ibu-ibu, mama biang akan mengambil tanamtanaman tertentu di sekitar desa untuk obat. Selain itu kami tidak melarang kalau ibu-ibu man ke klinik, setiap hari ada petugas klinik yang siap melayani mereka tanpa harus membayar". Dalam pengamatan peneliti obat yang diperoleh dari petugas kesehatan kadangkadang tidak dimakan atau tidak habis dimakan karena mereka hanya mau makan obat kalau merasa sakit saja, setelah sakitnya hilang mereka tidak mau lagi. Seperti misalnya tablet besi Fe dimakan hanya sebagian dan sisanya disimpan/dibuang. PEMBAHASAN 1.
Aktivitas sehari-hari yang mempengaruhi kesehatan ibu
Aktivitas sehari-hari ibu hamil sebenarnya hampir sama dengan aktivitas dalam keadaan tidak hamil seperti pembagian waktu-waktu bekerja dan waktu istirahat. Namun usia kehamilan di atas enam bulan ibu dianjurkan untuk melakukan senam hamil secara rutin seminggu dua kali yang gunanya untuk melemaskan otot-otot dan tulang sekaligus mengarahkan gerakan untuk persiapan menghadapi terjadinya persalinan. Setelah persalinan ibu dianjurkan istirahat dengan pekerjaan ringan dalam rangka pemulihan fisik dan mental, beradaptasi dengan bayi yang baru dilahirkan dan menyiapkan tubuh untuk produksi air susu ibu. l2
Dalam trianggulasi berbagai sumber diperoleh informasi bahwa sudah menjadi budaya penduduk asli Papua tugas mencari bahan makanan sehari-hari untuk keluarga adalah tugas pokok kaum perempuan. Tugas pokok kaum lelaki adalah membuat perahu, membuat rumah, membuka hutan dan berperang. Kalaupun ada sebagian lelaki mencari bahan makanan maka hasilnya lebih banyak untuk dijual dan uangnya dihabiskan sendiri untuk kesenangan (perempuan, mabuk, judi). 13 Setelah berada di pemukiman baru di desa Mwapi dan Poumako, tugas kaum lelaki menjadi lebih ringan karena tidak lagi membuat rumah, perahu juga dapat dibeli secara kredit dengan PTFI, perang sudah berkurang. Namun tugas ibu semakin berat karena lokasi pemukiman lebih jauh dari lokasi meramu. "Ibu-ibu Suku Kamoro selama hamil sampai dengan waktunya persalinan tetap melakukan aktivitas mengiunpiilkan dan membawa bahan makanan dari hutan, sungai, delta ataupun di laut (3S= Sungai Sampan Sagu) di tempat yang jauh dari rumah dan unit pelayanan kesehatan. Mereka melakukan tugasnya karena suatu kewajiban tanpa merasa memperhitungkan kemarnpuan jlsiknya sendiri. Aktivitas ibu-ibu hamil dan masa nifas ini menimbulkan kelelahan fisik, dalam dapat terjadi kelainan letak janin, penyakit infeksi dari rendaman air rawa. Persalinan dapat terjadi tanpa pertolongan selayaknya di lokasi meramu akan menimbulkan berbagai penyakit infeksi dan komplikasi persalinan seperti perdarahan, persalinan tidak aman yang berakibat fatal bagi ibu dan bayi". Ketua Komisi Hak Azazi Manusia Propinsi Papua menyatakan bahwa Perempuan Papua Pekerja Keras yang diistilahkan dengan 'impossible hand'.14 Seperti kata Doyal: 'di rumah tidak seorangpun yang memperhatikan kebutuhan perempuan dalam keadaan sehat ataupun sakit, diapun mengabaikan kesehatan dirinya sendiri dan selalu tersenyum membahagiakan orang lain'.15 Aktivitas ibu-ibu ini juga mendukung kondisi 'tiga terlambat' yang menjadi sebab kematian ibu.16 Setelah persalinan 1-2 hari ibu-ibu dalam penelitian ini sudah mulai dengan kegiatan 80
Aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilakii...( Qomariah)
rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengambil tanaman yang ada di sekitar rumah untuk bahan makanan. Ibu merasa malu kalau terlalu lama beristirahat setelah persalinan karena selama 1-2 hari persalinan bahan makanan untuknya dan anak-anaknya diperoleh dari 'kebaikan hati' suami atau dari pemberian keluarga dan ibu-ibu tetangga. Kegiatan meramu mulai dilakukan ibu pada hari ke 6-7 setelah persalinan yaitu setelah lepas tali pusat bayi yang ditandai dengan upacara adat. Kondisi fisik dan mental ibu 1-2 minggu belum pulih setelah melakukan persalinan dan masih rentan terhadap berbagai penyakit dan risiko, serta dapat memutuskan produksi air susu ibu. Pada masa ini seharusnya ibu beristirahat setelah mengalami kelelahan fisik akibat persalinan dan mendekatkan diri dengan bayi yang sangat membutuhkan dirinya dan asinya. Namun ibu-ibu Suku Kamoro ini sudah bekerja yang ini dapat berakibat prolapsus uteri, berbagai penyakit infeksi dan komplikasi. 2.
Pola makan yang kesehatan ibu
mempengaruhi
Menu seimbang ini ditujukan untuk mempertahankan kesehatan dan kekuatan tubuh ibu, memperkuat daya tahan ibu menyembuhkan luka persalinan, pertumbuhan janin termasuk kecerdasannya, pemulihan tubuh setelah persalinan dan penyediaan air susu ibu. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan hamil dan masa nifas di negara berkembang masih banyak kekurangan gizi, malnutrisi dan anemia yang akan menimbulkan risiko dalam persalinan, dan pada pembentukan fisik, kecerdasan dan daya tahan tubuh anak.17 Ketidakteraturan pola makan ibu-ibu Kamoro selain disebabkan tidak cukupnya jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang kebutuhan makanan bergizi dan menu seimbang. Berdasarkan hasil Survey Papua tahun 2001 hampir semua (99.3%) ibu-ibu di Papua menderita anemia berat (26%), sedang (54%), dan ringan (19%), dan sebanyak 58,9% berisiko terhadap Kekurangan Energi Kronis (KEK).2 Ibu-ibu Kamoro masih sangat paruh dengan tradisi makanan pantang
81
selama hamil dan masa nifas. Hal ini disebabkan kepercayaan orang Kamoro yang lebih besar pada kekuatan sakti yang disebutnya Mbii (roh, setan) yang dapat ditemui di berbagai tempat seperti pohon besar dan tanah berbukit. Bagi yang tidak mengikuti aturan berarti akan kena sanksi dari mbii sakit, celaka bahkan meninggal.'3 Hampir semua jenis makanan yang dipantangkan tersebut mengandung protein tinggi yang sangat dibutuhkan ibu pada masa hamil dan masa nifas. Sungguh disayangkan bahan makanan tinggi protein yang mereka kumpulkan dari pagi hingga sore tidak dapat mereka makan, padahal ibu hamil sangat membutuhkannya untuk kekuatan menghadapi persalinannya dan pertumbuhan janin yang dikandungnya. Bagi ibu masa nifas jenis makanan tersebut sangat dibutuhkan untuk pemulihan tubuhnya dan kelancaran produksi AST. 3.
Perilaku Pencarian Pengobatan yang mempengaruhi Kesehatan Ibu
Pemeriksaan kesehatan selama kehamilan dilakukan untuk dapat mengurangi penyulitpenyulit masa kehamilan, mempertahankan kesehatan fisik dan mental ibu, sehingga sebelum persalinan dapat diantisipasi hal-hal yang akan dapat membahayakan jiwa ibu dan bayi sehingga persalinan dapat berlangsung dengan aman dan ibu dapat memenuhi segala kebutuhan janin. Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan setelah persalinan perlu dilakukan selain ditujukan untuk membantu pemulihan kesehatan ibu juga agar ibu mampu mempersiapkan air susu yang sehat bagi bayinya.18 Ibu-ibu informan di desa Poumako memeriksakan kehamilannya ke klinik hanya 1-2 kali selama kehamilan dan pada waktu mengunjungi klinik bukan khusus untuk memeriksakan kehamilannyapun tetapi untuk berobat penyakit lain. Ibu-ibu desa Mwapi bahkan tidak pernah memeriksakan kehamilan ataupun berobat selama hamil ke Puskesmas yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya dengan berbagai alasan. Bidan Puskesmas sebanyak 5 orang tidak banyak melakukan upaya penyelamatan kesehatan ibu dengan berbagai alasan. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah adalah pihak yang seharusnya
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1, No 2, April 2011 : 73 - 83
ditolong dan bidan serta dokter adalah petugas yang harusnya tberusaha mencari jalan untuk mendekatkan diri. Seorang Deputi Keluarga Berencana19 menyatakan bahwa pemanfaatan bidan belum maksimal karena Indonesia mempunyai jumlah bidan yang paling banyak di dunia. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan masih sekitar 20% ibuibu hamil tidak memeriksakan kehamilan pada petugas kesehatan.1 Ibu-ibu hamil desa Mwapi termasuk dalam 20% yang tidak mau memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas.
untuk menolong pada saat menjelang persalinannya. Pola pelayanan klinik PT Fl patut ditiru oleh Puskesmas pemerintah. Petugas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta perlu mempersatukan persepsi tentang cara pendekatan kepada penduduk. Perlu peningkatan kualitas bidan terutama sikap moral kemanusiaan dan keterampilan berkomunikasi serta keikhlasan untuk menolong. Bidan yang ramah simpatik rendah hati dengan harga yang terjangkau, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang baik maka jalan akan terbuka lebar.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Aktivitas sehari-hari ibu-ibu hamil Suku Kamoro dalam meramu menyebabkan persalinan sering terjadi di lokasi meramu dengan pertolongan atau tanpa pertolongan dapat menyebabkan berbagai penyakit infeksi, perdarahan, persalinan yang tidak aman berakibat fatal bagi ibu dan bayi. Ibu seminggu masa nifas sudah turun meramu dapat menyebabkan kelelahan fisik, prolapsus uteri, penyakit infeksi, perdarahan, dan terhentinya produksi asi. 2. Pola makan ibu-ibu hamil dan masa nifas yang tidak teratur baik jumlah jenis dan frekuensinya dapat berakibat ibu menderita KEK dan anemia. Banyaknya jenis makanan pantang tinggi protein sangat merugikan kesehatannya. 3. Perilaku ibu-ibu Suku Kamoro di kedua desa masih bertahan dengan pengobatan tradisional yang cenderung merugikan kesehatan ibu kna tidak terdeteksinya kelainan atau bahaya selama kehamilan, tidak terobatinya penyakit yang diderita sehingga berakibat komplikasi yang dapat membawa kematian ibu/ bayi. 4. Masalah yang terlihat pada Puskesmas Mapurujaya bukan jumlah bidan yang kurang tetapi kualitas dan pemerataan penempatan bidan. Bidan yang ditempatkan di desa dengan keterampilan komunikasi dan pendekatan moral yang terbatas akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis dengan penduduk. Pendekatan pelayanan kesehatan terhadap penduduk dengan berbagai upaya perlu dilakukan dengan mendata semua ibu-ibu hamil yang ada di desa dan melakukan kunjungan rumah serta bersikap waspada
UCAPAN TERIMA KAS1H Ucapan terima kasih pertama ditujukan kepada ibu-ibu Suku Kamoro dan informan lainnya yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kedua terima kasih ditujukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika dan pihak PT Freeport Indonesia yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Tak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada konsultan penelitian saya yaitu Prof. Dr. Soegeng Santoso, M.Pd dan Prof. Dr. Zainal Rafli, M.Pd yang telah membimbing baik materi maupun teknis penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1.
Kementerian Kesehatan RI, Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta. 2. Dinas Kesehatan Propinsi Papua & FK UL, Hasil Survey Cepat Kematian Ibu di 7 Kota dan Kabupaten Propinsi Papua Tahun 2000-2001. 2002. Jayapura. 3. Profesi Bidan di Indonesia Dibutuhkan, tapi Diacuhkan.2009.http://fnrucucekari. multiply.com/journal/itenV20 4. McCarthy, James and Deborah Maine, A Framework for Analyzing the Determinants of Maternal Mortality. 1992. Geneva: WHO. 5. Swasono, Meutia Farida, Beberapa Aspek Sosial Budaya Kehamilan, Kelahiran serta Perawatan Ibu. 1998. Jakarta: UI Press. 6. Iskandar M. B., et al., Mengungkap Mistcri Kematian Ibu di Jawa Barat. 1996. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Pendidikan UI. 7. Erari, Karel Phil, Tanali Kita, Hidup Kita. 1999. Jakarta: Pcnerbit Pustaka Sinar Harapan. 8. PT Freeport Indonesia, Peranan PT Freeport Indonesia dalam Pembangunan Masyarakat Irian Jaya di Kabupaten Mimika. 2000. Jakarta: PT Freeport Indonesia. 9. Bachriadi Dianto, Merana di tengah Kelimpahan. 1998. Jakarta: Elsam. 10. Spradley, James P., The Ethnographic Interview (Metode Etnografi), Terjemahan Misbah Zulfa
82
Aktivitas sehari-hari, pola makan dan perilaku...( Qomariah)
11. 12.
13. 14.
83
Elizabeth. 1997. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif. 1995. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mohamad, Kartono, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. 1998. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Rahangiar, Stephanus, Etnografi Suku Bangsa Kamoro. 1994. Timika: PT FI. Kepastian Hukum Bagi Perempuan Belum Tampak. Radar Timika, 6 November 2001.
15. Doyal, Lesley, In Sickness and in Health. 1997. Kuala Lumpur: WHO ARROW. 16. Aliansi Pita Putih, Gerakan Partisipatif Penyelamatan Ibu Hamil, Menyusui dan Bayi. 2003. Jakarta. 17. Handrawan Nadesul, Makanan Sehat untuk Ibu Hamil. 2000. Jakarta: Puspa Swara. 18. Fakultas Kedokteran Universitas Padja djaran, Obstetri Fisiologi. 1983. Bandung: Penerbit Eleman. 19. Pemanfaatan Bidan oleh Masyarakat Belum Maksimal. Jayapura Pos. 7 November 2002.
HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN ANTE NATAL CARE DENGAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN Correlation Between Ante Natal Care Compliance and Birth Attendant Selection Rabea Pangerti Jekti, D.Mutiatikum Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RJ Email:
[email protected]
Abstract Background: Although ANC coverage tends to be high, the pregnant women will not always giving birth by health provider. Jati Sampurna subdistrict, where most of the pregnant women prefer deliver their baby in Bekasi city and about 14.30% giving birth by traditional birth attendant. Objective: Analyze the maternal cohort data to prove correlation between compliance of ANC with selection of birth attendant in those area, which consisted of obedience of ANC, age, parity, birth spacing, pregnancy history, with selection of birth attendant. Methode: The retrospective cohort design study was used. After deciding several criteria : inclusion and exclusion criteria, and by simple random sampling, we achieved 372 subjects which consisted of: 186 subjects in exposed group, and 186 subjects in unexposed group. Data analyzed by univariate, bivariate and multivariate. Result: The study showed that two out of five variables were statistically significant correlation, those are compliance of ANC [RR=2,41(95% CI 1,45-4,01)] and pregnancy history [RR = 0,22 (95% CIO, 10- 0,47)] or on the other result that [RR = 4,55 (95% CI2.13 - 10,00)]. Conclusion: Promotion to pregnant women about the importance obedience of ANC and the selection of safe childbirth helper were in need of improvement. The measurement of history of pregnancy should be carried out consistently in ANC package as well. Key Word: Antenatal Care (ANC), birth attendant Abstrak Latar Belakang: Walaupun cakupan ANC cenderung tinggi, ibu hamil tidak akan selalu melahirkan di pelayanan kesehatan. Kecamatan Jati Sampurna, di mana sebagian besar wanita hamil lebih suka melahirkan bayi mereka di kota Bekasi dan sekitar 14,30% melahirkan oleh dukun, Tujuan: Menganalisis data kohort ibu untuk membuktikan hubungan antara kepatuhan ANC dengan pemilihan penolong persalinan di wilayah tersebut, yang terdiri dari kepatuhan ANC, umur, paritas, jarak kelahiran, riwayat kehamilan, dengan pemilihan penolong persalinan. Metoda: Studi kohort retrospektif. Setelah memutuskan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi, dan dengan simple random sampling, kita memperoleh 372 subyek yang terdiri dari: 186 subyek dalam kelompok terpapar, dan 186 subyek dalam kelompok tidak terpapar. Data dianalisis dengan univariat, bivariat dan multivariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua variabel yang bermakna secara statistika ,yaitu kepatuhan ANC [RR = 2,41 (95% CI 1,45-4,01)] dan riwayat kehamilan [RR = 0,22 (95% CI 0,10 - 0,47)] atau hasil lainnya yang [RR = 4,55 (95% CI 2,13 - 10,00)]. Kesimpulan: Promosi terhadap ibu hamil tentang pentingnya kepatuhan ANC dan pemilihan penolong persalinan yang aman. Serta pengukuran riwayat kehamilan harus dilakukan secara konsisten dan terpadu dalam paket ANC. Kata Kunci: Antenatal Care (ANC), penolong persalinan
84
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011: 84 - 91
PENDAHULUAN Program pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara cukup bermakna, walaupun masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan yang akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kesehatan. Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu (AKI). Berdaaarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDK!) 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Angka-angka tersebut sekitar 3-6 kali dari AKI negaranegara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju. Sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah sebesar 226 per 100.000 kelahiran hidup. 4'13 Upaya kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang makin terjangkau oleh lapisan masyarakat, khususnya pada kelompok rentan yaitu bayi,anak balita,ibu bersalin,dan ibu menyusui. Dengan salah satu target capaian Millenium Development Goals (MDGs) yaitu peningkatan kesehatan ibu melalui lima indikator. Pertama ; Angka Kematian Ibu dikurangi 3/4nya. Kedua ; Status Gizi Wanita dengan pengukuran lingkar lengan bagian atas dimana diharapkan semua wanita mempunyai LILA diatas 23,5 cm ( LILA >23,5 cm) sebagai batasan bebas dari Kurang Energi Kronis. Ketiga; Proporsi Pertolongan Persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih diharapkan sampai dengan 90%. Ke empat; Kunjungan K4 atau pelayanan ANC Ibu Hamil diharapkan bisa mencapai 95%. Ke lima_; Angka Pemakaian Kontrasepsi pada pasangan usia subur (PUS) usia 15-49 tahun bisa sampai dengan 80%16. Kegiatan utama Puskesmas dalam penurunan AKI adalah memberi pelayanan obstetri dan neonatal yang berkualitas kepada semua lapisan masyarakat terutama dalam deteksi dini komplikasi dan risiko tinggi obstetri, pertolongan persalinan, serta pelayanan obstetri esensial dasar (PONED) 3 Menurut Depkes RI 1998, penyebab utama kematian maternal di Indonesia sebagian besar (lebih dari 90%) adalah trias classic: 85
yaitu perdarahan (40%-60%), toksemia gravidarum (20%-30%) dan infeksi (20%30%). Dilihat dari riwayat perjalanan penyakitnya, penyebab trias classic, adalah tiga terlambat, yaitu terlambat mengenali tanda-tanda bahaya kehamilan, terlambat mengirim ke pusat rujukan, dan terlambat mendapat pertolongan di tempat pelayanan kesehatan7. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, antara lain dengan penyediaan pelayanan antenatal ANC yang pada dasaraya tersedia bagi ibu hamil melalui kegiatan program Puskesmas.Kegiatan ini merupakan bagian dari program Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA), yang berupaya merubah sikap dan perilaku masyarakat kearah keamanan persalinan dan memperbaiki rujukan risiko kehamilan (0) ANC adalah perawatan yang ditujukan kepada ibu hamil, yang bukan saja bila ibu sakit dan memerlukan perawatan, tetapi juga pengawasan dan penjagaan wanita hamil agar tidak terjadi kelainan sehingga mendapatkan ibu dan anak yang sehat. Tujuan dari usaha ANC adalah untuk memantau kemajuan kehamilan dan memastikan kesehatan ibu serta tumbuh kembang bayi, juga untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu. Disamping tujuan di atas, ANC juga bertujuan untuk mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan, mempersiapkan persalinan yang cukup bulan, melahirkan dengan selamat baik ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mngkin, mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI ekslusif, mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kesehatan bayi agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal L Pada penelitian berdesain kohort retrospektif ini, berusaha mengoptimalkan penggunaan data kohort ibu di Puskesmas, serta untuk mengetahui adanya hubungan kepatuhan melakukan ANC dengan pemilihan penolong persalinan. METODE Desain penelitian ini merupakan studi analitik kohort retrospektif dengan menggunakan data kohort ibu.
Hubungan antara kepatuhan ANC...( Rabea. & Mutiatikum)
Populasi adalah semua ibu yang melahirkan bayi hidup maupun mati yang mempunyai riwayat ANC dan persalinan di wilayah Puskesmas Jati Sampurna Bekasi. Sampel adalah ibu yang melahirkan bayi hidup maupun mati yang mempunyai riwayat ANC dan persalinan di wilayah Puskesmas Jati Sampurna Bekasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah ibu yang melahirkan bayi hidup maupun mati yang mempunyai riwayat ANC dan persalinan lengkap yang terekam dalam data kohort ibu di wilayah Puskesmas Jati Sampurna Bekasi. Kriteria eksklusi adalah informasi kurang lengkap (misal,karena pindah), kematian maternal, abortus, lahir prematur, kasus rujukan dari dukun. Variabel dependen adalah pemilihan penolong persalinan, yang terdiri dari tenaga kesehatan (nakes) dan dukun (non nakes). Variabel independen utama adalah kepatuhan melakukan ANC, yang terdiri dari patuh adalah ibu hamil yang melakukan ANC<4 kali, sedangkan yang tidak patuh ANC<4 kali. Sedangkan variabel independen lainnya meliputi : umur, paritas, jarak kehamilan, riwayat kehamilan
Besar sampel : Berdasarkan rumus penentuan besar sampel untuk uji hipotesis dua arah ( Lemeshow S,et al ,1997 ) ¥rPl(l-Pl) + P2(l-P2)n :
nl = n2= (P1-P2)2
Dari perhitungan besar sampel seperti tsb diatas, maka didapatkan jumlah minimal sampel dalam kelompok tidak terpapar, yaitu masing-masing 159 subyek + 20% = 186 subyek , sehingga jumlah sampel yang siap dianalisis untuk kelompok terpapar: (nl)yaitu ibu yang tidak patuh melakukan ANC dan tidak terpapar ( n2) yaitu ibu yang patuh melakukan ANC sebesar 3.72 subyek. Pengolahan data Data kohor ibu hamil dilakukan pengkodean (coding) yang sesuai dan dilanjutkan dengan entry data ke komputer dengan menggunakan soft ware Stdta 9. Setelah dilakukan cleaning, siap untuk dilakukan analisis lanjut dengan analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. HASIL Distribusi frekuensi variabel pemilihan penolong persalinan, diperlihatkan dalam label dibawah ini :
Tabel 1. Distribusi frekuensi pemilihan penolong persalinan dan beberapa faktor risiko kehamilan berdasarkan kohort ibu di Puskesmas Jati Sampurna Bekasi Variabel Pemilihan Penolong Persalinan - Tenaga Kesehatan - Dukun Umur 15-19tahun 20-35 tahun 36-45 tahun Paritas - 4-7 - 0-3 Jarak kehamilan < 2 tahun > 2 tahun Riwayat kehamilan Buruk Baik
Jumlah
285 87
76,60 23,40
44 280 48
11,80 75,30 12,90
37 335
9,90 90,10
109 263
29,30 70,70
92 280
24,70 75,30
86
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 :84-91
Proporsi ibu yang tidak patuh melakukan ANC (50%) sebanding dengan ibu yang patuh melakukan ANC (sesuai dengan rumus sampel minimal studi kohort menurut Lemeshow S, et al, 1997 baik pada kelompok terpapar maupun kelompok tidak terpapar. Pada tabePl terlihat bahwa sebagian besar ibu hamil (76,60%) memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan mereka. Faktor umur ibu sebagai salah satu faktor
risiko, sebagian besar ibu hamil berumur antara 20 -35 tahun (75,30%) umur tsb bukan merupakan faktor risiko. sebagian besar ibu memiliki paritas 0-3 (tidak berisiko) yaitu 90,10%. Jarak kehamilan lebih dari 2 tahun tidak berisiko (70,70%). Sebagian besar ibu memiliki riwayat kehamilan yang baik (tidak berisiko) sebesar 75,30%.
Tabel 2. Hubungan variabel kepatuhan ANC dengan pemilihan penolong persalinan Pemilihan Penolong Persalinan RR 95% CI Variabel crude Tenaga Kesehatan Dukun
P
n
%
n
%
56 31
30,11 16,67
130 155
69,89 83,33
1,81 1,00
1,23-2,67 Reference
0,002 * -
12 64 11
27,27 22,86 22,92
32 216 37
72,73 77,14 77,08
1,19 1,00 1,00
0,62-2,60 Reference 0,48-2,08
0,521 0,993
12 75
32,43 22,39
25 260
67,57 77,61
1,45 1,00
0,87-2,40 Reference
0,171* -
23 64
21,10 24,33
86 199
78,90 75,67
0,87 1,00
0,50-1,32 Reference
0,503 -
84 8,70 91,30 8 28,21 79 71,79 201 *variabel kandidat yang masuk dalam analisis multivariat ( p <0,25)
0,31 1,00
0,15-0,61 Reference
0,000*
Kepatuhan ANC Tidak patuh Patuh Umur 15-19 tahun 20-35 tahun 36-45 tahun Paritas - 4-7 0-3 Jarak kehamilan < 2 tahun > 2 tahun Riwayat kehamilan Buruk - Baik
Dari label 2, tampak bahwa dibandingkan dengan kelompok pembanding (reference), variabel kepatuhan ANC, paritas, dan riwayat
-
kehamilan, sebagai faktor risiko terhadap pemilihan penolong persalinan.
Tabel 3 . Hasil uji analisis multivariat terhadap 3 variabel terpilih. Varibel terpilih
RR crude
RRadjust
SE
95% CI
P
Kepatuhan ANC
1,81
2,24
0,5952
1.33-3,77
0,002*
Riwayat kehamilan
0,31
0,20
0,0815
0,09-0,45
0,000*
Paritas
1,45
1,86
0,7793
0,82-4,23
0,138
Bermakna bila p < 0,05, serta 95% CI ( lower limit sampai upper limit) tidak menyinggung atau hampir menyinggung nilai 1
87
Hubungan antara kepatuhan ANC...( Rabea, & Mutiatikum)
Walaupun hasil uji analisis multivariat variabel paritas secara statistik tidak bermakna berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan, namum secara substansi paritas berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan serta didukung oleh teori Lesli Gupta (1991) dan
Harni (1994) menunjukkan hal yang sama, maka variabel tersebut tetap dimasukkan dalam uji interaksi 7 . Uji interaksi dari variabel yang terpilih, (dengan tetap memperhatikan maknanya secara substansi) yang hasilnya terdapat pada tabel dibawah ini, sebagai berikut :
Tabel 4 : Hasil uji interaksi dengan Statistik G antar variabel yang masuk dalam model Variabel terpilih
Log Likehood
G
P
Penilaian
ANC,riwayat, paritas (tanpa interaksi)
-186,76869
-
-
-
ANC,riwayat, paritas,ANC* riwayat
-186,76208
0,01322
0,909
Interaksi (-)
ANC, riwayat, paritas, ANC* paritas
-186,40258
0,73222
0,376
Interaksi (-)
Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa variabel interaksi yang diuji ternyata menghasilkan nilaip yang lebih besar dari 0,05, berarti tidak ada variabel yang ada dalam model saling berinteraksi. PEMBAHASAN Pelayanan antenatal serta pelayanan persalinan dapat dijangkau masyarakat di wilayah Kecamatan Jati Sampurna, baik dengan pertolongan tenaga kesehatan di Puskesmas maupun Klinik Bersalin Swasta, bahkan dengan dukun yang telah terlatih. Menurut data Puskesmas Jati Sampurna mencapai cakupan KI sebesar 83,90% dan K4 sebesar 83,50%, sedangkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 79,90% dan oleh dukun sebesar 14,30%. Angka pertolongan persalinan oleh dukun tersebut merupakan angka tertinggi di kota Bekasi. Meskipun dari hasil SDKI 2007 didapatkan data bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 62%, dan oleh dukun 35%, serta penolong lainnya 2%.. Sedangkan dalam indikator peningkatan kesehatan ibu dalam MDGs antara lain dinyatakan bahwa proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih diharapkan sampai dengan 90% dan kunjungan K4 atau pelayanan ANC Ibu Hamil diharapkan bisa mencapai 95%. Kepatuhan melakukan ANC Besarnya hubungan antara kepatuhan melakukan ANC dengan pemilihan penolong persalinan setelah dikontrol dengan variabel kontrol, diperoleh hasil
yang bermakna secara statistik yaitu kelompok yang tidak patuh melakukan ANC berisiko memilih dukun sebagai penolong persalinan sebesar 2,41 kali dibandingkan dengan yang patuh melakukan ANC [RR=2,41(95%CI 1,45-4,01)] setelah dianalisis secara multivariat. Hasil penelitian ini dapat dianalogikan dengan hasil penelitian Mardhiati,R,2001 yang melakukan studi crossectional dengan analisis data SDKI 1999 menyatakan bahwa ibu hamil yang memiliki kualitas ANC yang baik (frekuensi ANC > 4 kali) akan cenderung memanfaatkan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan 2,64 kali daripada ibu yang memiliki kualitas ANC buruk (frekuensi ANC<4 kali) [OR=2,64(95% CI 2,253 3,096)]. Hasil yang berbeda, didapatkan pada hasil penelitian Utomo, 1991 dan Sanie et al 1987 yang menyatakan bahwa kualitas ANC yang baik tidak selalu diikuti dengan layanan persalinan dengan tenaga kesehatan do.11,13) Kondisi geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan beberapa faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dantentunya disparitas antar daerah akan berbeda saru sama lain.13 Umur Proporsi ibu yang berumur 1 5 - 1 9 tahun serta memilih dukun sebagai penolong persalinan (27,27%) lebih besar dibandingkan dengan ibu yang berumur 20 35 tahun namum memilih dukun sebagai penolong persalinan (22,86%) namum
88
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 84 - 91
perbedaan peluang tersebut secara statistik tidak bermakna [RR=1,19(95% CI 0,622,60)]. Sedangkan proporsi ibu yang berumur 36-40 tahun serta memilih dukun sebagai penolong persalinan ( 22,92%) relatif hampir sama dengan ibu yang berumur 20 -35 tahun serta memilih dukun sebagai penolong persalinan (22,86%), perbedaan peluang tersebut secara statistik tidak bermakna [RR=1,00(95% CI 0,482,08)]. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara umur dengan pemilihan penolong persalinan, menunjukkan bahwa kemungkinan tidak ada hubungan antara umur ibu dengan pemilihan penolong persalinan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Gunantoro,2002 yang melakukan penelitian di Kecamatan Cioadak Sukabumi, sehingga kemungkinan bah va kedua wilayah tersebut memiliki karakteristik yang mirip mengenai umur, sehingga keduanya mempunyai peluang yang sama dalam memilih penolong persalinan. Sedangkan terjadi perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardhiati,R,2001 yang menyatakan ada hubungan antara umur ibu dengan pemanfaatan penolong persalinan. Demikian pula teori Lesli dan Gupta yang menyatakan bahwa umur ibu merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. Juga ditunjukan dalam penelitian yang dilakukan Harni, 1994 menyatakan bahwa ibu yang berumur < 20 tahun karena belum berpengalaman dalam persalinan, ada rasa cemas, takut, khawatir menghadapi persalinan, dan yang berumur > 35 tahun (risiko kehamilan dan adanya penyulit pada waktu persalinan) akan memilih tenaga penolong persalinan. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan sifat karakter wilayah penelitian. Paritas Proporsi ibu yang memiliki paritas berisiko serta memilih dukun sebagai penolong persalinan (32,43%) lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki umur berisiko nanum memilih dukun sebagai penolong persalinan (22,39%), ibu yang memiliki paritas >3 ( 47) berpeluang lebih besar untuk memilih dukun sebagai penolong persalinannya dibanding yang berparitas 0-3, tetapi secara
89
statistik tidak bermakna ( RR = 1,45, 95% CI 0,87-2,40). Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara paritas dengan pemilihan penolong persalinan, menunjukkan bahwa kemungkinan tidak ada hubungan antara paritas dan pemilihan nenolong persalinan. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan Gunantoro,2001 Mardhiati,R,2001, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan pemilihan penolong persalinan Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitianpenelitian tersebut memiliki karakteristik yang mirip dengan umur, sehingga memiliki peluang yang sama dalam memilih penolong persalinan. Ini berbeda dengan teori Lesli dan Gupta ( 1991) dan dalam penelitian Harni (1994) bahwa paritas merupakan faktor yang mepengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan karakter wilayah penelitian yang digunakan, serta perbedaan karakteristik mengenai umur. Jarak Kehamilan Ibu yang memiliki jarak kehamilan berisiko (<2 tahun) serta memilih dukun sebagai penolong persalinan (21,10%) lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki jarak kehamilan berisiko (>2 tahun ) namun memilih dukun sebagai penolong persalinan (24,33%).Juga nampak bahwa ibu yang memiliki jarak kehamilan < 2 tahun akan berpeluang memilih dukun sebagai penolong persalinan lebih kecil dibandingkan ibu yang berjarak kehamilan > 2 tahun, namum secara statistik tidak bermakna (RR: 0,87, 95% CI: 0,57 - 1,32 ). Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara jarak kehamilan dengan pemilihan penolong persalinan, membuktikan bahwa kemungkinan tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan dengan pemilihan penolong persalinan. Mcskipun menurut Depkes, 1996, jarak kehamilan merupakan salah satu faktor risiko kehamilan. Hal ini sesuai dengan teori Becker, 1974, bahwa adanya perceived susceptibility, sehingga bila seorang yang memiliki risiko kehamilan (Umur, paritas, jarak kehamilan ), namum tidak menggangap kondisinya berisiko,
Hubungan antara kepatuhan ANC...( Rabea, & Mutiatikum)
maka ia tidak akan berupaya mencari pelayanan persalinan yang aman untuk dirinya J . Namum menurut Depkes,1998 umur, paritas dan jarak antar kelahiran adalah faktor risiko, yang tidak secara langsung mengancam jiwa ibu, tetapi memperburuk keadaan komplikasi kehamilan/ persalinan, dan risiko tinggi. Sehingga apabila sejalan dengan logika berpikir yang sesuai dengan maksud tersebut diatas, maka seharusnya seorang ibu yang memiliki umur, paritas, jarak antar kehamilan yang berisiko maka akan mencari pelayan kehamilan dan persalinan yang aman untuk dirinya 4 Riwayat Kehamilan Ibu yang memiliki riwayat kehamilan buruk serta memilih dukun sebagai penolong persalinan (8,70%) lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang memiliki riwayat kehamilan baik namum memilih dukun sebagai penolong persalinan (28,21%). Juga nampak bahwa ibu yang beriwayat kehamilan buruk, akan memilih dukun sebagai penolong persalinan 0,31 kali dibandingkan dengan ibu yang beriwayat kehamilan baik ( efek protektif) [RR=0,31 (95% CI 0,15 - 0,61)] atau dapat dikatakan bahwa ibu yang beriwayat kehamilan baik berpeluang untuk memilih dukun 3,23 kali dibanding ibu yang beriwayat kehamilan buruk dan perbedaan peluang tersebut secara statistik bermakna [RR= 3,32 (95% CI 1,63 -6,67]. Pengaruh riwayat kehamilan pada pemilihan penolong persalinan dibuktikan dengan ditemukan ada hubungan yang bermakna antara riwayat kehamilan dengan pemilihan penolong persalinan. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa kelompok yang buruk ( perdarahan, abortus, lahir mati, seksio sesarea, partus lama ) 0,22 kali terlindung ( efek proteksif ) untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan dibandingkan dengan kelompok yang beriwayat baik [ RR = 0,22( 95% CI 0,10 0,47 )]. Hasil tersebut dapat juga dijabarkan bahwa kelompok yang beriwayat kehamilan buruk [ RR = 4,55'(95% CI 2,13 - 10 )]. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh suatu pendapat bahwa pada saat ditolong dukun dalam proses persalinan tidak mengalami
hambatan atau gangguan apa-apa sehingga enggan beralih ke tenaga kesehatan . Hasil tersebut berbeda dengan beberapa Hasil Diskusi Terarah/ Focus Group Discussion (FGD), yang pernah dilakukan Tangkin,Y,2000 di Kapuas Hulu Kalimantan dan Kaguna,A,ef al ,2000 di Uganda menyatakan bahwa, ibu yang beriwayat kehamilan buruk akan memilih tenaga kesehatan dan tempat layanan kesehatan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan daerah penelitian. lain menyebabkan sehingga antara perbedaan sikap dan perilaku terhadap masalah kesehatan,dalain hal ini yang menyangkut riwayat kehamilan n . KESIMPULAN DAN SARAN 1. Ibu yang tidak patuh melakukan ANC lebih suka memilih dukun sebagai penolong persalinan sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan ibu yang patuh melakukan ANC setelah dikontrol dengan variabel riwayat kehamilan 2. Ibu yang beriwayat kehamilan baik, lebih suka untuk memilih dukun sebagi penolong persalinannya sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan ibu yang beriwayat kehamilan buruk, dan secara statsistik perbedaan tersebut bermakna. 3. Umur, paritas, serta jarak kehamilan tidak berhubungan dengan pemilih penolong persalian di Puskesmas Jati Sampurna Adapun saran yang bisa disampaikan oleh peneliti adalah: 1. Senantiasa memberikan penyuluhan kepada ibu hamil akan pentingnya patuh melakukan ANC serta mempromosikan partisipasi aktif ibu hamil untuk berusaha mendapatkan pcrtolongan persalinan yang aman. meskipun pada ibu yang beriwayat kehamilan baik. 2. Pengukuran atau pencatatan riwayat kehamilan dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dalam paket ANC. UCAPAN TERIMA KASIH Kepala Puskesmas Jati Sampurna Bekasi beserta para bidannya yang telah mengijinkan menggunakan data kohort ibu selama penelitian ini berlangsung. 90
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 84 - 91
DAFTAR PUSTAKA 1.
Departemen Kesehatan R.I, Pedoman Pelayanan Antenatal di Wilayah Kerja Puskesmas, Dep Kes R.I. 1990, Jakarta 2. Departemen Kesehatan R.I, Pedoman Penangann Pertolongan Persalinan dan Nifas Bagi Petugas Puskesmas, Dep Kes R.I. 1992, Jakarta. 3. Departeman Kesehatan, Badan Litbangkes, Beberapa Aspek Sosial Budaya dan Ekonomi dalam Pilihan Pertolongan Persalinan pada dukun Bayi, jumal JEN (2) 1996. 4. Departemen kesehatan R.I. Upaya Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu,, Depatemen Kesehatan R.I. 1998, Jakarta. 5. Gunantoro, faktor-faktor yang berhubun- gan dengan Pemilihan Penolong persalinan di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. tahun 2001,FKM Ul: Tesis. 6. Hamilton, 1994,L.C, \998,Statistics With Stata 5 , Duxbury Press, California. 7. Harni, Hubungan antara Karakterisitik sosio Demografi, Pengetahuan, dan Sikap Ibu dengan Pemanfaatan Penolong Persalinan. Suatu Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamanukan Kabupaten Subang Jawa Barat, Tesis, 1994, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 8. Kaguna, A, Nuwaha,F, Factors influencing-
91
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. 16.
Choices of Delivery Sites in Rakai District of Uganda, Sosial Science and Medicine, 2000, Jan : 50 (2): 203-213 Lemeshow,S, Hosmer,D.W,Klar,J Besar sample Dalam Penelitian Kesehatan, Cetakan 1. Gajah Mada University Press. 1997, Jogyakarta. Mardhiati, R, Faktor - factor yang berhubungan dengan Pemanfaatan Tenaga Penolong Persalinan, Tesis, 2001, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Sanie,S.Y,Surjadi.C, Pelacakan Dini Kehamilan Berisiko Tinggi, Kelompok Studi Masalah Kesehatan Masyarakat Kota, Pusat Penelitian Unika Atmajaya, Laporan Penelitian, 1987, Jakarta Tangkin,Y, Analisis Terhadap Hal-Hal Yang Berperan Dalam Pemanfaatan Pelayanan Rujukan Primer Oleh Ibu Hamil Risiko Tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas, Kabupaten Kapuas Hulu tahun 1994, Tesis, 2000, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Utomo, B ,Persalian dan Perinatal dalam laporan Seminar Peningkatan Kesehatan Ibu Hamil, 1991, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. World Health Organization, Indicator to Monitoring Maternal Health Goals : Report of Technical Working Group, Geneva 8-12 nov,1993. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 Ali, A, Epidemiologi Gizi dan Kesehatan di Polewali Mandar Sulawesi Barat Indonesia : Laporan Penelitian. 2009.
PERILAKU SEKS TAK-AMAN PEKERJA BERPINDAH DI PANTAI UTARA JAWA DAN SUMATRA UTARA TAHUN 2007 Unsafe Sexual Behavior Of Mobile Workers In Northern Coastal Area Of Java And North Sumatra In 2007 Dadun, Heru Suparno, Amry Ismail, Agus Setiawan, Sabarinah Prasetyo Pusat Penelitian Kesehatan Universita* Indonesia Email:
[email protected]
Abstract Background: During they work, mobile population must separate from their spouse in a long time, makes them tending to have extramarital sexual relationship. Objective: To describe the high risk sexual behavior and prevention of STD and HIV among mobile population. Methode: Respondents were 825 in size selected purposively in northern coast of Java and North Sumatra, then interviewed using structure questionnaire, while subsample were questioned in-depthly. They were truck and bus drivers, assistant of truck and bus drivers, fishermen or sailormen. Result: Majority of respondents had middle education level (70%) and were married (75%), while their average monthly income was one million rupiah. Nearly half confessed of having extramarital sexual relationship, although only below 20% used condom recently. This unsafe sex was done with casual partner such as sex worker, girl friends or just friends. Their access to get condom or adequate STD treatment were limited. Easy accessed health facility unit was very few. Information about STD and HIV&AIDS majority was from television. Conclusion: This low knowledge level on STD and HIV&AIDS including its treatment might increase the transmission of these diseases from mobile to general population. Providing health service unit close to shelter or terminal of bus and truck, or sea-port, would improve access to information of STD and HIV&AIDS as well as its treatment, besides disseminating it through popular media such as television. Key words: mobile population, unsafe sex
Abstrak Latar belakang: Selama bekerja, kelompok pekerja berpindah harus berpisah dari pasangan tetapnya dalam waktu lama, sehingga cenderung memiliki hubungan seks ekstramarital. Tujuan: Menggambarkan perilaku seks dan upaya pencegahan dan penanganan PMS dan HIV pada kelompok populasi berpindah. Metode: Responden sejumlah 825 dipilih secara purposive di pantai utara Jawa dan Sumatra Utara, diwawancarai dengan kuesioner terstruktur, dan sebagian kecil diwawancarai secara mendalam. Subyek mencakup supir truk, supir bus, kernel truk dan kernel bus, anak buah kapal, serta nelayan. Hasil: Sebagian responden berpendidikan menengah (70%) dan lelah menikah (75%), serta berpenghasilan per bulan sekilar 1 juta rupiah. Hampir separuh mengaku pernah berhubungan seks ekstra marital, namun kurang dari 20% memakai kondom saat seks terakhir. Seks tanpa kondom tersebut dilakukan dengan bukan pasangan letap seperti penjaja seks, pacar dan kenalan. Akses memperoleh kondom alau penanganan PMS yang adekuat masih terbatas. Unit pelayanan kesehalan yang mudah dijangkau masih sangat sedikit. Informasi tentang PMS dan HIV&AIDS diakui terbanyak diperoleh dari televisi. Kesimpulan: Rendahnya pemahaman dan akses informasi tentang PMS dan HIV&AIDS dapat menambah kerawanan transmisi penyakit tersebut dari populasi berpindah ke populasi umum. Penyediaan unit pelayanan kesehatan di dekat tempat pemberhentian atau pangkalan truk atau bus, ataupun pelabuhan, akan meningkatkan akses informasi tentang PMS dan HIV&AIDS termasuk penanganannya. di samping melalui media lain yang populer seperti televisi. Kata kunci: populasi berpindah, perilaku seks tak aman
92
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 92 - 101
PENDAHULUAN Sejak tahun 1990 penularan HIV di Indonesia meningkat dengan pesat. Hingga tahun 2006 diperkirakan sebanyak 150.000 sampai 250.000 orang telah terinfeksi HIV. Penularan utamanya melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian dan heteroseks dengan wanita penjaja seks.1 Besaran dan percepatan kasus HIV&AIDS tidak merata di setiap daerah. Kasus HIV&AIDS yang terlaporkan masih terkonsentrasi pada beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, Papua, Riau, Jawa Timur, Bali dan Sumatra Utara.' Pengidap HIV terkonsentrasi pada beberapa kelompok, seperti penjaja seks, pelanggan, dan pengguna narkotika suntik. Gambaran ini tidak memberi arti bahwa daerah lain atau kelompok penduduk yang lain bebas penularan HIV. Fakta menunjukkan bahwa keberadaan berbagai faktor pendorong epidemi ditemukan di semua daerah, antara lain: keberadaan industri seks yang angka kelaminnya relatif tinggi, penyakit penggunaan kondom yang masih rendah, dan penggunaan alat suntik dan tindakan operatif medis tidak steril/ Hasil survei perilaku berisiko (1996-2000) memperlihatkan bahwa supir truk, pelaut dan nelayan serta pekerja pelabuhan lain, dapat dikatakan termasuk pekerja yang sering berpindah tempat atau bergerak (mobile population) disebabkan sifat pekerjaannya, dan merupakan kelompok yang rawan tertular HIV karena perilaku seksnya. Pada kelompok tersebut konsistensi penggunaan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan tidak tetapnya masih rendah, ratarata kurang dari 11%.4 Telah diungkap juga bahwa penggunaan kondom yang masih rendah ini berisiko meningkatkan penyebaran HIV dan AIDS ke masyarakat umum, sebab kelompok supir, nelayan dan pekerja di pelabuhan laut kebanyakan sudah berkeluarga. Keadaan ini diperparah dengan maraknya industri seks yang banyak dijumpai di sepanjang jalan raya dan di sekitar pelabuhan laut besar dan pelabuhan nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa dan Sumatra Utara.3 Kedua kelompok ini telah membentuk pasar permintaan dan penawaran yang sangat solid dan saling membutuhkan, sehingga upaya pengentasannya bukanlah hal yang mudah dilakukan. 93
Berbagai laporan merekomendasikan bahwa pelanggan penjaja seks, termasuk sopir truk, pelaut dan nelayan, perlu menjadi target utama sasaran program penanggulangan HIV dan AIDS di beberapa daerah Indonesia termasuk di daerah tersebut di atas.6 Pemerintah dan masyarakat serta berbagai institusi/ . organisasi terkait, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan donor, telah bereaksi dengan berbagai cara dan berkontribusi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Upaya menurunkan risiko terpapar HIV dapat dilakukan melalui intervensi perubahan perilaku. Ada 3 macam tingkat perubahan yang diharapkan yaitu perubahan tingkat individu, organisasi dan masyarakat. Namun dalam situasi tertentu intervensi tidak bisa dilakukan pada satu tingkatan saja dan harus melibatkan semua tingkatan intervensi.7" 8 Dalam Aids risk reduction model upaya pertama, yang perlu dilakukan adalah labeling pada perilaku berisiko.9 Oleh karena itu intervensi perubahan perilaku ini memerlukan informasi perilaku apa yang berisiko terhadap HIV di kelompok ini. Khusus untuk populasi berpindah perlu dipelajari bagaimana perilaku mereka terkait kegiatan seksual serta pencegahan HIV dan AIDS.
METODE Telaah situasi ini menerapkan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam, di samping wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Studi di lapangan dilakukan pada bulan Maret sampai April 2007. Lokasi studi adalah daerah di sekitar jalan raya di pantai utara pulau Jawa dari kota Jakarta di Provinsi DKI Jakarta, sampai kota Surabaya di Provinsi Jawa Timur. Sedahgkan lokasi studi di Sumatera Utara, dari kota Medan sampai kota Pelabuhan Belawan dan pelabuhan lain di Wilayah Propinsi Sumatra Utara (Sibolga, Tanjungbalai). Unit pengamatan utama adalah "pelabuhan laut" (resmi dan tak resmi), dan "pangkalan truk" (resmi dan tak resmi) yang merupakan tempat pemberhentian atau tempat istirahat supir truk, terminal truk, pool bus, serta lokalisasi pekerja seks di sekitar kedua jenis lokasi studi tersebut. Dengan menelusuri jalan utama antar kota di pantai utara Jawa
Perilaku seks tak aman...(Dadun, Hera, Amry, Agus & Sabarinah)
dan Sumatra Utara, diperoleh 2331 situs, dengan rincian 59 pelabuhan, 149 pangkalan truk, 23 terminal bus. Responden sampel dari populasi berpindah adalah supir truk atau bus, anak buah kapal (ABK) atau pelaut, dan nelayan. Di tiap situs, dipilih secara purposive empat sampai lima responden yang bersedia diwawancarai dengan terlebih dahulu diajukan persetujuannya (informed consent). Total besar sampel ada 825 responden. Data dikumpulkan dengan wawancara terstruktur, diolah dengan perangkat lunak Epi-Info. Analisis sederhana menyajikan sebaran frekuensi dalam bentuk tabel dan grafik. Sebagai dukungan, dilakukan pula wawancara mendalam yang hasilnya disajikan dalam bentuk kutipan narasi. HASIL Karakteristik demografik Pola usia responden di kelima propinsi tidak banyak berbeda, rata-rata masih termasuk usia sangat produktif, sebagian besar ada pada rentang usia 20 sampai 40 tahun, paling banyak ada di kelompok usia 21 sampai 30 tahun (33 %) dan 31 sampai 40 tahun (31%) (Grafik la).
<20
21-30
31-40
41-50
>50
Gambar 1. Persen responden menurut umur (la) dan pendidikan (Ib)
Kelompok usia ini umumnya aktif secara seksual sehingga dengan kemampuan finansial yang cukup baik, waktu luang dan sarana yang tersedia memungkinkan kelompok usia ini terpapar oleh hubungan seks, termasuk yang tidak aman. Pendidikan responden cukup bervariasi, masih ditemukan mereka yang tidak pernah sekolah, terutama di kelompok nelayan dan ABK. Paling banyak berpendidikan SMP dan SD. Untuk Nelayan hampir separuh berpendidikan SD (53%) sedangkan supir
lebih banyak yang berpendidikan SMP (38%) dan SMA (30%) (Grafik Ib).
TakSekolah
SLIP
' SLTA
PT/Akademi
Variasi status menikah kelompok berpindah hampir sama di semua propinsi. Sebagian besar (75%) telah menikah, sementara yang belum menikah sekitar (24%), dan sisanya bercerai atau berpisah. Dua pertiga responden (70%) dilaporkan bekerja sebagai karyawan perusahaan sedangkan sebagian kecil (16%) bekerja sendiri. Proporsi yang bekerja sendiri lebih banyak ditemukan di Sumatera Utara (39%). Proporsi kelompok berpindah yang berstatus bekerja sendiri lebih banyak dari kelompok nelayan. Lebih dari dua pertiga (67%) responden telah bekerja lebih dari 5 tahun, namun yang berpengalaman 1 sampai 10 tahun lebih dari separuh, ini sesuai gambaran usia kelompok berpindah di Jakarta sebagian berkisar antara 20 sampai 40 tahunan. Lama kerja responden rata-rata 12 tahun, dengan rata-rata pengalaman kerja lebih lama lebih banyak ditemukan di Jawa Tengah dibandingkan di Jakarta. Besar penghasilan kelompok berpindah dalam survei ini digali melalui pengakuan, dan terungkap rata-rata Rp 1.000.000,sebulan, dan Rp 1.300.000,- perbulan unruk penghasilan keluarga. Rata-rata besar penghasilan perbulan menurut jenis kelompok bervariasi mulai dari Rp 700.000,pada kernel truk, hingga Rp 1.800.000,- di kelompok nelayan. Variasi besar penghasilan di dalam kelompok juga cukup lebar, bahkan ada yang mendekati 3 kali lipat (kelompok nelayan). Sedangkan besar penghasilan keseluruhan keluarga tidak jauh berbeda, kisaran perbedaan antara 10 persen pada kelompok nelayan dan 40 persen pada kelompok pelaut atau ABK. Gambaran perjalanan pekerja berpindah Berapa lama subyek bekerja sehingga berpisah dari pasangan tetapnya tergambar sebagai berikut. Jumlah hari di perjalanan
94
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 92 - 101
terhitung dari meninggalkan rumah untuk bekerja dan pulang kembali ke rumah sangat bervariasi di antara kelompok sopir truk, sopir bus, pelaut dan nelayan. Di antara sopir truk pun dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti sopir truk tronton dengan lebih dari 10 ban, sopir truk kecil (kurang dari 10 ban per kendaraan). Lama di perjalanan juga tergantung dari jarak tempuh atau trayek. Sopir truk dengan trayek antar propinsi di Pulau Jawa biasanya meninggalkan rumah selama 3-7 hari untuk sekali berpergian. Secara reguler umumnya sopir truk antar propinsi di Pulau Jawa berpergian sebanyak 2-3 kali sebulan. Truk tronton (dengan lebih dari 10 ban per kendaraan) menempuh jarak dari Surabaya ke Jakarta biasanya dalam waktu dua setengah hari. Dalam kondisi normal atau tidak ada gangguan kendaraan biasanya truk berhenti sekitar tiga kali, tetapi kalau terjadi gangguan pada kendaraan bisa lebih dari tiga kali. Jenis truk kecil dengan jarak tempuh yang sama biasanya hanya berhenti 1 sampai 2 kali "saja. Truk kecil biasanya membawa bahan pangan pangan yang harus cepat sampai ke tempat tujuan sehingga tidak memungkinkan untuk sering berhenti di perjalanan. Sopir truk dengan trayek kota-kota di Pulau Jawa dan kota-kota di Pulau Sumatera menempuh waktu lebih lama. Perjalanan biasanya di tempuh selama lima hingga tujuh hari. Pada truk dengan rute yang lebih jauh seperti Surabaya - Medan waktu perjalanan mencapai hingga 20 hari atau bahkan ada yang sampai sebulan untuk sekali perjalanan. Dalam satu bulan rata-rata setiap pengemudi melakukan 2 sampai 3 kali perjalanan, namun belakangan ini lebih banyak 1 kali saja. "sekarang ini mas... susah untuk bisa narik 2 sampai 3 kali sebulan kadangkadang cuma satu kali., pabriknya sudah banyak yang tutup..kalau dulu iya bisa 3 kali, 4 kali sebulan, sulit mas sekarang".(Supir truk). Rata rata seorang pengemudi truk melintasi 1 sampai 3 propinsi sekali perjalanan, dan dalam seminggu terakhir menyinggahi 2 sampai 3 tempat perhentian. Kelompok supir bus seminggu terakhir melintasi 1 sampai 3 propinsi, sedangkan pada pelaut antara 1
95
sampai 2 propinsi. Supir/kernet truk menyinggahi 2 sampai 3 perhentian dalam satu perjalanan, sementara supir bus dan nelayan rata-rata menyinggahi 1 sampai 2 perhentian/pelabuhan. Kelompok sopir truk yang melintasi pantura di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah diyakini lebih mengetahui tempat singgah yang menjadi referensi mereka. Banyak tempat singgah di sepanjang jalur pantura di Jawa Barat. Sebagian besar (19,1%) kelompok sopir truk yang melintasi wilayah pantura Jawa Barat mengaku singgah di daerah Indramayu. Daerah lain yang disebut sebagai tempat singgahnya adalah Cikampek (10,9%), Cirebon (5,5%) dan Kerawang (4,5%). Di jalur pantura di Jawa Tengah, tempat singgah yang banyak disebut sopir truk adalah Semarang (11,8%), Rembang (11,1%) dan Batang (8,3). Di daerah pantura di Jawa Timur, daerah Compreng menjadi referensi tempat singgah para sopir truk yang melintasi jalur ini. Kelompok nelayan biasanya singgah untuk menjual ikan hasil tangkapannya. Mereka akan berlabuh di kala hasil tangkapan sudah memadai atau persediaan logistik atau bekal makanan di laut sudah menipis. Referensi tempat menjual ikan biasanya diarahkan oleh pemilik modal atau perahu atau "toke" yang berada di daratan. Sebagai ilustrasi, nelayan dari Indramayu kadang menjual ikan di Pelabuhan Blanakan, di wilayah Subang karena di pelabuhan ini harga jual ikan lebih tinggi dibanding pelabuhan ikan lainnya. Mereka mengetahui harga-harga pasaran ikan dari pemilik modal, atau toke yang ada di daratan melalui alat komunikasi atau radio komunikasi Perilaku seksual Perilaku seksual pengemudi truk, pengemudi bus dan nelayan tidak jauh berbeda, hampir separuh (49%) dari ketiga kelompok berpi'ndah ini pernah melakukan hubungan seks dengan bukan pasangan tetap atau istri, padahal yang berstatus menikah 43%. Sebagian besar pasangan scks selain istri adalah Penjaja Seks (PS) (83%), padahal yang berstatus menikah angkanya 85%. Di samping itu terungkap pula pasangan seks lainnya adalah pacar dan tcman dekat, selain juga pasangan seks waria di . kelompok
Perilaku seks tak aman...(Dadun, Heru, Amry, Agus & Sabarinah)
pengemudi truk. Pada kelompok belum pernah menikah, angka pernah berhubungan seks mencapai 78%, dengan jenis pasangan
PS (82%), pacar (17%) dan teman (9%) (lihat label 1).
label 1. Pengalaman pernah seks selain dengan istri/pasangan tetap Kelompok sampel Pengemudi truk Kernel truk
.n
Pemah seks ekstra Pacar PS Waria Teman dekat Marital 389 48,33 6,68 41,65 0,51 1,80 176
38,64
6,82
31,82
2,27
Pengemudi bus
45
42,22
15,56
24,44
6,67
Kernel bus
19
52,63
10,53
31,58
10,53
Pelaut ABK
89
50,56
7,87
46,07
3,37
Nelayan
107
22,43
1,87
16,82
3,74
Semua
825
42,91
6,79
35,64
Dalam sebulan terakhir hampir semua pengemudi atau kernet truk dan bus melakukan aktivitas makan dan minum ketika singgah, dan hanya sebagian kecil pengemudi truk (12 %) melakukan transaksi seks ketika berhenti, Nelayan atau ABK yang melakukan transaksi seks sedikit lebih tinggi (16%). Aktivitas lain biasanya adalah pijat tubuh dan Iain-lain seperti memeriksa atau memperbaiki kendaran atau kapal. Aktivitas seksual lebih banyak dilakukan ketika dalam perjalanan pulang karena truk dalam keadaan kosong dan tidak dikejar waktu. Hal lain yang menarik terungkap adalah ada supir truk lebih menyukai mempunyai pasangan tetap atau istri kedua di antara rute perjalanan dari pada melakukan transaksi seks di perjalanan. Akses terhadap PS di pelabuhan dinilai lebih mudah dibandingkan dengan kelompok lain, karena bisa diperoleh secara langsung maupun tidak langsung melalui perantara. Tawaran ini datang dengan sendirinya tanpa dicari, karena sudah menjadi kebiasaan kelompok ABK menggunakan jasa PS, sehingga perantara tanpa sungkan menawarkan jasa untuk mencarikannya. Modus penjaja seks dalam menjajakan diri juga beragam mulai dari berjualan panganan, jamu hingga secara terang-terangan menawarkan jasa, sehingga akses kelompok bergerak ke PS ini tidak sulit . "biasanya kalo kita keluar pelabuhan juga tukang becak udah pasti nawarin
0,24
2,79
PSK duluan ama kita..kalo kita mau tukang becak ngambil perempuan di waning itu diantar ke hotel yang udah kitapesan..".. "kalo jalan ke tempat hiburan kita ramai-ramai sama biasanya temen.. "... ada juga perempuan jual gorengan, tukang jamu kuat.kadang bisa dipake juga mas... . Bila ada pelaut yang mau, mereka juga bisa di ajak berkencan di atas kapal, malah kebanyakan PSKnya dulu yang menawarkan jasanya. Tarifnya berkisar antara ' 20.000-50.000 rupiah "(ABK-Jabar). Pemakaian kondom Penggunaan kondom ketika berhubungan seks terakhir dengan pasangan selain istri atau pasangan tetap diakui sekitar 16% responden. Proporsi tertinggi di Jawa Timur (20%) dan terendah di Jawa Barat (9%). Penggunaan kondom lebih tinggi pada kelompok pengemudi truk dari pada dua kelompok berpindah lainnya. Lebih rinci lagi pada kelompok menikah 12% dan 28% pada kelompok belum menikah.
o -• Jakarta
Jawa Barat JawaTengah Jawa Timur
Sumatra Utara
96
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 92 - 101
Penggunaan kondom raemang masih rendah. dan ini terkait dengan persepsi mereka terhadap kondom dan kebiasaan mengkonsumsi alcohol sebelum melakukan hubungan seks. Menurut responden, keputusan untuk melakukan hubungan seksual biasanya dalam pengaruh alkhol sehingga kebanyakan hubungan seks tidak menggunakan kondom. "biasanya kalau ke tempat hiburan gak langsting ngamar lah..ngobrolngobrol dulu Hat-Hat ..mana yang cocok,sambil minum-minum bir kalau udah panas barn main..kalau udah minum sudah gak ingat tuh kondom.. "(ABK-Jabar) ''vang saya kira kalau kita memang sudah berniat untuk main, sudah tidak terpikir untuk pake kondom. kurang puas". (Supir Truk) "Kan tujuannya main juga untuk cari enak, kalau pake kondom licin kurang enak, kita bukannya tidak tahu kalau main cewek itu bisa kena sipilis atau rajasinga tapi seringkali kalau udah dapat ceweknya lupa sama kondom, biar kita sudah bawa juga kalau pasnya suka dak ingat " (Supir BusJab ar). Separuh sampel kelompok berpindah ini mengetahui bahwa kondom bermanfaat untuk mencegah kehamilan dan mencegah penyakit menular. Dalam hal akses untuk mendapatkan kondom, lokasi yang paling banyak disebut adalah farmasi, toko obat dan apotik. Tiga dari empat responden menyampaikan bahwa kondom sulit diperoleh di tempat pcrhentian, pangkalan, terminal, dan pelabuhan. Nainun hanya sepertiga di antaranya menyatakan perlu disediakan fasilitas pelayanan untuk menyediakan kondom. "Di warung-warung sedia, rum ah makan juga sedia, kadang tukangjamu keliling juga menjual kondom, sehingga tidak perlu lagi disediakan fasilitas untuk pelayanan kondom" (Supir Truk). Penyakit menular seksual Hampir semua responden pernah dcngar tentang PMS, namun dalam hal jenis PMS
97
tidak semua dapat menyebutkan nama-nama penyakit yang termasuk PMS. Penyakit yang paling banyak disebutkan oleh hampir semua kelompok berpindah adalah sifilis, diikuti oleh gonore atau kencing nanah dan herpes. Pengakuan pengalaman terkena PMS dalam setahun terakhir ternyata proporsinya relatif masih tinggi, diutarakan oleh supir atau kernet sekitar 10%, di kelompok pengemudi bus 7%, dan pelaut atau nelayan 9%. Perilaku pencarian pengobatan bervariasi pada ketiga kelompok ini, namun rata-rata pemah melakukan pengobatan scndiri dengan membeli obat di warung dan apotik, secara umum penderita rata-rata menggunakan lebih dari satu macam pengobatan. Penggunaan obat pada kelompok ini diketahui juga terkadang tidak rasional. "Pencegahannya pakai kondom a/a, selain kondom minum obat supaya nggak kena penyakit". (ABK -Pas) "kalo saya ngantar teman saya waktu dia sakit spilis. Sebelum main suruh minum obat." (ABK-Prob) "....kalau pencegahan biasanya itu....dikasih Super Tetra itu ya biasanya kalau sudah terjun... ya itu di kasih super tetra itu istilahnya penangkal itu, yang agak...agak jauh lah (tidak akan tertular PMS) " (ABKjatim) Sumber informasi PMS dan HIV&AIDS Media eletronik dan media cetak masih meaipakan media yang paling banyak disebut sebagai sumber informasi pengetahuan PMS dan HIV&AIDS. Televisi adalah sumber informasi utama sampel kelompok berpindah ini, diikuti oleh media cetak koran dan radio scrta poster. Menarik untuk diketahui lebih lanjut jenis acara telcvisi yang paling banyak diminati, ternyata terungkap terbanyak adalah siaran berita televisi (38%) termasuk berita kriminal, olah raga (19%) dan filnVsinetron (23%) scrta tayangan komcdi (10%). Secara umum tidak ada respondcn yang fanatik pada satu acara, hampir semua responden rata-rata menyimak antara 2 sampai 3 acara televisi yang berbeda pada stasiun TV yang berbeda.
Perilaku seks tak aman...(Dadun, Heru, Amry, Agus & Sabarinah)
Televisi
Radio
VCD/DVD
Poster
Majalah
Reklame
Pamflet
Spanduk
Lainnya
Grafik 3. Sumber informasi tentang PMS dan HIV & AIDS
Pemanfaatan media radio pada kelompok berpindah sangat tergantung pada daya pancar stasiun radio yang bersangkutan. Pada umumnya daya pancar radio tidak melintasi batas wilayah propinsi, kecuali di daerahdaerah perbatasan, sehingga relay radio-radio pada kelompok pengemudi truk dan bus berganti-ganti sesuai daerah yang dilintasinya. Pada kelompok berpindah ABK atau pelaut beberapa menangkap siaran radio dengan daya pancar International seperti BBC London atau radio Australia. Kebiasaan membaca lebih banyak ditemukan pada kelompok berpindah supir baik supir truk maupun supir Bus dibandingkan kelompok pelaut dan nelayan. Kebiasaan membaca kelompok tidak terikat pada satu macam media saja, satu orang bisa membaca lebih dari dua koran. Kebiasaan membeli koran dilakukan ketika diperjalanan atau ketika beristirahat. Jenis koran yang banyak dibaca adalah koran lokal (misal Jawa Pos, Suara Merdeka, Pos Kota, Lampu Merah). Untuk spanduk atau poster atau reklame, lokasi informasi yang biasa dilihat/dibaca oleh kelompok populasi berpindahantara lain pangkalan truk (26%), warung (23%) dan jalanan (19%) serta beberapa tempat lain
rumah, kendaraan/kapal dan misalnya tempat kerja. Akses pelayanan kesehatan Kemudahan subyek mengakses pelayanan kesehatan manakala mereka ingin berobat untuk penyakit PMS ternyata masih sangat rendah. Ini terungkap dari pengakuan sebagian responden, seperti contoh berikut. Untuk mengobati IMS, biasanya minum obat atau memeriksakan ke dokter. Cara yang terakhir jarang dilakukan karena banyak pelaut masih main. .Ada juga kapten kapal yang sudah menyiapkan obat untuk menyembuhkan penyakit kelamin anak buah kapalnya". (ABKJabar) Studi juga melakukan penelusuran dan pemetaan unit pelayanan kesehatan di jalan raya di pantai utara Jawa dan Sumatra Utara. Di sekitar tempat berhenti singgah atau pangkalan bus dan truk, atau pelabuhan, jumlah pelayanan kesehatan yang dekat atau dianggap dekat sangatlah sedikit. Secara rinci, letak fasilitas di sepanjang jalan raya dapat dilihat pada gambar 4 sampai gambar 8.
JAWA BARAT T
mum Gambar 4 Peta lokasi PSK, Fasilitas Kesehatan, Organisasi Masyarakat, LSM, Perhentian Truk dan Pelabuhan
98
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 92 - 101
PROVMS1 JAWABMWT
Gambar 5 Pantai Utara Sumatera Utara
Gambar 6 Pantai Utara Jawa Barat
P Madur»
Gambar 1 Pantai Utara Jakarta
PEMBAHASAN Kelompok pekerja tertentu sangat rentan terhadap HIV DAN AIDS karena situasi pekerjaan, kondisi hidup dan situasi berisiko lainnya seperti nelayan, pekerja transportasi, pekerja seks dan pekerja hiburan, dan bahkan termasuk aparat.10 Karakteristik kelompok berpindah yang berstatus menikah disertai separuh yang berhubungan ekstra marital tidak aman merupakan hal kritis yang patut diwaspadai terkait penularan PMS. Fenomena tingginya hubungan sek berisiko dengan pekerja seks pada populasi berpindahABK/nelayan sejalan dengan studi di Kamboja, Benoa Bali, Teknaf Bangladesh 11,12,13 demikian juga pada kelompok supir truk dan petani musiman di Selatan Afrika dan supir truk di Bolivia.14'15 Status menikah dan perilaku seksual berisiko sangat erat kaitannya dengan risiko penyebaran PMS dan HIV&AIDS di masyarakat. Semakin tinggi perilaku seks
99
Gambar 8 Pantai Utara Jawa Timur
berisiko atau seks tidak aman pada kelompok menikah, semakin tinggi risiko penyebaran PMS atau HIV&AIDS di masyarakat. Rendahnya tingkat penggunaan kondom pada kelompok ini merupakan faktor yang membuat risiko terhadap HIV semakin tinggi Keengganan menggunakan kondom juga terjadi pada pekerja seks khususnya pada klien tetap atau kekasih meski tahu bahwa mereka kebanyakan sudah menikah. Hal ini umum terjadi pada pekerja dengan pengetahuan dan informasi PMS atau HIV&AIDS yang kurang memadai.16 Tingginya risiko kelompok populasi berpindah dapat dlihat dari studi di Kamboja menunjukkan prevalensi pada kelompok mobil ABK/nelayan relatif tinggi 16% dari 446 orang, dengan prevalensi 14% pada yang menikah.17 Dengan demikian perilaku seksual berisiko pada kelompok berpindah yang menikah perlu mendapat perhatian. Pemberian informasi dan edukasi perlu dilakukan untuk mencegah meningkatnya
Perilaku seks tak aman...(Dadun, Heru, Amry, Agus & Sabarinah)
risiko terpapar HIV. Pendidikan perlindungan formal yang baik dan pendidikan non-formal dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk pencegahan HIV dan perlindungan dari dampak AIDS18 Namun terkait dengan upaya komunikasi dan edukasi mengenai pencegahan HIV&AIDS pada nelayan memiliki tantangan lebih besar karena tingkat pendidikan mereka yang rendah dan proporsinya lebih besar dibandingkan Tantangan meliputi kelompok supir. pemilihan model, bentuk penyampaian dan jenis sarana KIE perlu mendapat perhatian agar sesuai dengan tingkat pendidikan dan pemahaman kelompok yang bersangkutan. Upaya menjangkau kelompok berpindah yang bekerja sebagai karyawan perusahaan semestinya dapat lebih mudah melalui koordinasi dengan pemilik usaha atau perusahaan. Sementara pada kelompok yang bekerja mandiri dan tidak terikat pada peraturan perusahaan dapat dilakukan melalui organisasi kelompok berpindah ini. Upaya merubah perilaku berisiko melalui kelompok ini diprediksi dapat merubah perilaku berisiko namun intervensi perilaku ini tidak cukup bila tidak disertari upaya medis melalui pelayanan kesehatan.19 Akses responden terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang ternyata masih terbatas. Mengingat kegiatan seksual mereka mayoritas tidak aman, serta pengetahuan tentang pencegahan PMS dan HIV&AIDS rclatif masih rendah, maka sangat didorong penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan di titik-titik di mana kelompok populasi berpindahberhenti sejenak, seperti di shelter atau persinggahan, terminal, dan pelabuhan. Unit pelayanan kesehatan tersebut hendaknya mengedepankan pelayanan untuk pencegahan HIV&AIDS serta pengobatan PMS, di samping penyebaran informasi atau penyuluhan tentang HIV&AIDS serta perilaku seks aman. KESIMPULAN DAN SARAN Kelompok populasi berpindah (supir bus atau truk, kernel bus atau truk, nelayan atau pelaut) memang rawan tertular dan menularkan PMS dan HIV&AIDS karena perilaku seks yang mayoritas tidak aman. Disarankan untuk menyebarkan informasi
tentang PMS dan HIV&AIDS lebih luas di media yang populer bagi mereka yaitu televisi dan radio serta koran lokal, serta menyediakan unit fasilitas pelayanan kesehatan di titik persinggahan, terminal, dan pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sumatra Utara. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada FHI ASA yang mendukung studi ini, di samping juga kepada nara sumber pelatihan penulisan artikel yaitu Prof. Budi Utomo serta Bapak Muchtaruddin, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan serta UNFPA sebagai penyelengara dan pendukung pertemuan. Secara khusus diucapkan terima kasih kepada Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) yang telah juga memfasilitasi telaah atas draft artikel ini sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
Depkes RI. Estimasi kasus HIV DAN AIDS di Indonesia. FHFASA. 2006, Jakarta Depkes RI. Laporan Triwulan kasus HIV DAN AIDS di Indonesia. P2P PL Depkes RI 2006 Jakarta. Komisi Penanggulangan Aids Nasional. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 20102014. KPAN, 2010, Jakarta. Utomo, Budi, et.al. Findings of BSS 1996-2000 on Female CSW and Adult Male Respondents. CHRUI2001 Jakarta. ILO, Kantor Perburuhan lnternasional."Perdagangan Anak Untuk Tujuan Pelacuran Di Jakarta Dan Jawa Barat. Sebuah Kajian Cepat". ISBN 92-2-815136-6. 2004, Jakarta. KPAN 2007 Ibid National Cancer Institute. Theory at a Glance, A Guide For Health Promotion Practice. Second Edition. U.S. Department Of Health And Human Services, National Institutes of Health, 2005, USA. Family Health International. Behavior Change, A Summary of Four Major Theories. 1996. http://www. fhi.org/nr/rdonlyres/ei26vbslpsidmah hxc332vwo3g233xsqw22er3vofqvrfjvubwyzdvqj cbdgexyzl3msu4mn6xv5j/bccsummaryfourrnajort heories.pdf Cattania, J.A., S.M. Reggies, and T.J. Coates. "Towards understanding of risk behavior: An AIDS Risk Reduction Model (AARM)," Health Education Quarterly Spring. 1990: 53-72. Chantavanich, Supang. Mobility And HIV dan AIDS In The Greater Mekong Subregion. Asian Development Bank 2000. http://www. adb.org/ documents/books/hiv aids/mobility. Setiawan, I Made, Social risk network and HIV/AIDS among fishing boat crews in Benoa
100
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 92 - 101
12.
13.
14.
15.
101
Port, Bali. University of Illinois at Chicago, Health Sciences Center, 2008, Chicago. Samnang, P. "HIV/AIDS Epidemiology: HIV prevalence high among fishermen in Cambodian port". Life Science Weekly. Atlanta: Oct 5, 2004. pg. 587 Gazi, Rukhsana, et al., "An assessment of vulnerability to HIV infection of boatmen in Teknaf, Bangladesh". Conflict and Health 2008, 2:5 http://www.conflictandhealth.com/ content/ pdf71752-1505-2-5.pdf Hall, James., "Rights-Southern Africa: Truckers Contribute To The Spread Of Aids". Global Information Network. New York: May 4, 2005. Pg. 1 Sorensen,William C. "Using Mixed Methodology To Assess High Risk Sexual Behavior And Adult Stage Among Bolivian Truck Drivers". A Dissertation, 2003. UMI Microform 3117046 by
16.
17. 18.
19.
ProQuest Information and Learning Company. Bronfman, Mario N, et al. Mobile populations and HIV DAN AIDS in Central America and Mexico: research for action. LippincottWilliams & Wilkins. 2002 Mexico, http://bvssida.insp. mx/articulos/4241 .pdf. Samnang. ibid Hodgkin, Maria and Marian Schilperoord. "Education: critical to HIV prevention and mitigation". Forced Migration Review. Oxford: Oct 2010. pg. 29, 2pgs Dan Wohlfeiler, Jonathan M. Ellen Chapter Fifteen, "The Limits Of Behavioral Interventions For Hiv Prevention", Prevention is Primary: Strategies for Community Weil-Being. Copyright © 2007 by Prevention Institute. www.wiley.com or http://pubs.cpha. ca/PDF/P43/ 24546.pdf.
Urinating after Sexual Intercourse Prevents Pregnancy: Adolescents' Misconceptions of Reproductive Health Knowledge Buang air kecil Pascahubungan Seks Mencegah Kehamilan: Kekeliruan Pemahaman Remaja Yang Menjadi Masalah Kesehatan Reproduksi Dyah Anantalia Widyastari1, Zahroh Shaluhiyah2, Bagoes Widjanarko2 Master Program of Health Promotion Diponegoro University Semarang 2 Faculty of Public Health Diponegoro University Email:
[email protected]
Abstrak Latar belakang: Kesehatan reproduksi remajapada masa ini menuntutperhatian semua pihak. Banyaknya kasus seks pranikah, kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi di kalangan remaja menuntut pemerintah dan semua pihak yang berkepentingan mengambil sebuah tindakan untuk mengatasinya. Kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi ditengarai menjadi penyebab utama remaja melakukan perilaku seks beresiko. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengukur tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja dan rnenganalisafaktor-faktoryangmempengaruhinya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang melibatkan 320 orang siswa sekolah menengah di kota Semarang. Data dikumpulkan dengan mempergunakan angketyang mengukur tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan hal yang berkaitan dengan seksualitas. Hasil: Enampuluhpersen remaja mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah. Miskonsepsi terjadi pada isu seputar terjadinya kehamilan dimana sebagian besar mereka beranggapan bakwa buang air kecil setelah berhubungan seksual dapat menghindarkan si gadis dari kehamilan. Sebagian lagi beranggapan bahwa kehamilan tidak akan terjadi pada hubungan seks yang pertama. Teman sebaya dan media terbukti signifikan sebagai prediktor pengetahuan remaja. Kesimpulan: Dengan banyaknya remaja yang mempunyai tingkat pengetahuan rendah dan banyaknya miskonsepsi seputar kesehatan reproduksi remaja, pendidikan seks menjadi sangat penting dibangun sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Kata kunci: Pengetahuan, Kesehatan Reproduksi, Remaja, Miskonsepsi
Abstract Background: Adolescents' reproductive health in Indonesia is of growing concern today. Premarital sexual intercourse and unsafe sex behaviors widely found among young people. Lack of reproductive health knowledge was common as the major cause of such risky behavior. Objective: This study aims to measure level of adolescents' reproductive health knowledge as well as to examine factors related to adolescents' knowledge. Methode: It was across-sectional survey involved 320 secondary school students in Semarang. Semi-school based self-administered questionnaires were employed to collect information on reproductive health and sexual-related knowledge of adolescents. Result: Sixty percent of adolescents had low reproductive health knowledge. Most of them believed urinating after intercourse and withdraw before ejaculation would prevent them from pregnancy. Some also believe that having sexual intercourse at the first time will not result in pregnancy. Peer and media were found as the primary source of information on reproductive health. Conclusion: This study indicates low level of knowledge among secondary school students in urban Semarang. Therefore providing sex education at schools will be a good solution in order to increase level of knowledge and prevent them from engaging in risky sexual practice. Keywords: Adolescents, Reproductive Health, Knowledge, Misconception
102
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 102- 112
BACKGROUND As well as in their counterpart worldwide, adolescents' sexual behavior in Indonesia also shows a greater risk to unwanted pregnancy and sexually transmitted disease. Although only few large scale studies have been able to find out the exact number due to its sensitivity, premarital sexual intercourse tends to be increasing nowadays. If Indonesian Young Adult Reproductive Health Survey found, of 10 million young people, 1 percent of women and 5 to 6 percent for men admitted openly that they have had sexual intercourse1' 2, perhaps the findings of small-scale studies on adolescents' sexual attitudes and behavior showed a closer portrayal to reality. Micro studies in Central Java found, dating activities among adolescents was not only holding hands or kissing but way further such as touching their partner's genital, petting and even intercourse3"9. Approximately 5 to 20 percent adolescents in Semarang and other urban Central Java had engaged to premarital sex3' 5' 8"10. A larger scale study involved 1000 young people in urban Central Java found eighteen percent of males and six percent of females of Central Java's youth had engaged to premarital sexual intercourse Among determinants factors of adolescents' sexual attitudes and behaviors e.g. self efficacy, parental support/family relation, mass media exposure and peer influence, knowledge was often found as the proximate determinant ' ~ 15 . Indeed, adolescents' risky sexual behavior was mainly caused by their lack of understanding on reproductive health information which failed to be provided either by parents or schools "' I6"18. Parents' reluctance in discussing reproductive health matters and limited sex education provided at schools therefore lead the youngsters to find information from the most comfortable sources, their peer and media l' 2' 19~21. Thus become a source of concern since in many cases, information provided by peer and media were not intentionaly to be educational. Moreover, media contributes a high risk when its related to the extent of sexually explicit online material 19'22. It's still become a debate among community, government and experts regarding the 103
importance of giving sex education for adolescents. Controversy occurred when providing sex education to adolescents is believed will lead them engage in such behavior earlier. With regards to Javanese and most of Indonesian culture, discussion about sex among unmarried young people is is considered taboo . Therefore it unnecessary to provide sex education for adolescents, yet they should avoid involving in such discussion. On the contrary, moderate groups believed if adolescents are given an adequate of reproductive information they will be more responsible of their own behavior. Finding shows a different level of knowledge among adolescents who were given a sex education program. Adolescents who were given good reproductive health information showed an increasing of reproductive health knowledge and were less likely to engage in risky sexual practice 15'23. Currently, reproductive health subject in Semarang and most of Indonesian cities is given integrated to biology or science curriculum at 10th grade. Biology Teachers Association admitted that they were unable to provide adequate reproductive health information since they were also responsible for other subjects. Reproductive health matters are counted for less than 10 percent of total meetings of biology subjects and mostly covered anatomy of reproductive organs only. Although too early to make a conclusion, it is obvious that secondary school students have not received adequate reproductive health information from their schools. Much has been done in the field of adolescents' reproductive health especially in term of sexual attitudes and behavior. However, only few describe in more detailed in which section of reproductive health knowledge that adolescent mostly misunderstood. Therefore this study aims to measure level of reproductive health knowledge of adolescents including misconceptions occurred, their sources of information and factors related to their knowledge. In advance, the finding of this study is expected will support the policy to provide a sex education for adolescents through the best channels.
Urinating after sexual intercourse...( Dyah, Zahroh, & Bagoes)
METHODS Design, sample and procedures This study was a cross sectional design conducted on August-September 2008, involved 320 students who randomly selected from two strata, public and private schools in Semarang. Eleventh graders who have received biology curriculum in previous class were selected proportionate randomly using a coin. Researcher walked in a class from the closest seat from the door then asked a student to choose a side of the coin to determine whether he/she involved in the study. Selected students then were given a sealed envelope to be brought home. This step repeated until the minimum number of schools' sample obtained. However, regardless they were involved as respondents or not, all students in selected classes were given souvenirs as reward. Prior to the implementation of the survey, institutional approval, and adolescents' oral consent were obtained. Respondents were given a brief introduction about the research purposes, assured that their answers would remain anonymous and finally, they were asked to make sure they fill the questionnaire in privacy. They brought the anonymous questionnaire home in a sealed envelope and returned it the next day. Measures Self administered questionnaire based on semi-school setting was employed to measure variables. Dependent variable, Reproductive Health Knowledge, was derived from Indonesian Young Adult Reproductive Health Survey 2002-2003' and Sexual Lifestyle and Interpersonal Relationship of University Student in Central Java and their Implication for Sexual and Reproductive Health by Shaluhiyah (2006)7. This variable was measured as a composite index consisted of 30 questions on pubertal signs, fertile period, risk of pregnancy, knowledge of reproductive health and sexually transmitted infection. Level of reproductive health knowledge was determined based on the limit value 70 percent of total correct answer. Independent variables comprised of demographic characteristic including family characteristic e.g. father and mother education and occupation, family
relation, peer influence and various media exposure as sources of reproductive health information. Validity and reliability test were performed to ensure the fitness of the study instrument. Data Analysis Chi-square test was employed to analysis in bivariate level whilst logistic regression was employed to analyze at multivariate level. RESULT Response rate of this study was generally high (95 percent). Out of 335 respondents, 329 of them returned the questionnaires. However, nine respondents were excluded from analysis since they were not complete the form, and therefore, the total sample was 320 students. Characteristic of Study Population Respondents were 11 th-gradc students of five selected public and private schools in Semarang who have received biology curriculum in the previous year. From 320 subject of study, more than half were female and most of them were Javanese. Nevertheless, there were about 7.8 percent of them were Chinese and the rest were mixed of many ethnics in Indonesia. Although the vast majority of respondent (81.6 percent) were Moslem, there were 18 percent of respondents were Christian, and less than 1 percent were Buddhist. This implied that Semarang as Central Java capital is considered as a complex urban area where many ethnics and cultures are acculturated. thus may cause a shift in young people's cultural values. The vast majority of respondents (90 percent) living with their parents. Most of them came from urban middle class with mean daily pocket money around IDR 8,500 which mostly spent for entertainment and educational purposes. More than one third of adolescents' fathers were graduated from university and senior high school (40 and 31 percent respectively). On the contrary, more mothers graduated from high school (40 percent) than university (25 percent). Most of fathers were working as businessman (43 percent) or government officer (35 percent) whereas most mothers were unemployment/ housewife (32 percent).
104
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 102-112
Reproductive Health Knowledge Generally, more than half of respondents (60.3 percent) had low level of reproductive health knowledge which includes knowledge on pubertal signs, risk on pregnancy and sexually transmitted infections. Most of them were having good knowledge on pubertal sign. They recognized the physiological
changes accompanying their puberty as voice changed and hair growth on boys, whereas on girls, puberty was mostly signed with breast development and growth of pubic hair. However, only 78.4 and 66.6 percent respondents considered increasing of sexual desire as the symptoms of puberty on boys and girls.
Table. 1 Adolescents Reproductive Health Knowledge Items of Question of Knowledge on SRH
Incorrect Knowledge n
Pubertal signs Boys puberty: develop muscle Boys puberty: change voice Boys puberty: growth hair Boys puberty: increasing sexual desire Boys puberty: wet dream Girl's puberty: growth hair Girls' puberty: breast development Girls' puberty: hip widening Girls' puberty: Increasing sexual desire Girls' puberty: menstruation
72 13 27 69 32 30 22 55 107 125
22.5 4.1
Fertile Period Definition Period
125 276
39.1 86.2
125 188
39.1 58.8
97 217
30.3 67.8
245 31 27 223 138 62 29 250 239 145
76.6 9.7 8.4 69.7 43.1 19.4 9.1 78.1 74.7 45.3
Perceive risk of pregnancy & STIs Can a woman become pregnant if she has sex for the first time? Can a woman become pregnant if she has sex during the menstrual period? Can a woman become pregnant if she has never have a menstrual period? Can a woman become pregnant even i the man withdraws before ejaculation? Can a woman avoid pregnancy if she urinates after sexual intercourse? Having sexual intercourse with an infected person without using condoms Having sex with many people Kissing a p erson who has STIs Using public toilets Receiving a blood transfusion from a person who has STIs Using / sharing needles with a person who has STIs Sharing meals/cups with a person who has STIs Insect bite Touching the body of a person who has STIs
105
/o
8.4 21.6 10.0 9.4 6.9 17.2 33.4 39.1
Urinating after sexual intercourse...( Dyah, Zahroh, & Bagoes)
Interestingly, respondents' knowledge on fertile period showed a limited level. There were 86.2 percent of respondents had incorrect answer when the actual fertile period was (table. 1). Likewise, respondents' knowledge on pregnancy also showed a concern. Misconception occurred since many of
them perceived that urinate after sexual intercourse and withdrawal before ejaculation might prevent them from pregnancy. Moreover, thirty nine percent of adolescents had low awareness on the risk of being pregnant at their first sexual intercourse.
Table. 2. Knowledge Distribution by Individual and Family Characteristics Male (%) Female (%) Variable Poor Good p-value Poor Good knowledg Knowledg knowledg Knowledg e e e e Fathers' Education University 38.5 0.728 38.7 46.5 42.6 13.8 11.3 Diploma 8.5 11.0 Senior High School 25.4 27.7 26.5 35.5 Junior High School 12.5 8.1 12.7 12.3 1.4 Elementary School 3.1 2.2 3.2 Other 4.6 5.1 5.6 3.2
p-value
0.662
Mother ' Education University Diploma Senior High School Junior High School Elementary School No education Other
28.2 14.1 39.4 5.6 5.6 0.0 7.0
27.7 12.3 43.1 6.2 7.7 1.5 1.5
0.697
22.1 15.6 41.8 9.0 6.6 0.8 4.1
33.9 12.9 35.5 6.5 6.5 1.6 3.2
0.284
Fathers' Occupation Don't know Unemployment Farmer Laborer Businessman Government officer Professional Other
1.4 0.0 0.0 5.6 42.3 31.0 7.0 12.7
0.0 1.5 0.0 4.6 44.6 32.3 3.1 5.1
0.782
1.6 1.6 0.8 2.5 44.3 37.7 0.8 10.7
0.0 0.0 0.0 1.6 43.5 37.1 3.2 14.5
0.702
Mothers' Occupation Don't know Unemployment Farmer Laborer Businessman Government officer Professional Other
0.0 25.4 0.0 1.4 32.4 21.1 1.4 16.9
0.0 36.9 0.0 3.1 18.5 20.0 1.5 20.0
0.472
0.8 37.7 1.6 1.6 13.9 23.8 1.6 18.0
0.0 24.2 0.0 0.0 21.0 30.6 3.2 21.0
0.437
Family Relation Lose Tight
67.6 32.4
64.6 35.4
0.426
66.2 33.8
50.8 49.2
0.163
Peer Influence Low High
54.9 45.1
32.3 67.7
0.006*
87.7 12.3
83.9 16.1
0.308
*) variables significant at bivariate level withp<0.05
106
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 102 - 112
By contrast, respondents' knowledge on STI was quite good. Most of them were aware that having sex with many people and receiving blood transfusion from a person who has STIs might increase the risk of infection. They also perceived that having sex with many people as a high risk behavior. Nevertheless, stigmatization still occured related to disease transmission via sharing meals/cup with person who has STI. Level of knowledge varied between sexes (table.2), shown by more females were having low level of knowledge compared to their males counterparts (63.2 and 36.8 percent respectively). Bivariate analysis showed that sex was significantly correlated to adolescents' knowledge whilst among other individual and family characteristics, peer influence was the only variable which probably can predict knowledge. Most of adolescents' father attained higher education (table.2). Nevertheless, father's education failed to explain its correlation to adolescents' knowledge. In all level of male and female adolescents, either with poor or good knowledge, there were more fathers with higher education. Likewise, mothers' education also showed insignificant association. Father and mother occupation were also show no correlation to adolescents reproductive health knowledge. In all groups, irregular patterns drew the relationship between parents' occupation and adolescents' level of knowledge. Family relation Most of adolescents were having loose relation with their family. The low family relation was shown by the evidence that most of students seek their friends to share their problems and obtained advises. The lack of parents and child communication was also shown by the finding that most of respondents rarely discuss about sexual reproductive health matters with their parents. Although most of them felt their parents gave them advises frequently, only few of them feel free to express their idea in front of their father. Those adolescents perceived talking to their mother was more comfortable instead of talking to their father. It is possible because mother usually stay home and spends more time with their children than father does. 107
Peer Influence It was expected, with the low level of family relation will give a higher rate of peer influence. Unexpectedly, more than half of respondents (68.4 percent) were having low rate of peer influence. Although most of respondents had more than 5 close friends with the length of friendship from 6 months to 1 year, but the frequency of hangout with their peer were limited only after school hours. Term of solidarity probably describe on how respondents perceived of their close friends behavior. Only few of them revealed that their friends accessed porn from printed and visual media. Nevertheless, most of respondent (79.1 percent) admitted that they have friends who's going online and chatting. Bivariate analysis showed that peer influence only significant on male adolescents (table.3). There were more male adolescents with good knowledge having high peer influence whilst among those who had poor knowledge, the proportion of adolescents who have low and high peer influence was not too much different (54 and 45 percent). Unfortunately, this pattern cannot be seen in female adolescents group. Most female adolescents, either who had poor or good knowledge, had low peer influence. Various media exposure: source reproductive health knowledge.
of
Theories suggest adolescents are heavy user of various media. Total time devoted by adolescents to interact with various media reached 54 hours a week in average. These media were included printed media such as magazine, newspaper and comic books as well as visual and digital media such as television and video (VCD/DVD) as well as internet. Total printed media exposure of adolescents reached 10 hours/week in average. More than half (55 percent) of respondents were low exposed by magazine with mean of exposure ranged from to 2 to 3 hours/week, whilst half of them (50 percent) were low exposed by newspaper with 3-4 hours/week in average. Comic was shown to be the most unpopular media among respondents since most of respondents only access it from never to rarely. As expected, television and internet was found to be the most popular media among adolescents since most of them
Urinating after sexual intercourse...( Dyah, Zahroh, & Bagoes)
interact with those media at any given chances. Adolescents accessed television for 4 hours/day in average or about 28 hours/week whilst internet was being accessed for about 9 hours/week. None of respondents reported never been exposed by
these two kinds of media within the previous month of data collection. In addition, male adolescents were found had been exposed to various media more frequent than did females.
Table. 3. Knowledge Distribution by Various Media Exposure Variable Male (%)
Female (%)
Poor knowledg e
Good Knowledg e
p-value
Poor knowledg e
Good Knowledg e
p-value
Magazines Never Low High
23.9 57.7 18.3
12.3 46.2 41.5
0.008*
19.7 57.4 23.0
11.3 58.1 30.6
0.263
Newspaper Never Low High
18.3 38.0 43.7
18.5 38.5 43.1
0.998
24.6 53.3 22.1
9.7 69.4 21.0
0.039*
Comic Never Low High
35.2 36.6 28.2
29.2 32.3 38.5
0.440
50.0 24.6 25.4
37.1 43.5 19.4
0.032*
Television Low High
54.9 45.1
52.3 47.7
0.447
58.2 41.8
59.7 40.3
0.487
Video Never Low
64.8 35.2
55.4 44.6
0.173
73.0 27.0
54.8 45.2
0.011*
Internet Low High
38.0 62.0
55.4 44.6
0.032*
58.2 41.8
53.2 46.8
0.313
*) variables significant at bivariate level withp<0.05 Most female adolescents reading teenage magazine whilst male adolescents prefer sport magazine. There were only 12.3 percent male adolescents and 1.6 percent female adolescents admitted reading adult magazine. Informations they were obtained from magazine mostly covered puberty (64 percent for male and 83 percent for female adolescents); HIV-AIDS and STD (66 percent male and 78 percent female), then followed by information on pregnancy and contraceptive use. Unlike magazine, newspaper and comic book were less popular among adolescents. The proportion of adolescents who obtained information on puberty, pregnancy, HIV
AIDS and STD were equally distributed and did not show specific patterns. Although comic significantly correlated to female adolescents' reproductive health knowledge, fewer (less than 10 percent) adolescents reported obtained information from it. Few would deny the popularity of television and other electronic media in this globalization and digital era. Most of adolescents interact with this media more than adolescents in previous time. It was found that most adolescents (up to 75 percent) reported they obtained reproductive health information e.g. puberty, pregnancy, contraceptive use, HIV AIDS and STD from television programs whilst video were less
108
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 102-112
frequent being used. More than half adolescents had been low exposed by video during the data collection period. The proportion of adolescents who reported had obtained reproductive health information from video also fewer than other media. However, bivariate analysis showed that video significantly associated to female adolescents' knowledge. As predicted, internet exposure was significantly correlated to adolescents' adolescent level of knowledge, although only on male group. More than half male adolescents with low level of knowledge were being exposed with internet in higher level whilst among male adolescents with higher level of knowledge were being exposed in lower degree. DISCUSSION Adolescents' reproductive health in Indonesia is of growing concern today. The rapid social change from a traditional toward a modern society is marked by improved communications and flows of information. Not only affected demographic, economic and education, the integration of global markets has also conveyed norms, values and lifestyles alien to Indonesia's society. These disturbing effects are particularly affecting adolescents and young adults, those most vulnerable to ideas and values of all kinds during their transitional period from childhood to adulthood. Many studies found unwanted pregnancy, sexually transmitted disease and premarital sexual intercourse occurred as a result of insufficient and incorrect information on reproductive health14' 24. Knowledge as a cognitive component has been as an evidence to prevent the youngsters to engage in risky sexual practice which unfortunately failed to be provided by parents or schools15. Although many have been done to control biases, however, some limitations of study cannot be avoided. Firstly, this study measured the level of knowledge of adolescent who have received biology curriculum at the previous semester, therefore the selection bias has to be considered in generalizing the result. Secondly, regarding the semi-school self administered questionnaires; as well as mail
109
and web-based surveys, the lack of monitoring in filling the questionnaires could be the limitation of the study. The vast majority of respondents in this study had low level of knowledge. Newspaper and comic correlated to female adolescents' knowledge whilst internet exposure and peer influence was significant to male's knowledge. Logistic regression showed that only newspaper and peer predicted adolescent level of knowledge in this study. Adolescents who had exposed with newspaper in higher level were 2.5 times more likely to have higher level of knowledge whilst adolescents who have higher peer influence were 1.9 time more likely to have higher level of reproductive health knowledge. It can be explained, that informations adolescents' gained from newspaper, although they accessed it in a limited quantity of time, was the strongest predictor of their knowledge. This perhaps, the informations provided by newspaper were less likely to have negative excess compared to other media such as television and internet which the extent of sexually explicit material was uncontrollable. Peer in this study had also significantly proven as a good predictor of adolescents' knowledge. This understandable because most of adolescents spent their times with their peers and they are more comfortable to find any information regarding their sexual reproductive health from their peers rather than their parents or teachers20-25'27. As predicted, family characteristic (father and mother education and occupation) and family relation failed to predict adolescents' level of knowledge. The role of parents and family in adolescents live is likely to decrease as they are more involved with their peers20' 28' 29. It can be explained by the finding that peers and media was found as the major source of information. It should be noted that even though socioeconomic areas has been rapidly change, some cultural values and norms are persist in Javanese context. Discussion of sex and sexuality among unmarried young people remains a taboo. Parents rarely discuss sexuality or reproduction in explicit terms with their unmarried youth29. Cultural barrier seemed to
Urinating after sexual intercourse...( Dyah, Zahroh, & Bagoes)
be the weakest point for adolescents in obtaining reproductive health information from their parents. In the absence of convenient atmosphere to discuss such sensitive topics therefore leads the youngsters to find it from their peers and media. Although it has been proven that adolescents were lack of reproductive health knowledge, adolescents' recognition to pubertal signs indicated a good result. They had proper knowledge on boys and girls physical changes such as change in voice and development of muscles and growth of facial hair for boys and growth in breasts for girls. However, few respondents mentioned increase in sexual arousal as one of the signs of adolescence in a girl or in a boy. This result is corresponding with some studies in Indonesia. Dewi (2009) and Indonesian Young Adult Reproductive Health Survey in 2002-2003 and 2007 revealed that for changes in a boy, the most reported change by both female and male respondents was the changed in voice and development of muscles and growth of facial hair. For physical changes in a girl, growth in breasts is a common knowledge among female and male respondents. Few respondents mention increase in sexual arousal as one of the signs of adolescence in a boy or girl 1 ' 2 ' 4 . Given the fact that biology curriculum in secondary schools in Semarang covered anatomy and physiology of reproductive organs including puberty, it is not surprising then if adolescents' knowledge on pubertal sign showed a very good result. However, knowledge about the fertile period is deficient among youngsters in this study. This should be a concern since failure in understanding this cycle will increase the risk of unwanted pregnancy among teenagers. The most provocative finding of this study was misconception on the risk of pregnancy. Common myths include that it is impossible to become pregnant the first time one has sexual intercourse or if the girl urinates after sex or the boy withdraws before ejaculation. Other myths found from previous studies revealed that pregnancy can be avoided if a woman washes her vagina after intercourse or jumps up and down like a frog4 7. These
false beliefs put women at higher risk of pregnancy, as they believe they are taking precautions to prevent conception. A deep concern should be addressed to this particular matter because these myths have been quite long spread among adolescents. Five to six years prior to the study, in 2003-2004, Shaluhiyah has already found that adolescents believed urinates, ejaculates, squat-jump and consuming pineapple will prevent them from pregnancy7. If today, five to six year later the myth exists, it's indicating that there has been less effort in increasing and correcting adolescents' reproductive health knowledge. Given that adolescents major source of information were their peer and mediaJ ' , it is important to trace back how the pregnancy prevention myths widely spread among them. Let's take an example; adolescents perceived that pineapple may prevent them from pregnancy because many Javanese people believe that consuming pineapple during pregnancy may cause miscarriage. In fact, pineapple consisted of acid that will endanger pregnant women if it being consumed exceeding the normal amount. Urinate and squat-jump after intercourse is believed will drain the sperm from girl's oviduct and therefore may prevent them from pregnancy. There is no evidence who should be responsible for adolescents' misconception. Adolescents mostly utilize a multitude of informal sources to gain information relating to sexuality and reproduction. Printed materials such as books, magazines, and newspapers are all accessed by literate youth. The information gained from such sources is often partial or incorrect, due to the fact that many of these materials are not intended to be educational. Other forms of mass media and popular culture such as pop music, the internet, satellite television, radio and film also play an increasing role in delivering information about reproduction and sexuality. Again the information and values young people interpret from these sources are rarely produced for that purpose. Although there arc no scientific evidences, many people believe that those myths can truly prevent pregnancy. Rumors and unreliable articles published in the internet 110
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 2, April 2011 : 102 - 112
discussing on respective matter are widely found. Adolescents may type 'tips preventing pregnancy' and then google will simply lead them to unreliable sites and discussion. Of course media, especially internet cannot be blamed for adolescents' misconception. Its nature in providing information may bring both promise and concern for its users. Digitally literate adolescents will find a site easily, although their knowledge on reliable sites for reproductive health was limited. If they were aware, they may find a good and reputable source to find such information, but it is also possible they will be trapped by the extent of sexually explicit online material from the internet 32-38 It is obvious that students need more education, particularly on intimate relationships between males and females, not limited only anatomy of reproductive tracts. Forcing reproductive health information to existing biology curriculum presumably will not show a good result due its limitation on space and time. In public schools, education about reproduction and sexuality is usually limited to a single biology lesson in the first year of high school. The biological processes of puberty and the functions of female and male sex organs are described in brief. These lessons are typically taught in mixed-sex classes, and by teachers who are untrained in providing reproductive/sex education. Student's assessment of this introduction to reproductive education is poor; they regret that the lessons do not provide the opportunity to ask questions or discuss the topic matter in greater detail. In general, retention of the knowledge contained in these biology lessons is poor. This reflects students' low comprehension of material that is typically conveyed via copying lesson notes or pages from a textbook without discussion. Therefore, the need of providing sexual education then becomes a necessary. The belief that sexuality and AIDS education may encourage sexual activity in young people is a powerful barrier to the introduction of HIV/STD prevention programs. However, the data suggest that sex education does not promote an earlier onset or increase in sexual activity and may postpone intercourse. In fact, research indicates that sex education and access to contraceptives can help reduce the rates of Ill
and unintended 13 23 pregnancy ' .
unwanted
adolescent
CONCLUSION Low level of reproductive health knowledge among adolescents alarms the importance of sexuality education. The prevalence of misconceptions about the risk of pregnancy among adolescents suggests the need for preventive sexual education not only to decrease potential high-risk behaviors, but also to reduce unnecessary feelings of anxiety regarding susceptibility. The media and peers as the primary source of information then will be good channels in delivering reproductive health information for adolescents. ACKNOWLEDGEMENTS to gratefully Authors would like acknowledge to the funding support from Excellent Scholarship by Ministry of Education Republic of Indonesia and Master Program of Health Promotion Diponegoro University Semarang Indonesia. We also would like to thanks to Institute for Population and Social Research (IPSR) Mahidol University Thailand for the collaborative works and learning opportunities. RFERENCES 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Central-Bureau-Statistics, National-Family-Parenthood-Coordination-Board. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2002-2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2004. Central-Bureau-Statistics. National-Family-Parenthood-Coordination-Board. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2007. Jakarta 2007. Azinar M. Factors Influencing Premarital Sexual Behavior Risked to Unwanted Pregnancy among University Students in Semarang. Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2011. Dewi INCT. Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja di SMA Negeri 1 Baturraden dan SMA Negeri 1 Punvokerto. Semarang: Master Program of Health Promotion. Diponegoro University; 2009. Jati AK. Studi Kasus Perilaku Premarital Seks Pelajar SMA di Boyolali. Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2009. Sarwono SW. Psikologi Remaja: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1989.
Urinating after sexual intercourse...) Dyah, Zahroh, & Bagoes)
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14. 15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Shaluhiyah Z. Sexual Lifestyle and Interpersonal Relationship ofUniverity Student in CentralJava and thei>" Implication for Sexual and Reproductive Health: Medical Geography, University of Exeter,UK; 2006. Winarno RD. Sekilas tentang Seksualitas Remaja Semarang. Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Sekolah. The Importance of Adolescents Reproductive Health Education at School. Semarang; 2008. Windiati ES. Premarital Sexual Behavior of Health Polytechnic Students in Semarang. Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2009. Yuswaningsih J. Factors Influencing Premarital Sexual Behaviors Risked to Unwanted Pregnancv, Sexually Transmitted Infection and HIV-A1DS, a Study among Secondary School Students in Purwodadi. . Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2009. Situmorang A. Adolescent Reproductive Health in Indonesia. Jakarta: USAID STARH Program for Johns Hopkins University/Center Communication Program Jakarta, Indonesia 2003. Trisnawati Y. Factors Influencing Secondary School Adolescents' Sexual Behavior in Punvokerto. Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2010. Achmad S, Xenos P. Notes on Youth and Education in Indonesia. East West Center. 200U108-18. Gubhaju BB. Adolescent Reproductive Health in Asia. Asia-Pacific Population Journal. 2002. Cernada GP, Chang M-C, Lin H-S, Sun T-H, Cernada C-CC. Implications for Adolescent Sex Education in Taiwan. Studies in Family Planning. 1986; 17(4):181-187. Strasburger VC, Donnerstein E. Children, Adolescents, and the Media: Issues and Solutions. Journal of Pediatric. 1999;103:129139. Suwarni L. The Impact Of Parental Monitoring And Peer Influence To Secondary School Adolescents' Sexual Behavior In Pontianak: Master Program Of Health Promotion, Diponegoro University; 2009. Phoemshap R. Exposure to Sexual Content in The Media and Its Effect on Sexual Attitude and Behavior of High School Adolescent in Bangkok: Institute of Population and Social Research, Mahidol University; 2003. Widyastari DA, Shaluhiyah Z, Widjanarko B. Adolescents in Peril: Internet and other Influencing Factors to Adolescents' Sexual Attitudes. Kesehatan Reproduksi. 2010;l(l):l-5. Coleman J, Catan L, Dennison C. You're the Last Person I'd Talk To. In: Roche J, Tucker S, Thompson R. Flynn R. eds. Youth in Society. London: Sage Publication; 2005:227-234. Suzuki LK, Calzo JP. The search for peer advice in cyberspace: An examination of online teen bulletin boards about health and sexuality. Journal of Applied Developmental Psychology. 2004;25(6):685-698.
22.
23. 24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34. 35.
36.
37.
38.
Widyastari DA. The Influence of Internet Exposure to Adolescents' Sexual Attitudes. A Study among Secondary School Students in Semarang. Semarang: Master Program of Health Promotion, Diponegoro University; 2009. Sammy CY. Sexuality Education in Schools. Pediatrics. May 1, 1994 1994;93(5):871-a-. Bennett LR. Women, Islam and Modernity. Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia. London: RoutledgeCurzon; 2005. Buckingham D, Bragg S. Young People, Sex and the Media. New York: Palgrave Macmillan; 2004. Chen X, French DC, Schneider BH, eds. Peer Relationship in Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press; 2006. Garratt D. Youth Culture & Subculture. In: Roche J, Tucker S, Thompson R, Flynn R, eds. Youth in Society. London: Sage Publication; 2005:145-152. Peterson GW, Steinmetz SK, Wilson SM. Parents-Youth Relation : Cultural & Cross Cultural Perspective: The Haworth Press Inc; 2005:http://www.questia.com/PM.qst?a=o&d=50 02019770&gserror=true. Accessed June l l t h , 2008. Schouten BC, Putte Bvd, Pasmans M, Meeuwesen L. Parent-adolescent Communication about Sexuality: The Role of Adolescents' Beliefs, Subjective Norm and Perceived Behavioral Control. Patient Education and Counseling. 2007;66:75-83. Brown JD, Halpern CT, L'Engle KL, Mass media as a sexual super peer for early maturing girls. Journal of Adolescent Health. 2005;36:420-427. Brown JD, Keller SN. Can the Mass Media Be Healthy Sex Educators? Family Planning Perspectives. 2000;32(5):255-256. Brown JD, L'Engle KL, Pardun CJ, Quo G, Kenneavy K, Jackson C. Sexy Media Matter: Exposure to Sexual Content in Music, Movies, Television,and Magazines Predicts Black and White Adolescents' Sexual Behavior. Journal of The American Academy of Pediatric. 2006;! 17:1018-1027. Kaiser Family Foundation. Parents, Media and Public Policy : A Kaiser Family Foundation Survey: Kaiser Family Foundation; 2004. Lenhart A. Protecting Teens Online: Pew Internet & American Life Project; 2005. Lo V-h, Wei R. Exposure to Internet pornography and Taiwanese Adolescents' Sexual Attitudes and Behavior, Journal of Brodcasting and Electronic Media. 2005. Mastronardi M. Adolescence And Media. Journal of Language and Social Psychology. March 1, 2003 2003;22(l):83-93. Mitchell KJ, Finkelhor D. Wolak J. The Exposure Of Youth To Unwanted Sexual Material On The Internet: A National Survey of Risk, Impact and Prevention. Youth Society 2003;34:350-358. Peter J, Valkenburg PM. Adolescents' Exposure to Sexually Explicit Material on the Internet. Communication Research. 2006;33(2):178-204.
112