GAMBARAN KARAKTERISTIK PETUGAS LAPANGAN KELUARGA BERENCANA DAN MASYARAKAT PADA PROGRAM PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DI KECAMATAN TAMAN KROCOK KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2012 (Field Officer of Family Planning and Communities Characteristic Description at Maturation Age of Marriage Program in Taman Krocok Sub district, Bondowoso, 2012) Eri Witcahyo1, Ana Kusuma Aprilianingrum2 1
Departement of Administration and Health Policy, School of Public Health, Jember University, Jember Correspondence: Jl. Kalimantan I/93 Jember 68121, Telp (0331) 337878, Fax (0331) 322995, Email:
[email protected] 2 Alumnus of the Department of Administration and Health Policy, School of Public Health, Jember University
ABSTRACT Background: In three years until 2011, marriages at Taman Krocok sub district under 20 years old were 75.90%, 79.31% and 78.45%. That means, target 3.5% under 20 years of marriage at 2014 will difficult to achieve. Objective: The study was to give description for field officer of family planning (PLKB) and communities characteristics. Method: The study design was descriptive, with 5 planned family field officers and 5 women that marriage under 20 years old as informant. Study focuses were level education, work period, knowledge, training, perception, behavior and culture at communities. Results: There were found that some of field officer of family planning wasn’t have training and have incorrect knowledge about marriage age boundaries. Communities have a strong culture and perception about less than 20 years of marriage. Conclusion: The most dominant at communities in order that make decision about marriage were perception and concerns about her daughter and there were also differences regarding age boundaries at legal form. Keywords: characteristic, field officer of family planning, communities, maturation age of marriage
Pendahuluan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) merupakan salah satu program utama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan
Total Fertility Rate (TFR). Pendewasaan Usia Perkawinan adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertama juga terjadi pada usia yang cukup dewasa. Apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Tujuan program PUP adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan
dengan
kehidupan
berkeluarga,
kesiapan
fisik,
mental,
emosional,
pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran(1). Program Pendewasaan Usia Perkawinan di dalam pelaksanaannya telah diintegrasikan dengan program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja (PKBR) yang merupakan salah satu program pokok Pembangunan Nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2010-2014)(2). Program ini bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, ditinjau dari aspek kesehatan, ekonomi, psikologi dan agama serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor: 55/HK-010/B5/2010, Program PUP dalam program KB bertujuan meningkatkan usia kawin yang lebih dewasa yaitu pada usia diatas 20 tahun bagi perempuan(3). Tujuan PUP yang seperti ini berdampak pada perlunya peningkatan usia perkawinan yang lebih dewasa sehingga berdampak pada penurunan TFR. Berdasarkan data yang didapatkan, usia pernikahan masyarakat kurang dari 20 tahun di Kabupaten Bondowoso pada tahun 2009 hingga 2011 berturut-turut sebesar 51,19%; 51,20% dan 50,92%. Selain itu, di Kecamatan Taman Krocok Kabupaten Bondowoso menunjukkan angka yang memiliki jumlah pernikahan pertama dibawah usia 20 tahun sebesar 75,90% pada tahun 2009, 79,31% pada tahun 2010 dan 78,45% pada tahun 2011(4,5,6). Angka tersebut angka tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Selain berdampak pada penurunan TFR, PUP juga berdampak pada pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s), khususnya pada penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) serta menunjang pada kesehatan ibu karena jika perempuan menikah dibawah usia 20 tahun, akan banyak resiko medis yang terjadi karena kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal. Hal ini dapat mengakibatkan resiko kesakitan dan kematian yang timbul selama proses kehamilan dan persalinan(7). Data AKI di Kabupaten Bondowoso pada tahun 2009, 2010 dan 2011 berturutturut menunjukkan angka 198, 185 dan 148 (per 100.000 Kelahiran Hidup)(8,9,10). Berdasarkan angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa AKI di Kabupaten Bondowoso masih tergolong tinggi apabila merujuk pada target MDG’s yaitu 102 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH). Dalam implementasi program PUP, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) merupakan ujung tombak dari keberhasilan program karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Peran aktifnya sangat berpengaruh pada pencapaian keseluruhan program KB termasuk PUP sebagai salah satu program utama BPPKB. Tercapainya target program PUP maksimal sebesar 3,5% pada tahun 2014 tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja PLKB, tetapi juga dipengaruhi oleh sudut pandang atau cara berpikir, sikap serta kepercayaan yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian, peran masyarakat sebagai pengambil keputusan serta PLKB sebagai pemberi informasi tentang keluarga berencana sangat penting untuk dipahami oleh pembuat kebijakan dalam hal optimalisasi program keluarga berencana. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran/lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki(11). Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Taman Krocok, Bondowoso pada bulan Januari – Pebruari 2013. Penentuan informan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu/kriteria tertentu.
Informan dalam penelitian ini adalah 5 orang PLKB sebagai informan utama dan perempuan dengan usia perkawinan di bawah 20 tahun. Fokus penelitian antara lain karakteristik PLKB yang terdiri dari usia, tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan, kemampuan dan pelatihan yang diikuti. Karakteristik masyarakat juga menjadi fokus penelitian yang terdiri dari tingkat pendidikan, pengetahuan, persepsi, perilaku dan budaya di masyarakat. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data keterangan secara lisan dari seorang subyek penelitian (informan) dengan cara bercakap-cakap dengan informan tersebut(12). Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Teknik analisa data terdiri dari triangulasi, interpretasi, deskripsi pernyataan dan koseptualisasi. Hasil dan Pembahasan Karakteristik PLKB PLKB yang bertugas di wilayah Kecamatan Taman Krocok Bondowoso merupakan informan utama dalam penelitian ini yang terdiri dari 5 petugas lapangan yang telah dipilih secara purposive. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan, diporeleh data penelitian yang menyebutkan bahwa dua informan utama berusia dewasa dini yaitu kurang dari 40 tahun dan sisanya berusia diatas 40 tahun. Dengan usia dewasa (> 40 tahun) tersebut informan utama memiliki kematangan berpikir dan bertindak yang semakin baik. Selain itu, pengetahuan tentang pendewasaan usia perkawinan sangat jelas dalam pemaparannya, hal ini juga didukung dengan masa kerja cukup lama yang dimilikinya. Sedangkan informan utama yang berusia kurang dari 40 tahun memiliki kematangan berpikir dan bertindak yang kurang. Terdapat sejumlah kualitas positif yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat dan komitmen terhadap mutu(13). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 3 orang berlatar belakang pendidikan tingkat menengah dan 2 orang informan utama lainnya berlatar belakang pendidikan tingkat tinggi. Informan utama yang berlatar belakang pendidikan tingkat tinggi memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih tinggi terhadap program Pendewasaan Usia Perkawinan daripada informan utama yang berlatar belakang
pendidikan tingkat menengah. Keberhasilan dalam menjalankan tugasnya sebagai PLKB dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan mempengaruhi pola pikir seseorang(14). Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang
memiliki
pengaruh
atau
hubungan
terhadap
tingkat
pengetahuan, pola pikir dan pemahaman informan terhadap program yang sedang dijalankan. Data tentang masa kerja menunjukkan, 2 orang memiliki masa kerja kurang dari 2 tahun sedangkan sisanya memiliki masa kerja di atas 10 tahun. Informan utama yang memiliki masa kerja lebih banyak menunjukkan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap program yang dijalankan serta memiliki produktivitas kerja yang lebih baik. Masa kerja memiliki hubungan yang positif terhadap produktivitas kerja(13). Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seorang karyawan lebih merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang karyawan akan merasa nyaman dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, lama kerja memberikan pengalaman informan yang pada akhirnya meningkatkan pemahaman yang lebih baik terhadap program yang sedang dijalankan. Pengetahuan informan utama tentang program pendewasaan usia dini menunjukkan 4 dari 5 informan memahami dengan baik tujuan dari program PUP serta mampu menjelaskan dengan baik batasan usia dalam perkawinan. Sedangkan terdapat satu informan dengan masa kerja yang masih satu tahun dan belum pernah mendapatkan pelatihan, memiliki pemahaman yang kurang baik terhadap PUP serta memiliki pemahaman tentang batas usia perkawinan adalah di atas 16 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya masa kerja serta pelatihan yang baik dari informan, terlebih lagi mereka adalah ujung tombak dalam sosialisasi dan pelaksanaan program PUP di masyarakat. Pemahaman tentang PUP secara menyeluruh merupakan materi yang cukup penting untuk bekal bagi informan dalam mendukung tugasnya menyampaikan sosialisasi serta tenaga pendamping program di masyarakat. Usia yang matang serta
tingkat pendidikan yang tinggi tanpa memiliki pemahaman yang baik terhadap suatu program akan menjadikan sosialisasi di masyarakat tidak berjalan secara optimal.
Karakteristik Masyarakat Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh informan tambahan baik berlatar belakang pendidikan tingkat dasar maupun menengah, keduanya memiliki pengetahuan, wawasan dan kesadaran yang kurang terhadap pentingnya menunda usia perkawinan. Hal tersebut ditunjukkan melalui pendidikan formal yang dimiliki oleh informan tambahan dapat mempengaruhi kedewasaannya untuk berperilaku kurang bijak, sehingga menyebabkan pengambilan keputusan yang kurang tepat terkait batas usia pernikahan. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa
tingkat
pendidikan
yang
dimiliki
oleh
seseorang
dapat
mempengaruhi pola pikir serta perilaku yang kurang tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan tambahan memiliki pengetahuan yang kurang tentang PUP yaitu usia minimal untuk menikah adalah dibawah usia 20 tahun. Selain itu informan tambahan juga memiliki pengetahuan yang rendah tentang dampak dari menikah muda. “…umur orang menikah itu ya minimal 17 tahun.” (Inf IT 1) “…ndak tahu. Yang saya tahu untuk menikah itu umur 17 tahun.” (Inf IT 3) “Ndak ada efek apa-apa. Biasa seperti orang-orang lainnya yang nikah, ndak ada apa-apa.” (Inf IT 3) “…ndak pernah dengar. Saya juga ndak pernah dapat penyuluhan. Kalau menurut Peraturan yang ada yang saya tahu umur 18 tahun.” (Inf IT 4) Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang batasan usia pernikahan disebabkan oleh tidak pernahnya mereka mendapatkan penyuluhan atau disebabkan oleh tidak tepatnya informasi yang mereka dapatkan tentang program tersebut. “Kalau penyuluhan tentang Pendewasaan Usia Perkawinan ndak pernah… Dulu saya pernah datang ke penyuluhan, disana dikasih tahu tentang obatobatnya KB seperti suntik, pil.” (Inf IT 3) “…Ya, saya pernah dapat penyuluhan dulu tentang pernikahan muda. Umur untuk menikah itu 16 tahun.” (Inf IT 5)
Informasi kurang tepat tentang batasan usia perkawinan yang didapatkan oleh masyarakat ini disebabkan oleh kurangnya penekanan informasi yang disampaikan oleh petugas. Batasan usia perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa batas usia pernikahan bagi laki-laki saat usia mencapai 19 tahun dan perempuan mencapai usia 16 tahun(15). Sedangkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa batas usia dewasa adalah diatas 18 tahun(16), dan masih banyak lagi aturan yang menunjukkan ketidakharmonisan batasan usia pernikahan dan batasan usia dewasa. Hal ini juga mampu membuat pemahaman yang kabur tentang batasan usia perkawinan. Sehingga diperlukannya batasan yang jelas serta dalam persepsi yang sama dan tidak memiliki batasan yang bisa dalam pernikahan yang diperbolehkan. Hasil yang didapatkan tentang persepsi masyarakat menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat telah sedikit mengetahui akan pentingnya mendewasakan usia kawin. Namun, karena pengetahuan masyarakat tentang batasan usia minimal untuk menikah tidak tepat yang disebabkan oleh alasan akan budaya, kebiasaaan serta karena tidak mengetahui akan resiko medis atau kesehatan yang dapat terjadi terhadap mereka yang menikah muda maka masyarakat memiliki perilaku yang kurang tepat dalam mengambil keputusan untu menikah di usia dini. Hasil penelitian tentang sosial budaya di masyarakat menyebutkan bahwa tiga dari lima informan memiliki kebiasaan dalam pengambilan keputusan untuk menikah di usia muda yang masih tergantung kepada keputusan orang tua, misalnya dijodohkan ataupun kebiasaan yang telah dilakukan di masyarakat, sedangkan dua informan tambahan lainnya tidak tergantung kepada keputusan orang tua. Dorongan orang tua disebabkan oleh adanya perasaan khawatir akan anaknya hamil sebelum menikah, takut zina serta ada perasaan orang tua yang khawatir anaknya dianggap tidak laku atau disebut perawan tua oleh masyarakat.
Kesimpulan Mayoritas PLKB memiliki masa kerja dan pelatihan yang relevan, namun masih ditemukan PLKB yang belum mendapatkan pelatihan serta pemahaman yang kurang
baik terhadap batasan usia perkawinan. Selain itu, secara umum masyarakat yang menikah di bawah 20 tahun memiliki tingkat pendidikan menengah ke bawah, serta masih kuatnya tradisi dan persepsi yang melekat di masyarakat tentang perkawinan. Saran Perlunya memberikan pelatihan yang menyeluruh terhadap PLKB serta penyegaran materi bagi petugas lama. Begitu pula dengan perbedaan batasan usia perkawinan di beberapa perundangan, maka perlunya memiliki persepsi yang sama tentang batasan usia perkawinan mengingat adanya perbedaan tentang batasan usia perkawinan dan batasan usia dewasa di beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlunya melakukan pendekatan terhadap tokoh agama serta tokoh masyarakat untuk memberikan sosialisasi serta pemahaman batasan usia perkawinan demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan keluarga.
Daftar Pustaka 1. BKKBN. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia. Jakarta: BKKBN Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi. 2008. 2. Walessa, Rangga. Urgensi Pendewasaan Usia Perkawinan. [serial online]. 2012. Diakses dari http://banten.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=267&ContentTypeId=0x01 003DCABABC04B7084595DA364423DE7897. 10 Oktober 2012. 3. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 55/HK010/B5/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota. 2010. 4. BP2KB Kabupaten Bondowoso. Sosialisasi Program Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bondowoso. 2010. 5. BP2KB Kabupaten Bondowoso. Sosialisasi Program Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bondowoso. 2011. 6. BP2KB Kabupaten Bondowoso. Sosialisasi Program Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bondowoso. 2012. 7. Nurmala, Euis. PUP Memberi Dampak Turunnya TFR, AKB dan AKI. [serial online]. 2011. Diakses dari http://jabar.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=565&ContentTypeId=0x0100 3DCABABC04B7084595DA364423DE7897. 25 September 2012. 8. Dinas Kesehatan Kabupaten Bondosowo. Profil Kesehatan Kabupaten Bondowoso 2010. 9. Dinas Kesehatan Kabupaten Bondosowo. Profil Kesehatan Kabupaten Bondowoso 2011.
10. Dinas Kesehatan Kabupaten Bondosowo. Profil Kesehatan Kabupaten Bondowoso 2012. 11. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. 2003. 12. Notoatmodjo, Soekidjo. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 13. Robbins. Perilaku Organisasi. Edisi Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo. 2001. 14. Robert, Kreitner dan Angelo, Kinicki. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Salemba Emban Patria. 2003. 15. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 16. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.