3
'4"
OJ-
cy
PENGARUW PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcun~azedoaria (Berg.) Roscoe) TERHADAP JUMLAH DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR DAN DITERAPI DENGAN OPERAS1
RIDLAYANTI MAULIDA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT
RIDLAYANTI MAULIDA. The Effect of Ethanolic Extract of Zedoary Rhizome (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Administration on Leucocytes Profile of Rabbits which was Induced by Tumour and Treated by Combination with Surgery. Undersupervision: GUNANTI and ANITA ESFANDIARI. The objective of this research was to observe the profile of rabbit leococytes which was induced by tumour and treated by combination of surgery (ovariohisterectomy and mastectomy) with ethanolic extract of zedoary rhizome (Curcurna zedoaria (Berg.) Roscoe): preventive; curative; preventive and curative. Twenty one rabbits were used in this research, divided into seven groups: negative control, preventive and curative of curcumin, positive control, surgery, preventive of ethanolic extract of zedoary rhizome, preventive and curative of ethanolic extract of zedoary rhizome, and curative of ethanolic extract of zedoary rhizome. The blood collection was done every week for 9 weeks. The tumour was induced on second quarter of mammary gland by n-methyl-nnitrosourea (MNU) every week for 3 weeks. The ethanolic extract of zedoary was given daily for 4 weeks (preventive; curative) and 8 weeks (preventive and curative). The surgery was done in the fifth week. The result showed that the total leucocyte, neutrophil (heterophil), eosinophil and basophil count increased before surgery. On the other hand, the total leucocyte, neutrophil and lymphocyte count decreased after the administration of ethanolic extract of zedoary rhizome. Key words
: Leucocytes, rabbit, zedoary.
ABSTRAK RIDLAYANTI MAULIDA. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diterapi dengan Operasi. Dibimbing oleh GUNANTI dan ANITA ESFANDIARI. Penelitian ini bertujuan untuk rnengetahui gambaran leukosit kelinci yang diinduksi tumor serta diterapi dengan kombinasi operasi (ovariohisterektomi dan mastektomi) dan pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe): preventif; kuratif; preventif dan kuratif. Sebanyak 21 ekor kelinci betina dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif, preventif dan kuratif curcumin, kontrol positif, operasi, preventif ekstrak etanol rimpang temu putih, preventif dan kuratif ekstrak etanol rimpang temu putih serta kuratif ekstrak etanol rimpang temu putih. Sampel darah diambil setiap minggu selama 9 minggu. Induksi tumor dilakukan pada kelenjar mammari kwartir kedua selama 3 minggu pertama menggunakan induksan n-metil-nnitrosourea (MNU). Pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih dilakukan setiap hari selama 4 minggu (preventif; kuratif) dan 8 minggu (preventif dan kuratif). Operasi dilaksanakan pada minggu ke 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penginduksian tumor dengan n-metil-n-nitrosourea (MNU) pada kelenjar mammary/sebelum operasi menimbulkan reaksi alergi dan peradangan yang ditandai dengan peningkatan jumlah leukosit total, neutrofil, eosinofil dan basofil. Namun demikian, terapi tumor dengan operasi dan kombinasi ekstrak etanol rimpang temu putih mampu menurunkan jumlah leukosit total, neutrofil dan limfosit. Kata kunci
: Kelinci, leukosit, temu putih.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTM (Curcuma zedoaria perg.) Roscoe) TERHADAP JUMLAH DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR DAN DITERAPI DENGAN OPERAS1
RIDLAYANTI MAULIDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Slripsi
: Pengaruh Pe~nberianEkstrak Etanol Rimpang Temu Putih (C.I~I.CZ~~I~LI zecko~ii.ici(Bcrg.) Roscoe) Terhadap Ju~nlahdan
Diferensiasi 1.eultosit pada I
Naina NRP
Dr. drh. I-Ii. Gunanti. MS Pelnbilnbing 1
Tanggal Lulus :
1 4 NOV 2008
Dr. drh. Anita Esfbdiari, MSi Pembi~nbingI1
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2007 sampai dengan Juni 2008 ini berjudul "Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) Terhadap Jumlah dan Diferensiasi Leukosit pada Kelinci yang Diinduksi Tumor dan Diterapi dengan Operas?. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besamya kepada: 1. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen pembimbing kedua atas segala bimbingan, semangat, kritik dan saran, serta kemudahan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. drh. Deni Noviana selaku dosen penilai seminar skripsi atas segala
bimbingan, kritik dan saran yang telah diberikan untuk penulisan skripsi ini. 3. Bayu Febram Prasetyo, SSi, Apt, MSi selaku dosen penguji ujian akhir sarjana atas segala masukan yang diberikan. 4. Dr. drh. Sabdi Hasan Aliambar, MS selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH IPB. 5. Bapak, ibu dan adik-adik atas doa, kasih sayang serta dukungan selama ini. 6 . Rekan sepenelitian, Heryu dan Janto atas bantuan, sernangat, kerja sama dan
kebersamaan selarna penelitian dan penulisan skripsi ini.
7. Seluruh staf Bagian Bedah dan Radiologi atas bantuan, kerjasama dan dukungan yang tercurah selama ini. 8. Sesamoidea (Adjeng, Eva, Icha), Bu ning dan Mbak Ria atas semangat dan kekeluargaan yang telah terbentuk. 9. ~eluruh rekan-rekan Asteroidea 41 atas bantuan, persahabatan dan kebersamaan selama ini. 10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan. Dengan penuh keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan menjadikan skripsi ini bermanfaat seoptimal mungkin.
Bogor, Oktober 2008
Ridlayanti Maulida
Penulis dilahirkan di Gamt pada tanggal 17 November 1987 dari ayah yang bernama Abdul Jalil dan ibu bernama Maryantini (alm). Penulis mempakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gamt dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi intemallekstemal kampus. Organisasi internal kampus antara lain Dewan Keluarga Mushalla AnNahl (Anggota Divisi Rumah Tangga 2004-2005), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Cabang FKH IPB (Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan 2004-2005), Forum Ilmiah Mahasiswa (Anggota Departemen Pengembangan Ilmu dan Teknologi 2005-2006), Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (Ketua Divisi Pendidikan 2006-2007), Dewan Penvakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (Anggota Komisi Advokasi 2007-2008) serta organisasi eksternal kampus: Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bogor Komisariat Fakultas Kedokteran Hewan (Ketua Bidang Intemal KOHATI 2007-2008).
DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................
I
..
DAFTAR GAMBAR .................................................................. 11 DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1 1.1.Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2.Tujuan .......................................................................
2
1.3.Manfaat ......................................................................
3
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 4 2.2.Temu Putih ................................................................. 2.3.Darah ........................................................................ Leukosit ...........................................................................
2.3.1. Neutrofil/Heterofil ............................................... 2.3.2. Eosinofil ........................................................... 2.3.3. Basofil ............................................................. 2.3.4. Limfosit ............................................................ 2.3.5. Moliosit ............................................................ 2.4.Kelinci ...................................................................... BAB I11 BAHAN DAN METODE ................................................ 3.1 .Tempat dan Waktu ........................................................ 3.2.Bahan dan Alat ............................................................ 3.3.Metode Pellelitian .........................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................ 5.1Simpulan ................................................................... 5.2.Saran ........................................................................ DAFTAR PUSTAKA ................................................................ LAMPIRAN ............................................................................
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perlakuan pada masing-masing kelompok ....................................
2
Rataan jumlah leukosit total kelinci sebelum dan setelah operasi
25
dengan kelompok perlakuan yang berbeda (sel/pL) ........................ 32
3
Rataan jumlah neutrofil (heterofil) kelinci sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda (sel/pL) ............................ 35
4
Rataan jumlah eosinofil kelinci sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda (sel/pL) ................................. 37
5
Rataan jumlah basofil kelinci sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda (sel/pL) .................................. 40
6
Rataan jumlah limfosit kelinci sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda (sel/pL)
7
................................. 42
Rataan jumlah monosit kelinci sebelum dan setelah operasi dengan kelonlpok perlakuan yang berbeda (sel/pL) .................................
44
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Rimpang temu putih ........... ............. ......... .... . ... ............... .. .....
2
Neutrofil (Heterofil) kelinci ....................................................................... 13
3
Eosinofilkelinc~.................................................................... 15
.
8
.
. . . . 5 Limfosit kelmnc~................................................................................... 17 . . 6 Monosit kelinc~....................................................................................... 19 7 Kelinci penelitian yang digunakan .............................. ........ .......... 22
4
Basofilkelinci ....................................................................... 16
8
Kalnar hitung Neubauer ....................................................................... 27
9
Ovariohisterektomi yang dilakukan pada kelinci penelitian ........... . ...
29
10 Mastektomi yang dilakukan pada kelinci penelitian .............. .... ......
30
11 Perbandingan rataan jumlah leukosit total kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan . .............. ......... ................... ........... ....................... 33 12 Perbandingan rataan jumlah neutrofil (heterofil) kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan ...........................................................................36 13 Perbandingan rataan jumlah eosinofil kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan
............................................................................................ 39 14 Perbandingan rataan jumlah basofil kelinci sebelum operasi (minggu 1-
5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan
........................................................................................... 41 15 Perbandingan rataan jumlall limfosit kelinci sebelum operasi (minggu 15) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan
......................................................................................... 43 16 Perbandingan rataan jumlah monosit kelinci sebelum operasi (minggu 15) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data deskriptif dari setiap variabel penelitian .... . .................................. 52
2
Analisis ragam (Anova) dan uji Duncan pada setiap variabel .............
56
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tumor atau neoplasms merupakan pembengkakan di dalam tubuh yang dapat disebabkan oleh perbanyakan sel-sel secara abnormal. Tumor dapat bersifat jinak (benign) atau ganas (malignant) (Wijayakusuma 2005). Tumor ditandai dengan perkembangan tidak terkendali dari sel-sel tumor pada jaringan tubuh tertentu. Diantara jaringan-jaringan tubuh, kelenjar mammari merupakan salah satu jaringan yang paling rentan terjadinya tumor (Stone 2000). Tumor, yzng merupakan salah satu penyakit degeneratif, merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan pada hewan kesayangan, terutama anjing dan kucing (Fossum 2002). Secara konvensional, penanggulangan tumor dilakukan melalui tindakan operasi, radiasi dan kemoterapi (Kintzios 2004). Setiap metode pengobatan tumor memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meskipun sampai saat ini operasi masih menjadi pilihan utama dala~npenanganan kasus tumor, kekurangan metode operasi adalah tumor dapat tumbuh kembali setelah lebih dari 6 bulan operasi apabila pada saat operasi, sel-sel tumor tidak sepenuhnya terangkat atau kemungkinan telah terjadi metastase sel-sel tumor tersebut. Adapun sistem pengobatan dengan penggunaan radiasi dan kemoterapi memiliki kelemahan karena sifat toksiknya dapat menumnkan fungsi fisiologis organ-organ tubuh yang lain. Mengingat fenomena-fenomena tersebut, maka perlu ditemukan suatu metode pengobatan tumor yang relatif lebih aman. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi untuk kembali pada alam (back to nature), tennasuk di dunia pengobatan, maka pemanfaatan bahan-bahan alam yang dapat digunakan untuk mengobati ataupun mencegah terjadinya tumor mulai digali dan dipelajari untuk dapat diterapkan. Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tentu mempunyai potensi yang semestinya hams dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut antara lain dapat digunakan sebagai sumber alam yang potensial untuk mengobati penyakit/kelainan pada tubuh; diantaranya tumor.
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang diduga mempunyai kemampuan sebagai antitumor, yaitu temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe). Secara empiris, temu putih dipercaya dapat mencegah dan menyembuhkan tumor. Gunanti et al. (2004) menyatakan bahwa bahan ekstrak nusa indah, blustru dan temu putih secara tunggal maupun kombinasi mempunyai aktifitas menghambat proses invasi sel tumor secara in-vitro. Sumarny (2006) menambahkan bahwa secara in-vitro dan in-vivo, aktifitas biologis temu putih meliputi aktifitas antibakteri, antiinflamasi, analgetik, hepatoprotektor, antioksidan dan antitumor. Penggunaan temu putih dalam tempi tumor dapat dilakukan dengan berbagai metode pemberian, antara lain kombinasi pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih dengan operasi, baik yang bersifat preventif maupun kuratif. Untuk dapat mengaplikasikan metode pemberian tersebut, diperlukan hewan laboratorium. Di antara hewan laboratorium, kelinci merupakan hewan laboratorium yang dapat digunakan karena ukurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan hewan laboratorium yang lain, seperti tikus, mencit dan marmot (Hrapkiewicz & Medina 2007). Hasil pemeriksaan darah merupakan parameter yang baik, yang secara umum dapat menggambarkan kondisi tubuh (Girindra 1988). Efektifitas temu putih dapat diamati melalui pemeriksaan darah, meliputi penghitungan jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit. 1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran sel darah putih kelinci yang meliputi jumlah total dan diferensiasi leukosit pada kelinci yang diinduksi tumor dan diterapi dengan kombinasi operasi (ovariohisterektomi dan mastektomi) dengan ekstrak etanol rimpang temu putih, baik secara preventif, kuratif maupun keduanya. Dengan demikian, dapat diketahui pengaruh pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih terhadap gambaran darah hewan untuk pencegahadpengobatan tumor.
1.3. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan beberapa ha1 sebagai berikut: 1. Efektifitas temu putih sebagai bahan alam yang memiliki aktifitas
antitumor, 2. Gambaran darah, terutama keadaan leukosit sebagai parameter pertahanan
tubuh pada kelinci yang diinduksi tumor serta diterapi dengan kombinasi operasi (ovariohisterektomi dan mastektomi) dan pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcumazedoaria (Berg.) Roscoe), 3. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai keamanan ekstrak
etanol rimpang temu putih sebagai antitumor dilihat dari gambaran darah, terutama leukosit.
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumor Secara umum, istilah tumor adalah pembengkakan yang salah satunya disebabkan oleh inflamasi (radang) (Sumamy 2006). Berdasarkan sifatnya, tumor dapat bersifat jinak (benign) atau ganas (malignant) (Wijayakusuma 2005 dan Sumarny 2006). Tunlor yang bersifat jinak tumbuh membesar, tetapi tidak menyebar atau menggerogoti jaringan tubuh lain. Tumor yang besifat ganas disebut kanker dan biasanya menyerang seluruh tubuh dengan tidak terkendali. Sel-sel kanker berkenlbang dengan cepat. Sel-scl tersebut merusak dan menyerang jaringan tubuh melalui aliran darah dan pembuluh limfe sehingga dapat tumbuh dan berkembang di tempat baru. Kemampuan ini disebut sebagai metastase (Wijayakusuma 2005). Pemberian nama jenis kanker atau tumor didasarkan pada sel-sel dan jaringan yang diserangnya. Sebagai contoh, jenis kanker karsinoma, yaitu kanker yang berasal dari sel epitelium dan leukemia, yaitu kanker sel darah putih/leukosit. Jenis tumor jinak (benign) juga mempunyai nama yang dibentuk berdasarkan jaringan yang diserangnya, seperti Iipoma, yaitu neoplasma jinak yang terdiri dari jaringan lemak dan fibroma, yaitu neoplasma yang berasal dari jaringan ikat (Wijayakusuma 2005). Menurut Madewell & Theilen (1987), penyebab terjadinya kanker sangat kompleks. Resiko terhadap kanker berkaitan dengan paparan karsinogen dan faktor individu. Secara umum, faktor penyebab kankerltumor dibagi menjadi 2, yaitu penyebab ekstrinsik dan intrinsik. Yang termasuk penyebab ekstrinsik kanker, yaitu virus dan mikroorganisme; unsur fisik (lingkungan) dan bahanbahan kimia tertentu. Salah satu contoh virus yang dapat menyebabkan tumor adalah papillomavirus pada sapi, polioma virus pada tikus, histiositoma virus pada monyet, serta retrovirus yang sama dengan virus tipe C pada limfosit manusia yang dapat menyebabkan limfoma. Contoh unsur fisik (lingkungan) yang dapat menyebabkan kanker, yaitu sinar matahari dan roentgen.
Menurut Wijayakusuma (2005), diantara faktor Jingkungan yang memicu terjadinya kanker adalah sebagai berikut. J
Karsinogen kimia, seperti nikotin, tar, zat aditif dari makanan (pengawet, pewarna), uitrosatnin, asbes, arsen, batubara, merkuri dan alkohol.
J
Karsinogen fisika, seperti sinar X,sinar ultraviolet dan radiasi dari bom atom.
J
Karsinogen biologi, seperti infeksi virus (papilloma dan herpes yang merupakan salah satu faktor resiko kanker cerviks) dan jamur (misalnya
Aspergill~~sjmus yang merupakan salah satu penyebab kanker hati). Selain penyebab ekstrinsik, kanker juga dapat tejadi karena penyebab intrinsik. Termasuk penyebab intrinsik antara lain diet dan faktor individu. Diet merupakan faktor penting yang sangat berkontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan kanker. Faktor individu juga mempunyai peranan penting terhadap terjadinya kanker. Faktor individu tersebut adalah predileksi genetik, induk yang terkena kanker secam keturunan, tumor primer yang bermultiplikasi serta tumor yang menyerang saat usia muda (Madewell & Theilen 1987). Secara m u m , tumor dapat menyerang setiap jaringan tubuh, kecuali rambut dan kuku (Wijayakusuma 2005). Tanda-tanda atau gejala utama tumor tidak spesifik, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat lokal. Seringkali pada fase permulaan atau stadium dini pertumbuhan tumor tidak menunjukkan gejala klinis apapun (Wijayakusuma 2005). Diantara jenis-jenis tumor, tumor mammari merupakan salah satu jenis tumor yang sering terjadi. Tumor manmari merupakan tumor yang umum pada beberapa spesies, yaitu anjing, tikus, mencit dan manusia. Beberapa spesies anjing bahkan sangat sensitif terhadap terjadinya tumor mammari. Hal ini diduga berkaitan dengan regulasi hormon-hormon reproduksi yang memicu terjadinya neoplasms (jaringan baru) pada kelenjar mammari (Madewell & Theilen 1987).
Tumor pada kelenjar mammari tidak lazim ditemt~kanpada hewan jantan, namun sering ditemukan pada hewan betina (Fossum 2002). Penyebab tumor mammari belum diketahui secara pasti, namun diduga karena hormon dan dapat dicegah dengan ovariohisterektomi pada hewan muda (di bawah 1 tahun). Pada anjing yang belum estrus, resiko terserang tumor mammari hanya 0.05%. Resiko tersebut meningkat hingga 8% setelah siklus estrus yang pertama dan 26% setelah
siklus estrus yang kedua (Ogilvie & Moore 1995 dalam Fossum 2002). Menurut Donnay (1995) dalam Fossum (2002), reseptor estrogen dan/atau progesteron ditemukan pada 80% anjing yang menderita tumor mammari. Menurut Stone (2000), sekitar 50% anjing yang menderita kanker kelenjar mammari (canine mammary carcinomas) memiliki reseptor terhadap estrogen dan progesteron, sedangkan pada keadaan kelenjar mammari normal atau mengalami tumor jinak (benign), reseptor tersebut berada pada level yang jauh lebih rendah. Stone (2000) melaporkan bahwa terapi yang dapat dilakukan terhadap hewan yang terkena tumor marnmari, yaitu terapi operasi dan terapi medis. Terapi operasi yang dilakukan meliputi operasi kelenjar mammari (lumpectomy, simple mastecionzy, regional rnasteciomy, conzplete zmilateral maslectotny) serta pengangkatan
ovarium dan uterus (ovariohisterektomilovariohisterectomy).
Terapi medis meliputi kemoterapi, terapi anti estrogen dan menggunakan biologic respons nzod~jjers(levamisole dan bacille Calmette-GueridBCG). Penggunaan
BCG uutuk terapi tumor belum terjamin. 2.2. Temu Putili Temu putih merupakan salah satu tanaman obat yang sangat bermanfaat. Temu putih banyak ditelnukan di wilayah Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Ambon hingga Papua. Selain itu, temu putih juga dibudidayakan di India, Banglades, Cina, Madagaskar, Filipina dan Malaysia (Dalimartha 2003 dan PDPERSI 2003). Menurut anonim (2008~1,temu putih memiliki klasifikasi sebagai berikut: divisi
: Spermatophyta
subdivisi
: Angiospern~ae
kelas
: Monocotyledonae
ordo
: Zingiberales
famili
: Zingiberaceae
genus
: Curcuma
spesies
: Curcuina zedoaria (Berg.) Roscoe
Temu putih banyak dita~lamdi ladang dan merupakan tunlbuhan semak tinggi, yakni setinggi dua meter bahkan dapat lebih dari dua meter. Temu putih
dapat tumbuh di daerah tropis pada lahan 750 m di atas permukaan laut (dpl). Temu putih dapat tumbuh dengan baik di tanah yang gembur, subur, mengandung bahan organik yang tinggi serta memiliki drainase yang baik. Temu putih baik pula ditanam pada tanah yang mempunyai pH 5,6-7,8 (Anonim 2007). Temu putih merupakan tanaman tahunan. Batang temu putih merupakan batang semu yang dibentuk dari pelepah-pelepah daun yang tumbuh dari rimpangnya (Dalimartha 2003 dan PDPERSI 2003). Batang sesunggulmya berupa rimpang yang bercabang di bawah tanah, berwarna coklat muda sampai coklat tua, di dalamnya bewanla putih atau putih kebiruan serta memiliki umbi bulat yang aromatik (BPPT 2005). Rimpang induk berbentuk jorong membulat dan mengeluarkan rimpang cabang yang cukup banyak dan tumbuh ke arah samping. Ukuran rin~pangcabang lebih kecil dibandingkan dengan rimpang induk dan berbentuk memanjang serta mudah dipatahkan. Dari rimpang tersebut keluar akarakar yang kaku dan pada ujungnya terdapat kantong air (Dalimartha 2003). Daun temu putih merupakan daun tunggal. Pelepah daun membentuk batang semu berwama hijau sampai coklat tua dengan helaian 2-9 buah dan berbentuk memanjang. Temu putih merupakan tanaman yang berbuuga majemuk yang susunannya berbulir di ketiak rimpang primer dengan tangkai berambut. Temu putih memiliki daun pelindung (sparha dan brachtea) berjumlah banyak dengan rata-rata berukuran 3-8 cm x 1.5-3.5 cm. Kelopak temu putih terdiri dari 3 daun yang berwama putih atau kekuningan dan bagian tengahnya berwarna merah atau coklat kemerahan. Kelopak ini berukuran 3-4 cm. Mahkota temu putih terdiri dari 3 daun yang benvama putih kemerahan dengan tinggi rata-rata 4.5 cm. Waktu berbunga temu putih yaitu pada bulan Agustus - Mei. Temu putih memiliki buah yang berambut dengan ukuran rata-rata 2 cm (BPPT 2005). Secara umum, telnu putih dibudidayakan sebagai tanaman obat. Bagian dari temu putih yang biasa digunakan dalam pengobatan adalah rimpang (umbi) (Gambar 1). Rimpang temu putih memiliki rasa yang sangat pahit, pedas, hangat dan berbau aromatik. Temu putih termasuk tanaman obat yang menyehatkan darah dan menghilangkan sumbatan (pembekuan darah); serta melancarkan sirkulasi vital energi dan menghilangkan nyeri. Rimpang temu putih berkhasiat sebagai antikanker, antiradang (antiflogistik), melancarkan aliran darah, fibrinolitik, tonik
pada saluran pencemaan, peluruh haid (emenagog) dan peluruh kentut (Dalimartha 2003 dan PDPERSI 2003).
Gambar 1 Rimpang temu putih (PDPERSI 2003).
Menurut Syukur & Hen~ani(2002), rimpang temu putih merupakan bahan alami yang berkhasiat untuk menghambat laju perkembangbiakan sel kanker. Rimpang ini sekaligus bermanfaat untuk mencegah kerusakan gen salah satu penyebab timbulnya kanker. Temu putih memiliki sifat antikanker yang mekanismenya melalui kerja imunomodulator. Imunomodulator mempakan suatu bahan yang dapat memicu (imunostimulan) ataupun mendepres sistem kekebalan tubuh (imunodepresan). Ekstrak rimpang temu putih bersifat imunostimulan dengan memperbanyak jumlah limfosit, meningkatkan toksisitas sel pembunub kanker (natural killer) dan sintetis antibodi spesifk. Sifat-sifat ini akan menguatkan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virus maupun sel kanker (Anonim 2007). Selain itu, sifat dari kandungan temu putih, yaitn RIP (ribosome inactivating protein) yang menghambat laju perkembangbiakan sel kanker sehingga efek terapinya bersifat tidak langsung, yaitu menunggu sel kanker itu mati sendiri (Syukur & Hemani 2002). Secara in-vitro dan in-vivo, aktifitas biologis temu putih meliputi aktifitas antibakteri, antiinflamasi, analgetik, hepatoprotektor, antioksidan dan antitunlor (Sumarny 2006). Menurut Dalimartha (2003), temu putih mempunyai khasiat yang mirip dengan kunyit (Curcuma domestics Val.) dan jahe (Zingiber oficinale Rosc.). Pada penelitian di Cina, temu putih selain dapat menyembuhkan kanker serviks, juga dapat meningkatkan khasiat radioterapi u11tuk mernbunuh sel kanker (Dalmartha 2003 dan PDPERSI 2003). Hasil pengujian potensi sitotoksik beberapa jenis tunlbuhan terhadap kanker serviks sel line yang dilakukan di
RSKD (Rumah Sakit Kanker Dhalmais) menunjukkan bahwa di antara kunyit, temu mangga dan mahkota dewa, rimpang temu putih segar mempunyai potensi mematikan sel kanker di atas 50% (Wed 2004). Menurut BPPT (2005), rimpang temu putih mengandung zat warna kuning kurkumin (diarilheptanoid). Adapun minyak atsiri dari rimpang temu putih terdiri dari turunan guaian (kurkumol, kurkumenol, isokurkumenol, prokurkumenol, kurkumadiol); turunan germakran (kurdion, dehidrokurdion); asam-4-metoksi sinamat; serta seskuiterpen furanoid dengan kerangka eudesman (kurkolon), kerangka germakran (furanodienon, isofuranodienon, zederon, furanodien, furanogermenon) d m kerangka eleman (kurserenon yang identik dengan edoaron, epikurserenon, isofuranogermakren). Di antara zat-zat yang terkandung dalarn rimpang temu putih, yang bersifat sebagai antikanker adalah kurkumol dan kurdion (PDPERSI 2003). Menurut Syukur & Hernani (2002), kandungan rimpang temu putih adalah protein toksis dan kurkumin yang bekhasiat sebagai zat antioksidan dan antiinflamasi (feruloyl dan 4-hydroxycinnamoyl). Selain itu, salah satu komponen utama dari temu putih, yaitu kurkumin mempunyai efek potensial di media lipopolisakarida yang akan merangsang aktifasi makrofag sehingga akhirnya dapat memicu apoptosis (Anonim 2008~).Sifat ini juga turut berperan dalam pernanfaatan temu putih sebagai antikanker. Di luar negeri, rimpang temu putih sudah dibuat obat fitofarmaka, seperti ~eili~ien',Pao Kwun
an' (Dalimartha 2003). 2.3. Darah
Darah adalah jaringan pengikat dengan sel-selnya terendam dalam cairan matriks yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik (Girindra 1988). Menurut Girindra (1988), darah mernpunyai fungsi yang sangat penting di dalam sistem sirkulasi. Fungsi darah adalah sebagai berikut: J
Transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru,
JTranspor zat gizi yang diserap dalam saluran pencemaan dan transpor sisa metabolisme ke ginjal, paru-paru, kulit dan usus, JMempertahankan keseimbangan asam dan basa,
JMengatur cairan jaringan dan cairan ekstra sel, 4Mengatur suhu tubuh dengan membagikan panas tubuh, JPertahanan tubuh dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih, JTranspor hormon untuk mengatur metabolisme, JTranspor metabolit. Pada umumnya, volume darah adalah 6-8% berat badan (Kresno 1988). Volume darah di dalam tubuh hewan bervariasi jumlahnya tergantung pada umur, keadaan kesehatan dan makanan, ukuran tobuh, waktu menyusu, faktor lingkungan dan derajat aktifitas. Volume darah pada kelinci berkisar antara 57-65 mlkg (Malole & Pramono 1989). Komponen darah terdiri dari sel-sel darah dan plasma yang merupakan media cair darah. Unsur-unsur seluler darah meliputi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan trombosit (platelet) yang tersuspensi dalam plasma darah (Girindra 1988).
I
Darah mempakan cairan tubuh yang sangat mudah diperoleh tanpa menyakiti hewan yang bersangkutan dibandingkan dengan cairan tubuh lainnya. Suatu contoh darah akan memberikan gambaran tentang keadaan darah pada waktu diperoleh, sedangkan jika diambil berkali-kali dalam jangka waktu tertentu akan memperlihatkan gambaran yang dinamis dari pembahan faali atau perubahan patologis yang dialarni selama penelitian berlangsung (Girindra 1988). Secara umum, jumlah maksimum darah yang aman diambil adalah 1% dari berat tubuh hewan (Meredith & Crossley 2002 dan Campbell 2004). Darah yang akan digunakan untuk hematoiogi, dikumpulkan pada tabung yang mengandung antikoagulan, seperti ethylene diamine tetra acefyc acid (EDTA) atau heparin (Campbell 2004).
Leukosit Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang mobivaktif dan berperan dalam sistern pertahanan tubuh (Guyton & Hall 1997). Leukopoiesis (pembentukan leukosit) terjadi di sirmsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian terjadi di jaringan r i f e (lifosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih, yaitu untuk pertahanan tubuh yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada dengan cara mentransportasikan secara khusus pada daerah yang terinfeksi dan yang mengalami peradangan (Guyton & Hall 1997). Menurut Colville & Bassert (2002), leukosit berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing. Leukosit akan bermigrasi dan memfagositosis di daerah yang terdapat antigen tertentu (Kalaimothi & Rajendran 1994 dalam Gunanti 2001). Dalam keadaan normal, darah perifer kelinci mengandung leukosit dengan jumlah berkisar antara 6300-10060 selIpL (Campbell 2004). Apabila jumlah leukosit dalam darah meningkat melebihi kisaran normal, dikatakan hewan mengalami leukositosis, sedangkan apabila terjadi penurunan jumlah leukosit dalam darah di bawah kisaran normal, hewan dikatakan mengalami leukopenia (Vansteenhouse 2006). Menurut Jain (1993) dalam Gunanti (2001), peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) terjadi baik secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologis, leukositosis terjadi akibat adanya peningkatan jumlah sel neutrofil dan atau sel limfosit di dalanl sirkulasi dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Peningkatan sekresi epinefrin dan ko~tikosteroidyang terjadi pada kondisi stres, baik secara fisik atau emosionat dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan secara patologis, peningkatan jumlah leukosit total dalam sirkulasi dapat disebabkan karena leukosit aktif melawan mikroorganisme (Doxey 1971 dalam Gunanti 2001). Pada unlumnya, penurunan jumlah leukosit di dalarn sirkulasi disebabkan oleh penurunan jumlah neutrofil atau limfosit. Penurunan jumlah leukosit juga umum terjadi akibat gangguan yang bersifat patologis seperti hipoplasia sumsum tulang, penyakit viral dan infeksi yang berat (Gunanti 2001). Terdapat lima macam leukosit yang secara normal ditemukan dalam darah. Kelima sel tersebut adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit (Guyton & Hall 1997). Neutrofil, eosinofil dan basofil merupakan sel-sel polimorfonuklear yang mempunyai garnbaran granular. Sel-sel tersebut disebut sebagai granulosit (Guyton & Hall 1997). Menurut Vansteenhouse (2006), secara umum leukosit dikategorikan menjadi granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil)
dan agranulosit (limfosit dan monosit). Sel-sel granulositik ditandai dengan adanya segmentasi/lobulasi pada inti sel dan granul-granul sitoplasma yang nyata (kecuali pada neutrofil). Menurut Colville & Bassert (2002), leukosit dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu sebagai berikut. 1.
2
3
Fungsi J
Fagositosis: neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit
J
Produksi antibodi dan imunitas selular: limfosit
Bentuk inti sel J
Polimorfonuklear (multilobus, segmented): neutrofil, eosinofil dan basofil
J
Mononuklear (tunggal, rounded):limfosit
J
Pleomortik (bentuk bervariasi, nonsegmented): monosit
Adaltidaknya g m u l a pada sitoplasma J
Granulosit (ada granul pada sitoplasma): neutrofil, eosinofil dan basofil
J
Agranulosit (tidak ada granul pada sitoplasma): limfosit dan monosit.
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang, terutarna dengan cara fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun (Guyton & Hall 1997). Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang dalam keadaan normal adalah 4-8 jam dalam darah yang bersirkulasi dan 4-5 hari berikutnya dalam jaringan. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan seringkali berkurang sampai hanya beberapa jam karena granulosit dengan cepat menuju daerah infeksi untuk melakukan fungsinya dan masuk ke dalam proses diiana sel-sel itu sendiri dimusnahkan (Guyton & Hall 1997). 2.3.1. Neutrofd (HeteroW)
Neutrofil merupakan sef darah putih yang memiliki granul-granul pada sitoplasnlanya. Granula sitoplasma neutrofil dapat bereaksi dengan zat wama asam maupun basa (Kresno 1988). Granul pada neutrofil kelinci tidak bersifat neutral dengan pewarnaan Romanowsky, tetapi lebih bersiht eosinofilik (Campbell 2004). Secara mikroskopis, neutrofil merupakan sel darah putih yang memiliki banyak inti. Neutrofil kelinci mirip eosinofil karena mengandung banyak granul eosinofil pada sitoplasmanya. Neutrofil tersebut disebut dengan
nama pseudoeosinofil, heterofil atau amfofil @lalole & Pramono 1989 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Menurut O'Malley (2005), heterofil diartikan sebagai neutrofil kelinci yang benvama pink.
Gambar 2 Neutrofil (Heterofil) kelinci (Lester et al. 2005).
Neutrofil merupakan sel yang bergerak aktif dan dalam waktu singkat dapat berkumpul di tempat yang diperlukan. Proses pergerakan sel sebagai respons terhadap rangsangan spesifik disebut kemotaksis (Guyton & Hall 1997 dan Colville & Bassert 2002). Bahan-bahan yang dapat merangsang neutrofil adalah bebempa racun yang dikeluarkan oleh bakteri; produk degeneratif dari jaringan yang meradang; beberapa produk reaksi "kompleks kompleme~l"yang diaktiflian dalam jaringan yang meradang dan bebempa produk reaksi yang disebabkan oleh pernbekuan plasma dalam area yang meradang (Guyton & Hall 1997). Proses kemotaksis bergantung pada perbedaan konsentrasi bahan kemotaksis. Konsentrasi bahan kemotaksis paling tinggi pada daerah dekat sumber terjadinya peradangan dan menyebabkan gerakan temrah sel darah putih. Kemotaksis hersifat efektif sampai jarak 100 mikrometer dari jaringan yang meradang. Karena hampir tidak ada area jaringan yang jauhnya lebih dari 50 mikrometer dari kapiler, maka sinyal kemotaksis dapat dengan mudah memindahkan serombongan besar sel darah putih dari kapiler ke daerah yang meradang (Guyton & Hall 1997). Menurut Guyton & Hall (1997) dan Colville & Bassert (2002), neutrofil memasuki ruang jaringan dengan cara diapedesis. Neutrofil dapat bergerak rnelalui jaringan dengan gerakan amoeboid. Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama terhadap masuknya benda asing atau bila ada kerusakan jaringan. Respons neutrofil yang cepat menyebabkan mekanisme pertahanan oleh neutrofil
efisien (Kresno 1988 dan Colville & Bassert 2002). Neutrofil mempunyai fungsi yang paling penting, yaitu fagositosis, yang berarti pencernaan selular terhadap bahan yang mengganggu. Sewaktu memasuki jaringan, neutrofil sudah merupakan sel-sel matang yang dapat segera memulai fagositosis. Neutrofil mempunyai afinitas fagosit khusus terhadap bakteri clan benda asing lainnya. Selain itu, juga menguraikan berbagai jenis enzim bahkan protein dan aglutinin (Kresno 1988). Jumlah neutrofil pada darah kelinci yang normal berkisar antara 14903210IpL (Campbell 2004). Apabila jumlah neutrofil dalam darah lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normal, dikatakan bahwa hewan mengalami neutrofilia, sedangkan apabila jumlahnya lebih sedikit daripada keadaan normal, dikatakan bahwa hewan mengalami neutropenia. Menurut Coles (1986), penurunan jumlah neutrofil yang bersirkulasi dapat terjadi karena tiga mekanisme, yaitu: (1) terjadinya pergeseran antara Circulating Granulocyte Pool (CGP) ke Marginal Granulocyte Pool (MGP); (2) adanya perubahan pergerakan sel dari pool penyimpanan di dalam sumsuln tulang ke dalam darah yang bersirkulasi; dan (3) adanya perubahan kecepatan pergerakan sel keluar dari darah yang bersirkulasi. Secara m u m , kejadian neuhopenia didahului dengan terjadinya penurunan jumlah leukosit yang bersirkulasi (leukopenia). Menurut Meyer el al. (1992), stres dan peradangan akut akan meningkatkan migrasi neutrofil ke dalam jaringan sehingga menuninkan jumlah neuhofil di dalam sirkulasi. Vansteenhouse (2006) menyatakan bahwa penurunan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi terjadi ketika jaringan mengalami peradangan. Hal tersebut berarti bahwa permintaan jaringan terhadap neutrofil tinggi sehingga neutrofi1 di dalam sirkulasi akan bermigrasi ke jaringan. Menumt Raskin (2000), neuhopenia dapat terjadi karena faktor kongenital, penyakit infeksius, keracunan (toksin), termediasi oleh imun, mieloptisis dan irradiasi, sedangkan neutrofilia dapat terjadi karena proses fisiologis tubuh, induksi kortikosteroid, peradangan dan neoplasia. 2.3.2. Eosinofil
Eosinofil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus dan sitoplasma bergranula kasar, refraktil dan berwarna merah bila diwamai dengan
zat warna asam, seperti eosin (Kresno 1988 dan Campbell 2004). Secara morfologi, granul pada sitoplasma eosinofil bervariasi pada setiap spesies (Campbell 2004 dan Vansteedlouse 2006). Kelinci memiliki bentuk granul sitoplasina eosinofil seperti bentuk jarum (Campbell 2004). Menurut Campbell (2004) dan Hrapkiewicz & Medina (2007), eosinofil kelinci berukuran lebih besar dibandingkan dengan neutrofil dan mempunyai grand yang lebih pekat dibandingkan dengan neutrofil (pseudoeosinofil, heterofil). Perbedaan antara eosinofil dan neutrofil pada kelinci dapat diliiat dari ukuran, jurnlah granul eosinofilik dalam sitoplasma dan bentuk inti sel. Eosinofil memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan neutrofil, dan mengandung granul-grand eosinofilik lebih banyak dibandingkan dengan neutrofil. Selain itu, eosinofil memiliki bentuk inti seperti huruf U (bilobus) (Campbell 2004). Jumlah eosinofil dalam keadaan normal kira-kira dua persen dari seluruh leukosit darah (Guyton & Nall 1997). Jumlah eosinofil pada darah kelinci berkisar antara 10-1501pL (Campbell 2004). Apabila jurnlah eosinofil melebihi kisaran normal, dikatakan bahwa hewan mengalami eosinofilia. Menurut Campbell (2004), eosinofilia berhubungan dengan infeksi metazoa (terutama larva cacing), peradangan karena alergi (berasosiasi dengan sel mast dan degranulasi basofil) dan kompleks antigen-antibodi.
Gambar 3 Eosinofil kelinci (Lester et al. 2005).
Eosinofil inerupakan sel fagosit yang lemah (Campbell 2004). Walaupun miunpu melakukan fagositosis, eosinofil tidak mampu membunuh kuman (Kresno 1988). Eosinofil seringkali diproduksi dalam junlah besar pada penderita infestasi parasit. Eosinofil mengandung berbagai enzim yang menghambat mediator
inflamasi dan juga histaminase. Peran biologi eosinofjl adalah modulasi aktifitas selular dan kimiawi yang berkaitan dengan inflamasi akibat respons imunologik (Kresno 1988). Eosinofil berperan dalam reaksi alergi atau hipersensitivitas anafilaktik (Vansteenhouse 2006).
2.3.3. Basofil Basofil dalam sirkulasi darah mirip dengan sel mast besar yang terletak tepat di sisi luar kapiler dalam tubuh (Kresno 1988). Basofil dan sel mast memiliki granul yang serupa, tetapi inti sel basofil mengalami segmentasi, sedangkan inti sel mast berbentuk bulat atau oval (Vansteenhouse 2006). Jumlah basofil dalam sirkulasi hanya sedikit (Kresno 1988 dan Vansteenhouse 2006). Namun, sel basofil pada kelinci relatif lebih banyak dibandingkan hewan mamalia lainnya, yaitu 2-7% dari jumlah leukosit total (Malole & Pramono 1989; Campbell 2004 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Menurut Campbell (2004); Benson & PaulMurphy (1999); Harkness & Wagner (1995); Percy & Barthold (2001) dalam O'Malley (2005), kelinci memiliki keunikan dalam ha1 sirkulasi basofil, yaitu dapat meningkat sampai 30% dari jumlah leukosit total dalam sirkulasi tanpa menunjukkan abnormalitas.
Gambar 4 Basofil kelici (Lester et al. 2005).
Sel basofil mengandung grannla kasar yang benvarna biru bila diwarnai dengan zat warna basa dan benvarna terang bila diwamai dengan zat warna metakromatik. Granula basofil mengandung mukopolisakarida, asam hialuronat, dan histamin. Sel yang mirip basofil sangat banyak dijuinpai dalam jaringan kulit, mukosa saluran nafas dan jaringan ikat. Sel-sel ini disebut mastosit yang mengandung histamin dalam granulanya dan bertanggung jawab terhadap
terjadinya reaksi alergi atau hipersensitivitas (Kresno 1988). Permukaan basofil jaringan dilapisi oleh imunoglobulin E (Ig E). Imunoglobulin ini dapat bereaksi dengan alergen yang kemudian mengakibatkan granula melepaskan mediator vasoaktif. Basofil dalam sirkulasi dan basofil dalam jaringan mempunyai b g s i dan sifat biokimia yang serupa (Kresno 1988). 2.3.4. Limfosit Limfosit terletak secara tersebar dalam nodus limfe, namun dapat juga dijumpai dalam jaringan limfoid, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus gastrointestinal dan sumsum tulang (Guyton & Hall 1997). Limfosit merupakan sel yang paling banyak rnengisi susunan leukosit total kelinci (O'Malley 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Jumlah limfosit pada kelinci yang sehat berkisar antara 3360-7000lpL (Campbell 2004).
Gambar 5 Limfosit kelinci (Lester et al. 2005). Pada umumnya peningkatan jumlah lirnfosit didahului dengan kejadian peningkatan jumlah neutrofil. Kondisi tersebut biasanya ditemukan pada keadaan stres dan infeksi kronis. Penurunan jnmlah limfosit berhubungan dengan infeksi virus, septikemia, toksemia dan pemberian obat yang bersifat irnunosupresan (Meyer et al. 1992). Menurut Raskin (2000), peningkatan jumlah limfosit (limfositosis) dapat tejadi karena induksi epinefrin, penyakit infeksius dan neoplasia, sedangkan penurunan jumlah li~nfosit(limfopenia) dapat tejadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, kongenital dan mastositosis (mastositemia). Penampilan limfosit mamalia bervariasi tergantung pada spesies hewan, tipe limfosit dan aktifitas yang dilakukan. Limfosit mamalia bervariasi dalani ukwan,
kepekatan warna sitoplasma dan derajat kondensasi kromatin inti. Morfologi limfosit kelinci mirip dengan mamalia domestik dan manusia (Campbell 2004). Limfosit mempunyai inti yang bulat atau inti yang agak berlekuk dengan tanpa kondensasi kromatin yang berubah-ubah atau tetap. Sitoplasma limfosit membentuk lingkaran yang sempit dan benvama sangat biru. Granula sitoplasmik kadang-kadang ditemukan dalam jumlah kecil (Kresno 1988). Limfosit beredar secara ekstensif sehingga mengakibatkan pertukaran secara terus menerus antara limfosit yang ada di dalam jaringan, cairan limfe dan sirkulasi darah (Kresno 1988). Aktifitas imunologik umumnya terjadi di luar sirkulasi
darah.
Namun
demikian,
respons
imunologik
kadang-kadang
menyebabkan perubahan yang khas pada limfosit yang beredar dalam sirkulasi darah. Menurut Coles (1986), limfosit berfungsi dalam pembentukan antibodi. 2.3.5. Monosit
Monosit dalam darah pada keadaan normal hanya berada dalam jumlah terbatas. Secara umum, monosit merupakan jenis leukosit berukuran terbesar dalam darah (Campbell 2004). Jumlah normal monosit di dalam sirkulasi darah kelinci berkisar antara 50-4501pL. Monosit pada kelinci mirip dengall monosit pada hewan domestik lain (Campbell 2004). Monosit berukuran besar dan sitoplasma yang sedikit (Kresno memiliki nukleus tunggal serta memiliki gran~~lar 1988). Monosit biasanya berukuran lebih besar dari limfosit dan neutrofil (Vansteenhouse 2006). Monosit berasal dari sel induk yang sama dengan granulosit. Sel ini mengalami maturasi di dalam sumsum tulang, berada dalam sirkulasi sebentar kemudian masuk ke dalam jaringan dan menjadi malcrofag (Kresno 1988 dan Vansteenhouse 2006). Menurut Duncan & Prasse (1988), derivat monosit di dalam jaringan bermacam-macam, termasuk histiosit, alveolar makrofag, pleural dan peritoneal makrofag, histiosit jaringan, makrofag di limpa, lnakrofag nodus limfe, makrofag sumsum tulang serta sel kuffer di hati. Monosit yang telah tumbuh menjadi makrofag mampu bergerak, melakukan fagositosis, mensekresi enzim, mengenal partikel dan inelakukan interaksi yang kompleks dengan imunogen dan komponen seluler maupun humoral sistem imun (Kresno 1988). Menurut Campbell (2004), monosit memiliki kemampuan untuk
menelau d m mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal dan sel-sel debris. Monosit juga berperan dalam regulasi respon imun dan mielopoiesis. Proses fagositosis monosit bekerja sama dengan neutrofil di jaringan untuk mengeliminasi agen infeksi (Guyton & Hall 1997).
Gambar 6 Monosit kelinci (Lester et al. 2005).
2.4. Kelinci
Kelinci merupakan hewan mamalia dari famili leporidae yang dapat ditemukan di banyak bagian bumi. Kelinci berasal dari Eropa (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Kelinci yang dipelihara di Indonesia sebagian besar adalah keturunan kelinci yalg dibawa dari Belanda dan termasuk jenis kelinci yang berukuran kecil, yaitu kurang dari 2 kg berat hidup. Jenis inilah yang sering digunakan sebagai hewan percobaan (Malole & Pramono 1989). Ukurai kelinci yang relatif lebih besar dibandingkan dengan hewan laboratorium lain, kemudahan dalam handling d a l mengambil darah merupakan alasan penggunaan kelinci sebagai hewan penelitian dan percobaan obat (Hrapkiewicz & Medina 2007). Berdasarkan taksonominya, kelinci yang serii~gdigunakan sebagai hewan percobaan (domestic rabbit) memiliki klasifikasi sebagai berikut. dunia
: Animalia
film
: Chordata
kelas
: Mammalia
ordo
: Lagomorpha
family
: Leporidae
genus
: Oryctolagus
spesies
: Oryctolagus cunniculus
Pada umumnya, kelinci tidak berbahaya bila didekati dan dipegang dengan lembut. Kelinci yang sudah dewasa kelamin (berumur lebih dari tiga bulan) sering saling berkelahi, terutama pada kelinci jantan (Hrapkiewicz & Medina 2007). Oleh karena itu, hewan tersebut harus dikandangkan terpisah (satu ekor dalam satu kandang). Pejantan dan betina hanya dicampurkan pada saat akan kawin. Hal ini untuk mencegah timbulnya gejala bunting semu (pseudopregnancy), infertilitas dan terjadinya luka-luka karena berkelahi (Malole & Pramono 1989 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Kandang
untuk
kelinci, khususnya kelinci percobaan
mempunyai
persyaratan sederhana yang meliputi kebersihan, hewan terlindung dari angin, hujan dan cahaya matahari langsung, memperoleh cahaya yang cukup dan udara segar. Gedung untuk kelinci tidak perlu mempunyai standar yang sama dengan hewan percobaan lain, kecuali diperlukan perlindungan terhadap suhu tinggi (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Kelinci sangat peka terhadap suhu lingkungan dan kelembaban udara yang tinggi. Suhu ideal bagi kelinci adalah 1 5 ' ~sampai 2 0 ' ~ . Apabila suhu kandang lebih tinggi dari 2 7 ' ~ dan b&langsung lama, produktifitas dan ke~nampuan berkembang biak kelinci akan menurun. Suhu di atas 31"32°~ juga mengganggu kesehatan kelinci (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Kisaran suhu lingkungan yang direkomendasikan untuk penggunaan kelinci sebagai hewan percobaan adalah 16'-22'~ (61'-72'~) dengan kelembaban relatif antara 30% sampai 70% (Sirois 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Di samping kandang, kualitas pakan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemanpuan kelinci dalam mencapai kemampuan genetik untuk pertumbuhan, pembiakan, panjang tubuh, umur maupun reaksi terhadap perlakuan dan lain-lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Pakan kelinci harus mengandung 16-20% serat kasar, 14-18% protein kasar dan tidak lebih dari 2500 kkalhari (Malole & Pramono 1989). Kadar serat yang cukup tinggi dalam pakan yang diberikan sangat dibutuhkan oleh kelinci untuk mencegah terjadinya hairball dan meminimalisir terjadinya obesitas (Sirois 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Total pakan yang diberikan kurang lebih 100 gramhari untuk kelinci dengan berat sekitar 2 kg (50 gradkgBB) (Malole & Pramono 1989 dan Sirois 2005). Menurut
Hrapkiewicz & Medina (2007), konsumsi pakan pada kelinci tergantung pada beberapa faktor yaitu umur, suhu lingkungan dan ketersediaan air. Kelinci memerlukan air minum sekitar 80-100 ml airkg BB dan air minum hams disediakan terus menerus (ad libiturn). Kelinci tidak memerlukan vitamin C dan serat kasar secara khusus (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Secara alamiah, kelinci memiliki kebiasaan memakan fesesnya di waktu pagi hari. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang baik karena feses tersebut banyak mengandung protein dan vitamin (Malole & Prarnono 1989). Menurut Hrapkiewicz & Medina (2007), ada dua tipe feses kelinci, yaitu tipe feses yang kompak dan kering (feses pada siang hari) dan tipe feses yang lembek (feses pada malam hari) yang sering disebut cecotrops. Cecotrops diselimuti oleh mukus dan banyak mengandung air, nitrogen, elektrolit dan vitamin B. Cecotrops juga mengandung dua kali lebih banyak protein dan setengah kali lebih banyak serat dari pellet pakan yang biasa diberikan pada kelinci. Feses yang lembek inilah yang dimakan kembali oleh kelinci (koprofagi). Penentuan jenis kelamin kelinci dapat dilakukan dengan melihat alat kelamin. Kelinci jantan memiliki selaput pembungkus penis yang bulat dan menonjol dengan lubang uretra yang bulat. Kelinci betina memiliki vulva yang memanjang dengan lubang yang sempit. Kulit bagian perineum dapat direnggangkan untuk melihat alat kelamin kelinci dengan jelas (penis akan menyembul keluar) (Malole & Pramono 1989 dan Sirois 2005). Anus terletak di bagian dorsal alat kelamin. Pada pejantan dewasa, daerah inguinal sekitar penis tidak berambut (Malole & Pramono 1989). Selain itu, kelinci jantan memiliki telinga dan kepala yang lebih lebar (Malole & Pramono 1989 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Kelinci betina memiliki empat sainpai lima pasang kelenjar mammari (Hrapkiewicz & Medina 2007). Kelenjar mainmari tersebut (biasanya berjumlah delapan) terletak di sepanjang thoraks sampai daerah inguinal (O'Malley 2005).
BAB HI BAHAN DAN METODE 3.1. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dengan mengambil tempat di Bagian Farmasi serta Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi serta kandang Hewan Percobaan yang dikelola oleh Unit Pelayanal Teknis Hewan Laboratoriurn ( W T Helab) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2007 sampai Juni 2008. 3.2. BAHAN DAN ALAT 3.2.1. Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci Sebagai bahan percobaan digunakan 21 ekor kelinci betina yang bemmur sekitar 6 sampai 9 bulan (telah dewasa kelamin), pakan kelinci dan air minum. Alat yang digunakan yaitu kandang pemeliharaan kelinci, tempat pakan keliici dan tempat air minum.
Gambar 7 Kelinci penelitian yang digunakan.
3.2.2. Pernbuatan Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih Ekstrak etanol rirnpang temu putih dibuat dari simplisia rimpang temu putih (Zedoariae f i z o n ~ a (Daliinartha ) 2003 dan BPPT 2005), pelarut organik alkohol 70% (etanol) dan propilen glikol. Alat yang digunakan, yaitu maserator, berupa tabung untuk menampuig simplisia d m alkohol 70%, plastik pembungkus dan
kain katun tebal. Evaporasi, yaitu proses penguapan untuk memperoleh ekstrak kental dilakukan di LIP1 (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Cibinong, Bogor. 3.2.3. induksi Tumor
lnduksi tumor dilakukan setiap minggu selama 3 minggu berturut-turut. Tumor diinduksi dengan suatu zat induksan, yaitu n-metil-n-nitrosourea (MNU) dengan dosis 50 pglkg BB dan diaplikasikan intra mammari. Bahan lain, yaitu NaCl fisiologis untuk melarutkan MNU. Alat yang digunakan antara lain: syringe 1 ml dan kapas beralkohol. 3.2.4. Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih dan Curcumin
Ekstrak etanol rimpang temu putih diberikan pada kelinci berdasarkan kelotllpok perlakuan. Ekstrak etanol rimpang temu putih diberikan setiap hari selama perlakuan (preventif, kuratif dan keduanya). Kelompok perlakuan preventif diberi ekstrak etanol rimpang temu putih selarna 4 minggu sebelum operasi. Kelotl~pokperlakuan kuratif diberi ekstrak etanol rimpang temu putih selama 4 minggu setelah operasi. Kelotnpok perlakuan preventif dan kuratif diberi ekstrak etanol rimpang temu putih selama 8 minggu, 4 minggu sebelum operasi dan 4 minggu setelah operasi. Dosis ekstrak etanol rimpang temu putih yang diberikan adalah 250 mg/kg BB. Curcumin diberikan setiap hari pada kelompok B selama 8 minggu, yaitu 4 minggu sebelum operasi dan 4 minggu setelah operasi. Dosis curcumin yang diberikan adalah 60 mgkg BB. Alat yang digunakan antara lain: syringe 3 ml, syringe 5 ml, stomach tube dan kandang jepit untuk kelinci. 3.2.5. Pengambilan dan Pemeriksaan Darah
Pengambilan dan pemeriksaan darah dilakukan seminggu sekali selama 9 minggu, yaitu 5 kali sebelurn operasi dan 4 kali sesudah operasi. Bahan yang digunakan untuk koleksi darah antara lain kapas, alkohol 70% dan Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) 10%. Alat yang digwakan antara lain syringe 3 ml, jamm no. 23 dan vacutainer rube plain (~ecton-Dickinsona) (Campbell
2004).
3.2.5.1. Penghitungan Jumtah Leukosit Bahan yang diperlukan, yaitu sampel darah dan larutan Turk. Alat yang digunakan antara lain hemositometer set (kamar hitung Naubaeur, pipet leukosit, selang hisap dan cover glass), counter dan tissue. 3.2.5.2. Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah (Diferensiasi Leukosit) Pembuatan preparat ulas darah dilakukan terhadap setiap sampel darah yang diambil. Selain sampel darah, bahan yang diperlukan antara lain larutan Giemsa lo%, metanol, minyak emersi dan xylol. Alat yang digunakan antara lain gelas objek, mikroskop dan counter. 3.2.6. Operasi Operasi yang dilakukan terhadap kelinci, yaitu ovariohisterektomi dan mastektomi. Operasi dilakukan pada minggu kelima. Bahan yang diperlukan antara lain kapas, alkohol 70%, iodiurit tincttire 3%, sabun, ketamin HCI lo%, xylazine 2%, antibiotik penicillin yang telah diencerkan, antibiotik umum
(Novamox-G@):NaCl fisiologis. benang cat gut 410, benang silk 3/0, tampon, kain kasa dan plester. Alat yang digunakan antara lain ruang operasi yang telah difumigasi sehari sebelum operasi, meja operasi, lampu operasi, timbangan, syringe 3 ml, syringe 1 ml, termometer, stetoskop, mistar, stopwatch, duk steril, tow1 clem, scalpel, pinset anatomis, pinset sirhurgis, gunting bedah (lancip-
tumpul, lancip-lancip dan bengkok), tang arteri, needle holder serta jarum jahit berpenampang segitiga dan bulat. Selain itu untuk operator dan asisten I diperlukan perlengkapan lain, yaitu pakaian operasi, handuk tangan, sikat, sarung tangan, masker dan penutup kepala. Semua perlengkapan tersebut disterilisasi terlebih dahulu. 3.3. METODE PENELITIAN 3.3.1. Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci Sebelum diberi perlakuan, 21 ekor kelinci diadaptasikan di dalam kandang selama 2 bulan. Kelinci tersebut dikelompokkan menjadi 7 kelompok perlakuan (masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor kelinci) sebagai berikut:
Kelompok A =
Kelompok kelinci normal (kontrol negatif).
Keiompok B =
Kelompok kelinci yang diinduksi tumor + operasi
+ curcumin
(preventif dan kuratif). Kelompok C =
Kelompok kelinci yang diinduksi tumor (kontrol positif).
Kelompok D =
Kelompok kelinci yang diinduksi tumor + operasi.
Kelompok E =
Kelonlpok kelinci yang diinduksi tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang tenxu putih sebelunl operasi (prevent&
Kelompok F =
Kelompok kelinci yang diinduksi tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih, sebelum dan setelah operasi (preventif dan kuratif).
Kelompok G =
Kelompok kelinci yang diinduksi tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif).
Secara skematis, perlakuan pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perlakuan pada masing-masing kelompok kelinci percobaan
33.2. Pernbuatan Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih
Pembuatan ekstrak etanol rimpang temu putih meliputi proses maserasi dan evaporasi. Maserasi adaldi proses perendaman simplisia menggunakan pelarut untuk memperoleh zat aktif dari sinlplisia tersebut. Proses maserasi dilakukan menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan 1:10 pada tabung maserator.
Maserasi dilakukan selama 2x24 jam. Maserat yang telah diperoleh dipisahkan. Maserat yang telah diperoleh, kemudian dievaporasi. Evaporasi merupakan suatu proses pemekatan maserat dengan cara menguapkan pelarut tanpa menjadi kering (Depkes RI 2000). Ekstrak hanya menjadi kentallpekat sehingga didapat ekstrak etanol kental dari rimpang temu putih. Ekstrak inilah yang digunakan untuk terapi tumor pada penelitian ini. Sebelum diaplikasikan, ekstrak kental ini dilarutkan terlebih dahulu ke dalam propilen glikol dengan perbandingan 1:5. 3.3.3. Induksi Tumor
Induksan yang akan dipakai terlebih dahulu dilarutkan dalam NaCl fisiologis. Sebanyak 1 mg MNU dilarutkan dalam 10 ml NaCl fisiologis (konsentrasi 100 pglml). Sebelum diinduksi, kelinci ditimbang untuk menentukan dosis MNU yang digunakan. Dosis yang telah diperoleh dibagi 2 supaya dapat diaplikasikan pada kedua puting. Kelenjar mammari kelinci yang akan diinduksi terlebih dahulu dibersihkan dari rambut-rambutnya (dicukur). Kelenjar mammari yang akan diinduksi, yaitu kelenjar mammari kwartir kedua. Pengaplikasian MNU pada masing-masing puting dilakukan tegak lurus terhadap sumbu tubuh. 3.3.4. Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih dan Curcumin
Ekstrak etanol rimpang temu putih dan curcumin diaplikasikan pada kelinci secara per oral menggunakan stomach tube. Kelinci ditempatkan pada kandang jepit untuk memudahkan pengaplikasian. Stomach tube dimasukkan perlahan ke dalam mulut kelinci sampai masuk ke dalam saluran pencemaan (lambung). Tahap ini hendaknya dilakukan dengan hati-hati supaya stomach tube tidak masuk ke dalam saluran pemafasan yang berada di atas saluran pencemaan. Untuk memudahkan, stomach tube dapat dibasahi air terlebih dahulu. Ekstrak etanol rimpang temu putih/curcumin diambil dengan syringe tanpa jarum sesuai dengan dosis, kemudian dimasukkan ke dalam lambung kelinci melalui stonzach tube. Setelah ekstrak etanol rimpang temu putih/curcumin dipastikan masuk, stomach tube dikeluarkan secara perlahan.
3.3.5. Pengambilan dan Pemeriksaan Darah Pengambilan darah dilakukan pada vena auricularis lateralis kelinci (Meredith & Crossley 2002; Campbell 2004; O'Malley 2005; Sirois 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Kulit di sekitar vena dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan kapas beralkohol (Campbell 2004). Apabila diperlukan, rambut kelinci dapat sedikit dibersihkan. Darah yang diambil yaitu sekitar 1.5 m1 dengan antikoagulan EDTA 10% (Coles 1986; Campbell 2004 dan Vansteenhouse 2006).
3.3.5.1. Penghitungan Jumlah Leukosit Total Penghitungan
jumlah
leukosit
total
dilakukan
dengan
metode
hemositometer. Darah yang diperiksa dihisap menggunakan pipet leukosit sampai batas 0.5, kemudian larutan pengencer Turk sampai batas angka 11. Dengan dernikian diperoleb pengenceran 1:20. Selanjutnya pipet dikocok membentuk angka delapan sampai larutan homogen selama 5-10 menit. Isi pipet dibuang 2-3 tetes, kemudian ujung pipet ditempelkan pada tepi cover glass hemositometer sampai larutan mengisi selu~uhbagian kamar hitung. Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop pada pembesaran objektif lox dengan menentukan daerah hitung pada empat kotak besar yang ada di setiap sudut (ukuran 1 x 1 x 0.1 mm3) yang ditandai dengall huruf W (Gambar 8). Jumlah sel darah putih yang diperoleh x50/mm3 (Brown 1980; Coles 1986 dan Vansteenhouse 2006).
~rnbar8 Kamar hitung Neubauer (Brown 1980).
3.3.5.2. Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah (Diferensiasi Leukosit) Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan menempelkan gelas obyek langsung pada darah yang keluar dari vena auricularis lateralis (Meredith & Crossley 2002; Campbell 2004; O'Malley 2005; Sirois 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Darah diulas dengan gelas obyek lain dan dikeringkan di udara. Preparat yang sudah kering difiksasi dengan metanol dan dikeringkan di udara. Selanjutnya preparat diwamai dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat dibersihkan dari sisa Giemsa dengan air mengalir. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop pada pembesaran obyektif lOOx (menggunakan minyak emersi) dengan metode zigzag. Diferensiasi leukosit dilakukan dengan menghitung setiap jenis leukosit hingga mencapai jumlah 100 (Coles 1986 dan Vansteenhouse 2006).
3.3.6. Operasi
Operasi yang dilakukan terhadap kelinci, yaitu ovariohisterektomi dan mastektomi. Operasi dilakukan pada minggu ke 5, pada saat tumor sudah terjadi. Operasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
3.3.6.1. Praoperasi
Kelinci diperiksa kesehatannya secara umum sebelum dilakukan operasi meliputi frekuensi jantung, frekuensi nafas, temperatur d m gizi. Kemudian kelinci ditimbang untuk mengetahui jumlah anastetikum yang akan diberikan yaitu ketamin HCI 10% dengan dosis 35 mgkg BB d m xylazine 2% dengan dosis 2 mglkg BB secara intra muskular (Meredith & Crossley 2002 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Setelah teranastesi, bagian abdomen dicukur dan didesinfeksi dengan alkohol 70% dan iodium tincture 3%. Kelinci diletakkan di atas meja operasi dengan posisi enterodorsal; keempat kakinya diikatkan pada meja operasi. Alat-alat yang sudah steril diletakkan di atas meja operasi. Setelah semua selesai, operator memakai penutup kepala dan masker. Tangan dicuci dengan sabun sampai bersih. Setelah disikat dan dibilas berulang kali sampai bersih, kemudian dibungkus dengan lap steril, terakhir dibilas dengan alkohol 70%. Operator memakai pakaian operasi dan s a n g tangan, dibantu oleh asisten I. Ruang operasi telah dilengkapi dengan penerangan yang cukup dan lampu operasi.
3.3.6.2. Operasi
Ovariohisterektomi Ovariohisterektomi dilakukan dengan metode laparotomi medianus (Gunanti 2001). Penyayatan dilakukan di posterior umbilikal sepanjang *5 cm Pubenik 2006). Pembulub darah yang ikut terpoto~lgdijepit dengan tang arteri untuk menghentikan pendarahan. Kulit, aponeuros muskulus, peritoneum clan omentum dikuakkan untuk memudahkan pembukaan abdomen. Ovarium dan uterus dicari melalui sayatan yang telah dibuat dan biasanya terletak lebih kaudal dari abdomen. Ovarium diangkat, sedangkan bagian kranial dan kaudal mesometrium dijepit dengan tang arteri. Masing-masing jepitan diikat h a t dan dijabit dengan benang cat gut 410, kemudian bagian tengah dipotong sehingga ovarium terlepas. Hal yang sama dilakukan pada ovarium lainnya. Setelah itu, kedua uterus dirunut ke kaudal sehingga ditemukan bifurkatio (Gambar 9). Daerah tersebut dijepit dengan dua tang arteri, diikat dan dijahit dengan benang cat gut 410 secara h a t di kaudal jepitan tersebut. Diantara kedua jepitan uterus dipotong
sehiigga uterus terlepas. Antibiotik penicillin 50000 W m l diberika~pada setiap bekas jahitan dan potongan. Antibiotik juga dapat diberikan pada ruang abdomen. Organ-organ di ruang abdomen direposisi kemudian peritoneum dan aponeuros muskulus dijahit simple suture menggunakan benang catgut 410 dan jarum berpenampang bulat. Antibiotik dapat diberikan kembali di atas jahitan tersebut. Selanjutnya kulit dijahit simple suture menggunakan benang silk 310 dan j a w berpenampang segitiga. Di atas jahitan tersebut dapat diteteskan iodium tincture 3% sebagai antiseptik. Kemudian luka ditutup dengan verban dan plester.
Gambar 9 Ovariohisterektomi yang dilakukan pada kelinci penelitian.
Mmtektomi Mastektomi
(complete
unilateral
mastectomyhadical
mastectomy)
dilakukan pada kelenjar nlammari yang diinduksi tumor dengan membuat sayatan mengelilingi tumor tersebut (sayatan elips). Kemudian secara perlahan dan teliti tumor dipreparasi kemudian diangkat (Stone 2000 dan Bubenik 2006) (Garnbar 10). Untnk mencegah infeksi dapat diteteskan antibiotik penicillin 50000 IU/ml. Kulit dijahit menggunakan benang silk 310 dan jaun berpenampang segitiga. Prosedur yang sama dilakukan pada kelenjar mammari lain yang terkena tumor. Di atas jahitan dapat diteteskan iodium tincture 3% sebagai antiseptik. Kemudian luka ditutup dengan verban dan plester.
Gambar 10 Mastektomi yang dilakukan pada keiinci penelitian.
3.3.6.3. Post Operasi Kelinci diberi antibiotik m u m (Novamox-G@) setelah operasi selesai dengan dosis 50 mg150 kg BB secara intra muskular, kemudian dibawa ke kandang. Kelinci dirawat dengan penlberian pakan dan millurn yang baik dan cukup (Meredith & Crossley 2002). Bekas luka ditetesi dengan iorlium tincture 3% dan kebersihan verban dijaga setiap hari dengan mengganti verban yang baru.
Benang jahit dibuka setelah luka kering atau kira-kira seminggu setelah operasi.
3.3.7. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah jumlah leukosit total, jumlah neutrofil (heterofil), eosinofil, basofil, limfosit dan monosit.
3.3.8. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metoda analisis ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan yang nyata dari setiap kelompok perlakuan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jumlah Leukosit Total Nilai rata-rata pemeriksaan jumlah leukosit total kelinci pada setiap kelompok perlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu
6-9) dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 11. Tabel 2 Rataan jumlah leukosit total kelinci (sel/pL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu perlakuan Perlakuan A'
Sebelum operasi (minggu 1-5) 3900.00 1656.05"
*
Setelah operasi (minpqu~6-9) 53 12.50 2292.69'
*
Keterangan : Superscrip1 yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.OS).(*)menunjukkankelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebelumlsetelah ooerasi): ,, C (tumor): , ,. D (tumor + opera&; E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum/setelah operasi (preventifkuratifj; G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif). Gambar 11 ~nemperlihatkan bahwa secara umum jumlah leukosit total sebelum operasi pada kelinci yang diinduksi dengan zat karsinogen mengalami kenaikan, walaupun kenaikan tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05) dan masih berada dalam kisaran normal (6300-10060/pL) (Campbell 2004). Kenaikan jumlah leukosit total ini dimungkinkan terjadi karena adanya reaksi peradangan terhadap induksi tumor. Rata-rata ju~nlah leukosit total sebelum dan setelah operasi dapat dilihat pada Tabel 2.
rn Sebelum operasi rd Setelah operasi
Kelompok
Gambar 11
Perbandingan rataan jumiah leukosit total kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi).
Secara m u m , jumlah leukosit total setelah operasi mengalami penulunan walaupun secara statistika, jumlah leukosit total sebelum dan setelah operasi tidak berbeda i~yata(P>0.05), kecuali pada kelompok E, F dan G setelah operasi (berbeda nyata pada P<0.05). Penurunan jumlah leukosit total yang signifikan pada kelompok E, F dan tenttanla G kemungkinan disebabkan karena tumor sudah diambil dan pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kelompok F dan G). Temu putih merupakan tanaman yang mempunyai aktifitas antiinflamasi (Sumanly 2006). P e n m a n jumlah leukosit total menunjukkan adanya peningkatan migrasi leukosit dari sirkulasi darah ke dalam jaringal sebagai respon terhadap adanya jaringan y a ~ givsak dan reaksi peradangan akibat perlukaan selama operasi sehingga jumlah leukosit total di dalam sirkulasi menm. Dalam keadaan setelah operasi, sistem homeostasis tubuh akan merespon tmtuk segera melakukan pemuliban. Peningkatan jumlah leukosit total sangat penting bagi homeostasis tubuh. Leukosit akan menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada dengan cara mentransportasikan secara khusus pada daerah yang teriigeksi dan yang mengalami peradangan (Guyton & Hall 1997). Peningkatan jumlah leukosit total setelah operasi biasanya terjadi pada hari ke 2 dan akan mengalami p e n m a n
signifikan pada hari ke 4. Setelah itu, jumlah leukosit total relatif konstan (Magdalena 2000 dan Gunanti 2001). Menurut Coles (1986), penurunan jumlah leukosit (leukopenia) biasanya terjadi karena adanya infeksi kronis oleh mikroba, penyakit yang disebabkan oleh virus dan endotoksemia. Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah leukosit total sebelum dan setelah operasi tidak berbeda nyata (P>0.05), kecuali pada kelompok E, F dan G setelah operasi (berbeda nyata pada P<0.05). Penurunan jumlah leukosit total yang signifikan pada kelompok E, F dan terutama G menunjukkan respon tubuh kelinci yang sangat aktif terhadap perlukaan saat operasi. Hal ini menginterpretasikan proses pemulihan yang cukup berat karena perlukaan yang cukup hebat sebagai akibat dari dua macam operasi dalam waktu yang sama, yaitu ovariohisterektomi dan mastektomi. Jumlah leukosit total kelompok B (kelompok yang diberi curcumin) sehelum dan setelah operasi tidak menunjukkan penurunan yang signifikan, seperti halnya kelompok D. Keadaan tersebut kemungkinan terjadi karena efek pemberian curcumin sebelum operasi. Menurut Anderson (2005), curcumin rnemiliki kapasitas sebagai antioksidan, antiinflarnasi dan antikanker. Curcumin juga efektif untuk mengurangi peradangan setelah pembedahan (Anonim 2008a). Seperti halnya curcumin, pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih juga efektif untuk mengurangi peradangan. Kondisi tersebut berbeda dengan jumlah leukosit total kelompok A (kontrol, tidak dioperasi) yang mengalami peningkatan jumlah leukosit total meskipun peningkatan tersebut tidak signifikan. Keadaan ini mengindikasikan terjadinya infeksi ringan pada kelompok kontrol. Jumlah leukosit total pada kelompok C relatif konstan, karena kelinci pada kelompok C tidak dioperasi. 4.2. Diferensiasi Leukosit 4.2.1. Neutrofil (Heterofil)
Nilai rata-rata pemeriksaan juinlah neutrofil kelinci pada setiap kelompok perlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 12.
-
Tabel 3
Rataan jumlah neutrofil (heterofil) kelinci (seVpL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu perlakuan Perlakuan
Sebelum operasi
Setelah operasi
Keterangan : Sciperscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.OS).(*)menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebeludsetelah operasi); C (tumor); D (tumor + operasi); E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelumlsetelah operasi (preventifiuratif); G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif). Selama induksi tumor (sebelum operasi), jumlah neutrofil pada setiap kelompok perlakuan meningkat walaupun masih dalam kisaran normal (149032101pL) (Campbell 2004). Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
proses
peradangan
karena
penginduksian
tumor.
Gambar
12
memperlihatkan bahwa secara umum jumlah neutrofil setelah operasi pada kelompok D, E, F dan G mengalanti penurunan, sedangkan pada kelompok B mengalami peningkatan. Rata-rata jumlah neutrofil sebelum dan setelah operasi dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil Anova dan uji Duncan terhadap jumlah neutrofil sebelum dan setelah operasi pada setiap kelompok (Tabel 3), dapat dilihat bahwa penurunan jumlah neutrofil setelah operasi pada kelompok D tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan penurunan jumlah neutrofil setelah operasi pada kelompok
E, F dan G berbeda nyata (P<0.05). Hal ini menunjukkan kondisi yang sejalan dengan terjadinya penurunan jumlah leukosit total setelah operasi. Secara m u m penurunan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi didahului dengall terjadinya penurunan jumlah leukosit total yang bersirkulasi. Sebagai garis pertahanan pertama, neutrofil berperan penting terhadap masuknya benda asing atau adanya
kerusakan jaringan (Guyton & Hall 1997). Menurut Vansteenhouse (2006), penunman jumlah neutrofil di dalam sirkulasi terjadi ketika jaringan mengalami peradangan. Hal tersebut berarti bahwa permintaan jaringan terhadap neutrofil tinggi sehingga neutrofil di dalam sirkulasi akan bemigrasi ke jaringan.
m Sebelum operasi P Setelah operasi
Kelompok
Gambar 12
Perbandingan rataan jumlah neutrofil (heterofil) kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelo~npok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi).
Jumlah neutrofil pada kelompok B, setelah operasi justru mengalami peningkatan walaupun peningkatan tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05) dan masih berada dalam kisaran nonnal. Peningkatan jumlah neutrofil merupakan fenomena fisiologis untnk mernpertahankan homeostasis tubuh pada kondisi perlukaan. Secara m u m , peningkatan neutrofil setelah operasi biasanya terjadi pada hari ke 2 sampai hari ke 4 (Magdalena 2000 dan Gunanti 2001). Menurut Coles (1986), peningkaka~jumlah neutrofil (neutrofilia) dapat terjadi pada kondisi infeksi sistemik. Bahkan pada infeksi yang terlokalisasi yang disebabkan oleh mikroorganisme pyogen, jumlah neutrofil dapat lebih tinggi dibandingkan dengal kondisi infeksi sistemik. Jumlah neutrofil pada kelompok A dan C yang tidak dioperasi mengalami p e n m a n yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Menurut Meyer et a1.(1992), stres dan peradangan akut akan menyebabkan peningkatan jumlah sel neutrofil yang
bermigrasi ke dalam jaringan serta menurunkan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi.
4.2.2. Eosinofil Nilai rata-rata pemeriksaan jumlah eosinofil leukosit kelinci pada setiap kelo~npokperlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu
6-9) dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 13. Jumlah eosinofil mengalami peningkatan yang signifikan pada kelompok B,
D dan G sebelum operasi. Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa peningkatan eosinofil pada kelompok B, D dan G sebelum operasi berbeda nyata (Pi0.05). Namun, jumlah eosinofil pada kelompok B, D dan G mengalami penurunan setelah operasi yaitu menjadi 5.96
* 16.49/pL,4.25 * 14.721pL dan
*
11.58 23.92/$. Tabel 4 Rataan jumlah eosinofil kelinci (sel/kL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu perlakuan Perlakuan
Sebelum operasi (minggu 1-5) 22.83 41.93'
Setelah o~erasi (minggu 6-9) 26.83 i40.65~'
*
A'
Keterangan : Superscrb! yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.O5).(*)menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebelundsetelah operasi); C tumor);^ (tumor + operasi); E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak eta1101 rimpang temu putih sebelundsetelah operasi (preventifkuratif);G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif). Eosinofil merupakan sel darah putih yang berperan dalam reaksi alergi atau hipersensitivitas
anafilaktik
(Vansteenhouse
2006).
Eosinofil
seringkali
diproduksi dalam jumlah besar pada penderita infestasi parasit. Meskipun
demikian, peningkatan jumlah eosinofil pada kelompok B, D dan G diduga karena adanya reaksi alergi pada kelinci sebagai akibat dari penginduksian n-metil-nnitrosourea (MNU) pada kelenjar mammari dan tumorigenesis (pembentukan tumor) yang terjadi. Apabila kondisi ini dilihat bersamaan dengan penurunan jumlah eosinofil secara signifikan setelah operasi, peningkatan jumlah eosinofil sebelum operasi kecil kemungkinan disebabkan oleh infestasi parasit. Hal ini mungkin terjadi karena tepat setelah operasi, yaitu pengangkatan tumor mammari, jumlah eosinofil mengalami penurunan yang signifikan, tidak hanya pada kelompok B, D dan G melainkan pada hampir semua kelompok yang dioperasi, kecuali kelompok F. Kelompok F, yaitu kelompok kelinci yang diinduksi tumor, dioperasi dan diberi ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum dan setelah operasi. Jumlah eosinofil pada kelompok F setelah operasi tidak terjadi penurunan, namun fluktuasi jumlah eosinofil sebelum dan setelah operasi kelompok F berada pada kisacan normal, yaitu 5.40 i- 11.65IpL dan 12.17 i- 23.711pL (normal: 10-1501pL) (Campbell 2004). Apabila dilihat secara bersamaan, jumlah eosinofil pada kelompok E dan F sebelum operasi tidak memperlihatkan peningkatan jumlah eosinofil yang signifikan seperti pada kelompok B, D dan G. Hal ini kemungkinan merupakan pengaruh dari pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (minggu 1-4). Ekstrak etanol rimpang temu putih yang diberikan akan menghambat tumorigenesis dan menekan reaksi alergi yang timbul karena penginduksian MNU. Kondisi ini berbeda dengall kelompok D dan G yang tidak diberi ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi. Kelompok D dan G menunjukkan
peningkatan
eosiilofil
yang
signifikan.
Hal
tersebut
mengindikasikan reaksi alergi sebagai akibat penginduksian oleh MNU. Peningkatan eosinofil sebelum operasi juga terjadi pada kelompok B. Keloinpok B, yaitu kelompok kelinci yang diinduksi tumor, dioperasi dan diberi curcumin sebelum dan setelah operasi. Apabila peningkatan jumlah eosinofil yang terjadi pada kelompok B dibandingkan dengan jumlah eosinofil pada kelompok E dan F, terlihat perbedaan meskipun perbedaail tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05). Perbedaan jumlah eosinofil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol
rimpang temu putih lebih efektjf menekan reaksi alergi yang tinlbul karena penginduksian MNU dibandingkan dengan curcumin.
-
m Sebelum operasi m Setelah operasi
Kelompok
Gambar 13 Perbandinyln rataan jumlah eosinofil kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi). Ekstrak etanol rimpang temu putih juga
diduga berperan dalam
menyeimbangkan jumlah eosinofil di dalam sirkulasi. Hal tersebut dapat diketahui dengan membandingkan fluktuasi junilah eosinofil setelah operasi pada kelompok
D dan B dengall kelompok F dan G. Kelompok D mentpakan kelompok yang tidak diberi ekstrak etanol rimpang temu putih inaupun curcumin, sedangkan pada kelompok F dan G, kelinci diberi ekstrak etanol rimpang temu putih sebelumlsetelah operasi. Jurnlah eosinofil pada kelompok F dan G relatif lev& stabil dibandingkan dengan jumlah eosinofil pada kelompok D yang mengalami penurunan signifikan, bahkan berada di bawah kisaran normal, yaitu 4.25
*
14.721pL. Jwnlah eosinofil pada kelompok A d a i C relatif konstan. Jumlah eosinofil pada kelompok A masih berada pada kisaran normal, yaitu 22.83 26.83
* 41.931pL dan
* 40.651pL (normal: 10-15OIpL). Jumlah eosinofil pada kelompok C relatif
konstan, namun berada dalam kisaran di bawah normal, yaitu 4.07 1 11.051pL dan 8.08
* 28.001pL. Menurut Colville & Bassert (2002), p e n m a n jumlah eosinofil
pada darah perifer (eosinopenia) merupakan suatu kondisi yang sulit untuk
dievaluasi karena jumlah eosinofil normal yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan sel darah putih lainnya. Meskipun demikian, eosinopenia dapat terjadi pada kondisi stres; setelah pemberian ACTH atau kortikoid dan hiperaktifitas kelenjar adrenal sebagai konsekuensi terhadap hiperplasia atau neoplasia pada kelenjar adrenal (Coles 1986). Dengan demikian, kejadian eosinopenia pada kelompok C kemungkinan terjadi karena kondisi stres pada saat pengambilan darah maupun saat handling.
4.2.3. Basofil
Nilai rata-rata pemeriksaan jumlah basofil kelinci pada setiap kelompok perlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 14 Gambar 14 menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah basofil secara signifikan pada kelompok D dan G (P<0.05), sedangkan jumlah basofil pada kelompok A, B, C, E dan F relatif konstan dan stabil. Namun, setelah operasi jumlah basofil pada kelon~pokD dan G mengalami penurunan yang signifikan (P<0.05) menjadi 8.50 + 29.441pL dan 2.46
* 8.52IpL.
Tabel 5 Rataan jumlah basofil kelinci (selfpL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu oerlakuan Perlakuan A'
Sebelum operasi (minggu 1-5) 0.00 0.00'
Setelah ooerasi (minggu 6-9) 0.00 0.00'
*
91.10rt 95.9Ia 2.46 + 8.52' Keterangan : Superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.O5).(*)menunjukkankelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebeludsetelah operasi); C (tumor); D (tumor + operasi); E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebeludsetelah operasi (preventif&uratif);G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif). G
Basofil merupakan sel darah putill yang berperan dalam reaksi alergi dan hipersensitivias. Menurut Coles (1986), peningkatan jumlah basofil biasanya disertai dengan peningkatan jumlah eosinofil karena basofil mempunyai eosinophilic chemotactic factor pada garnul sitoplasmanya. Kelompok D dan G yang mengalami pe~~ingkatan jumlah eosinofil yang signifikan, juga mengalami peningkatan yang signifikan pada jumlah basofil. Hasil pemeriksaan ini semakin menguatkan dugaan bahwa kejadian eosinofilia pada kelompok D clan G bukan karena infestasi parasit, namun lebih didominasi oleh reaksi alergi. Reaksi alergi yang timbul kemungkinan merupakan akibat dari penginduksian MNU. Narnun, pada kelompok B peningkatan jumlah eosil~ofiltidak disertai dengan peningkatan jumlah basofil.
--
mSebelum operasi rn Setelah operasi
Kelompok
Gambar 14
Perbandingan rataan jumlah basofjl kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi).
Pada kelompok A, C dan F, jumlah basofil tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Jumlah basofil pada kelompok-kelompok tersebut relatif konstan dan stabil. Namun demikian jumlah tersebut berada di bawah kisaran normal (60360JpL) (Campbell 2004).
4.2.4. Limfosit
Nilai rata-rata pemeriksaan jumlah limfosit kelinci pada setiap kelompok perlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 15. Fluktuasi jumlah limfosit sebelum dan setelah operasi pada setiap kelompok sejalan dengan jumlah leukosit total. Nilai rata-rata jumlah limfosit sebelum dan setelah operasi dapat dilihat pada Tabel 6. Limfosit merupakan sel darah putih yang memiliki persentase paling tinggi dalam menyusun sel darah putih kelinci (O'Malley 2005 dan Hrapkiewicz & Medina 2007). Oleh karena itu, limfosit merupakail salah satu faktor yang sangat berperan dalam fluktuasi jumlah leukosit total di dalam sirkulasi darah. Tabel 6 Rataan jumlah limfosit kelinci (sel/pL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu perlakuan
Perlakuan
G
Sebelum operasi
*
4485.50 2191.95=
Setelah operasi
1557.62 + 1291.46~
Keterangan : Superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.O5).(*)menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebeludsetelah operasi); C (tumor); D (tumor + operasi); E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum/setelah operasi (preventiUkuratif);G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif).
Secara umum, jumlah limfosit pada setiap kelompok, baik sebelum maupun setelah operasi relatif konstan. Jumlah limfosit pada kelompok F dan G cukup tinggi sebelum operasi dibandingkan dengan kelompok A, namun masih dalam kisaran normal (3360-70001pL) (Campbell 2004), yaitu kelompok F: 2739.30 1481.38lpL dan kelompok G: 4485.50
*
* 2191.951pL (normal: 3360-7000lpL).
Berdasarkan Tabel 6, jumlah limfosit ini tidak berbeda nyata (P>0.05). Menurut Coles (19861, peningkatan jumlah limfosit (limfositosis) dapat terjadi pada (1) semua kondisi yang inenyebabkan neutropenia; (2) leukositosis fisiologis; (3) lymphocytic leucemias; (4) periode pemulihan pasca infeksi; (5) insufisiensi adenokortikoid; (6) infeksi kronis; dan (7) hipertiroidisme.
rn Sebelum operasi ~ k Setelah i operasi
Gambar 15 Perbandingan rataan jumlah limfosit kelinci sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) pada setiap kelompok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi). Setelah operasi, jumlah limfosit menunu1 pada kelompok D, E, F dan G. Secara statistika, penurunan jumlah limfosit pada kelompok E, F dan G berbeda nyata (P<0.05). Sebelum operasi, jurnlah limfosit pada kelompok E dan F relatif sama, sedangkan setelah operasi, jumlah limfosit pada kelompok F relatif sama dengan kelompok G. Hal ini kemungkinan dipengarulli oleh pemberian eekstrak etanol rimpang temu putih. Baik kelompok E maupun F diberi ekstrak etanol rimpang temu putih sebelurn operasi, dan memperlihatkan junllah liinfosit yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok D dan G yang dioperasi, nanlun tidak diberi ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi. Jumlah limfosit pada kelompok E dan F sebelum operasi juga lebih kecil dibandingkan dengan kelompok B walaupun, perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05). Jumlah limfosit kelompok F dan G setelah operasi juga lebih kecil dibandingkan dengan kelompok D dan E. Setelah operasi, kelompok F dan G diberikan (lagi) ekstrak
etanol rimpang temu putih, sedangkan kelompok D dan E tidak diberikan ekstrak etanol rimpang temu putih. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak etanol rimpang temu putih mempengamhi jumlah limfosit di dalam sirkulasi. Apabila dibandingkan dengan jumlah limfosit pada kelompok B yang relatif konstan, dapat dilihat bahwa kemampuan curcumin untuk menyeimbangkan jumlah li~nfositdi dalam sirkulasi darah lebih baik dibandingkan dengan ekstrak etanol rimpang temu putih yang cenderung menurunkan jumlah limfosit.
4.2.5. Monosit Nilai rata-rata pemeriksaan jumlah monosit kelinci pada setiap kelompok perlakuan, sebelum operasi (minggu 1-5) dan setelah operasi (minggu 6-9) dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 16. Tabel 7 Rataan jumlah monosit kelinci (selIpL) sebelum dan setelah operasi dengan kelompok perlakuan yang berbeda Waktu perlakuan Perlakuan A'
Sebelum operasi (minggu 1-5) 66.27 5 55.14bc
Setelall operasi (iningg;6-9) 55.42 i 53.80~'
Keterangan : Superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>O.OS).(*)menunjukkan kelompok yang tidak dioperasi. A (normal, tanpa perlakuan); B (tumor + operasi + curcumin sebelum/setelah ooerasi): ,. C (tumor): . ,, D iturnor + operas$ E (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebelum operasi (preventif); F (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih sebeludsetelah operasi (preventifkuratif); G (tumor + operasi + ekstrak etanol rimpang temu putih setelah operasi (kuratif).
Jumlah monosit pada kelompok D dan G tinggi sebelum operasi dibandingkan dengan kelompok A. Secara statistika, jumlah monosit pada kelompok D dan G tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu 167.63 209.87
=t
11 1.17lpL dan
212.471pL. Fluktuasi jumlah monosit pada kelompok B, C, E dan F
relatif konstan dan masih berada dalam kisaran normal (50-4501pL) (Campbell 2004), baik sebelum (B: 98.37
+ 122.76Ipk
C: 77.13 + 76.131pL; E: 95.87 +
167.54lpL dan F: 51.77 i 72.77lpL) dan setelah operasi. (B: 88.29 + 103.88lpL; C: 88.75 + 47.63lpL; E: 77.33 + 90.181pL dan F: 60.54 + 61.601pL).
Monosit merupakan sel darah putih yang memiliki ukuran paling besar. Ukuran monosit biasanya lebih besar dari limfosit dan neutrofil (Vansteenhouse 2006). Menurut Campbell (2004), monosit memiliki kemampuan untuk menelan dan mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal dan sel-sel debris. Proses fagositosis inonosit bekerja sama dengan neutrofil di jaringan untuk mengeliminasi agen infeksi (Guyton & Hall 1997). Menurut Meyer (1992), produksi kortikostreroid (saat stres) dapat merangsang leukositosis, diantaranya neutrofilia, limfopenia dan monositosis. Tmgginya jumlah monosit pada kelompok D dan G sebelum operasi diduga karena faktor stres pada kelinci saat pengambilan darah. Hal ini diliat pula dari jumlah neutrofil sebelum operasi pada kelompok D dan G yang cukup tinggi. Kondisi monositosis (peningkatan jumlah monosit di dalam sirkulasi) berjalan seiring dengan jumlah neutrofil yang tinggi di dalam sirkulasi (neutrofilia) karena monosit selalu bekeja sama dengan neutrofil di jaringan.
-
rn Sebelum operasi P Setelah operasi
Gambar 16
Perbandingan rataan jumlah monosit kelinci sebelum operasi (mingy 1-5) dan setelah operasi (mingy 6-9) pada setiap kelompok perlakuan (* kelompok yang tidak dioperasi).
Berdasarkan fluktuasi jumlah monosit pada kelompok D, E, F dan G (Garnbar 16), dapat dilihat bahwa ekstrak etanol rimpang temu putih tidak terlalu mempengaruhi keseimbangan jumlah monosit di dalam sirkulasi darah. Jumlah monosit pada kelompok B (kelompok yang diberi curcumin) relatif stabil. Fluktuasi jumlah monosit yang terjadi lebih banyak dipengaruh'i oleh kondisi fisiologis tubuh.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penginduksian tumor dengan n-metil-n-nitrosourea (MNU) pada kelenjar mammari akan menimbulkan reaksi alergi dan peradangan yang ditandai dengan peningkatan jumlah leukosit total, neutrofil, eosinofil dan basofil.
2. Terapi tumor dengan operasi dan kombinasi ekstrak etanol rimpang temu putih mampu menurt~nkanjumlah leukosit total, neutrofil dan limfosit, akan tetapi sedikit mempengaruhi jumlah monosit.
5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran darah pada pertumbuhan tumor yang lebih lama. Selain itu, perlu diperhatikan pula kondisi klinis pada hewan yang diinduksi tumor dan diberi ekstrak etanol rimpang temu putih.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2007. Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe). h t t p : l / t o i u s d . m u l t i p l y . c o m / j o u r n a l / i t e m l a -zedoaria [12 Juni 20081. [Anonim]. 200Sa. Curcumin. http://www.phytochemicals.infofphytochemicals/ curcumin.php [I9 Februari 20081. [Anonim]. 2008~.Khasiat Temu Putih. http:l/www.fitnessindonesia.com/info/ khasiattemuputih.htm [12 Juni 20081. [BPPT]. 2005. Tanaman Obat Indonesia: Temu Putih. http:llwww.iptek.net.idl indlpd-tanobat/view,php?id=259 [12 Desember 20071. [Depkes RI] Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umutn Ekstrak Tumbuhan Obat. Ed ke-l . Jakarta: Depkes RI. [PDPERSI]. 2003. Obat Tradisional: Temu Putih. http:Nwww.pdpersi.co.id/ ?show=detailnews&kode=103&tbl=altematif [I2 Desember 20071. Anderson MD. 2005. Potent Spice Works to Block Growth ofMelanoma in Lab Test. http:llwww.mdanderson.org/departments/newsrooddisplay.cfn~? id=F3EC0200-90B3-41 12-AC139BD8699D6101&method=display Full&pn=OOc8a30f-c468-1 ld4-80fb00508b603a14 [19 Februari 20081. Brown BA. 1980. Hematologv: Principles and Procedures. Philadelphia: Lea&Febiger Bubenik LJ. 2006. Small animal surgical nursing. Di dalam: Dennis M Mccurnin, Joanna M Bassert, editor. Clinical Textbookfor Veterinary Technicians. Ed ke-6. Missouri: Elsevier Saunders. Hal 761-773. Campbell TW. 2004. Mammalian hematology: laboratory animals and miscellaneous species. Di dalam: Mary Anna Thrall, Dale C Baker, Terry W Campbell, Dennis DeNicola, Martin J Fettman, E Duane Lassen, Alan Rebar, Glade Weiser, editor. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Company. Hal 21 1-216 dan ha1 219-220. Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hal 47-49 dan ha1 65-69. Colville T, JM Bassert. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri: Mosby, An Affiliate of Elsevier. Hal 204-209.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Puspa Swara. Hal 170-174. Duncan JR, KW Prasse. 1988. Veterinary Laboratory Medicine: Clinical Pathology. Ed ke-2. Ames: Lowa State University Press. Fossum TW. 2002. Small Animal Surgery. Ed ke-2. Missouri: Mosby, An Affiliate of Elsevier. Hal 632-633. Girindra A. 1988. Bioki~niaPatologi Hewan. Bogor: PAU IPB. Gunanti S, BP Priosoeryanto, H Huminto. 2004. Pendekatan pencegahan penyakit tumor melalui kajian mekanisme invasi dan metastase sel tumor serta efek anti metastase dari interferon rekombinan dan kombinasinya pada hewan [laporan Hibah Bersaing Perguruan Tinggi XI]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gunanti. 2001. Metode laparotomi dan gatnbaran persembuhan pasca bedah reproduksi untuk koleksi oosit dalam upaya produksi embrio in vifro pada kucing lokal (Felis domestics) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Guyton AC, JE Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, LMA Ken Ariata Tengadi dan Alex Santoso, penerjemah; Irawati Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of i\/ledicn/ Physiology. Hrapkiewicz K, L Medina. 2007. Clinical Laboratory Animal Medicine. Ed ke-3. Lowa: Blackwell Publishing. Hal 199-2 13. Kintzios SE. 2004. What do we know about cancer and its therapy?. Di dalarn: Spiridon E Kintzios, Maria G Barberaki, editor. Plants That Fight Cancer. Washington: CRC Press. Hal 1-14. Kresno SB. 1988. Pengantar Hematologi dan I~nunohematologi.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lester VK, HL Taspley, KS Latimer. 2005. Small Marnmal Hematology: Leukocyte Identification in Rabbits and Guinea Pigs. http:/lwww.vet.uga.edu~vpp/clerk/lester/indexphp [13 Agustus 20081 Madewell BR, GH Theilen. 1987. Etiology of cancer in animals. Di dalam: Gordon H Theilen , Bruce R Madewell, editor. Veterinary Cancer Medicine. Ed ke-2. Philadelphia: Lea & Febiger. Hal 13-52. Magdalena S. 2000. Gambaran darah sebelurn dan sesudah enterotomi pada kucing betina lokal [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Malole MBM, CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium [Bahan Pengajaran]. Bogor: Depdikbud, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Meredith A, DA Crossley. 2002. Rabbits. Di dalam: Anna Meredith, Sharon Redrobe, editor. BSAVA Manual of Exotic Pets. Ed ke-4. Barcelona: Grafos. Hal 76-91. Meyer DJ, EH Cole dan LJ Rich. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Philadelphia: W . B. Saunders Company. Murwanti R dan E Me. 2002. Uji efek anti kanker ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) dengan metode newborn mice [Abstrak]. Karya Ilmiah Hasil Penelitian. Id 110. O'Malley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species. Edinburgh: Elsevier Saunders. Hal 173-177. Raskin RE. 2000. Erythrocytes, leukocytes, and platelets. Di dalarn: Stephen J Birchard, Robert G. Sherding, editor. Saunders Manual of Small Aninzal Practice. Ed ke-2. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hal 165-168. Sirois M. 2005. Laboratory Anirnal Medicine: Principles and Procedures. Missouri: Elsevier Mosby. Hal 168-180. Smith JB, S Mangkoewidjojo. 1988. Perneliharaan, Pen~biakandun Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. Stone EA. 2000. Mammary gland neoplasia. Di dalam: Stephen J Birchard, Robert G Sherding, editor. Saunders Manual of Small Animal Practice. Ed ke-2. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hal 222-225. Sumarny R. 2006. Karakterisasi kimiawi, aktivitas antiproliferasi sel lestari tumor dan aktivitas fagositosis secara in-vitro dari fraksi bioaktif rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syukur C, Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Kornersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Vansteenhouse, JL. 2006. Clinical pathology. Di dalam: Dennis M Mccumin, Joanna M Bassert, editor. Clinical Textbookfor Veterinary Technicians. Ed ke-6. Missouri: Elsevier Saunders. Hal 184-196. Wed.
2004. Terapi Kanker dari Alum. http://www.gizi.net/cgibin/berita~fullnews.cgi?newsid1102403985,42580 [12 Desember 20071.
Wijayakusuma H. 2005. Atasi Kanker dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara.
Lampiran 1 Data deskriptif dari setiap variabel penelitian. Descriptive Statistics Dependent Variable: total sel darah putih Perlakuan Time A
B C D
E F G Total
Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
Mean 3900 53 12.5 4527.778 5370 4816.667 5124.074 4096.667 4120.833 4107.407 5106.667 4462.5 4820.37 4520 3 104.167 3890.741 3816.667 2408.333 3190.741 7406.667 23 12.5 5142.593 4888.095 3791.071 4400.529
Std. Deviation 1656.05 2292.688 2052.359 1145.924 1867.708 1503.801 1600.275 945.674 1325.686 1586.536 1337.76 1489.596 1725.316 2542.767 2202.797 1749.558 1830.901 1890.769 4214.171 1801.278 4193.968 2409.252 21 15.223 2342.013 ~
~
N 15 12 .-
27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Descriptive Statistics Dependent Variable: neutrofil(abs) Perlakuan Time A
B C
D
E
Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total SebelumOperasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi
Mean 1351.833 1094.875 1237.63 1307.367 1452.875 1372.037 1512.967 1011.542 1290.111 1878.667 1492.125 1706.87 2061.467 892.375
Std. Deviation 606.3395 737.734 667.199 677.9062 749.514 700.3963 994.1304 455.3423 827.2525 999.0784 873.3529 947.8823 1568.497 992.142
N 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12
F G
Total
Total Sebelurn Overasi Setelah operasi Total Sebelum Operasi Setelah operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
1541.87 1009.2 772.7083 904.0926 2537.633 717.4583 1728.667 1665.59 1061.994 1397.325
1446.245 344.1673 620.047 490.6908 2106.138 635.6454 1846.336 1249.022 769.991 1 1102.361
27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Descriptive Statistics Dependent Variable: Eosionofil(abs) Perlakuan Time A
B C
D E
F G
Total
Sebelum Operasi Setelah opkrasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi SetelaliOperasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
Mean 22.83333 26.83333 24.61 111 3 1.9 5.958333 20.37037 4.066667 8.083333 5.851852 52.66667 4.25 31.14815 21 .I 15.91667 18.7963 5.4 12.16667 8.407407 82.56667 11.58333 51.01852 3 1.50476 12.1131 22.88624
Std. Deviation 41.92922 40.6489 40.6179 62.28483 16.4903 48.74948 11.05323 28.00149 20.04121 5 1.51 133 14.72243 46.06012 48.86139 25.37521 39.5582 11.64842 23.71453 17.96473 78.37726 23.92206 69.5833 54.5263 25.95378 45.1 1577
N 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Descriptive Statistics Dependent Variable: basofil(abs) Perlakuan Time A
B
Sebelum Operasi Setelah 0Grasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi
Mean 0 0 0 4.233333 0
Std. Deviation 0 0 0 16.39563 0
N
15 12 27 15 12
C
D
E F G
Total
Total Sebelum Operasi Setelah operasi Total Sebelum Operasi Setelah Ouerasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum O~erasi Setelah op;rasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
2.351852 4.166667 2.458333 3.407407 39.63333 8.5 25.7963 0 2.916667 1.296296 11 2.791667 7.351852 91.1 2.458333 51.7037 21.44762 2.732143 13.12963
12.22058 11.04482 8.515916 9.85475 67.7204 29.44486 55.54057 0 10.10363 6.735753 26.25969 9.670617 20.69179 95.90661 8.515916 83.65523 54.6138 1 12.92458 42.5521
27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Descriptive Statistics Dependent Variable: limfosit(abs) Perlakuan Time A
B C
D E F G
Total
Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Ooerasi Setelah ouerasi Total Sebelum Operasi Setelah operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
Mean 2459.067 3739.542 3028.167 3 171.3 3269.542 3214.963 2498.333 3010 2725.741 2968.067 2877.917 2928 2341.567 1823.958 2111.519 2739.3 1560.125 2215.222 4485.5 1557.625 3 184.222 295 1.876 2548.387 2772.548
Std. Deviation 1238.205 2560.908 2005.144 1498.816 1433.116 1442.576 919.1757 610.817 824.5698 1025.344 1129.618 1052.638 833.5463 1679.948 1279.39 1481.383 1199.962 1465.391 2191.953 1291.465 2343.252 1506.959 1682.752 1595.874
N
15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Descriptive Statistics Deoendent Variable: monosit(ahs\
A
Sebelum Ooerasi
66.26667
Std. Deviation 55.14004
B
Total Sebelum Operasi
61.44444 98.36667
53.77452 122.7641
27 15
Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total Sebelum Operasi Setelah Operasi Total
93.88889 77.13333 88.75 82.2963 167.6333 79.70833 128.5556 95.86667 77.33333 87.62963 5 1.76667 60.54167 55.66667 209.8667 23.375 126.9815 109.5571 67.63095 90.92328
112.7256 76.13392 47.62615 64.15115 111.1711 84.89337 108.1026 167.5423 90.17693 136.5405 72.77383 61.6019 66.90996 212.4704 37.89107 183.9382 135.4148 72.8929 113.693
27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 15 12 27 105 84 189
Perlakuan Time
C
D E
F G
Total
Mean
N 15
Lampiran 2 A n a l i s i s ragam (Anova) dan uji D u n c a n pada setiap variabel. Title 'total sel drah putih'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlk1Duncan; Run: t o t a l s e l drah p u t i h The GLM Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class
Levels
perlk 14 E-sdh F-sblm F-sdh
Values A-sblm A-sdh 8-sblm B-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm G-sblm G-sdh
Number o f Observations Read Number of Observations Used
189 189
t o t a l s e l drah p u t i h The GLM Procedure Dependent V a r i a b l e : respon
Pr
Source
DF
Sum o f Squares
Mean Square
F Value
Model
13
23.57326025
1.81332771
5.90
Error
175
53.77481689
0.30728467
Corrected T o t a l
188
77.34807714
> F
<.0001
Source
R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.304769
15.92504
0.554333
DF
respon Mean 3.480887
Type 1 55
Mean Square
F Value
ss
Mean Square
F Value
Pr > F perlk
< .0001 Source Pr
>
F
perlk
< .0001
DF
Type 111
t o t a l s e l drah p u t i h The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range T e s t f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r r a t e , n o t t h e experimentwise e r r o r r a t e .
Alpha 0.05 E r r o r Degrees o f Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.307285 Harmonic Mean o f C e l l S i z e s 13.33333 NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t equal.
Number o f Means
12
13
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
C r i t i c a l Range
.4237 .4460 .4609 .4718 .4803 .4872 .4930 .4979 .5021 .5058
.5091 .5120 .5146
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
N
perlk
Title 'neutrofil(abs)'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlk1Duncan; Run; neutrofil(abs) The GLM Procedure Class Level I n f o r m a t i o n Class
Levels
Values
perlk 14 A-sblm A-sdh B-sblm B-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm E-sdh F-sblm F-sdh G-sblm G-sdh
Number o f Observations Read Number of Observations Used
189 189
neutrofil(abs) The GLM Procedure Dependent V a r i a b l e : respon
DF
Sum of Squares
Mean Square
Error
175
54.10950620
0.30919718
Corrected T o t a l
188
72.21357601
Source
F Value
Pr > F
Model
< .0001.
Source Pr
R-Square
C o e f f Var
Root MSE
respon Mean
0.250702
18.90515
0.556055
2.941289
DF
> F
ss
Mean Square
F Value
Type I11 SS
Mean Square
F Value
Type I
perlk
< .0001 Source Pr
>
F
perlk
< .0001
DF
neutrofil(abs) The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range T e s t f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r r a t e , n o t t h e experimentwise e r r o r r a t e .
Alpha 0.05 E r r o r Degrees o f Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.309197 Harmonic Mean o f C e l l S i z e s 13.33333 NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t e q u a l .
Number o f Means 12
13
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
C r i t i c a l Range
.4250 .4474 .4623 .4733 .4818 .4887 .4945 ,4994 .5037 .5074
.5107 .5136 .5162
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
N
perlk
Title 'Eosionofil(abs)'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlk/Duncan; Run: Eosionofil(abs) The GLM Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class
Levels
Values
14 A-sblm A-sdh 8-sblm 6-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm perlk E-sdh F-sblm F-sdh G-sblm G-sdh
Number o f Observations Read Number of Observations Used
189 189
Eosionofilfabs) The GLM Procedure Dependent V a r i a b l e : respon
Pr
).
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Model
13
3.54977345
0.27305950
4.35
Error
175
10.99203478
0.06281163
Corrected T o t a l
188
14.54180823
F
< .0001
Source Pr
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.244108
15.99452
0.250622
1.566927
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
DF
Type I11 SS
Mean Square
F Value
> F perlk
< .0001 Source Pr > F perlk
< .0001
61
06:03 Monday, The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range T e s t f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r r a t e , experimentwise e r r o r r a t e .
not t h e
Alpha 0.05 E r r o r Degrees of Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.062812 Harmonic Mean of C e l l S i z e s 13.33333 NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t equal. Number o f Means
13 14 C r i t i c a l Range .2302 .2315 .2327
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
.I916 .2016 ,2084 .2133 .2172 .2203 .2229 ,2251 .2270 .2287
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
perlk
1.91039
G-sblm
1.78990
D-sblm
1.61465
A-sdh
1.60454
B-sblm
1.57093
A-sblm
1.54865
E-Sdh
1.53610
E-sblm
1.51256
F-sdh
1.50666
G-sdh
1.46079
F-sblm
1.45772
B-Sdh
1.45531
C-sdh C-sblm D-sdh
Title 'basofil(abs)'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlklDuncan; Run; basofil(abs) The GLM Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class
Levels
perlk 14 E-Sdh F-sblm F-Sdh
Values A-sblm A-sdh 8-sblm 0-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm G-sblm G-sdh
Number of Observations Read Number o f Observations Used
189 189
basofil(abs) The GLM Procedure Dependent V a r i a b l e : respon
Pr
>
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Model
13
16.49933561
1.26917966
8.00
Error
175
27.76816393
0.15867522
Corrected T o t a l
188
44.26749954
F
< .0001
Source Pr
>
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.372719
20.32281
0.398341
1.960067
DF
Type ISS
Mean Square
F Value
DF
Type 111 SS
Mean Square
F Value
F
<.0001
perlk
Source Pr
R-Square
> F perlk
< .0001
63
basofil(abs) August 20, 2007
06:03 Monday,
18
The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range Test f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r r a t e , n o t t h e experimentwise e r r o r r a t e .
0.05 Alpha E r r o r Degrees o f Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.158675 Harmonic Mean o f C e l l Sizes 13.33333
NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t equal.
Number of Means 12
13
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
C r i t i c a l Range
.3045
.3205 .3312 ,3390 .3452 .3501 ,3543 .3578 .3608 .3635
.3658 .3679 .3698
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
perlk
2.8469
G-sblm
2.3193
D-sblm
1.9796
F-sblm
1.9012
D-sdh
1.8789
C-sblm
1.8549
0-sblm
1.8459
E-sdh
1.8441
F-Sdh
Title 'limfosit(abs)'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlk1Duncan; Run: limfosit(abs) The GLM Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class
Levels
Values
14 A-sblm A-sdh B-sblm B-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm perlk E-sdh F-sblm F-sdh G-sblm G-sdh Number o f Observations Read Number o f Observations Used
189 189
limfosit(abs) The GLM Procedure Dependent Variable: respon
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Model
13
15.24917617
1.17301355
4.20
Error
175
48.84372825
0.27910702
Corrected T o t a l
188
64.09290442
Pr > F
<.0001
Source
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.237923
16.11593
0.528306
3.278159
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Source
DF
Type I11 SS
Mean Square
F Value
perlk
13
15.24917617
1.17301355
4.20
Pr > F
perlk
< .0001
Pr
>
F
< .0001
65 limfosit(abs) August 20,
2007
06:03 Monday,
21
The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range T e s t f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r rate, experimentwise e r r o r r a t e .
not the
0.05 Alpha E r r o r Degrees o f Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.279107 Harmonic Mean of C e l l S i z e s 13.33333
NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t equal.
Number o f Means 12
13
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
C r i t i c a l Range
.a038 .4251 .4392 .4496 .4578 .4643 .4698 .4745 .4785 .4821
,4852 .4880 ,4905
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
N
perlk
C-s blm
Title 'monosit(abs)'; Proc glm data=dtl; Class perlk; Model respon=perlk; Means perlklDuncan; Run; monosit(abs) The GLM Procedure Class L e v e l I n f o r m a t i o n Class
Levels
Values
14 A-sblm A-sdh 8-sblm 0-sdh C-sblm C-sdh D-sblm D-sdh E-sblm perlk E-sdh F-sblm F-sdh G-sblm G-sdh Number of Observations Read Number o f Observations Used
189 189
monosit(abs) The GLM Procedure Dependent V a r i a b l e : respon
Pr
>
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Model
13
5.30283210
0.40791016
3.34
Error
175
21.35145324
0.12200830
Corrected T o t a l
188
26.65428534
F
0.0001
Source
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.198949
18.34210
0.349297
1.904345
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
DF
Type 111 SS
Mean Square
F Value
Pr > F perlk
0.0001
Source Pr > F perlk
0.0001
67
06:03 Monday,
The GLM Procedure Duncan's M u l t i p l e Range T e s t f o r respon NOTE: T h i s t e s t c o n t r o l s t h e Type I comparisonwise e r r o r r a t e , n o t t h e experimentwise e r r o r r a t e .
0.05 Alpha E r r o r Degrees o f Freedom 175 E r r o r Mean Square 0.122008 Harmonic Mean of C e l l S i z e s 13.33333
NOTE: C e l l s i z e s a r e n o t e q u a l .
2 Number of Means 5 6 7 3 4 8 9 10 11 13 14 C r i t i c a l Range .2670 .2810 .2904 .2973 .3027 .3070 .3106 .3137 .3164 .3187 .3208 .3226 .3243
12
Means w i t h t h e same l e t t e r a r e n o t s i g n i f i c a n t l y d i f f e r e n t .
Duncan Grouping
Mean
perlk G-sblm 0-sblm C-sdh B-sblm D-sdh A-sblm B-sdh C-sblm E-Sdh E-sblm F-sdh A-Sdh F-sblm G-Sdh