THE RELATIONSHIP THE HOUSE PHYSICAL ENVIRONMENT WITH THE EVENT OF THE UPPER RESPIRATORY (ISPA) ON THE TODDLERS IN THE KARSAMENAK URBAN VILLAGE KAWALU DISTRICT TASIKMALAYA SMALL TOWN IN 2014 Dwi Linairawati1) Andik Setiyono2) The Health of Environment Student the Faculty of Health Science Siliwangi University (
[email protected])1) Lecturer (
[email protected])2) ABSTRACT The disease of upper respiratory tract infection (ISPA) has still been being the major problem in the society in Indonesia especially at the toddlers. Based on prevalency upper respiratory tract infection in 2010th in Indonesia, it has been reached 25% namely 17.5% to 41.4%. The highest prevalency at the toddlers (7.35%) while the lowest prevalency on the group of ages are 15 years old to 24 years old. The number of sufferer of respiratory tract infection (ISPA) in 2013rd in the Kawalu District Occupies on the first position in which the number of sufferers are 612 people or 140.5% from the invention target of sufferer of upper respiratory tract infection (ISPA). In the Karsamenak urban village has a number of the highest sufferers of upper respiratory tract Infection (ISPA) in the Kawalu District is 3.392 people. This research of ISPA on the toddlers are aimed to know about the relationship the house physical environment and the event of ISPA on the toddlers in the Karsamenak urban village, Kawalu District, Tasikmalaya small town. The research methodololgy that is uses is survey methodology with using the control case approach, also the number of population is 159 toddlers, so that data is used by using is 80 toddlers. Undertaking the data is used by using the secondary data, questioner data, and the sheets of observation. The analytical of statistics uses chi-square. The result of statistics test shows there is a relationship between the wall type with value p = 0.009, the type of floor with value p = 0.007, so there is no a relationship between the large of ventilation with value p = 0.402, it means that there is a relationship between the loudness of bathroom for toddler with value p = 0.000, so here, there is a relationship between the type of gas oil which is used with value p = 0.274, that is why, there is no relationship the existence of the kitchen screen with value p = 0.309, here there is no a relationship between kitchen location with value p = 1.000. Based on the conclusion of this research is there are relationship between the type of wall, the type of floor, the loudness of bathroom for toddlers, and ventilation, the type of gas oil that is used to cook, and the existence of the kitchen screen and the kitchen location. It needs to increase of the illumination frequency is about the health of environment and the healthy house. Key Words Literature
: ISPA, toddlers, physical environment, house : 11 (1994-2013)
HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN KARSAMENAK KECAMATAN KAWALU KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2014 Dwi linairawati 1) Andik Setiyono 2) Mahasiswa Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 1) Dosen Pembimbing bagian kesehatan lingkungan Fakultas Ilmu kesehatan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 2) ABSTRAK Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia terutama pada balita. Berdasarkan prevalensi ISPA tahun 2010 di Indonesia telah mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu 17,5% - 41,4%. Prevalensi tertinggi pada balita (>35%) sedangkan terendah pada kelompok umur 15 – 24 tahun. Jumlah penderita ISPA pada tahun 2013 Kecamatan Kawalu menempati urutan pertama dengan jumlah penderita yaitu 612 jiwa atau 140,5% dari target penemuan penderita ISPA. Kelurahan Karsamenak memiliki jumlah penderita ISPA terbesar di Kecamatan Kawalu yaitu 3.392 penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survey dengan pendekatan kasus kontrol, jumlah populasi sebesar 159 balita, dengan jumlah total sampel 80 balita. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data skunder, kuesioner dan lembar observasi.Analisis statistik menggunakan Chi-square. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis dinding dengan nilai p = 0.009, jenis lantai dengan nilai p = 0.007, tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan nilai p = 0.402, ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur balita dengan nilai p = 0.000, tidak ada hubungan antara jenis bahan bakar yang digunakan dengan nilai p = 0.274, tidak ada hubungan antara keberadaaan seka dapur dengan nilai p = 0.309, tidak ada hubungan antara lokasi/letak dapur dengan nilai p = 1.000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara jenis dinding, jenis lantai, kepadatan hunian kamar tidur balita, dan tidak ada hubungan antara luas ventilasi, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, keberadaan sekat dapur dan lokasi/letak dapur. Perlu ditingkatkan frekuensi penyuluhan tentang kesehatan lingkungan dan rumah sehat.
Kata Kunci Kepustakaan
: ISPA, balita, lingkungan fisik, rumah : 11(1994 – 2013)
PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan milenium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia atau yang sering disebut dengan Milenium Development Goalds (MDGs) adalah menurunkan kematian anak usia dibawah lima tahun pada rentang waktu antara 19902015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan dari MDGs yang belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ISPA menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak yang berusia dibawah 5 tahun pada setiap
tahunnya,
sebanyak
dua
pertiga
kematian
tersebut
adalah
bayi
(http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm 18/09/2013). Profil kesehatan Kota Tasikmalaya pada tahun 2012 melaporkan jumlah penderita ISPA di kota Tasikmalaya sebesar 51.903 jiwa, dan ISPA pada balita sebanyak 3.468 jiwa atau 57,2%. Laporan P2 ISPA Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya Bulan Januari s/d Desember 2012, tingkat kejadian ISPA pada balita tertinggi berada di wilayah kerja Puskesmas Kawalu yaitu dengan jumlah penderita 612 jiwa atau 140.5% dari target penemuan penderita ISPA. Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya yang terdiri dari 5 (lima) Kelurahan (Karsamenak, Tanjung, Gunung Gede, Gunung Tandala, Talagasari) yaitu penderita ISPA pada tahun 2011 sebanyak 4.517 penderita dengan jumlah ISPA pada balita sebanyak 2.146 penderita. Tahun 2012 jumlah penderita sebanyak 7.151 penderita dengan jumlah ISPA pada balita sebanyak 3.392 penderita. Data Puskesmas Kawalu Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya mencatat, dari ke 5 (lima) kelurahan tersebut kejadian ISPA pada balita tertinggi berada di Kelurahan Karsamenak yaitu pada tahun 2011 sebanyak 2.146 penderita dan tahun 2012 sebanyak 3.392 penderita. Berdasarkan survey awal pada tanggal 23 Oktober 2013 dengan jumlah sampel 20 rumah penduduk di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya menunjukkan bahawa masih ada rumah yang menggunakan dinding dengan bahan dasar papan, bilik dan plaster kasar, lantai msh ada menggunakan bahan dasar plaster kasar, luas ventilasi rumah sebagian besar belum memenuhi syarat (≥ 10% dari luas lantai), kepadatan hunian kamar tidur balita sebagian besar tidak memenuhi syarat (<4,5 m2/orang), jenis bahan bakar yang digunakan sebagian besar masih menggunakan kompor minyak tanah dan kayu bakar, sekat dapur masih ada beberapa yang belum
memiliki sekat dapur , lokasi dapur masih bervariasi ada yang terletak di dalam rumah dan di luar rumah. Lingkungan fisik rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita, yaitu jenis dinding yang tidak memenuhi syarat kesehatan (anyaman bambu/bilik) dapat mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita, karena dinding yang sulit dibersihkan akan menjadi tempat penumpukan debu. Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya ISPA karena lantai yag tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembang biakan bakteri atau virus penyebab ISPA dan biasanya balita lebih senang bermain dilantai. Rumah yang ventilasinya kurang dari 10% dari luas lantai dapat menjadi faktor resiko terhadap balita terjangkit penyakit ISPA karena sirkulasi/pergantian udara dari luar tidak lancar. Begitu pula dengan jenis bahan bakar yang digunakan dalam memasak, bahan bakar biomass (kayu bakar) akan menghasilkan asap lebih banyak dan menjadi pencemaran udara dalam rumah hal ini berpotensi pada terjadinya ISPA pada balita, apalagi jika ibu-ibu memasak sambil menggendong anak/balitanya. Kepadatan hunian kamar dapat mempengaruhi resiko terjadinya ISPA pada balita karena ISPA menyebar melalui udara, apabila kepadatan hunian dalam rumah tidak sesuai hal tersebut akan mempercepat penyebaran penyakit. Berdasarkan uraian diatas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan yang cukup tinggi. Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya tahun 2014”
TUJUAN PENELITIAN Mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Case control yaitu peneliti mempelajari hubungan antara paparan (faktor risiko) dan penyakit (efek) dengan cara membandingkan kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Murti, 1997). Populasi dalam penelitian ini adalah anak balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya yang menderita ISPA, diambil dari 3 bulan
terakhir yaitu jumlah balita yang menderita ISPA pada bulan Oktober, November, Desember tahun 2013 yaitu 159 penderita. Perhitungan sampel menggunakan study kasus kontrol berpasangan (Dahlan S, 2009 : 63) dengan di peroleh jumlah sampel sebanyak 40 kasus dan 40 kontrol, total sampel sebanyak 80 balita. Analisis data menggunakan uji Uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN a.Jenis dinding
No 1 2
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Dinding Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Frekuensi Jenis dinding Kasus Kontrol Jumlah f % f % n % Tembok 21 52,5 33 82,5 54 100 Kayu, bilik/ anyaman bambu 19 47,5 7 17,5 26 100 Jumlah 40 100 40 100 80 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 54 rumah responden (67,5%) dengan
jenis dinding tembok, dan 26 rumah responden (32,5%) dengan jenis kayu, bilik/anyaman bambu. Uji statistik Chi-square didapatkan hasil p < 0,05 (p value = 0,009) yang berarti ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai OR = 4,265 ini berarti balita di Kelurahan Karsamenak yang tinggal dengan kondisi dinding tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 4.265 kali terkena penyakit ISPA daripada balita yang tinggal di rumah dengan jenis dinding yang memenuhi syarat. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena dinding yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang terbuat dari bambu/kayu akan sulit untuk dibersihkan, akibatnya debu-debu terakumulasi dan terhisap ke dalam tubuh yang memungkinkan untuk berkembang biak penyakit yang akan dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh balita, selanjutnya balita akan mudah terinfeksi penyakit melalui udara dan debu. Kotoran dan debu merupakan salah satu alergen yang dapat menyebabkan
gangguan
(http://garuda.dikti.go.id/jurnal/15/05/2014).
pada
saluran
pernafasan
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Padmonobo (2012) bahwa dinding rumah yang tidak memenuhi syarat ada hubunganya dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p < 0.05 (0.009) dan OR 2.753 yang artinya balita yang tinggal dengan dinding yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2.753 kali terkena ISPA bila dibandingkan dengan balita ysang tinggal dengan dinding rumah yang memenuhi syarat. b. jenis lantai
No 1 2
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis lantai Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Frekuensi Jenis lantai Kasus Kontrol Jumlah f % f % n % Tegel/keramik, plester/ubin 12 30 25 62,5 37 100 Tanah, plester kasar 28 70 15 37,5 43 100 Jumlah 40 100 40 100 80 100 Tabel
2 menunjukkan lantai rumah responden yang menggunakan
tegel/keramik, plaster/ubin berjumlah 37 rumah responden (46,25%), dan yang menggunakan plaster kasar berjumlah 43 rumah responden (53,75%). Uji statistik Chisquare didapatkan hasil p < 0,05 (p = 0,007) yang berarti ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 3,889 ini berarti balita di Kelurahan Karsamenak yang tinggal dengan kondisi lantai tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 3,889 kali terkena penyakit ISPA daripada balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai yang memenuhi syarat. Makin rendah kualitas lantai rumah makin tinggi risiko terjadinya penyakit ISPA pada balita. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Nurhidayati (2009) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p < 0.005 (0.000) dan OR 4.986 yang artinya balita yang tinggal di rumah dengan keadaan lantai tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 4.986 kali dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat.
Jenis lantai tanah, plester kasar/setengah plester tidak baik dari segi kebersihan udara dalam rumah karena akan sulit untuk dibersihkan, seperti yang dikemukakan oleh Soemirat (1994) dalam tesis Aji Suwono (2009) yang mengatakan setiap bangunan harus memiliki lantai yang dapat dicuci atau dibersihkan dan selalu dipelihara dengan baik serta bebas dari retakan dan lubang-lubang. Jenis lantai yang digunakan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kejadian penyakit, lantai yang digunakan seharusnya dapat membuat kita nyaman, tidak menghasilkan kotoran (debu, partikel lain), tidak retak dan mudah untuk dibersihkan. Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA, karena lantai yang tidak memenuhi syarat merupakan media perkembangbiakan yang baik untuk bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Lantai harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan debu dan kelembaban, serta mudah dibersihkan dan dikeringkan, lantai perlu diplaster dan akan lebih baik lagi bila dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (http://garuda.dikti.go.id/jurnal 15 mei 2014). c. luas ventilasi
No 1 2
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepemilikan Ventilasi Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Frekuensi Jumlah Luas Ventilasi Kasus Kontrol f % f % n % Terdapat ventilasi dalam 40 100 40 100 80 100.0 rumah Memenuhi syarat (10% dari luas lantai) a.memenuhi syarat 32 52,5 30 47,5 80 100.0 b.tidak memenuhi syarat 8 60 10 63,37 100.0 100.0
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua rumah responden memiliki ventilasi yaitu sebanyak 80 rumah (100%), sedangkan ventilasi yang memenuhi syarat sebanyak 70 rumah (87,5%) dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (12,5%). uji statistik Chi-square
diperoleh hasil p < 0,05 (p = 0,402) yang berarti tidak ada
hubungan antara jenis lantai dan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota tasikmalaya.
Hasil penelitian tidak diperoleh hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita, karena sebagian besar rumah responden sudah memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat (10% dari luas lantai), namun dari hasil survey ke lapangan pada kenyataan rumah responden sangat pengap dan lembab hal ini disebabkan karena sebagian besar responden tidak pernah membuka jendela rumahnya yang menyebabkan tidak ada sirkulasi udara segar dari luar rumah. Berdasarkan pengalaman/kenyataan di lapangan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan observasi dan wawancara langsung terkait perilaku kebiasan membuka jendela, karena meskipun luas ventilasi memenuhi syarat namun ventilasi esidentil (jendela dan pintu) tidak pernah dibuka maka tetap akan mengakibatkan udara dalam ruangan kotor dan tidak sehat. Hasil penelitian hubungan perilaku membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji statistik Chi-square didapatkan hasil p < 0,05 (p value = 0,007) yang berarti ada hubungan antara kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai OR = 4.636 ini berarti balita di Kelurahan Karsamenak yang tinggal di rumah dengan kondisi jendela rumah tidak pernah dibuka mempunyai risiko sebesar 4.636 kali terkena penyakit ISPA daripada balita yang tinggal di rumah dengan kondisi jendela yang selalu dibuka. Menurut Notoatmojo (2003), rumah yang luas namun ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada dalam rumah tidak dapat keluar (http:// jurnal.Unair.Ac.id/filter pdf/kesling/10/05/2014). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati (2009) di Klaten yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p < 0.005 (0.000) dan OR = 5.125 yang artinya balita yang tinggal dalam rumah dengan kebiasaan tidak membuka jendala memiliki risiko sebesar 5.125 kali terkena ISPA dibanding dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan kebiasaan membuka jendela.
d. kepadatan hunian kamar tidur balita Tabel 4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar Tidur Balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014
No 1 2
Kepadatan hunian kamar tidur balita Padat (< 8 m2 /orang dewasa) Tidak padat (≥ 8 m2/orang dewasa) Jumlah
Kasus f % 32 80
Frekuensi Kontrol f % 9 22,5
8
20
31
77.5
40
100
40
100
Jumlah n % 41 100 38 100 80
100
Tabel 4.21 menerangkan bahwa semua kamar tidur balita masuk dalam kategori padat, yaitu luas kamar < 8m2 di huni lebih dari 1 orang dewasa dan 1 balita. uji statistik Chi-square diperoleh hasil p < 0,05 (p = 0,000) ini berarti ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur balita dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 4.713 ini berarti balita di Kelurahan Karsamenak yang tinggal dengan kepadatan hunian kamar tidur tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 4,713 kali terkena ISPA daripada balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2012) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian kamar tidur balita memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita, dimana didapat nilai p < 0.05 (p = 0.001) dan nilai OR = 2.234 artinya balita yang tinggal dengan kepadatan hunian kamar tidur tidak memenuhi syarat memiliki risiko sebesar 2.234 kali terkena ISPA dari pada balita yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Kepadatan hunian yang tidak baik (<8m2 / dua orang) akan meningkatkan frekuensi kontak kepadatan populasi dan konsentrasi serta kedekatan antara orang yang menjadi sumber penularan dan orang yang rentan diantara populasi serta memudahkan penularan dari organisme-organisme penyebab ISPA (WHO, 2001).
Jumlah penghuni rumah akan sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni kuman penyebab penyakit menular seperti saluran pernafasan. Rumah yang kecil, penghuni banyak, ventilasi yang kurang dan kelembaban tinggi serta kurangnya pengetahuan akan perilaku hidup sehat memudahkan terjadinya penularan penyakit tersebut. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran ( www.depkes.go.id/index.php/berita/pnemonia/11 Juni 2014). Kepadatan hunian kamar tidur merupakan perbandingan luas lantai dalam kamar dengan jumlah individu yang menghuni kamar tersebut. Berdasarkan Kepmenkes RI www.Depkes.No. 829.MENKES/SK/VII/1999 bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang dewasa kecuali anak dibawah umur lima tahun. Gambaran kepadatan hunian kamar tidur di Kelurahan Karsamenak masih banyak yang tidak memenuhi syarat kesehatan dimana satu kamar tidur balita dengan ukuran < 8 m2 digunakan oleh dua orang dewasa dan satu balita. e. jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Yang di Gunakan Untuk Memasak di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014
No 1 2
Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak Kayu bakar, minyak tanah Gas /LPG Jumlah
Kasus f % 11 27,5 29 72,5 40 100
Frekuensi Kontrol f % 6 15 34 85 40 100
Jumlah n % 17 100 63 100 80 100
Tabel 5 menerangkan bahwa jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah sebanyak 17 responden (21,25%) dan yang menggunakan gas/LPG sebanyak 63 responden (78,75%). uji statistik Chi-square diperoleh hasil p > 0,05 (p = 0,274) ini berarti tidak ada hubungan antara jenis bahan bakar yang digunakan dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan responden di Kelurahan Karsamenak sebagian besar sudah menggunakan bahan bakar gas/LPG dalam proses
pengolahan makanan. Hal ini juga didukung dengan kesadaran bahwa bahan bakar gas/LP lebih ramah lingkungan. Penggunaan bahan bakar gas dapat menjamin dapur tetap bersih dan polutan yang dihasilkan oleh pembakaran gas pun jumlahnya lebih sedikit. Selain itu bila dibandingkan dengan minyak tanah dan kayu bakar, daya pemanasan gas lebih cepat/tinggi sehingga proses memasak pun lebih cepat, selain itu juga pada saat pengolahan makanan ibu balita tidak menggendong balitanya, sehingga polusi yang disebabkan dari asap dapur tidak terhirup langsung oleh balita. Bahan bakar rumah tangga adalah bahan bakar yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga
terutama untuk keperluan pengelola adalah han makanan. Bahan
pencemar yang terdapat pada kayu adalah Nitrogen Monoksida (NO) dan Nitrogen Dioksida (NO2). Polusi udara terbentuk dari berbagai macam jenis gas, droplet/percikan ludah dan partikel-partikel yang menyebabkan kualitas udara berkurang sehingga terjadi polusi udara. Gangguan pernafasan pada balta yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah, kayu bakar lebih tinggi dibandingkan rumah yang menggunakan bahan bakar gas elpiji. Hal ini dimungkinkan ibu balita pada saat memasak di dapur menggendong anaknya , sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan didalam rumah juga tergantung pada lamanya orang berada di dapur
atau
ruang
lainnya
yang
telah
terpapar
oleh
bahan
pencemar
(http://www.pdfie.com/deliserdang/12 mei 2014). f. kepemilikan sekat dapur Tabel 6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepemilikan Sekat Dapur di Kelurahan Karsamenak Kecamatan KawaluKota TasikmalayaTahun 2014
No 1
Kepemilikan sekat dapur Ada sekat dapur a.ya b.tidak Jumlah
Kasus f % 27 13 40
67,5 32,5 100
Frekuensi kontrol f % 32 8 40
80 20 100
Jumlah n % 59 21 80
100 100 100
Tabel 6 menunjukkan yang memiliki sekat dapur sebanyak 59 dapur (73,75%) dan yang tidak memiliki sekat dapur sebanyak 21 dapur (26,25%).
Uji statistik Chi-square diperoleh hasil p > 0,05 (p = 0.309) ini berarti tidak ada hubungan antara keberadaan sekat dapur dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar rumah
responden di Kelurahan
Karsamenak sudah memiliki sekat dapur sehingga polusi yang dihasilkan dari dapur tidak menyebar ke bagian ruangan yang lain yang dapat menimbulkan polusi udara di dalam rumah. Keberadaan asap dalam rumah dapat menjadikan dampak kesehatan terhadap kesehatan manusia terutama penghuni di dalam rumah tersebut. Letak dapur yang menyatu dengan rumah induk tanpa adanya sekat merupakan salah satu penyebab meningkatnya cemaran/polusi dalam rumah. Cemaran/polusi dalam rumah ini apabila terjadi secara terus-menerus dapat mengakibatkan penghuni rumah juga terpapar terusmenerus,
yang
akhirnya
dapat
mengakibatkan
penyakit
pernafasan/ISPA
(http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/18/10/2013). g. lokasi/letak dapur Tabel 7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan letak Dapur di Kelurahan Karsamenak Kecamatan KawaluKota Tasikmalaya Tahun 2014
No
Letak dapur f
1 2
Didalam rumah/menyatu dengan rumah Diluar rumah/terpisah dengan rumah Jumlah
Kasus %
Frekuensi Kontrol f %
35
87,5
36
90
5
12,5
4
40
100
40
Jumlah n % 71
100
10
9
100
100
80
100
Tabel 7 menunjukkan bahwa dapur yang terletak di dalam rumah sebanyak 71 (88,75%) dan yang terletak diluar berjumlah 9 (11,25%). uji statistik Chi-square diperoleh hasil p > 0,05 (p = 1.000) ini berarti tidak ada hubungan antara lokasi/letak dapur dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Karsamenak Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Hasil penelitian di lapangan rumah responden sebagian besar memiliki dapur yang terletak di dalam rumah/menyatu dengan rumah. Namun demikian rumah
responden sudah memiliki sekat dapur yang dapat mencegah meluasnya polusi asap dapur menyebar ke dalam ruangan lain, dan sebagian besar responden di Kelurahan Karsamenak sudah menggunakan bahan bakar dengan gas/LPG yang lebih ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan asp/polusi yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita. Selain itu ibu balita tidak membawa balita masuk ke dalam dapur disaat proses pengolahan makanan/memasak. h. rekapitulasi hasil Uji Chi-square Tabel 9 Rekapitulasi Hasil Uji Chi-Square Dengan Derajat Kepercayaan 95% N o
Variabel bebas
1 2 3
Jenis dinding Jenis lantai Ventilasi rumah
4
6
Kepadatan hunian kamar tidur balita Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak Kepemilikan sekat dapur
7
Lokasi/letak dapur
8
Kebiasan jendela
5
membuka
Variabel terikat
Kejadian ISPA pada balita
P value
OR
Keterangan
0.004 0.004
4.265 3.889
0.264
1.889
Ada hubungan Ada hubungan Tidak ada hubungan
0.000
13.77 8
Ada hubungan
0.172
2.149
Tidak ada hubungan
0.204
1.926
0.723
0,.78
0.007
4.636
Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan Ada hubungan
SIMPULAN Kondisi lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat 32,5%, jenis lantai yang tidak memenuhi syarat 53,75%, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat 20%, kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat 51,2%, jenis bahan bakar yang tidak memenuhi syarat 21,25%, sekat dapur yang tidak memenuhi syarat 26,25% dan lokasi dapur 88,75% berada di dalam rumah dan 11,5% berada di luar rumah.
Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0.009, jenis lantai dengan nilai p = 0.007, kepadatan hunian kamar tidur balita dengan nilai p = 0.000.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan nilai p = 0.402, bahan bakar yang digunakan untuk memasak dengan nilai p = 0.274, kepemilikan sekat dapur dengan nilai p = 0.309, dan lokasi/letak dapur dengan nilai p = 1.000.
SARAN 1.
Bagi puskesmas Kawalu Meningkatkan pengetahuan masyarakat dibidang kesehatan lingkungan, khususnya tentang sanitasi rumah dan pola hidup sehat guna mengendalikan faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA, dengan cara penyuluhan atau peningkatan pengetahuan masyarakat oleh tenaga kesehatan Puskesmas dengan di bentuknya kader kesehatan lingkungan disetiap Posyandu serta adanya pembinaan dan pelatihan kader kesehatan lingkungan tersebut disetiap posyandu.
2.
Bagi masyarakat a. Diupayakan agar dapat memperhatikan lantai dan dinding agar tidak lagi menjadi sarana perkembangbiakan kuman. b. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni oleh lebih dua orang dewasa apabila luas kamar terlalu sempit, agar kamar yang seharusnya menjadi tempat beristirahat justru bisa menjadi penyebab terjangkitnya suatu penyakit penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Angelina Candra Dewi. 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 852 – 860. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang. (Online) di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm (18 Oktober 2013). Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, 2012. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya, 2012.
Laporan Program P2 ISPA Dinas Kesehatan
Juli Soemirat Slamet. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Keman Soedjajadi, 2009 kesehatan lingkungan pemukiman, fakultas kesehatan masyarakat universitas airlangga, surabaya (online) tersedia http://journal.Unair.Ac.id/filter pdf/kesling/10/05/2014).
Nurhidayati.2009. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerjanpuskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (online) di http:// jurnal.stiklesmukla.ac.id/index.php/motorik/article/download/45 (12 Juni 2014). Oktaviani, Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan fisik Rumah dengan Penakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pangandaran kabupaten Ciamis, 2011. . Puskesmas Kawalu Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Laporan Tahunan Program ISPA Tahun 2012 Dan Tahun 2013. 2013. Puskesmas Kawalu Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya. Laporan Bulanan Program P2 ISPA puskesmas Kawalu. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, 2013. 2013. Nurmini,2005.faktor-faktor kesehatan lingkungan perumahanyang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di perumahan nasional (perumnas) mandalakecamatan percut sei tuan,kabupaten deliserdang (online) di
(http://www.pdfie.com/deliserdang/12 mei 2014). Yunita, 2008. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Surabaya (online) tersedia : (http://garuda.dikti.go.id/jurnal 15 mei 2014).