Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
305
Laboratory
The Comparison of S100 A8/A9 Protein Receptor Expression between Progressive and Non-Progressive Pterygium Cerah Puspinarti*, Elza Iskandar*, Riani Erna*, Wresnindyatsih**, Erial Bahar*** * Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Sriwijaya University Mohammad Hoesin Hospital, Palembang, South Sumatera ** Department of Anatomical Pathology, Facullty of Medicine, Sriwijaya University Mohammad Hoesin Hospital, Palembang, South Sumatera *** Department of Anatomy, Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang, South Sumatera
ABSTRACT Background: S100 A8/A9 protein suggest have an activity at inlammation pathway caused ibroblast proliferation which is support the patoisiology teori of pterygium. Methods: This research is a cross sectional study consists of 21 subject who suffered primary nasal or temporal pterygium. All subject divided into 2 grup, progressive dan non progressive pterygium with this following criteria: length of pterygium at the cornea, diameter ilots de Fuch, thickness of corpus compare with apex dan hiperemia of pterygium. The tissue of pterygium after excised were examined through histopatology and immunohistochemical with HE and reagent Mab 27E10 staining to see S100 A8/A9 protein reseptor expression. And than we calculate between staining cell and intencity of the brown-colour of reseptor that call staining Index to see the trend to proggressive pterygium. Results: From 21 subject of study, amount of 11 subject (52.38%) progressive pterygium and 10 subject non progressive pterygium (47.62%). We found S100 A8/A9 protein reseptor expression at proggressive group were higher than non progressive group. Cut off point in staining index is 25 that show the pterygium has trend to be proggresive at that point or more. Histopatology examination there are strong correlation progresiity pterygium with squamous epithel prolifertion, cell inlamation, and vascular proliferation. Conclusion: There is a signiicant differentiate in S100 A8/A9 protein receptor expression between progressive and non progressive pterygium. Keywords: S100 A8/A9 protein, progressive pterygium, immunohistochemical
Pterygium adalah lesi permukaan mata yang berbentuk sayap yang meluas dari konjungtiva bulbi yang masuk ke kornea. Pterygium adalah penyakit permukaan mata yang menyerang populasi manusia di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan subtropis yang banyak paparan cahaya matahari. Menurut Riset Kesehatan dasar tahun 2007 yang dilakukan oleh Kementrian
Kesehatan RI prevalensi pterygium di Sumatera Selatan 1,3% untuk dua mata dan 0,6% untuk satu mata.1-8 Berdasarkan beberapa teori tentang patoisiologi pterygium seperti radiasi sinar ultraviolet dan mekanisme imunologis menjelaskan bahwa dasar terjadinya pterygium dimulai dari
306
proses inlamasi. Inlamasi yang timbul akibat paparan sinar matahari dipicu oleh sitokin yang akan mengeluarkan interleukin, interferon dan TNF-α sehingga terjadi proses inlamasi beserta proses proliferasi dan migrasi serta invasi sel yang membentuk ibrosis. Di sisi lain reaksi inlamasi ini juga diduga dapat disebabkan oleh reaksi imun non spesiik yang di ekspresikan oleh neutrophil. Pada pemeriksaan secara imunohistokimia jaringan pterygium kemudian ditemukan beberapa ekspresi gen dan protein yang menyertai dan mengalami peningkatan, diantaranya gen p53 dan S100. Ekspresi protein S100 memiliki heterodimer S100 A8/ A9 yang menandai adanya suatu peradangan. Peranan protein ini dapat bersifat regulasi sebagai hasil dari produk peradangan atau merupakan penghambat dari peradangan itu sendiri. Beberapa penelitian berusaha untuk mengungkapkan hal ini.5,10-19 Suatu penelitian oleh Daya P (2010) yang menunjukkan adanya peningkatan ekspresi S100 A8/A9 pada pemeriksaan imunohistokimia jaringan pterygium pada murine yang dipicu radiasi sinar UVB. S100A8/A9 ini merupakan komponen dari neutrophil yang membentuk protein calcium binding yang berhubungan dengan reaksi inlamasi. Zhou et al (2009) pada sebuah penelitian mencari peningkatan ekspressi S100 A8/A9 pada cairan air mata penderita pterygium. Kesimpulan yang didapat adalah peningkatan protein S100 A8/A9 ini mengindikasikan bahwa protein ini mengambil peranan berupa respon pada permukaan mata untuk terbentuknya jaringan ibrovaskular atau menyertai peradangan. Protein ini juga diduga merupakan indikator untuk memperkirakan terjadinya kekambuhan. Pada pterygium, sel-sel konjungtiva mengalami kerusakan akibat terjadinya proliferasi yang tidak terkontrol, hal ini akan memicu terbentuknya pterygium. Semakin besar kerusakan di tingkat seluler konjungtiva, akan semakin berat pula proliferasi sel epithel konjungtiva yang dihasilkan. Diperkirakan ekspressi S100 A8/A9 pada pterygium yang progresif ini meningkat sehubungan dengan banyaknya peradangan. Proses peradangan yang mengekspresi S100 A8/A9 pada pterygium yang progresif inilah yang ingin diteliti pada penelitian ini.1,15, 20-24
Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
MATERIAL DAN METODE Pterygium Pterigium memiliki karakteristik berupa kondisi pelebaran serta penebalan jaringan konjungtiva bulbi pada area interpalpebra berbentuk seperti sayap yang melewati limbus kornea mengarah pada pupil. Pada penelitian ini menggunakan kriteria Youngson yang membagi pterigium menjadi 4 tingkatan. Pterygium yang dieksisi adalah yang memiliki grading dua atau lebih. Penentuan progresif dan non-progresif dengan menggunakan skor menurut pengukuran klinis objektif dengan menggunakan lampu celah mikroskop. Penilaian didapat berdasarkan ukuran pterygium pada kornea, diameter ilot de Fuch, tebal korpus dan warna pterygium. Adapun pembagian skornya terdapat pada Tabel 1. Jumlah skor sama dengan atau lebih dari 7 maka akan dimasukkan dalam grup pterygium progresif. Tabel 1. Penilaian progresivitas pterygium Kriteria Ukuran pterygium pada kornea Pengukuran mengguna-kan slit lamp. Pterygium diukur dari limbus sampai batas ujung pterygium di kornea. Diameter Ilot de Fuch Ukuran diameter Ilot de Fuch adalah ukuran diameter Ilot de Fuch dibandingkan dengan ukuran diameter apeks pterygium dengan menggunakan slit lamp. Tebal korpus Ukuran ketebalan korpus pterygium dibandingkan dengan tebal apeks pterygium. Warna pterygium Penampilan warna pterygium untuk menilai hiperemis suatu pterygium yang menandai suatu peradangan. Warna hiperemis ini dinilai dengan membandingkan warna pterygium dengan warna konjungtiva di sekitarnya
Ukuran
Skor
<2,5 mm ±2,5 mm >2,5 mm
1 2 3
< O apeks ± O apeks > O apeks
1 2 3
< tebal apeks ± tebal apeks > tebal apeks
1 2 3
Hampir sama Pterygium lebih hiperemis Pterygium hiperemis hebat
1 2 3
Prosedur Pengambilan Sampel dan Jaringan Pterygium Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling (berurutan). Setelah pasien bersedia ikut serta
Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
dalam penelitian dan menandatangani lembaran persetujuan tindakan maka dilakukan tindakan eksisi terhadap jaringan pterygium sesuai dengan Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang.25 Jaringan pterygium kemudian diiksasi dengan cairan formalin buffer 10% dan dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi. Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia memakai prosedur pemeriksaan sampel pada Laboratorium Patologi Anatomi RSMH Palembang. Pemeriksaan histopatologi dengan membuat blok parain pada jaringan dan kemudian dipotong dengan menggunakan microtome setebal 3 µm. Kemudian dilakukan proses pulasan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosin. Pada pemeriksaan imuno-histokimia blok jaringan dipotong setebal 4 µ. Penelitian ini menggunakan antibodi primer S100 A8/A9 (mAb 27E10) merk Hycult Biotech yang diencerkan 1:500 pada proses pulasan imunohistokimia untuk melihat reseptor S100 A8/A9. Seluruh preparat di periksa dengan menggunakan mikroskop Olympus BX51. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan 21 subjek penelitian. Kami akan melakukan penghitungan masing-masing pada ke dua grup antara pewarnaan sel dan intensitas warna coklat pada reseptor sel yang terpulas. Kemudian penghitungan tersebut akan menghasilkan indeks pewarnaan yang dapat menentukan kecendrungan progresivitas suatu pterygium berdasarkan cut off point. HASIL Penelitian ini mendapatkan 21 sampel yang terdiri atas 11 sampel (52,38%) pterygium progresif dan 10 sampel pterygium non progresif (47,62%). Berdasarkan sistem skoring pterygium yang dibagi menjadi 2 grup. Skore dibawah tujuh dimasukkan ke dalam group non-progresif, sedangkan skor di atas atau sama dengan 7 dikatergorikan progresif. Hal yang dinilai pada pemeriksaan histopatologi menyangkut jumlah lapisan sel squamous, jumlah sel goblet, jaringan vaskular serta sebaran sel radang; dan didapatkan sejumlah peningkatan
307
pada pterygium progresif. Pada kelompok pterygium yang progresif jumlah lapisan epitel squamous, jaringan vaskular dan sebaran sel radang lebih meningkat secara bermakna dibandingkan dari kelompok non progresif. Pada jumlah sel goblet tidak ditemukan perbedaan yang bermakna diantara ke dua grup. Pada salah satu sampel ditemukan adanya sel displasia. Tentu hal ini menjadi pertimbangan untuk menguatkan teori bahwa pterygium memiliki kecenderungan menjadi bersifat neoplastik.6
Gambar 1. Sel displasia
Pemeriksaan imunohistokimia yang dilakukan untuk mendapatkan ekspresi reseptor dari protein S100 A8/A9 dengan menggunakan reagent Mab 27E10 untuk mencari sel yang terpulas pada reseptornya. Sel tersebut meliputi netroil dan macrophage. Ekspresi rata-rata reseptor protein S100 A8/A9 pada seluruh pterygium adalah 27,9±13,37 (standar deviasi). Baik jumlah netroil maupun makrofag yang terpulas ditemukan meningkat pada kelompok pterygium yang progresif dibanding-kan dengan non-progresif. Sementara itu jumlah netroil ditemukan lebih banyak yang terpulas dibandingkan jumlah macrophage yang terpulas. Jumlah rata-rata neutroil pada pterygium nonprogresif adalah 11,50±6,9, sedangkan pterygium progresif adalah 23,64±7,10. Jumlah makrofag pada pterygium non-progresif adalah 5,80±2,3, sedangkan pterygium progresif adalah 12,73± 6,06. Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan adanya hubungan korelasi positif yang kuat antara jumlah sel yang terpulas dengan tingkat progresiitas (r=0,784). Ini berarti makin progresif suatu pterygium makin tinggi ekspresi
308
Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
reseptor S100 A8/A9. Kemudian dilakukan penghitungan indeks pewarnaan yang merupakan perkalian antara ekspresi reseptor protein dengan intensitas pewarnaan. Kemudian dilakukan perbandingan antara kelompok non progresif dan progresif. Terdapat perbedaan yang signiikan pada kelompok progresif yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non progresif, p=0,01. Nilai rata-rata indeks pewarnaan meningkat pada pterygium yang progresif. Indeks pewarnaan pada pterygium non progresif adalah 29,10±19,10, sedangkan pterygium progresif adalah 70,00± 44,27. Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan adanya hubungan korelasi positif yang kuat antara Indeks pewarnaan dengan score pterygium (r=0,6).
Gambar 2. Sel netroil yang terpulas (panah merah) dan sel makrofag (panah biru)
Serangkaian penghitungan kemudian dilakukan untuk membuat validitas pterygium. Pertama kali dilakukan adalah dengan mencari cut off point berdasarkan koordinate sensitiitas dan spesiisitas yang dihitung menggunakan kurva ROC dengan membandingkan indeks pewarnaan dengan progresiitas. Didapatkan hasil cut off point adalah 25 indeks pewarnaan. Maka kemudian dibuatlah crosstabulation (tabulasi silang) untuk melihat validitas dari suatu pterygium. Validitas pterygium dengan sensitiitas 10/11 didapat hasil 90,9%. Sementara spesiitas 7/10 adalah 70%. Tabel 2. Subjek penelitian berdasarkan cut off point Indeks Warna ≥25 <25 Total
Progresif 10 1 11
Non-Progresif 3 7 10
Total 13 8 21
DISKUSI Dasar patoisiologi terjadinya pterygium masih belum bisa dijelaskan, namun dicurigai sinar UV menjadi pemicu berbagai mutasi genetik karena beberapa agen yang bersifat mutagenik. Agen ini menganggu proses regulasi proliferasi sel melalui jalur stres oksidatif reduktase dan aktivasi epitelial reseptor, sehingga terjadi beberapa proses peningkatan kerja seperti growth factor yang menyebabkan terjadinya proliferasi. Proliferasi ini yang menyebabkan angiogenesis pada vaskuler dan hiperplasia epitel pada pterygium. Sitokin yang juga merupakan komponen inlamasi menjadi meningkat kerjanya menyebabkan dikeluarkannya zat-zat proinlamasi serta mengundang selsel lain sehingga proliferasi bertambah banyak. Proses ini terjadi berulang-ulang, bertambah banyak seiring adanya faktor predisposisi. Pada pterygium, hal ini terjadi pada ibrolas yang kemudian menjadi ibrosis kemudian hal ini juga memicu terjadinya angiogenesis sehingga terbentuk jaringan ibrovaskular yang menjadi pterygium. Hal ini mengkonirmasi adanya korelasi yang kuat adanya peningkatan jumlah sel yang terpulas dengan progresivitas pterygium. Semakin banyak peradangan semakin banyak sel yang terpulas karena proses yang terus menerus menjadi semakin progresif suatu pterygium.1,15 Proses ini juga mengkonirmasi proliferasi vaskuler dan hiperplasia epitel yang meningkat pada pterygium progresif. Pada skema yang dibuat oleh Hovanesian sebenarnya ada peranan inaktivasi p53 karena kerusakan DNA, sehingga mengganggu mekanisme antiapoptosis dan menyebabkan banyaknya sel abnormal berproliferasi sehingga terjadi hiperplasia sel. Hal ini juga diduga menjadi dasar terjadinya hiperplasia epitel pada pterygium progresif. Di sisi lain, kerusakan DNA juga dapat terjadi pada tataran genetik. Tentunya hal ini dapat menjadi mutasi yang dapat saja cenderung menjadi ganas.1,7,15 Sel yang terpulas sebenarnya adalah reseptornya yang berada dalam membran sel terpulas oleh reagent untuk protein S100 A8/A9. Reseptor protein S100 A8/A9 diduga adalah RAGE atau TLR4 yang bersifat eksekutor. Artinya, makin banyak ligan atau protein, makin banyak reseptor. Penelitian ini juga membahas
Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
pewarnaan pada reseptor sel yang terpulas. Skor pewarnaan yang dikalikan dengan sel yang terpulas ini kemudian menjadi indeks pewarnaan. Korelasi antara indeks pewarnaan dengan progresiitas menunjukkan korelasi yang kuat.4-7 Penghitungan dengan indeks pewarnaan yang dihubungkan dengan skor pterygium juga menunjukkan perbedaan yang signiikan (p<0,05). Didapatkan bahwa indeks pewarnaan pada pterygium progresif lebih tinggi daripada non-progresif. Uji korelasi juga menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat. Sehingga makin tinggi indeks pewarnaan maka makin besar skor pterygium. Makin besar skor pterygium maka makin progresif suatu pterygium. Sel yang terpulas pada penelitian ini lebih banyak ditemukan pada daerah yang superisial. Hal ini seperti ditemukan pada penelitian oleh Papalkar ditemukan sel yang banyak terpulas pada superisial kemudian sedikit di daerah intermediate dan sedikit sekali pada daerah struma.4 Pewarnaan juga hampir sama ditemukan dari lemah sampai sedang. Namun pada penelitian oleh Papalkar tidak membandingkan antara jenis-jenis pterygium, penelitian tersebut hanya menemukan adanya peningkatan ekspresi protein S100 A8/A9 yang ditemukan pada netroil. Pada penelitian ini ditemukan ekspressi reseptor yang banyak pada netroil dibanding pada macrophage. Sama hasilnya seperti yang ditemukan pada penelitian Papalkar.4-5 Penelitian yang dilakukan oleh Indrakila pernah membandingkan antara ekspresi protein p53 pada pterygium progresif dan non progresif. Ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara kedua jenis pterygium ini. Apabila hal ini dapat menjadi acuan berdasarkan patogenesis, maka dapat ditarik suatu garis bahwa ekspresis p53 memicu pterygium melalui jalur anti-apoptosis, sedangkan ekspresi protein S100 A8/A9 melalui jalur inlamasi dan keduanya ditemukan hasil yang meningkat pada pterygium progresif. Farida meneliti tentang adanya polimorisme promoter Gen bFGF pada penderita pterygium. Penelitian ini mendapati bahwa Alel mutan A yang meningkatkan kerentanan seseorang untuk menderita pterygium ditemukan meningkat dibanding orang normal. Ekspresi Protein S100 A8/A9 yang ditemukan meningkat pada pterygium progresif setidaknya
309
bisa menguatkan teori bahwa pterygium memiliki patogenesis inlamasi. Uji validitas dilakukan pada penelitian ini untuk mengukur sensitiitas dan spesiisitas ekspresi reseptor S100 A8/A9 ini terhadap progresiitas pterygium. Didapatlah cutt off point pada titik indeks pewarnaan 25. Artinya apabila ada jaringan pterygium dengan hasil Imunohistokimia 25 sel yang terpulas dengan intensitas lemah sekalipun maka nilai ramal positif untuk pterygium ini menjadi progresif adalah sebesar 76,9%. Dengan nilai sensitiitas sebesar 90,9% dan spesiisitas sebesar 70%. KESIMPULAN Terdapat perbedaan yang cukup signiikan antara ekspresi protein S100 A8/A9 pada pterygium progresif dibandingkan dengan non-progresif. REFERENSI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
10. 11. 12. 13.
14.
Hovanesian J. Pterygium techniques and technologies for surgical succces. Slack Incorporated 2012. Tasman, W. Jaeger, E A. Pathology of the Eye. Duane’s Ophthalmology. Lippincott William & Wilkins 2007:8 Ibrahim. Penilaian Progresiitas Pterygium Berdasarkan Pemeriksaan Kilnis dab Laboratoris. Bagian IK Mata FK Unsri/RSMH Palembang. 1998 Erry, et al. Distribusi dan Karakteristik Pterygium di Indonesia. BPPK. Menkes. Percetakan Negara Daya Papalkar. Inlamation associated S100 protein in pterygium, tears, and uv irradiated murine corneas. Faculty of Medicine. University of New South Wales. 2010. Khurana AK. Degenerative condition. In: Comprehensive ophthalmology. Fourth edition. New Age International Publisher. New Delhi 2007;80-2 Gebhardt C, et al. RAGE signaling sustains inlammation and promotes tumor development. 2008. J Exp Med 205:275-85. Ando, R. Et al. Tissue factor expression in human pterygium. Mol Vis. 2011 Jan 8;17:63-9. Kanski JJ. Pterygium. In: Clinical ophthalmology a systematic approach. Chapter 4. Butterworth Heinemann Elsevier:2007;242-5 Lin, Mol Vis 2013; 19:166-173. Serial Online. [Hiperlink] Available at. http://www.molvis.org/molvis/v19/166/mvv19-166-f1.html Dzunic, B. Et al. Analysis of pathohistological characteristics of pterygium. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences 2010; 10 (4): 307-313 Karnen, G. Imunologi Dasar. FKUI. 2001:42 Chui J, Coroneo Minas. Ophthalmic pterygium: a stem cell disorder with premalignant features. The American Journal of Pathology. 2011:178(2):817-827 M T Coroneo. Pterygium as an early indicator of ultraviolet insolation: a hypothesis. British Journal of Ophthalmology. 1993;77:734-739
310
15. Detorakis E, Spandidos. Pathogenic mechanism and treatment option for ophthalmic pterygium: trends and perspective. International Journal of Molecular Medicine . 2009;23:439-447 16. Skuta GL, Cantor B, Weiss JS, et al. Surgery of the ocular surface. In: External eye disease. San Fransisco. 2012:sec 8;chapter 14; 391-3. 17. Skolnick C. Management of pterygium. Sec 2. Conjunctival surgery, p.1745-1761. 18. Tradjutrisno. Pterygium: degeneration, exuberant wound healing or benign neoplasm?. Universa Medicina; 2009;28(3);179-187. 19. Markowitz, J.Carson, WE. Review of S100 A9 Biology and Its Role in Cancer. Biochimica et Biophysica Acta .2013: 1835 :100-9 20. Nemeth, J. Angel, P. Hess, J. Dual Role of S100 A8 and A9 in Inlammation-Associated Cancer. Anti-Inlammatory & Anti-Allergy in Medicinal Chemistry. 2009:8:329-336
Ophthalmol Ina 2015;41(3):305-310
21. Dougan, M. Dranoff, G. Inciting Inlammation: The RAGE about Tumor Promotion. JEM. 2008:205:267-270 22. Robinson, M. et al. The S100 Family Heterodimer, MRP8/14, Binds with High Afinity to Heparin and Heparan Sulfate Glycosaminoglycans on Endothelial Cells. The Journal of Biological Chemistry 2002;277(5):p. 3658–3665 23. Nakatani, Y. et al. Regulation of S100A8/A9 (Calprotectin) Binding to Tumor Cells by Zinc Ion and Its Implication for Apoptosis-Inducing Activity. Mediators of Inlammation. 2005:5:p.280-292 24. Jharmarwala, M. Jhaveri, R. Pterygium: A New Surgical Technique. Journal of the Bombay Ophthalmologists’ Association. 2001:11:4 25. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan mata. RS. Dr. M. Hoesin Palembang 2006:120-1