Catatan Akhir Tahun 2003
Situasi Pangan Rakyat Indonesia 2003 dan Tantangan 2004 Oleh
Sekretariat Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
A. Review Situasi Pangan Indonesia 2003
S
ama seperti tahun tahun sebelumnya, pada tahun 2003 situasi pangan rakyat Indonesia belum menunjukkan tanda tanda untuk bangkit dari keterpurukan. Upaya upaya pemerintah untuk menjalankan amanat GBHN 19992004 dalam “pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisis dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani”, belum menujukkan hasil yang siqnifikan. Yang terjadi justru situasi kemadekan dan keterjebakan pangan pada arus liberalisasi perdagangan global. Amanat GBHN untuk lebih mengutamakan keragaman sumberdaya pangan, institusi dan budaya lokal sebagai basis ketahanan pangan nasional justru dijawab dengan fakta peningkatan impor komoditas pangan, yang berarti peningkatan ketergantungan pangan dari negara lain. Sementara itu peningkatan kesejahteraan petani, yang secara eksplisit ditegaskan GBHN pun, tidak menunjukkan tanda tanda yang menggembirakan. Seperti sebuah siklus yang berulang, pada musim tanam tahun 2003 ini petani kembali mengalami kenyataan jatuhnya harga harga produk pertanian domestik akibat serbuan komoditas pangan impor.
Awal tahun 2003 situasi pangan Indonesia dan pertanian pada umumnya menghadapi situasi yang sangat sulit, terutama para petani sebagai aktor utama produksi pangan. Dalam batas tertentu situasi iklim yang ekstrem, menimbulkan berbagai banjir dan kekeringan di beberapa wilayah produksi pangan penting di tanah air. Namun jika dirunut kejadian serupa di tahun sebelumnya, situasi ini berawal dari ketidakpekaan dan ketidakmampuan pemerintah untuk belajar dari pengalaman sebelumnya. Kelalaian dalam mengelola alam dan lingkungan mengakibatkan tingkat bencana alam menjadi berdampak lebih besar. Situasi ini ditunjukkan dengan fakta keterlambatan pengairan bagi 142.941 hektar sawah atau 42 % sawah di Pantura, pada awal tahun 2003 ini (Kompas, 10 Pebruari 2003). Di Karawang, salah satu sentra produksi padi utama di Pantura dilaporkan seluas 35.305 hektar sawah mengalami kemunduran tanam selama 2 bulan, dan hampir 15.000 hektar tidak bisa menanam pada musim berikutnya karena kekurangan air (Investigasi Forum Petani Karawang, 2003). Seperti tahun sebelumnya, di tahun 2003 ini isu impor pangan menjadi perdebatan yang serius, terutama impor beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar 210 juta penduduk Indonesia. pada tahun 2001 dan 2002 impor beras Indonesia masih sangat tinggi sekaligus menduduki rangking pertama di dunia yaitu sebesar 3,5 juta ton. Dan sampai bulan Pebruari 2003 impor telah mencapai 3,25 juta ton (www.riceonline.com). Hal ini menujukkan bahwa pemerintah sangat longgar dalam menetapkan kebijakan impor beras, dimana arus impor beras sedemikian deras, sementara tidak ada satupun argumen yang meyakinkan untuk mengharuskan impor beras dibuka sedemikian lebarnya. Berbagai kritik dari kalangan masyarakat sipil baik akademisi dan organisasi non pemerintah atas kebijakan impor beras ini tidak membuat pemerintah merubah kebijakan yang terbukti merugikan petani tersebut. Tidak hanya beras, namun juga benih padi. Perdebatan tentang impor benih padi hibrida dari Cina sungguh sebuah berita yang mengejutkan berbagai pihak. Sebuah berita di Harian Kompas yang berjudul “Perlu Insentif untuk Padi Hibrida”(Kompas 8 Pebruari 2003). Kebutuhan benih padi Indonesia dikatakan sebesar “150.000 ton”, dan sekitar 100.000 ton disediakan oleh PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, sehingga “masih ada” peluang investasi benih padi hingga 50.000 ton hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Benih Indonesia (Asbenindo). Hal tersebut mencuat ketika ada rencana impor benih sebesar 200 ton oleh PT Bangun Pusaka, yang didukung oleh pernyataan pejabat terkait, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dengan menyatakan bahwa “impor padi yang biasa dilakukan adalah impor benih induk”(Kompas 7 Pebruari 2003). Jika melakukan kalkulasi data yang ada dimana menurut data FAOSTAT luas areal panen padi Indonesia adalah 11,64 juta hektar, dan apabila kebutuhan rata rata benih padi adalah 25
1
kg perhektar maka kebutuhan benih minimal menjadi 291.000 ton. Bahkan FAOSTAT mencatat kebutuhan benih padi Indonesia adalah 450.000 ton yang berarti tiga kali lebih besar dari yang dinyatakan oleh Asbenindo. Artinya, hal ini menujukkan bahwa para petani kita pun telah berperan besar dalam memenuhi kebutuhan benih secara mandiri, melalui inisiatif mandiri dan pertukaran antar petani dalam memenuhi kebutuhan benih secara nasional, yaitu sebesar 350.000 ton (77% dari kebutuhan), bila benar maka hanya 100.000 ton saja yang dicukupi oleh perusahaan resmi. Oleh karena itu maka keputusan untuk membuka peluang impor benih padi dari Cina adalah sebuah keputusan yang patut dicurigai dan amat tidak berdasar, karena justru akan memperberat ketergantungan petani pada benih impor. Dari sisi kebijakan pangan nasional, maka tahun 2003 adalah sebuah tahun kesaksian dimana pemerintah benar benar melepaskan petani pangan Indonesia yang mayoritas berlahan sempit dalam pertarungan perdagangan pangan global. Setelah pencabutan berbagai subsidi oleh Rezim “Reformasi” mulai tahun 1998, penurunan tarif impor dan pengurangan peran Bulog dalam impor pangan, kini Bulog tidak hanya dikurangi perannya namun diubah fungsinya menjadi perusahaan umum (perum) dengan menjalankan fungsi sebagai layaknya bisnis murni. Keputusan ini sangat kontroversial, karena dilakukan ditengah keterpurukan harga pangan domestik akibat serbuan pangan impor. Namun demikian pada 10 Mei 2003 semua perdebatan sudah berakhir dan BULOG secara resmi telah diubah statusnya menjadi Perum Pangan berdasarkan PP No 7 tahun 2003. Dalam fungsinya yang baru maka Bulog akan melakukan impor atas dasar permintaan dalam negeri dan hitung hitungan keuntungan. Walaupun banyak dibantah oleh pejabat di Bulog bahwa Bulog masih akan menjalankan peran sosial dalam memberikan stok pangan untuk hajat hidup orang banyak, namun kenyataan membuktikan lain. Beberapa bulan setelah “ganti baju” menjadi Perum, Bulog terlibat dalam imbal dagang produk pangan dengan Pesawat Sukhoi produk Russia. Argumen yang dikembangkan adalah soal “keuntungan” yang didapatkan dari imbal dangang tersebut. Hal ini menegaskan bahwa apapun akan dilakukan Bulog sepanjang proses tersebut”menguntungkan” secara hitungan bisnis. Lalu dimana peran sosial yang dijanjikan ? Bagaimana dengan impor beras menghantam harga produk padi domestik ? Adakah sesuatu, paling tidak sampai akhir tahun, yang telah Bulog lakukan ? Tanpa harus menununggu terlalu lama, pada tahun 2003 ini telah terbukti bahwa bisnis pangan ala Bulog telah menjadi lahan menangguk keuntungan berlebihan bagi para pelaku bisnis besar tanpa mempedulikan nasib rakyat banyak. Pemerintahan Megawati Sukarnoputri melanjutkan tradisi ritual kebijakan seperti pemerintahan, yang selalu ingin menyenangkan hati petani sehabis anjloknya harga gabah pada panen raya yaitudengan mengeluarkan Inpres Nomor 9 tahun 2003 tentang harga dasar atau tepatnya kebijakan referensi harga pembelian pemerintah (HPP) kepada petani. Namun sama dengan Inpres sebelumnya tentang hal yang sama, persyaratan teknis tidak mengalami perubahan seperti kadar air maksimum 14 %, butir hijau 5 %, dan seterusnya. Harga pembelian Perum Bulog dinaikkan Rp. 1519 perkilogram menjadi Rp. 1575 perkilogram untuk gabah dan dari Rp. 2.470 perkilogram menjadi Rp. 2750 perkilogram. Namun demikian menjadi suatu hal yang serius ketika media massa memberitakan bahwa harga gabah di berbagai tempat jatuh, sampai dibawah Rp. 1000 perkilogram. Lagi lagi perdebatan klasik soal harga dasar kembali muncul dengan suatu pertanyaan “seberapa efektif kebijakan harga dasar mampu meningkatkan kesejahteraan petani?”Pemerintah tidak berubah dalam carapandangnya dengan membuat kebijakan harga terpisah dari kebijakan pangan secara keseluruhan. Dalam hal ini kebijakan harga dilihat sebagai satu satunya instrumen untuk menolong petani, sementara dalam Inpres 9/2003 tidak memuat soal sistem penunjang maupun pendukung untuk tercapainya harga pembelian pemerintah (HPP), tidak ada kebijakan untuk menjaga paritas harga antara harga beras domestik dengan harga beras internasional. Secara inti adalah tidak ada visi yang intergral dalam kebijakan pangan secara umum, semua sepotong sepotong tergantung momentum politis yang tepat untuk menyelamatkan muka pemerintah berkuasa semata. Berbagai kebijakan dan program pemerintah dalam persoalan pangan banyak dikembangkan di tahun 2003 sebagai tindak lanjut ataupun inisiatif baru. Kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan Nasional yang secara politis seharusnya kuat karena langsung dibawah Presiden, ternyata juga terjebak dalam kerumitan birokrasi yang bersifat sangat sektoral. Dalam implementasinya, peranan lembaga ini dikelola oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan yang berlevel setingkat Dirjen di bawah Departemen Pertanian, yang sangat terbatas kewenagannya. Mekanisme koordinasi dalam tatanan birokrasi yang rumit dan sektoral menjadi hambatan struktural dalam melakukan inovasi dan perubahan yang lebih maju dalam mengatasi persoalan pangan di Indonesia. Kasus perdebatan soal data impor beras yang berbeda antara Bea Cukai, Deptan dan Rice Trader pada tahun 2002 terulang kembali dalam bentuk yang lain pada tahun 2003. Pertentangan kasus regulasi impor beras dan gula antara Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, semakin memperjelas
2
betapa yang terjadi bukan hanya ketidaksamaan visi dalam Kabinet, namun semakin memperjelas ego-sektoral diantara dua jajaran departemen untuk melindungi kepentingan departemennya. Masyarakat bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang terjadi dalam sistem pengambilan keputusan (baca: pertentangan kepentingan) di antara pejabat negara kita? Terlalu naif jika ada yang menganggap bahwa hal itu hanya merupakan dinamika demokrasi atau sebagai konsekuensi dari proses keterbukaan dan pembelajaran kebijakan publik. Beberapa persoalan klasik lainnya terus berlanjut di tahun di 2003, tanpa ada upaya yang jelas dalam mengatasinya seperti penyelundupan bahan pangan pokok diperbatasan maupun pelabuhan pelabuhan resmi, kerentanan pangan di berbagai komunitas di daerah daerah pelosok nusantara, peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dan berbagai sengketa agraria di berbagai wilayah perkebunan baik milik pemerintah maupun swasta. Sekertariat KRKP mencatat sumber dari berbagai persoalan tersebut, merupakan sebuah akumulatif proses dari apa yang telah berlangsung dalam tahun tahun sebelumnya. Apabila tidak ada upaya yang cukup radikal dalam mengatasi persoalan pangan secara mendasar, maka pada tahun 2004 dan tahun tahun selanjutnya, situasi pangan rakyat akan tetap terpuruk dan berpotensi secara multiplier efect pada kerentanan sosial yang berdampak semakin besar dan kompleks. Sumber persoalan tersebut secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1. Paradigma liberalisasi perdagangan pangan global Ada persoalan paradigmatik yang serius dalam kebijakan pangan nasional, yaitu mengekor pada paradigma liberalisasi perdagangan global, seperti yang tertuang dalam kesepakatan multilateral seperti WTO, kesepakatan regional seperti AFTA dan kesepakatan bilateral yang cenderung meletakkan pangan menjadi sekedar komoditas untuk diperjual belikan secara bebas nilai. Hal ini nampak dari pergerakan naik dari angka impor pangan kita. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 1999 sampai akhir tahun 2003 angka rata rata impor produk pangan kita adalah sebagai berikut : Jenis Bahan Pangan Utama Beras Gula Jagung Gaplek Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Sayuran Bawang putih Buah buahan Daging Sapi Susu dan produk olahannya Sumber data : KRKP, diolah dari berbagai sumber
Jumlah impor rata rata/tahun 2,83 juta ton 1,6 juta ton 1,2 juta ton 0,9 juta ton 0,8 juta ton 0,8 juta ton 0,3 juta ton 256 ribu ton 174 ribu ton 167 ribu ton Setara dengan 450.000 ekor sapi 99 ribu ton
Dari data tersebut maka sangat nampak bahwa Indonesia mengimpor pangan dalam jumlah yang besar setiap tahunnya. Produk pangan utama seperti beras dan gula selain untuk kecukupan pangan bagi rakyat juga sebagai sumber pendapatan bagi mayoritas petani. Namun demikian dalam konteks beras dan gula, instrumen perlindungan terhadap petani seperti tarif dan insentif lainnya justru tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. Yang terjadi justru sebaliknya pemerintah mencabut berbagai subsidi untuk petani ditengah negara negara besar seperti Amerika justru meningkatkan subsidinya. Pemerintah Indonesia lebih patuh pada kesepakatan multilateral seperti WTO, dibandingkan memberikan perlindungan bagi upaya peningkatan kesejahteraaan petani seperti yang diamanatkan GBHN 1999-2004. Politik perdagangan internasional yang cenderung mengarah kepada liberalisasi perdagangan pangan, sangat kuat mempengaruhi arah kebijakan pangan nasional. Pada tahun 2003 situasi belum berubah, petani masih harus mengalami kejatuhan harga produknya oleh serbuan impor pangan negara lain,dengan tanpa perlindungan yang memadai dari negara.
3
Bahkan ketahanan pangan yang dipilih sebagai pijakan kebijakan pangan nasional, hanya peduli pada bagaimana pangan bisa tersedia, dan tidak menegaskan bagaimana pangan bisa diperoleh dan siapa yang menyediakannya. Konsep ketahanan pangan yang ada merupakan konsep yang tidak tegas dalam membangun kedaulatan pangan rakyat. 2. Kebijakan Pangan Nasional Yang Rapuh Bangunan kebijakan pangan nasional mengalami hambatan struktural yang sangat serius. Arah dan kebijakan pangan nasional lebih banyak ditentukan oleh simbiosis mutualisma antara kepentingan rezim perdagangan global dengan kepentingan jangka pendek individu atau golongan yang berkuasa. Sementara itu koordinasi antar departemen dan sektor yang mengurusi soal pangan tidak berjalan dengan baik, kalau tidak disebut sebagai sarat muatan kepentingan sektoral. Kebijakan yang dikembangkan departemen seperti berjalan sendiri sendiri sesuai dengan kepentingan departemennya masing masing, bahkan tidak jarang terjadi benturan kepentingan. Upaya untuk mengangkat pangan menjadi isu lintas departemental, dengan mengukuhkan Dewan Ketahanan Pangan, ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan. Secara kelembagaan, Dewan Ketahanan Pangan tidak mengambil keputusan vital yang terkait dengan persoalan pangan, seperti kebijakan impor pangan. Dewan Ketahanan Pangan baik di pusat maupun di daerah hanya sebatas membuat pada keputusan normatif, sementara secara teknis dan implementatif lebih banyak diputuskan oleh departemen teknis. Tahun 2003 ini tidak ada perubahan yang berarti dalam tatanan kebijakan pangan nasional menuju pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan petani. Justru kebijakan perumisasi Bulog, yang memangkas satu lagi instrumen perlindungan kepada petani. Hal ini menampakkan ketidakpekaan pemerintah terhadap situasi pangan rakyat dan kesejahteraan petani yang semakin terpuruk. Belum ada arah yang tegas dari pemerintah mengenai kelembagaan pangan pasca-perumisasi Bulog, membuat kebijakan pangan dalam posisi ketidakpastian. 3. Lemahnya Keberpihakan kepada Petani Dari berbagai sisi kebijakan pangan tidak menunjukkan tanda tanda keberpihakan yang jelas kepada petani sebagai mayoritas produsen pangan. Lemahnya keberpihakan kepada petani ini pasti dibantah oleh para petinggi instansi pemerintah terkait dan para pendukungnya, namun jika melihat rentetan penderitaan yang dialami petani sepanjang tahun 2003 dan tahun tahun sebelumnya, maka berbagai jargon yang dikembangkan pemerintah untuk ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani hanyalah retorika dan slogan politik belaka. Dari sisi produksi, penyempitan kepemilikan lahan, alih fungsi lahan pertanian, kerusakan infratruktur pertanian seperti jalan dan irigasi terus terjadi sepanjang tahun. Kebijakan permodalan pun tidak menyentuh lapisan petani yang paling rendah karena telah dikembalikan dalam sistem perbankan pada umumnya melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP), sehingga akses petani semakin rendah. Dari sisi pasca produksi, kebijakan harga dan distribusi tidak ada inovasi yang berarti. Panjangnya rantai distribusi produk pangan yang selalu menjadi kendala petani ternyata tidak ada penanganan secara serius, demikian halnya kebijakan harga dimana pemerintah masih mengacu pada kebijakan harga dasar yang bertahan sepanjang tiga dasawarsa lebih, yang terbukti tidak efektif mengatasi persoalan petani. Tahun 2003 kita tidak bisa melihat sebuah upaya yang sangat mendasar bagi “peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraaan petani”. Pemerintah lebih berkonsentrasi pada upaya pemulihan makro ekonomi, penyehatan perbankan, privatisasi badan usaha negara dan peningkatan investasi dari pada pemulihan keterpurukan pangan nasional. Pada paruh kedua sampai akhir tahun sudah dipastikan berbagai kebijakan tidak secara efektif berjalan karena adalah suatu masa untuk konsolidasi partai politik menjelang Pemilu.
B. Tantangan 2004 Nampaknya cita cita untuk mencapai kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat secara adil dan merata, harus dipendam sementara waktu karena pada tahun 2004 bisa dipastikan tidak ada kebijakan yang secara egektif bisa diterapkan. Tahun 2004 adalah tahun “politik Indonesia”, dimana rangkaian proses pemilihan umum (PEMILU) mulai dari pemilihan anggota DPR dan DPD, Pemilihan Presiden dua putaran serta ditambah lagi Sidang Umum MPR untuk pertanggung jawaban Presiden, menyusun GBH dan sebagainya. Konsentrasi berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, media bahkan kalangan NGO pun dipastikan akan menuju pada proses perebutan kekuasaan. Persoalan pangan tidak akan terangkat
4
menjadi mainstream, kecuali jika ada skandal, penyelewengan kewenangan, korupsi atau sejenisnya yang bisa di politisasi oleh para elit parpol untuk saling menjegal menjelang Pemilu 2004. Pada awal tahun sesuai dengan prakiraan iklim dan cuaca BMG, maka ada potensi untuk terjadinya banjir di beberapa wilayah di tanah air. Hal ini merupakan kebalikan dari tahun 2003, dimana pada awal tahun terjadi kekeringan yang hebat di beberapa wilayah. Belum terlihat apa yang dipersiapkan pemerintah dalam mengantisipasi potensi banjir tersebut, bahkan bisa diprediksi tidak ada kebijakan yang efektif bisa dilakukan menjelang Pemilu 2004. Pada tahun 2004, FAO meluncurkan International Year of Rice (IYR 2004) atau tahun padi internasional. Pesan yang disampaikan adalah Rice is Life, dengan bentuk kegiatan melakukan berbagai bentuk pertemuan, workshop dan kampanye. Begitu pentingnya padi untuk FAO sehingga pada bulan Juli 2004 akan ada kerjasama kampanye IYR bersama MTV Asia dengan title “Rock for Rice”. Pengembangan teknologi terutama di bioteknologi dan pemanfaatan sumberdaya air di bidang perpadian akan mewarnai kampanye FAO dalam IYR 2004. Belum ada arah yang jelas respon pemerintah dalam IYR 2004. Dalam pandangan masyarakat sipil, terutama yang diperoleh dalam pertemuan East Asia Rice Working Group (EARWG) bulan Desember 2003 di Quezon City Philipina, dinyatakan bahwa tahun 2004 merupakan tahun konsolidasi untuk penguasaan pasar perbenihan padi oleh Trans National Coorporation (TNC). Faktor yang mendukung adalah bahwa hampir semua negara berkembang menggunakan jargon peningkatan produksi untuk ketahanan pangan sebagai pilar kebijakan pangan negara. Sementara itu pasaran benih terutama di Asia sebagian besar adalah benih hibrida (hybrid rice) yang juga dikuasai oleh TNC dan perusahaan turunannya dengan institusi penelitian pendukung seperti IRRI. Belum jelas bagaimana arah pemerintah Indonesia dalam merespon isu ini pada tahun 2004, karena akan berpengaruh langsung terhadap petani sebagai produsen padi. Sepanjang tahun 2004 tantangan yang dihadapi bangsa ini dalam persoalan pangan akan semakin berat, sementara itu euforia perebutan kekuasaan akan mewarnai situasi politik-ekonomi-sosial di Indonesia. Gerakan masyarakat sipil untuk mewujudkan kedaulatan pangan, masih akan menghadapi tantanagan yang berat. Diperlukan energi kesabaran dan ketekunan, serta perjuangan yang lebih sistematis untuk tercapainya kedaulatan pangan, jika melihat tantangan 2004 yang semakin berat. Catatan akhir tahun oleh sekertariat KRKP ini, tidak bisa mereview secara lengkap isu isu penting di tahun 2003 dan tidak pula secara tegas mengelaborasi tantangan di 2004. Namun demikian sekertariat KRKP berharap informasi sederhana ini bisa menjadi tambahan energi gerakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tanah air. Bogor, Desember 2003 Sekertariat Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
5