A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark
Indonesia Raya WR. Soepratman
Hari Musik Nasional ditetapkan 9 Maret, diusulkan tahun lalu oleh Persatuan Artis, Pencipta dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) sebagai penghargaan atas Wage Rudolf Supratman – sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya– yang lahir pada hari Selasa Wage, 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Tidak banyak catatan hidup tentang komponis besar ini, Supratman mendapat pendidikan musik dari kakaknya yang di Makassar. Ketika masih bayi Supratman bersama keluarganya pindah ke Tangsi Messter Cornelis Jatinegara dan bersekolah atas diusahakannya tunjangan orang tuanya yang pernah menjadi KNIL. Surat keterangan lahirnya akhirnya dibuat dan diberi nama Wage Supratman. Setelah ibunya meninggal Supratman mengikuti kakaknya yang menikah dengan seorang tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) ke Makassar. Di sana ia meneruskan sekolahnya di Normaal School hingga selesai, dan untuk keperluan administratif namanya menjadi Wage Rudolf Supratman. Selama di Makassar Supratman diajari musik dan biola oleh kakaknya hingga benar-benar tertarik dengan musik, selain juga senang dalam bidang sastra. Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda pernah dituangkannya dalam bukunya yang berjudul “Perawan Desa”. Buku yang mengandung nilainilai nasionalisme Indonesia dan menyinggung pemerintahan Belanda itu akhirnya disita dan dilarang beredar. Selepas bekerja di Makassar bidang jurnalistik membawa dirinya dalam gejolak pergerakan Indonesia, karena minatnya ini Supratman memutuskan pindah ke Bandung dan bekerja sebagai pembantu di harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian berpindah ke harian Kaum Kita, sebagai pimpinan redaksi. Pekerjaan tersebut tetap dilakukannya sewaktu ia pindah kembali ke Jakarta sebagai wartawan Sin-Po, harian Tionghoa-Melayu. Di Jakarta itulah, ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan, hingga ia mulai menulis lagu.
Pada tahun 1924 Supratman menulis lagu Indonesia Raya atas anjuran dari H. Agus Salim yang ditulis di harian Fajar Asia agar komponis Indonesia membuat lagu kebangsaan. Dengan biolanya lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan pada penutupan acara Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Jakarta. Selain lagu kebangsaan tersebut ia menciptakan lagu lain yang tak asing bagi kita, seperti “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari” dan “Bendera Kita”. Sayang sejuta sayang, Supratman tak sempat menikmati dentuman proklamasi dan gaungnya lagu Indonesia Raya, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1938.
Lirik asli lagu Indonesia Raya
Indonesia Raja Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku. Marilah kita berseru “Indonesia bersatu.” Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku, Bangsaku, Rakyatku, se’mwanya. Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya Untuk Indonesia Raja. CHORUS: Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka Tanahku, negriku jang kutjinta. Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka Hiduplah Indonesia Raja. Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka Tanahku, negriku jang kutjinta. Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka Hiduplah Indonesia Raja.
Indonesia! Tanah yang mulia, Tanah kita yang kaya. Disanalah aku berada Untuk slamalamanya. Indonesia, Tanah pusaka, Psaka Kita semuanya. Marilah kita mendoa, “Indonesia bahagia!” Suburlah Tanahnja, Suburlah jiwanja, Bansanya, Rakyatnya semuanja. Sadarlah hatinja, Sadarlah budinja Untuk Indonesia Raja. CHORUS Indonesia! Tanah yang sutji, Tanah kita yang sakti. Disanalah aku berdiri Ndjaga ibu sedjati. Indonesia! Tanah berseri, Tanah yung aku sayangi. Marilah kita berjanji: “Indonesia abadi!” Slamatlah Rakyatnja, Slamatlah putranja, Pulaunya, lautnya semuanja. Majulah Negrinja, Majulah Pandunja Untuk Indonesia Raja.
Bendera Indonesia
Rasio: 2:3 Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[1] Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.[2] Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[3] Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional. Arti Warna Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.
2 Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba. Peraturan Tentang Bendera Merah Putih UUD '45 pasal 35 Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia [1]
SEJARAH BENDERA MERAH PUTIH 1.
PENGGUNAAN DAN ARTI WARNA MERAH PUTIH DI BUMI INDONESIA 1)
Dalam sejarah Indonesia terbukti, bahwa Bendera Merah Putih dikibarkan pada tahun 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika berperang melawan kekuasaan Kertanegara dari Singosari (12221292). Sejarah itu disebut dalam tulisan bahwa Jawa kuno yang memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan tentang perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.
2)
Prapanca di dalam buku karangannya Negara Kertagama mencerirakan tentang digunakannya warna Merah Putih dalam upacara hari kebesaran raja pada waktu pemerintahan Hayam Wuruk yang bertahta di kerajaan Majapahit tahun 1350-1389 M.
3)
Menurut Prapanca, gambar-gambar yang dilukiskan pada keretakereta raja-raja yang menghadiri hari kebesaran itu bermacammacam antara lain kereta raja puteri Lasem dihiasi dengan gambar buah meja yang berwarna merah.
Atas dasar uraian itu, bahwa dalam kerajaan Majapahit warna merah dan putih merupakan warna yang dimuliakan.
3 4)
Dalam suatu kitab tembo alam Minangkabau yang disalin pada tahun 1840 dari kitab yang lebih tua terdapat ambar bendera alam Minangkabau, berwarna Merah Putih Hitam. Bendera ini merupakan pusaka peninggalan jaman kerajaan MelayuMinangkabau dalam abad ke 14, ketika Maharaja Adityawarman memerintah (1340-1347). Warna Merah = warna hulubalang (yang menjalankan perintah) Warna Putih = warna agama (alim ulama) Warna Hitam = warna adat Minangkabau (penghulu adat)
2
5)
Warna merah putih dikenal pula dengan sebutan warna Gula Kelapa. Warna Merah Putih disebut Gula Kepala tidak berarti “Merah” lambing gula dan “Putih” lambing buah nyiur yang telah dikupas. Di Kraton Solo terdapat pusaka berbentuk bemdera Merah Putih peninggalan Kyai Ageng Tarub, putra Raden Wijaya, yang menurunkan raja-raja Jawa.
6)
Dalam babat tanah Jawa yang bernama babab Mentawis (Jilid II hal 123) disebutkan bahwa Ketika Sultan Ageng berperang melawan negri Pati. Tentaranya bernaung di bawah bendera Merah Putih “Gula Kelapa”. Sultan Ageng memerintah tahun 1613-1645.
7)
Juga di bagian lain dari kepulauan Indonesia terdapat bendera yang berwarna Merah Putih, misalnya di Aceh, Palembang, Maluku dan sebagainya meskipun sering dicampuri gambar-gambar lain.
8)
Pada umumnya warna Merah Putih merupakan lambang keberanian, kewiraan sedangkan warna Putih merupakan lambang kesucian.
MERAH PUTIH DALAM ABAD XX 1)
Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kali dalam abad XX sebagai lambang kemerdekaan ialah di benua Eropa. Pada tahun 1922 Perhimpunan Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di negeri Belanda dengan kepala banteng ditengah-tengahnya.
2)
Tujuan perhimpunan Indonesia Merdeka semboyan digunakan untuk nama majalah yang diterbitkan.
3)
Pada tahun 1924 Perhimpunan Indonesia mengeluarkan buku peringatan 1908-1923 untuk memperingati hidup perkumpulan itu selama 15 tahun di Eropa. Kulit buku peringatan itu bergambar bendera Merah Putih kepala banteng.
4)
Dalam tahun 1927 lahirlah di kota Bandung Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mempunyai tujuan Indonesia Merdeka. PNI mengibarkan bendera Merah Putih kepala banteng.
itu
juga
4 5)
3
Pada tanggal 28 Oktober 1928 berkibarlah untuk pertama kalinya bendera ,erah Putih sebagai bandera kebangsaan yaitu dalam Konggers Indonesia Muda di Jakarta. Sejak itu berkibarlah bendera kebangsaan Merah Putih di seluruh kepulauan Indonesia.
SANG SAKA MERAH PUTIH DI BUMI INDONESIA MERDEKA 1)
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta bertempat di Pegangsaan Timur 56 (JL.Proklamasi) Jakarta, atas nama bangsa Indonesia. Sesaat kemudian bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bendera Merah Putih berkibar ntuk pertama kalinya di bumi Indonesia Merdeka.
2)
a.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945 mengadakan siding yang pertama dan menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
b.
Dalam UUD 1945, Bab I, pasal I, ditetapkan bahwa Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam UUD 1945 pasal 35 ditetapkan pula bahwa bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Denagn demikian itu, sejak ditetapkannya UUD 1945 , Sang Merah Putih merupakan bendera kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3)
Dengan ditetapkannya UUD 1945 dan bendera kebangsaan Sang Merah Putih, maka serntak seluruh rakyat Indonesia dan pemuda Indonesia, menegakkan, mengibarkan dan mempertahankan Sang Merah Putih di bumi Indonesia. Pertempuran-pertempuran dengan serdadu colonial Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berkobar di seluruh Indonesia. Ribuan rakyat dan pemuda Indonesia gugur sebagai pahlawan bangsa mempertahankan kemerdekaan Sang Merah Putih. Karena pengorbanan mereka kini Sang Merah Putih tegak berkibar dibumi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berlandaskan Pancasila.
4)
Sang Merah Putih dikibarkan pada Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus 45 di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka. Bendera Pusaka itu selalu dikibarkan di tiang yang tingginya 17 m di depan Istana Merdeka Jakarta pada tiap perayaan peringatan Hari Prokalamasi Kemerdekaan.
5)
Mulai tahun 1969 Bndera Pusaka itu tidak lagi dapat dikibarkan karena sudah tua. Sebagai gantinya dikibarkan duplikatnya yang dibuat dari sutera alam Indonesia.
5 Dalam sejarah perjuangan kemrdekaan Indonesia, Bendera Pusaka tidak pernah jatuh ke tangan musuh, meskipun tentara colonial Belanda menduduki Ibukota Negara Republik Indonesia. Kemiripan dengan bendera negara lain Bendera ini mirip dengan bendera negara Bendera Monako dan Solothum yang mempunyai warna sama namun rasio yang berbeda, selain itu bendera ini juga mirip dengan Bendera Polandia yang mempunyai warna yang sama namun warnanya terbalik.
Bendera Monako
Bendera Salzburg, Bendera Kanton Solothum di Austria Swiss
Bendera Vienna, Austria
Bendera Vorarlberg, Austria
KEPPRES 150/1959 tentang KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG. Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya:
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia : Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang, SOEKARNO.
Piagam Jakarta & Dekrit Presiden Posted on June 26, 2007.
PIAGAM JAKARTA Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta, 22 Juni 1945 Ir. Soekarno Drs. Mohammad Hatta Mr.A.A. Maramis Abikusno Tjokrosujoso Abdulkahar Muzakkir H.A. Salim Mr. Achmad Subardjo Wachid Hasjim Mr. Muhammad Yamin ————————————————–
Jumat, 22 Juni 2007 Menjaga Spirit Piagam Jakarta Oleh : M Fuad Nasar Anggota Badan Amil Zakat Nasional Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta. Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, ‘negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila. Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI. Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, “Timbul sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah.” Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak
mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap Hatta. Tetap hidup Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam’. Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima, diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang
Jumat, 22 Juni 2007 Jangan Ingkari Piagam Jakarta Oleh : Ahmad Sumargono Ketua Pelaksana Harian KISDI Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena saat itu atau 62 tahun yang lalu telah lahir Piagam Jakarta yang merupakan ruh dalam meletakkan landasan hukum pembangunan bangsa ini. Piagam Jakarta adalah naskah otentik Pembukaan UUD 45. Naskah tersebut disusun oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri dari Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat kalimat: “…. kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja….’’ Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai gentlemen’s agreement antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Muslim. Tapi pada 18 Agustus 1945, tujuh kata vital tadi akhirnya didrop. Alasannya, umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara. Mengomentari ultimatum itu, Dr M Natsir mengatakan, “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” Upaya kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 disabotase oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut hingga sekarang. Meskipun demikian, tokoh Masyumi Prof Kasman Singodimedjo dalam biografinya mengingatkan, “Piagam Jakarta sebenarnya merupakan gentlemen’s agreement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari sejarah.” memasuki era reformasi, UUD 45 memang mengalami amandemen. Hingga ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, yakni pada tahun 1999 hingga yang terakhir tahun 2002. Amandemen itu menimbulkan kontroversi. Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian lagi amandemen overwhole atau keseluruhan. Tapi dalam kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta, pembahasan amandemen UUD 45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang menegaskan landasan ketuhanan bangsa.
Makin liar Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa’ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006). Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat. Kedua, intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional (seperti PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan, UU migas, UU tenaga listrik, UU sumber daya air). Ketiga, intervensi B2G (bussines to government). Para pengusaha dan investor menekan pemerintah agar meluluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Contohnya agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan. Keempat, intervensi N2G (non government organization to government). Pihak non government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi disponsori asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental) hingga demo besar-besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga(UU KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan pornoaksi. Kelima, intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para ilmuwan, bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan intervensi paling rapi dan paling sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda penyusunan UU Otonomi Daerah LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah National Democration Institute (NDI) yang dalam operasionalnya didukung CETRO. Mereka mempunyai program constitutional reform. Ditengarai ada dana 4,4 miliar dolar AS dari Amerika Serikat (AS) untuk membiayai proyek tersebut. Bahkan NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR. Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amandemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga(UU KDRT). Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema ‘UUD 1945 vs UUD 2002′ di kantor Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.
Dampaknya mulai terasa Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil. Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para pemimpin bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka terlalu mudah menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok dan golongan melalui pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan telah tenggelam disapu oleh badai liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme yang materialistis, sehingga tidak ada satu kekuatan pun di negeri ini yang akan mampu membendung gelombang korupsi dan manipulasi. Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 , dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut. Keputusan Presiden ini sah berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus bertanya dahulu kepada rakyat lewat referendum (Ridwan Saidi, Piagam Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007). Ikhtisar - Piagam Jakarta yang sangat bersejarah semakin diingkari oleh para elite masa kini. - Ruh keagamaan dan kebangsaan yang terkandung dalam dokumen tersebut tidak lagi menjadi pijakan dalam mengelola negara. - Hal ini pun membuka pintu bagi masuknya intervensi asing secara bebas. - Dampak dari intervensi yang terlampau bebas itu pun terasa sangat menyusahkan. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=297525&kat_id=16 KEPPRES 150/1959, KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945 Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:150 TAHUN 1959 (150/1959) Tanggal:5 JULI 1959 (JAKARTA) Kembali ke Daftar Isi
Tentang:KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG.
Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya: Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ditetapkan di Jakarta *28512 pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia : Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang, SOEKARNO. xx
Bagaimana membuat nilai-nilai ini bisa kembali menjadi pedoman dan pengamalan dalam keseharian kehidupan kita? Saya rasa perlu suatu pemerintahan otoriter di Indonesia untuk memprogram ulang otak bangsa kita dengan suatu dokrin nilai - nilai sosial dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di negara Indonesia yang nyata - nyata sangat plural ini. Pemerintahan otoriter sangat diperlukan ketika berhadapan dengan masyarakat yang tak bermoral, tak terkendali, tak mau diatur, dan merasa dirinya adalah kebenaran itu sendiri tanpa sadar bahwa mereka hidup bersama dengan orang lain. Semoga saja bangsa Indonesia tidak separah itu ;))
Tanggal 1 Juni 1945, Soekarno memberikan dasar filosofi negara Indonesia yang belum merdeka. Ia menyebutkan lima dasar utama, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mohammad Yamin kemudian menamakan rumusan baru itu sebagai Piagam Djakarta. Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI memutuskan menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yaitu mengganti rumusan “dengan berdasarkan pada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa”. Pada sidang itu PPKI sekaligus meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat rumusan resmi Pancasila yang telah diperbarui. Pemikiran Bung Karno Menuju Pancasila Catatan Bung Karno Seratus Tahun Oleh: G Moedjanto TANGGAL 6 Juni 1901 adalah hari kelahiran pejuang penggalang persatuan, Bung Karno. Maka tanggal 6 Juni 2001 merupakan HUT kelahirannya yang ke seratus. Tanggal 6 Juni merupakan momentum yang tepat karena dalam situasi negara dan bangsa Indonesia dalam ancaman disintegrasi, perjuangan Bung Karno, bersama pemimpin Indonesia lainnya dalam pergerakan kemerdekaan dapat membangkitkan kembali semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan semangat baru diharapkan integrasi bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Apa yang penulis sajikan merupakan ungkapan atas kekaguman terhadap Bung Karno sebagai penggalang persatuan bangsa yang terbesar. Dalam menangkap kembali peran Bung Karno tersebut akan penulis sajikan tinjauan tentang studi dan aktivitas sosial- politiknya, yang kemudian berujung
pada sumbangnya menggali nilai-nilai budaya yang menjadi causa materialis bagi keberadan dasar filsafat negara Pancasila. Pengetahuan yang diperlukan Bung Karno memang lahir di Surabaya, tetapi masa remajanya dihabiskan di Mojokerto. Di kota kecil itu ia belajar ELS (Europeesch Lagere School/sekolah dasar buat anak-anak Eropa). Masuknya Bung Karno kecil di ELS tersebut mengisyaratkan bahwa dirinya lebih dibandingkan anak orang kebanyakan. Untuk dapat belajar di sekolah itu ia harus mampu berbahasa Belanda, dan SPP sekolah tersebut mahal. Dari ELS ia meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School, SLTP dan SLTA disatukan). Tentu biayanya lebih mahal lagi. Meski demikian ayahnya, yang Kepala Sekolah Rakyat (Volkschool), dapat membiayainya dengan mengabaikan pendidikan saudara-saudara perempuannya. Ia menyelesaikan studi di HBS pada tahun 1921, lalu melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Tehnik (Technische Hofe School dan akhirnya mendirikan dan memimpin PNI tahun 1927. Untuk mendukung posisi kepemimpinannya Bung Karno belajar banyak, dengan membaca buku-buku di perpustakaan Teheosophie di Surabaya dan STT Bandung. Ia juga belajar dari kehidupan alam dan lingkungan sosial setempat. Maka pengetahuan Bung Karno sangat luas. Andai saja Bung Karno hanya memperlajari ilmu teknik melulu, Indonesia tidak akan mengenal pemimpin nasional bernama Sukarno (Bung Karno). Hal penting lain yang terbukti kelak menjadi unggulan Bung Karno adalah kepandaiannya berpidato. Salah seorang yang dapat disebut sebagai guru berpidatonya adalah HOS Tjokroaminoto. Kebetulan selama di HBS, Bung Karno muda mondok di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam terkemuka. Bung Karno memang mampu berpidato selama berjam-jam tanpa pendengarnya bosan. Kepandaiannya berpidati bukan saja diakui di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti di Australia dan Amerika. Di sekitar PNI Dengan bekal yang begitu besar tidaklah mustahil Bung Karno dapat berbuat begitu banyak untuk bangsanya dalam perjuangan kemerdekaan. Dimulai dengan pendirian Algemene Studie Club di Bandung pada tahun 1925. Perkumpulan itu seperti kelompok diskusi yang banyak didirikan oleh para mahasiswa dan cendekiawan sekarang. Kelompok diskusi itu memang baru merupakan perkumpulan akademis-teoritis (academic exercise). Dalam aktivitasnya Algemene Studie Club 1925 sampai Juni 1927 memang masih terbatas pada studi teori. Hal itu juga karena PKI masih jaya dan sanggup memegang "komando" pergerakan kebangsaan. Tetapi sesudah kegagalan pemberontakan rakyat yang digerakkan PKI November 1926 Februari 1927 terjadilan "kekosongan" pimpinan pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu perlulah "kekosongan" itu diisi, dan sudah saatnya Algemene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4 Juli 1927. Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat. Sejarah mencatat proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia. Dengan memilih 4 Juli sebagai hari berdirinya PNI, para pemimpin PNI berharap semangat, siasat dan keberhasilan revolusi kemerdekaan Amerika akan mengilhami semangat, siasat dan keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia di bawah pimpinan PNI. Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaanpersamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan. Memang kehendak Bung Karno mempersatukan ketiga paham itu sesuatu yang mungkin. Perekat persatuannya adalah kesamaan umur. Ketiga paham itu anti kapitalisme dan imperialisme, pro kemerdekaan dan kesejahteraan umum. Mungkinkah hal itu? Bagi pemikiran Bung Karno hal itu memang sesuatu yang mungkin, karena Bung Karno menyederhanakan persoalan. Hal itu dapat Bung Karno lakukan, menurut Berhhard Dahm dalam bukunya Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, karena pemahaman Bung Karno akan ketiga aliran (ideologi) itu agak dangkal. Dalam kaitan dengan judul tulisan ini yang substansial adalah pengenalan tiga nilai dasar, yang kelak berkembang menjadi Pancasila. Ketiga nilai dasar itu adalah: Nasionalisme, yang bermakna kebangsaan, Islamisme yang bermakna Ketuhanan, dan Marxisme yang berawal dari sosialisme atau keadilan sosial. Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1926 lewat SK Suluh Indonesia Muda. Menuju ke Pancasila Bung Karno belum menyatukan gagasannya dengan nilai kerakyatan (demokrasi). Tampaknya menunggu sampai nilai kerakyatan itu dicanangkan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, sehingga Bung Karno menemukan nilai dasar yang keempat itu. Namun ada hal yang agak kurang konsisten dalam PNI. Sesungguhnya pada waktu PNI sudah berdiri dan berjuang, ia sudah mengenal lima asas yaitu: 1. Nasionalisme, 2. Islamisme, 3. Sosialisme, 4. Kerakyatan, 5. Kemanusiaan. Tetapi Bung Karno dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Dibawah Bendera Revolusi (DBR) menyatakan asas/ideologi PNI adalah Marhaenisme, yaitu asas/ideologi kerakyatan yang memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar yang terkandung di dalamnya adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah rasa cinta bangsa yang diimbangi dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sosio-demokrasi
adalah kerakyatan yang diimbangi dengan kesejahteraan. Sosio- demokrasi dapat diartikan pula sebagai demokrasi politik disertai demokrasi ekonomi. Meski agama, khususnya agama Islam, sudah sering dipikirkan, tetapi ternyata dalam Marhaenisme agama belum mendapatkan tempat yang mantap. Bung Karno masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk memasukkan ketuhanan ke dalam sistem "filsafatnya". Tampaknya ia perlu memikirkan status agama lain supaya ia dapat memasukkan dasar ketuhanan, yang lebih luas dari pada sekadar keislaman. Maka dapat dipahami bahwa baru pada tahun 1945 Bung Karno selesai merumuskan dan memadukan lima nilai, yaitu Pancasila, menjadi dasar filsafat negara. Itulah tawaran Bung Karno dalam menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dokter Radjiman. "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa dasarnya?" Tawaran Bung Karno diterima oleh BPUPKI yang kemudian membahas dan merumuskannya kembali, dan PPKI menetapkannya menjadi dasar filsafat Pancasila. Dari uraian diatas nyata bahwa penemuan dan penetapan Pancasila menjadi dasar filsafat itu berproses dari pemikiran 1926 sampai 1945 (lebih kurang 20 tahun). Maka dari itu kita sekarang pantas bersyukur atas jasa Bung Karno dan para founding fathers. Sesungguhnya merupakan suatu kesepakatan demokratis demi hidup bersama dan bekerjasama rakyat Indonesia yang begitu bhineka. Dengan Pancasila kebhinekaan itu disatukan, integrasi terwujudkan. Saya mengajak pembaca khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya untuk mengamalkan Pancasila. Yakinlah hanya dengan kembali ke Pancasila integrasi bangsa dapat dipulihkan. [sunting] terminologi Pancasila. Mengapa Bung Karno menggunakan terminologi Pancasila? Terutamanya ianya adalah bahasa Sanskerta. Ketika jaman kolonial, bahasa sanskerta cukup terbatas penggunaannya dikalangan bangsa Indonesia. Pancasila juga adalah rukun agama Buddha, maka senang terkeliru dengan Pancasila Indonesia. Apakah terdapat kisah disebalik penggunaan terminologi ini? 141.213.240.242 06:40, 9 Februari 2006 (UTC) Sejarahnya, yang memberitahu istilah Pancasila ini adalah Moh. Yamin, yang seorang ahli bahasa kepada Soekarno. Pertamakali memang tertulis sebagai rukun agama Budha, dan Indonesianya Pancasila. --Calvin Limuel 17:00, 10 Maret 2008 (UTC) [sunting] Makna objektif? perlu diganti bennylin 00:07, 30 Agustus 2007 (UTC) Saya rasa banyak penafsiran kelima sila Pancasila yang bersifat objektif (tanpa sumber, makna tersebut hanyalah penafsiran orang tertentu). Bagaimana menurut yang lain?
lolz... kalo mau penafsiran yang resmi kan 36 butir Pancasila alias Eka Prasetya Pancakarsa --Quoth nevermore 00:16, 30 Agustus 2007 (UTC) Bukannya itu sudah dihapus? Saya beruntung karena melewati SMU tanpa harus menghafalnya ^^ bennylin 07:29, 13 September 2007 (UTC) [sunting] Asal muasal Bhinneka Tunggal Ika? Saya menemukan ketidaksesuaian soal asal semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di artikel ini disebut berasal dari Negarakertagama karya Empu Prapanca, sementara di artikel Bhinneka Tunggal Ika [1] dan [2] disebutkan bahwa istilah ini dari Sutasoma karya Empu Tantular. Bukankah yang benar 1. Pancasila disebut di Negarakertagama dan Sutasoma 2. Bhinneka Tunggal Ika: disebut di Sutasoma, tidak disebut di Negarakertagama – komentar tanpa tanda tangan ini diberikan oleh Marsel (bicara • sumbangan) . [sunting] Rencana Pengalihan Saya rasa antara Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi kekisruhan yang menyebabkan kedua subjek tersebut (lambang dan ideologi) dicampurkan jadi satu artikel di sini. Menurut saya sebaiknya pranala Garuda Pancasila dialihkan ke Lambang Indonesia (dan artikelnya digabung - saat ini ada perbedaan) dan artikel tentang ideologi ditaruh ke Pancasila (yang saat ini menjadi halaman disambiguasi, namun bisa dipindah ke Pancasila (disambiguasi)) Bagaimana menurut Anda? Ya. Anda. bennylinkirim pesan 12:53, 21 November 2007 (UTC)
II. Makna Lambang Garuda Pancasila * Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia * Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu: * Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa * Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab * Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia * Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan * Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia * Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci * Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain: * Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17 * Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8 * Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19 * Jumlah bulu di leher berjumlah 45 * Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”. III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini. IV. Sejarah Sejarah Awal Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Periode 1945-1949 Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945. Periode 1959-1966 Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya: * Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara * MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup * Pemberontakan G 30S Periode 1966-1998 Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan: * Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya * Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum. * Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. V. Perubahan UUD 1945 Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR: * Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 * Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 * Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999
Prof. Dr Suhardiman, SE (07) Menuju Indonesia Raya Ketiga 2045 Eksistensi dan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sangat perlu dipahami di antara sepak terjang ideologi-ideologi besar dunia. Pemahaman ini sangat penting dalam rangka pemantapan ideologi Pancasila yang menjadi dasar dan pedoman hidup bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia semakin mampu memainkan peranannya di dalam gerak maju mencapai cita-citanya, yang tidak lain dari masyarakat Pancasila itu sendiri. Semenjak nenek moyang bangsa Indonesia menginjakkan kakinya di bumi Nusantara, pada dasarnya nilai-nilai yang sekarang dirumuskan dalam Pancasila sudah termaktub di dalam jiwanya, sudah melekat di dalam diri dan pribadinya, dan sudah terpancar jelas dari perilakunya. Dengan kata lain, Pancasila yang sekarang menjadi deologi bangsa Indonesia, bersumber pada jiwa, kepribadian serta pandangan rakyat Indonesia yang telah bereksistensi selama berabad-abad sebelum kemerdekaan.
Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat-akar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Budaya bangsa yang mengutamakan keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya; maupun dalam mengejar kebahagiaan lahiriah dan rohaniah.
Demokrasi Politik Pancasila didasari atas perjuangan untuk kepentingan dan keselamatan umum yang didasarkan pada prinsip “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Etos kerja yang didasarkan pada keuletan dan ketekunan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik dan maju bagi dirinya dan keluarganya. Ketiga etos tersebut dapat disebut juga sebagai “etos kekaryaan” yang tridimensial atau yang bersifat dialektis-theologis.
Pembangunan nasional yang mencakup bidang-bidang Ipolek-Sosbud-hankam sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dari penghayatan, pengamanan dan pengamalan Pancasila. Demikian juga halnya dengan demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila atau secara singkat disebut Demokrasi Pancasila, itu pun sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, apakah itu demokrasi politik, demokrasi ekonomi ataupun demokrasi sosial budaya.
Di sini perhatian hanya difokuskan pada demokrasi politik yang akan dikaji dari sudut batasan dan cirinya; mekanisme dan gerak dinamikanya dengan suatu latar belakang sikap dan pemikiran bahwa demokrasi Pancasila itu harus terkait dengan keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity).
Apabila kita hendak mengupas demokrasi Pancasila pada umumnya dan khususnya di bidang politik, maka kita harus pula mengupas proses penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum yang didasarkan pada Pancasila yang sudah terpatrikan dalam UUD 1945. Karena politik merupakan dimensi demokrasi, selain dimensi kekuasaan dan hukum, maka perwujudan demokrasi Pancasila akan terkait dengan sistern kehidupan politik di Indonesia yang telah, sedang dan akan mengalami proses pembaharuan dan pembangunan.
Sementara itu, karena pembangunan dan pembaharuan politik merupakan bagian integral dari pembaharuan dan pembangunan demokrasi, politik bangsa, maka ada empat hal yang prinsipil dan fundamental yang harus melekat di dalamnya, yaitu: 1. Pembaharuan dan pembangunan politik harus bersumber pada manusia seutuhnya; 2. Sumber tersebut harus bermuara pada seluruh masyarakat Indonesia; 3. Selanjutnya muara tersebut pada akhirnya harus manunggal dengan lautan negara Pancasila; dan 4. Antara sumber, muara dan lautan tersebut tetap mengalir suatu gerak arus kekaryaan tridimensional yang dialektis-theologis.
Apabila keempat hal yang prinsipil dan fundamental tersebut ditinjau sebagai operasional ideologi, maka yang dimaksudkan dengan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia adalah masyarakat karya yang “mandireng pribadi” dan bertanggungjawab, dalam arti manusia dan masyarakat yang profesional, idealis dan bermoral Pancasila.
Untuk dapat mewujudkan manusia dan masyarakat yang demikian itu, maka sistem serta proses pembaharuan dan pembangunan politik di Indonesia harus mampu menciptakan suasana dan iklim sedemikian rupa, sehingga setiap warga negara dan seluruh rakyat Indonesia mampu “mengolah diri”nya. Mengolah diri di sini mempunyai arti yang sangat luas, yakni mencakup beberapa aspek gerak hidup manusia, seperti: (1) mengolah raganya, (2) mengolah kecerdasannya, (3) mengolah budi luhurnya, (4) mengolah jiwa kebangsaan dan kepatriotannya, (5) mengolah profesinya, dan (6) mengolah jiwa kepemimpinannya.
Apa yang dimaksud dengan ‘lautan negara Pancasila’? Sebagai suatu sistem politik yang utuh, negara Pancasila merupakan puncak organisasi kekuasaan dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia yang berbentuk negara hukum dan demokratis. Karena penyelenggaraannya harus dilaksanakan secara konstitusional dan demokratis serta berorientasi pada kehidupan yang tata-tenteram, dan karta raharja. Dalam proses operasionalnya, dalam negara Pancasila bekerja suatu kekuasaan yang manunggal dengan rakyat yang berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan berpusat bobot pada Presiden.
Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, negara Pancasila tidak mengenal atau menganut sistem pemisahan kekuasaan (the sparation of power), melainkan perbedaan/pemerataan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif bukanlah unsur-unsur kekuasaan yang masing-masing terpisah. Antara ketiga kekuasaan tersebut terdapat hubungan yang saling mendukung dan saling mengawasi. Masing-masing kekuasaan berdiri berdampingan dan bergandengan tangan.
Dari uraian di atas, jelas tampak bahwa negara hukum yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 atau singkatnya, negara berpusat bobot pada Presiden sebagai panutan tunggal. Ini berarti bahwa pemerintahan negara harus: pertama, secara hukum (dalam arti luas) bertindak sebagai pengemban kesejahteraan atau welfare state. Kedua, secara konstitusional bertindak sebagai abdi rakyat yang mampu menciptakan negara yang melayani kepentingan rakyat umum (social service state). Ketiga, secara demokratis sebagai pamong pembangunan yang dapat menciptakan suatu administrative state. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa penyelenggaraan negara Pancasila sebagai negara hukum harus dilaksanakan di atas dasar administrasi yang demokratis atau democratic administration.
Hal itu berarti bahwa demokrasi Pancasila yang dikehendaki, mengandung makna dan proses fungsional dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, penetapan personil, pengarahan, pengendalian, koordinasi, pengawasan, dan penganggaran secara nasional, regional dan sektoral. Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Demokrasi Politik Pancasila?
Tahun 1949 UNESCO menyelenggarakan suatu proyek “enquete” yang dikirimkan ke para ilmuwan di dunia. Enquete ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pemikiran yang dapat digunakan untuk merumuskan definisi demokrasi. Dari hasil pengumpulan enquete tersebut mereka belum mampu menghasilkan suatu definisi yang tepat mengenai demokrasi. Mereka baru sampai pada suatu kesimpulan bahwa pengertian demokrasi berbeda bagi setiap masyarakat dan negara, karena pengertian tersebut harus dikaitkan dengan kondisi sejarah dan budaya dari negara dan masyarakat bersangkutan. Mereka baru menggambarkan bagaimana demokrasi itu dilaksanakan dan prasarana apa
yang diperlukan untuk menjamin agar demokrasi itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Usaha-usaha seperti itu pernah juga dilaksanakan di Indonesia, yaitu ketika para wakil rakyat di DPR RI pada tahun 1975 hendak membuat undangundang tentang partai politik dan Golongan Karya. Berminggu-minggu mereka mencoba merumuskan definisi Demokrasi Pancasila. Namun mereka hanya mampu merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1985, Pemerintah dan DPR kembali mencoba menyempurnakan perumusan Demokrasi Pancasila. Pada saat itu terdapat sedikit penambahan. Perumusan Demokrasi Pancasila sejak saat itu menjadi “demokrasi yang didasarkan pada Pancasila sesuai dengan Pembukaan UUD 1945”.
Menurut hemat penulis, demokrasi adalah suatu bentuk, sistem dan proses usaha pemanunggalan antara pemerintah dengan rakyat yang didasarkan pada persamaan hak dan derajat yang tidak mengenal batas-batas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Karena itu, demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu tentang metoda pengambilan keputusan, dan tentang isi serta jiwa dari pengambilan keputusan tersebut.
Dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan Pancasila sebagai ideologi sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penulis mencoba memberanikan diri untuk mengemukakan bahwa demokrasi Pancasila adalah: “Cipta, rasa dan karya untuk mewujudkan tanggung jawab, kewajiban dan hak bersama dari setiap warganegara dan seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ketuhanan, keharmonisan, kesetiakawanan dan toleransi (temugelang), keadilan, kerakyatan atas dasar musyawarah dan mufakat untuk menuju masyarakat yang tata tenteram dan kartaraharja”. Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa Demokrasi Pancasila memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan Demokrasi Liberal yang didasarkan pada sistem multi partai, atau Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada kekuasaan mutlak dari seorang pemimpin.
Demokrasi Pancasila, dengan demikian adalah demokrasi yang bersifat manunggal. Di dalamnya terdapat pemanunggalan pemerintah dengan rakyat dengan ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama, Demokrasi Pancasila itu memiliki ciri kekaryaan yang bersifat dialektis theologis, yang mencakup kekaryaan transedental, vertikal dan internal dengan menjunjung tinggi nilainilai kejujuran, kebenaran, keadilan serta ketaatan.
Kedua, Demokrasi Pancasila mengandung ciri-ciri kekeluargaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan. Ketiga, Demokrasi Pancasila mempunyai sifat gotong-royong sebagai
perwujudan dari pelaksanaan tanggung jawab, kewajiban dan hak bersama dari seluruh rakyat yang ditempuh melalui sistem perwakilan.
Karena ciri-ciri khas itulah maka Demokrasi Pancasila yang dilaksanakan dalam sistem politik, tidak menganut sistem revolusi radikal atau perang revolusi untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara. Tetapi menganut sistem pembaharuan dan pembangunan yang dilaksanakan di dalam kerangka “revolusi damai”.
Untuk mewujudkan pelaksanaan Demokrasi Pancasila tersebut, fungsi-fungsi komunikasi, koordinasi dan integrasi harus benar-benar dijunjung tinggi. Untuk itu diperlukan dialog dua arah antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya, dan antara lembaga masyarakat yang satu dengan lembaga masyarakat lainnya. Dengan demikian, Demokrasi Pancasila diibaratkan dengan gambar perspektif suatu bangunan gedung arsitektur Indonesia. Tampak agung dan anggun dari segala sudut tinjauan. Selanjutnya, dalam bagian ini akan dikupas berbagai hal yang berkaitan dengan perangkat, kelengkapan dan prasarana kelembagaan yang melekat pada bangunan gedung tersebut.
Negara sebagaimana gedung-gedung adat di Indonesia dibangun secara gotong royong dari kekuatan rakyat sendiri, oleh rakyat, dan untuk rakyat di bawah mekanisme kepemimpinan nasional (negara) yang mampu menempatkan diri sebagai panutan tunggal. Yaitu sebagai pengemban kesejahteraan umum, abdi rakyat dan pamong pembangunan. Sistem panutan tunggal sebagai prinsip operasional kepemimpinan nasional dalam negara Pancasila, harus benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang disalurkan melalui sistem perwakilan di MPR, DPR dan lembaga tingggi negara lainnya.
Aspirasi, pendapat dan kepentingan rakyat tersebut akan dilaksanakan oleh Presiden yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden di bawah pengawasan DPR.
Dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan negara tersebut, kepada Presiden diberikan tugas dan wewenang untuk mengamankan dan menyukseskan pembangunan serta hak prerogatif untuk mengangkat menteri, menteri negara, dan menteri koordinator yang tidak didasarkan pada pengusulan golongan. Tapi mengcu pada keahlian, pengabdian, prestasi, kejujuran serta loyalitas pada tanah air, bangsa dan negara, sebagaimana dituntut juga dari seorang Presiden.
Pembangunan Politik yang dimulai secara mapan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dewasa ini telah memasuki babakan baru. Yakni menuju tahap ‘Masyarakat Purna’ atau ‘Indonesia Raya Ketiga’ yang diharapkan akan mencapai puncak perjuangannya sekitar tahun 2045. Keyakinan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sejarah akan berulang kembali. Hukum dinamika dan dialektika yang bersifat kodrati telah
melahirkan suatu siklus perubahan sosial di Indonesia yang berulang setiap Tujuh Abad dengan produk-produk yang lebih baru dan sempurna pada jamannya. Orang Perancis mengatakan: historia se repete.
Sejarah perjalanan bangsa di Nusantara menunjukkan bahwa pada abad ke- 7 nenek moyang kita telah mengalami masa kejayaan yaitu, Sriwijaya, yang kita sebut di sini sebagai Indonesia Raya Pertama. Setelah itu kita temukan lagi Indonesia Raya Kedua, yaitu masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14. Dan sekarang kita sedang berlayar menuju Indonesia Raya Ketiga yang akan kita capai pada awal milenium ke-3 ini. (Dari Buku “Ideologi Pancasila dan IdeologiIdeologi Dunia”) ► mti/tum