BAB IV ANALISIS TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK BERBICARA ANAK KELUARGA USTADZ DI DESA WIRADESA KECAMATAN WIRADESA KABUPATEN PEKALONGAN
Setelah memperoleh data berdasarkan hasil penelitian, selanjutnya akan dilakukan analisis supaya hasil penelitian yang didapat lebih bermakna. Dalam analisis ini akan dikaitkan antara hasil penelitian yang ada pada bab tiga dengan teori analisis yang disebutkan di bab dua. A. Analisis Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Yang Ditanamkan Oleh Keluarga Ustadz kepada Anak di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Setelah melakukan wawancara dan observasi kepada keluarga ustadz di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradeas Kabupaten Pekalongan bahwa keluarga merupakan masyarakat terkecil yang sangat penting dan utama dalam pendidikan anak. Dari sinilah anak mulai belajar tentang kehidupan, norma-norma, perilaku yang baik dan buruk, kebiasan-kebiasan yang dilihat anak. Dalam keluarga orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak, baik dengan perkataan dan perbuatan seorang anak. Anak akan belajar dengan meniru apa yang dilihatnya, jika anak itu sudah terbiasa melihat hal-hal yang baik maka akan terbentuk pula kebaikan, demikian juga sebaliknya jika anak mulai dari usia dini sudah melihat hal-hal yang buruk atau tidak diberikan contoh yang baik maka akan tercipta pula perilaku yang tidak baik. Orang tua dalam keluarga adalah titik sentral dalam
59
60
pembelajaran anak, semakin baik orang tua, maka akan lebih memungkinkan anak menjadi lebih baik dan mencerminkan akhlakul karimah. Salah satu keluarga ustadz yaitu ust Aslahuddin juga menyampaiakn bahwa “anak adalah harapan dari sebuah keluarga, ada istilah jawa yang mengatakan “anak polah bapak kebradah”.Jadi perilaku anak mencerminkan perilaku terhadap keluarganya.Jika anaknya berakhlak maka kemungkinan besar keluarganya adalah berpendidikan, demikian juga sebaliknya.Jika anak tidak berakhlak maka kemungkinan besar keluarganya juga tidak berpendidikan.Ada istilah jawa lagi “kacang ora ninggalke lanjaran”.Anak ngikuti wong tuo. Jadi semua tidak lepas dari pendidikan keluarga. Karena anak adalah cerminan kedua orang tua.”1 Zakiah Darajat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan didikan agama bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja .akan tetapi yang terpenting adalah penanaman jiwa agama yang dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil, dengan jalan membiasakan si anak kepada sifat-sifat dan kebiasaan yang baik.2 Pada dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan tetapi juga merupakan lingkungan yang paling dekat dan terkuat di dalam mendidik anak terutama bagi anak-anak yang belum memasuki bangku sekolah. Dengan demikian berarti seluk beluk kehidupan keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak.3 Hal ini juga disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa seorang anak itu 1
Ashlahuddin, keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 19 September 2015 Zakiah Dradjat, Kesehatan Mental, ( Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 113-114 3 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 19 2
61
terlahir dengan keadaan fitrah, kemudian orang tua lah yang akan merubah mereka menjadi yahudi, nasrani atau majusi. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa orang yang diajak berbicara.Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil atau yang seumur. Kata-kata atau bahasa yang ditujukan pada orang lain itulah yang disebut unggah-ungguh bahasa.4 Unggah-ungguh bahasa jawa merupakan salah satu pelajaran yang cukup sulit untuk diterapkan anak secara langsung. Hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi di samping dalam bahasa jawa mengenal tingkatan-tingkatan tertentu, kosa kata yang banyak serta sulit dan dalam penggunaannya juga berbeda antara kata satu dengan kata lain. Sehingga seandainya unggah-ungguh bahasa jawa ini dilakukan di sekolah juga terasa sangat kurang maksimal. Karena di sekolah hanya sekedar mengenal teori saja, penerapan secara langsung kurang. Di tambah lagi seorang anak mungkin hanya ingin mengejar nilai saja, sedangkan nilai yang terkandung dalam pelajaran bahasa jawa kurang dijiwai. Kemudian rasa malu untuk menerapkan Unggah-ungguh bahasa jawa juga masih sangat kuat melekat di hati anak, sehingga anak menjadi enggan untuk menggunakannya dan lebih memilih bahasa gaul yang masih tren di zaman sekarang. Harus diakui bahwa penanaman unggah-ungguh bahasa jawa ini harus dilakukan sejak dini kepada anak dan harus dimulai dari lingkungan keluarga 4
hlm. 26
Aryo Bimo Setiyanto, Parama Sastra Bahasa Jawa (Yogyakarta, Panji Pustaka, 2010),
62
yang mulai menanamkan unggah-ungguh bahasa jawa dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh ust Muhammad Maliki bahwa “dalam penanaman unggah-ungguh bahasa jawa pertama kali kita lakukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas kita sehari-hari, seperti cium tangan dan minta dido‟akan kepada anak dengan adab yaitu dengan menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa. Ketika anak nakal dan kita memberikan sanksi jangan menggunakan kata-kata yang buruk dan mendoa‟akan buruk, bila kita mengajak makan jangan lupa sebelum makan kita ajak berdo‟a terlebih dahulu”.5 Sehingga keluarga merupakan faktor yang terpenting dalam menanamkan unggah-ungguh bahasa jawa. Yang kemudian anak akan terbiasa dengan unggah-ungguh bahasa jawa yang berlaku, sehingga rasa malu dan enggan untuk menggunakannya menjadi hilang karena sudah terbiasa dan menjiwai nilai yang terkandung dalam Unggahungguh bahasa jawa yaitu tidak lain adalah adab atau Akhlakul Karimah. Kelurga ustadz sudah tahu betul tentang arti pentingnya unggahungguh bahasa jawa. Seperti yang dikatakan oleh ustadz Ashlahuddin bahwa “mereka yang menggunakan unggah-ungguh
adalah mereka yang sadar
akan posisinya. Kata mbah Kholil Bisri “sadar posisi”. Dadi setiap orang yang menggunakan unggah-ungguh maka drajate duwur. Ada sebuah maqolah ْس َعدَب َك َّذتَة َ َم ْن َليseng artine sopo wonge seng ora due adab mongko koyo laler.Saiki neng bahasa Arab kepala, mustoko, dassapi tetep gunakeَرءْس tapi neng jowo ora, mereka berbicara sesuai dengan strata masing-
5
Muhammad Maliki, Keluarga Ustadz,Wawancara Pribadi, Wiradesa, 23 Agustus 2014
63
masing.Ada sebuah contoh ketika sahabat Abu Bakar menggali Rasulullah dengan nama يَا َرسُوْ َل هللا. Tapi Rasulullah menolak dan menyuruh untuk memanggil dengan nama Muhammad karena Rasulullah adalah manusia biasa, akan tetpai Abu Bakar menolak dan berkata, walaupun njenengan adalah manusia biasa tapi njenengan orang yang nanti aku minta syafaat. Jadi wajar jika saya memanggil ” يَا َرسُوْ َل هللا.6 Sehingga mereka menerapkan dan menanamkannya kepada anak mereka, yaitu dengan melakukan pembiasaan setiap harinya dengan menggunakan bahasa kromo yang halus dalam segala aktivitasnya. Seperti ketika makan, tidur, mandi, ketika orang tua hendak pergi bekerja dll. Ustadz Anas Asrori adalah salah satu keluarga ustadz di Desa Wiradesa menjelaskan bahwa “pembelajaran unggah-ungguh bahasa jawa harus dimulai sejak anak itu dalam kandungan, karena dari dalam kandungan itu anak mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang tuanya dan kemudian sejak kecil anak diajak bicara dengan bahasa jawa supaya terbiasa.”7 Sehingga kebiasaan ini akan tertanam dalam jiwa anak dan akan membawa mereka kelak ketika ia dewasa. Tidak hanya kepada anakanak mereka, akan tetapi orang tua juga saling menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa. Baik kepada suami, istri, nenek, dan anggota keluarga yang lain. Seperti yang dikatakan oleh ustadz Anas Asrori salah satu keluarga ustadz di Desa Wiradesa menjelaskan bahwa “menggunakan unggah-ungguh bahasa
6
7
Ashlahuddin, keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 19 September 2015 Anas Asrori, Keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 18 Agustus 2014
64
jawa baik orang tua terhadap anak ataupun anak terhadap orang tua semuanya harus menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa.”8 Kemudian disamping pendidikan di keluarga, keluarga ustadz juga mendidik anak mereka dengan cara menitipkan anak mereka ke pondok pesantren atau majlis ta‟lim yang ada di sekitar mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah satu keluarga ustadz yang berama ustadz Ashahuddin, beliau menerangkan bahwa “pembentukan akhlak anak yang pertama dimulai dari diri sendiri (ك َ ) اِتْدآ تِنَ ْف ِسkita mulai dari diri sendiri bagaimana kita berkomukasi dengan istri, sesama, kepada anak. Secara otomatis “kacang ora ninggal lanjaran”seumpama anak dipakani barang kang ora bener.Ketika saya bisa menjalankan kewajiban saya, bisa ngajeni bojo, kewajiban anak. Dari situ anak akan mendapatkan pelajaran. Dengan kita konsisten, istiqomah maka anak akan Istiqomah. Langkah yang kedua adalah anak dititipkan kepada mereka yang secara keilmuan lebih tinggi dibandingkan kita. Karena kita akan kesulitan menjelaskan yang berhubungan dengan akhlah kepada anak kita sendiri. Karena pada umumnya anak akan merasa malu dan patuh pada guru dibandingkan dengan orang tuanya sendiri”.9 Dalam pondik pesantren ataupun majlis ta‟lim ini biasanya selalu menerapkan unggahungguh bahasa jawa dalam berkomunikasinya. Baik kepada kiai, ustadz, pengurus. Karena unggah-ungguh bahasa jawa dianggap sebagai ciri bahwa seseorang itu mempunyai adab.
8 9
Anas Asrori, Keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 18 Agustus 2014 Ashlahuddin, keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 19 September 2015
65
B. Analisis Kondisi Akhlak Berbicara Anak Keluarga Ustadz Di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Setelah melakukan wawancara dan observasi kepada keluarga ustadz di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan didapati bahwa akhlak berbicara anak keluarga ustadz sangatlah baik karena meeka mampu menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa dalam kehidupan seharihari. Seperti yang dikatakan oleh salah satu keluarga ustadz yang bernama ustadzah Puji mengatakan bahwa “dalam menerapkan pendidikan khususnya pendidikan keluarga, itu menggunakan bahasa jawa dan karena untuk menghormati orang tua ini menggunakan bahasa kromo. Jadi dalam seharihari kami menggunakan bahasa bahasa jawa ini adalah penanaman akhlak kepada anak saya. Karena orang tua adalah contoh bagi anaknya. Dan Alhamdulillah anak-anak kami dengan orang tua bisa menerapkan unggahungguh dalam kehidupan sehari-hari. Itu suatu akhlak berbicara anak yang didapat dari contoh orang tuanya”.10 Itu adalah suatu akhlak berbicara anak yang didapat dari contoh orang tuanya. Hal ini menjelaskan bahwa anak mereka mampu menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa kepada lawan bicaranya, baik kepada orang tua maupun orang lain.dalam kajian ilmu sosiolinguistik menerangkan bahwa banyak di kalangan keluarga jawa yang mempunyai idola agar anaknya bisa berbahasa halus tingkat tinggi, yang disebut krama inggil. Apabila melakukan penahapan, maka anak-anak “dibiarkan” atau “diajari” menggunakan krama inggil itu untuk kata-kata
10
Puji, Keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 18 Agustus 2014
66
tertentu. Kata-kata ini biasanya menyangkut “aktivitas sehari-hari” atau disekitarnya, termasuk anggota badan, seperti dhahar
„makan‟, ngunjuk
„minum‟, sare „tidur‟, tindak „pergi‟, nyuwun „minta‟, dalem „saya‟ (juga untuk menjawab jika dipanggil), pinarak „mampir‟, rikma „rambut‟, rawuh „datang‟, mundut „mengambil‟. Sebagian kata itu wajib digunakan untuk dirinya sendiri jika ia bertutur, dan sebagian lagi wajib digunakan untuk orang lain (terutama orang tuanya) dan tidak boleh untuk dirinya. Kata-kata selebihnya dalam kalimat boleh diambil dari tingkat rendah, yaitu kromo atau kromo madyo. Sadar atau tidak, si ibu berharap agar dengan ”mengkrama inggilkan” orang lain (yaitu anaknya) si anak juga akan “mengkrama inggilkan” orang lain. Jika cara ini berhasil, artinya jika anak mampu ”mengkrama inggilkan” orang lain, baik orang tuanya maupun bukan orang tuanya, di mata orang lain dan masyarakat, si anak akan memperoleh prestasi tinggi, dan selanjutnya orang tua pun memperoleh prestasi tinggi pula. Jadi ada semacam motivasi tersembunyi untuk memperoleh prestasi atau penghargaan.11 C. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Dalam Pembentukan Akhlak Anak Keluarga Ustadz Di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradesa Kebupaten Pekalongan Berdasarkan data-data tentang nilai-nilai pedidikan unggah-ungguh bahasa jawa dalam pembentukan akhlak anak keluarga ustadz di Desa Wiradesa Kecamatan Wiradesa 11
Kabupaten Pekalongan yang dilakukan
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, ( Yogyakarta: SABDA, 2002),. Hlm. 139
67
dengan metode penelitian wawancara kepada orang tua keluarga ustadz, anak dalam keluarga ustadz, dan pihak lain selain sumber data primer serta observasi terhadap niai-nilai pendidikan unggah-ungguh bahasa jawa dalam pembenetukan akhlak anak keluarga ustadz. Maka dapat diketahui nilai-nilai pendidikan unggah-ungguh bahasa jawa dalam pembentukan akhlak anak sebagai berikut: 1. NIlai Cinta Terhadap Budaya Unggah-ungguh bahasa jawa merupakan tradisi orang jawa yang harus dilestarikan yang semakin lama semakin dilupakan karena pengaruh negatif dari globalisasi. Pada zaman dahulu tradisi jawa tidak termakan oleh zaman, terbukti dengan masuknya Hindu Budha nilai budaya jawa tidak hilang bahkan dapat menjaga nilai-nilai budaya jawa, kemudian dengan masuknya Islam ke jawa justru menguatkan budaya itu sendiri. Akan tetapi dengan masuknya arus globalisasi yang hebat, hal ini dapat mengikis budaya setempat. Anak-anak malu untuk menunjukkan kebudayaannya, tidak tutur unggah-ungguhnya, mereka justru memilih budaya-budaya barat yang tidak mempunyai niali pendidikan dan menjerumuskan mereka ke dalam kenakalan remaja. Sehingga dengan penanaman unggah-ungguh bahasa jawa ini penting dan diharapkan budaya jawa akan tetap terjaga dengan baik. Salah satu keluarga ustadz yang bernama ustadz Muhammad Maliki menjelaskan bahwa “karena kita itu orang jawa, di dalam adat istiadat ada yang namanya tradisi berdialog yang disitu ada peraturan-peraturan sendiri. Jadi sangat penting
68
bagi orang jawa paham dengan tata cara berbahasa jawa. Sedangkan ketepatan dalam bahasa jawa itu sendiri merupakan sebuah cerminan daripada kepribadian orang tersebut mempunyai akhlaku karimah sebagaimana diwajibkan kita orang Islam.”12 2. Nilai Kesopanan Ajaran Islam mengandung tiga unsur pokok yaitu Iman, Islam, dan Ikhsan. Iman adalah keyakinan kepada Allah, malaikat Allah, kitab Allah, rasul Allah, hari akhir, qadha dan qadar. Islam dapat diartikan sebagai penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mengucapkan syahadatain, mengerjakan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan puasa, dan menunaikan haji.Ikhsan adalah berakhlak baik dengan taat dan patuh beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama makhluk penuh keikhlasan.Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dan dengan mempunyai akhlak yang baik akan mempunyai ketaqwaan. Alasannya karena taqwa tidak bisa mencapai kesempurnaannya kecuali dengan akhlak budi yang baik.13 Bahasa jawa mengenal beberapa tingkatan dalam penggunaanya. Masing-masing tingkatan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda tergangtung dari penutur dan yang diajak bicara. Seseorang akan dinilai baik ketika bahasa yang digunakan juga baik atau sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini juga berlaku dalam bahasa jawa yang mengenal beberapa 12
Muhammad Maliki, Keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 23 Agustus 2014 Ibnu Hajar Al-Handali, Mahligai Taqwa Memetik Mutiara Hikmah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), hlm. 224 13
69
tingkatan dalam penggunakannya. Dalam ucapannya akan terlihat anak itu berkelakuan baik atau buruk, bersikap sopan santun atau tidak tergantung dari penggunakan bahasa jawa yang tepat. Seorang yang dapat menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa dengan baik akan mendapatkan nilai yang positif dihadapan masyarakat atau setidaknya anak itu akan dianggap sebagai anak yang sopan. Seperti contoh ketika anak bisa menggunakan bahasa kromo kepada orang tua, guru, atau orang yang yang lebih tua. Hal ini menunjukkan sikap hormat dan rendah hati oleh anak tersebut. Penanaman unggah-ungguh bahasa jawa disamping sebagai ciri khas orang jawa, juga sebagai pembelajaran kepada anak supaya dapat berbicara dengan sopan dan mengerti dengan siapa dia berbicara dan bagaimana dia harus menggunakan bahasa yang tepat. Dalam kajian sosiolinguistik, yaitu kajian tentang penggunaan bahasa dan hubungannya dengan sosial. Hal ini sangat penting sebagai pelajaran kepada anak. Karena bahasa dapat menjadikan cerminan bagi pengguna bahasanya. Sosiolinguistik mengenal adanya kelas sosial, yaitu perbedaan kedudukan masing-masing individu, dari perbedaan masing-masing individu itu mempunyai perbedaan dalam cara bertutur kata. Unggah-ungguh bahasa jawa merupakan pelajaran yang tersirat dalam pembentukan akhlak berbicara anak. Seperti halnya yang diucapkan oleh keluarga ustadz yang bernama Umayah “pendidikan unggah-ungguh bahasa jawa dapat menjadikan anak yang sopan santun tersebut anak cenderung berpikiran positif dan tentunya kalau punya pikiran yang positif anak tersebut akan condong pada kasih sayang terhadap sesama dan itu
70
tentunya yang diharapkan oleh Agama khususnya Islam. Karena Agama Islam adalah kasih sayang”14 Anak yang dapat menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa dengan baik bisa meningkatkan akhlak anak tersebut. Karena dalam Islam juga diajarkan untuk selalu menjaga lisan dan berbicara yang baik kepada sesama manusia. Begitu penting dan utamanya bahasa jawa tersebut sampai salah satu ulama yang bernama Al Habib Umar Assegaf mengatakan bahwa yang pantas masuk surga adalah orang jawa yaitu bagi orang-orang yang sesuai dengan tradisi jawa atau unggah-ungguh bahasa jawa dan taat kepada agama Islam. Ada sebuah pepatah dari orang jawa, yang disampaikan oleh ust Muhammad Maliki yaitu:15 Wong jowo noto kromo Wong arab noto roso Wong cino noto bondo Dari pepatah jawa ini menerangkan hanya orang jawa saja yang mengajarkan tentang tata karma, yaitu bersikap sopan santun kepada orang yang lebih tua, kepada sesama, dan orang yang lebih muda. Kemudian wong arab noto roso, seperti yang telah tersurat dalam sejarah bahwa orang arab pada zaman dahulu dikenal dengan jaman jahiliyah, maksudnya adalah bahwa orang arab sedikit mempunyai perasaan, atau belas kasihan kepada sesama, terbukti pada zaman dahulu orang tua akan malu jika mempunyai anak perempuan sehingga mereka membunuh anak perempuannya hiduphidup. Kemudian wong cino noto bondo, kalimat ini sudah diketahui bersama 14
15
Umayah, Keluarga Ustadz , Wawancara Pribadi, Wiradesa, 20 Agustus 2014 Muhammad Maliki, Keluarga Ustadz,Wawancara Pribadi, Wiradesa, 23 Agustus 2014
71
bahwa orang cina sangat perhitungan sekali di dalam masalah urusan harta benda. Dengan demikian Unggah-ungguh bahasa jawa terbukti mampu mengajarkan kepada anak untuk berbuat sopan santun kepada orang yang lebih tua, sesama ataupun yang lebih kecil darinya. Anak yang dapat menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa dengan baik berarti anak tersebut mempunyai kepribadian yang baik. Demikian juga sebaliknya. Selain itu Keluarga yang senantiasa menggunakan unggah-ungguh bahasa jawa akan terasa tentran dan damai dalam kesehariannya. Karena semua anggota keluarga menggunakan bahasa yang halus. Pengajaran unggah-ungguh bahasa jawa dapat mengajarkan kepada anak untuk berbuat rendah hati kepada orang lain dan dapat menghindarkan anak dari kebiasaan sifat marah. 3. Nilai Cinta dan Kasih Sayang Pada dasarnya sifat kasih sayang (ar-rahman) adalah fitrah yang dianugrahkan Allah kepada makhluk. Islam menghendaki agar sifat kasih saying dan sifat belas kasih dikembangkan secara wajar, kasih sayang mulai dari keluarga sampai kasih sayang lebih luas dalam bentuk kemanusiaan. Apabila sifat ar-rahman sudah tertanam pada diri seseorang, maka dapat menimbulkan sifat akhlaqul karimah lainnya, diantaanya: a) Pemurah ialah sikap suka mengulurkan tangan kepada orang lain yang membutuhkan.
72
b) Tolong menolong ialah sikap yang senang menolong orang lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga dan moril. c) Pemaaf ialah sifat pemaaf yang timbul karena sadar bahwa manusia bersifat dhaif tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. d) Damai ialah (as-shulhu), orang yang jiwanya penuh kasih sayang dapat memancarkan sikap suka kepada peradamaian dan keadilan. e) Persaudaraan, dari jiwa yang penuh kasih sayang mudah diperoleh semangat kekuasaan. f)
Menghubungkan tali kekeluargaan (silaturahmi), dengan adanya sifat kasih sayang ini, maka seorang muslim tidak senang memutuskan tali kekeluargaan.16 Anak yang diajarkan unggah-ungguh bahasa jawa, berarti
mengajarkan untuk berbuat saling mencintai dan menyayangi kepada sesama manusia. Seperti yang diutarakan oleh ust. Muhmaad Maliki bahwa “di dalam mendidik anak, kita sebagai orang yang beriman harus sebisa mungkin tidak jauh dari konsep-konsep yang diajarkan Rasulullah Saw, dengan penerapan adab yang nantinya supaya jadi orang yang berakhlakul karimah. Adapun kunci adab yaitu menghormati yang lebih tua, menghargai sesama, dan mencintai yang lebih kecil…”17
16
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 41-44 17 Muhammad Maliki, Keluarga Ustadz, Wawancara Pribadi, Wiradesa, 23 Agustus 2014