BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang tersusun atas ayah, ibu dan anak, merupakan sarana yang dibenarkan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan berbagai hak dan kewajiban yang menyertainya. Usaha-usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan, kadang terjadi benturan-benturan kepentingan antar individu. Benturan-benturan (konflik) dalam kelompok terkecil (keluarga) sering muncul. Dalam keluarga hal ini merupakan proses wajar yang tidak bisa dilepaskan sebagai upaya pembentukan keluarga harmonis sesuai dengan tujuan pernikahan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa12 (pasal 1 UU No 7 Tahun 1974), ataupun mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (pasal 3 KHI)13. Keluarga harmonis merupakan keluarga pintar yang proporsional serta mampu mengatasi konflik-konflik yang dialami. Bagi keluarga yang tidak mampu menyelesaikan persoalan rumah tangga, akan membuat biduk pernikahan tergoncang. Konflik berkepanjangan diselingi percekcokan, membuat pelaku pernikahan merasa ikatan perkawinan hanya sumber
12
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pengadilan Agama (Jakarta: PT Inter Masa, 1991), 187. 13 Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, 2005), 14.
17
18
penderitaan. Ikatan perkawinan dengan fungsi sebagai kemuliaan manusia untuk mencegah hidup bebas mengikuti naluri berhubungan jantan dan betina secara anarki, 14 sudah tidak bisa terpenuhi. Ketika hal ini terjadi, maka jalur alternatif terakhir dengan memutuskan perkawinan diperbolehkan. Dalam tata hukum perkawinan umat Islam di Indonesia, putusnya perkawinan dianggap sah ketika sudah ada putusan dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang menyesaikan perkara(yang menjadi kewenanganya yang diajukan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006 Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
15
Dari ayat ini
mempertegas adanya pembatasan wilayah kewenangan Pengadilan Agama. Pengadilan
Agama
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus
dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam dibidang: (a) perkawinan (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f)zakat; (g)infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syari’ah.16 Realita sosial di masyarakat Indonesia yang beragam, terjadi berbagai bentuk kerjasama dan hubungan lintas suku, agama, bangsa dan sekat-sekat yang lain. Dengan kemajuan teknologi, semakin membuat hubungan antara manusia tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Sebagai dampak negatif diantaranya
14
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah,terj Moh Thalib.jilid 15 (Bandung: PT Alma’arif, 1980), 8. Abdul Gani Abdullah, Himpunan-Undang-Undang270. 16 Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Http://.Wikipedia.Org /Wiki/Amandemen.8. 15
19
pergaulan semakin bebas dan terjadi percampuran kebiasaan hidup. Pertukaran pada kebiasaan (ajaran) perayaan suatu agama menjadi umum dilakukan umat agama lain. Sebagai contoh adalah perayaan Valentine Day (ajaran kristen), menjadi bukti kongkrit melemahnya fungsi hukum (ajaran) suatu agama (Islam). Meskipun demikian Agama Islam tidak melarang kita (muslim) bermuamalah dengan orang nonmuslim, selama tetap berpegang pada ajaran agama. Sedekat apapun hubungan kita dengan orang nonmuslim, tidak pernah dibenarkan oleh syari’at untuk mencampur ajaran Islam (tauhid) atau mengikuti ajaran mereka. Dengan adanya hubungan muamalah orang akan mampu memenuhi kebutuhan hidup, membuat orang menjadi lebih dekat (akrab) serta memunculkan ikatan batin. Ketika terjadi kecocokan (lawan jenis) tidak menutup kemungkinan hubungan ini akan berlanjut (ketahap hubungan berumah tangga). Terkadang orang tidak mampu menahan gejolak rasa untuk mencintai (lawan jenis) termasuk kepada orang nonmuslim, sehingga muncullah pernikahan dari hubungan lain agama (yang lebih dikenal dengan perkawinan beda agama). Pelaku pernikahan beda agama akan kesulitan mendapatkan pengakuan ketika bersikukuh pada agama masing-masing. Peraturan pada setiap agama seperti Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha dan agama lain terutama Islam, tidak akan membenarkan (menganggap sah) perkawinan ini. Berbagai bentuk larangan yang tercantum dalam hukum Islam formil di Indonesia. Dalam KHI pasal 40 huruf c seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
20
yang tidak beragama Islam.17 Begitu juga sebaliknya pada pasal 44 seorang wanita Islam di larang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.18 Dalam KHI pasal 61 tidak sekufu tidak bisa dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.19 Sebagaimana Firman Allah SWT :20
∩⊄⊄⊇∪ 7πx.Îô³•Β ÏiΒ ×öyz îπoΨÏΒ÷σ•Β ×πtΒV{uρ 4 £ÏΒ÷σム4®Lym ÏM≈x.Îô³ßϑø9$# (#θßsÅ3Ζs? Ÿωuρ Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik”.21 Dengan berbagai pelarangan ini menjadi fenomena bagi individu yang ingin memadu kasih dengan agama yang berbeda, sebagai solusi yang sering diambil keduanya adalah salah satu pihak pindah agama. Dengan pergantian agama orang bisa menjalin hubungan keluarga dengan muslim ataupun muslimah. Pernikahan ini tidak menutup kemungkinan bisa mencapai tujuan pernikahan, yang diharapkan setiap orang terutama bagi pelaku pernikahan. Tapi tidak jarang terjadi kegoncangan dengan beragam sebab. Salah satu sebab karena kebimbangan terhadap agama baru sehingga muncul keinginan kembali pada agama semula. Agama Islam menjamin kebebasan setiap orang memilih agama yang dianutnya. Sebagai landasan hukum kebebasan bergama adalah firman Allah SWT:
17
Dirjen, Kompilasi, 28. Ibid, 29. 19 Ibid, 36. 20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim,(Surakarata:Al-Waah,2003),32 21 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Jakarta: PT.Serajaya Santra, tahun III 1986/1987, 53. 18
21
∩⊄∪ öàõ3u‹ù=sù u!$x© ∅tΒuρ ÏΒ÷σã‹ù=sù u!$x© yϑsù ( óΟä3În/§‘ ÏΒ ‘,ysø9$# È≅è%uρ Artinya: "Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".22 Dengan kebebasan ini, Islam tetap mengajarkan pemeluknya untuk selalu berpegang dan menjalankan ajaran Islam(tidak menghendaki murtad). Tapi semua itu tetap menjadi kebebasan masing-masing individu untuk memilih, tanpa bisa memilih akibat yang ditimbulkannya, termasuk dalam urusan perkawinan. Sebagai studi kasus adalah putusan Pengadilan Agama Magetan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt tentang pengajuan perkara fasakh oleh orang Kristen Protestan yang dulunya menikah dengan tatacara Islam, kemudian murtad (keluar dari agama Islam). Dari penyampaian diatas bisa disimpulkan bahwa agama (Islam) melarang umatnya menikah dengan umat agama lain. Di sisi lain masyarakat mempunyai kebebasan dalam bergaul, yang terkadang terjadi penyimpangan (pernikahan beda agama/ pernikahan dengan latar belakang agama yang berbeda). Pokok permasalahan adalah status hukum suami dengan back ground non muslim, yang dibuktikan dengan foto copy KTP Pemohon yang dikeluarkan kantor Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan Nomor: 12.19.01.221063.0001. Suami tersebut mengajukan gugatan fasakh ke Pengadilan Agama Magetan. Pengadilan Agama berdasarkan pasal 1 Ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No3
22
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, 448.
22
Tahun 2003 tidak bisa menerima orang non muslim, karena Pengadilan Agama diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan peraturan ini menutup upaya penyelesaian perkara perceraian (pengajuan fasakh) yang diajukan oleh orang non muslim ke Pengadilan Agama. Namun dalam hal ini Pengadilan Agama Magetan menerima, memeriksa, memutuskan perkara aquo, yang bisa dikatakan tindakan penyimpangan terhadap pasal 1 Ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2003. Dengan gambaran diatas penulis ingin mengkaji lebih mendalam mengapa hakim Pengadilan Agama Magetan menerima perkara yang diajukan oleh orang non muslim dengan judul “Tinjauan KHI dan UU No. 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 terhadap putusan No. 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt, tentang pengajuan fasakh orang Kristen Protestan di Pengadilan Agama Magetan”.
B. Penegasan Istilah Penegasan istilah adalah penjelasan tentang pengertian dan konsep yang terdapat dalam judul dan yang singkat padat konseptual serta sebagai serangkaian pengertian dan alur yang penulis kemukakan, maka diharapkan muncul pemahaman secara global dan hasil pembatasan masalah dan penulisan masalah skripsi dan membentuk kerangka berfikir.
Adapun penegasan istilah adalah sebagai berikut:
23
KHI (Kompilasi Hukum Islam)
: Instruksi presiden RI Nomor 1 tahun 1991, yang berisi 3 (tiga) buku: Buku 1 Tentang Hukum Perkawinan, Buku 2 Tentang Hukum Kewarisan dan Buku 3 Tentang Perwakafan.
UU No. 7 tahun 1989
: Undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan dan hukum acara pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama.
UU No.3 Tahun 2006
:Undang-undang No.3 Tahun 2006 merupakan Undang-undang perubahan atas UndangUndang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Putusan
: Putusan yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan tingkat pertama (tingkat PA) Nomor 17/Pdt.G/2008/PA
yang
dikeluarkan
Pengadilan Agama Magetan pada tanggal 5 Maret 2008. Pengajuan fasakh orang Kristen Protestan: Pengajuan fasakh oleh orang Kristen Protestan yang dulunya menikah dengan tata cara hukum Islam. C. Fokus Penelitian
24
Pada kasus penyelesaian perkara orang non muslim (Kristen Protestan) ke Pengadilan Agama di atas, penelitian dapat di fokuskan pada beberapa masalah sebagai berikut : 1. Masalah alasan-alasan yang di pakai hakim dalam menerima pengajuan perkara fasakh oleh orang Kristen Protestan di Pengadilan Agama Magetan ? 2. Masalah proses penyelesaian perkara bagi orang Kristen Protestan (non muslim) di Pengadilan Agama Magetan ? 3. Masalah apa yang dipakai hakim (dasar hukum) dalam memutuskan perkara No. 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt ? 4. Masalah bentuk dan akibat putusan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dalam perkara pengajuan perkara Kristen Protestan di Pengadilan Agama Magetan ? D. Pembatasan Masalah Identifikasi masalah di atas masih terlalu global, supaya tidak terjadi penyimpangan pembahasan, maka diperlukan batasan demi pencapaian pada pokok pembahasan. Dengan pembatasan masalah sebagai berikut. 1. Mengenai dasar hukum yang dipakai hakim dalam memutuskan perkara No. 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt ? 2. Mengenai tata cara penyelesaian perkara No. 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt di Pengadilan Agama Magetan? 3. Mengenai alasan-alasan hakim Pengadilan Agama Magetan dalam menerima perkara fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan ?
25
E. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah dan dengan pemfokusan pembahasan pada pembatasan masalah, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan KHI dan UU No 7 Tahun 1989 Jo.UU No 3 Tahun 2006 terhadap alasan-alasan hakim menerima perkara fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan ? 2. Bagaimana tinjauan KHI dan UU No. 7 tahun 1989 terhadap dasar hukum yang dipergunakan hakim P.A dalam putusan No. 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt tentang pengajuan fasakh orang Kristen Protestan ke Pengadilan Agama Magetan ?
26
F. Tujuan Penelitian Tujuan pembahasan skripsi ini antara lain : 1. Untuk mengetahui alasan-alasan hakim menerima perkara fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang dipergunakan hakim dalam perkara pengajuan fasakh orang Kristen Protestan ke Pengadilan Agama Magetan.
G. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan kajian dalam perkara pengajuan fasakh orang oleh orang Kristen Protestan ke Pengadilan Agama Magetan. 2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para praktisi hukum dalam perkara yang sama. 3. Sebagai upaya dalam pengembangan tata hukum Islam di Pengadilan Agama.
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam hal ini jenis penelitian yang penulis pakai adalah penelitian lapangan, yaitu : penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana kasus ini diputuskan, termasuk dokumen-dokumen yang memuat kasus ini di Pengadilan Agama Magetan.
27
2. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini pendekatan penelitian yang dipakai penulis adalah pendekatan kualitatif yaitu memahami objek alamiyah berupa kasus pengajuan perkara Fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan di Pengadilan Agama Magetan untuk selanjutnya dilakukan analisa secara mendalam. 3. Lokasi Penelitian Adapun lokasi (tempat) penelitian dalam skripsi ini adalah Pengadilan Agama Kabupaten Magetan yang beralamat di Jl. Basuki Rahmat Utara No. 10 Magetan. 4. Sumber Data Dalam penulisan skripsi ini membutuhkan data tentang alasan-alasan atau bahan
pertimbangan
hakim
dalam
menerima
perkara
No
17/Pdt.G/2008/PA.Mgt serta dasar hukum hakim dalam memutus perkara ini. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan data lapangan dan literer (buku-buku) yang relevan serta mempunyai kaitan dengan permasalahan ini. a. Data lapangan Penulis mendapatkan data lapangan melalui : 1). Informan: pihak yang menangani kasus tersebut (majelis hakim) atau pihak lain (Wakil Panitera) di Pengadilan Agama Magetan. 2). Dokumen data mengenai putusan Pengadilan Agama Magetan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt
28
b. Data Literatur Kitab-kitab dan buku-buku yang dijadikan acuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1).
Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, 2005
2).
Abdul
Gani
Abdullah,
Himpunan
Perundang-undangan
dan
Peraturan Pengadilan Agama, Jakarta: PT Intermasa 1991.. 3).
Undang-Undang Republik Indonesia
No 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Perdilan Agama, http:// .wikipedia .org/wiki/Amandemen. diakses tanggal 27 0ktober 2008 4).
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
5).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
6).
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, terj.Yayasan Penyelengara Penterjemahan Alquran, Jakarta: PT.Serajaya Santra, tahun III 1986/1987.
29
5. Metode pengalian data a. Wawancara : wawancara yang dilakukan dengan memberikan pertanyaanpertanyaan kepada pihak yang menangani kasus tersebut (majelis hakim) atau pihak lain Wakil Panitera di Pengadilan Agama Magetan. b. Dokumentasai : pengalian dokumentasi berupa dokumentasi lembar putusan Pengadilan Agama Magetan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt.
6. Metode Pengolahan Data a. Editing
: pemeriksaan kembali data yang terkumpul terutama dari segi kelengkapan, keterbukaan, kejelasan makna dan keselarasan satu sama lain serta relefansi dan keseragaman satuan yang disusun dalam sebuah data.
b. Organizing
: menyusun data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya sesuai dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan, sehingga re levan dengan pembahasan.
c. Penemuan hasil data : adalah melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian kaidah,
dengan
teori-teori,
dalil,
menggunakan sehingga
kaidahdiperoleh
kesimpulan tertentu yang merupakan jawaban dari rumusan masalah.
30
7. Tehnik Analisa Data Analisa data yang dipakai penulis dalam skripsi ini berupa Metode Induktif. Metode Induktif yaitu proses berfikir yang diawali dengan menggunakan kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus (dan riset-riset) untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum berupa generalisasi.
I. Sistematika Pembahasan Agar dalam skripsi ini pembahasannya saling berhubungan, memiliki sinkronisasi, sistematik dan merupakan suatu bahasan yang integral serta mengarah pada pokok permasalahan, maka dianggap penting adanya sistematika pembahasan pada setiap bab dengan gambaran sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pola dasar yang memberi gambaran umum terhadap skirpsi ini yang mencakup : Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, fokus penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan; BAB II TEORI FASAKH MENURUT KHI DAN UNDANG –UNDANG N0. 7 TAHUN 1989 JO UU NO. 3 TAHUN 2006 Dalam bab ini terkait dengan teori-teori sebagai pijakan dalam skripsi ini sehingga perlu menyampaikan pengertian fasakh dan dasar hukumnya, , penyebab dan bentuk-bentuk
fasakh,
akibat
hukum
fasakh.
Selain
itu,
penulis
juga
31
menyampaikan
teori-teori tentang tata cara penyelesaian perkara fasakh di
Pengadilan Agama, kewenangan hakim dalam mengali hukum dan dasar hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara; BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MAGETAN NO.17/Pdt.G/2008/PA.Mgt.
Dalam bab ini menyajikan pembahasan terhadap subyek penegak keadilan di Pengadilan Agama Magetan terkait dengan: Alasan-alasan hakim yang digunakan dalam menerima perkara orang non muslim di Pengadilan Agama (Putusan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt), dan dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutuskan perkara No 17/Pdt.G/2008/PA. Mgt, yang merupakan hasil dari praktek (pencarian data di lapangan); BAB IV ANALISIS KHI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 JO UU NO 3 TAHUN 2006 TERHADAP ALASAN-ALASAN HAKIM YANG DIGUNAKAN
HAKIM
DALAM
MENERIMA
PERKARA
NO.
17/Pdt.G/2008/PA.Mgt. Bab pembahasan ini memuat analisa KHI dan UU No. 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 terhadap: alasan-alasan hakim menerima
perkara fasakh yang
diajukan oleh orang Kristen Protestan, dan dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan
Agama
17/pdt.G/2008/PA.Mgt;
Magetan
dalam
memutuskan
perkara
No
32
BAB V PENUTUP Merupakan bahasan skripsi yang berisi kesimpulan serta saran-saran. Bab ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang merupakan hasil maksimal dari pembahsan skripsi ini. Selain itu bab ini juga memuat saran-saran sebagai solusi berupa kontribusi pemikiran penulis terhadap permasalahan yang dibahas.
33
BAB II TEORI FASAKH MENURUT KHI DAN UNDANG –UNDANG N0 7 TAHUN 1989 JO UU NO 3 TAHUN 2006
A. Pengertian Fasakh Dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Fasakh Fasakh berasal dari kata HIJ artinya membatalkan. Memfasakh akad nikah berarti membatalkanya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.23 Dalam arti terminologi fasakh bisa diartikan: 1.
Sebagai pembatalan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan suami atau istri yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan.24
2.
Batal dan lepasnya perkawinan antara suami istri ,karena adakalanya disebabkan karena terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan ada kalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
23
124.
24
25
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, terj. Moh. Thalib. jilid 8 ( Bandung: PT. Al-ma’arif, 1994),
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 314. 25 Perpustakaan Nasional R.I, Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan, cet ke-6 (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 2003), 317.
Dari definisi ini (definisi No.1) mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh yaitu:15 Pertama : Kata “Pembatalan”: mengandung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya sesuatu yang terjadi sebelumnya. Dalam pasal 22 Undang-Undang
perkawinan
dijelaskan:
perkawinan
dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Jadi jelaslah maksud yang dibatalkan adalah ikatan perkawinan yang telah terbentuk. Kedua
: Kata “Ikatan Perkawinan”: mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung (dipertahankan) adalah ikatan perkawinan.
Ketiga
: Kata “Pengadilan Agama”: mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga peradilan yang dalam hal ini Pengadilan Agama. Sebagaimana pasal 74 KHI: permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. 16
Keempat : Kata “Berdasarkan tuntutan Suami atau Istri yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau perkawinan yang telah
15 16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 242. Dirjen, Kompilasi, 41.
34
35
terlanjur menyalahi hukum pernikahan”. Jadi dalam kasus fasakh harus ada pihak yang mengajukan ke Pengadilan Agama. 2. Dasar hukum Fasakh Dasar hukum fasakh karena murtad terdapat dalam beberapa sumber yaitu: a. Dasar hukum Al-Qur'an
ª!$# ( £èδθãΖÅstGøΒ$$sù ;N≡tÉf≈yγãΒ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝà2u!%y` #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ Ÿω ( Í‘$¤ä3ø9$# ’n<Î) £èδθãèÅ_ös? Ÿξsù ;M≈uΖÏΒ÷σãΒ £èδθßϑçFôϑÎ=tã ÷βÎ*sù ( £ÍκÈ]≈yϑƒÎ*Î/ ãΝn=÷ær& yy$oΨã_ Ÿωuρ 4 (#θà)xΡr& !$¨Β Νèδθè?#uuρ ( £çλm; tβθ&=Ïts† öΝèδ Ÿωuρ öΝçλ°; @≅Ïm £èδ ÄΝ|ÁÏèÎ/ (#θä3Å¡ôϑè? Ÿωuρ 4 £èδu‘θã_é& £èδθßϑçG÷s?#u !#sŒÎ) £èδθßsÅ3Ζs? βr& öΝä3ø‹n=tæ ãΝä3øts† ( «!$# ãΝõ3ãm öΝä3Ï9≡sŒ 4 (#θà)xΡr& !$tΒ (#θè=t↔ó¡uŠø9uρ ÷Λäø)xΡr& !$tΒ (#θè=t↔ó™uρ ÌÏù#uθs3ø9$# 17
(10 :NOPQRSOT )اÒΟŠÅ3ym îΛÎ=tæ ª!$#uρ 4 öΝä3oΨ÷t/
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah
17
Departemen Agama RI, Al-Qur'an Al-Karim (Surakarta: Al-Waah, 2003), 496-497.
36
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.18
18
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: PT Serajaya Santra, tahun III 1986/1987),
37
b. Dasar Fiqih
n ِ mَ I َ lِ \ُ kْ jَ Tْ اH َI َ Jَ Nِ aْ Tَ ِ\ ِاjْ iَ ْhTَ ِم َوf َe ْd ِ ْ اb ِc َ b ِ aْ ` َ ْ َ^وT ُ\ اP َ ِا َذا ِارْ َ[ َ\ َا 19 uِ tِ رQِs r T َد ِة اoِ Tا “Apabila salah seorang dari suami istri keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali menjadi Islam, maka pernikahannya rusak disebabkan keluar dari agama Islam yang telah terjadi”.20 c. Kesepakatan ulama (ijma’) Bila salah seorang suami atau istri murtad atau murtad bersama-sama, maka pernikahanya fasakh, baik si Suami masuk Islam setelah Islamnya si istri atau si istri masuk Islam setelah Islamnya suami; atau suami kembali ke Islam atau istrinya kembali ke Islam, atau kedua-duanya kembali ke Islam; maka si istri tidak bisa kembali ke suaminya kecuali dengan persetujuan kedua-duanya. Dengan maskawin dan dengan wali serta penyaksian. Dan tidak wajib dalam hal ini memperhatikan sedikitpun mengenai iddah dan penawaran Islam 21 . Dalam ijma’ juga dijelaskan bahwa yang sah kemurtadanya hanyalah dari orang yang berakal. Orang yang tidak berakal seperti anak kecil, orang gila dan orang yang hilang akalnya karena pingsan, tidur, atau minum obat yang boleh diminum – tidak sah kemurtadanya; jadi tetap muslim tanpa khilaf.
19
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah II (Beirut: Dar al-Fikr, ), 268. Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, Terj Mohammad Thalib. jilid 8 (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1994), 125. 21 t.p. terj Sahal Mahfudz dan Mustafa Bisri, Persepakatan Ulama Dalam Hukum Islam Insklopedi Ijmak (Jakarta: Pustaka Firdaus bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)), 484 . 20
38
Dasar hukum fasakh yang disampaikan penulis adalah dasar hukum fasakh karena murtad. Hal ini karena masing-masing dari bentuk fasakh mempunyai dasar hukum sendiri, dan fasakh yang masuk dalam kajian skripsi ini adalah fasakh sebab murtad.
B. Penyebab dan bentuk-bentuk fasakh Penyebab terjadinya fasakh ada 2: 1. Fasakh yang disebabkan rusaknya atau terdapat cacat dalam akad nikah. 22 Hal ini terjadi pada”Perkawinan yang telah berlangsung, ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik tentang rukun maupun syaratnya; atau pada perkawinan tersebut terdapat halangan yang tidak membenarkan terjadinya perkawinan.23 fasakh dengan sebab karena cacat dalam akad nikah diantaranya:24 a) Setelah perkawinan berlangsung, dikemudian hari kemudian diketahui bahwa suami istri adalah saudara sekandung, saudara seayah seibu atau saudara sepersusuan. b) Apabila ayah atau kakek menikahkan anak laki-laki atau perempuan di bawah umur, maka setelah kedua anak itu dewasa maka mereka berhak memilih melanjutkan perkawinan tersebut atau menghentikan.
22
Perpustakaan Nasional R.I, Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan, cet ke-6, (Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve, 2003),317 23 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan, 243. 24 Perpustakaan Nasional R.I, Ensiklopedi Hukum Islam, 317.
39
2. Fasakh yang disebabkan adanya penghalang (man’I al-hurǖf) setelah berlangsungya perkawinan.25 Dalam buku lain dijelaskan; fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau istri terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau istri atau keduanya sekaligus (khiyar fasakh).26 Penghalang ini menyebabkan perkawinan tidak bisa dilanjutkan, Karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan bisa menyebabkan kemadharatan . fasakh karena sebab ini di antaranya: a) Salah seorang diantara suami istri itu murtad (keluar dari Islam), sehingga perkawinan itu batal dengan sendirinya; b) Apabila pasangan suami istri tersebut dahulunya menganut agama non Islam, kemudian istrinya masuk Islam. Dengan sendirinya akad nikah itu batal c) Tidak adanya nafkah bagi istri Dalam kondisi suami tidak memberi nafkah atau menolak memberi nafkah. Tidak memberi nafakah kepada istri serta tidak dicerai adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakanya.27
25
Ibid, 371. Amir Syaifudin, Hukum Perkawinan,245. 27 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh Jilid II,(Jakarta: Departemen Agama 1982/1983),271. 26
40
d) Terjadinya cacat atau penyakit. Jika salah satu pihak (suami atau istri) menderita penyakit (semisal: gila) yang berakibat terganggunya hubungan suami-istri sedemikian rupa sehingga mengganggu hubungan suami-istri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan batin pihak yang satunya, atau membahayakan hidupnya,28 maka yang bersangkutan bisa mengajukan ke Pengadilan . Sedangkan dalam KHI, fasakh dalam bentuk pertama (fasakh karena cacat dalam akad nikah) ini diatur Undang-Undang sebagai batalnya perkawinan,29 dijelaskan pada pasal 70 dan 71, sebagai berikut: Pasal 70 perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah thâlâq raj’i; b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi thâlâq tiga kali
olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah
dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dhukul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan
28
sesusuan sampai derajat tertentu yang
ibid, 271. 29 Amir Syaifudin, Hukum Perkawinan,244.
41
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. Pasal 71 suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan wali yang tidak berhak;
42
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.30 Fasakh yang disebabkan adanya penghalang setelah berlangsungya perkawinan dibicarakan dan di atur KHI dalam bentuk putusnya perkawinan karena perceraian khususnya perceraian melalui gugatan istri. 31 Putusnya perkawinan dalam KHI dibahas pada pasal 113: Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian, dan; c.Atas putusan Pengadilan.32 Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian terdapat pada KHI pasal 116 yaitu: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; 30
Dirjen, Kompilasi, 39-40. Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 253. 32 Dirjen, kompilasi, 56 31
43
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik thâlâq; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.33 Dari kedua pembahasan tersebut di atas masalah murtad terlihat jelas dalam KHI pasal 116 huruf h yaitu: Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
C. Akibat hukum fasakh Akibat hukum terhadap perkawinan yang terjadi fasakh baik karena terdapat cacat dalam akad nikah atau karena terdapat penghalang untuk melanjutkan perkawianan, ada dua yaitu: 1. Perpisahan suami istri tidak mengurangi bilangan thâlâq.34 Hal ini berarti hak suami untuk menthâlâq istrinya maksimal tiga kali, tidak berkurang karena fasakh; 2. suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya selama menjalani masa iddah, oleh karena perceraian dalam fasakh berstatus bain sugra.35 Sehingga bila sumi ingin melanjutkan pernikahan harus dengan akad nikah baru.
33
Ibid, 56-57. Perpustakaan Nasional, Ensiklopedi,319. 35 Amir Syarifudin, hukum perkawinan Islam di Indonesia, 253. 34
44
D. Penyelesaian perkara Fasakh di Pengadilan Agama Magetan Agama
(Islam)
mengajarkan
untuk
menikah,
demi
memenuhi
kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Karena itu ketika pernikahan hanya menyebabkan kemadharatan baik untuk suami ataupun isteri, maka diperlukan jalan keluar. Berbagai upaya penyelamatan perkawinan bisa dilakukan dan sebagai jalan keluar terakhir adalah dengan memutuskan ikatan perkawinan. Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka tata cara Penyelesaian Perkara fasakh diatur dengan tata hukum (peraturan) yang berlaku. Penyelesaian perkara antar orang Islam terkait dengan perkawinan Islam (perkawinan berdasar hukum Islam) akan mempunyai kekuatan hukum ketika diselesaikan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan tingkat pertama mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.Perkawinan; b.waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah dan i. ekonomi syari’ah (pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006).36 Pada bidang perkawinan di Pengadilan Agama tercantum dalam buku 1 KHI pasal 1 – 170 dan UU No. 7 Tahun 1989 pasal 65 – 91. Pada tiap-tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama dimulai sesudah diajukannya suatu 36
Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undangundang No 7 Tahun 1989 tentang Perdilan Agama, http:// .wikipedia .org/wiki/Amandemen. diakses tanggal 27 0ktober 2008, 8.
45
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara di panggil menurut ketentuan yang berlaku (pasal 55 UU No. 7 tahun 1989).
37
Dan untuk
permohonan perceraian harus mempunyai alasan yang kuat (pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974), “Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak dapat rukun sebagai suami isteri” 38 Hal ini untuk menghindari
perceraian
yang
tidak
berdasar
(beralasan)
yang
hanya
menguntungkan pihak tertentu. Sikap Pengadilan Agama adalah menunggu adanya permohonan (pasal 55 UU No.7 tahun 1989). Jadi meskipun ada perkara yang menjadi kewenangannya (pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006), tapi tidak diajukan ke Pengadilan Agama maka Pengadilan juga tidak berwenang memprosesnya. Jika ada permasalahan dibidang perkawinan Permohon atau penggugat berhak mengajukan permohonan atau gugatan kepada Pengadilan. Dari proses pengajuan permohonan ini, Pengadilan Agama (majelis hakim) akan melakukan permeriksaan permohonan fasakh setelah berkas atau surat permohonan fasakh didaftarkan di Kepaniteraan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari (ketentuan pasal 68 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989)39 Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak (pasal 82 UU No. 7 tahun 1989).40 Dalam upaya
37 37
Abdul Gani Abdullah, Himpunan , 282. Ibid, 194. 39 Ibid, 284. 40 Ibid, 286. 38
46
perdamaian ini hakim bisa mendamaikan tanpa atau dengan meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu misalnya BP4. 41 Upaya mendamaikan dilakukan selama perkara belum diputuskan atau upaya mendamaikan dilakukan setiap sidang pemeriksaan (pasal 82 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989).42 Upaya pendamaian dilakukan pada proses awal persidangan, hal ini untuk mengetahui apakah proses (upaya) pendamaian di luar persidangan berhasil atau tidak. Jika upaya pendamaian berhasil dilakukan, maka perkara tidak perlu dilanjutkan. Apabila pendamaian gagal dan pernikahan tidak bisa dipertahankan, maka majelis hakim akan melanjutkan pemeriksaan. Permeriksaan perkara dilakukan untuk mengetahui kebenaran terhadap perkara yang diajukan. Pada tahapan ini kedua belah pihak (pemohon dan termohon) bisa membuktikan terhadap apa yang didalihkan. Yang dimaksud membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikmukakan dalam suatu persangkaan. 43 Alat-alat bukti(membuktikan) dalam perkara perdata ialah:44
1. Alat bukti surat
41
Mukti Arto, Praktek Perkara, 214. Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 286. 43 Subekti, Hukum Pembuktian,(Jakarta: PT Pradnya Paramita.,1995) .1 44 Mukti Asrto, Praktek Perkara, 145. 42
47
Adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat bukti)45 Macam-macam alat bukti surat. a. Akta Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta ada dua macam: 1). Akta otentik Adalah akta yang dibuat oleh (dihadapan) pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, ditempat dimana pejabat berwenang menjalankan tugasnya.46 Akta otentik merupakan bukti lengkap antara pihak serta keturunannya serta mereka yang mendapatkan hal sesuai dengan isi akta.
2). Akta di bawah tangan 45
Ibid, 148. Subekti, Tjitrosudebjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), 397. 46
48
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak dengan sengaja untuk pembuktian, tanpa bantuan dari seorang pejabat. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum apabila tanda tangan di dalam akta itu diakui oleh pihak yang bertanda tangan. 2. Alat Bukti Saksi Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Syarat-syarat saksi a. Syarat formil: 1. Berumur 15 tahun ke atas. 2. Sehat akalnya. 3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah atau keluarga semenda dari salah satu pihak (yang berperkara) menurut keturunan lurus. Kecuali dalam perselisihan kedua belah pihak tentang status hukum perdata, tentang perjanjian kerja atau tentang perceraian karena perselisihan suami istri. 4. Menghadap persidangan. 5. Mengangkat sumpah menurut agamanya. 6. Berjumlah sekurang-kurangnya 20 orang. 7. Dipanggil masuk ruang sidang satu demi satu.
49
8. Memberikan keterangan secara lisan.47 b. Syarat materiil saksi 1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri. 2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya. 3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri. 4. Saling bersesuaian satu sama lain. 5. Tidak bertentangan dengan akal sehat. Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas, artinya hakim bebas menilai kesaksian dengan nuraninya.48 3. Alat Bukti Persangkaan Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan UU atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Ada dua macam bentuk persangkaan yaitu: 1. Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan Undang-Undang. Contoh: pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974: perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut UU. Jadi persangkaan tentang perkawinan yang tidak sah berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU 1 tahun
47 48
Ibid, 165-166. Ibid, 166.
50
1974
adalah
perkawinan
yang
tidak
terpenuhi
syarat-syaratnya
berdasarkan UU perkawinan. 49 Bentuk persangkaan Undang-Undang mempunyai kekuatan pembuktiaannya. Bersifat memaksa (mengikat) hakim, kecuali jika dilumpuhkan lawan. 2. Persangkaan berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan (proses) yang timbul di persidangan.50 Sebagai contoh adalah saksi yang saling bertolak belakang. Maka hakim bisa mempunyai persangkaan bahwa saksi-saksi tersebut meragukan. Persangkaan berdasar persangkaan hakim
pembuktian
diserahkan
kepada
hakim.
Hakim
wajib
mempertimbangkannya secara logis. 4. Alat Bukti Pengakuan Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan ada 7 macam yaitu: a) Pengakuan murni di muka sidang yaitu: pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Saiful Anwar b) Pengakuan dengan kualifikasi yaitu: pengakuan disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
49 50
Ibid, 174. Ibid.
51
c) Pengakuan clausula, yaitu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. d) Pengakuan tertulis e) Pengakuan lewat kuasa hukum atau wakil f) Pengakuan lisan di luar sidang g) Pengakuan dalam sengketa perkawinan. 5. Alat Bukti Sumpah Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji tidak benar akan dihukum oleh-Nya.51 Sumpah ada dua macam yaitu: a) Sumpah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu b) Sumpah atau janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan sesuatu itu benar demikian atau tidak benar. 6. Pemeriksaan di Tempat (Descente) Descente ialah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan. Agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.52 7. Keterangan saksi ahli (expertise)
51 52
Ibid, 184. Ibid, 196.
52
Expertise adalah keterangan pihak ke 3 yang objektif yang bertujuan membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambahkan pengetahuan hakim itu sendiri. 8. Alat bukti pembukuan Alat bukti pembukuan merupakan alat bukti berupa kumpulan-kumpulan catatan tertulis yang dibuat seseorang dan memberi kekuatan alat bukti yang menguntungkan bagi pembuat pembukuan. Alat bukti ini sebenarnya bisa dimasukkan kedalam alat bukti tertulis. 9. Pengetahuan hakim Pengetahuan hakim merupakan pengetahuan yang diperoleh dalam proses persidangan, yakni yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan merupakan bukti bagi peristiwa yang disengketakan misal sikap, emosional, tindakan. Tapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti untuk memutuskan perkara. Setelah upaya pembuktian dengan alat-alat bukti di atas selesai, maka tahapan selanjutnya adalah kesimpulan. Dari semua alat di atas tidak harus ada, akan tetapi alat bukti yang diajukan biasanya alat bukti yang paling mudah di dapat. Pada tahap pembuktian baik Pemohon ataupun Termohon diberi kesempatan
53
untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pandangan masing-masing.53 Setelah tahapan kesimpulan selesai, maka dilanjutkan tahap putusan. Pada tahap ini hakim memutuskan duduk perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan dan dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu. Dari proses di atas bisa diperjelas (diperinci) tata cara penyelesaian perkara fasakh sebagai berikut: 1. Pemohon mengajukan permohonan fasakh kepada Pengadilan ditujukan ke meja I. Di meja I (pertama) akan ditaksir panjar biaya perkara dan menulisnya pada surat kuasa untuk membayar (SKUM).54 2. Pemohon menghadap kasir, menyerahkan surat permohonan, SKUM dan membayar panjar perkara. 3. Pemohon menghadap meja II menyerahkan surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar. Pada tahap ini meja II akan menyerakkan berkas perkara dan menyerahkan kepada wakil panitera untuk disampaikan kepada ketua Pengadilan melalui penitera. 4. Ketua Pengadilan selambat-lambatnya 7 hari akan menetapkan majelis hakim dan panitera, 55 kemudian ketua Pengadilan Agama menyerahkan semua berkas kepada majelis hakim.
53 54
Ibid, 109. Mukti Arto, Praktek Perkara, 59.
54
5. Setelah majelis hakim menerima berkas perkara selanjutnya akan dibuat penetapan hari dan tanggal sidang yang dibuat dalam registar induk bersangkutan 6. Langkah berikutnya adalah persidangan. Pada tahapan ini upaya pendamaian terus dilakukan selama perkara belum diputus. Ketika perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan, maka permohonan fasakh bisa dikabulkan (diputuskan). 7. Ketika perkara sudah diputuskan, maka berkas putusan dari majelis hakim diserahkan ke meja III, yang selanjutnya akan diberikan juga pada pemohon dan termohon. 8. Pada tahap akhir panitera muda akan mengarsipkan perkara tersebut.
E. Kewenangan hakim dalam menggali hukum Hakim pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa atau memutuskannya (pasal 56 UU No. 7 Tahun 1989). 56 (Pengadilan Agama) tidak bisa menolak perkara ketika peraturan perundangan tidak ada atau belum jelas. Dalam hal ini hakim berkewajiban untuk menggali hukum, yang dalam konsep Islam lebih dikenal dengan ijtihad . Hakim yang ijtihad dalam bidang putusan hakim (Pengadilan), ialah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash Undang-
55 56
Ibid, 61. Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 282.
55
undang, atau dengan mengistimbatkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash. 57 Dalam sebuah hadits nabi Muhammad menyatakan
\ُ iْ ^ِ iَ QَSxَ \r P َ \رَا َورْدىr T ِ\ اOr z َ {ُ b ُ lْ ^ِ ْi^ِ jَ Tْ ُ\ اmْ c َ QَSxَ \r P َ ِرQrOc ُ b ُ lْ ُمQَ| ِهQَSَx\r P َ ْbc َ ،ِ\aْ jِ e َ b ِ lْ oِ I ْ lُ ْbc َ ~Oaْ Rr T اhَ aْ ِهoَ lْ ِاb ِ lْ \ِ Or z َ {ُ ْbc َ ،دQَT اb ِ lْ ِ ُ\ اmْ c َ b ُ lْ َ Oِ e َ uُ r َا،ِصQَjT اb ِ lْ َوoِ Oْ c َ ْbc َ ،ِصQَjT اb ِ lْ َوoِ Oْ c َ ~َTْ{َ ٍ aْ َ ~ِlَأ َوِإ َذ،َِانo` ْ َأuُ َJَ ب َ QََJَ \َ َ Rَ ` ْ QَJ hَ َآQَzT اhَ َ P َ ل ِإذَا ُ ْkُ iَ .م. ص ِ لا ُ ْe ُ َر .oُ ` ْ َاuُ َJَ َءQَs ْ َJَ \َ َ Rَ ` ْ QَJ hَ َ P َ َ lْ َاNِ aْ Sِ xَ \r P َ َه ََا:ل َ QَkJَ ^ْ ٍمP َ b ِ lْ َوoِ Oْ c َ b ِ lْ oِ ْ lَ Qَlَ أuِ lِ ُ xْ \َ z َ Jَ \ُ iْ ^ِ iَ ل َ Qَ 58 . َةoَ iْ oَ ِ~ ُهlْ َاbc َ Nَ Oَ َe َ Artinya : Mewartakan kepada kami Hisyam bin Ammr; mewartakan kepada kami abdul A’ziz bin Abdullah bin alhad, dari Muhammad bin Ibrahim Attaimy, dari Busr bin said dari Abu Qois, maula Amr bin al-Ash, dari Amr Al-Asb bahwasanya dia mendengar Rosullulah Saw bersabda :” Apabila seorang hakim (hendak) memberi keputusan , lalu ber ijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah maka dia mendapat satu pahala” yazzid berkata: aku wartakan hadits itu kepada abu baker bin amr bin hazm , maka dia berkata demikian juga yang abu salamah wartakan kepadaku dari abu hurairah.59 Pasal 27.Undang-undang No. 14/1970 hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan mehami nilai-nilai hukum yang berlaku dimasyarakat.
60
Termasuk
didalamnya
kebiasaan-kebiasaan
yang
ada
dimasyarakat bisa dipakai sebagai bahan ataupun dasar dalam menyelesaikan perkara sesuai dengan masyarakat dimana kebiasaan tersebut berlaku. 57
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan bintang: 1993),192. Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwyny, “Sunan Ibnu Majah, Juz 1 (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), 728. 59 Abu abdullah muhammad bin yazid al-qazwiny” sunan ibnu majah juz:1 (Bairut: Daar alfikr: 1990),728. 60 Abdul Gani Abdullah, Himpunan,174. 58
56
Demikian pula dalam hukum acara pengadilan agama ( peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya
hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak dimuka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya).61 Hakim bisa disebut sebagai pembuat hukum atau penggali hukum. Jika hasil ijtihad hakim tersebut sudah diputuskan dan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan (waktu untuk banding) dari yang berperkara tidak ada yang banding maka mempunyai kekuatan hukum tetap dan manjadi yurisprudensi tidak tetap. Jika suatu saat ada hakim mau menggunakan yurisprudensi (yurisprudensi pengajuan perkara orang non muslim ke Pengadilan Agama) karena dirasa lebih baik memakai yurisprudensi, hakim tersebut bisa menggunakannya dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum. Dalam hal ini hakim harus mampu secara kompetitif analisis mengkaji antara nilai kepatuhan dan keadilan yurisprudensi dibanding apa yang dirumuskan dalam pasal Undang-Undang yang bersangkutan. 2. Mengunggulkan yurisprudensi melalui contra legem
61
Muktiarto, Praktek Perkara Perdata,7.
57
Pada tindakan ini penerapan contra legem (pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh). 62 Karena dirasa nilai bobot yurisprudensi lebih potensial dan efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum.63 3. Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan Undang-Undang Penerapan yurisprudensi ini tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi dan bebarengan dengan itu ketentuan pasal UU yang bersangkutan diperlunak menjadi fakultatif.64 F. Dasar hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Dalam setiap proses penyelesain perkara gugatan di Pengadilan Agama akan dilakukan secara bertahap yaitu tahap penerimaan, pemeriksaan dan tahap memutuskan. Putusan merupakan proses terakhir dalam penyelesaian perkara gugatan/permohonan di Pengadilan (Pengadilan Agama). Putusan ialah: pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka ,sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan.65 Putusan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Agama akan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu dalam setiap putusan yang dikeluarkan hakim Pengadilan Agama harus mempunyai dasar sesuai dengan tata 62
49.
63
Ahmad Kamil ,M Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprodensi (Jakarta: Kencana, 2004),
Ibid, 48. Ibid,48. 65 Mukti Arto, Praktek Perkara,251 64
58
aturan (hukum perdata) yang berlaku untuk Pengadilan Agama. Pasal 54 UU No.7 tahun 1989 “ Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.66 Dalam Undang-undang No 7 tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 penyelesaian sengketa perkawinan dan juga pejabat-pejabat yang ada dalam pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Sumber-sumber hukum acara Peradilan Agama yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara, yaitu:67 1. HIR/R.Bg HIR/R.Bg. adalah Staatblad Nomor 227 tahun 1927 yaitu: Reglemen acara hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura ) 2. UU No. 7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006 Kedua Undang-undang tersebut mengatur tentang perdilan Agama. Peraturan yang ada dalam Undang-undang no 7 Tahun 1989 tetap berlaku
selama
belum diatur dalam Undang-undang No 3 Tahun 2003. Pasal 106 UU No3 Tahun 2006: semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-
66 67
Abdul Gani Abdullah, Himpunan,281-282. Mukti Arto. Praktek perkara,12
59
undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang. 68 Dari ketentuan pasal 106 UU No 3 tahun 2006 inilah penulis mengkaji pasal 1 ayat (1)UU No 7 Tahun 1989 terhadap putusan pengadilan Agama Magetan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt, karena Undang-undang No 3 Tahun 2006 tidak merubah pasal tersebut (pasal 1 ayat (1)UU No 7 Tahun 1989) sehingga Undang-undang ini masih berlaku; 3. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Merupakan undang-undang yang berisi tentang pokok-pokok kehakiman sebagai penganti atas undang-undang No 19 Tahun 1964 dan Undang-undang No 6 Tahun 1964. 4. UU No. 14 tahun 1985 ( Undang-undang tentang Mahkamah Agung). Undang-Undang ini sebagai penganti atas Undang-Undang No 13 Tahun 1965 dan Undang-undang No 6 Tahun 1969 serta melaksanakan UU No 14 tahun 1970 maka dipandang perlu menetapkan Undang-Undang yang mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi mahkamah agung.69 5.
UU No.1 Tahun 1974 Jo.PP.No.9 Tahun 1975
68
.Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undangundang No 7 Tahun 1989 tentang Perdilan Agama, http:// .wikipedia .org/wiki/Amandemen. diakses tanggal 27 0ktober 2008 69 Abdul Gani Abdullah, Himpunan.209
60
UU No.1 Tahun 1974 merupakan Undang-undang tentang perkawinan, sedangkan Peraturan pemerintah(PP) No 9 Tahun 1975 merupakan peraturan pelaksanaan terhadap UU No.1 Tahun 1974. 6. UU No.20 Tahun 1947 UU No.20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan yaitu peradilan tentang perkara banding pada Peradilan Tinggi Agama
61
7. Inpres no. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam) Intruksi Presiden adalah: petunjuk-petunjuk dinas yang diberikan presiden kepada pejabat bawahanya tentang cara pelaksanaan dari kebijakan yang berdasarkan
atau
bersumber
perundang-undangan
yang lebih
tinggi
tingkatanya. Sebagai contoh adalah inpres no 1 tahun 1991 ,merupakan intruksi yang ditujukan kepada Menteri Agama. 8. Peraturan Mahkamah Agung RI. Merupakan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Aguang untuk mengatur kegiatan yang ada ruang lingkup peradilan. Sebagai contoh adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 1980 tentang peninjaun kembali putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 9. Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Merupakan surat edaran dari Mahkamah Agung untuk mengatur kegiatan yang ada ruang lingkup peradilan. Seperti Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 1964 tanggal 13 April 1964 tentang putusan verstek; 10. Peraturan Menteri Agama RI Peraturan Menteri (permen) adalah peraturan yang dibuat oleh menteri departemen yang bersangkutan untuk mengatur persoalan-persoalan yang termasuk bidang wewenangya dengan berdasarkan dan bersumber kepada perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya.70 Dari sini bisa diketahui
70
Amiroedin Syarif, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis Dan Tehnik Membuatnya (Jakarta: Bina Aksara ,1987) 40
62
bahwa Peraturan Menteri Agama adalah peraturan yang dibuat oleh Menteri Agama untuk mengatur persoalan-persoalan di bidang keagamaan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan yang lebih tinggi ditingkatnya. 11. Keputusan Menteri Agama RI Keputusan Menteri (KepMen) berisi putusan dari menteri yang bersangkutan (Menteri Agama) yang menetapkan sesuatu dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya. 71 Sebagai contoh keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Intruksi Presiden Republik Indoneesia Nomor 1 Tahun 1991 (KHI) 12. Kitab-kitab fiqh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainya Yang dimaksud sumber hukum tidak tertulis adalah hukum-hukum yang tidak tertulis yang berlaku dimasyarakat. Sumber hukum tidak tertulis merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dimasyarakat yang diikuti dan berlaku bagi masyarakat tersebut dan atau orang yang tinggal dalam lingkungan dimana kebiasaan itu berlaku. Hal ini sebagimana ketentuan dari Pasal 27.Undangundang No. 14/1970, yang mewajibkan hakim untuk mengali hukum (kebiasaan) yang berlaku dimasyarakat. Sebagai contoh adalah bentuk ketidak rukunan yang ada dimasyakat (rumah tangga) yang tidak harus ditandai dengan percekcokan (adu mulut), akan tetapi saling mendiamkan (tidak bertegur sapa) juga bisa dikatakan tanda 71
Ibid, 40.
63
ketidak rukunan. Jadi rumah tangga (pasangan suami istri) yang saling mendiamkan dalam lingkungan masyarakat yang menganut kebiasaan ini, bisa dikatakan tidak rukun. 13. Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi mahkamah Agung merupakan Yurisprudensi yang dikeluarkan (ditetapkan) oleh Mahkamah Agung. Selain dasar hukum diatas dalam buku himpunan perundang-undangan karangan dari Abdul Gani Abdullah menambahkan: 1. Undang-undang No 22 Tahun 1952 Undang-undang No 22 Tahun 1952 tentang peraturan untuk menghadapi kemungkinan hilangnya surat keputusan dan surat-surat pemeriksaan Pengadilan. 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dan UU No 32 Tahun 1954. UU No 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, thâlâq dan rujuk. Sedangkan UU No 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UU No 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, thâlâq dan rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura. 3. Peraturan pemerintah Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah peraturan pemerintah terkait dengan lembaga Peradilan Agama. Sebagai contoh adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
64
4. Keputusan Presiden Keputusan yang dikeluarkan oleh presiden peraturan-peraturan yang mengatur lembaga pengadilan Agama. Sebagai contoh adalah Nomor
Keputusan Presiden
17 Tahun 1985 tentang tunjungan jabatan hakim pada Peradilan
Agama. 5. Keputusan bersama Merupakan keputusan yang dikeluarkan Menteri Agama dengan pejabat lainya
Seperti Keputusan
bersama ketua Mahkamah Agung, menteri
kehakiman, dan Menteri Agama Nomor: KMA/010/SKB/II/1988;Nomor: M.01.-PR.08.02 Tahun 1988; Nomor: 30/ 1988.tentang tata cara bantuan tenaga hakim lingkungan Peradilan Agama dan latihan jabatan bagi hakim serta panitera Pengadilan Agama 6.
Maklumat bersama Maklumat bersama merupakan maklumat yang dikeluarkan kementrian agama dengan kementrian yang lain. Seperti maklumat bersama Kementrian Agama Dan Kementrian Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1947 tanggal 30 April 1947 tentang kewajiban para kaum (umat beragama) mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan agama.
7. Intruksi bersama Intruksi bersama yang dimaksud adalah intruksi menteri agama dengan menteri yang lain. Sebagai contoh intruksi menteri agama dengan menteri dalam negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang petunjuk pelaksanaan keputusan
65
menteri agama No 73 tahun 1978. tentang pendelegasian wewnenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat untuk mengangkat/ memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 8. Surat ketua Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama Contoh Surat ketua Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama No.10/TUADA-AG/III/UM/II/88. Tanggal 13 Februari 1988. tentang tenggang waktu banding pada Peradilan Agama. Semua dasar hukum tersebut di atas, berlaku bagi pengadilan agama. Dasar hukum ini bisa dipakai hakim dalam memutuskan perkara. Penggunaan dasar hukum di Pengadilan Agama disesuaikan dengan permasalah yang ditanggani.
66
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MAGETAN NO.17/Pdt.G/2008/PA.Mgt
A. Alasan-alasan Hakim Menerima Perkara Fasakh Yang Diajukan Oleh Orang Kristen Protestan ke Pengadilan Agama Magetan Hakim sebagai pelaksana atau penegak terhadap peraturan yang telah ditetapkan (negara). Disisi lain kehidupan masyarakat selalu dinamis, yang berdampak pada peluang adanya hukum-hukum (hukum perdata) yang tidak atau kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum juga dituntut agar selalu dinamis. Hukum (perdata) yang ada dinegara kita merupakan produk yang muncul sebagai akibat dari timbulnya permasalahan dan bukan sebagai langkah antisipasi terhadap permasalahan-permasalahan yang diperkirakan akan muncul. Hakim (Pengadilan Agama) dengan peran sebagai corong hukum (perantara agar hukum bisa dijalankan) berkewajiban mengadili perkara berdasar ketetapan hukum. Akan tetapi ketika tidak ada aturan (kurang jelas) hakim diharuskan menggali hukumnya (mencari dasar hukum). Hakim Pengadilan Agama yang tidak mendapatkan peraturan perundang-undangan, bisa menggali dari yang lainya (hukum Islam), sebagaimana hakim menggali hukum pada kasus pengajuan fasakh oleh orang Kristen Protestan dengan surat permohonanya pada tanggal 03 Januari 2008, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama
67
magetan dengan nomor: 17/Pdt.G/PA.Mgt.72 kasus pengajuan fasakh oleh orang Kristen Protestan merupakan kasus pertama kali di Pengadilan Agama Magetan.73 Peradilan Agama berdasarkan pasal 1 ayat 1 UU No 7 tahun 1989 adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Jadi Peradilan Agama sebagai sarana (tempat) bagi orang-orang yang beragama Islam untuk menyeleasaikan perkara (peradata yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama). Berdasarkan pasal ini Pengadilan Agama (PA Magetan) tidak berwenang menangani perkara yang diajukan oleh orang non muslim (Kristen Protestan), karena subjek hukum yang mengajukan perkara orang Kristen Protestan (non muslim). Akan tetapi Pengadilan Agama Magetan menerima, memeriksa dan memutuskan perkara fasakh yang diajukan oleh orang
Kristen Protestan dengan alasan
(pertimbangan) sebagai berikut: 1. Berdasarkan logika hukum
perkawinan dilakukan lewat lembaga resmi
(KUA), maka putusnya perkawinan hanya sah jika dilakukan oleh lembaga resmi, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. 74 Lembaga yang dimaksud dalam hal ini adalah
Kantor Urusan Agama yang mencatat
perkawinan Pemohon Asli dan Termohon Asli (KUA Kecamatan Talang
72
Pengadilan Agama Magetan, salinan putusan tingkat pertama no 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt (Magetan: Pengadilan Agama Magetan.2008),1. 73 Lihat transkip wawancara nomor: 02/1-W/F-1/12-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini 74 Lihat transkip wawancara nomor: 02/1-W/F-1/12-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini
68
Kelapa, Kabupaten Musi – Banjarmasin, Sumatra Selatan ) dan lembaga yang Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama Magetan. 2.
Melihat peristiwa hukumnya bahwa perkawinan
(Pemohon Asli dan
Termohon Asli) dilaksanakan berdasarkan hukum Islam yaitu melalui Kantor Urusan Agama ditempat tinggal termohon. Melihat peristiwa hukum ini perkawinan Pemohon Asli dan Termohon Asli termasuk pada materi hukum Islam..75 3.
Setiap orang itu mempunyai hak agar perkaranya memperoleh kepastian hukum. Pada kasus pengajuan perkara fasakh oleh pemohon yang beragama Kristen Protestan,sebenarnya termohonlah (istri Pemohon Asli yang beragama Islam) yang mempunyai hak mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Akan tetapi tidak dilakukan termohon. Sedangkan Pemohon (non muslim) lebih punya kepentingan dalam hal (status perkawinan) ini, sehingga dia mengajukan ke Pengadilan Agama dan berdasar pertimbangan ( setiap orang mempunyai hak agar perkaranya memperoleh kepastian hukum) mejelis hakim menerima perkara ini.76
4. Dari ketentuan pasal 1 UU No 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Akan tetapi hal ini tidak mutlak pada subjek hukum, tapi Pengadilan Agama Magetan memandang pada objek (materi) yang dalam hal ini pernikahan yang
75 76
Lihat transkip wawancara nomor: 03/2-W/F-1/12-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 04/3-W/F-1/25-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini
69
berdasarkan hukum Islam. Dan ketika terjadi fasakh berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka tidak secara otomatis pernikahannya putus. Jadi meskipun yang mengajukan orang murtad, Pengadilan Agama Magetan menerima dengan pertimbangan materi perkara bukan subjek perkara.77 Dengan alasan-alasan (pertimbangan) diatas majelis hakim Pengadilan Agama Magetan menerima perkara fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan dan menyimpangi ketentuan pasal 1 ayat 1 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006.
B. Dasar Hukum yang digunakan hakim Pengadilan Agama Magetan dalam menyelesaikan perkara fasakh yang diajukan orang Kristen Protestan. Pengadilan Agama Magetan yang memeriksa dan mengadili perkara pada tingkat pertama, 78 Meskipun demikian Peradilan Agama lebih sering dipakai ketika masalah sudah tidak bisa diselesaikan dengan cara lain. Kecenderungan masyarakat mengambil Pengadilan Agama sebagai penyelesaian perkara (perdata) terakhir, terlihat dengan banyaknya masalah ketika masuk di Pengadilan Agama sulit didamaikan dan yang lebih sering penggugat (pemohon) bersikukuh pada gugatannya. Dari sini bisa dilihat bahwa Pengadilan Agama menjadi sarana (lembaga) penyelesaian konflik-konflik yang telah memuncak.
77 78
Lihat transkip wawancara nomor: 05/1-W/F-1/12-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini Pengadilan Agama Magetan, Salinan Putusan Tingkat Pertama, 1.
70
Demikian juga dalam perkara fasakh yang diajukan oleh si Pemohon Asli umur 45 tahun pendidikan D3 agama Kristen protestan, pekerjaan PEMOHON ASLI, bertempat tinggal di Kabupaten Magetan yang selanjutnya disebut PEMOHON. Melawan TERMOHON ASLI,umur 47 tahun, agama Islam, pendidikan SMA pekerjaan Swasta, bertempat tinggal di Kabupaten Palembang, yang selanjutnya disebut TERMOHON.79 Pada pembahasan skripsi ini untuk nama dan identitas dari pemohon dan termohon tidak dijelaskan secara rinci. Dalam hal ini penulis terikat pada peraturan yang berlaku untuk menjaga privasi seseorang (Pemohon dan Termohon) dengan landasan hukum adalah sebagai berikut: Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA /SKIVIII/2007 Tahun 2007 tentang keterbukaan informasi : Pasal 17; 1. Sebelum memberikan fotokopi putusan dan penetapan kepada Pemohon, petugas informasi dan dokumentasi harus mengaburkan informasi yang memuat identitas para pihak perkara, saksi, korban, pihak terkait, terdakwa atau terpidana dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud Pasal 8, 9, 10.
79
Pengadilan Agama Magetan, Salinan Putusan Tingkat 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt .(Magetan: Pengadilan Agama Magetan.2008),1.
Pertama
Nomor
71
2. Pengaburan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara menghitamkan bagian informasi tersebut sehingga tidak dapat dibaca.80 Pasal 8 Pengadilan harus mengkaburkan informasi yang memuat identitas saksi korban sebelum memasukan salinan putusan atau tetapan pengadilan kedalam situs sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat (2) dan (3) yang berkenaan dengan perkaraperkara: a. Tindak pidana kesusilaan; b. Tindak pidana yang berhubungan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga; c. Tindak pidana yang menurut Undang-undang perlindungan Saksi dan Korban identitas saksi dan korbanya harus dilindungi; d. Tindak pidana lain yang menurut hukum persidangan dilakukan secara tertutup.81 Pasal 9: Pengadilan harus mengaburkan informasi yang memuat identitas para pihak yang berpekara, saksi, dan pihak terkait sebelum memasukkan salinan putusan atau penetapan Pengadilan kedalam situs sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat (2) dan (3) yang berkenaan dengan perkara-perkara: 80
Ketua Mahkamah Agung, lembar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SKIVIII/2007, 6. 81 Ibid, 4.
72
a. Perkawinan dan perkara lain yang timbul akibat sengketa perkawinan; b. Pengangkatan anak;
73
c. Wasiat; Perkara perdata agama dan tata usaha negara yang menurut hukum persidangan dilakukan secara tertutup.82 Pasal 10. a.
Untuk tindak pidana anak; pengadilan harus mengkaburkan informasi yang memuat identitas korban, terdakwa atau terpidana sebelum memasukan salinan putusan atau penetapan keadilan kedalam situs sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat (1) dan (2).83 Dari ketentuan pasal 17 ini yang digunakan dasar penulis dalam pengaburan
nama para pihak sesuai dengan pengaburan (identitas pada
lembar putusan PA Magetan No17/Pdt.G/PA. Mgt) oleh Pengadilan Agama Magetan. Menurut Wakil Panitera Pengadilan Agama Magetan, hal ini merupakan “Penerapan aturan yang tergolong baru di Pengadilan Agama termasuk di Pengadilan Agama Magetan. Sehingga Pengadilan menjadi lebih hati-hati dalam memberikan informasi terkait dengan perkara-perkara yang diputuskan di Pengadilan Agama Magetan”.84 Berdasarkan surat permohonan tanggal 03 Januari 2008 yang di daftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama No. 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt. Pemohon telah mengajukan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon telah menikah dengan Termohon pada tanggal 13 Juni 1992 dan dicatat oleh Penghulu/Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan 82
Ibid, 5 Ibid, 5 84 Lihat transkip wawancara nomor: 07/4 -W/F-5/18-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini. 83
74
Agama Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Musi Banjarmasin, Sumatera Selatan, dengan Akta Nikah Nomor: 449/129/VII/1992 tanggal 24 Juli 1992; 2. Bahwa setelah akad nikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal bersama di rumah orang tua termohon selama 2 malam, lalu berpindah-pindah selama 12 tahun, dan terakhir di rumah orang tua Pemohon di Magetan. 3. Bahwa dalam berumah tangga Pemohon dan Termohon sudah melakukan hubungan suami istri (Ba’da Dhukul) dan telah di karuniai 1 orang anak PEMOHON ASLI dan TERMOHON ASLI, umur 14 tahun; 4. Bahwa sejak tahun 1997 rumah tangga Pemohon dan Termohon mulai goyah, antara: a. Termohon tidak mau menerima kenyataan atas jatuhnya usaha Pemohon; b. Termohon tidak mau terima Pemohon kembali memeluk agamanya semula (Kristen Protestan) 5. Bahwa dalam setiap pertengkaran yang terjadi/ waktu terjadi pertengkaran Tergugat membentak-bentak/berteriak-teriak, mengeluarkan kata-kata kasar/ memakai, membanting/merusak perabot rumah tangga dan mengucapkan kata-kata cerai/thālāq; 6. Akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka sejak 27 Maret 2005 Termohon pulang ke rumah orang tuanya dan hidup terpisah dengan Pemohon, yang sampai sekarang telah berlangsung selama 2 tahun 10 bulan, dan selama itu Pemohon dan Termohon tidak pernah berhubungan lagi sebagaimana layaknya suami istri;
75
7. Pemohon sudah berusaha menyelesaikan persoalan rumah tangga Pemohon dengan Termohon tersebut dengan minta bantuan orang tua maupun keluarga lainnya namun usaha tersebut tidak berhasil; 8. Dengan demikian kerukunan di dalam rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak bisa dipertahankan lagi dan tidak bisa mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera sebagaimana yang dikehendaki pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 9. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas, Pemohon mohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Magetan agar memeriksa dan mengadili perkara ini dengan menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut: PRIMAIR 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon; 2. Memfasakh pernikahan Pemohon dengan Termohon; 3. Membebankan biaya perkara sesuai hukum yang berlaku; SUBSIDAIR Mohon Putusan seadil-adilnya;85 Menanggapi permohonan Pemohon di atas, sebelum Majelis Hakim memeriksa dan memutuskan perkara, upaya yang dilakukan Majelis Hakim yaitu. a. Majelis Hakim memanggil secara patut kepada si Termohon Asli Akan tetapi termohon telah tidak datang menghadap dan tidak menyuruh orang lain untuk
85
Pengadilan Agama Magetan, Salinan Putusan, 1-3.
76
menghadap sebagai wakil/kuasanya. 86 Maksud majelis hakim memanggil secara patut adalah: Pemanggilan yang dilakukan tiga hari sebelum persidangan dilakukan, panggilan sudah diberikan di tempat yang bersangkutan.87 b. Berusaha mendamaikan Pemohon agar mau rukun kembali dengan Termohon akan tetapi dalam upaya ini hakim tidak berhasil mendamaikan, kemudian di bacakan permohonan pemohon, yang ternyata isinya tetap dipertahankan oleh pemohon.88 Berangkat dari gagalnya upaya majelis hakim mendamaikan pemohon dengan
termohon,
serta
setelah
pembacaan
gugatan
pemohon
tetap
mempertahankan isinya dan karena tidak hadirnya termohon (tidak ada jawaban termohon); maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan ketahap pembuktian. Untuk meneguhkan permohonannya Pemohon mengajukan alat-alat bukti tertulis berupa foto copy Kartu Tanda Penduduk Pemohon Asli yang dikeluarkan oleh
kantor
Kecamatan
Magetan,
Kabupaten
Magetan,
Nomor:
12.19.01.221063.0001 tanggal 24 Maret 2005; Foto copy Kutipan Akta Nikah Nomor: 449/129/VII/1992 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tulang Kelapa, Kabupaten Talang Kelapa, Kabupaten MusiBanyuasin, Sumsel tanggal 13 Juni 1992; surat keterangan dari kelurahan dan saksi-saksi (akan dibahas selanjutnya). Berdasarkan alat-alat bukti tersebut 86
Ibid, 3. Lihat transkip wawancara nomor: 09/3-W/F-3/25-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini. 88 Pengadilan Agama Magetan, Salinan Putusan, 3. 87
77
sebagai penguat atas pernyataan atau hal-hal yang diajukan pemohon, maka pemohon mohon kepada ketua Pengadilan Agama melalui majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk memberikan keputusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan pemohon; 2. Memfasakh pernikahan pemohon dengan termohon. 3. Membebankan biaya perkara sesuai hukum berlaku. Subsidair Mohon putusan seadil-adilnya.89 Dengan permohonan di atas, maka untuk menyelesaikannya Pengadilan Agama menggunakan ketentuan perundang-undangan serta hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini, sebagai berikut: a) Dasar hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 1. Melihat ketentuan pasal 66 ayat (2) UU No 7 tahun 1989. Pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (permohonan suami yang beragama Islam ingin menceraikan istrinya mengajukan permohonan ke Pengadilan) diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan tanpa izin pemohon.90 Maka berdasarkan bukti P1 dan keterangan
pemohon, telah ternyata bertempat kediaman di
wilayah Kabupaten Magetan. Sehingga Pengadilan Agama Magetan
89 90
Ibid, 3. Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 283.
78
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara aquo (perkara yang dimaksud). 2. Pasal 1 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Jo pasal 3 KHI. Pasal 1 UU No 1 tahun 1974: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar ketuhanan Yang Maha Esa). Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.91 Bahwa keadaan rumah tangga pemohon dan termohon (terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus berakibat pisah keduanya). Maka tujuan pernikahan tidak bisa tercapai.92 3. Pasal 39 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 Jo tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (h) dan (k) KHI. Pasal 39 ayat (2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.93 KHI pasal 116 Huruf (f) antara suami istri terus menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
91
Dirjen, Kompilasi, 14. Pengadilan Agama Magetan, Salinan Putusan, 6. 93 Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 194. 92
79
Dasar yang digunakan hakim dengan menggunakan pasal-pasal tersebut adalah untuk memperkuat bukti bahwa rumah tangga antara Termohon Asli dan Pemohon Asli sudah tidak ada harapan untuk rukun kembali. Sehingga hakim memutuskan perkawinan tersebut. 4. Pasal 81 dan 84 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006 Hakim menggunakan pasal Pasal 81 dan 84 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006 serta menyimpangi ketentuan pasal 70 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006 Yang dimaksud menyimpangi pasal 70 UU No 7 Tahun 1989 adalah penyimpangan terhadap ketentuan pasal 70 ayat 5 “Jika istri mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar thâlâq tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Jadi penyimpangan disini penyimpangan terhadap apa yang dimaksud pasal 70 ayat 5 kalau perkara ini termasuk thâlâq. Kemudian menerapkan ketentuan pasal 81 dan 84 sebagai ketentuan perkara perceraian.94 5. Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang di ubah UU No 3 Tahun 2006 Biaya perkara dalam sidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau Pemohon.95 Biaya yang dimaksud dalam pasal 89 meliputi:
94 95
Lihat transkip wawancara nomor: 06/1-W/F-2/25-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini Abdul Gani Abdullah, Himpunan, 288.
80
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut; b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut; c. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut dan; d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut (pasal 90 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006)96 Maka biaya yang timbul akibat perkara ini di bebankan kepada pemohon; Pasal 89 yaitu: 1. Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 89 meliputi: a. Biaya kepaniteraan sebagaimana biaya materai yang diperlukan untuk perkara itu; b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu; c. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam perkara itu;
96
Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, http://.wilkipedia.org/wiki/Amandemen, 9.
81
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu. 2. Besarnya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung.97 b) Dasar hukum berdasarkan doktrin Islam. Doktrin hukum Islam bisa digunakan hakim Pengadilan Agama sebagai dasar menetapkan putusan, ketika tidak aturan (kurang jelas). Hakim Pengadilan Agama yang tidak mendapatkan peraturan perundang-undangan maka bisa digali dari kitab fiqih.98 Doktrin hukum Islam yang digunakan Pengadilan Agama Magetan dalam memutuskan perkara No: 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt, sebagai berikut: 1. Kitab Muhadzadzab juz IV hal 233 dan kitab al-Qaljubi wa’ umairah juz III hal 253.99
m دةoT ان [ن اQ{ اi fJ QO\ هPن اQ`^وT اذا ار[\ اTQ dQP QOSal حQST اsk\ل اT اm Qن آQJ \jl \ل اوTا حQSTن اJ \لT\ اjl Q\ل وان آTQl حQSTآ\ اQ[ \مjT QOS{ \[oOT اhe او اheن اJ QOSal No T اkRJ dQP skSid b{ حQST اsk اd واQOSal حQSTأة دام اoOT\ة اc ءQ¡k إm دةoT اbaP Artinya: “(Ulama madzhab Syafi’i) berpendapat, bahwa apabila kedua suami istri atau salah satunya keluar dari Islam (murtad), maka ketentuan hukumnya tidak lepas dari sejak kapan murtadnya, sebelum atau sesudah jima’ (persetubuhan). Apabila murtadnya sebelum jima’, maka pernikahan mereka putus ketika itu juga, 97
Ibid. Lihat transkip wawancara nomor: 05/1-W/F-2/25-IX/2008 dalam lampiran skripsi ini 99 Kitab Muhadzadzab juz IV sebagaimana dinukil dalam salinan putusan Pengadilan Agama Magetan, 7. 98
82
karena tidak adanya penguat pernikahan dengan cara persetubuhan, dan apabila murtadnya sesudah jima’, maka pernikahannya tidak putus seketika, melainkan perceraian mereka ditangguhkan sebagai berikut: Apabila mereka masuk Islam lagi, atau apabila salah satunya murtad, kemudian masuk Islam lagi sebelum habis masa iddahnya, maka pernikahannya tetap, dan jika tidak, maka putus pernikahannya sejak terjadinya muratad”. 2. Kitab Qul jubi wa’ umairah juz III hal. 254.100
قf£ NoJ d HIJ NoJ o ذآQOaJ No Tوا Artinya: “Dan perceraian dalam masalah yang tersebut di atas adalah perceraian fasakh, bukan perceraian talâq”. 3. Kitab fiqhus sunah juz II hal. 413.
nmIl \kjT اHIJ NaT\ اji hTم وfed اbc ba`^وT\ اPاذا ار[\ ا 101 utرQsTدة اoTا Artinya: “Apabila salah seorang dari suami istri keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali menjadi Islam, maka pernikahannya rusak disebabkan keluar dari agama Islam yang telah terjadi”.102 Dengan dasar-dasar hukum diatas majelis hakim memutuskan perkara No 17/Pdt.G/PA.Mgt
dan dengan berdasarkan doktrin hukum Islam (Kitab
Muhadzadzab juz IV hal 233 dan kitab al-Qaljubi wa’ umairah juz III hal 253,Kitab Qul jubi wa’ umairah juz III hal. 254, Kitab fiqhus sunah juz II hal. 413) Pengadilan Agama memutuskan perkara ini dengan putusan fasakh.
100
Ibid, 8. Sayyid sābiq, Fiqh Sunnah II. (Beirut: Daar al-Fikr ), 268. 102 Sayyid sābiq, Fiqh Sunnah, terj Mohammad Tholib. Jilid 8 (Bandung: PT: alMa’arif,1994), 125. 101
83
BAB IV ANALISIS KHI DAN UNDANG-UNDANlG NOMOR 7 TAHUN 1989 JO UU NO 3 TAHUN 2006 TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN NO. 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt
A. Analisis KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006
terhadap alasan-alasan hakim menerima
perkara fasakh yang
diajukan oleh orang Kristen Protestan. Setiap perkara yang diadili di Pengadilan Agama Magetan, dilaksanakan dalam persidangan yang dilaksanakan oleh Majelis Hakim. Majelis hakim di Pengadilan Agama Magetan, sebelum memutuskan perkara harus mempunyai dasar hukum untuk memutuskan perkara tersebut. Putusan pengadilan diharapkan mampu mencapai rasa keadilan di masyarakat (yang berperkara). Islam dengan keberagaman pemahaman terhadap konsep hukum yang memberi alternatif dalam penyelesaian permasalahan. Keberagaman pemahaman hukum oleh imam mahzab (Mâliki, Syâfi’i, Hambaly, Hanafi) serta pemikiran tokoh Islam lain, bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara. Di sisi lain Pengadilan Agama merupakan lembaga yang membutuhkan kepastian tata aturan (penyatuan konsep hukum) dalam memutuskan perkara, yang berarti diperlukan peraturan sebagai pedoman para hakim (Pengadilan
84
Agama) seperti Undang-undang No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam. Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menangani permasalahan-permasalahan yang terkait hukum Islam meliputi: a. Perkawinan; b.Waris; c.Wasiat; d.Hibah; e.wakaf; f.zakat; g.infaq; h.shadaqah dan; i.ekonomi syariah (pasal 49 UU No 3 Ttahun 2006). Sedangkan fakta dilapangan (Pengadilan Agama Magetan) menerima, memeriksa dan memutuskan perkara fasakh yang diajukan oleh orang Kristen Protestan. Dengan mengunakan alasanalasan (pertimbangan): 5. Berdasarkan logika hukum perkawinan dilakukan lewat lembaga resmi (KUA), maka putusnya perkawinan hanya sah jika dilakukan oleh lembaga resmi, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. Menurut penulis setiap perkara menyangkut perubahan status perkawinan yang ada dinegara Indonesia harus diselesaiakn di Pengadilan, baik diselesaikan di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama. Sesuai dengan ketentuan pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 yang mengharuskan pemeriksaan sengketa perkawinan dilakukan didepan sidang Pengadilan, dan pasal 65 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No3 Tahun 2006: perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan dalam KHI pada pasal 74 ayat 1 tentang pembatalan, pasal 129 tentang thâlâq, pasal 132 tentang gugatan perceraian semua harus dilaksanakan di Pengadilan Agama.
85
Dari ketentuan-ketentuan diatas bisa disimpulkan bahwa perkara yang timbul dari perkawinan (sengketa perkawinan) harus diselesaikan, dan ketika perkawinan dibentuk oleh Kantor Urusan Agama (KUA) maka secara logika Pengadilan Agama yang berhak menyesaikanya. 6.
Melihat peristiwa hukumnya bahwa perkawinan
(Pemohon Asli dan
Termohon Asli) dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pengadilan
Agama
Magetan
memandang
bahwa
perkawinan
(perkawinan orang Kristen Protestan) dibentuk oleh lembaga resmi, dan hanya bisa diputus dari lembaga resmi pula. Cara pandang ini juga melihat peristiwa hukum dalam bentuk perkawinan yang sah (secara hukum), karena dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaanya. Berdasarkan alat bukti tertulis yang diajukan pemohon berupa kutipan akta nikah Nomor: 449/129/VII/1992 yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan Tulang Kelapa, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatra Selatan. Sebagai bukti perkawinan Pemohon Asli
dan Termohon Asli berdasarkan hukum Islam, maka
penyelesaian perkara perkawinannya juga harus berdasar hukum Islam. Menurut penulis alasan majelis hakim menerima perkara fasakh yang diajukan orang Kristen Protestan dengan alasan peristiwa perkawinan tersebut berdasarkan hukum Islam, bisa dibenarkan. Sebagaimana hasil dalam upaya pembuktian bahwa: Pemohon Asli dengan Termohon Asli telah menikah pada tanggal 13 Juni 1992 dan dicatat oleh Penghulu/Pegawai Pencatat Nikah pada
86
Kantor Urusan Agama Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten
Musi –
Banjarmasin, Sumsel, dengan Akta Nikah Nomor: 449/129/VII/1992 tanggal 24 Juli 1992. Dengan adanya akta nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA), berarti syarat dan rukun dari pernikahan tersebut telah terpenuhi (berdasarkan ketentuan hukum Islam) serta sah berdasar hukum (perdata), sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 “ perkawinan adalah sah
apabila dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaanya itu. Dalam UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 dalam pasal 49 ayat 2 menjelasakan bahwa bidang perkawinan diatur dalam undang-undang perkawinan yang berlaku (UU No 1 Tahun 1974). Sedangkan dalam KHI pasal 4 mempertegas maksud perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974. Dengan demikian Pengadilan Agamalah yang lebih berhak menerima perkara ini di bandingkan pengadilan lain (Pengadilan Negeri), dimana peperkawinan tersebut sah berdasarkan hukum Islam. [
7.
Setiap orang itu mempunyai hak agar perkaranya memperoleh kepastian hukum. Pada kasus pengajuan perkara fasakh yang diajukan oleh pemohon yang beragama Kristen Protestan. Berdasarkan ketentuan undang-undang (UU No.7 Tahun 1989) sebenarnya termohonlah (istri Pemohon Asli yang
87
beragama Islam) yang mempunyai hak mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Akan tetapi tidak dilakukan termohon. Melihat kasus yang fasakh yang diajukan orang Kristen Protestan penulis berpendapat dalam perkara ini tidak harus melihat siapa yang mengajukan, akan tetapi lebih memandang pada kepentingan umum. Karena jika perkawinan ini terus dilanjutkan secara hukum Islam orang kafir tidak halal bagi orang Islam (Q.S Al-Mumtahamah:10). Hal ini juga sesuai dengan konsep Yurisprudensi yang bisa dimenangkan dari undang-undang dengan pertimbangan untuk kepentingan umum dan kepatutan hukum .Sedangkan KHI secara tidak langsung memberi hak agar orang yang mengalami konflik rumah tangga untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama. Pemohon (non muslim) lebih punya kepentingan dalam hal (status perkawinan) ini, sehingga dia mengajukan ke Pengadilan Agama dan berdasar pertimbangan tersebut (pertimbangan setiap orang mempunyai hak agar perkaranya memperoleh kepastian hukum) penerimaan perkara fasakh oleh Mejelis Hakim bisa diterima. 8. Dari ketentuan pasal 1 UU No 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Akan tetapi hal ini tidak mutlaq pada subjek hukum, tapi Pengadilan Agama Magetan memandang pada objek (materi) yang dalam hal ini pernikahan yang berdasarkan hukum Islam.
88
Menurut penulis meskipun dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberlakukan Peradilan Agama bagi orang-orang yang beragama Islam dan diperjelas pada pasal 2 UU No 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dari kedua pasal ini jelaslah bahwa pengadilan Agama khusus untuk orang-orang yang beragama Islam, akan tetapi di pasal lain (pasal 56 ayat 1) mewajibkan hakim menggali hukum terhadap permasalahan baru yang dalam konsep Islam dikenal dengan
ijtihad. Jadi meskipun yang mengajukan orang murtad,
Pengadilan Agama Magetan menerima dengan pertimbangan materi perkara bukan subjek perkara. Sebagai alasan lain penulis menggunakan hasil Rakernas MARI tahun 2005 bagian c Bidang Uldilag angka 3 huruf "a" yang mecoba mengkritisi pasal 116 huruf "h" KHI yang menyatakan bahwa "Pengadilan Agama berwenang mengadili seseorang (pihak) yang sudah murtad, karena yang menjadi ukuran untuk menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan, dan bukan berdasarkan agama yang dianut pada saat sengketa terjadi” (IKAHI, hal 134). Akan tetapi hasil dari Rakernas ini tidak bisa dipakai hakim sebagai dasar untuk menerima perkara yang diajukan oleh orang Kristen Protestan (non muslim), karena ini hanya sekedar hasil rakernas bukan produk
89
berupa peraturan ataupun undang-undang. Oleh karena itu dalam perkara ini tetap dibutuhkan peraturan atau undang-undang yang kongkrit, atau sebagai alternatif dengan memenangkan yurisprudensi (yurisprudensi tidak tetap atau putusan pengadilan agama magetan No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt). Dari penyampaian diatas bisa disimpulkan bahwa penerimaan hakim terhadap perkara pengajuan fasakh oleh orang
Kristen Protestan (non
muslim) bertentangan dengan ketentuan pasal 1 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU no 3 Tahun 2006, akan tetapi pada ketentuan pasal lain (pasal 56 ayat 1) memberi kebebasan kepada hakim untuk ber-ijitihad. sebagai upaya untuk memenuhi keadilan bagi yang berperkara. Karena tidak ada banding dari putusan Pengadilan No. 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt, maka putusan ini dirasa telah memberi rasa keadilan. Selain itu Pengadilan Agama Magetan telah memberi masukan hukum baru yang dikenal dengan Yurisprudensi tidak tetap dan bisa dipakai oleh hakim-hakim di Pengadilan Agama lain. Yurisprudensi ini bisa dijadikan Yurisprudensi tetap ketika ada putusan dari Mahkamah Agung.
B. Analisa KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 terhadap dasar hukum yang digunakan hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutuskan perkara No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt. Meskipun KHI hanya berupa inpres dengan perlaksanaan diatur dalam putusan Menteri Agama RI No: 154 tahun 1991, KHI sering dipakai sebagai pedoman penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Sedangkan UU No. 7 tahun
90
1989 merupakan Undang-Undang yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang Peradilan Agama. Dalam kasus perkara fasakh Nomor 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt Pemohon Asli mengajukan bukti-bukti yang digunakan untuk memperkuat permohonannya dan digunakan hakim sebagai dasar untuk membuktikan kebenaran dari Pemohon. Alat bukti yang diajukan pemohon berupa alat bukti tertulis yaitu: akta nikah 1. Alat bukti tertulis yaitu: a. Foto copy Kartu Tanda Penduduk an. Pemohon yang dikeluarkan oleh Camat Magetan, Kabupaten Magetan, Nomor: 12.19.01.221063.0001 tanggal 24 Maret 2005; b. Foto copy Kutipan Akta Nikah Nomor: 449/129/VII/1992 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tulang Kelapa, Kabupaten Talang Kelapa, Kabupaten Musi-Banyuasin, Sumsel tanggal 13 Juni 1992; c. Surat keterangan dari Kepala Kelurahan Tambran, Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan Nomor: 470/199/403.401.09/2007 tanggal 29 Nopember 2007;
2. Alat bukti saksi yaitu 2 orang saksi. Dari kedua alat bukti di atas digunakan hakim sebagai dasar bahwa Pemohon Asli telah benar-benar pindah ke agama semula (Kristen Protestan). Sehingga hakim Pengadilan Agama Magetan menganggap pernikahan ini
91
telah rusak dengan perpindahan agama Pemohon. Selain itu juga karena terjadinya pertengkaran terus menerus karena perpindahan agama tersebut. Dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Asli diatas, membuktikan antara Pemohon Asli dan Termohon Asli telah terjadi pernikahan yang sah berdasarkan hukum Islam, pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak, akan tetapi pernikahan tersebut tidak bisa dipertahankan keutuhanya karena Pemohon Asli telah keluar dari agama Islam (murtad) yang selanjutnya pindah agama keagama semula (Kristen Protestan). Dari upaya pembuktian inilah yang diharapkan mampu menyakinkan hakim, sehingga hakim memutuskan dengan dasar hukum yang sesuai dengan upaya pembuktian. Oleh karena itu penulis menganalisa dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam menyelesaikan kasus pengajuan perkara fasakh oleh orang non muslim (fasakh) di Pengadilan Agama Magetan, ditinjau dari KHI dan UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 . KHI sebagai bentuk Inpres, merupakan peraturan terkait hukum Islam termasuk didalamnya perkara perceraian dengan alasan peralihan Agama (murtad) KHI pasal 116 huruf h. Dalam pasal ini kasus murtad hanya digolongkan menjadi salah satu alasan perceraian Di sisi lain fasakh karena murtad lebih dikenal sebagai kejadian yang membatalkan atau merusak perkawinan. Akan tetapi KHI tidak mengenal istilah fasakh, KHI lebih mengenal istilah pembatalan perkawinan (KHI BAB XI) atau putusnya perkawinan (KHI BAB XVI). Dari sini kita bisa menganalisa bahwa
92
dasar yang digunakan hakim Pengadilan Agama Magetan sudah sesuai dengan KHI pasal 116 huruf (f) “ antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rrumah tangga” dan KHI Pasal 116 huruf (h) “ peralihan agama karena murtad yng menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga, sebagai
dasar memutus
perkawinan antara Pemohon Asli dan Termohon Asli sudah tidak bisa hidup rukun lagi. Selain itu hakim menggunakan dasar doktrin Islam berupa : kitab muhadzab juz IV hal 233; kitab al-Qolyubi Wa’ Umairah juz III hal 254; dan fiqhus Sunnah juz II hal 413. Dengan berdasar pada doktrin hukum Islam ini Majelis Hakim
Pengadilan Agama Magetan memutuskan perkara No
17/Pdt.G/2008/PA.Mgt dengan bentuk fasakh. Penggunaan doktrin hukum Islam oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Magetan, secara hukum bisa dibenarkan. Berdasarkan ketentuan pasal 27 UU No 14 Tahun 1970 “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dengan melihat subjek hukum (pemohon dan termohon) yang saat melakukan pernikahan beragama Islam, maka doktrin hukum islam bisa digunakan dalam menyelesaikan perkara ini. Dari penyampaian diatas bisa disimpulkan bahwa KHI tidak mengenal istilah fasakh, sedangkan bentuk putusan berupa fasakh diambil dari doktrin hukum Islam yang secara hukum bisa dibenarkan.
93
Dasar dalam memutuskan perkara terkait dengan tata cara pelaksanaan persidangan di Pengadilan Agama Magetan bersumber pada Undang-undang No7 Tahun 1989 Jo No 3 Tahun 2006, seperti biaya perkara yang dibebankan kepada Pemohon Asli. Biaya perkara sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat 1 UU No 7 Tahun 1989 diubah pasal 89 UU No 3 Tahun 2006 yang membebankan perkara kepada pemohon. Dari penggunaan pasal dari UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 secara keseluruhan telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di Peradilan Agama. Sedangkan KHI tidak mengatur mengenai tatacara pelaksanaan dan proses persidangan, karena pembahasan KHI hanya mencakup pada materi hukum yang ada di Pengadilan Agama.
94
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan 1. Putusan Pengadilan Agama Magetan No.17/Pdt.G/2008/PA.Mgt tentang pengajuan fasakh oleh orang Kristen Protestan. Putusan ini menyimpangi pasal 1 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 “ Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Akan tetapi dalam pasal lain (pasal 56 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989) hakim berwenang menggali hukum baru (ijtihad). Berdasarkan kewenangan tersebut maka alasan-alasan (bahan pertimbangan) menerima pengajuan perkara ini tidak bertentangan (sesuai) dengan ketentuan KHI dan UU No7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006. 2. Dasar yang digunakan hakim Pengadilan Agama Magetan bersumber dari undang-undang dan peraturan yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Dari
KHI hakim menggunakan pasal
116 (alasan-alasan mengajukan
perceraian) huruf f (tentang syiqoq) dan huruf h (tentang murtad). Sedangkan UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 sebagai dasar pelaksanaan persidangan di pengadilan, termasuk penetapan biaya perkara yang dibebankan kepada Pemohon Asli (pasal 89 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006). Dengan mengunakan dasar tersebut maka perkara No 17/Pdt.G/2008/PA.Mgt telah sesuai dengan KHI dan UU No7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006.
95
B.
Saran-saran 1. Diharapkan adanya peraturan (perundang-undangan) yang baru untuk memperjelas kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani kasus yang serupa (peangajuan perkara ke Pengadilan Agama oleh orang Kristen Protestan/non muslim). Mengingat pasal 49 (UU Nomor 3 Tahun 2006) yang mengubah pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 dengan menambah ekonomi syariah sebagai kewenangan PA, yang tidak menutup kemungkinan orang non muslim
terlibat
dalam
ekonomi
syariah
karena
agama
juga
memperbolehkannya. 2. Jika pasal poin 1 tidak atau belum bisa terlaksana, diharapkan putusan PA No.17/pdt.G/2008/PA. Mgt. bisa dijadikan Yurisprudensi tetap. Hal ini mengingat belum adanya aturan atau perundang-undangan yang memperjelas kemana penyelesaian atau pengadilan mana yang berwenang terhadap perkara ini.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Abdul Gani. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pengadilan Agama Jakarta: PT Inter Masa, 1991 Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan RI, 2005. Sâbiq, Sayyid Fiqh Sunnah, terj Mohammad Thalib.jilid 15. Bandung: PT Alma’arif, 1980. Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya. Jakarta: PT.Serajaya Santra, tahun III 1986/1987 Sâbiq, Sayyid. Fiqih Sunnah,terj Moh Thalib.jilid 8. Bandung: PT. Alma’arif,1994. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Perpustakaan Nasional R.I. Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan, cet ke-6. Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve,2003. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. ---------Tp .terj Sahal Mahfudz dan Mustofa Bisri, Persepakatan Ulama Dalam Hukum Islam Insklopedi Ijmak . Jakarta: Pustaka Firdaus bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
97
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ilmu Fiqh Jilid II.Jakarta: Departemen Agama 1982/1983. Subekti, Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995. Tjitrosudebjo, Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1990. Ash Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan bintang: 1993. Muhammad Bin Yazid Al-Qazwyny, Abu Abdullah. Sunan Ibnu Majah, Juz: II. Beirut: Daar Al-Fikr,1995. Muhammad bin yazid al-Qazwiny, Abu Abdullah. Sunan Ibnu Majah Juz:1 terj Abdullah Shonhaji, Jilid III. Semarang: CV Asy-syifa’,1993. Kamil , Ahmad dan M Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprodensi. Jakarta: Kencana, 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Perdilan Agama, http:// .wikipedia .org/wiki/Amandemen. diakses tanggal 27 0ktober 2008. Syarif, Amiroedin. Perundang-Undangan, Dasar, Jenis Dan Tehnik Membuatnya. Jakarta: Bina Aksara ,1987. Pengadilan Agama Magetan. Salinan Putusan Tingkat Pertama Nomor: 17/Pdt.G/2008/PA.Mg.Magetan: Pengadilan Agama Magetan: 2008. Ketua Mahkamah Agung. lembar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SKIVIII/2007