ANALISIS KESETARAAN JENDER DAN KONFLIK PERAN PADA PEREMPUAN PARANGTRITIS NISWATI BAHARI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menurut hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) besarnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi DIY pada Agustus 2009 sebesar 6 %. Hal ini menunjukkan kenaikan bila dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008 (5,38%), atau tetap bila dibandingkan keadaan Februari 2009 (6,00%). Jumlah penganggur terbuka di Provinsi DIY pada Agustus 2009 diperkirakan sebesar 121 ribu orang. Jumlah tersebut bertambah sekitar 13,5 ribu orang bila dibandingkan keadaan Agustus 2008 sebesar 107,5 ribu orang, tetapi berkurang sekitar 2 ribu orang bila dibandingkan keadaan Februari 2009. Pada Agustus 2009, penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu (setengah pengangguran) sebesar 23 % dari orang yang bekerja atau sebesar 436 ribu orang. Lebih dari separuhnya (13%) tergolong ”setengah pengangguran
sukarela”
dan
selebihnya
(10%)
tergolong
”setengah
pengangguran terpaksa”. Kondisi setengah pengangguran ini mengalami penurunan
dibandingkan
pada
Agustus
2008
yang
menujukkan
angka ”setengah pengangguran” 25 %, ”setengah pengangguran sukarela” 14 %, dan ”setengah pengangguran terpaksa” 11 %. Pada Agustus 2009 sekitar 64,6 % tenaga kerja bekerja pada kegiatan informal (Data BPS Kabupaten/Kota Di DIY, 2009). Semakin pesatnya perkembangan globalisasi yang mengakibatkan tuntutan kebutuhan hidup semakin pula menimbulkan pengangguran. Hal ini ditandai dari kurang terjangkaunya harga kebutuhan sembako, biaya sekolah, biaya keluarga seperti: listrik, telpon, air, dan biaya kebutuhan keluarga sehari-hari. Oleh karena itu, kaum wanita yang telah berkeluarga (ibu rumah tangga) merasa perlu berusaha untuk menaikkan kesejahteraan keluarga.
1
Peran wanita ganda disamping sebagai ibu rumah tangga juga sebagai pembantu penopang kebutuhan rumah tangga tentu memiliki kehidupan yang sedikit lebih rumit dibandingkan ibu rumah tangga biasa. Namun, kenyataannya tidak semua para kepala rumah tangga menyadari akan peran istrinya yang mendua, terkadang si istri yang bekerja tetap dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya, selalu siap dengan kebutuhan yang diinginkan oleh suami, bahkan terkadang terjadi perlakukan kekerasan terhadap sang istri. Padahal, dalam Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (AKDRT) tahun 2004, pada pasal 3 menyebutkan berdasar asas dan tujuannya, maka kekerasan dalam rumah tangga dihapuskan dan harus melaksanakan penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan jender, dan non diskriminasi. Sesuai anjuran dalam UU ADKRT setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara: kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik meliputi perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat, sedangkan kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Adapun kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu, sedangkan penelantaran termasuk penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga. Beberapa hal di atas menunjukkan masih terdapatnya ketidaksetaraan jender. Kesetaraan jender merupakan syarat mutlak untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Oleh sebab itu, tidak benar anggapan bahwa gerakan kesetaraan jender merupakan upaya untuk merusak tatanan masyarakat yang telah baku. Sebenarnya ketidaksetaraan jender tidak hanya terjadi di rumah tangga saja, tetapi terjadi pula dalam lingkungan yang lain, seperti pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya (Kompas, 2003).
2
Ketidaksetaraan jender dapat terjadi disetiap wilayah, dan di setiap jenis profesi. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk dikaji, karena hingga saat ini belum sepenuhnya upaya pemerintah dalam memunculkan kesetaraan jender dapat terwujud. Meskipun pemerintah telah membuat kebijakan yang dituangkan dalam Inpres Nomor 9 tahun 2000 dan Kepmendagri 132 tahun 2003 mengenai diperlukannya setiap institusi pemerintah untuk melaksanakan PUG (Pengarus Utamaan Gender). Permasalahan ketidaksetaraan jender dapat terjadi disetiap wilayah dan lingkup profesi. Hal ini dapat pula terjadi di wilayah Parangtritis Bantul karena sebagian besar kaum wanita di wilayah tersebut mampu berkarir dalam arti membantu penghasilan keluarga tetapi belum sepenuh memiliki kesetaraan jender yang semestinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana peran wanita Parangtritis apakah sudah telah memiliki kesetaraan gender? Apakah wanita yang membantu penghasilan keluarga tersebut memiliki konflik peran ganda dengan kehidupannya seharihari? B. Rumusan Masalah Meskipun pemerintah sudah merekomendasikan untuk mengoptimalkan pengarusutamaan gender di setiap wilayah, namun kenyataanya belum sepenuhnya masyarakat mengerti tentang pentingnya kesetaraan jender tersebut. Oleh karena itu, sangat diperlukan pentingnya pemahaman mengenai kesetaraan gender, termasuk pada perempuan di wilayah Parangtritis. Apakah benar perempuan Parangtritis telah memiliki kesetaraan jender, dan apakah perempuan Parangtritis tersebut memiliki konflik peran? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah terdapat kesetaraan gender pada wanita Parangtritis, dan menguji bagaimana pemahaman kesetaraan gender dan hubungannya dengan konflik peran.
3
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan secara umum ditujukan kepada kalangan akademisi dan peneliti, sedangkan manfaat secara operasional ditujukan kepada wanita Parangtritis terutama berkaitan dengan kesetaraan gender dan konflik peran.
II.
LANDASAN TEORI
A. Kesetaraan Gender Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus”, berarti tipe atau jenis. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Gender dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, dan tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (trend). Gender juga sangat tergantung kepada tempat atau wilayah, misalnya kalau di sebuah desa wanita memakai celana dianggap tidak pantas, maka di tempat lain ditemui sudah jarang wanita memakai rok. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Pada jaman dulu, pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan wanita, tetapi sekarang ini sudah banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau susah karena harus tergantung
kepada
wanita
untuk
tidak
kelaparan
(bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/pp1). Pola perilaku dalam rumah tangga tidak selalu sama. Pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga telah tercipta dan terbiasa di dalam masyarakat yang menimbulkan subordinasi pada
perempuan (Dharma, 1999; dan
Prasetyo, 2003). Secara biologis, sifat wanita memang berbeda dengan lakilaki, tetapi kedudukan wanita di bawah laki-laki dapat berasal dari perbedaan budaya (gender). Seperti dalam naskah serat Jawa yang menceritakan tentang budaya perempuan Jawa, bahwa seorang istri harus selalu taat pada suami, setia, dan menurut kehendak suami, serta selalu menunjukkan sikap keceriaan walaupuan hatinya sedang tidak berkenan (Suharti, 1991).
4
Ketidaksetaraan atau ketidakadilan jender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan jender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi, persamaan antara laki-laki dan wanita, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain . Sebagai contoh dari ketidaksetaraan gender pada remaja adalah jika terjadi kehamilan pada remaja putri yang masih sekolah maka hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari sekolah sementara remaja putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya jika mungkin, keduanya baik pihak wanita juga laki-laki tetap diberi
kesempatan
untuk
melanjutkan
sekolah
(bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/pp1). Persoalan gender berpotensi untuk menimbulkan konflik dan perubahan sosial, karena sistem patriaki yang berkembang luas dalam berbagai masyarakat menempatkan wanita pada posisi yang tidak diuntungkan secara kultural, struktural, dan ekologis (Umar, 1999). Demikan pula dalam hal pola pengasuhan anak, terdapat diskriminasi antara suatu upaya untuk mengatasi penghalang dan pembatas struktur sosial yang kaku, diskriminasi, dan ketidak adilan, serta konflik antara rumah tangga dan karir (Ried et al., 1987 dalam Murtanto dan Martini, 2003). Seorang wanita karir dapat merasa bersalah karena pengasuhan anak yang kurang maksimal, dan waktu untuk memperhatikan anak berkurang. Meskipun didalam keluarga cenderung dominan ayah yang menentukan keputusan keluarga, peran ibu dalam memberikan pola asuh yang demokratis juga berpengaruh dalam menentukan perilaku anak (Uyun, 2001). Wanita dan anggota minoritas memiliki kekuasaan dan kesempatan yang kecil pada lingkungan organisasinya sehingga aspirasi dan kontribusi wanita diabaikan (Kanter, 1979). Selain itu, diskriminasi terjadi karena perbedaan kompensasi antara laki-laki dan wanita (Michael dan Shannon, 1996). Maisaroh (2003), menguji secara empiris di Kabupaten Bantul bahwa etos kerja wanita lebih tinggi dibanding etos kerja laki-laki, tetapi dengan etos
5
kerja yang tinggi, ternyata wanita karir belum mampu menjamin dirinya merasa lebih sejahtera, sekalipun ia mampu membantu kesejahteraan keluarga. Wanita karir memang dituntut untuk mampu menyeimbangkan tugas rumah tangga dengan tugas pekerjaannya. Oleh karena itu dukungan suami juga diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Apabila sikap suami yang tidak kondusif dengan pekerjaan istri, dan merasa kurangnya waktu istri untuk berkumpul bersama keluarga, hal ini mengakibatkan istri merasa tertekan dengan keadaan yang demikian. Di satu sisi wanita karir harus mampu menyelesaikan urusan keluarga dan di sisi lain ia harus mampu menyelesaikan pekerjaan kantornya, hal ini menimbulkan suatu konflik peran ganda pada wanita karir (ibu rumah tangga sekaligus sebagai pekerja).
B. Konflik Peran Menurut Luthan (1997), seseorang akan mengalami konflik peran jika ia memiliki dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan dan jika ia berusaha mematuhi satu diantaranya, maka ia akan mengalami kesulitan. Tekanan pekerjaan yang dialami wanita karir kemungkinan terjadi karena adanya konflik. Menurut Nouri dan Parker (1989), ketidak jelasan peran, konflik peran dan tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan penyebab utama terjadinya stress (tekanan) di tempat kerja. Pengertian konflik peran adalah ketidaksesuaian pengharapan yang berhubungan dengan peran (Gregson et al., 1994). Nasurdin et al., (2004) menguji konflik peran dengan sampel beberapa manajer perusahaan elektronik di Malaysia. Mereka membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara konflik peran dengan tekanan pekerjaan. Apabila konflik peran bertambah secara drastis, maka manajer seorang wanita cenderung mengalami stres pekerjaan yang lebih besar dibanding manajer laki-laki. Menurut Jones (2001), konflik peran tidak selalu bersifat negatif, karena konflik dapat pula meningkatkan efektivitas organisasi, jika tiap anggota organisasi atau karyawan bekerja sesuai dengan keahliannya dan menjaga profesi atau pekerjaannya maka kemungkinan konflik akan dapat menambah
6
kreativitas organisasi jika dikelola dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Corner (1992) dalam Uyun (2001) bahwa wanita menjadi lebih depresif karena pekerjaan rumah tangga yang sangat banyak dianggap tidak berharga atau lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan di luar rumah, dan wanita karir yang berkomitmen profesi tinggi cenderung lebih besar dalam memiliki konflik peran ganda (Nugrahani, 2005). Tanggung jawab atas karir yang dipilih tergantung pada individu yang menentukan pilihan itu sendiri. Memilih kehidupan tertentu melibatkan proses pertukaran sistem nilai yang kompleks, seringkali malah bertentangan satu sama lainnya. Paling tidak kita dapat melihat bahwa pilihan karir melibatkan pertukaran antara kepentingan keuarga, kemanan dan nilai uang. Meskipun ada peluang untuk menerapkan metoda yang lebih canggih untuk menentukan pilihan karir, tetapi tetap saja tidak dapat dihindarkan dari faktor subyektivitas (Canada et al., 1985; dalam Gibson et al., 1997). Permasalahan yang dihadapi wanita karir dapat bersifat internal (dalam urusan rumah tangga) maupun eksternal (dalam urusan pekerjaan), atau faktor lingkungan dimana lokasi atau daerah pekerjaan juga ikut berperan dalam memunculkan suatu konflik peran ganda. Lingkungan fisik dan kondisi kerja yang lain, bersama dengan faktor lain yang dipertimbangkan menjadi ekstrinsik pada suatu pekerjaan (Gibson et al., 1997). Meskipun peran wanita karir mampu menyejahterakan ekonomi keluarga, namun ia merasa masih belum mampu menyejahterakan dirinya. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan suami pada prestasi atau kinerja istri. Konflik peran pengasuhan anak juga ikut berpengaruh terhadap kinerja wanita karir. Kegelisahan di kantor saat wanita bekerja, dapat saja terjadi karena memikirkan keadaan anak-anak di rumah, terlebih jika anak sedang sakit, sehingga mereka bekerja kurang optimal. Hal ini merupakan salah satu penyebab timbulnya tekanan pekerjaan pada wanita karir, sehingga tekanan pekerjaan pada wanita terkadang lebih besar dibanding pria (Nasurdin et al. 2004). Labih fatal lagi jika wanita karir merasa bersalah terus menerus karena
7
anak dan suami merasa kurang diperhatikan, sehingga muncul keinginan untuk berhenti bekerja. Terkadang, pola pengasuhan anak yang dominan dapat berpengaruh terhadap prestasi anak. Namun, pola asuh yang demokratis yang lebih baik dibanding pola asuh otoriter (Uyun, 2001) karena dengan pola asuh yang demokratis anak diberi kesempatan untuk berpendapat sehingga anak merasa dihargai dan tidak direndahkan. Secara ideal dalam pola pengasuhan anak, istri dan suami mempunyai kewenangan dan kedudukan yang sama. Selain konflik masalah pengasuhan anak, konflik lain yang berkaitan kegiatan rutin sehari-hari di dalam rumah seperti urusan pekerjaan rumah tangga, komunikasi dan interaksi dengan anak dan suami, waktu untuk keluarga, skala prioritas yang diutamakan, tekanan karir dan keluarga, serta pandangan suami terhadap peran ganda istri juga ikut menentukan dalam kinerja wanita karir, demikian pula dengan kesejahteraan keluarga wanita karir. Apakah dengan bekerjanya para ibu rumah tangga di luar lingkup domestiknya (pekerjaan di rumah) akan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya? Konflik peran diatas menunjukkan masih terdapatnya ketidaksetaraan jender di berbagai tempat. Seperti yang dilakukan oleh Kuntari (2000). Ia menguji perbedaan jender khususnya karir di KAP. Hasilnya tidak terdapat perbedaan jender dalam hal pengalaman organisasi, evaluasi kinerja dan hasil karir antara auditor laki-laki dan wanita. Menurut Samekto (1999), terdapat kesetaraan motivasi, komitmen organisasi, komitmen profesional, kesempatan kerja dan kemampuan kerja antara auditor laki-laki dan wanita pada Kantor Akuntan Publik (KAP) Surabaya. Studi Samekto (1999) mendukung penelitian Ahim (1998) bahwa terdapat kesetaraan motivasi kerja dan kesempatan kerja pada akuntan pendidik laki-laki dan wanita. Beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa terdapat kesetaraan kedudukan antara laki-laki dengan wanita yang bekerja, apabila wanita yang bekerja juga menjaga tingkat profesionalnya.
8
Berdasar berbagai kajian teori dan studi empiris yang berkaiatan dengan kesetaraan jender dan konflik peran, maka perlu dilakukan fokus penelitian untuk membuktikan pernyataan mengenai kesetaraan jender pada wanita Parangtritis, dan untuk membuktikan apakah terdapat konflik peran pada wanita Parangtritis.
III.
METODA PENELITIAN
A. Metoda Penelitian 1. Desain dan Metoda Penelitian Desain penelitian menggunakan metoda survey pada wanita Parangtritis terutama anggota kelompok Niswati Bahari dan menggunakan pendekatan deskriptif self report. 2. Lokasi dan Subyek Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian praktis dengan studi empiris yang bergantung pada kondisi obyektif suatu masyarakat, khususnya terhadap kebutuhan publik yang berkaitan dengan pemahaman kesetaraan jender terutama wanita Parangtritis khususnya anggota Niswati Bahari. Lokasi penelitian ini dilakukan di Parangtritis, Bantul DIY. Subyek penelitian ini adalah wanita kelompok Niswati Bahari. Populasi penelitian ini adalah seluruh wanita Parangtritis DIY, sedangkan sampel penelitian adalah seluruh anggota kelompok Niswati Bahari Parangtritis di DIY. B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data utama penelitian ini adalah data primer, sedangkan data sekunder digunakan sebagai data pelengkap. Data primer akan diperoleh secara langsung oleh peneliti sendiri terhadap obyek penelitian, yaitu wanita Parangtritis anggota kelompok usaha Niswati Bahari. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah disusun secara cermat dan diteliti sesuai dengan pokok masalah dan tujuan penelitian. Kuisioner menggunakan daftar pertanyaan yang disusun oleh Departemen Agama, dan PP ’Aisyah. 2006 ketika ”Pelatihan PUG bagi
9
Pimpinan Aisyiyah dan Muhammadiyah,” di Wisma Sargede Yogyakarta, 2325 Desember. Kuisioner terdiri 15 pernyataan. Kuisioner ini digunakan sebagai teknik pencarian data di lapangan disertai dengan teknik wawancara mendalam baik secara terstruktur maupun non terstruktur. C. Prosedur dan Metoda Analisis Sesuai dengan pokok permasalahan penelitian dan data yang dikumpulkan, maka metoda analisis ini metoda analisis kualitatif - deskriptif. Prosedur metoda analisis kualitatif ini pada dasarnya dilakukan sejak awal hingga akhir penulisan laporan. Namun secara khusus, jika data telah terkumpul melalui teknik pengumpulan data di atas kemudian diklasifikasikan menjadi dua kelompok data yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Prosedur pengolahan dan analisis data terhadap data kualitatif, yaitu mendeskripsikan secara verbal melalui kata-kata atau kalimat yang dipisahpisahkan menurut kategori untuk memperoleh pola, kategori, dan uraian dasar atau kesimpulan. Paradigma alamiah dalam analisis kualitatif tersebut menggunakan pedoman kriteria relevansi (Moleong, 1999). Relevansi yang dimaksud adalah signifikansi persepsi wanita Parangtritis berkaitan dengan kesetaraan jender dan konflik peran. Upaya prosedur ini dilakukan agar dapat ditemukan kepastian dan keaslian yang merupakan hal yang terpenting dalam penelitian kualitatif (alamiah).
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden Profil Responden pada penelitian ini berdasar Umur, Pekerjaan, dan pendidikan, sebagai berikut dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Profil Responden Umur
25 – 32 33– 38 39 – 46 47 – 54 Total Tabel 1
Jumlah 3 11 7 3
Pekerjaan
Pedagang Petani Buruh Ibu Rumah tangga
Jumlah 12 1 4 7
Pendidikan Terakhir Jumlah SD 3 SLTP 3 SLTA 13 Sarjana -
24 24 24 menunjukkan profil responden sejumlah 24 orang berumur
responden antara 25 tahun hingga 54 tahun, dari data usia dapat diketahui bahwa kelompok perempuan Parangtritis rata-rata berumur antara 33 tahun sampai 38 tahun, dan dalam usia produktif. Berdasar jenis pekerjaan, paling banyak responden bekerja sebagai pedagang, namun masih ada yang hanya sebagai ibu RT. Kelompok Niswati Bahari yang berprofesi sebagai petani hanya 1 orang dan sebagai buruh 4 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok Niswati bahari masih banyak yang tidak bekerja diluar rumah (dalam hal ini hanya sebagai ibu RT). Pemahaman gender masih perlu dilakukan pada kelompok ini karena akan dapat meningkatkan wawasan dalam mengembangkan ketrampilanya yang akan dapat menambah penghasilan keluarga. Berdasar
jenjang
pendidikan
akhir,
sebagian
besar
responden
berpendidikan menengah yaitu lulusan SLTA. Kelompok Niswati Bahari tidak ada yang lulusan Sarjana, dan hanya 3 orang yang lulusan SD, dan 3 orang lulusan SLTP. Data ini menunjukkan pola pengasuhan anak pada kelompok Niswati Bahari cukup baik, karena tingkat pendidikan orang tua rata-rata dikategorikan sedang dalam membimbing belajar anak B. Analisis Data Berdasar hasil pelatihan IbM yang berkaitan dengan pemahaman gender dan analisis gender pada kelompok Niswati Bahari, kemudian dilakukan pengisian kuisioner untuk dilakukan penelitian tentang gender pada peserta IbM. Kuisioner berisikan pernyataan materi yang berkaitan dengan
11
pemahaman gender dan konflik peran wanita yang dijalankan pada kelompok Niswati Bahari. Pernyataan yang berkaitan dengan pemahaman gender terdiri dari 13 item, sedangkan pernyataan yang berkaitan dengan konflik peran wanita ada 2 item. Tiap-tiap pernyataan baik yang berkaitan dengan pemahaman gender maupun konflik peran diukur dengan menggunakan skala likert, yaitu: 1
Untuk Pernyataan Sangat Setuju
2
Untuk Pernyataan Setuju
3
Untuk Pernyataan ragu-Ragu
4
Untuk Pernyataan Tidak Setuju
5
Untuk Pernyataan Sangat Tidak Setuju
Dari hasil kuisioner yang disebarkan pada kelompok Niswati Bahari berdasar pernyataan yang berkaitan dengan pemahaman gender dapat dikatakan bahwa persepsi pemahaman gender dan analisis gender pada kelompok perempuan Niswati Bahari tidak merata, tetapi cukup untuk dikatakan baik, meskipun terkadang masih lebih berfokus pada sifat kultur. Adapun hasil kuisioner pemahaman gender dapat dilihat pada Tabel 2, halaman 28. Tabel 2. Pemahaman Gender No 1
Pernyataan Perempuan menjadi pemimpin organisasi
SS 3
3
0
TS 13
STS 5
JUMLAH 24
2
Istri harus menuruti semua perintah suami Pengambil keputusan keluarga adalah suami Keharmonisan RT tergantung pada kemampuan istri dalam mengelola RT Cara berpakaian sopan bukan jaminan wanita terhindar pelecehan seksual Jaman sekarang, perempuan menerima bagi waris sama besar dengan laki-laki Gaji karyawan antara laki dan perempuan seharusnya sama Dalam rumah tangga hak laki- laki dan perempuan sama
3
12
0
6
3
24
0
3
0
18
3
24
3
9
0
9
3
24
0
12
4
5
3
24
4
10
0
6
0
24
0
16
3
5
0
24
3
15
3
3
0
24
3 4
6
7
8 9
S
R
12
11
12
13 14
15
Perempuan seharusnya pandai memasak dan berhias diri agar mampu menyenangkan suami. Laki-laki tidak pantas terlalu banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, dan mencuci piring. Perempuan tidak pantas menjadi pemimpin dalam keluarga. Perempuan bersolek/berdandan adalah dalam rangka menarik perhatian lawan jenisnya Memiliki isteri lebih dari satu adalah wajar bagi laki-laki untuk memenuhi dorongan seksual lakilaki yang lebih tinggi daripada perempuan.
4
13
4
3
0
24
0
4
4
16
0
24
3
11
6
4
0
3
4
6
11
24
0
0
4
3
17
24
24
Apabila berkaitan dengan kepemimpinan, maupun peran perempuan sebagai istri di rumah tangga pada kelompok Niswati Bahari dapat dilihat pada halaman 29. 1
Perempuan menjadi pemimpin organisasi
3
3
0
13
5
24
12,5%
12,5%
0
54,17%
20,83%
100
Menurut hasil kuisioner pada kelompok perempuan Niswati Bahari berkaitan dengan pernyataan apakah perempuan dapat menjadi pemimpin di suatu organisasi menunjukkan
sebesar 54,17% menyatakan tidak setuju
apabila perempuan menjadi pemimpin. Hal ini menunjukkan masih kurang pemahaman tentang gender pada perempuan kelompok Niswati, atau dapat pula dikarenakan rasa kebudayaan yang menyatakan kalau pemimpin itu lebih tepat jika ditentukan dari laki-laki dan bukan dari perempuan. 2
Istri harus menuruti semua perintah suami
3
12
0
6
3
24
12,5%
50%
0
25%
12,5%
100
Pernyataan yang berkaitan dengan ketaatan istri pada semua perintah suami menunjukkan 50% setuju. Hal ini mengindikasikan ketaatan istri pada suami dari kelompok perempuan Niswati bahari cukup tinggi. 3
Pengambil keputusan keluarga adalah suami
0
3
0
18
3
24
0
12,5%
0
75%
12,5%
100
13
Berkaitan dengan pengambilan keputusan di keluarga adalah suami sejumlah 75% responden menyatakan tidak setuju. Angka ini menunjukkan terdapat kemandirian dalam berpendapat pada perempuan Niswati Bahari. 4
Keharmonisan RT tergantung pada kemampuan istri dalam mengelola RT
3
1
0
17
3
24
12,5%
4,17%
0
70,83%
12,5%
100
Sebesar 70,83% responden tidak setuju apabila keharmonisan RT tergantung pada kemampuan istri dalam mengelola RT. Angka tersebut menunjukkan bahwa pentingnya kebersamaan dalam mengelola RT, yang tidak hanya ditentukan oleh istri saja atau suami saja. 6
Cara berpakaian sopan bukan jaminan wanita terhindar pelecehan seksual
0
12
4
5
3
24
0
50%
16,67%
20,83%
12,5%
100
Berkaitan dengan cara berpakaian wanita, ternyara sebesar 50% setuju apabila pelecehan seksuaal tidak hanya ditentukan pada cara berpakaian saja, tetapi juga hal yang lain. Oleh karena itu pentingnya kepribadian yang baik dan santun diperlukan dalam menjaga harkat dan martabat wanita juga keluarga. 7
Jaman sekarang, perempuan menerima bagi waris sama besar dengan laki-laki
4
10
0
6
0
24
16,67%
41,67%
0
25%
0
100
Sebesar 41,67% perempuan Nisawti Bahari setuju apabila dalam bagi waris wanita memiliki hak yang sama dengan pria. Namun sebesra 25% tidak setuju karena masih menekankan pada hokum agama yang dianut, karena menurut Islam 1: 2 untuk wanita 1 bagian sedangkan untuk laki-laki 2 bagian. 8
Gaji karyawan antara laki dan perempuan seharusnya sama
0
21
3
0
0
24
0
87,5 %
12,5 %
0
0
100
Berkaitan dengan hak yaitu banyaknya gaji yang diterima antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sejumlah 87,57% responden setuju, hanya 12,5% yang masih ragu-ragu. Hal ini menunjukkan pemahaman gender sudah lebih baik pada perempuan Niswati Bahari berkaitan dengan persamaan hak. 9
Dalam rumah tangga hak lakilaki dan perempuan sama
3
15
3
3
0
24
12,5%
62,5%
12,5%
0
0
100
14
Sebesar 62,5% responden menunjukkan terdapat persamaan hak berkaitan dengan tugas dalam rumah tang. Hal ini juga menunjukkan terdapat pemahman gender yang cukup signifikan dala, pemberian mtaeri IbM, karena terdapat persepsi yang cukup tinggi dalam mengakui bahwa di dalam RT hak dan kedudukan antara suami dan istri adalah sama atau sederajat. 11
Perempuan seharusnya pandai memasak dan berhias diri agar mampu menyenangkan suami.
4
3
4
13
0
24
16,67%
12,5%
16,67%
54,17%
0
100
Sebesar 54,17% responden mengatakan tidak setuju apabila dalam menyenangkan suami, istri harus mampu memasak dan berhias diri. Dari jawaban pernyataan ini cukup bervariasi karena sebesar 16,67% responden menunjukkan
ragu-ragu yang
berarti masih
belum percaya
tentang
kemampuan istri dalam menyenangkan suami. Hal ini perlu diperhatikan lagi dalam pemberian motivasi kepribadian perempuan atau istri. 12
Laki-laki tidak pantas terlalu banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, dan mencuci piring.
0
4
4
16
0
24
0
16,67%
16,67%
66,67%
0
100
Dalam hal mengurus RT seperti: melakukan pekerjaan RT, memasak, mencuci, dan mengurus anak tidak hanya dikerjakan oleh istri saja, tetapi suami juga harus berperan. Sebesar 66,67% responden tidak setuju apabila urusan RT oleh istri saja. Hal ini menunjukkan terdapat persepsi yang cukup baik
dari peremuan
Niswati, karena mampu
membagi
beban dan
tanggungjawab keluarga pada suami. 13
Perempuan tidak pantas menjadi 3 pemimpin dalam keluarga. 12,5 %
11
6
4
0
24
45,83 %
25 %
16,67 %
0
100
Dalam hal kepemimpinan masih perlu ditingkatkan pada kelompok Niswati, karena sebesar 45,83% setuju apabila perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, dan haya 16,67% menunjukkan tidak setuju. 14
Perempuan bersolek/berdandan adalah dalam rangka menarik perhatian lawan jenisnya
0
3
4
6
11
24
0
12,5%
16,67%
25%
45,83%
100
15
Perempuan berdandan tidak hanya ditujukan untuk suami saja. Sebesar 45,83% responden sangat tudak setuju dan sebesar 25% menyatakan tidak setuju apabila perempuan berdandan adalah untuk menarik perhatian laki-laki. 15
Memiliki isteri lebih dari satu adalah wajar bagi laki-laki untuk memenuhi dorongan seksual laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan.
0
0
4
3
17
24
0
0
16,67%
12,5%
70,83%
100
Memiliki istri lebih dari satu merupakan hal yang tidak wajar pada suami meskipun dorongan seksual suami lebih tinggi disbanding dengan istri. Dan sebesar 70,83% menyatakan sangat tidak setuju, hanya sebesar 16,67% yang menyatakan ragu-ragu. Dalam hal pemahaman persamaaan hak berkaitan dengan seksualitas perlu ditingkatkan pada
kelompok Niswati supaya
persetaraan gender benar-benar dapat terwujud. Dari hasil kuisioner yang disebarkan pada kelompok Niswati Bahari berdasar pernyataan yang berkaitan dengan konflik peran wanita dapat dikatakan bahwa ada atau tidaknya konflik peran dari tiap responden tidak selalu sama. Adapun hasil kuisioner dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konflik Peran wanita NO 5
10
PERNYATAAN Perempuan boleh bekerja, tetapi tidak perlu mengejar karir karena bukan tugas utama RT Suami berhak mendapatkan pelayanan seksual tanpa harus ada kerelaan isterinya.
SS 0
S 3
R 0
TS 15
STS 6
JUMLAH 24
0
3
3
11
3
24
Apabila berkaitan dengan tugas utama perempuan adalah tugas RT, dan bukan karir, dapat digambarkan bahwa sebagian besar kelompok Niswati bahari tidak setuju apabila perempuan atau istri tidak perlu mengejar karir. Hal tersebut menunjukkan terdapat konflik peran wanita yang cukup tinggi di Pesisir, khususnya kelompok Niswati Bahari, karena pemahaman gender responden juga sudah meningkat dengan diadakannya IbM. Maka, sudah sewajarnya apabila perempuan pun juga berkeinginan untuk mengembangkan
16
diri, salah satunya dengan beraktivitas diluar RT yang kemungkinan akan meningkatkan pula penghasilan keluarga. No
Pernyataan Perempuan boleh bekerja, tetapi tidak perlu mengejar karir karena bukan tugas utama RT
5
SS 0
S
R
0
12,5%
3
0
0
TS 15
STS 6
JUMLAH 24
62,5%
25%
100
Pernyataan konflik peran kedua, yaitu berkaitan dengan pelayanan seksual istri terhadap suami. Pernyataan tersebut menekankan bahwa suami berhak menginginkan pelayanan kepuasan seksual tanpa mengindahkan kerelaan istri. Adapun hasil kuisioner tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut: No 10
Pernyataan Suami berhak mendapatkan pelayanan seksual tanpa harus ada kerelaan isterinya.
R
0
SS 3
3
TS 11
STS 3
JUMLAH 24
0
12,5 %
12,5 %
62,5 %
12,5 %
100
Sebesar 62,5% responden
S
mengatakan tidak setuju apabila pelayanan
seksual hanya bergantung pada suami. Hal ini cukup menunjukkan hal postitif pada perempuan Niswati dalam memahami persamaan gender. Karena permasalahan seksual dalam RT tidak hanya ditentukan oleh suami saja, tentunya peran istri juga ikut mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat keseetaraan gender dan konflik peran wanita pada kelompok Perempuan Niswati Bahari di pesisir Parangtritis, Bantul Yogyakarta? Selain itu studi juga bertujuan menguji apakah pemahaman gender pada kelompok perempuan Niswati Bahari sudah meningkat, berkaitan dengan terlaksananya kegiatan IbM di Parangtritis. Penelitian ini menggunakan subyek pada kelompok perempuan usaha Niswati Bahari di dusun Mancingan, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Sejumlah 24 orang menjadi responden, dan keseluruhan
17
responden digunakan untuk menganalisa data. Instrumen penelitian disadur dari kuisioner yang disusun oleh Alimatul Qibtiyah (2006) dengan menggunakan 15 pernyataan. Pengukuran tiap item menggunakan skala likert. Menurut hasil kuisioner pada kelompok perempuan Niswati Bahari berkaitan dengan pernyataan apakah perempuan dapat menjadi pemimpin di suatu organisasi menunjukkan
sebesar 54,17% menyatakan tidak setuju
apabila perempuan menjadi pemimpin. Hal ini menunjukkan masih kurang jiwa kepemimpinan pada perempuan kelompok Niswati, atau dapat pula dikarenakan rasa kebudayaan yang menyatakan kalau pemimpin itu lebih tepat jika dari seorang laki-laki dan bukan dari perempuan. Padahal yang menentukan jadi tidaknya seorang pemimpin itu adalah kemampuan dan wawasan dalam memimpin bukan dari jenis kelamin. Pernyataan yang berkaitan dengan keharusan istri untuk selalu taat pada semua perintah suami menunjukkan 50% setuju. Hal ini mengindikasikan ketaatan istri pada suami dari kelompok perempuan Niswati bahari cukup tinggi. Kemungkinan terjadi karena budaya konco wingking masih kuat atau berprinsip bahwa semua perintah suami harus dijalankan oleh istri, karena suami adalah pemimpin dalam keluarga. Padahal yang terpenting dalam melaksanakan perintah suami tentunya adalah perintah yang baik dan bermanfaat, apabila bertolak belakang dengan norma tentunya tidak perlu dilaksanakan. Berkaitan dengan pengambilan keputusan, terdapat 75% responden menyatakan tidak setuju apabila keputusan RT hanya ditentukan oleh suami. Angka ini menunjukkan terdapat kemandirian dalam berpendapat pada perempuan Niswati Bahari. Memang segala keputusan RT tentunya dipertimbangkan baik oleh suami maupun istri. Keharmonisan rumah tangga tentunya tidak hanya ditentukan oleh istri saja, sebesar 70,83% responden tidak setuju apabila keharmonisan RT tergantung pada kemampuan istri dalam mengelola RT. Tentunya dalam mengelola RT perlu peran yang seimbang baik antara hak maupun kewajiban dari masing-masing unsure RT, baik dari pihak suami maupun istri. Sangat
18
diperlukan kebersamaan dalam mengelola RT, yang tidak hanya ditentukan oleh istri saja atau suami saja. Berkaitan dengan cara berpakaian wanita, ternyara sebesar 50% setuju apabila pelecehan seksual tidak hanya ditentukan pada cara berpakaian saja, tetapi juga hal yang lain. Oleh karena itu pentingnya kepribadian yang baik dan santun diperlukan dalam menjaga harkat dan martabat wanita. Cara berpakaian yang sopan adalah salah satu cara untuk menghindar dari pelecehan seksual, hal ini juga harus diimbangi dengan kepribadian perempuan yang baik pula. Karena kepribadian yang baik akan menjaga perempuan dari pelecehan seksual juga menjaga keharmonisan keluarga. Sebesar 41,67% perempuan Niswati Bahari setuju apabila dalam bagi waris wanita memiliki hak yang sama dengan pria. Hal ini tidak didukung seluruhnya oleh kelompok Niswati, karena 25% menyatakan tidak setuju. Hasil kuisioner menunjukkan kelompok Niswatu masih menekankan pada hukum agama Islam sesuai dengan mayortas agama kelompok tersebut, karena menurut Islam ketentuan bagi waris adalah 1: 2 yaitu untuk wanita 1 bagian sedangkan untuk laki-laki 2 bagian. Berkaitan dengan hak, kuisioner yang menyatakan bahwa banyaknya gaji yang diterima antara laki-laki dan perempuan adalah sama, menunjukkan 87,57% responden setuju apabila hak atau gaji antara laki-laki dan perempuan sama. Hanya 12,5% yang masih ragu-ragu. Tingginya angka yang menyatakn setuju hak waris sama antara laki-laki dan perempuan menunjukkan pemahaman gender kelompok Niswati sudah lebih baik pada sebelum dilakukan IbM. Demikian pula berkaitan dengan pembagian tugas dalam RT. Sebesar 62,5% responden menunjukkan terdapat persamaan hak berkaitan dengan tugas dalam rumah tangga. Hal ini juga menunjukkan terdapat pemahaman gender yang cukup meningkat berkaitan dengan pelaksanaan IbM, karena terdapat persepsi yang cukup tinggi dalam mengakui bahwa di dalam RT hak dan kedudukan antara suami dan istri adalah sama atau sederajat.
19
Sebesar 54,17% responden mengatakan tidak setuju apabila dalam menyenangkan suami, istri harus mampu memasak dan berhias diri. Dari jawaban pernyataan ini menunjukkan meningkatnya pemahaman gender karena dalam RT dalam hal menyenagkan suami tidak hanya ditentukan oleh istri dengan kemampuan istri dalam memasak,
maupun berhias diri saja.
Karena ketrampilan yang lain seperti kemampuan mengelola keuangan, mengurus anak, dan kepribadian yang baik juga ikut menyenagkan suami. Berdasar hasil kuisioner tersebut, sebesar 16,67% responden menunjukkan ragu-ragu yang berarti masih belum percaya tentang kemampuan istri dalam menyenangkan suami. Hal ini perlu diperhatikan lagi dalam pemberian motivasi kepribadian perempuan atau istri. Pengurusan RT seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak tidak hanya dikerjakan oleh istri saja, tetapi suami juga harus berperan. Sebesar 66,67% responden tidak setuju apabila urusan RT hanya dilakukan oleh istri saja karena laki-laki tidak pantas dalam melakukan pekerjaan RT. Hal ini menunjukkan terdapat persepsi yang cukup baik dari perempuan Niswati, karena mampu membagi beban dan tanggungjawab keluarga pada suami, bahwa pekerjaan RT adalah pekerjaan bersama yang harus dikerjakan baik oleh suami maupun istri sesuai dengan tugas masing-masing pihak. Sebesar 45,83% responden setuju apabila perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, dan hanya 16,67% menunjukkan tidak setuju. Dalam hal kepemimpinan untuk kelompok Niswati masih perlu diberikan motivasi lagi dalam urusan kepemimpinan, karena jiwa kepemimpinan masih kurang. Perempuan berdandan tidak hanya ditujukan untuk suami saja. Sebesar 45,83% responden sangat tidak setuju dan 25% menyatakan tidak setuju apabila perempuan berdandan adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Karena berhias diri diperlukan baik bagi perempuan maupun istri untuk menjaga penampilan dan daya tarik serta percaya diri. Masih rendahnya prosentase pengembangan pribadi pada responden, maka masih diperlukan motivasi pengembangan pribadi pada kelompok Niswati Bahari.
20
Memiliki istri lebih dari satu merupakan hal yang tidak wajar pada suami meskipun dorongan seksual suami lebih tinggi dibanding dengan istri, hal ini ditunjukkan sebesar 70,83% responden menyatakan sangat tidak setuju, hanya sebesar 16,67% yang menyatakan ragu-ragu. Peningkatan peran keluarga pada kelompok Niswati juga meningkat karena persepsi responden mengenai peran istri dalam RT penting dan kepuasan pelayanan seksual istri juga diperlukan dalam menjaga keharmonisan RT. Kelompok Niswati bahari tidak setuju apabila perempuan atau istri tidak perlu mengejar karir. Hal ini menunjukkan terdapat konflik peran wanita yang cukup tinggi di Pesisir, karena pemahaman gender meningkat sehingga responden
mengerti
pentingnya
perempuan
mengejar
karir
untuk
mengembangkan diri. Tentunya dalam mengembangkan karir harus seizin suami, dan tidak meninggalkan kewajiban urusan RT. Demikian pula dengan pelayanan seksual tidak hanya ditentukan dari suami. Hal ini cukup menunjukkan hal postitif pada perempuan Niswati dalam memahami persamaan gender. Karena permasalahan seksual dalam RT tidak hanya ditentukan oleh suami saja, tentunya peran istri juga ikut mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. B. Keterbatasan Peneliti tidak mengukur secara keseluruhan pada kelompok perempuan Niswati Bahari hanya berdasar data yang diperoleh ketika responden menjadi peserta IbM, hasil kemungkinan dapat berbeda apabila secara keseluruhan kelompok Niswati menjadi responden semua. C. Saran Kemungkinan
riset
yang
akan
datang
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan sampel perempuan lain dengan membedakan jenis pekerjaan, apakah hasil studi akan konsisten atau tidak.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ahim, A. 1998. “Pengaruh Perbedaan Gender Terhadap Perilaku Akuntan Pendidik.” Tesis. UGM. Pasca-Sarjana. BKKBN, http://www.bkkbn.go.id, 2006. “Penduduk, Ketenagaan, Pendidikan dan Kesehatan,” Cukilan data, Nomor : 258, tahun XXXIII, ISSN: 0120-0197. Departemen Agama, dan PP ’Aisyah. 2006. ”Pelatihan PUG bagi Pimpinan Aisyiyah dan Muhammadiyah,” di Wisma Sargede Yogyakarta, 23-25 Desember. Dharma, S. 1999, “Pengembangan penelitian bidang kajian perempuan di Perguruan Tinggi”: Artikel, disampaikan dalam Pelatihan Pembuatan Proposal Penelitian Penelitian yang diajukan untuk memperoleh dana DIKTI dan ITSSF, Lembaga Penelitian, UAJY tanggal 19 Juni. Gregson, T. W. Dan Auno,J. 1994. “Role Ambiguity, Role Conflict, and Perceived Environmental Uncertainty: Are the Scales measuring Separate Construct for Accountans?.” Behavioural Research in Accounting. Vol. 6. pp. 145-159. Gibson, James. L, dan Donelly. 2000. Organizations Behavior Structure Processes. Tenth Edition, Irwin. McGraw-Hill. Jones. G. 2001. Organizational Theory Text And Cases . Third Edition. Prentice Hall International, Inc. Kanter, R. M. 1979. Differential Acess to Opportunity and Power, Discrimination in Organizations. pp. 52-68. San Fransisco: Jossey Bass. Kuntari, Y. 2000. “Pengalaman Organisasi, Evaluasi Terhadap Kinerja dan Hasil Karir pada KAP: Pengujian Pengaruh Gender.” Tesis. UGM Pasca-Sarjana. Kompas, 2003. “Ketidakadilan Jender, Kesetaraan Jender, dan Pengarusutamaan Jender,” Tim Rifka Annisa Women's Crisis Center Yogyakarta, 10 Februari. Luthans, F. 1997, “Organizational Behavior”, McGraw-Hill, Inc. Maisaroh, S. 2003. Etos Kerja Perempuan Dalam Meningkatkan Kesejahrteraan Keluarga: Pada Usaha Kecil Kerajinan Bambu di Bantul Yogyakarta”. Laporan Penelitian, FE UPY.2003.
22
Michael, K. P, dan Shannon, M. 1996. “Does The Level of Occupational Aggregation Affect Estimates Of The Gender Wage Gap?” Industrial & Labour Relation Review, Vol. 49. No. 2: 233-243. Moleong, L. 1999, “Methodologi Penelitian Kualitatif”, Tesis Kuantitatif. Murtanto, dan Martini, “Persepsi Akuntan Laki-laki dan Akuntan Perempuan Serta Mahasiswa dan Mahasiswi Akuntansi Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi Akuntan,” Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya, 16-17 Oktober 2003. Nasurdin, A.M., Ramayah, T., dan Kumaresan, S. 2004. “Organizational And Personality Effects On Manager’s Job Stress: Is Different for Malaysian Men and Women?” Gadjah Mada International Journal of Business. Vol. 6., No.2, pp. 251-274. Nouri, H. dan Parker, R. J. 1996. “The Effect of OrganizationalCommitment On Relation Between Budgetary Participation and Budgetary Slack.” Behavioral Research in Accounting. Vol. 8. pp. 74-90. Nugrahani, 2005. “Pengaruh Komitmen Profesi, Partisipasi Anggaran dan Self Efficacy Terhadap Konflik Peran,” Proceeding Simposium Riset Ekonomi, ISEI Surabaya, 24 Nopember. Prasetyo, P.Eko, 2000. Aliansi Kewirausahaan Industri Kecil dan Menegah Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Daerah Ostimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, AKUBANK, Yogyakarta. Samekto, A. 1999. “Perbedaa Kinerja Laki-laki dan Perempuan pada KAP di Surabaya.” Tesis. UGM. Pasca-Sarjana. Suharti, 1991. “Pribadi Perempuan Jawa Menurut Kondep Pendidikan Yang Terkandung Dalam Naskah-Naskah Jawa,” Cakrawala Pendidikan, PPM IKIP Yogyakarta, Edisi Khusus, Tahun X, Mei. Uyun, Q. 2001. “Sikap Terhadap Keselarasan Jender Ditinjau dari Pola Asuh Demokratis Orang Tua.” Jurnal Penelitian Logika, Lembaga Penelitian UII Yogyakarta, Vol. 5, No.6.pp. 64-76.
23