9. POLITIK SEAFOOD SAVERS Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan yang bersifat pribadi (private goals). Politik lebih memfokuskan kepada kegiatan pada suatu sistem politik yang menyangkut proses yang menentukan dalam melaksanakan tujuan itu sendiri. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang tersedia (Budihardjo, 1989:8).
Damsar (2010: 11-12), menambahkan bahwa pengertian
politik dapat dipahami sebagai kekuasaan, kehidupan publik, pemerintahan/negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian atau alokasi. Easton, 1953 dalam bukunya The Political System (dalam Martin, 1990: 5-10) menjelaskan bahwa sistem politik adalah sistem yang dapat memelihara dan mengubah tatanan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritatif sebagaimana nilai tersebut mempengaruhi distribusi sebagai penggunaan kekuasaan. Sifat otoritatif diartikan sebagai hal umum yang dianggap sah, sedangkan nilai-nilai otoritatif diartikan sebagai sumberdaya yang langka dan kekuasaan sendiri diartikan sebagai kekuatan yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kekuasaan dapat berupa dukungan dari komunitas sebagai suatu rangkain dukungan kesulurahan, dukungan regime, dan dukungan otoritas politik itu sendiri yang berarti tujuan politis tertentu. Sehingga konsep politik menurut Easton berarti mekanisme “pengalokasian nilai-nilai otoritatif” seperti mempengaruhi distribusi dan kekuasaan yang dialokasikan kepada masyarakat. Ada banyak pandangan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik (Caporaso and Levine, 1992). Politik dapat diartikan sebagai “siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (Lasswell, 1996); “pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan” (Morgenthau, 1948); “seni dan ilmu dari pemerintahan atau “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960), “pola-pola kekuasaan, aturan dan 249
kewenangan” (Easton, 1981); “konflik murni, yaitu pertentangan antar grup atau kutub (Schmitt, 1976) dan “ penyelerasan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan melalui kebijakan publik (Crick, 1964).
Kekuasaan, kewenangan,
kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik semuanya terkait dalam pemahaman politik (dalam Caporaso and Levine, 1992). Menurut Damsar, (2010: 66), menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi dua macam, yaitu kekuasaan yang bersifat paksaan (coercive) dan kekuasaan sah/otoritas. Terminologi kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan untuk menguasai dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain untuk mencapai tujuan, khususnya untuk mempengaruhi orang lain. Paksaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara tidak memiliki legitimasi (sah), sedangkan otoritas adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sebagai suatu bentuk yang terlegitimasi. Penggunaan kekuasaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara kerjasama, persaingan dan konflik. Dalam politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang dijalankan oleh pilar negara, pilar masyarakat dan pilar pasar. Ketiga pilar tersebut mempunyai kekuasaan dan cara yang berbeda dalam memanfaatkan dan menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk di dalamnya sumberdaya perikanan. Melalui beberapa regime pengelolaan sumberdaya, politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi dijelaskan sebagai berikut: 9.1.
Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State dan Private Property Right (Tata Kelola Berbasis Area/Luasan) Menurut Adhuri (2005), kritik pengelolaan sumberdaya tersebut sering
ditemui ketidakharmonisan antara masyarakat dengan aparat pengelola dari pusat, yang disebabkan karena terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia dan finansial dalam pelaksanaan monitoring, surveillance dan controlling (MSC), kebijakankebijakan yang dihasilkan, subordinasi kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kepentingan ekonomi jangka panjang (konservasi), serta terjadinya resistensi dari 250
masyarakat tentang aturan pengelolaan yang bersifat top-down. Sehingga diperlukan sebuah transformasi kekuasaan dengan sebuah istilah devolution. Devolution of major resources management and allocation to the local level may be more effective than management effort which distant and understaffed government agencies can provide (Bailey and Zernerm, 1992; dalam Adhuri, 2005). Dalam pengelolaan sumberdaya alam dibutuhkan kesadaran pemerintah pusat untuk membagikan atau menumpahkan tanggung jawab dan kekuasaan dalam pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkan wilayahnya. Hal ini dharapkan agar pemanfaatan sumberdaya alam lebih efektif dan berlanjut. Carney and Farrington (1998), menyebutkan beberapa pembaharuan tipe (type of reform) pengelolaan sumberdaya alam, yaitu privatisasi, desentralisasi dan deregulasi. Ketiga tipe pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam, yang dianggap ideal dan mementingkan rakyat adalah desentralisasi. Carney dan Farrington (1998), menyebutkan bahwa desentralisasi adalah pergeseran kekuasaan dari pusat ditumpahkan atau dikuasakan ke daerah. Pergeseran kekuasaan di dalam desentralisasi, terdapat dua tipe, yaitu devolusi dan dekonsentrasi. Devolusi adalah desentralisasi yang di dalamnya terdapat transformasi kekuasaan berupa pembetukan dan revitalisasi kebijakan berdasar kepentingan daerah. Jadi hukum dan kebijakan serta legislatif dibentuk sesuai dengan porsi dan kepentingan daerah. Sedangkan dekonsentrasi adalah pergeseran atau transformasi kekuasaan bersifat operasional kekuasaan dari kementrian pusat kepada sub unit daerah. Dekonsentrasi sering disebut sebagai redefinisi dari pergeseran skup dari kementrian pusat terbagi menjadi sub unit, dan tidak terjadi perubahan atau pergesaran kekuasaan apapun. Bromley, 1991 dalam Hanna, et.al, (1995: 17), menjelasakan bahwa terdapat dua komponen dalam (hak kepemilikan sumberdaya) regime property right, yaitu: 1). property rights itu sendiri, melekat sifat hak kepemilikan dan kewajibannya dalam memanfaatkan potensi sumberdaya di dalamnya, dan 2). property rule, seperti aturanaturan yang mengikat hak dan kewajiban dari yang memiliki sumberdaya. Hanna, et.al., 1995: 18 menjelaskan beberapa tipe regime pengelolaan sumberdaya alam berdasarakan atas spectrum kepemilikannya (Mc Cay and Acheson 1987; Berkes, 251
1989; Bromley, 1989 and Ostrom, 1990), menyebutkan tipe regime kepemilikan sumberdaya alam, diantaranya adalah: •
• • •
Private property (res privatae),kepemilikan atas sumberdaya yang dimiliki secara individual, kepemilikan individu mempunyai hak dalam kontrol dan akses dalam pemanfaatan sumberdaya secara sosial dan ekonomi (Black, 1968); Common property (res communes), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas, mempunyai sifat melarang masuk terhadap bukan pemilik. State property (res publicae), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kepentingan unit politik, pemerintah/negara dimana kewenangannya terdapat pada agen publik. Open access (res nullius), sumberdaya yang tidak bertuan, tidak ada yang memiliki dan property yang bersifat open to all. Dinamika dari open access merupakan kajian utama dari “Tragedy of the Common”. Pengelolaan sumberdaya alam menjadi kawasan konservasi laut di Perairan
Wakatobi, di kuasai dengan sistem komando dari pusat, walaupun terdapat sistem komunal dan devolusi kekuasaan pemerintah yang dimiliki oleh pemerintah daerah serta sistem pasar. Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, menjadi menarik, ketika Wakatobi ditunjuk, seluruh daerah Kabupaten Wakatobi menjadi luasan konservasi Taman Nasional. Melihat potensi sumberdaya dan human capital Wakatobi, tak lain kecuali mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Eksistensi nelayan Bajo, dikenal sebagai suku laut yang tidak mempunyai akses atas sumberdaya lahan, menjadi permasalahan tersendiri ketika terdapat zonasi baik yang datang dari sistem zonasi Taman Nasional dan sistem zonasi Daerah Perlindungan Laut (Marine Sanctuary), sebagai pengelolaan tata ruang dari COREMAP Phase II yang didukung oleh DKP Kabupaten. Transisi kepemilikan sumberdaya perairan di Wakatobi, mengalami tranformasi sejak Tahun 1996, dengan ditunjuknya perairan Wakatobi menjadi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996, kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 19 Agustus Tahun 2002 yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi dan namanya menjadi Taman Nasional Wakatobi. Desember Tahun 2003 Wakatobi 252
mekar dari Kabupaten Buton dan menjadi wilayah kabupaten tersendiri, sehingga memunculkan permasalahan bahwa batas dan luas kawasan TNW berhimpit dan sama persis dengan luasan Kabupaten Wakatobi (RPTNW 2008: 2). Dalam rangka harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional dengan pembangunan daerah, sebagai ujud untuk mengantisipasi berbagai perubahan politik, dan pemerintahan serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya sehingga dilakukanlah revisi RPTN dalam jangka waktu 25 tahun kedepan (1998-2023). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengelola kawasan dalam perencanaan pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, sebagai dasar pijakan kebijakan dan renstra Kabupaten Wakatobi yang selaras dengan pengelolaan TNW (RPTNW, 2008: 4). Taman Nasional Wakatobi, terdapat 6 zonasi, yaitu zona inti, zona pemanfaatan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan tradisional dan zona khusus. Zona khusus adalah zona daratan yang diserahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Menurut RPTN sebagai zona khusus adalah zona penyangga, dimaksudkan agar pengelolaan mata pencaharian masyarakat dan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan daratan Wakatobi selaras dengan pengembangan wilayah perairan sebagai kawasan konservasi taman nasional (RPTNW, 2008: 3). Dalam prakteknya bahwa keharmonisan antara taman nasional dengan daerah, belum terlihat bersinergis betul. Kabupaten Wakatobi sebagai daerah pemekaran baru membutuhkan modal dalam membangun wilayahnya. Penetapan leading sektor perikanan dan pariwisata sebagai agen pembangunan di Wakatobi, tentunya harus melihat pertimbangan sebagai kawasan konservasi taman nasional. Potensi Wakatobi yang dominan hanyalah perikanan, untuk pariwisata belum bisa dikatakan sebagai kemandiaran untuk menyokong pembangunan daerah. Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, nelayan Wakatobi, baik orang darat mauapun orang Bajo mengenal laut adalah sebagai sumberdaya milik bersama dan siapa saja boleh memanfaatkan hasil lautnya. Hal ini menjadikan nelayan Bajo sebagai suku laut menjelajah disetiap karang yang ada di gugusan karang Wakatobi adalah kebun milik mereka (koko dilao). Setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional,
253
yang pengelolaan kawasan dengan menggunakan sistem zonasi, terdapat perubahan anggapan dan kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini pada awalnya menimbulkan konflik penolakan zonasi oleh masyarakat terhadap taman nasional. Aturan-aturan taman nasional dengan menggunakan sistem zonasi, dengan tujuan untuk konservasi terumbu karang dalam jangka panjang demi keberlanjutan ekosistem dan mendukung praktek ekonomi masyarakat jangka panjang. Akan tetapi aturan-aturan konservasi zonasi taman nasional, mendapat reaksi dari nelayan, dikarenakan terdapat aturan yang melarang nelayan beroperasi dan hanya diperbolehkan pada zona pemanfaatan umum dan pemanfaatan lokal. Tata ruang zonasi taman nasional laut tidak semudah dengan tata ruang taman nasional yang ada di daratan, karena laut tidak bisa diberi marka (bouy) dan untuk tata batasnya tidaklah jelas. Mata pencaharian nelayan menangkap ikan sebagai komoditas, mempunyai sifat fugitive, bergerak bebas. Secara otomatis nelayan akan mencari daerah yang banyak ikannya, walaupun masuk dalam zona yang tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan. Pemahaman dualisme tentang zonasi di kawasan Wakatobi masih terjadi pemahaman simpang siur sampai sekarang. Pemahaman yang ganda sampai saat ini terjadi di nelayan disebabkan karena nelayan belum mempercayai adanya penetapan zonasi. Simpang siur informasi tentang penetapan zonasi di gunakan oleh kepentingan segelintir orang untuk kepentingan politisnya. Dalam sebuah kasus di Pulau Tomia terjadi pada Tahun 2009, dimana bakal caleg mengkampanyekan dirinya, dengan menggunakan zonasi taman nasional sebagai alatnya untuk memperoleh dukungan massa terutama dari nelayan. Nelayan, terutama Bajo masih menganggap zonasi baru menjadi wacana dan belum ditetapkan oleh Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Wakatobi. Pemahaman ini disebabkan oleh informasi dari kepentingan politik dalam meraih dukungan massa. Belum selesainya permasalahan pemahaman dan ketaatan nelayan terhadap sistem zonasi taman nasional, Tahun 2009 munculah Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang di usung oleh COREMAP Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Wakatobi. Kebijakan desentralisasi sebagai semangat otonomi daerah
254
terwujud pada devolusi kewenangan dan kekuasaan KKP kepada daerah melalui dinas/instansi yang terkait yaitu DKP. DPL merupakan konsep awal yang bagus bahwa partisipasi komunal ditonjolkan untuk berperan aktif dalam mengelola kawasan laut milik desa. DPL dibentuk dari luasan laut milik desa, diambil 10 % sebagai daerah perlindungan laut. Terlihat di lapangan, bahwa DPL menimbulkan kritik dari masyarakat, bahwa DPL bersifat sangat ekslusif bagi penduduk desa yang mempunyai laut. Pertama, DPL dibentuk dengan pertimbangan tutupan karang masih bagus yaitu ≥50 persen. Dalam kawasan DPL tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan dan budidaya. Akan tetapi praktek di lapangan, DPL dimanfaatkan sebagai budidaya rumput laut. Hal ini jelas sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya DPL. Sifat ekslusifitas komunal atau kelompok tertentu, tentunya akan mengalienasi pengguna sumberdaya perikanan lain seperti nelayan Bajo. Kedua, DPL digunakan sebagai zona pariwisata dalam site penyelaman untuk kepentingan wisata, yang tidak jarang dimanfaatkan oleh perusahaan wisata swasta, sehingga, nelayan pun tidak bisa menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk menangkap ikan, terlebih-lebih ketika ada wisatawan menyelam. Pihak resort pariwisata yang mempunyai site penyelaman melarang keras nelayan untuk melintas di wilayah tersebut. Ketiga, bahwa DPL adalah zonasi dalam zonasi, didalam aturannya, terdapat pengaturan yang berbeda yaitu milik komunal/ masyarakat yang mempunyai DPL. Akan tetapi pihak taman nasional berdiam diri dan mendukung, karena tujuannya adalah mendukung konservasi taman nasional. Keempat, penentuan DPL yang dilakukan oleh COREMAP Phase II sebagai no take zone area, di lokasikan pada zona pemanfaatan tradional (lokal) dalam koridor sistem zonasi taman nasional. Hal ini menjadikan lebih sempit akses pemanfaatan nelayan terhadap sumberdaya perikanan di kawasan zonasi taman nasional. Sistem tata ruang perairan Wakatobi baik zonasi kawasan taman nasional ataupun DPL adalah sistem kavling area, sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan akses untuk nelayan yang tidak memiliki wilayah laut, seperti Bajo. Kavling tersebut diwujudkan sebagai praktek zonasi kawasan konservasi yang diyakini sumberdaya
255
yang melekat di dalam kawasan (area) pun ikut ter-kavling dalam kerangka zona konservasi. Pandangan pola pengkavlingan, dinilai oleh sosiolog perikanan (Craig Harris dalam Satria, 2009a:54), sebagai pola pengelolaan yang bersifat modernisasi. Modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah dicirikan dengan kuatnya dominasi (state) yang didistribusikan secara top down. Lahirnya DPL, menjadikan bentuk disparitas sesama komunitas yang hidup di Wakatobi. Nelayan Bajo tidak mempunyai hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan terhadap DPL. DPL menjadi milik komunal bagi masyarakat desa yang mempunyai wilayah laut desa dan DPL tetapi hal tersebut menjadi “komunalisasi” yang bersifat ekslusi, dilakukan oleh kelompok masyarakat desa tertentu yang mempunyai DPL dan laut desa terhadap nelayan Bajo. Menyangkut hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan dan pesisir, nelayan Bajo yang hidupnya menggantungkan dari komoditas laut baik karang maupun laut dalam, tidak mempunyai pilihan lain, selain harus melaut di daerah yang menjadi milik negara. Hak nelayan yang tidak mempunyai wilayah laut menjadi terampas khususnya nelayan Bajo untuk hak memanfaatkan (withdrawal right) maupun hak mengelola (management right). Adapun temuan data di lapangan berkaitan dengan hak kepemilikan sumberdaya adalah sebagai berikut: Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL
Zona Pariwisata
Akses
X
X
X
Pemanfaatan
X
-
-
Pengelolaan
X
-
-
Eksklusi
X
-
-
Pengalihan
-
-
-
Tipe Hak
Propieter
Authorized
Authorized
entrance
entrance
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)
256
Tabel 9.2. Hak nelayan daratan (desa lain yang mempunyai wilayah laut desa (DPL) terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL
Zona Pariwisata
Akses
X
X
X
Pemanfaatan
X
X
-
Pengelolaan
X
X
-
Eksklusi
X
X
-
Pengalihan
-
-
-
Tipe Hak
Propieter
Claimant
Authorized entrance
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012) Tabel 9.3. Hak pengusaha resort pariwisata terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL
Zona Pariwisata
Akses
X
X
X
Pemanfaatan
X
-
X
Pengelolaan
X
-
X
Eksklusi
X
-
X
Pengalihan
-
-
X
Tipe Hak
Propieter
Claimant
Owner
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)
Praktek dilapangan mengenai ketidakharmonisan antara pemerintah daerah dan pihak taman nasional tercermin dalam pengaturan sumberdaya perikanan dalam kawasan. DKP sebagai instansi yang mempunyai tugas untuk perikanan daerah bergerak sendiri dan mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan dari mulai perijinan, monitoring sampai kontrol, sedangkan Balai Taman Nasional Wakatobi sangat patuh dengan garis komando konservasinya. Sehingga sistem lempar batu, sembunyi tangan terhadap pengawasan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi taman nasional laut terjadi dikarenakan mempunyai dualisme kewenangan. Akibat yang terjadi dari adanya dualisme kewenangan adalah masuknya pihak ketiga (free
257
rider) yang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ikut serta memanfaatkan sumberdaya perikanan di dalam kawasan. Praktek terdapatnya free riders adalah masih terjadinya penangkapan komoditas yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi dalam kawasan, dan praktek produksi penangkapanya masih menggunakan illegal fishing gear. Terdapatnya praktek illegal fishing seperti penggunaan cyanide untuk menangkap Napoleon dan menggunakan bom untuk menangkap ikan karang segar, tak lain dampak dari ego kepentingan antara daerah dengan taman nasional, sehingga nelayan yang menjadi korban sebagai pelaku illegal fishing. Ego kepentingan antara pemerintah daerah dan Taman Nasional terlihat dari tumpang tindih kewenangan dalam sektor perikanan. Pemerintah daerah melalui DKP mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan sedangkan Taman Nasional Wakatobi mempunyai kekuasaan terhadap kawasan konservasinya. Dijelaskan oleh Satria, (2009a:55), bahwa ketidakharmonisan antara perikanan dan konservasi merupakan cerminan dari simpang siur dan tumpang tindihnya kewenangan dan kebijakan yang menjadi kiblat masing-masing instansi. Pada level lokal terjadi ketidakharmonisan antara taman nasional, pemerintah daerah, nelayan, dan pengusaha wisata. Pada level nasional terjadi ketidakharmonisan antara KKP dengan Kemenhut. Pada level nasional, dicerminkan oleh adanya pertimbangan dasar kebijakan yang tidak pernah saling sinergis. Cerminan ketidaksinergisan dalam produk hukum sebagai dasar kebijakan seperti: dalam Keputusan DitJend PHKA No. SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi yang tidak menimbang dari Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K. Hal tersebut pun terjadi sebaliknya, ketika Kemenhut merujuk ke umbrella act Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, KKP, dalam membentuk peraturan, belum terlihat merujuk terhadap UndangUndang tersebut. Sehingga hal ini menurut Satria (2009a: 69), disebut sebagai bentuk disharmonisnya produk hukum yang menyebabkan konflik institusional di kedua institusi pemerintah. Tumpang tindih kepentingan menjadi permasalahan klasik mengenai penanganan konservasi laut. Tetapi, apabila di tengok lebih jauh, perebutan
258
kewenangan tersebut berkaitan dengan masalah teknis-birokratis sebagai politik anggaran dari masing-masing institusi. Dalam hal ini, konservasi kawasan belum bisa menopang kesejahteraan nelayan, dan belum bisa memberikan jawaban alternatif, livelihood terhadap nelayan ikan konsumsi karang hidup, khusunya nelayan Bajo. Sehingga boleh dikatakan bahwa nelayan, belum tersentuh permasalahannya dan selalu berada dalam dua paradigma, yaitu konservasi dan developmentalis sebagai ujud dari pemekaran daerah baru di dalam kawasan konservasi. 9.2.
Transformasi Politik Seafood Savers sebagai Pengelolaan Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup berbasis Pasar Selama dua dekade sudah, United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), sumberdaya perikanan dunia mendapat perhatian yang cukup serius berkaitan tentang keberlanjutannya, berkaitan dengan konsep yang dinyatakan oleh Hardin sebagai “tragedy of the commons”, dimana telah terjadi penangkapan berlebih (overexploitation), penurunan daya kapasitas sumberdaya di bawah ambang batas (overcapacity) dan terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya perikanan (OECD; 19). Merujuk dari laporan FAO 1994 (OECD, 2006; 20), bahwa terjadi penurunan tangkapn dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi pada ikan komersial (ikan demersal). Penurunan hasil tangkapan ikan demersal komersial, dikarenakan mempunyai siklus trophic level yang rentan dalam produksi ikan di alam, dan hal ini juga terjadi pada komoditas ikan pelagis kecil (Pauly et. al., 1998, dalam OECD, 2006; 20). Ketidakseimbangan antara pemanfaatan (frekuensi penangkapan ikan) dan kemampuan stok produktivitas ikan terjadi karena faktor meningkatnya pengguna sumberdaya perikanan, dan praktek overfishing serta belum jelasnya kebijakan yang mengatur (unrugelated) praktek penangkapan ikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan seharusnya di dukung oleh keuntungan secara teknik dan merupakan lapangan pekerjaan tambahan bagi nelayan (didukung oleh kebijakan pemerintah), untuk menghambat laju degradasi sumberdaya perikanan. Secara bersamaan,
259
pertumbuhan produksi perikanan dapat menjadi andalan pembangunan bagi beberapa negara (OECD, 2006; 20). OECD Tahun 2006, memaparkan paradigma pembangunan berkelanjutan sektor perikanan yang terdiri dari tiga pilar, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Permasalahan dasar dalam penggunaan sumberdaya perikanan adalah terletak pada aspek ekonomi. Persaingan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan produksi, menciptakan sisi negatif, terhadap peningkatan penggunaan sumberdaya perikanan yang semakin langka (menurun). Outline mekanisme pengelolaan secara ekonomi sumberdaya perikanan beserta implikasinya digambarkan sebagai berikut: Sifat Sumberdaya Perikanan
Common
Crowding exteralitas (jangka pendek)
Renewable
Stock externalitas (jangka panjang)
Overexploitation
Overcapacity
Equity issue (konflik pengguna)
Efficiency issue (hilangnya penyewaan sumberdaya)
Resources conservation issue
Sumber: Diadopsi Boncoeur dan Troadec, 2003; OECD, 2006, Gambar. 9.1. Outline mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan secara ekonomi
Melihat kondisi perikanan di Wakatobi yang berada pada dua konsep besar paradigma developmentalis dan konservasi, diperlukan jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan perikanan terutama berkaitan dengan komoditas ikan
260
konsumsi karang hidup. Konservasi kawasan seperti taman nasional dan DPL belum bisa memberikan jawaban antara realitas kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan perikanan. Isu besar dari wacana pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pasar, dikarenakan keprihatinan terhadap degradasi sumberdaya lingkungan yang semakin menunjukan kerusakan. Menurut Hempel, 1996 (dalam Riyanto, 2005:10), terdapat empat faktor yang menjadi degradasi lingkungan yaitu: Pertama, nilai-nilai dasar yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan adalah etika antroposentris yaitu demi memenuhi kepuasannya manusia cenderung mengorbankan spesies (flora dan fauna) disekitarnya dan etika kontemposentris yaitu lemahnya pengkayaan oleh generasi sekarang ke generasi yang akan datang; Kedua, pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi; Ketiga, perilaku konsumen yaitu ketegangan antara keinginan dan kebutuhan serta konsekuensi ekologinya; dan Keempat politik ekonomi. Selain keempat aspek tersebut, Satria (2009a:35-36), menambahkan bahwa, degradasi sumberdaya perikanan disebabkan adanya kegagalan pasar dan kegagalan tata kelola. Oleh karena itu pendekatan pasar menjadi acuan kebijakan pengelolaan komoditas yang berkaitan dengan sumberdaya. Kebijakan pasar tersebut adalah kebijakan kouta, dan kebijakan ecolabelling. Kebijkan kouta lebih menekankan pada produsen, sementara ecolabelling pada penekanan level konsumen. Solusi dari kegagalan tata kelola adalah, perlu di wujudkannya kolaboratif manajemen, pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengikutsertakan semua stakeholder, yaitu negara, masyarakat dan pasar. Belum terwujudnya pengelolaan komoditas dan kawasan terumbu karang yang ideal, setidaknya dapat dipetakan penyebabnya selain tumpang tindih kewenangan daerah dan pusat tetapi juga karena kawasan konservasi berbasis area tidak mengikutsertakan peran pasar untuk bertanggung jawab terhadap proses eksploitasi komoditas. Eksploitasi komoditas ikan konsumsi karang hidup terjadi sebagai akibat adanya permintaan pasar regional di Hong Kong yang berlangsung terus menerus. Salah satu dampak dari eksploitasi sumberdaya ikan konsumsi karang
261
hidup, masih terdapat praktek-praktek illegal fishing yang sehuarusnya tidak terjadi di dalam kawasan konservasi masih berlangsung dikarenakan adanya permintaan pasar terhadap spesies yang tidak boleh ditangkap. Seafood Savers, muncul sebagai wacana global dan wacana lokal. Sebagai wacana global produk Seafood Savers merupakan pengelolaan sumberdaya perikanan karang hidup yang diterapkan pada kawasan yang masih terdapat praktek-praktek (bad practice) yang tergolong dalam karakter IUU Fishing. Sampai saat ini belum diketemukan aturan khusus yang mengatur ikan konsumsi karang hidup. Keunikan dan dinamika komoditas ini adalah menjaga agar tetap hidup komoditas dari mulai ditangkap sampai di tangan konsumen yang didalamnya terdapat praktek-praktek spesifik tertentu yang tidak berada di perikanan tangkap lainnya. Sebagai wacan lokal, Seafood Savers merupakan regime pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertumpu pada rasionalitas pasar. Seperti dijelaskan dalam Bab. VI. bahwa komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai dampak sosial dan ekonomi, terdapat dalam jaringan penangkapan, sampai jaringan distribusi dan jaringan pengaman merupakan upaya memanfaatkan hasil tangkapan liar di dalam kawasan konservasi. Jaringan penangkapan, jaringan pemasaran sampai pada jaringan pengaman menyebabkan terjadinya perubahanperubahan kondisi yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan. Secara kajian ekologi, adaptasi ikan konsumsi karang hidup adalah di ekosistem karang yang merupakan salah satu dari delapan potensi konservasi kawasan Taman Nasional Wakatobi yang dilindung (menjadi area target). Kehadiran Seafood Savers sebagai wacana lokal merupakan inisiasi pengelolaan perikanan yang di inisiasikan oleh WWF Indonesia, guna mengelola komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan konservasi yang berbasis pasar sebagai penyokong antara kepentingan konservasi dan developmentalis. Tentunya kehadiran Seafood Savers, menjadi hal yang pro dan kontra, terlebih kepentingan dari Seafood Savers, adalah untuk siapa?. Dukungan dalam konservasi, Seafood Savers adalah proses bridging mechanism untuk mengurangi adanya praktek IUU Fishing. Ikan konsumsi karang
262
hidup, banyak ditangkap dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti cyanide. Permasalahan klasik dari komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah belum ditemukannya regulasi yang spesifik mengenai perikanan tangkap maupun batas quota tangkap untuk ikan konsumsi karang hidup. Selain itu, permasalahan pelaporan mengenai produksi ikan konsumsi karang hidup sampai sekarang juga belum jelas. Agenda besar adanya Seafood Savers adalah terwujudnya Fisheries Improvement Management, sebagai usaha sertifikasi eco-label. Temuan di lapangan, bahwa di Wakatobi masih beroperasi eksportir yang mengirimkan produksi ikan konsumsi karang hidup dengan menggunakan kapal impor langsung dari Hong Kong. Operasi daerah penangkapan berada di Wakatobi, akan tetapi ijin pengawasan ada di Buton. Sedangkan ijin untuk surat keterangan asal ikan ada di Wakatobi, dengan mengatasnamakan baik dari nama CV. ataupun dari kordinatror yang menjadi kepercayaan CV. tersebut. Tentunya hal ini menjadikan dualisme pelaporan hasil tangkapan. Tercatat di Buton dan juga di Wakatobi dengan quota yang berbeda. Tercatat di DKP Wakatobi, jumlah ekspor ikan itu hanya 2500kg, sedangkan di Buton bisa mencapai 7000kg. Faktor ini disebabkan karena di Buton, itu sudah mengambil ikan dari area penangkapan daerah lain, seperti di Selayar. Akan tetapi hal ini menjadi ganjil, ketika merunut dari hasil wawancara dengan penjaga keramba, bahwasanya kapal Hong Kong, membawa ikan ke Wakatobi dan mengangkut, apabila jumlah minimum ikan yang ada di dua keramba Wakatobi itu 4000kg. Belum adanya aturan khusus tentang komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan sehingga menjadikan adanya dualisme pelaporan quota, disebabkan daerah belum mempunyai aturan tentang penataan keramba-keramba ikan konsumsi karang hidup milik eksportir. Jarak lokasi keramba dengan pulau menjadi kendala dalam proses pengawasan. Walaupun kawasan perairan Wakatobi sudah menjadi taman nasional, akan tetapi sifat dari komoditas ikan konsumsi karang hidup tetap bersifat wild capture. Sifat dari wild capture, menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup tidak ada yang memiliki ketika bebas di alam. Kondisi ini disebut dengan ferea naturae.
263
Menurut, Fauzi, 2010: 19, kondisi ferea naturae adalah kondisi dimana ikan memiliki sifat alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kondisi seperti inilah komoditas perikanan mengalami gejala kegagalan pasar. IUU Fishing, yang terjadi pada komoditas ikan konsumsi karang hidup memunculkan fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar dicirikan sebagai berikut: 1. Adanya persaingan yang tidak sehat. Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat oligopsoni dan oligopoli, dimana penjual banyak, pembeli sedikit (level produsen), dan penjual sedikit pembeli banyak (level konsumen). Harga merupakan kewenangan eksportir, yang bisa memainkan harga pasar di tingkat produsen dan harga pasar di tingkat konsumen. 2. Eksternalitas adalah kondisi pasar, ketika dalam aktifitas ekonomi pihak ketiga. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, terdapat ekternalitas ekonomi negatif, yaitu turut campurnya pihak ketiga yang tidak terlibat langsung
dalam
eksternalitas
produksi
negatif
komoditas.
pihak
ketiga.
Rent
seeking¸
Sehingga
menjadi terdapat
ketidakseimbangan antara social benefit dengan social cost. Apabila social cost lebih tinggi daripada social benefit, maka tidak ada biaya beban moral untuk rekoveri masyarakat dan lingkungan (Fauzi: 2005: 20, Rustiadi, 2011:32). 3. Asimetris informasi. Merupakan situasi dimana informasi tidak tersebar merata atau terjadi ketidakpastian informasi. Eksportir ikan konsumsi karang hidup mempunyai informasi lebih banyak, baik harga maupun akses pasar daripada nelayan/kordinator. Perubahan sosial-ekonomi dari Seafood Savers, belum terasa nyata untuk nelayan. Seafood Savers, merupakan aturan antara perusahaan dengan nelayan yang mengikat nelayan. Artinya, posisi antara perusahaan dan nelayan tidak berimbang
264
dalam posisi tawar. Adanya informasi asimetris tentang produk dan harga masih dikuasai oleh perusahaan Seafood Savers terhadap nelayannya. Pemberian premium price, menguntungkan nelayan tanpa ikatan hutang terhadap kordinator (patron) untuk pendapatan, akan tetapi nelayan yang masih dalam ikatan kordinator tidak bisa merasakan adanya premium price. Pola pergeseran kekuasaan sebagai itikad baik perusahaan Seafood Savers menghapus rantai patronase menjadi ikatan kontrak yang bersifat terbatas dalam jangka waktu. Dikarenakan struktur patronase sudah hidup sebelum Seafood Savers diinisiasikan. Ikatan nelayan mempunyai ikatan hutang terhadap kios, sebagai penjamin modal nelayan untuk melaut. Dalam wawancaranya di Bali, perusahaan yang menjadi anggota Seafood Savers pesimis Seafood Savers akan berhasil tanpa ada campur tangan regulasi dari pemerintah. Perusahaan tersebut, belum memakai logo Seafood Savers karena pihaknya, berkeyakinan akan melaksanakan kaidah-kaidah perikanan ramah tangkap, akan tetapi tidak mengikuti prosedur dari WWF (14 Juli 2012). Pesimistis dengan adanya Seafood Savers, dikarenakan penerapan untuk batas minimum quota tangkap untuk ukuran, tidak diikuti oleh perusahaan eksportir ikan konsumsi karang hidup lainnya. Pada
pertemuan
workshop
konservasi
Napoleon,
bahwa
eksportir
keanggotaan Seafood Savers, sangat khawatir dan pesimis tentang moratorium Napoleon dan berubah status menjadi Appendix I dalam CITES. Menurutnya, ketika pemerintah tidak tegas melarang Napoleon, maka di lapangan masih banyak praktek penangkapan Napoleon yang menggunakan bius. Sehingga, ini akan merusak bisnis bagi perusahaan yang sudah mengikuti standar ramah lingkungan seperti Seafood Savers. 9.3.
Analisis Politik Seafood Savers, Sebagai Pengelolaan Perikanan Karang Hidup melalui Mekanisme Pasar Seafood Savers, secara politik diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya
perikanan dengan mendekatkan pada aspek pasar. Kajian OECD tentang using market mechanism to manage fisheries; 2006, menjelaskan bahwa ada tiga tipologi
265
instrument pengelolaan sumberdaya perikanan. Pertama, tipologi pengelolaan berdasar pada metode kontrol. Kedua, tipologi pengelolaan berdasar pada tujuan kebijakan (peraturan), dan Ketiga, tipologi berdasar pada variabel kontrol. Pertama, instrument pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar pada metode kontrol. Secara general, instrument metode kontrol menekankan pada bidang ekonomi sebagai kebijakan pengelolaan. Ada dua macam, yaitu, •
Pertama, instrument ekonomi yang menekankan cost dan benefit terhadap perusahaan perikanan atau nelayan terhadap penggunaan sumberdaya perikanan. Instrument ekonomi diantaranya adalah: a) Menciptakan pasar (market creation), misalnya hak penjualan atau ijin. Instrument ini merupakan instrument pasar, berupa keputusan ekonomi yang dilakukan oleh aktor yang berinteraksi dalam jaringan pasar menyangkut hak dan ijin sebagai atribut kekuasaan para aktor yang berinteraksi. Hak tersebut di kemukakan Tara Scott (1998) dalam OECD (2006), seperti hak ekslusif pengguna, hak untuk mendapatkan keuntungan dan hak untuk menjual. b) Monetary transfer, misalnya, pembayaran atau pajak (seperti, paak, subsidi, dan fee). Hal ini di lakukan dengan tujuan sebagai bentuk ekonomi insentif dan bukan pendekatan pasar. 2). Pengukuran pengelolaan atas pasar berdasar pada peraturan dan legalisasi. Peraturan dan legalisasi dalam pengelolaan pasar dinilai lebih fleksibel daripada instrument eknonomi, meskipun aktor pasar tidak dapat lebih bebas
dalam
menggunakan
sumberdaya
akan
tetapi
dinilai
mengeluarkan cost yang sedikit dalam berproduksi. •
Kedua, pengelolaan SDP berdasar pada tujuan peraturan. Pengelolaan SDP pada instrument ini terdapat dua pengukuran, yang masing-masing berbeda pada istilah dan tujuan serta kemampuan modalnya. Dua pengaturan tersebut adalah
266
a) Menjaga produktivitas stok ikan melalui tindakan teknis, seperti instrument pengaturan terhadap ukuran tangkap, jenis alat tangkap yang diperolehkan dan TAC, jumlah quota yang boleh ditangkap. b) Menyesuaikan kapasitas penangkapan ikan untuk melalui kontrol dan akses. Hal ini berarti berbagi kapasitas produktif dan reproduktif antar pengguna terhadap stok ikan, seperti seleksi terhadap perusahaan yang berhak untuk beroperasi dalam penangkapan ikan, dan pembagian distribusi alokasi penangkapan ikan untuk setiap perusahaan perikanan. Berikut dijelaskan
1).Aturan Penangkapan: -Teknik Penangkapan, -Jenis yang ditangkap,- Minimal size yang ditangkap
a). Selektifitas Penangkapan b). Pembatasan area tangkap dan penggunaan alat tangkap
Pengelolaan c). Mengikuti aturan dengan gambar tentang dua komponen pengelolaan sumberdaya perikanan Perikanan pemerintah dan aturan 2). Akses dan kontrol untuk (Seafood kawasan konservasi menurut OECD, 2006; 22: perusahaan: sharing that capacity Savers) among all the harvester d). mengikuti aturan perusahaan Sumber: Diadopsi dari Boncoeur and Troades, 2003;
Gambar 9.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan karang dengan program Seafood Savers.
•
Ketiga, tipologi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis variabel kontrol. Tipologi pengelolaan ini berdasar pada jenis sumberdaya perikanan yang bersifat fugitive (Ciriacy-Wantrup, 1952). Karena sifat yang melekat pada sumberdaya ikan adalah fugitive maka diperlukan aturan untuk mengelola dengan kontrol variabel, seperti moda aturan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan, seperti aturan Total Allowed Catch (TAC), maupun Individual Transferable Qouta (ITQ). Ketiga pilar tersebut adalah instrument pasar dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berbasis pada aturan pasar. Setidaknya ada empat alasan mengapa hal
267
ini muncul seagai bentuk keprihatinan sumberdaya perikanan yang mengalami overcapacity maupun overexploitation: 1. Pertama, insentif ekonomi tidak terbentuk sebagai hasil interaksi pasar; 2. Kedua, pajak dan biaya sumber daya hampir tidak digunakan sebagai insentif ekonomi (sebagian besar digunakan untuk biaya pemuliah pengelolaan sumberdaya); 3. Ketiga, subsidi tidak digunakan secara tepat akan tetapi digunakan dalam proyek “subsidi perikanan dan pembangunan berkelanjutan”; 4. Keempat, efek utama dari insentif ekonomi diharapkan dapat dikelola sebagai input (misalnya dari pemasukan ijin lisensi kapal) atau output (misalnya retribusi quota tangkap) sehingga hak akses dibayarkan kepada pemegang hak. Tabel 9.4. Tipologi instrument pengelolaan SDP berbasis pasar Tujuan kebijakan
Metode kontrol
Pengelolaan produksi dan reproduksi kapasitas stok ikan
Pengaturan (administrative pengukuran secara teknik) Peraturan (administrasi akses dan kontrol)
Pengaturan akses (insentif-akses kontrol)
Ekonomi berbasis pasar (akses ekonomi kontrol atau hak
a
-mesh size -size/amount of gear -area/time closure
-size and sex selectivity -TAC
-Limiteda nontransferablec permits/license (LL) -Individual nontranferable effort quota (IE) -Territorial User Right in Fisheries (TURF) -Other types of effort limits -Transferablec licences a(LTL) -Individual tranferable effort qoutas (ITE)
-Individualb nontransferablec qoutas -Community-based catch qoutas (CQ) -Other type of catch limits (maximum landings or vessel catch limits-VC) Individualb tranferable qoutas (ITQ)
-inputd tax -Landing tax Economic not market-Subsidy based (monetary -Subsidy -Charges transfer) -Charges Sistem yang membatasi jumlah kapal yang berhak menangkap ikan, maksimum kapasitas penangkapan dan waktu penangkapan ikan..
268
Variabel kontrol Usaha Penangkapan Usaha Perikanan (output control) (input control)
b
kuota individu = pembagian TAC (Total Allowable Catch) dialokasikan untuk kapal atau perusahaan perikanan. c Transferable= tradable on market. d komponen usaha perikanan (konsumsi menengah, modal, dan tenaga kerja). Sumber: OECD Secretariat and Boncoceur and Troades, 2003; 26.
Menarik dikaji, apakah Seafood Seavers adalah bentuk pengelolaan sumberdaya yang berbasis pasar dan merupakan instrument baru pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan efesien?, bagaimana keberpihakan Seafood Savers terhadap nelayan yang rentan modal dan sumberdaya perikanan?. Tentunya belum dapat dianalisis keberhasilan dari seafood Savers, mengingat Seafood Savers adalah program inisiasi baru dari WWF Indonesia. Akan tetapi kebijakan dari Seafood Savers, menjadi sebuah kebijakan yang menarik untuk dianalisis. Berdasarkan dari konsep OECD, 2006 tentang Using Market Mechanism to Manage Fisheries, Seafood Savers merupakan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berdasar pada instrument pola pengaturan sumberdaya berdasar atas produksi dan reproduksi kapasitas stok ikan pada level nelayan dan pola pengaturan akses dan kontrol pada level perusahaan. Seafood Savers adalah pola pengaturan yang terdapat pada aturan produksi dan reproduksi. Pada level nelayan, aturan tersebut memberikan pembelajaran terhadap nelayan untuk menangkap ikan secara lestari. Adapun pengaturan yang terdapat pada Seafood Savers, adalah: 1. Pengaturan penggunaan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat tangkap pada level nelayan merupakan aturan Seafood Savers, guna mendukung kebijakan konservasi dan keberlanjutan perikanan. Kebijakan konservasi ini tertuang dalam amanah Taman Nasional, di mana kawasan pesisir Wakatobi adalah kawasan konservasi. Sedangkan untuk keberlanjutan perikanan, dengan menggunakan praktekpraktek perikanan lestari untuk mendukung ekonomi keerlanjutan masyarakat, seperti yang diamanahkan oleh UU No. 31 Tahun 2004. Pengaturan penggunaan alat tangkap yang tertuang dalam aturan Seafood Saevers merupakan kebijakan awal untuk memberikan transformasi
269
pembelaaran dan penyadaran terhadap masyarakat, bagaimana menangkap ikan secara lestari untuk kehidupan mereka dimasa mendatang. Artinya adalah bahwa sumberdaya perikanan semakin menunjukkan angka keprihatinan, ditunjukkan karena penangkapan berlebih dan penangkapan yang bersifat merusak. Sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Alat tangkap yang tidak diperbolehkan adalah alat tangkap yang dapat mengganggu keseimbangan eksosistem karena bersifat merusak, seperti bom dan bius, dan alat tangkap yang dalam prakteknya dapat merusak terumbu karang seperti ganco dan alat lainnya yang penggunaannya dapat mengancam kerusakan terumbu karang. 2. Pengaturan penangkapan ikan berdasar waktu dan tempat. Seafood Savers menyadarkan kepada masyarakat untuk menangkap ikan karang dalam jangka waktu tertentu dan area tertentu. Hal ini dikarenakan kawasan perairan Wakatobi adalah kawasan konservasi yang pola pengaturan luasnnya diatur dengan sistem zonasi. Penyadaran konservasi terhadap akan pentingnya penataan ruang zonasi dimaksudkan adalah sebagai tempat bank ikan dan tempat pemijahan ikan (SPAGs). Seafood Savers merupakan aturan yang disinkronisasikan dengan aturan Taman Nasional juga dengan aturan perikanan berkelanjutan. Hal ini terlihat, bahwa Seafood Savers adalah jalan tengah sebagai pintu konservasi dan pintu pembangunan. Artinya, adalahlah bagaimana menciptakan kondisi perikanan sebagai leading sektor perikanan masyarakat yang ramah lingkungan dalam kawasan konservasi dengan mematuhi kaidah-kaidah aturan perundang-undangan perikanan dan konservasi. Seafood Savers juga mengatur tentang pola dan ritme, penangkapan ikan karang. Hal ini belum terlihat berjalan, karena aturan Seafood Savers, meganjurkan kepada nelayan untuk tidak menangkap ikan dalam waktu bertelur. Tetapi pegetahuan nelayan ikan akan mudah ditangkap ketika
270
ikan tersebut bertelur, dan ikan akan mengalami blooming di karang ketika musim bertelur. 3. Pengaturan hasil tangkapan ikan berdasar pada size minimum. Pengaturan penangkapan ikan dalam aturan Seafood Savers, adalah diharapkan nelayan mampu dan bersedia menangkap ikan dalam batas minimum ukuran tertentu. Untuk ukuran yang dijalankan oleh UD. PMB (seagai firm yang terdaftar dalam Seafood Savers), sudah menerapkan sistem minimum sizing tangkapan ikan konsumsi karang hidup dengan batas minimum adalah 600 grams. Hal ini dimaksudkan oleh aturan Seafood Savers dan perusahaan adalah guna menjaga reproduksi ikan karang. Diperkirakan, diatas 600 grams sudah mengalami reproduksi sekali, sehingga siklus perkembangan ikan akan terus berlanjut. Akan tetapi berdasar fakta di lapangan hal ini sangat susah dipatuhi oleh nelayan anggota UD. PMB. Tentunya ada faktor lain dan rasionalitas nelayan terutama berkaitan dengan ongkos melaut. Sehingga nelayalan harus mendapatkan hasil apapun ketika melaut untuk menghidari kerugian. Untuk penerapan ikan pelagis Seafood Savers menerapkan prinsip Best Management Practices dalam pengelolaan perikanan pelagis pasca tangkap dengan sistem loing. Loing adalah istilah pillet pada ikan tuna yang dikehendaki oleh perusahaan ekspor tuna. Ekspor tuna dari Wakatobi dikirim ke Jepang. Untuk konsumen di Jepang sudah menerapkan prinsipprinsip green consumerism (MSC, Japan). Aturan Seafood Savers pengelolaan sumberdaya perikanan dalam poin 1 dan poin 2 adalah aturan yang mengatur skala penangkapan pada level nelayan, dalam kajian diatas sebagai input kontrol, sedangkan pada poin 3 adalah sebagai output kontrol. Arti dari input dan output kontrol itu sendiri adalah sebagai monitoring dari hasil penangkapan ikan dilapangan. Input kontrol merupakan sebuah monitoring atas kontrol sdari praktek bagaimana ikan itu ditangkap, terjadi penangkapan di daerah mana dan dengan cara menggunakan apa ikan tersebut ditangkap. Sedangkan output kontrol adalah sebagai monitoring hasil dari produksi penangkapan ikan, beserta
271
permintaan minimal size yang diterima oleh eksportir juga termasuk kriteria fisik ikan bebas dari penangkapan yang menggunakan bahan yang bersifat merusak. Selain ada level nelayan dalam aktifitas produksi penangkapan ikan, Seafood Saver juga mengatur mengenai kinerja perusahan dengan beberapa langkah kirteria perusahan dinilai telah melakukan praktek penangkapan yang baik (good practice). Kepentingan politik dari program Seafood Savers sebagai kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Wakatobi. Berdasar temuan hasil di lapangan, di analisis bahwa politik Seafood Savers terdapat empat aspek pola kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang yang ada di Wakatobi. •
Pertama, terdapatnya pola kemitraan yang terjalin antara pihak pengelola kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, serta merupakan pola kemitraan yang berbasis pasar dan komunitas dengan kepentingan ekonomi guna mendukung nilai tambah penghasilan nelayan yang terdapat pada premium price dan ekologi sebagai keberlanjutan praktek pemanfaatan perikanan yang ramah lingkungan;
•
Kedua, dalam hal sosiologi, peranan politik Seafood Savers menggunakan kekuasaannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang, mencoba menggeser pola jaringan produksi antara nelayan-kordinator yang kian meluruh dengan pola jaringan kerja produksi nelayan-eksportir dalam bentuk kontraktual. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensial konflik laten yang muncul dari kordinator yang kehilangan kekuasaan secara ekonomi dan kepercayaan sebagai elit lokal yang merupakan pola jaringan produksi tradsional;
•
Ketiga, Seafood Savers sebagai ajang dan wadah berkompetisi antara perusahaan yang good practice dengan yang masih menggunakan cara lama bad practice (roving bandit). Ajang kompetisi tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan pola-pola korporasi dengan jaringan pemanfaatan baru yang lebih eksploitatif terhadap nelayan dan sumberdaya; dan
272
•
Keempat, Seafood Savers, sebagai sarana kekuatan instrument baru yang memungkinkan terimplementasikan menjadi sebuah kebijakan (policy) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang di kawasan konservasi, mengingat kemampuan regime pengelolaan bersifat komando dinilai kurang maksimal dalam tujuan konservasi yang mendukung livelihood nelayan Wakatobi, serta sebagai kebijakan jalan tengah dalam kawasan yang mempunyai dualisme pengelolaan yang bersifat state dan local government.
273