Vol 26 No. 1 Tahun 2011 Terbit atas SK Rektor No. 1857/PT.40.H.3/I/88 ISSN : 0215 - 9635 Dewan Penyunting : Dr. Drajat Trikartono, M.Si Prof. Dr. RB Sumanto, MA Penyunting Ahli : Drs. Yulius Slamet, MSc. PhD Drs. Jefta Leibo, SU Dr. Mahendra Wijaya, M.Si Penyunting Pelaksana : Dra. Rahesli Humsona, M.Si Eva Agustinawati, S.Sos, M.Si Pelaksana Tata Usaha : Sugiyanto
Harga langganan untuk satu tahun (2 kali terbit) April dan Oktober Sudah termasuk ongkos kirim adalah : Pulau Jawa = Rp. 25.000,- dan Luar Pulau Jawa = Rp. 30.000,Sekretariat Redaksi : JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET Jl. Ir. Sutami 36 A telp (0271) 648379
Bagus Haryono KAWIN KONTRAK DI INDONESIA: FUNGSIONAL BAGI SIAPA?
1-14
Muh. Rosyid Ridlo BOM BUNUH DIRI ADALAH TERORISME DAN BUKAN JIHAD
15-24
Rahesli Humsona EKSISTENSI MODAL SOSIAL DALAM MERESPONS DAMPAK BENCANA GEMPA BUMI DI DIY
25-34
RB. Soemanto REALITAS SOSIAL “KELOMPOK HUNIAN LIAR” DI PERKOTAAN: TANTANGAN DAN HARAPAN
35-42
Sulistyaningsih TEKNOLOGI INFORMASI DAN PERUBAHAN SOSIAL DI ERA GLOBALISASI
43-53
Sri Hilmi Pujihartati PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PETERNAKAN BERSINERGI
54-65
Jefta Leibo PENGELOLAAN SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PEMBANGUNAN DESA
66-73
Yulius Slamet EFFECT OF GLOBALIZATION ON CAPABILITY DEPRIVATIONS : Study Among The Urba Poor in Surakarta
74-80
Vibriza Juliswara REPRESENTASI DI BALIK PERANG IKLAN TARIF PULSA SELULER
81-91
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011
KAWIN KONTRAK DI INDONESIA: FUNGSIONAL BAGI SIAPA?
Bagus Haryono Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract Families in Indonesia still convinced as the ultimate institution to control on the sexual intercourse among the family members. But the existing ‘families’ built by the contractual (the contractual marriage) need the other institutions to control it. The preventive social control on the illegitimacy form of those families, is not enough, but need repressive or coercive treatment. Although the contractual marriage in Indonesian society owning negative impact on health, psychological, and sociological for women and children. It still exist caused by the false of social construction and functional for society caused supported by the economic hidden interest groups that interrelated on women and babies trafficking. Keywords: Contractual marriage, Social construction, Functional aspect
A. Pendahuluan Keluarga kian dipertanyakan efektifitasnya dalam melakukan kontrol terhadap berbagai bentuk perilaku menyimpang. Bahkan tampak tidak lagi kokoh menghadapi gempuran globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme yang melanda Indonesia sehingga membawa kita semakin individualistis dan serba materialistis. Kian melemahnya keluarga dalam melakukan kontrol sosial, tidak saja telah memunculkan berbagai bentuk penyimpangan di Indonesia, tetapi juga dengan munculnya bentuk kawin kontrak, boleh jadi ini akan mengancam eksistensi lembaga keluarga itu sendiri. Dalam tulisan ini dapat ditunjukkan betapa lemahnya individu pelaku kawin kontrak (Bunga, Ani, Desi dan pelaku yang berperan sebagai Amil Nikah, maupun lingkungannya) ketika berhadapan dengan
fakta sosial (norma, nilai, lembaga). Mereka ternyata tidak sepenuhnya dapat bebas mengikuti kemauannya atau mengekspresikan sendiri. Jika ekspresi diungkapkan secara terus terang pada masyarakat, tentu mendapatkan cemoohan. Pelakupun tidak mau mengungkapan identitasnya sehingga diketahui oleh orang lain, terutama dengan meminta nama diri yang bersangkutan diganti dengan nama samaran. Pertanyaannya mengapa kawin kontrak tetap muncul? Kenyataan ini dapat dijelaskan melalui bagaimana kawin kontrak sekalipun dinilai menyimpang dari tinjauan agama, sosial, budaya, dan hukum, namun masih memiliki fungsi tidak saja bagi terpenuhinya seksualitas dalam dimensi biologis, tetapi juga memiliki fungsi ekonomis.
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
1
Jurnal Sosiologi DILEMA Seksualitas sebenarnya merupakan produk masyarakat atau sebagai bentukan sosial budaya, bukan merupakan produk naluri insting manusia, begitu juga dengan fenomena kawin kontrak. Kawin kontrak dimaknai oleh berbagai pihak secara berbeda-beda, sebagian kalangan dimaknai sebagai suatu bentuk upaya melegalkan bentuk perzinahan, perselingkuhan, upaya melepaskan diri dari tekanan kemiskinan, upaya melegitimasi hasrat seks supaya tidak dikatakan zinah, atau dalam masyarakat kapitalis yang konsumeristis dimaknai sebagai suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Seluruhnya amat tergantung pada pemahaman masyarakat. Dilihat dari dimensi keagamaan, kawin kontrak dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial karena melanggar aturan agama, bahkan aturan hukum. Konsepsi tentang kawin kontrak dalam kajian sosiologi keluarga dapat dikategorikan ke dalam bentuk ketidaksahan (illegitimacy) dan penyimpangan. Pengendalian terhadap meluasnya fenomena tersebut, saat ini dinilai tidak lagi cukup jika hanya ditumpukan pada keluarga. Oleh karena itu, kontrol sosial harus melibatkan berbagai pihak, tidak lagi cukup bersifat preventif, ataupun persuasif. Di lain pihak, secara serentak oleh berbagai kelompok, baik bersifat preventif atau represif, dengan cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coersive) tetap dilakukan dalam berbagai bentuk. Negara, melalui aparat kepolisian, perlu meningkatkan kontrol secara rutin dengan melakukan upaya dalam berbagai bentuk, misal razia terhadap praktik kawin kontrak di villa atau penginapan, pelaku yang berperan sebagai amil nikah, pelaku yang terkait dengan kawin kontrak, serta calo yang turut menyuburkan praktik kawin kontrak di Indonesia. Pengendalian sosial lebih nampak pengaruhnya ketika melibatkan pihak aparat kepolisian yang bersifat represif dengan cara paksaan
2
(coersive), misal dilakukan secara rutin dengan menangkap para pelaku kawin kontrak, perempuan yang menjadi korban jaringan perdagangan perempuan bermodus kawin kontrak, dan calo yang turut menyuburkan praktek kawin kontrak di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan membuktikan bahwa perkawinan telah menjadi objek bisnis yang melibatkan berbagai pihak, bahkan melibatkan jaringan perdagangan. Media televisi telah mengendus praktik kawin kontrak, sekaligus menjadi menu tayangan yang menarik untuk diungkapkan. Dokumentasi Liputan 6 SCTV.com, acara Nuansa Pagi RCTI, dan acara Reportase Investigasi episode Kawin Kontrak 2 Trans TV pernah menayangkan praktik tersebut. Kajian sosiologi dalam perspektif dramaturgi dapat menjelaskan secara memadai fenomena kawin kontrak. Setting disiapkan agar ‘perkawinan’ terkesan riil oleh orang asing (khususnya Arab), dan dapat meyakinkan mereka agar seolah perkawinan kontrak telah sesuai dengan perkawinan yang diakui agama. Siasat dibuat dengan mendatangkan pelaku, sebagaimana yang dilakukan oleh Bunga, Ani, dan Desi (nama samaran) dan disaksi-kan wali nikah yang disewa, dan orang yang pandai berbahasa Arab yang dibayar agar bersedia berperan sebagai amil nikah. Untuk mengeksplorasi konstruksi sosial kawin kontrak dalam dimensi agama, diakui bahwa nikah muth’ah ini tidak dikenal dalam Islam. Sekalipun awalnya memang dibolehkan, tetapi kemudian dilarang. Menikah dengan niat hanya dalam jangka waktu tertentu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. “Perkawinan seperti begitu jelas tidak sah sehingga sama saja dengan berzinah”. Untuk mencegah terjadinya pernikahan-pernikahan semacam itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/ MUI/XI/1997 yang memutuskan bahwa
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 nikah muth’ah haram hukumnya dan pelaku nikah muth’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konstruksi sosial kawin kontrak dalam dimensi biologis telah mengalami penurunan makna karena semata tertuju pada hal yang bersifat fisik. Praktik kawin kontrak menjadi upaya untuk dapat gen yang bagus, bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep, sekaligus untuk dapat melakukan perbaikan keturunan. Tanpa disadari langkah tersebut terbukti tidak memiliki sensitifitas terhadap korban, sekaligus menurunkan nilai atau norma sosial keagamaan. Konstruksi sosial kawin kontrak dalam dimensi gender telah menjadikan perempuan sebagai korban, karena tanpa bisa berbuat banyak menuntut hak, bahkan bagi kawin kontrak yang menghasilkan anak, dan ketika berakhirnya masa kawin kontrak membuat perempuan pelaku menjadi single parent, serta sangat rentan terjadi kekerasan terhadap mereka. Kawin kontrak telah menjadi objek bisnis, yang melibatkan berbagai pihak: jaringan dan praktik perdagangan trafficking (perdagangan manusia) dan perdagangan bayi. Konstruksi sosial dalam dimensi hukum tampak bahwa praktik kawin kontrak yang sebenarnya mengorbankan pihak yang lemah (anak dan perempuan), terutama ketika kawin kontrak dikonstruksi sebagai perbuatan yang sah-sah dan wajar. “Tidak menimbulkan kendala, baik sekali karena orang asing akan tetap kerasan di sini”. Konsekuensinya pihak lemah (anak dan perempuan) kurang memperoleh perlindungan hukum sebagaimana mestinya, bahkan ketika mereka menjadi korban dan masuk dalam jaringan trafficking (perdagangan manusia) dan perdagangan bayi sekalipun. Konstruksi sosial kawin kontrak dalam dimensi politik: dimana negara, melalui
aparat Kepolisian, melakukan razia terhadap villa atau penginapan, pelaku yang berperan sebagai amil nikah, pelaku yang terkait kawin kontrak, serta calo yang turut menyuburkan praktik kawin kontrak di Indonesia akan berakhir dengan bahasa diplomatis. Pihak Kedubes Arab Saudi bagaimanapun lazimnya harus menyanggah bahwa dua stafnya terkait kasus kawin kontrak, dan pihak Indonesia akan memperlunak situasi untuk menghindari ‘permasalahan’ yang dinilai dapat merusak hubungan baik kedua negara yang telah dibangun. Dampak negatif yang ditimbulkan fenomena kawin kontrak di Indonesia secara sosiologis bagi laki-laki/ayah pelaku kawin kontrak tentu tidak begitu dirasakan (bahkan tidak ada). Artinya tidak ada tanggungjawabnya dalam hal pemenuhan fungsi ayah dari anak yang terlahir akibat masa kontrak berakhir lalu pulang ke negeri asal, tidak ada fungsi suami sebagai pencari nafkah bagi istri, juga tidak adanya fungsi perlindungan keluarga bagi anak yang terlahir akibat kawin kontrak. Hubungan kawin kontrak bersifat kontraktualekonomi: komitmen berakhir, maka berakhir pula tanggungjawab. Salah satu dampak bagi perempuan/ istri pelaku kawin kontrak yaitu dampak fisik (fisiologis), seperti penghargaan lakilaki/suami semata lahiriah/fisik. Dampak psikologis yang terutama dirasakan oleh pelaku kawin kontrak menjadi janda dengan anak tetapi tanpa ada suami yang jelas, sehingga harus menanggung malu, meratapi nasib dan merelakan sang ayah pulang ke negeri asal ketika kontrak berakhir. Dampak sosiologis bagi perempuan/ istri pelaku kawin kontrak yang tidak memiliki anak -seperti Bunga- tidak begitu dirasakan. Berbeda dengan yang memiliki anak harus menjadi single parent, dimana harus mengurus/menghidupi bayi yang dilahirkan karena hilangnya fungsi suami sebagai kepala keluarga yang menjadi
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
3
Jurnal Sosiologi DILEMA sumber nafkah utama keluarga karena suami pulang ke negeri asal. Dampak fisik (fisiologis) atau kesehatan bagi anak yang terlahir akibat kawin kontrak menjadi kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya sebagai seorang anak. Dampak sosiologis bagi anak yang terlahir akibat kawin kontrak yaitu memiliki status yang tidak jelas dalam struktur keluarga. Dampak psikologis bagi anak yang terlahir akibat kawin kontrak akan dirasakan ketika menginjak dewasa karena tidak adanya surat nikah orangtua mengakibatkan tidak jelasnya status sosiologis dari yang bersangkutan dalam keluarga, atau sering diistilahkan dengan anak haram atau anak jadah. Dampak bagi masyarakat akibat praktik kawin kontrak, yaitu tercemarnya nama kampung yang menjadi praktik perilaku menyimpang kawin kontrak, karena terbukti (sekalipun tidak diketahuinya) dinilai pihak lain telah mentoleransi berbagai praktik kawin kontrak yang telah menurunkan makna lembaga keluarga, secara tidak langsung juga akan menurunkan makna lembaga sosial, serta masyarakat. Kemunculan dampak sosiologis cukup dramatis dengan terlahirnya anak akibat kawin kontrak, terutama yang anak, telah mengakibatkan munculnya anak-anak yang memiliki status tidak jelas, perempuan yang menjadi single parent yang dalam jangka panjang mengakibatkan menurunnya makna lembaga keluarga, akhirnya berakibat pada eksistensi lembaga perkawinan atau lembaga keluarga dipertanyakan efektifitasnya dalam mengendalikan para anggotanya dengan telah diabaikan normanormanya. Jika fenomena ini berkembang, maka negara dinilai oleh pihak yang kurang suka seolah-olah kurang memiliki perhatian untuk menekan perilaku menyimpang para warganya yang sebenarnya dapat dilakukan melalui aparat (kepolisian) agar norma yang
4
mengatur hubungan seksual secara tegas dan dengan aksi nyata melarang praktik perilaku menyimpang kawin kontrak, agar norma sosial dapat tetap ditaati dan tatanan masyarakat dapat dipertahankan dalam perubahan sosial. Langkah antisipasi pen-cegahan atas dampak kawin kontrak di Indonesia akan terkait dengan faktor penyebabnya, karena: lemahnya kontrol sosial terhadap perilaku sosial menyimpang terkait dengan praktik kawin kontrak pada tingkat lokal yang memungkinkan pelaku dapat melakukan kawin kontrak beberapa kali yang dapat diantisipasi dengan membenahi data kependudukan, khususnya menyangkut pemberian KTP dan keterangan mengenai status perkawinan dari para warganya, sekaligus berfungsi untuk menekan pelaku yang berstatus kawin untuk melakukan kawin kontrak. RT dan RW, Kelurahan, dan Kantor Catatan Sipil perlu mengambil langkah antisipatif dengan cara memberikan data kependudukan (menyangkut status perkawinan) yang akurat, secara pro-aktif memperbarui database kependudukan yang berlaku secara nasional. Data ini sekaligus berfungsi menjadi sumber informasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap perilaku sosial menyimpang sejak dini terkait dengan kawin kontrak pada tingkat lokal. Kantor Urusan Agama (KUA), juga dapat mengambil langkah antisipatif dengan cara memberikan kontrol sosial terhadap perilaku sosial menyimpang terkait dengan praktik pemalsuan status pernikahan dan penipuan dari mereka yang berperan sebagai amil nikah yang terjadi pada tingkat lokal. Terkait dengan faktor kesehatan, rumah sakit dapat meningkatkan peran sertanya dengan mengambil langkah antisipatif dengan cara memberikan dalam melakukan kontrol sosial terhadap perilaku sosial menyimpang terkait dengan dampak praktik kawin kontrak, khususnya men-
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 yangkut kehamilan dan pengguguran janin. sangat ketat untuk dapat menikah dengan Berkenaan dengan faktor ekonomi orang Indonesia dengan syarat harus (khususnya kemiskinan), pemerintah dapat dibekali surat persetujuan dari kedutaan mengambil langkah antisipatif dengan cara besar, serta mengontrol status pernikahan meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka untuk dapat menikah secara resmi agar mereka yang ekonominya kurang sesuai aturan negara Indonesia. beruntung (faktor kemiskinan) tidak mudah tergiur untuk melakukan kawin B. Pembahasan kontrak. Faktor degradasi moral ke- 1. Asumsi tentang manusia agamaan, berkenaan dengan rendahnya merupakan makluk bebas, kreatif, dinapemahaman keagamaan ini yang menjadi mis dan berhak menentukan dan merensumber dilakukannya kawin kontrak, canakan dunia dan aturan-aturan sosial tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat sendiri (Poloma, 1984: 8-9). Artinya, mengambil langkah antisipatif dengan cara sebenarnya manusia mempunyai kebebameningkatkan pemahaman keagamaan san hak untuk menentukan dunia dan melalui berbagai forum keagamaan atau aturan sosialnya sendiri (termasuk kegiatan sosial. Berkenaan dengan faktor kehidupan seksualnya). ekonomi yang lebih luas, praktik kawin 2. Pengaturan tentang seksualitas manusia kontrak ini melibatkan jaringan Secara sosiologis dikatakan bahwa peperdagangan anak/perempuan, maka larangan atau tidak diakuinya kawin fungsi lembaga keluarga sebagai pengenkontrak di Indonesia dan pemberian ijin dalian sosial (social control) terhadap kawin kontrak di Iran merupakan perseksualitas manusia dinilai tidak lagi cukup. wujudan bahwa seksualitas sebenarnya Pengendalian yang melibatkan berbagai merupakan produk masyarakat atau pihak ditemukan tidak lagi cukup bersifat sebagai bentukan sosial budaya, bukan preventif, ataupun persuasif, namun secara merupakan produk naluri insting maserentak, dari berbagai pihak, baik bersifat nusia. Hal ini terjadi melalui meka-nisme preventif atau represif, cara tanpa kekerasan pengaturan masyarakat. Nilai sosial (persuasif ) ataupun dengan paksaan mengenai seksualitas dapat dikendalikan (coersive) dalam berbagai bentuknya (rutin dan diarahkan perubahannya sesuai melakukan razia praktik kawin kontrak di untuk kepentingan masyarakat. villa) yang dilakukan untuk mengantisipasi Perubahan dalam nilai dan praktek melebarnya jaringan perdagangan yang ada. pengaturan seksualitas keluarga dapat diBerkenaan dengan faktor politik, negara lakukan. Isu mengenai jumlah keluarga melalui aparat Kepolisian, mengambil yang semakin kecil dengan penggunaan langkah antisipatif dengan cara meningkatalat-alat kontrasepsi dan pengguguran, kan kontrol secara rutin dengan melakukan persamaan pria dan wanita yang makin razia terhadap vila atau penginapan, pelaku meningkat, pengalaman seks di luar yang berperan sebagai amil nikah, pelaku nikah, hidup bersama tanpa ikatan nikah, terkait dengan kawin kontrak, dan calo yang lebih sering ditolak atau diterima dengan turut menyuburkan praktek kawin kontrak sikap dingin oleh gereja bukan didukung di Indonesia. Selain itu, Pemerintah dapat secara aktif oleh gereja (Horton & Hunt, mengambil langkah antisipatif dengan cara 1987: 311). meningkatkan kerjasama diplomatik, Fenomena kawin kontrak merupakan sekaligus memberi dukungan penuh bentukan sosial-budaya, suatu konsadanya persyaratan bagi orang asing yang truksi sosial -bukan insting-, sehingga Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
5
Jurnal Sosiologi DILEMA kawin kontrak dapat saja dimaknai suatu bentuk upaya melegalkan bentuk perzinahan, perselingkuhan, upaya melepaskan diri dari tekanan kemiskinan, upaya melegitimasi hasrat seks supaya tidak dikatakan zinah, yang seluruhnya amat tergantung pada masyarakatnya. 3. Kawin kontrak sebagai bentuk ketidaksahan (illegitimacy) dan penyimpangan Konsepsi tentang kawin kontrak. Pengertian nikah (hikmah, suplemen pikiran rakyat, march 11th, 2007) disebutkan bahwa secara etimologi, nikah berarti adl-dlammu wa al-jam’u (mengumpulkan), al-wath-u (bersetubuh), dan al-aqdu (akad). Adapun secara terminologi, nikah adalah dilaksanakannya sebuah akad yang dengannya diperbolehkan seorang lakilaki bersenang-senang dengan perempuan, baik untuk melakukan hubungan seksual, bersentuhan, bercumbu rayu, maupun yang lainnya. Dalam terminologi lain, nikah adalah akad yang disyariatkan untuk memberikan kepemilikan istimta’ (bersenangsenang) laki-laki atas wanita. Pernikahan dalam Islam harus mengacu kepada rambu-rambu yang telah digariskan Al-Qur‘an dan Hadits. Pernikahan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibakukan dalam syarat dan rukun nikah. Di samping itu, seorang lelaki juga harus menjauhi wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi, baik disebabkan karena nasab, sepersusuan, perbedaan agama, maupun sebab-sebab lain yang bersifat sementara, seperti adik ipar, atau wanita yang sedang iddah. Oleh karena itu, apabila pernikahan yang dilakukan tidak mengikuti aturanaturan yang berkaitan dengan syarat dan rukun, maka pernikahan tersebut di-kategorikan dalam pernikahan
6
fasidah yang harus dihindari setiap muslim. Ada beberapa jenis pernikahan fasidah, yaitu: pernikahan Syighar, pernikahan Mut’ah, pernikahan Muhallil, pernikahan Mu’ta-ddah, pernikahan wanita muslim dengan non-muslim, dan pernikahan muhrim. Pernikahan mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu, atau yang lazim disebut dengan “annikah al-muaqqat” (pernikahan sementara atau kawin kontrak). Hukum kawin mut’ah ini menurut semua madzhab adalah tidak sah atau batal. Karena tidak sah, maka tidak boleh dilaksanakan oleh umat Islam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut: Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai, manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian nikah mut’ah. Maka ingatlah, sesungguhnya Allah telah meng-haramkannya (sekarang) sampai hari kiamat” (HR. Ibnu Majah). Ali ra. meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. telah melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai peliharaan pada Perang Khaibar (HR. Ibnu Majah). Umar, tatkala menjadi khalifah berpidato di hadapan para sahabat yang isinya melarang nikah mut’ah, dan mereka semua menye-tujuinya. Sekiranya hal yang disampaikan Umar itu tidak benar, maka tentu mereka tidak akan diam dan menyetujuinya. Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, per-nikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu Empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan (adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak), kecakapan (dinyatakan sebagai subyek hukum), hal tertentu (objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas) dan sebab yang diperbolehkan (tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan) Dari sisi nilai keagamaan, jelas kawin kontrak dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial karena melanggar aturan, baik aturan agama maupun negara. Hukum di dalam arti luas juga merupakan alat pengendalian sosial yang biasanya dianggap paling ampuh, karena lazimnya disertai sanksi tegas yang berwujud penderitaan dan dianggap sebagai sarana formal (Soerjono, 1996: 226-228). Perilaku seksual manusia diatur oleh hukum tertulis atau perundang-undangan bersifat resmi dan tertulis, serta mengikat (formal social control). Negara tidak mengakui kawin kontrak, sehingga kawin kontrak di Indonesia dapat dimasukkan dalam kategori bentuk ketidaksahan. Tubib Umar menyatakan bahwa praktik kawin kontrak itu jelas diharamkan. Ditinjau dari segi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hu-kum Islam, kawin kontrak dilarang. Sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang tidak boleh nikah mu‘tah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas mengharamkan jenis perkawinan model ini. Kawin kontrak tidak sesuai aturan agama dan lebih sebagai upaya menghalalkan perzinahan. “Nikah mut‘ah itu sudah
diharamkam sampai hari kiamat,” jelas Ketua MUI Pusat Khuzaimah T. Yanggo mengutip hadits Nabi Muhammad SAW. Sementara menurut Nursyahbani Katjasungkana, kawin kontrak merupakan terobosan supaya terhindar dari hukum atau oleh Emka kawin kontrak merupakan model baru “penyimpangan seksual” . 4. Keluarga sebagai pengendalian sosial (Social Control) terhadap seksualitas manusia Emile Durkheim menyebut keluarga “conjugal family” yakni suatu keluarga inti dari pasangan suami istri dan keturunan-keturunan mereka yang dibedakan dengan “consanguine” yaitu suatu inti dari keluarga sedarah yang termasuk juga ke-luarga lingkaran pinggir dari pasangan suami istri tersebut. Selain itu, dibedakan keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) (Khairuddin, 2002: 19). Keluarga nuklir atau keluarga inti atau keluarga batih atau sering disebut sebagai keluarga conjugal (Bruce J. Cohen, 1983: 172-174). Keluarga inti adalah satuan sosial yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang tergantung pada mereka atau anak-anak mereka yang belum kawin. Para anggota keluarga inti berhubungan satu dengan yang lain karena adanya ikatan darah atau keturunan, karena perkawinan (ayah dan ibu) dan juga mungkin karena adopsi. Keluarga besar sering disebut sebagai extended family atau consanguine family (keluarga yang terbentuk atas dasar pertalian darah) dari sejumlah besar orang, yang meliputi: orangtua, anak, kakek-nenek, paman, bibi, kemenakan dan seterusnya (Cohen, 1983: 172-174). Paul B Horton dan Chester L Hunt (1987: 274-275), Ligh & Keller (1982:
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
7
Jurnal Sosiologi DILEMA 383), dan Goode (1985:9) menyebut setidaknya ada 7 (tujuh) fungsi dari keluarga, diantaranya adalah fungsi pengaturan seksual. Keluarga adalah institusi yang diakui oleh masyarakat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (seksual). Keluarga sebagai lembaga sosial yang memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya yang mencakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak ataupun memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku (Soerjono, 1996: 218-226). Pengendalian keluarga, baik bersifat preventive atau cara tanpa kekerasan (persuasive), ataupun dengan paksaan (coersive) memiliki peran untuk mengatur dan mengendalikan kepada siapa seseorang anggota keluarga diperbolehkan dan dilarang keras untuk menikah, bahkan menentukan bentuk perkawinan yang harus atau tidak boleh dipilihnya. 5. Fungsi Perkawinan sebagai pengatur perilaku seksual Perkawinan mempunyai fungsi-fungsi sebagai pengatur perilaku seksual manusia dalam pergaulan hidupnya (Soerjono, 1996 : 232-233). Pengaturan formal perkawinan adalah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah meletakkan asas-asas sebagai berikut: perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin, harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. Untuk melangsungkan perkawinan ditentukan batas umur serendah-rendahnya pria harus sudah
8
mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai umur 16 tahun. Dan izin orang tua masih diperlukan sampai yang akan kawin itu mencapai umur 21 tahun. Dalam hubungan dan keadaan tertentu (hubungan darah, semenda, susunan, agama/peraturan, telah bercerai kedua kali, belum habis waktu tunggu) orang dilarang melangsungkan perkawinan. Seorang anak dianggap anak sah apabila dilahirkan karena perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dianggap hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibu/keluarga ibunya (Khairuddin, 2002: 26-28). 6. Konstruksi sosial terhadap anak dan perempuan yang potensial sebagai penyebab Kawin kontrak Kawin kontrak muncul pada zaman hijrah Nabi Muhammmad SAW. dari Madinah ke Makkah dan waktu banyak meninggalkan keluarga. Waktu itu dibolehkan kawin kontrak atau kawin mu’tah, tetapi setelah itu turun wahyu yang melarang untuk melakukan kawin mut’ah. Nursyahbani Katjasungkana, mengkategorikan kawin kontrak sebagai perdagangan perempuan, terobosan-terobosan supaya terhindar dari hukum, dikemas dalam kawin kontrak, yang mengkomodifikasikan tubuh perempuan. Kawin kontrak “pedagang Arab” tertentu yang banyak terjadi di kawasan Cianjur Jawa Barat dan kawasan Pasar Senen Jakarta, atau kawin kontrak tenaga kerja Korea di Indonesia karena sekadar menghindari pelacuran yang dimungkinkan membawa dampak HIV/AIDS. Anggota DPRD Kabupaten Jepara Sudarsono, menilai kawin kontrak itu wajar-wajar saja. “Tidak menimbulkan kendala, baik sekali karena mereka akan tetap kerasan di sini”. Menurut pengusaha mebel
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 Jepara bernama Ishadi, kondisi itu sangat merugikan dan menghancurkan bisnis furnitur. “Kalau saya katakan itu bule kaki lima”. Salah satu desa di kawasan Pasuruan, Jawa Timur, perilaku kawin kontrak karena tekanan ekonomi dan kemiskinan dinilai merupakan salah satu alternatif untuk mendapat hasil. Dengan kawin kontrak selama 6 bulan misalnya, maka sesuai kesepakatan, pihak perempuan bisa minta dibelikan tanah atau barang-barang untuk kegiatan produktif seperti mesin jahit dan sebagainya. Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, MA. menyatakan usia kawin kontrak sangat bervariasi, namun sangat tergantung berapa nilai kontrak. Fenomena seperti itu bukan hanya terjadi di Pasuruan, tetapi juga di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain alasan ekonomi, kemungkinan besar juga ada alasan kultur. Bagaimana kebudayaan itu bisa diterima masyarakat setempat masih perlu dipertanyakan. “Kalau di kota besar itu biasanya karena orang kepepet ingin supaya tidak dikatakan berzina dan selingkuh, terutama selebritis,” katanya. Jadi kedua kasus itu berbeda, yang satu karena memang tekanan kemiskinan, sedangkan yang lain untuk melegitimasi hasrat seks mereka supaya tidak dikatakan zina. Kawin kontrak potensial terjadi pada masyarakat yang memiliki konstruksi sosial yang kurang memadai terhadap anak dan perempuan. Di antaranya bila seorang perempuan menikah, maka ia menjadi “milik” suaminya, dalam istilah ini women as property (Renee Hirschon, 1984) dan orangtua tidak mempunyai “kekuasaan” lagi atas anak perempuannya. Istri harus merahasiakan keadaan rumah tangganya termasuk tabiat suami kepada orang lain di luar keluarga. Kehidupan istri/
perempuan bukan lagi menjadi miliknya, tetapi lebih ditentukan oleh suaminya. Kaum Marxis menjelaskan, patriarchy/power association as a consequence of economic arrangements and takes for granted the sex differences in the nature/nurture association. Ortner reassesses women with the dualistic patterns of thought and practise that associate women with nature and men with culture. These associations provide the basis for the subordination of women ad must be overcome through ideological and structural change (Sydie, 1987 : 161164). Persoalannya tidak saja kawin kontrak masih terus dianggap tabu untuk diungkap dan dibicarakan, tetapi juga masih lemahnya penegakan hukum. Konstruksi sosial tentang patriarkhi, subordinasi, dan dominasi yang masih kurang memadai terhadap anak dan perempuan. 7. Dampak negatif kawin kontrak bagi anak dan perempuan Status perkawinan pelaku kawin kontrak tidak jelas, karena tidak dilengkapi surat nikah resmi dari Kantor Urusan Agama (KUA) karena kawin kontrak tidak diakui dalam UU No. 1 tahun 1974. Kalau pun ada surat nikah, itu pun merupakan Surat Nikah asli tapi palsu alias aspal yang diperoleh dengan cara membelinya dari calo. Umumnya kawin kontrak terjadi ketika pernikahan yang dilakukan antara lakilaki berkewarganegaraan asing dengan perempuan penduduk setempat atau pribumi. Dampak yang ditimbulkannya tidak hanya mengancam status pernikahan, namun bila sudah melahirkan anak akan mempengaruhi baik aspek
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
9
Jurnal Sosiologi DILEMA hukum maupun psikologis anak. Lalu timbul masalah siapa yang akan bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan menafkahinya. Kawin kontrak pasti dilakukan atas dasar pernikahan di bawah tangan atau tidak sah berdasarkan agama dan hukum negara. Bila dilakukan di bawah tangan, maka secara hukum formal pernikahan itu tidak diakui, inilah yang akan menyulitkan status anak. Berdasarkan Undang-Undang Pernikahan, status anak yang lahir dalam pernikahan di bawah tangan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan hubungan keperdataan dengan ayahnya terputus, karena pernikahan itu tidak diakui secara hukum negara. Otomatis hak waris akan terputus dari ayahnya, karena disamakan dengan kelahiran anak di luar pernikahan. Bila dilakukan secara sah menurut hukum negara pun akan berdampak pada status kewarganegaraan anak. Menurut hukum di Indonesia, anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah kecuali sang ibu mengajukan untuk mengikuti kewargenegaraanya. Begitu pun dengan hak waris yang dimiliki anak. Status kewarganegaraan anak, mengakibatkan anak berwarga negara asing dan harus memiliki izin tinggal yang diperpanjang setiap tahun. Dampak kawin kontrak sering lebih mengerikan lagi. Persoalannya, kawin kontrak masih terus dianggap tabu untuk diungkap dan dibicarakan. Jika tabu ini terus terpelihara, dan tidak segera diungkap ke publik, akibat yang nyata sama saja membiarkan penderitaan terus tercipta sehingga secara psikologis ‘membunuh’ karakter dan hidup korban.
10
C. Penutup 1. Kesimpulan dan saran Dalam eksplorasi ini, terbukti ‘keluarga’ telah menjadi objek bisnis, yang melibatkan berbagai pihak. Praktik kawin kontrak terbukti melibatkan jaringan perdagangan perempuan dan bayi, seperti telah diungkap dan didokumentasikan oleh liputan TV swasta di Indonesia, baik oleh Liputan 6 SCTV.com, acara Nuansa Pagi RCTI, dan Reportase Investigasi episode 2 Kawin Kontrak Trans TV. Kawin kontrak menjadi fenomena di berbagai daerah di Indonesia, sekalipun pemerintah melalui UU, berikut aparat yaitu Kepolisian Republik Indonesia dengan tegas telah melarang praktik kawin kontrak dan MUI memberi fatwa yang mengharamkan praktik tersebut. Praktik kawin kontrak tidak sekedar menjadi fenomena gunung es terselubung dan tersembunyi, namun juga telah muncul ke permukaan, sehingga perlu langkah antisipasi agar tidak mengalami kesulitan di masa depan. Saran yang diajukan tidak lepas dari faktor penyebab muncul dan bertahannya kawin kontrak, sekaligus pararel dengan langkah antisipasi pencegahan atas dampak yang ditimbulkan kawin kontrak di Indonesia. Diantaranya dapat diberikan saran sebagai berikut: a) RT, RW, Kelurahan, dan Kantor Catatan Sipil perlu mengambil langkah antisipatif dengan cara memberikan data kependudukan (menyangkut status perkawinan) yang akurat, dan secara pro-aktif memperbarui database kependudukan yang tunggal dan bersifat nasional. Kemunculan electronic KTP (e-KTP) diharapkan berfungsi menjadi sumber informasi bagi
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 penangkalan praktik kawin kontrak. b) Kantor Urusan Agama (KUA) perlu meningkatkan peran sertanya dalam melakukan kontrol sosial terhadap praktik kawin kontrak (praktik pemalsuan status pernikahan dan penipuan dari mereka yang berperan sebagai amil nikah). Rumah Sakit perlu meningkatkan peran sertanya dalam penanganan dampak korban kawin kontrak (kehamilan dan pengguguran janin). c) Tokoh agama dan tokoh masyarakat, bahkan pemerintah perlunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar mereka yang ekonominya kurang beruntung (faktor kemiskinan) tidak mudah tergiur untuk melakukan kawin kontrak, meningkatkan pemahaman keagamaan agar tidak mengalami degradasi moral keagamaan karena faktor rendahnya pemahaman keagamaan ini yang menjadi sumber dilakukannya kawin kontrak. d) Negara, melalui aparat kepolisian, perlunya meningkatkan kontrol secara rutin dengan melakukan
razia terhadap villa atau penginapan, pelaku yang berperan sebagai amil nikah, pelaku terkait kawin kontrak, serta calo yang turut menyuburkan praktek kawin kontrak di Indonesia. Pengendalian yang melibatkan berbagai pihak ditemukan tidak lagi cukup bersifat preventif, ataupun persuasif, namun juga diperlukan cara atau dengan paksaan (coersive) dalam berbagai bentuk, mengingat praktik kawin kontrak ini telah melibatkan jaringan perdagangan anak/perempuan, maka keluarga sebagai pengendalian sosial terhadap seksualitas manusia dinilai tidak lagi cukup. e) Pemerintah perlu meningkatkan kerjasama diplomatik, sekaligus memberi dukungan penuh adanya persyaratan bagi orang asing yang sangat ketat untuk bisa menikah dengan orang Indonesia, yang harus dibekali surat persetujuan dari kedutaan, serta mengontrol status pernikahan mereka untuk bisa menikah secara resmi sesuai aturan negara Indonesia.
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
11
Jurnal Sosiologi DILEMA
Daftar Pustaka Bina Agarwal, Structures of Patriarchy: The State, The Community and The Household, New Jersey: Zed Books,Ltd., 1989 Bruce J. Cohen, Sosiologi (Suatu Pengantar) (terj.), Jakarta: Bina Aksara, 1983 Clare Burton, Subordination: Feminism and Social Theory, Australia: Geprge Allen and Unwin Australia Pty., Ltd., 1985 Khairudin, Sosiologi Keluarga, Yogyakarta: Liberty, 2002 Letha Dawson Scanzoni dan John Scanzoni, Men, Women and Change: A Sociology of Marriage and Family, United States of America: Mc Graw Hill, 1976 Ligh JR Donald dan Suzanne Keller, Sociology. New York: Alfred A Knopf Inc., 1982 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid 1 dan 2 (terj.), Jakarta: Penerbit Erlangga, 1989 Paul D. Johnson, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1987 Renee Hirschon, Women and Property–Women as Property, New York: St Martin’s Press, 1984 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1988 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1982 Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta, 1992 Sydie RA, Natural Women, Cultural Men, a Feminist Perspective on Sociological Theory, Milton Keynes: Open University Press, 1987 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bina Aksara, 1985 Sumber Lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang Perlindungan Anak Henslin, James M, Sociology: A Down-to-Earth Approach - The Sociology of Human Sexuality, http:www.abblongman.com Kompas Cyber Media (KCM) http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0204/29/hikmah/utama2.htm http://www.mail-rchive.com/
[email protected]/msg03428.html http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=203934 http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=44152
12
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 Liputan6.com, Bogor http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=400 h t t p : / / 2 0 2 . 1 5 5 . 1 5 . 2 0 8 / s u p l e m e n / cetak_detail.asp?mid=5&id=260341&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=269 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/10/swara/2035450.htm Liputan6.com, Bogor: 19/02/2006 15:57 http://andreasharsono.blogspot.com/2006/08/kontroversi-kawin-kontrak.html http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Fokus.htm http://www.rahima.or.id/SR/14-05/Fokus.htm
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
13
Jurnal Sosiologi DILEMA
14
Bagus Haryono “Kawin Kontrak di Indonesia Fungsional bagi siapa?”
BOM BUNUH DIRI ADALAH TERORISME DAN BUKAN JIHAD
Muh. Rosyid Ridlo Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract The violence which grounded in the terminology of jihad is a form of narrowing the meaning of jihad. Acts of violence such as bombings in the name of jihad, has distorted the meaning of jihad and gave birth to actions that do not fit the Islamic law, such as the killing of women and children. This phenomenon is evidence of wrongdoing Muslims in understanding the concept of their religion, and the concept of “jihad” is one of the Islamic concept that is often be understood in the wrongway, not only by Muslims who equate jihad with terror, but also by Western society who identify jihad by Holly War (Holy War). Due to this misunderstanding, when they hear the term of jihad, necessarily assumed to violence and bloodshed. The violence in the name of jihad increasingly thicken the Western misconceptions about Islam. As a result of these terrorist acts, the West reconcile Islam with terrorism. It is, indeed very unfortunate. West should differentiate between Islam as a doctrine and deeds of his people. May be people who claim and act on behalf of Islam, although they misunderstood the teachings of his religion. In addition, the West did over-generalizations (over-generalization). Because a handful of Muslims to acts of terrorism in the name of jihad, then all Muslims are called terrorists. Whereas the majority of Muslims are peace-loving Muslims and Islam teaches Muslims to bring peace anywhere. Keywords: Jihad, Wrong-way understanding, Terrorism A. Pendahuluan Sejak tahun 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Fenomena yang sering ditengerai sebagai kebangkiatan Islam (Islamic revivalism) ini muncul dalam bentuk peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana muslim, munculnya lembaga ekonomi Islam (bank syariah), islamisasi hukum keluarga, dan fenomena mutakhir yang mengisyaratkan kuatnya kecenderungan ini adalah tuntutan formalisasi syariat Islam. Selain fenomena diatas, setelah reformasi kebangkiatan Islam di Indonesia juga ditandai dengan munculnya aktor
gerakan Islam baru, yang berbeda dengan aktor gerakan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru tersebut sering disebut “gerakan Islam baru”, termasuk didalamnya: kelompokkelompok tarbiyah/PKS, HTI, MMI, FPI, dan Laskar Jihad. Disamping itu ada gerakan-gerakan bawah tanah yang juga mempunyai tujuan untuk mendirikan khilafah Islamiyah, seperti NII dan Jamaah Islamiyah. Seiring dengan munculnya berbagai gerakan keagamaan yang muncul di
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
15
Jurnal Sosiologi DILEMA Indonesia, perkembang pula pemahaman terhadap berbagai persoalan agama yang ada. Di antara persolan pemahaman keagamaan yang berkembang sampai pada saat ini adalah persoalan jihad. Jihad adalah amanah agama yang berkesinambungan bagi kaum muslimin sampai akhir zaman. Rasululloh SAW. menjelaskan dalam haditsnya bahwa jihad merupakan puncak perjuangan umat Islam1. Allah SWT. pun memberkati dan mengangkat derajat kaum Muslimin yang berjihad membela agamanya dengan kebanggaan, kebahagiaan, kenikmatan dunia dan akhirat. Jihad merupakan amalan yang mulia kalau dilakukan dengan benar, namun sayangnya semangat jihad di jalan Allah untuk melawan kedzaliman dan penghinaan kaum kuffar pada umat Islam, dalam beberapa kasus belakangan ini banyak yang dilaksanakan tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Ini semua disebabkan karena kurangnya pemahaman-pemahaman dan pengetahuan tentang fiqhul jihad. Akibatnya, sebagian atau sejumlah gerakan Islam melancarkan peperangan atas nama jihad dengan melanggar prinsip-prinsip Islam tentang perang (jihad). Seperti yang dilakukan oleh kelompok jihad dengan bom bunuh diri. Perbuatan tersebut melanggar beberapa aturan dalam perang menurut prinsipprinsip jihad/perang dalam Islam. Pelanggaran-pelanggaran tersebut yaitu: pertama, membunuh warga sipil Muslim maupun non Muslim yang tidak terlibat perang. Kedua, membunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua. Oleh karena itu, sebelum berjihad harus mengkaji dulu ilmu tentang jihad agar jihad yang dilakukan tidak menyimpang dan justru merusak nama baik Islam. Di sinilah pentingnya umat Islam berupaya meluruskan dan merumuskan pemahaman tentang jihad yang sesuai dengan Al-Quran dan
16
Sunnah sebagai dasar untuk melangkah dalam perjuangan selanjutnya. Imam Samudra menulis sebuah buku yang berjudul “Aku Melawan Teroris” untuk mengungkapkan sebuah konsep jihad yang dilakukannya. Ia menganggap apa yang dilakukannya (melakukan peledakan bom di Bali) adalah sebagai bentuk jihad. Ia menyampaikan beberapa dalil dan fatwa yang diambil dari orang-orang yang dianggapnya sebagai ulama. Ia juga menganggap bahwa membunuh/menjadikan korban dari jihadnya orang-orang sipil adalah sah/boleh sebagai bentuk balasan terhadap kekejaman yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam terhadap warga sipil Islam. Dan itu dianggapnya sebagai bentuk pembalasan dan keadilan. Dalam buku tersebut Imam Samudra mengatakan bahwa, berdasarkan niat dan rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah, karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat Islam di Afganistan pada bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir seluruh umat manusia diseluruh penjuru bumi. Bangsabangsa penjajah membantai kaum lemah dan bayi-bayi tak berdosa, itulah yang disebut kaum musrikin (kaum kafir) yang berhak diperangi. Sungguh semua kejahatan dan kedhaliman para penjajah itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Umat Islam harus bangkit melawan mereka dengan segala daya dan upaya. Perlawanan yang disyariatkan oleh Islam adalah dengan cara jihad. Maka bom Bali adalah salah satu bentuk jawaban yang dilakukan oleh segelintir kaum Muslimin yang sadar dan mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri kaum Muslimin. Bom Bali adalah satu diantara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya.
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 Bom Bali adalah salah satu jihad yang harus dilakukan, sekalipun oleh segelintir kaum Muslimin. Tulisan ini berusaha mengungkap dan menjelaskan makna jihad di dalam Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, dengan tujuan menghindarkan pemahaman yang salah tentang jihad sebagaimana dipahami oleh sebagian kecil kalangan umat Islam. Yaitu melakukan bom bunuh diri dan terorisme dianggap sebagai salah satu bentuk jihad di jalan Allah. B. Pembahasan Aksi kekerasan yang berpijak pada terminologi jihad merupakan bentuk penyempitan makna jihad. Aksi kekerasan seperti pemboman yang mengatasnamakan jihad telah mendistorsi makna jihad dan melahirkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai syariat, misalnya terbunuhnya wanita dan anak-anak. Fenomena ini merupakan bukti kesalahan umat Islam dalam memahami konsep ajaran agama mereka, dan konsep “jihad” merupakan salah satu konsep Islam yang sering disalahpahami, tidak hanya oleh umat Islam yang menyamakan jihad dengan aksi teror, tapi juga oleh masyarakat Barat yang mengidentikkan jihad dengan Holly War (Perang Suci). Akibat kesalahpahaman ini, ketika mendengar istilah jihad, serta merta berasumsi pada kekerasan dan pertumpahan darah. Aksi kekerasan atas nama jihad semakin mengentalkan kesalahpahaman Barat terhadap Islam. Akibat aksi teror ini, Barat menyandingkan Islam dengan aksi terorisme. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Seharusnya Barat membedakan antara Islam sebagai doktrin dan perbuatan umatnya. Bisa saja orang mengaku Islam dan melakukan perbuatan mengatasnamakan Islam padahal mereka salah dalam memahami ajaran agamanya. Di samping itu, Barat melakukan generalisasi yang berlebihan (over generalization). Karena segelintir umat Islam melakukan
aksi terorisme atas nama jihad, lantas seluruh umat Islam disebut sebagai teroris. Padahal mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan Islam mengajarkan umatnya untuk mewujudkan perdamaian di mana saja. Berbeda dengan mayoritas umat Islam yang mencintai perdamain, terdapat kelompok Islam yang disebut sebagai kelompok “muslim radikal”. Kelompok ini lebih banyak memaknai jihad dengan perang dan segala bentuk kekerasan. Padahal, jihad memiliki makna yang luas, mencakup seluruh aktivitas yang membawa kemaslahatan umat manusia. Karena itu, memahami hakikat makna jihad menjadi sangat penting, di samping meningkatkan solidaritas sesama umat Islam, kerjasama internal perlu digalakkan, terutama kerjasama dalam bidang ekonomi, guna memajukan peradaban Islam. 1. Jihad Kata jihad berasal dari akar kata “jahadn, yajhadu, jahdu” yang berarti sesulitan atau beban.. “Al-jahdu” juga bermakna kesungguhan dan upaya terakhir. Makna kata “al-jahdu” dan “al-jihad” menurut pengertian bahasa Arab adalah pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan yang diinginkan atau menolak yang dibenci. Dari segi bahasa secara garis besar, jihad dapat pula diartikan sebagai: penyeruan (dakwah), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar), penyerangan (ghazwah), pembunuhan (qital), peperangan (harb), penaklukan (siyar), menahan hawa nafsu (jihad an-nafs), dan lain yang semakna dengannya atau mendekati. Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa pengertian jihad menurut bahasa tidak hanya mempunyai makna yang sempit, tapi bermakna luas. Tidak hanya dimaknai dengan perang saja, sebagaimana
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
17
Jurnal Sosiologi DILEMA dipahami oleh orang-orang di luar Islam bahwa jihad itu memerangi orang di luar Islam dengan membabi buta tanpa adanya suatu syarat. Di dalam syariat kata jihad dipergunakan untuk makna bersungguh-sungguh dalam memerangi orang-orang yang disyariatkan untuk diperangi, baik itu orang kafir maupun selain mereka. Dilihat dari istilah syara’ para fuqaha dari empat mazhab telah bersepakat bahwa makna jihad adalah perang dan membantu semua persiapan perang. Menurut Abdul Baqi Ramdhun, jihad menurut istilahnya apabila kata jihad fi sabilillah disebutkan secara mutlak, maka bermakna memerangi orangorang kafir untuk meninggikan kalimat Allah, mengadakan persiapan untuknya dan bekerja pada jalannya. Adapun makna-makna lain seperti jihad melawan hawa nafsu, amar ma’ruf nahi munkar, menolak bahaya dan mengambil manfaat, serta yang lainnya, maka ia adalah macam-macam jihad yang mengikuti makna asasinya. Al Qurtuby memberikan penjelasan pengertian jihad ialah semua perbuatan yang menunjukkan kepada usaha mengerjakan suatu yang diperintahkan Allah SWT. dan meninggalkan segala sesuatu dari yang dilarang-Nya dengan mengendalikan diri untuk mentaati Allah serta menolak ajakan hawa nafsu. Dan berperang melawan syaitan dengan menolak atas segala godaan-godaannya sekaligus ajakan-ajakannya untuk berbuat dholim dan kufur. 2. Terorisme berasal dari akar kata teror, yang dalam bahasa latin berarti ketakutan, kengerian, dan kegelisahan. Teror digunakan oleh penguasa yang tidak mempunyai legitimasi untuk membuat suasana ketakutan, mencari dukungan, menarik perhatian dunia Internasional atau
18
sebagai kegiatan anarkis yang bertujuan merusak. Sedangkan kata terror dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang dan golongan. Dengan demikian arti terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan. Definisi lain dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di Amerika yang menyimpulkan bahwa setiap tindakan terorisme adalah tindakan kriminal. Dalam simpulannya mereka menilai: terorisme bukan merupakan bagian dari tindakan perang, sehingga disebut sebagai tindakan kriminal, juga dalam situasi diberlakukannya perang. Sasaran utama terorisme adalah warga sipil, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan militer. Aksi teroris dapat mengklaim tuntutan bersifat politis. Dr. Mufid Syihab dalam artikelnya Perlawanan Terhadap Terorisme memberikan definisi terorisme adalah praktek kekerasan atau intimidasi dengan kekerasan dengan muatan politis untuk mem-pengaruhi wibawa negara, atau memerintahkan negara menangani problem-problem yang ada di dalamnya, atau mempengaruhi para pemimpin negara dengan cara melemparkan berbagai macam isu, atau menggoyang perekonomian negara yang menyebab-kan krisis dan ketidakstabilan dalam negeri, dan tujuan puncaknya adalah mengganti status quo yang didukung UndangUndang, dan diterima masyarakat. Itulah diantara pengertian teroris, namun perlu dipahami bahwa subyektivitas pihak yang menyoroti aksi
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 terorisme, dengan berbagai misi dan pemikiran mereka cenderung membuat definisi bisa menjadi subyektif dan menuduh terhadap pihak-pihak tertentu sebagai pencipta terorisme. Kalau di dalam agama Islam ada kata al-fuhsyi yang artinya perbuatan keji. Setiap perkara yang telah melampaui batas, tergolong perbuatan keji. Perbuatan keji itu tidak hanya terbatas pada perbuatan zina, mencuri, homoseks, dan minuman keras. Dari kata ini bisa diidentifikasi terorisme dalam pandangan Islam, dan bisa digunakan untuk menganalisis apakah peristiwa peledakan bom bunuh diri itu masuk dalam kategori jihad atau perbuatan keji. Sesungguhnya apa yang telah banyak terjadi pada dewasa ini dari berbagai bentuk peledakan dan operasi bom bunuh diri, telah mengakibatkan di balik semua itu terbunuhnya jiwa-jiwa Muslim dan jiwa-jiwa yang tak bersalah, perusakan-perusakan fasilitas umum, teror terhadap orang-orang yang dalam keadaan aman, hilangnya stabilitas keamanan, intervensi terhadap fungsi (kedudukan) pemerintah, serta intervensi fungsi (kedudukan) para ulama dengan mendahului ulama tersebut dalam berfatwa, itu semua termasuk dalam kriteria perbuatan keji (al-fuhsyi). Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa, membunuh orang Muslim tanpa alasan yang benar, membunuh orang yang tidak bersalah walaupun dia bukan orang Islam, merusak fasilitas umum, membuat masyarakat ketakutan, mengganggu keamanan Negara, melanggar hak ulama, adalah termasuk dalam kriteria terorisme. Karena semua perbuatan tersebut menurut ajaran Islam adalah termasuk perbuatan keji.
3. Analisis terhadap beberapa bentuk aksi syahid Berjihad, lalu membunuh atau terbunuh adalah sebuah kewajaran. Bahkan mati syahid adalah surga yang diidam-idamkan oleh kaum yang beriman. Tetapi untuk sebuah pekerjaan yang beresiko kematian, dalam ajaran Islam bukanlah persoalan yang ringan dan sembarangan. Menghilangkan nyawa diri sendiri maupun orang lain adalah urusan yang besar dan berat. Allah melarang seorang Muslim membunuh dirinya sendiri. Diterangkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Terjemahan QS. An-Nisa’: 2930). Rasulullah juga memberikan peringa-tan dalam haditsnya : “Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian juga Islam melarang menumpahkan darah dan menghilangkan jiwa orang lain dengan sembarangan. Allah berfirman : “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang munkar” (Terjemahan QS. Al-Kahfi: 74). Rasulullah SAW. bersabda: “Tinggalkanlah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, wahai Rosulullah apa ketujuh hal tersebut? Beliau menjawab: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
19
Jurnal Sosiologi DILEMA yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada waktu berkecamuknya peperangan, dan menuduh wanita yang baikbaik, beriman dan meninggalkan perbuatan keji melakukan zina” (HR. Bukhari dan Muslim). Untuk itu di sini akan kami berikan beberapa kasus aksi syahid dan analisisnya menurut dalil-dalil hukum Al-Quran dan sunah serta pendapat ulama: a. aksi syahid yang dilakukan dengan cara menjemput kematian di medan perang, dengan berduel secara langsung, yakni berhadaphadapan langsung dengan musuh, kemudian terbunuh, baik ditangan musuh atau terkena senjata teman sendiri, ataupun tanpa sengaja terkena senjata sendiri. Aksi seperti ini disepakati pleh ulama fiqih sebagai bentuk syahid yang dibenarkan. Imam Al-Qurtubi menceritakan bahwa, Muhammad Al-Hasan berkata: “Kalaupun ada seorang Mujahid yang berperang menghadapi seribu musuh dari kalangan kaum musyrik, sementara ia seorang diri, itu tidak masalah jika memang dia berambisi untuk meraih kemenangan atau menjadi tekanan bagi pihak musuh. Jika aksi itu ada manfaatnya bagi kaum Muslim, lalu dirinya binasa demi kemuliaan agama Allah, serta menjatuhkan mental kaum kafir, maka hal itu merupakan kedudukan yang mulia”. b. Aksi syahid yang dilakukan dengan meledakkan diri sendiri, baik dengan menggunakan rompi bom ataupun bom mobil yang ditujukan untuk menyerang musuh (kaum kafir) yang tengah menduduki negeri kaum Muslim. Ini
20
c.
dengan catatan, aksi tersebut harus dilakukan untuk memerangi musuh. Sebab kalau perang tersebut berhenti, musuh akan berhasil menguasai negeri kaum Muslimin dan kejahatan mereka sebagai pemenang perang akan semakin merajalela. Seperti yang terjadi di Palestina dan Irak. Aksi syahid semacam ini dianggap benar oleh sebagian kaum pergerakan Islam, kalau sasarannya tetap bukan kaum Muslim atau bukan tempat berkumpulnya kebanyakan Mus-lim, seperti pasar dan masjid. Mereka berdalih dengan Hadits Nabi : “Meninggalnya satu nyawa seorang Muslim masih lebih ringan bagi Allah ketimbang binasanya seluruh isi dunia”. Hujah itu tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, karena hadits tersebut hanya memberikan wacana atau gambaran bukan mengajarkan kiat praktisnya. Untuk membuktikan bahwa bom semacam itu dianggap termasuk aksi syahid, setidaknya harus ada dalil yang tegas dari AlQuran atau hadits, atau setidaktidaknya aksi yang serupa betul yang pernah dilakukan oleh para sahabat, dan diketahui oleh Nabi, tanpa dilarang. Aksi meledakkan diri sendiri, melukai diri sendiri hingga mati, atau menembak diri sendiri, yang semuanya dilakukan ketika berada dalam tawanan musuh, atau pasukan yang diklaim sebagai musuhnya. Tujuannya agar bisa melepaskan diri dari siksaan musuh, atau agar tidak tertawan musuh, atau melepaskan diri dari pedihnya penderitaan akibat luka peperangan. Aksi seperti ini disepakati oleh para fuqaha sebagai bentuk
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 bunuh diri (intihar), bukan istisyhad, dan hukumnya pun haram. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa aksi-aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai jihad. Para ulama ahlus sunah wal jama’ah sama sekali tidak mendukung dan membenarkan aksi-aksi tersebut, meskipun oleh pelakunya diklaim sebagai jihad. Maka, berbagai aksi peledakan bom yang terjadi bukan termasuk jihad. Namun, itu merupakan aksi teror yang menyebabkan tertumpahnya darah, melayangnya jiwa yang tak bersalah dan tidak dibenarkan untuk dibunuh, merampas harta orang lain, melanggar kehormatan yang dilindungi, serta memecah belah persatuan kaum Muslimin. Jadi sangat jelas bahwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia ini tidak bisa disebut sebagai jihad, dengan beberapa alasan sebagai berikut: a . Jihad fi sabilillah itu memerangi orang-orang kafir dan musyrikin dalam rangka melenyapkan kesyirikan dan menegakkan serta menyebarkan tauhid. Pengaturan jihad itu merupakan wewenang khusus waliyul amr (pemerintah/ penguasa). Sehingga jihad itu bukanlah gerakan sporadis yang tidak teratur, yang masing-masing bergerak semaunya sendiri. b. Jihad itu tidak dilakukan dengan cara membunuh Muslimin dan orang-orang kafir dzimmi, must’man, ataupun mu’ahad. Jihad itu dilakukan dengan cara memerangi dan membunuh orang-orang kafir harbi. Adapun memerang orangorang kafir dzimmi, mu’ahad, dan must’man, maka itu merupakan kedzaliman bukan jihad. Kalaupun mau dikatakan jihad, maka itu jihad di jalan setan.
c.
Pendapat yang menyatakan bahwa memerangi dan membunuh orang-orang kafir dzimmi, mu’ahad dan musta’man dengan alasan karena orang-orang kafir harbi sekarang ini memerangi Muslimin, merupakan argumentasi orangorang yang jahil (bodoh)/keliru. Allah berfirman : “Dan seorang yang berdosa itu tidak akan memikul dosa orang lain” (Terjemahan QS. Al-An’am : 164). d. Intihar (bunuh diri) bukanlah istisyhad (mencari syahid). Sehingga bom bunuh diri bukanlah bom syahid. Karena pelaku bom bunuh diri itu sengaja membunuh dirinya. Barang siapa yang sengaja mem-bunuh dirinya, maka dia diancam dengan neraka. 4. Beberapa fatwa tentang bom bunuh diri Para ulama sepakat bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan rahmat dan perdamaian bagi seluruh umat manusia, namun kezaliman harus dihadapi dengan tegas karena itu harus dibeda-kan antara terorisme dengan per-juangan melawan penjajahan dan kezaliman. Beberapa ulama mem-berikan fatwa dengan tegas terhadap pelaku terorisme, antara lain disampaikan oleh: a. Syaikhul Azhar Mesir, Doktor Muhammad Sayyid Thanthawi mengutuk dengan keras penyerangan kelompok teroris terhadap para turis asing di dekat Masjid alHusein, Kairo Februari lalu. Para pelaku sekalipun mengaku muslim, menurutnya adalah orang yang tidak mencintai agama dan tanah airnya. Perbuatan itu adalah tindakan kriminal yang tidak dibenarkan Islam.
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
21
Jurnal Sosiologi DILEMA b. Para ulama di Amerika dengan berdasarkan konferensi yang dikelola Organisasi Konferensi Islam di Amman, Yordania pada 24-28 Juni 2006 memutuskan: Pertama, mengharamkan segala bentuk tindak terorisme dan alpikasinya, dan memandangnya sebagai perbuatan yang termasuk kriminalitas hirabah (memusihi Allah dan RasulNya dan berbuat bencana di bumi). Kedua, Membedakan antara kejahatan terorisme dengan perjuangan yang legal melawan penjajahan dengan cara-cara yang diterima secara syariat, karena untuk memberantas kezaliman dan mengembalikan hak-hak yang terampas adalah hak yang diakui secara hukum, rasio dan diakui oleh piagam-piagam internasional. Ketiga, wajib menanggulangi sebab-sebab munculnya terorisme yang terutama sikap ekstremisme, eksklusifisme, fanatisme, dan kebodohan akan hukum-hukum syariat Islam, menginjak-injak hakhak asasi manusia, mengekang hakhak politik dan berpendapat, kepapaan dan ketimpangan ekonomi. Keempat, mempertegas keputusan di atas bahwa jihad untuk membela akidah Islam dan mempertahankan tanah air dan memerdekakannya dari pendudukan asing bukanlah terorisme sama sekali. c. Doktor Ibrahim al-Fayyumi, Ketua Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, setelah menjelaskan alasan tindakan para mujahid berkata, “orang yang meledakkan dirinya dengan sabuk bom adalah syahid fi sabilillah selama dia memperjuangkan hak yang dibenarkan.” Wallahu a’lam bil-shawab.
22
d. Doktor Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fatawa Mu’ashirah, juga tidak membenarkan tindakan terorisme dengan berbagai bentuknya bila ditujukan kepada mereka yang tidak memusuhi Islam dan umat Islam. Ia tidak sependapat dengan menyamakan penyerangan ke pihak musuh sebagai tindakan bunuh diri, melainkan sebagai tindakan mencapai kesyahidan (‘amaliyatist isyha-diyah). Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyatakan mendukung aksi bom syahid atau amaliyatul istisyhad sebagai bagian dari jihad yang dilakukan di daerah perang (darul harbi) dan bukan daerah damai (darussalam) atau negara dakwah (daruddakwah), seperti yang terjadi di Palestina dan Irak, kami dukung karena merupakan bentu perlawanan di daerah yang dilanda perang. Tetapi bukan di Indonesia. Indonesia adalah negara dakwah. Menurut Ma’ruf Amin Indonesia sebagai negara muslim terbesar yang memiliki pemerintah yang sah dan diakui oleh rakyatnya yang mayoritas muslim adalah negara dalam keadaan damai dan negara Indonesia tidak sedang dijajah atau diserang oleh negara lain, jadi tidak bisa perang di sini. MUI menegaskan bom bunuh diri yang dilakukan di negara damai seperti Indonesia hukumnya haram, keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri dan orang lain, jadi dosanya dobel.
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 C. Penutup Jihad adalah tugas suci dan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Namun perlu diketahui tugas dan kewajiban itu akan berjalan dengan baik manakala dilakukan dengan menurut aturan yang telah ditetapkan. Jihad tidak boleh dilakukan dengan membabi buta, yang dengannya akan menimbulkan kerusakan dan kehancuran, baik bagi umat Islam itu sendiri maupun bagi orang lain. Di samping itu, jihad yang dilakukan dengan tidak menggunakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran agama justru akan merusak dan menjatuhkan nama baik agama Islam, sebagai contoh adalah bom bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa aktivis. Akibatnya agama Islam dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan seluruh umat Islam di cap sebagai teroris.
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
23
Jurnal Sosiologi DILEMA
Daftar Pustaka Abdul Baqi Ramdhun. 2000. Al-Jihad Sabiluna (Jihad Jalan Perjuangan Kami). Solo: AlAlaq Abdullah Azzam. 1987. Fil Jihad, Adabun wa Ahkamun, Al-jihad. Almascalaty, Hilmy Bakar. 2001. Panduan Jihad Untuk Aktivis Gerakan Islam. Jakarta: Gema Insani Fadl. 2009. Menggugat Al-Qaidah. Jakarta: Sabili Publishing Imam Samudra. 2004. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera Luqman bin Muhammad Ba’abduh. 2005. Mereka adalah Teroris. Malang: Pustaka Qaulan Sadida Luqman bin Muhammad Ba’abduh. 2007. Neo-Khawarij Sebagai Sejelek-jelek Mayat di Kolong Langit. Malang: Pustaka Qaulan Sadida Muhammad Nashiruddin Al-Albani, ‘Abdul Muhsin bin Hamd. 2005. Takfir Otak Teroris, Menguak Ideologi Teroris. Depok: Pustaka Salafiyah Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Penerbit Erlangga Widodo, L. Amin. 1994. Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sumber Lain http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=67664 http://www.cmm.or.id/cmm-ind-more.php?id
24
Muh. Rosyid Ridlo “Bom Bunuh Diri adalah Terorisme dan Bukan Jihad”
EKSISTENSI MODAL SOSIAL DALAM MERESPONS DAMPAK BENCANA GEMPA BUMI DI DIY
Rahesli Humsona Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract The purpose of this study was to determine the social capital of communities in responding to the impact of the earthquake in DIY and the role of community leaders in reproducing the derivation in growing value of social capital. This study uses the theory of social capital of Putnam, as the connectedness between individuals through social nets and norms of mutual giving and mutual trust between them. The research method used is descriptive qualitative. Results showed that, the social capital embodied in the form of routine social activities (arisan and recitation) and incidental activities (celebrations, there are people sick or die). Community leaders have a major role in growing the derivation of empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust and public spirit in fostering social capital, in which the value that stands out is empathy and social solidarity. Communities with survival turned out to power plays an important role in the recovery process. The values of trust, empathy and social solidarity and unyielding spirit is also an outstanding value and the greatest potential in the reconstruction process. Keywords: social capital, community, response, the impact of the earthquake
A. Pendahuluan Secara geografis, Indonesia termasuk salah satu wilayah yang rawan akan terjadinya bencana alam. Akan tetapi, meski bencana alam kerap datang berulang, kita tetap saja lengah dan sering “kebobolan” (Nugraha, 2006). Hal ini terjadi karena menurut Abdullah (2006), kajian studi tentang bencana secara integratif dan menyeluruh masih minim. Bencana selalu dianggap sebagai pengalaman baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga tidak bisa melahirkan strategi antisipatif dan pemulihan dampak bencana. Fakta bahwa bencana dekat dengan pengalaman manusia menuntut adanya studi yang
seksama untuk mempelajari sifat-sifat, penyebab, akibat, cara tanggap dan dampaknya secara menyeluruh. Kejadian dengan dampak yang luar biasa semacam ini sayangnya tidak berhasil diubah menjadi pengalaman kolektif yang dipelajari sebagai pengetahuan kolektif. Pengalaman itu juga tidak berhasil menjadi dasar pembuatan kebijakan antisipatif dan pemulihan dampak bencana. Ini yang menyebabkan kita selalu gagal dalam menangani setiap bencana alam yang terjadi di negeri ini. Dari beberapa peristiwa gempa dan tsunami, penanganan terhadap dampak bencana gempa bumi yang terjadi di
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
25
Jurnal Sosiologi DILEMA Provinsi DI Yogyakarta dinilai paling berhasil (Kompas, 9/05/2007). Kendati selama beberapa hari warga sempat merasakan pemerintahan tidak berfungsi, pada saat itulah komunitas justru menunjukkan eksistensinya. Respon spontan dan genuine dari masyarakat menunjukkan betapa komunitas bangsa ini memiliki modal social (social capital) yang sangat besar dan kuat (Riyanto, 2006: D). Sudah barang tentu hal ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan tumbuh dan berkembang melalui proses yang panjang sejak individu-individu itu mulai bersepakat membentuk komunitas (Albizzia, 2005: 254). Bencana gempa bumi telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk kemudian bersama-sama menganyam ulang potensi modal sosial yang tersimpan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk modal sosial komunitas dalam merespons dampak bencana gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), meliputi bentuk aktivitas sosial yang ada dalam komunitas sebagai wujud dari modal sosial dan peran tokoh masyarakat dalam mereproduksi nilai derivasi: empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust dan public spirit dalam menumbuhkan modal sosial. B. Tinjuan Pustaka 1. Modal Sosial Komunitas Umumnya konsep modal sosial merujuk ke relasi-relasi sosial, institusi, norma sosial, dan rasa saling percaya antar orang dan antarkelompok yang dianggap mempunyai efek positif terhadap peningkatan kehidupan ekonomi di dalam suatu komuniti. Modal sosial juga dianggap sebagai perekat antar orang dan antar kelompok yang berpengaruh pada timbulnya keeratan hubungan sehingga memudahkan di dalam melakukan berbagai Menurut
26
Putnam seperti dikutip oleh Halpern (2005: 1), modal sosial adalah keterhubungan di antara individu melalui jaring sosial dan norma-norma saling memberi serta saling percaya di antara mereka. Konsep modal sosial itu merujuk pada dua komponen penting, yaitu pertama jaringan sosial yang beroperasi di masyarakat yang memberi manfaat mutualistik bagi para warganya, dan kedua berbagai jenis sumber daya yang tersedia di masyarakat bersangkutan yang dapat didayagunakan bagi kepentingan publik. Hasbullah mendefinisikan modal sosial yaitu segala hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baih baik, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsure-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbalbalikan, aturanaturan kolektif dalam suatu masyarakat dan sejenisnya. Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru, yaitu sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok (Hasbullah, 2006: 5). Modal sosial merupakan bagian dari modal komunitas, di samping modal manusia (human capital), modal/sumber daya alam (natural capital) dan modal ekonomi (financial/built/produced economic capital). Jaringan sosial dan
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 sumber daya yang menjadi elemen penting modal sosial dapat berfungsi optimal dan bermanfaat maksimal bagi warga masyarakat bila memiliki suatu nilai inti yang disebut civic engagement, yang oleh Riyanto (2006: D) diterjemahkan sebagai perjumpaan antar warga yang dilandasi oleh pertautan emosional mendalam, hubunga yang hangat, perasaan dekat secara psikologis, dan ikatan solidaritas yang terbangun atas dasar empati dan persaudaraan universal. Oleh karena itu, nilai civic engagement tidak akan ditemukan dalam suatu hubungan individual atau relasi sosial biasa seperti yang berlangsung di pasar, terminal, stasiun, mal, atau gedung bioskop, yang biasanya bersifat fungsional, sesaat, dan hampir tidak melibatkan sentuhan emosiaonla, sehingga pola interaksi sosial yang terbangun tidak merefleksikan adanya nilai civic engagement. Modal sosial dengan nilai inti civic engagement itu mengandung tujuh derivasi nilai yang sangat esensial, yaitu empathy, reciprocity, generocity, moral obigation, social solidarity, public trust, dan public spirit. 2. Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Bencana Gempa Bumi Sejak individu-individu membentuk sebuah komunitas sosal, maka kesadaran untuk menciptakan keselarasan bersama sudah menjadi keniscayaan. Pada perkembangan selanjutnya, dengan adanya semangat kebersamaan itu tumbuhlah bibit-bibit keharmonisan yang berwujud modal social (social capital). Modal social ini kemudian menjadi potensi lokal yang inheren ada berkat persemaian yang intens dan kontinu atas interaksi yang berkembang secara sehat (Oktarina Albizzia, 2005: 254).
Unsur-unsur utama yang menopang modal sosial dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Hasbullah, 2005: 17-19). Faktor internal berupa pola organisasi sosial yang tumbuh dalam suatu seting kebudayaan masyarakat lokal seperti tatanan sosial yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional, pola-pola pembagian kekuasaan dalam norma itu sendiri. Faktor lebih luas yang diklasifikasikan sebagai faktor eksternal seperti pengaruh agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum dan perundang-undangan, ekspansi pendidikan, politik dan pemerintahan serta nilai-nilai universal seperti nilai demokrasi, persamaan, kebebasan, dan keadaan merupakan kumpulan determinan yang saling pengaruh mempengaruhi dengan unsure-unsur pokok modal sosial. Hubungan interaktif antar komponen tersebut akan menentukan komposisi, kualitas, pola-pola transaksi dan tipologi jaringan yang pada akhirnya akan menentukan kualitas hasil atau outcome modal sosial. Ada dua tipologi modal sosial yang menunjukkan perbedaan pola interelasi dengan konsekuensi yang berbeda (Hasbullah, 2006:25). Pertama, adalah modal sosial terikat (bonding social capital), biasanya nuansa hubungan yang terbentuk mengarah ke pola inward looking. Kedua, modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) lebih mengarah ke pola outward looking. Ketika menghadapi permasalahan bersama, Riawanti dan Samandawai (2002) menjelaskan bahwa, kerja sama dan koordinasi antar orang dan antar kelompok dibangun melalui relasi, jaringan dan institusi sosial untuk memecahkan permasalahan bersama. Sebaliknya, situasi sulit yang dihadapi
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
27
Jurnal Sosiologi DILEMA bersama oleh warga suatu masyarakat dapat mengembangkan modal sosial antarwarga untuk bekerja sama menghadapinya. Maka melalui relasi, jaringan dan institusi sosial inilah, anggota komunitas bekerja sama dan berkoordinasi dalam merespons dampak bencana gempa bumi sebagai permasalahan bersama. C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di DI Yogyakarta, yang pemilihannya didasarkan pada tiga alasan. Pertama, pada tahun 2006 bencana gempa bumi terjadi di wilayah tersebut.. Kedua, penanganan terhadap dampak bencana gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta dinilai paling berhasil dibandingkan beberapa kota lain. Dan ketiga, dari pra penelitian, telah ditemukan beberapa informan yang bersedia diwawancara dan mengikuti FGD. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan tuntas mengenai bentuk modal sosial komunitas dalam merespons bencana gempa bumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu. Peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti sedemikian rupa untuk memahami apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Data-data primer diperoleh langsung dari sumbernya yakni dari warga masyarakat, pemimpin formal dan informal seperti ketua kelompok pengajian, kesenian, olah raga, arisan dan kegiatan sosial lainnya, Ketua kelompok kerja (Pokja) rekonstruksi bangunan korban gempa, ketua RT/RW, lurah dan camat serta LSM yang terlibat dalam pendampingan terhadap korban gempa.
28
Pengambilan data primer diperoleh melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD). Data sekunder diperoleh dari beberapa institusi yang terlibat dalam penanganan korban dengan menggunakan teknik dokumen. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1992) yang memiliki tiga komponen yakni reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan metode. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Bentuk-Bentuk Aktivitas Sosial Komunitas Dalam masyarakat di DIY, modal sosial mewujud dalam bentuk aktivitas sosial yang rutin dan insidental. Aktivitas rutin yang ada di hampir semua kelompok masyarakat adalah arisan yang biasanya didasarkan oleh kesatuan tempat tinggal, kerabat, agama, suku, pekerjaan, hobi, alumni suatu lembaga pendidikan atau kursus. Dalam kegiatan arisan setiap anggota berkewajiban menyetor sejumlah uang tanpa ada perhitungan bunga, giliran ditentukan secara undian atau berdasarkan musyawarah anggota, jumlah pesertanya cenderung terbatas, dan tidak ada staf pengelola khusus. Sedangkan pertemuan arisan dilakukan di tempat salah satu anggotanya yang telah mendapatkan undian, dan biasanya tuan rumah menyediakan minuman dan makanan ringn (snack) bagi para peserta yang hadir. Bila semula terdapat anggapan bahwa arisan sebatas kegiatan para perempuan, ternyata kegiatan ini juga diminati oleh kaum laki-laki maupun remaja di lokasi penelitian. Arisan diadakan tiap tanggal 5 dan 17 untuk ibu-ibu dan remaja puteri, untuk bapak-bapak disesuaikan
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 dengan giliran ronda dari masingmasing kelompok ronda. Tujuan diadakannya arisan adalah sebagai sarana sosial untuk berkumpul. Dengan mengikuti arisan, maka warga masyarakat terikat untuk datang dan bertemu dengan warga masyarakat lainnya. Meski dasar dari arisan adalah pengumpulan uang yang kemudian dikembalikan lagi kepada anggota, namun arisan dengan latar belakang kesamaan timpat tinggal biasanya tidak memiliki tujuan ekonomi, melainkan sosial sebagai ikatan persaudaraan. Sementara bagi pendatang baru, arisan merupakan media yang efektif agar dapat diterima oleh lingkungan terdekatnya. Pertemuan arisan merupakan anjangsana atau silaturrahmi bagi para peserta untuk kumpul-kumpul, tembung sapa di antara para sahabat karib, tetangga ataupun keluarga (Nat. J. Colleta dan Syahrir, 1987:168). Sehingga, di dalam arisan terdapat rasa solidaritas antar sesama yang dinilai jauh lebih penting dibanding aspek ekonominya. Aktivitas rutin lain adalah pengajian untuk penganut agama Islam yang biasanya ada di tiap kampung terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk meningkatkan pengetahuan keagamaan dan ikatan persaudaraan. Bahkan arisan dan terlebih pengajian juga mempunyai tujuan sosial lain untuk mengurangi perilaku negatif seperti mabuk dan berjudi serta mengurangi konflik yang terjadi dalam komunitas. Selain aktivitas rutin, di lingkungan kampung juga ada aktivitas tidak rutin. Bila aktivitas rutin biasanya dikehendaki oleh warga komunitas, maka aktivitas tidak diundang. Tidak ada undangan untuk datang menengok orang sakit atau melayat. Sementara
bantuan atau sumbangan untuk mereka biasanya ada dua jenis, yang bersifat pribadi dan komunitas. Santunan diberikan untuk membantu kesulitan yang tiba-tiba harus dialami warga. Sedang untuk kegiatan yang sifatnya kebahagiaan dan bisa diprediksi, misalnya pernikahan, sunatan atau kelahiran, sumbangan lebih bersifat pribadi. Bagi sebagian besar warga masyarakat, hubungan ketetanggan dianggap lebih penting artinya dibandingkan dengan keluarga yang jauh tempat tinggalnya. Atau dengan kata lain, tetangga sudah seperti keluarga yang memiliki peran penting baik ketika mengadakan hajatan yang membahagiakan, apalagi ketika mengalami kesusahan. Namun, dalam masyarakat tentu ada warga yang memiliki perilaku berbeda, misalnya ada juga warga yang tidak mengikuti arisan, yasinan dan pengajian sama sekali. Namun kalau ada yang meninggal, pada umumnya mereka tetap datang melayat. Mengingat bahwa norma masyarakat memiliki sifat yang memaksa, maka akan ada sanksi yang berlaku bagi mereka. Mereka akan dikucilkan dengan cara tidak dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, atau mereka tidak mau berperan serta bila warga masyarakat tersebut memiliki hajat atau sedang mengalami kesusahan. Semenatara itu, terdapat tiga dimensi dari modal sosial, yaitu dimensi struktural, relasional, dan kognitif. Ketiganya saling berkaitan dan dalam kenyataannya tak mudah dipisahkan. Pemisahan ketiganya hanya perlu dilakukan untuk kepentingan analisis. Dimensi struktural menyangkut pola hubungan antar anggota jaringan yang dapat dilihat dari konfigurasi, hirarki, dan sebagainya. Di lokasi penelitian hal ini ditunjukkan
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
29
Jurnal Sosiologi DILEMA misalnya, anggota yang paling aktif akhirnya diangkat menjadi ketua RT dan dengan demikian ia berada di hirarki paling tinggi dalam komunitas itu. Dimensi relasional merujuk kepada sifat hubungan (misalnya rasa hormat, saling menghargai, dan persahabatan) yang menentukan perilaku anggota jaringan. Di sini juga nampak pada seorang ketua RT yang pandai menjaga hubungan akan mudah pula mendapatkan rasa hormat dan penghargaan, yang pada gilirannya menambah tinggi nilai modal sosial yang dimilikinya. Selain itu, ketua RT sebagai salah satu tokoh masyarakat memiliki peran yang besar pula dalam menumbuhkan nilai derivasi empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust dan public spirit dalam menumbuhkan modal social, di mana nilai yang menonjol adalah empathy dan social solidarity. 2. Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi Dampak paling jelas dari bencana gempa adalah kerusakan fisik, namun dampak lebih dahsyat sesungguhnya terjadi pada tataran social dan individu. Secara sosial bencana telah menyebabkan masyarakat terusir dari normanorma, ritme kehidupan dan nilai-nilai yang sudah mereka jadikan pegangan dasar kehidupan bermasyarakat. Bangunan sistem sosial yang telah selama ini memberi makna, norma dan aturan peran yang jelas dan dipahami bersama tiba-tiba runtuh bersamaan dengan runtuhnya lingkungan fisik mereka. Pemerintahan tiba-tiba tidak lagi bisa berfungsi seperti biasanya. Organisasi masyarakat yang dulunya
30
menjadi tempat masyarakat menyelesaikan masalahnya kini porak poranda. Rumah tangga tak dapat lagi menopang kebutuhan keluarga secara memadai. Hubungan tolong menolong dan saling percaya antar tetangga tibatiba runtuh pula karena setiap orang harus berusaha keras untuk bisa bertahan. Lebih jauh, dampak bencana yang tak kalah besarnya terjadi pada ranah psikologis setiap individu. Tentu saja volume dampak psikologis akan berbeda pada masing-masing individu korban. Dampak paling umum adalah trauma yang ditandai oleh ketakutan terus menerus, sedih berkepanjangan, sulit tidur dan bentuk-bentuk ekspresi lain. Pada tingkat yang lebih parah, korban sering merasa kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Orang mulai memandang negatif kepada kemampuan dan kapasitas dirinya. Maka yang sering muncul ke permukaan adalah ekspresi pasrah, mudah meminta pertolongan sambil menyatakan diri tidak berdaya, dan kadang apatis terhadap lingkungannya. Beberapa saat setelah warga mengalami kebingungan, akhirnya menyadari bahwa harus berbuat sesuatu. Di sini nampak bahwa dalam komunitas di mana warganya memiliki aktivitas sosial yang kental, maka akan menanggung bersama kesulitan yang dialami. Ketika konsep pokmas diputuskan sejak pemerintah daerah mengetahui jumlah dana bantuan dari pemerintah pusat yang semula dijanjikan Rp 30 juta ternyata turun menjadi setengahnya, justru dengan anggaran yang minim itulah kemudian timbul daya kreatif menggunakan kekuatan sosial sebagai satu-satunya harapan.
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 Mekanisme distribusi dana bantuan pun dimodifikasi. Karena bantuan diberikan bertahap, Pemerintah Kabupaten Bantul kemudian mengambil kebijakan adanya prioritas penerima dalam pokmas. Secara mudah konsep prioritas lebih mengutamakan mereka yang dirasa paling membutuhkan. Sebuah pokmas beranggotakan 15 keluarga, misalnya, akhir tahun lalu menerima dana Rp 150 juta untuk tahap I dan II. Sebanyak 10 anggota yang paling membutuhkan mendapat dana utuh Rp 15 juta, sedangkan lima sisanya menunggu dana tahap III. Cara ini terbukti efektif. Ternyata pada awal tahun 2007 lalu yang terbangun tidak hanya 10 rumah. Lima anggota lain juga sudah membangun rumah dengan dana sendiri karena yakin pada tahap ketiga mereka juga akan mendapat bantuan. Selain cepatnya pembangunan, konsep pokmas juga memacu semangat gotong royong antarwarga. Semangat membangun masyarakat itu, kata Idham, membuat pemerintah lebih konsentrasi mengurusi bidang lain, seperti kesehatan, pendidikan, dan sarana umum lainnya. Berdasarkan data Bagian Administrasi Pembangunan Pemerintah Kabupaten Bantul, rata-rata kemajuan rehabilitasi fisik sudah 90 persen lebih. Di bidang kesehatan, dari 23 puskesmas dan 53 puskesmas pembantu yang rusak berat, 95 persen sudah terbangun. Di bidang pendidikan, 91 persen dari 356 gedung SD yang rusak sudah terbangun. Demikian pula untuk 75 gedung SLTP dan 57 gedung SLTA, 95 persen sudah rampung. Untuk saluran irigasi, pembangunan sudah 85 persen, sedangkan untuk jalan dan jembatan 90 persen. Fasilitas yang dikebut tahun 2007 adalah pembangunan kantor-kantor
dinas, rumah- rumah ibadah, dan gedung taman kanak-kanak yang ditargetkan rampung Mei 2008. Kalaupun ada yang belum selesai, itu hanya pada finishing-nya saja. Salah satu contoh proses rekonstruksi yang berlangsung di wilayah penelitian adalah dengan membentuk panitia rekonstrusi yang terutama terdiri dari pengurus RT, pengurus masjid dan warga masyarakat yang aktif dalam kegiatan ronda. Kami dibagi dalam 9 seksi atau kelompok yang diketua oleh Ketua RT dan diwakili oleh ketua pengurus masjid. kelompok ini adalah pencarian bantuan, keamanan, administrasi/sekretariat, pengumpulan data, foto, dokumen, akomodasi (termasuk tenda dan dapur umum), pembongkaran rumah, fasilitator pengurusan proposal, penerimaan dan pembagian bantuan dan terakhir adalah bagian mum. Masing-masing seksi berhubungan dengan pengurus RT yang sesuai dengan urusan yang ditanganinya. Bila terjadi masalah bisa diajukan langsung oleh kepala keluarga (KK). Manfaat dari mengikuti aktivitas sosial biasanya akan lebih dirasa ketika mengalami kesulitan. Kesulitan akan lebih mudah diatasi jika warga mengenal dengan baik warga lain, sehingga tidak sungkan untuk meminta pertolongan baik dari warga pribadi maupun kelompok. Dari penanganan gempa di DIY, nampak bahwa masyarakat dengan daya survivalnya ternyata memegang peran penting dalam proses pemulihan. Nilai-nilai kepercayaan, empati dan solidaritas sosial serta semangat pantang menyerah masyarakat DIY menjadi potensi terbesar dalam proses rekonstruksi.
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
31
Jurnal Sosiologi DILEMA E. Penutup Pada akhirnya, dari rangkaian bencana yang mengular, nampak bagaimana modal sosial terbukti ampuh menjadi sarana tepat untuk rekonstruksi pasca bencana. DIY, terutama Kota Yogyakarta dan Bantul yang melesat cepat juga cermin komunitas masyarakat yang masih memegang nilainilai kegotong-royongan. Pranata sosial yang mestinya membudaya di setiap ranah bencana dan denyut kehidupan kita. Modal sosial merekatkan perbedaan, mengkonsolidasikan kekuatan dan mendorong individu-individu dalam masyarakat untuk saling percaya. Dengan modal sosial inilah sebuah masyarakat sesungguhnya menemukan konstruksinya. Pada saat masyarakat menghadapi situasi sulit akibat bencana, modal sosial ini secara umum berhenti bekerja, hingga kurang atau tidak sama sekali memberi dampak, dan kembali menjadi laten sebagai aset sosial potensial. Proses rekonstruksi pasca gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang relatif cepat tak lepas dari kuatnya modal sosial masyarakat yang telah melekat. Sebuah catatan penting selama bangkit pasca gempa, masyarakat korban telah menun-
32
jukkan bahwa daya survival-nya memegang peranan dalam proses rekonstruksi. Pun, pelajaran yang baik juga layak diteladani dari kancah bencana di DIY dan Jateng ini, yaitu pasar tidak latah menaikkan hargaharga kebutuhan pokok. Selama masa tanggap darurat harga-harga relatif stabil. Kecuali jelang rekonstruksi, harga bahan bangunan mengalami lonjakan tinggi. Dari saran yang dapat diajukan. Pertama, Mengingat realitas bahwa wilayah Indonesia khususnya DIY adalah wilayah yang rawan akan terjadinya gempa, maka masyarakat perlu disiapkan untuk merespons dampaknya. Beberapa kelompok telah mendampingi masyarakat melakukan simulasi dalam menghadapi gempa, namun ternyata informan pene-litian ini belum pernah mendapatkannya. Kedua, agar penyaluran dana untuk korban tidak menyimpang, maka monitoring dan evaluasi harus melekat dalam setiap program rekonstruksi. Dan ketiga, proses rekonstruksi telah menimbulkan konflik baik di anatara warga masyarakat maupun dengan pihak luar, sehingga proses rekonsiliasi untuk mengembalikan keharmonisan perlu dilakukan.
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. 2006. Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah dalam Konstruksi Bencana. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Albizzia, Oktarina. 2005. Arisan Sebagai Modal Sosial: Pergeseran Fungsi dan Tantangannya. Dalam Mudiyono, dkk. (Ed). Dimensi-dimensi Masalah Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. APMD Press. Yogyakarta. Halpern, David. 2005. Social Capital. USA: Polity Press Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia), Jakarta: MR-United Press Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Krueger, Richard A. 1994. Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research. California: Sage Publications, Inc. Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press Samandawai, Sofwan. Rianawati. 1996. Modal Sosial, Kemiskinan dan Pembangunan. Jurnal Analisis Sosial. Vol & No 2 Juni 2002 Spillane, James J. 2005. Kapital Sosial dan Pembangunan Ekonomi Bangsa. Dalam Paul Suparno (ed.), Problematika Manusia Indonesia, Permasalahan Kemanusiaan Bangsa Indonesia Zaman Sekarang. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Sumber Lain Kompas, 18 Februari 2007 Kompas, 9 Mei 2007 Suara Pembaruan, 18 Juli 2006 Nugraha, Pepih. 2006. Minimnya Dana Pencegahan. Kompas, 16 Agustus, Hal 62. Purnomo, Aloys Budi. 2006. Negeri Gempa dan Tsunami. Kompas, 20 Juli Riyanto, Joko. 2006. Modal Sosial untuk Rekonstruksi Yogya. Artikel dalam Forum Kompas, 17 Juni
Rahesli Humsona “Eksistensi Modal Sosial dalam Merespons Dampak Bencana Gempa Bumi di DIY”
33
Jurnal Sosiologi DILEMA
34
REALITAS SOSIAL “KELOMPOK HUNIAN LIAR” DI PERKOTAAN: TANTANGAN DAN HARAPAN
RB. Soemanto Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract “Kelompok Hunian Liar” (KHL) –Groups of Squatters- is the social groups in urban society which is seen as a multidimensional problem: economic social, political, and legal. Along with the concurrent existence with the development of the city, macro and micro side as a result of the implementation of national and regional economic development through pull and push factors. KHL lively present in the city of Surakarta have seen by the Local Government as a violation of existing rules, for example: urban spatial planning and public interests or the interests of other societies in the city. KHL is an integral element of the city, then an alternative solution must be based on progressive ideas that are formulated into a form of social engineering based on the formulation of responsive public policy and legal foundation which pro-people as an instrument the implementation. Public policy and legal instruments should be formulated based on the harmonization and integration of interests or stakeholders, in the form of public interest, social and individual. Keywords: KHL, Urban Problems, Public policy A. Pendahuluan Kota berkembang ke arah kehidupan multi wajah. Dalam hidup sehari-hari dijumpai keberagaman kebutuhan yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Aneka jenis makanan yang siap dikonsumsi, pakaian siap pakai, rumah tinggal dan bangunan public siap huni, alat transportasi, alat produksi dan industri-industri yang tersedia dan sebagainya dapat ditemukan dalam corak, jenis dan ukuran masing-masing. Gaya hidup perkotaan dapat dilihat dari tingkah laku konsumsi dan produksi warganya. Pemenuhan kebutuhan dasar (primer), sekunder, tersier dan kuarter tersaji dalam kemasan mengikuti selera masyarakat. Pasar tradisional, toko-toko dan ritel, supermarket dan mall, bank,
hotel, warung dan restoran, tempat hiburan, lembaga pendidikan lanjut serta Tingkah laku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan berkembang menjadi kebiasaan yang menekan serta menimbulkan tuntutan kebutuhan baru. Gaya hidup masyarakat kota dipolakan oleh kekuatan pasar yang menjanjikan layanan kebutuhan. Bahkan kebutuhan yang terkemas dan terorganisir berkembang menjadi kekuatan memaksa yang mesti diikuti masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat kota terus berkembang secara beragam. Kelompok-kelompok kepentingan makin hiterogin, interaksi antar kepentingan makin rumit. Kerjasama, persaingan dan konflik mewarnai hubungan-hubungan
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
35
Jurnal Sosiologi DILEMA mendiami, bermukim yang tidak diakui oleh yang berwenang, karena tidak memiliki izin tinggal dan mendirikan bangunan. 2. Kelompok hunian liar merupakan sebuah realitas sosial, fakta sosial, artinya secara objektif kelompok dimaksud bisa dilihat, diamati keberadaannya. Kegiatannya, interaksi sosial, peranan dari para individu dari kelompok tersebut bisa diamati. Interaksi sosial dan tindakan mereka di dalam kelompok menggambarkan perilaku normal. Namun keberadaannya di dalam komunitas besarnya dinilai bermasalah, karena melanggar aturan hukum yang berlaku. 3. Keberadaan kelompok tersebut di Kota Surakarta timbul pada awal terjadinya Reformasi Mei 1998. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan munculnya kelompok reformasi ditandai oleh adanya alih kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang sempat mengalami situasi tidak menentu secara sosial politik, hukum dan ekonomi. Pada waktu itu, kelompok masyarakat yang di posisi pinggiran kekuasaan dan merasa kurang beruntung menggunakan kesempatan untuk menduduki ruang (tanah) negara yang kosong menjadi tempat B. Realitas Sosial ‘Kelompok Hunian Liar’ hunian. Mereka sebagian besar warga 1. Kata liar memiliki arti atau sepandan masyarakat yang tidak memiliki dengan tindakan tidak teratur, tidak tempat tinggal tetap, dan berasal dari menurut aturan (hukum); dari segi beberapa daerah di luar kora Sala. Masa pelaku adalah orang atau sekelompok transisi sosial politik dan hukum telah orang yang tidak resmi ditunjuk atau digunakan kelompok tersebut memediakui oleh yang berwenang, tidak nuhi hasratnya untuk memiliki memiliki izin usaha/tinggal/mendirikan tempat hunian tetap. (bangunan) atau membangun (Kamus Dalam teori migrasi dikenal interaksi Umum Bahasa Indonesia, 1997). dua faktor pokok, yaitu dorong (push) Hunian liar artinya tempat tinggal, dan tarik (pull). Hubungan faktor kediaman, pemukiman yang tidak dorong dan tarik melibatkan dua diakui oleh yang berwenang atau berarti lingkungan sosial ekonomi yang orang-orang, sekelompoki orang yang sosial. Sadar atau tidak sadar, kondisi tersebut memerlukan regulasi yang jelas dan pasti serta memberi perlindungan terhadap kepentingan semua pihak secara fair adil dan proporsional. Selanjutnya bentuk, cara dan sifat komu-nikasi sosial secara ideal harus bisa menjembatani diferensiasi atau perbedaan-per-bedaan sosial di masyarakat. Simbolisasi kepentingan dan kebutuhan sebagai proses diferensiasi kelompokkelompok sosial menandai timbulnya pelapisan sosial baru. Kesadaran kelompok sebagai kesadaran bersama tumbuh berdasarkan nilai kolektif yang menandai dan menjiwai aktivitas kelompok tersebut. Realitas sosial utama yang berkembang di perkotaan dapat ditemukan pada aktivitas kelompok-kelompok ini. Dilihat dari perkembangan kekotaan (urbanisme), Kelompok Hunian Liar (KHL) yang timbul di perkotaan menempel dalam struktur masyarakat kota. Seperti dinyatakan, KHL sering dikonotasi sebagai kelompok marginal (pinggiran). Secara sosial, politik, ekonomi dan hukum, KHL diposisikan sebagai kelompok KLMT (Kecil, Lemah, Miskin dan Terpinggirkan) di masyarakatnya. Dan keberadaan KHL merupakan fenomena sosial tantangan yang timbul di perkotaan.
36
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 berbeda, yaitu pedesaan dan perkotaan. Lingkungan pedesaan memiliki faktor pendorong bagi sebagian warganya untuk meninggalkan desa menuju kota dengan berbagai alasan, terutama bekerja. Faktor pendorong tersebut antara lain timbul karena hilangnya kesempatan kerja di sektor pertanian oleh penerapan teknologi maju, menyempitnya lahan usaha tani, mengecilnya luas pemilikan lahan, dan belum tersedianya layanan kebutuhan, seperti pendidikan lanjut, pengembangan bakat dan sebagainya di desa. Unsurunsur pendorong tersebut secara sendiri maupun bersama mempengaruhi tingkah laku migrasi desakota. Lingkungan kota berposisi sebagai daya tarik. Kota yang dirancang sebagai pusat pertumbuhan berkembang lebih pesat dari pada desa. Perkembangan kota yang ditandai oleh tumbuhnya kegiatan industri dan layanan jasa yang beragam memberi peluang siapapun untuk bekerja atau memanfaatkan layanan yang tersedia. Dari kondisi ini, tak urung kota sebagai tanah harapan untuk hidup lebih baik bagi yang di desa, dan arus migrasi desa-kota tak terbendung hingga saat ini. Orangorang berbakat, berpendidikan, dan tidak berpendidikan, berkelamin lakilaki atau perempuan, tua-muda, berketrampilan maupun tanpa ketrampilan semua berusaha mengadu nasib di kota. Pembangunan fisik, sarana dan prasarana untuk mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi yang dipusatkan di perkotaan telah menyerap tenaga kerja semi terampil dan tidak terampil. Jakarta adalah contoh dari sebuah Metropolitan yang dibangun oleh pendatang, atau migran desa-kota. Kisah yang sama kiranya
terjadi pula di kota-kota besar, sedang dan kecil lainnya dalam skala yang berbeda di Indonesia. Warga kota pendatang berperanan besar dalam menciptakan lingkungan baru di perkotaan. Dalam masanya mereka telah berjasa bagi perkembangan lingkungan fisik dan kehidupan kota pada umumnya. Arus migrasi desa-kota yang terus berlanjut menimbulkan permasalahan di kota dan juga di desa yang ditinggalkan. Di perkotaan jumlah penduduk makin bertambah, daya tampung kota semakin berat dan menjadi beban lingkungan kota. Di desa penduduk muda yang berpotensi dan berbakat pada saat yang sama dibutuhkan untuk mengembangkan lingkungan pedesaan bahkan meninggalkannya (brain drain). Permasalahan kota menjadi semakin berat semenjak terjadi krisis moneter dan ekonomi yang berlarut-larut. Jumlah penduduk dan keluarga miskin makin bertambah. Urbanisme meningkatkan jumlah, kepadatan dan heteroginitas penduduk kota, serta berpengaruh terhadap struktur sosial (Fischer, 1987), menyebabkan berkurangnya intimitas hubungan keluarga, karena rendahnya intensitas interaksi sosial (Golsberg, 1987). Keberagaman penduduk kota, meningkatnya jumlah dan ragam kelompok sosial menambah beban permasalahan yang dihadapi masyarakat kota. Perspektif ekologi kota (Park, 1987) menghadapkan persoalan “wilayah natural” kota yang ditandai oleh munculnya wilayah kelompok sosial homogen yang berbatasan dengan sungai, taman kota, jalan, rel kereta api, dan sebagainya. Di wilayah seperti ini kelompok hunian liar hadir, yang menempati tanah pemerintah, bantaran sungai, sepanjang pinggir kiri-
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
37
Jurnal Sosiologi DILEMA kanan rel kereta api dan sebagainya dan merupakan wilayah/daerah KHL. C. Tantangan dan Harapan KHL 1. KHL yang marak hadir di Kota Surakarta dipandang pemerintah daerah sebagai satu pelanggaran terhadap aturan yang ada, misalnya: rencana tata ruang kota dan kepentingan publik maupun kepentingan kelompokkelompok masyarakat kota lainnya. Peruntukan lahan di kota yang dirancang dengan mempertimbangkan fungsi lingkungan fisik, sosial budaya, kelancaran kegiatan bagi para pemangku kepentingan (stakeholder) kota, kenyamanan dan keindahan dan seterusnya, agar terbangun suatu ekosistem perkotaan yang mendukung keberlanjutan atau kelangsungan perkembangan kota yang mampu mengakomodasi aspirasi maupun kepentingan masyarakat; dalam berbagai hal mengalami hambatan oleh kehadiran KHL. Bahkan “hunian liar” dianggap sebagai sebuah stigma perkotaan. Kata “liar” telah secara eksplisit menyatakan tindakan pelanggaran aturan hukum yang berlaku yang harus ditertibkan dan atau dikenai sanksi. “Liar” juga ditafsir sebagai satu bentuk perlawanan terhadap otoritas pemerintah; dan gambaran dari konflik manifest (nyata). Namun secara simbolik KHL merupakan gambaran perjuangan kelompok sosial yang menuntut identitas, serta upaya mencari pengakuan atas status sosial sebagai warga masyarakat kota. Secara politik KHL terhimpun sebagai simpatisan dan pendukung setia partai politik yang berkuasa; kemudian karena berbagai alasan mereka merasa diabaikan, ibarat “habis manis sepah dibuang”. Dalam kapasitas ini, mereka berusaha menuntut janji dengan
38
caranya sendiri. KHL juga kelompok yang pandai mengambil peluang atau kesempatan dalam kesempitan, ketika terjadi krisis otoritas pemerintah di masa transisi, dan di saat fungsi regulasi, penertiban, pengawasan atau penegakan hukum pada titik lemah. Dalam situasi seperti itu kehadiran KHL di tengah masyarakat kurang mendapat perhatian, karena krisis sosial, politik, ekonomi dan penegakan hukum yang tidak dapat dihindarkan. Selanjutnya, keberadaan KHL menuai tanggapan yang beragam. Gerakan reformasi memiliki kekuatan pendukung yang luas, masa persiapan otonomi daerah dan awal pelaksanaannya merupakan deretan peristiwa perubahan sosial yang besar dan cepat terkait dengan sistem politik dan birokrasi pemeritahan maupun kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut berlangsung begitu cepat, sehingga menimbulkan ekses euforia reformasi yang hebat, bahkan muncul tindakan kolektif anarkis dari sebagian masyarakat yang dibungkus dengan kemasan ‘perjuangan cita-cita reformasi’; namun berkedok untuk mewujudkan kepentingan pribadi individu-individu maupun kelompok tertentu. Delapan tahun telah berlalu, gerakan reformasi telah melahirkan era baru yang diwarnai kondisi sosial ekonomi yang dinaungi kepentingan partaipartai politik yang cenderung mereduksi kepentingan rakyat. Sementara itu demokratisasi juga berjalan dinamis dalam kehidupan masyarakat. Benturan kepentingan partai politik dengan justru kepentingan rakyat yang memilihnya terjadi/muncul. Peningkatan kesejahteraan rakyat berjalan lamban, peranan dan fungsi birokrasi pemerintah sebagai pelaku dan hukum
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011 tidak atau kurang mampu mengatasi situasi konflik di masyarakat. Stakeholder (pemangku kepentingan) di masyarakat kota berkembang seiring dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang ada. Masyarakat sebagai salah satu pilar dan pelaku pada pelaksanaan otonomi daerah bersama kelompok eksekutif dan legislatif diharapkan mampu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Hasil yang diharapkan oleh pelaksanaan otonomi daerah tidak menjadi harapan seluruh rakyat dan juga harapan dari cita-cita reformasi. Jika kondisi itu muncul sebaliknya akumulasi kekecewaan terbentuk yang mendorong timbulnya kekuatan reaksi sosial dan mengancam ketertiban serta ketenteraman kehidupan masyarakat. KHL yang terposisi di ujung tanduk di hadapan kekuasaan birokrasi pemerintahan (daerah) dan yang kurang mendapatkan simpati dari sementara kalangan masyarakat kota, menghadapi situasi dilematis. Mereka membutuhkan pengakuan eksistensi, tapi keberadaannya di hunian liar berbenturan dengan kepentingan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah. Sebab jika kondisi seperti itu dibiarkan berarti menoleransi kondisi keotik, di mana prinsip-prinsip dan sendi kehidupan bersama diabaikan. Dan kelangsungan hidup untuk meraih cita-cita kesejahteraan sosial yang berkeadilan sulit diwujudkan. 2. Beranjak dari permasalahan dan kondisi yang digambarkan di atas perlu rumusan pemikiran konseptual sebagai upaya mengatasi problim sosial tersebut. Pemikiran progresif harus menjadi pijakan dasar bagi penyusunan kebijakan publik, dan aturan hukum yang mengakomodasi dan responsif ter-
hadap aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta seluruh pemangku kepentingan yang aktif mendukung upaya memberdayakan kehidupan masyarakat, mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Satjipto Rahardjo (2006) seorang yang mencetuskan pemikiran progresif di tengah kegalauan menghadapi terpuruknya penegakan hukum di negeri ini. Dalam pemikirannya menekankan pentingnya tujuan dan akibat. Apakah suatu tindakan yang dilakukan bertolak dari tujuan yang baik, dan berakibat baik. Pemikiran hukum progresif yang dikemukakannya menempatkan kepentingan dan kebutuhan rakyat sebagai titik orientasi. Dan karakter hukum progresif menghendaki kehadiran hukum yang terkait dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya. Rumusan hukum progresif sama dengan konsep rekayasa sosial yang menggunakan aturan hukum tersebut sebagai instrumen yang menjamin terwujudnya kesejahteraan sosial yang adil. Pound (1996) mengemukakan perlunya keserasian kepentingankepentingan dari para pemangku kepentingan di masyarakat termasuk kepentingan pemerintah (daerah) sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan publik dan aturan hukum yang mendukungnya. Oleh sebab itu, kepentingan-kepentingan yang harus serasi dan terintegrasi meliputi kepentingan publik, sosial dan individu. Kepentingan publik terkait dengan fungsi pemerintah yang dilandasi nilai konstitusi Pancasila dan UUD 1945 yang harus diemban secara konsisten dan konsekuen dengan melakukan regulasi dan melindungi seluruh kepentingan masyarakat. Nilai dan tujuan kesejahteraan sosial yang adil harus dijunjung tinggi dalam
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
39
Jurnal Sosiologi DILEMA pelaksanaan. Kepetingan sosial adalah kepentingan bersama yang dicerminkan dalam fungsi-fungsi lembaga sosial; dan kepentingan individual meliputi usaha memperoleh keuntungan, perlindungan atas aset atau hak milik dan sebagainya. Ketiga kepentingan tersebut harus terintegrasi dalam bentuk rumusan konsep kebijakan publik dan pedoman pelaksanaan sehingga mampu mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan dan merasakan manfaatnya. Rekayasa sosial yang memberdayakan masyarakat dengan menggunakan instrumen hukum merupakan proses penyesuaian yang berlangsung dalam bentuk : konformisme, inovasi, ritualisme dan retreatisme (Merton, 2001). Oleh sebab itu, bentuk-bentuk itu perlu dicermati dan membutuhkan perlakuan tambahan agar rekayasa sosial dimaksud mencapai tujuannya. Dalam hal KHL, rekayasa sosial yang didasarkan pada kebijakan publik dan hukum yang progresif serta dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen; dengan harapan dapat menjadi model untuk mengatasi permasalahan terkait keberadaan KHL dan problem sosial yang ditimbulkannya.
D.
Sebagai salah satu dari wujud konflik sosial dan masalah yang membutuhkan penyelesaian secara arif dan responsif, karena KHL merupakan unsur yang tak terpisahkan dari masyarakat kota; maka alternatif penyelesaiannya harus didasarkan pada pemikiran progresif. Dalam tulisan ini, pemikiran progresif bisa dirumuskan ke dalam bentuk rekayasa sosial responsif berdasarkan rumusan kebijakan publik dan landasan hukum yang pro rakyat sebagai instrumen yang memedomani pelaksanaannya. Kebijakan publik dan instrumen hukum dimaksud harus dirumuskan berdasarkan penyerasian dan atau integrasi kepentingan-kepentingan para stakeholders, berupa kepentingan publik, sosial dan individual. Pelaksanaan rekayasa sosial sebagai proses penyesuaian fungsi dan peranan stakeholders perlu dicermati agar tidak terjadi penyimpangan; hukum harus dijalankan secara fair, positif dan tegas, agar tujuan rekayasan sosial untuk menguatkan posisi dan peran aktif warga ‘KHL’ terintegrasi dalam upaya membangun kotanya yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.
Simpulan
KHL merupakan kelompok sosial di masyarakat perkotaan yang dipandang sebagai permasalahan multidimensional, bersifat sosial ekonomi, politik, dan hukum. Keberadaannya bersamaan dan seiring dengan perkembangan kota, bersifat makro dan mikro sebagai akibat samping dari pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional maupun daerah.
40
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
ISSN : 0215/9635 Vol. 26. No.1 Tahun 2011
Daftar Pustaka Fisher, C. dalam Thinking Sociologically, ed. Sheldon Goldberg, Wardsworth Publishing Company, Belmon, California, 1987 Goldberg, Sheldon, Thinking Sociologically, Wardsworth Publishing Company, Belmon, California, 1987 Merton R., dalam Sosiologi, Hukum dan Sosisologi Hukum, ed. B.R. Rijkschroeff, Penerjemah Drs. F. Tengker, SH, CN. Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2001 Park, R. dalam Thinking Sociologically, ed. Sheldon Goldberg, Wardsworth Publishing Company, Belmon, California, 1987 Pound, R., dalam Sosiologi Hukum, ed. George Gurvitch, Penerjemah Sumantri Mertodipuro dan Moch. Rajab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996 Satjipto Rahardjo, dalam Teori Hukum: Sebagai Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi, ed. Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH., Penerbit CV. Kita, Surabaya, 2006 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997
RB. Soemanto Realitas Sosial “Kelompok Hunian Liar” di Perkotaan Tantangan dan Harapan
41
Jurnal Sosiologi
42
DILEMA
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PERUBAHAN SOSIAL DI ERA GLOBALISASI
Sulistyaningsih Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga
Abstract The development of information technology in the era of globalization is growing very quickly. This is impacting significantly on the social changes in society. Indonesia, as one of the third world countries can not shy away from the grip of advances in information technology in this era of globalization. Advancement of information technology should be addressed wisely, in order to promote real social change in society. According to Amartya Sen, the existing technology should be impartial and serve the people, instead of human beings who serve the technology. Keywords: Information technologies, Social changes, Globalization
A. Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi di era globalisasi berkembang dengan sangat pesat. Ambil contoh adanya kemajuan di bidang internet dan penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, penggunaan website, dan blog. Di era globalisasi keberadaan internet dan penggunaan media sosial tersebut tidak bisa dihindarkan lagi. Sekatsekat fisik yang di masa lampau membatasi manusia untuk untuk berinteraksi dengan banyak orang di segala penjuru dunia semakin berkurang secara signifikan. Sekarang, manusia semakin banyak berinteraksi melalui internet. Adanya kemajuan ini membuat interaksi menjadi semakin intensif dan frekuatif dengan kecepatan yang meningkat drastis dan biaya yang lebih ekonomis. Adanya perkembangan dan kemajuan ini tentu saja akan berdampak bagi perubahan sosial yang ada
di masyarakat, baik dampak politik, sosial, budaya dan ekonomi, baik di tingkat global, nasional maupun regional. Dalam bidang politik internasional misal, kemenangan Barrack Obama yang banyak mendapat dukungan dari gerakan sosial melalui Facebook tahun 2009, adanya revolusi di Mesir tahun 2011, akibat dari gerakan sosial melalui jejaring sosial Facebook dan sebagainya. Di bidang budaya, makin kuatnya introduksi budaya dan gaya hidup baik dalam nilai-nilai, perilaku hingga hobi dari negara adidaya seperti Amerika sulit untuk dihindarkan. Contoh lifestyle yang dipakai oleh public figure internasional seperti David Beckcham bisa menjadi icon dunia. Sementara itu di bidang ekonomi, kemajuan teknologi telah menyebabkan barang dan jasa diproduksi di bagian manapun di dunia ini asalkan bisa
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
43
Jurnal Sosiologi
DILEMA
mememuhi standar kualifikasi kelayakan teknis dan ekonomisnya serta bisa dijual ke manapun yang membutuhkan. Dalam bidang ekonomi, transaksi keuangan di dunia bisa terjadi dengan sangat cepat, misal transakasi di pasar valuta asing. Manusia tanpa harus secara fisik ada tetap bisa bertransaksi . Menurut Wibowo konsekuensi logis dari itu semua, struktur dan sistem organisasi bisnis internasional mengalami revolusi manajerial, komunikasi, jalur pemerintah dan kontrol yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Dunia semakin hari semakin bergerak menyatu menjadi sebuah desa global. Dalam konteks inilah globalisasi tidak bisa dihindarkan. Suka atau tidak, siap atau tidak, globalisasi sudah melekat dalam kehidupan manusia. Selain manfaat globalisasi tersebut, ada juga kerugian akibat globalisasi. Seperti adanya jual beli gadis-gadis belia di Thailand, Indonesia, Filipina yang dijadikan sebagai pekerja seks komersial klub-klub malam di Tokyo. Secara lebih rinci Wibowo memaparkan kerugian akibat globaliasasi sebagai berikut:
Sumber : Seabrook, 2003
44
Sebenarnya kalau dikaji secara mendalam, adanya kemiskinan dan ketimpangan tersebut bukan karena faktor perbedaan sumber daya alam antar individu, bangsa dan negara tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh agen-agen globalisasi seperti IMF, WTO dan World Bank serta negara-negara industri maju dan korporasi multinasional. Dalam konteks inilah, adanya kemajuan teknologi informasi di era globalisasi ternyata membawa dampak baik positif maupun negatif. Indonesia, sebagai salah satu bagian dari negara dunia ketiga juga masuk dalam cengkeraman globalisasi ini. Kemajuan teknologi dan informasi yang ada telah mendorong perubahan sosial yang ada di Indonesia. Misal, adanya gerakan sosial baru melalui Facebook untuk mendukung Prita Mulyasari untuk mencari keadilan, penggalangan solidaritas untuk Balqis, dan sebagainya. Dalam dunia usaha, pelaku bisnis di Indonesia sudah banyak yang menggunakan internet melalui e-commerce, baik melalui Facebook, Twitter, website atau blog. Di sisi lain ada juga fenomena pembunuhan, pelecehan seksual, kasus orang hilang yang disebabkan oleh dampak penggunaan Facebook. Dalam tulisan ini bermaksud mencari jawaban bagaimana dampak kemajuan teknologi informasi bagi perubahan sosial di masyarakat di Indonesia dalam era globalisasi ini. B. Teknologi Informasi, Perubahan Sosial dan Globalisasi: Sebuah Tinjauan Teoritik Berbicara tentang perkembangan teknologi informasi suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan suatu masyarakat. Karl Marx menyebutkan bahwa perkembangan suatu masyarakat ditentukan oleh mode of production suatu masyarakat. Dalam konteks ini, perkembangan teknologi dan informasi di masyarakat pos-industri ini
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 tentu saja akan berbeda dengan perkembangan teknologi informasi di masyarakat komunal atau tradisional. Teknologi dalam kamus Sosiologi didefinisikan sebagai berikut: “ technology is authonomous and has determinate effect on society. Technology is seen as political and as an independent variable in sosial change . This assumption is criticized for ignoring the sosial process and choices which guide the use of technology and the variety of possible sosial arrangements which coexsist with different types of technology”. Informasi dalam kamus sosiologi (David Jary and Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, 1992) didefinisikan sebagai berikut: “information is any unit of data or knowledge. The character and extend of the recorded information available to a society a major differentiating feature between types of society”. Teknologi Informasi menurut kamus Sosiologi didefinisikan sebagai berikut: “information technology is a general term applied to all computer based technologies of human communication. It can be viewed as a broad sub type of new technology. Information technology underpins the flow of information within organizations and is used as an aid to enterprice and respond to challenge in their environment”. Dari definisi tentang teknologi informasi tersebut di atas, bisa dipahami bahwa ketika berbicara tentang teknologi informasi selalu terkait dengan perubahan sosial yang ada dalam masyarakat. Perubahan sosial dalam perspektif sosiologi bisa dilihat
dalam perspektif Karl Marx dan Max Weber. Perubahan sosial menurut Karl Marx menekankan tiga hal. Pertama, perubahan sosial menekankan pada kondisi materialistis yang berorientasi pada teknikteknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial budaya. Hal ini mencakup perkembangan teknologi baru, penemuan sumber-sumber baru dan perkembangannya dalam bidang kegiatan produksi. Menurut Karl Marx, keberadaan teknologi tidak akan mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia jika teknologi tidak dimiliki oleh kelompok pekerja pada umumnya. Teknologi yang berada di tangan pemodal justru akan melahirkan eksploitasi pada buruh. Kedua, perubahan sosial adalah kondisi-kondisi material dan cara-cara produksi dan juga merefleksikan hubunganhubungan sosial serta norma-norma pemilikan, dari masyrakat primitif sampai kapitalis modern. Ketiga, manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri. Kondisi dihadapkan pada keterbatasan keadaan lingkungan material dan sosial yang ada dalam diri manusia seperti keterbatasan kepemilikan alat produksi, hubungan antara konflik kelas yang telah menjadi turunan hubungan sosial yang diciptakannya sendiri. Jadi, menurut Karl Marx, keberadaan teknologi telah mempengaruhi proses perubahan yang ada dalam masyarakat. Teknologi selalu berhubungan erat dengan relasi sosial. Marx menjelaskan bahwa cara produksi (mode of production) suatu masyarakat ditentukan perkembangan teknologi yang ada dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang tradisonal, tentu saja produksi masyarakat juga masih sederhana, karena teknologi yang ditemukan dan digunakan juga masih sederhana. Hal ini tentu saja berbeda dengan masyarakat kapitalis, mode of production-nya juga semakin canggih karena temuan, inovasi dan penggunaan teknologi juga semakin canggih. Karl Marx
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
45
Jurnal Sosiologi
DILEMA
menjelaskan lebih lanjut bahwa berbicara tentang teknologi itu juga melekat adanya teori industrialisasi, modernisasi dan posindustrialial/masyarakat informasi. Teknologi menjadi kunci yang dapat menentukan perananan dalam pembentukan struktur sosial di masyarakat industri. Perubahan teknologi yang ada adalah produk kapitalis. Perubahan sosial menurut Max Weber terkait dengan bentuk rasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut Weber, bentuk rasional terdiri dari means (alat) yang menjadi sasaran utama dan ends yang meliputi aspek kultural. Orang yang rasional menurut Weber akan memilih mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya. Dalam masyarakat menurut Weber ada pengelompokan berdasarkan kepentingan tertentu, seperti dalam bentuk kelas, status sosial, dan partai politik. Weber membagi empat model rasionalitas yang ada dalam masyarakat, yaitu: pertama, rasionalitas tradisional di mana yang menjadi tujuan adalah perjuangan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masya-rakat. Kedua, value oriented rationality, masyarakat melihat nilai sebagai potensi hidup sekalipun tidak aktual dalam keseharian. Ketiga, affective rationality, jenis rasional ini berasal dari hubungan emosi yang sangat mendalam. Keempat, purposive rationality atau rationalitas instrumental, bentuk rasionalitas yang paling tinggi adalah unsur pertimbangan pilihan rasional yang berhubungan dengan tujuan (ends) tindakan itu dan alat yang dipilihnya (means). Sementara itu menurut Habermas, teknologi mempunyai korelasi signifikan terhadap rasionalitas instrumental. Teknologi dan rasionalitas instrumental dalam konteks ini dimaknai sebagai bentuk ideologi dari berbagai bidang yang membuat manusia mengalami ketidakbebasan. Herbert Marcuse (Francisco Budi Hardiman, 1993) mengatakan bahwa sebenarnya keberadaan ilmu pengetahuan dan
46
teknologi bisa membebaskan manusia dari tuntutan kerja keras yang menjadi sistem penguasaan yang total di dalam masyarakat. Keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat industri yang telah memproduksi konsumsi secara berlebihan diharapkan bisa menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tetapi ternyata kebahagiaan dan kebebasan yang diidamkan oleh manusia tidak terwujud karena ternyata justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan teknologi yang mengabdi kepada manusia. Manusia dalam konteks ini, justru mengalami ketertindasan teknologi, Marcuse menyebutnya ‘desublimasi represif” (ditindas tapi merasa nikmat dan puas ). Perkembangan teknologi dan informasi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah ekonomi periode ketiga, yaitu globalisasi. Globalisasi sebagai salah satu bagian dari sejarah dominasi ekonomi di dunia semakin menunjukkan eksistensinya. Istilah globalisasi pertama kali dikemukakan bulan Nopember 1992 di majalah Criminal Politics Magazine terbitan Amerika di bawah rubrik Globalology. Majalah tersebut mempublikasikan sebuah artikel berjudul The Carrol Quigley-Clinton Connectio. Dalam tulisan tersebut menyebutkan bahwa Profesor Quigley pernah mengizinkan Clinton untuk mempelajari kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan pemerintah Amerika hingga akhirnya Clinton berhasil menginisiasikan ide-ide ekonomi yang berhubungan dengan tata dunia baru. Globalisasi menurut kamus sosiologi didefinisikan sebagai berikut: “globalization is the integration of economic activities by units of private capital on world scale. Globalization is a key element of post Fordims and resides in the ability of the multinational company or corporation to harmonize , integrate and make its
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 production flexible. This ability has been enormously enhanced by the new technologies of communication and robotics. Final products can be assembled from many individual units, made in a large number of demand and to fulfill individual units, made in a large number of different countries and can be flexibly produced to meet changing demand and to fill individualized market niches. Production thus becomes spatially structured with multinationals organizing activity internationally in order to take advantage of different wage to compete with each other and to develop coherent global strategies of accumulation.” Globalisasi menurut Heru Nugroho Heru Nugroho (2001) didefinisikan sebagai proses kebudayaan di mana ada kecenderungan wilayah-wilayah di dunia baik secara geografis maupun fisik menjadi seragam dalam format sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam kehidupan sosial proses global telah menciptakan egalitarianisme, di bidang budaya telah menciptakan internalisasi budaya, di bidang ekonomi telah menciptakan dependensi dalam proses produksi dan pemasaran sementara di bidang politik menciptakan liberalisasi. Nugroho mengatakan bahwa hal yang paling terlihat dalam era global adalah meningkatnya integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia baik antar negara maju, berkembang dan kedua. Globalisasi ditandai dengan adanya ekspansi pasar yang konkretnya bisa dilihat dalam penyelenggaraan pasar-pasar regional seperti AFTA, NAFTA, APEC, dan sebagainya. Ini merupakan ekspansi hubungan dagang serta formasi wilayah pasar terpadu. Lebih lanjut Nugroho menjelaskan bahwa proses perluasan pasar di seluruh wilayah penjuru
dunia merupakan sebuah rekayasa sosial dengan skala luas yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dengan menggunakan berbagai instrumen seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi sosial, politik, dan kebudayaan. Globalisasi dalam hal ini bisa dipahami sebagai hegemoni ekonomi negaranegara maju atau kaya dengan kepanjangan tangan negara-negara satelit di seluruh dunia. Menurut Wahono, untuk mendukung kebenarannya, secara politis globalisasi didukung oleh pasar bebas yang mana modal atau kapital, tenaga kerja dan komoditas bergerak tanpa kendala fiskal antara satu negara ke negara lain. Adanya perkembangan teknologi informasi sebenarnya justru semakin melanggengkan status quo globalisasi. Masyarakat dunia sudah tidak tersekatsekat secara fisik karena sudah terjembatani oleh media internet baik melalui jejaring sosial Facebook, Twitter, website, ataupun blog. Menurut data Badan Telekomunikasi PBB yang disampaikan oleh Hamadoun Toure, jumlah pengguna internet di dunia pada tahun 2011 telah mencapai kurang lebih 2 milyar pengguna. Sekretaris Jendral Telekomunikasi Internasional PBB Union (ITU) mengatakan, jumlah pelanggan ponsel pun telah mencapai batas simbolik lima miliar. “Pada awal 2000 hanya ada 500 juta pelanggan mobile secara global dan 250 juta pengguna internet. Pada awal 2011, jumlah ini mencapai lebih dari lima miliar pengguna ponsel dan dua miliar ke internet. Berdasarkan riset TNS, remaja di dunia menghabiskan uang US$ 750 miliar untuk belanja suatu produk. Di Asia Pasifik, uang yang dikeluarkan sekitar US$ 54 miliar, sedangkan di Indonesia, remaja
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
47
Jurnal Sosiologi
DILEMA
berbelanja secara keseluruhan US$ 7 miliar per tahun. Dalam kegiatan bisnispun semakin efektif dan efisien dengan pendayagunaan internet. Bahkan dalam perpolitikkan pun, isu-isu baik yang berskala internasional, nasional bahkan reginonal akan cepat diakses, misal revolusi di Mesir tahun 2011. Dalam dimensi sosial budaya pun juga demikian, kiblat life style (gaya hidup) dan nilai dari arus global pun bisa direspon secara cepat. Misal life style gaya selebritis dunia akan menjadikan ‘rule of mode’ bagi fans (penggemar)-nya. C. Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Indonesia Melihat perkembangan teknologi yang semakin canggih di era sekarang ini, bisa menjustifikasi bahwa keberadaan dan peran teknologi informasi telah memberikan kontribusi yang nyata dalam seluruh proses globalisasi. Diseminasi informasi dan teknologi pun telah meluas tidak hanya di perkotaan saja, tetapi juga sampai pelosok pedesaan. Dalam kehidupan sehari- hari kita bisa mengamati , bagaimana masyarakat Indonesia itu sebenarnya sudah bisa dikategorikan dalam masyarakat informasi (information society). Saat ini, kita bisa dengan mudah mengakses produk informasi dan teknologi dari radio, televisi hingga internet, handphone, I Phone, Blackberry, Ipad, dan Tablet. Perubahan informasi yang kita terima pun juga cepat mengalami perubahan, tidak harus menunggu seminggu atau berhari-hari. Misal, informasi tentang Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka. Menurut Yanuar Nugroho eksistensi teknologi informasi yang sedemikan cepat
48
telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang lambat dan mengandalkan interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang serba cepat dan mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global. Di sinilah menurut Nugroho, keberadaan dan peran internet telah memberikan kontribusi dalam penyediaan informasi global. Berbicara mengenai pengguna Internet di Indonesia tahun 2011 mencapai 39,1 juta orang (rangking ke-8 di dunia). Dari 39,1 juta tersebut, ada 24.195.080 orang (61.88%) mengakses internet melalui telepon genggam (handphone). Untuk di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama. Negara-negara lainnya, seperti Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia, semua pengguna internetnya mayoritas mengakses melalui perangkat bukan ponsel. Kondisi seperti ini bagi para pebisnis di tingkat global menjadikan Indonesia sebagai negara yang prospektif untuk menjual produk-produk gadget seperti telepon genggam. Global Technology Director TNS, James Fergusson, berdasarkan riset TNS kepada 1500 responden di 8 kota besar di Indonesia dengan rasio umur 16 sampai 60 tahun, diperoleh data bahwa 86% responden Indonesia mengakses internet. Sayangnya, hanya 14% diantara mereka yang mengakses internet tidak setiap hari. James Fergusson lebih lanjut menyatakan bahwa sekitar 30% responden berinteraksi dengan produk / brand, secara tidak langsung, via jejaring sosial. Rata-rata responden ‘terikat’ dengan 7 merek dagang di jejaring sosial. “Facebook dan Twitter membantu pelaku bisnis menentukan target pasar dan konsep pemasaran. Dalam konteks ini, remaja bisa menjadi target potensial untuk ‘dimanfaatkan’ oleh para pebisnis dalam bidang gadget ini. Fenomena ini jika menurut Karl Marx, Indonesia sudah menjadi sasaran dari
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 produk kapitalis. Kalau Indonesia hanya menjadi negara konsumen, maka akan sulit bagi Indonesia untuk melepaskan ketergantungan dari produk teknologi yang datang dari Negara-negara maju seperti Amerika, Cina,Korea. Menurut Agoeng Noegroho, pengguna Internet di Indonesia 64 % adalah remaja dan 36 % yang lainnya. Noegroho menjelaskan bahwa Untuk penggunaan internet di Indonesia, ada sekitar 58 % untuk mengakses jejaring sosial, yang mengakses mesin Google atau Yahoo ada sekitar 56 %, sementara untuk mengakases berita on line ada 47 %, menulis di blog ada sekitar 36 %, game on line ada sekitar 35 %. Sementara itu menurut Yanuar Nugroho, penggunaan internet untuk pengguna Facebook di Indonesia tahun 2011 ada sekitar 35.482.400 orang. Ini setara dengan penduduk di Kanada. Sementara itu
untuk pengguna Twitter ada sekitar 4.883.228 orang. Ini setara dengan penduduk Singapura. Dari data tersebut di atas dapat dibaca ada sekitar 17 % dari 230 juta penduduk Indonesia yang sudah cukup familiar menggunakan internet. Pengguna internet di Indonesia yang mayoritas terdiri dari usia remaja ini perlu dikritisi. Apakah penggunaan internet oleh remaja sudah sesuai dengan usianya atau belum. Hal ini mengingat adanya fenomena merebaknya situs porno melalui internet yang bisa diakses secara leluasa oleh remaja. Kalau hal ini terjadi tentu saja akan berpengaruh sekali terhadap pembentukan karakter moralitas remaja Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Agoeng Noegroho, ada beberapa kasus pornografi yang melibatkan para remaja Indonesia seperti kasus berikut:
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
49
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Selain itu jika secara khusus berbicara tentang dampak negatif dari penggunaan Facebook terkait dengan perilaku seksual remaja dapat dilihat pada kasus berikut ini Ratih Dwi K (2010) :
50
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011 Adanya fenomena ini tidak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi dan Informasi yang semakin canggih. Usia remaja yang merupakan usia pencarian jati diri, merupakan usia yang rentan terhadap masuknya nilai-nilai baru yang ada. Keberadaan internet di era remaja sekarang menjadi tuntutan gaya hidup remaja. Remaja akan sangat mudah meniru dengan apa yang mereka lihat dan baca dari internet. Referensi dari internet diterima secara utuh tanpa ada filter dari remaja. Kemajuan teknologi dan informasi yang serba pesat ini, menjadikan remaja tumbuh menjadi remaja yang instant dan permissive. Aturan atau norma-norma sosial yang berlaku baik di lingkungan agama dan sosial kemasyarakatkan dilanggar tanpa ada rasa bersalah. Fenomena seperti ini tentu saja menghkawatirkan masa depan bangsa Indonesia kalau dibiarkan tanpa ada regulasi atau kebijakan yang ketat terhadap akses situs-situs porno di internet. Namun demikian tidak bisa dinafikkan bahwa di sisi lain ada dampak positif akibat penggunaan internet, baik melalui penggunaan Facebook dan Twitter yang mendorong proses transformasi yang ada di masyarakat Indonesia. Sebagai contoh adalah penggunaan Facebook untuk mendukung pembebasan Prita Mulyasari, penggalangan dana untuk pengobatan Balqis, penggalangan dana dan bantuan untuk korban bencana letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (melalui @jalin Merapi), penggalangan dana dan bantuan untuk korban banjir Banjir di Wasior, penggalangan dana dan bantuan untuk tsunami di Mentawai, penggalangan dukungan untuk menjadikan Komodo salah satu keajaiban dunia, dan sebagainya. Keberadaan internet secara umum juga berkontribusi dalam menciptakan konsep perdagangan elektronik (e-Commerce) di Indonesia. E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 . Pada saat
pertama kali banner-elektronic dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman web (website). Electronic commerce (e-commerce) dapat didefinisikan sebagai kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services provider dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer yaitu internet. Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (Supply Chain Management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran on line (online marketing), pemrosesan transaksi on line (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dan lain-lain. Keberadaan e-Commerce tentu saja akan sangat bermanfaat untuk melancarkan kegiatan bisnis seseorang atau kelompok bahkan masyarakat. Di Indonesia, sudah banyak masyarakat yang memfaatkan e-commerce untuk mempromosikan produknya dan bertransaksi melalui internet. Di era globalisasi keberadaan ecommerce menjadi sebuah ke niscayaan bagi para pebisnis, baik untuk skala mikro, menengah atau makro. Melalui e-commerce transakaski jual beli pun bisa berjalan secara efektif, meskipun antara penjual dan pembeli (konsumen) tidak bertemu langsung (face to face). Kemajuan teknologi dan informasi model seperti ini telah mengintegrasikan manusia di dunia untuk mengakses kebutuhan yang diinginkannya. Produk teknologi dan informasi modern seperti ini memungkinkan kerjasama yang luar biasa antar masyarakat, pelaku ekonomi dan negara. Menurut Yanuar Nugroho kondisi ini sebenarnya menjadi sebuah sebuah paradoks, karena
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
51
Jurnal Sosiologi
DILEMA
ekonomi global makin membesar, maka negara-negara yang mengambil peran akan semakin mengecil. Tanpa teknologi dan informasi, informasi tidak ada, dan tanpa informasi maka semua kegiatan akan berhenti. Globalisasi, dalam hal ini adanya teknologi dan informasi menjadi sebuah keniscayaan. Keberadaan teknologi informasi di era globalisasi ini, harus disikapi secara bijak agar kita tidak diperbudak oleh teknologi informasi. Mengutip yang disampaikan oleh Herbert Mercuse, jangan sampai keberadaan teknologi informasi menjadikan kita tertindas. Justru, kita yang yang harus menguasai teknologi informasi. D. Penutup Era globalisasi menuntut banyak perubahan dalam skenario besar (global), baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Konsekuensi logis dari hal ini tentu saja menimbulkan banyak tantangan bagi negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Siap tidak siap, Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga telah masuk dalam skenario tatanan baru ini. Proses globalisasi yang telah berlangsung tidak bisa dihindari dan dihentikan, tetapi proses globalisasi tersebut akan terus berjalan. Oleh karena itu, adanya proses globalisasi harus disikapi secara bijak dan kritis, baik sebagai tantatangan maupun sebagai peluang.
52
Dari apa yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan teknologi informasi di satu sisi dianggap sebagai alat (means) yang menawarkan kemudahan dan pada gilirannya memberikan kemakmuran, namun di sisi lain karena kemampuannya memberikan kemakmuran teknologi menjadi tujuan (end) masyarakat agar dapat memilikinya. Hubungan antara means dan ends ini menjadi pangkal dari fenomena sosial yang muncul dalam perkembangan teknologi. Sebagai means, teknologi hanyalah barang mati yang manusia yang mengendalikannya. Dalam hubungannya sebagai ends, tak dapat dihindarkan bahwa teknologi tertentu menjadi dambaan individu, masyarakat atau bahkan negara untuk memilikinya dan atau berhasil menguasainya. Keberadaan dan peran teknologi dan Informasi terbukti menjadi salah satu faktor pengubah tatanan sosial. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh pemanfaatan teknologi dan Informasi terjadi di lingkungan ekonomi, bisnis, politik, pemerintahan, dan terutama dalam pergaulan antar anggota masyarakat. Dalam konteks ini sangat jelas bahwa teknologi dan informasi bagi masyarakat Indonesia, khususnya oleh Amartya Sen, teknologi harus berpihak dan mengabdi pada manusia. Wallahu’alam bisshowab!
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26 No. 1 Tahun 2011
Daftar Pustaka Guntarto, B. 2011. Risk and opportunity Among Indonesian Teens Using Social Media: the Need of New Media Literacy. Proceeding International Conference: Social Media Cultures H.B, Abdul. Teguh P. 2006. Bisnis e-Commerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hardiman, Francisco Budi. 1993. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisisus Jary,David. Julia Jary. 1992. CollinsDictionary of Sociology. Harper Collins Publisher. Noegroho, Agoeng. 2011 . Adolescent Reproductive Health Counseling Through the Internet Media: Ocstacle or Change. Proceeding International Conference. Social Media Cultures Nugroho, Heru. 2001 . Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: ____________ Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indoensia. Yogjakarta: Tiara Wacana Stiglitz , Joseph E. 2007. Making Globalization Work. Bandung: Mizan Wahono, Francis. 2001. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati Yogyakarta: Cindelaras Sumber Lain Nugroho , Yanuar dalam http://audentis.wordpress.com/2000/12/25/globalisasi-teknologiinformasi-dan-perubahan-sosial/ Vivanews.com on edutechnolife.com http://spektrumdunia.blogspot.com/2011/02/pengguna-internet-di-dunia-padatahun.html diakses tgl 15 des 2011 http://swa.co.id/2011/05/pengguna-internet-indonesia-membludak-di-2011/ diakses tgl 15 desember 2011
Sulistyaningsih “Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial di Era Globalisasi”
53
Jurnal Sosiologi
54
DILEMA
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PETERNAKAN BERSINERGI
Sri Hilmi Pujihartati Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract This research located in Dukuh Winong, Krakitan, Bayat, Klaten District. This area is one of the egg-producing and chicken farming in Krakitan village. This area had chicken population 65,000 and has become the center of the chicken farms since 1988. Synergy-chicken farm is a system which built by mutualistic-networking with the production aspects and these networks moved by the people around this chicken farm in Krakitan village. Synergy-chicken farm is a way out of some problems: the denial people around the farm. After the synergy-chicken farm was built, it could reduce the conflict between the farm-side and the resident around the farm. This farm was held with the resident around it in the production process. The production process were: cage making, the maintenance of chicken, supplying the chicken feeds, and the marketing the product, such as eggs and chicken meat as the main product and the natural fertilizer as the additional product from this synergy-chicken farm.
Keywords: Synergy-chicken farm, people empowerment A. Pendahuluan Pembangunan desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak Indonesia mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan desa seringkali mengalami perubahan. Hal ini memanifestasikan, bukan hanya proses pencarian strategi pembangunan desa yang dipandang paling efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang dianut dalam kurun waktu tertentu. Pada awal kemerdekaan kita kenal “Rencana Kesejahteraan Kasimo”, seringkali diartikan sebagai pembangunan pertanian dicanangkan pada tahun 1952 yang
berorientasi pada peningkatan produksi pangan. Tetapi pada akhirnya karena kekurangan biaya dan keahlian maka rencana Kasimo ini tidak mencapai hasil yang maksimal sebagaimana yang diharap-kan. Di sekitar tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa ini makin meningkat seperti didirikannya departemen yang membidangi pembangunan desa yaitu Departemen Transkopemada (Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Desa). Titik tekanannya adalah pada pembentukan kader-kader pembangunan masyarakat desa yang sektor pertanian untuk meningkatkan pedesaan
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
55
Jurnal Sosiologi
DILEMA
diharapkan akan menopang tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Pembangunan desa pada waktu itu dilaksanakan berdasar REPELITA 1956 1960. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya dan karenanya istilah yang digunakan adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Pembangunan masyarakat desa didasarkan pada 3 azas: 1. Pembangunan integral yaitu pembangunan yang seimbang dari semua segi masyarakat desa (pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya) sehingga pembangunan tidak berat sebelah. 2. Azas Kekuatan sendiri yaitu bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan diri sendiri. 3. Azas pemufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota masyarakat desa yang bersang-kutan. Kemudian kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi bangsa dan negara Indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi dan stabilisasi kehidupan ekonomi segera dilaksanakan dimana pembangunan nasional selanjutnya akan bertumpu. Karenanya, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah orde baru kecuali mengacu pada paradigma pertumbuhan di dalam melaksanakan pembangunan nasional. Paradigma pembangunan nasional pada tingkat makro ditinjau dari kondisi per-tanian pada waktu itu merupakan sasaran yang amat tinggi segera menuntut wahana struktural untuk mencapainya.
56
Kapitalisasi sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan pasaran internasional dilaksanakan melalui Bim-bingan Massal (Bimas) yang pada hakekat-nya merupakan top-down birokrasi yang berorientasi pada target. Pendekatan yang demikian memang menimbulkan keter-gantungan desa pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya secara tradisional merupakan fungsi desa, seperti pemeli-haraan saluran tertier, pengelolaan lumbung desa, dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui intervensi pemerintah. Sementara itu strategi baru dengan membedakan tiga tingkat perkembangan desa, yaitu desa tradisional (swadaya), desa transisional (swakarya) dan desa modern (swasembada). Tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan desa jenjang tipologi desa ini, diletakkan suatu mekanisme yang dikenal dengan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). UDKP ini adalah suatu sistem yang mempercepat tercapainya desa swasembada dengan mengembangkan desa-desa di wilayah kecamatan secara menyeluruh dan terkoordinasi, dimana pembinaannya manunggal dalam fungsi dan tanggung jawab camat sebagai kepala wilayah berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 (Tjokrowinoto, 2001: 34 – 39). Sementara itu pembangunan yang berdimensi makro menurut Isbandi (2008: 372) adalah adanya kesenjangan antara desa kota yang menjadi penyebab utama terciptanya migrasi desa kota yang tak terkendali. Istilah desa menggambarkan lokasi berdasarkan struktur pemerintahan daerah, dimana dikenal istilah desa dikenal sebagai daerah yang minus dan kota sebagai daerah yang surplus. Sedangkan istilah kota adalah daerah yang lebih berkembang dari desa dan menjadi rujukan bagi masyarakat desa dalam hal gaya hidup maupun upaya untuk mencari mata pencaharian yang lebih baik.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 yang seharusnya difokuskan untuk pembangunan daerah pedesaan justru mengalir ke kota-kota besar dimana mereka sebagian besar belum dapat ber-kompetisi dengan angkatan kerja yang mendapat pendidikan di kota tersebut. Hal ini menyebabkan mereka seringkali belum dapat memasuki alur utama dunia pekerjaan sehingga tenaga kerja dari daerah pedesaan yang belum mempunyai ketrampilan yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja lebih sering masuk ke sektor informal, ataupun terlempar ke jalan, seperti menjadi pengasong ataupun pengemis. Kesenjangan seperti itu membuat masyarakat di daerah lingkar luar pembangunan yakni daerah pedesaan menjadi semakin miskin, sedangkan mereka yang mempunyai akses terhadap pembangunan (aspek ekonomi dan kekuasaan) menjadi semakin kuat. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana sebuah desa dapat memberdayakan masyarakatnya dalam mendukung kehidupan bersama salah satunya di Desa Winong, Desa Krakitan, Kabupaten Klaten yang mendirikan usaha peternakan yang bersinergi dengan masyarakat sekitarnya. B. Tinjauan Pustaka 1. Partisipasi Menurut Moeljarto Tjokroawinoto, partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang didalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk menyumbangkan pikiran, ide, dan perasaan yang terciptanya tujuan bersama-sama bertanggung jawab terhadap tujuan tertentu (Tjokrowinoto, 1978: 29). Partisipasi masyarakat seringkali dianggap sebagai bagian yang tidak terlepas dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Mikkelsen melihat bahwa konsep partisipasi telah menjadi bagian
dari debat yang berkepanjangan antara lain terkait landasan teoritis dan dengan kemungkinan untuk diterapkannya yang terkait dengan berbagai program pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah. Pengertian partisipasi menurut Mikkelsen kadangkala lebih merupakan kata-kata popular sering digunakan dan belum bermakna sebagai partisipasi yang sesungguhnya. Partisipasi yang sesungguhnya menurut Mikkelsen berasal dari masyarakat dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri, ia adalah tujuan dalam suatu proses demokrasi (Adi, 2008: 108). Oleh karena itu Mikkelsen mengutip dari Chambers melihat istilah partisipasi seringkali digunakan dalam 3 bentuk berikut : a. Partisipasi digunakan sebagai label kosmetik. Sebagai label kosmetik kata partisipasi seringkali digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehingga lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek-proyek tersebut. b. Partisipasi digunakan untuk menggambarkan praktek mengkooptasi. Dalam hal ini, partisipasi antara lain digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokaldan mengurangi pembiayaan proyek. Misalnya komunitas memberikan sumbangan waktu, dana, tenaga, dan materiil untuk menyukseskan suatuproyek yang dibantu oleh pihak luar. c. Partisipasi digunakan untuk menggambarkan proses pemberdayaan (empopwering process). Dalam hal ini partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
57
Jurnal Sosiologi
DILEMA
untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mendapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih. Berdasar uraian di atas, menurut Mikkelsen bahwa partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini pada dasarnya adalah adanya keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah, pengidentifikasian potensi yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan solusi alternatif penanganan masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan juga keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan (misalnya pihak lembaga pemerintah, LSM, dan sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi lebih dependent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan semakin meningkat (Adi, 2008: 111). 2. Pemberdayaan Dalam kaitan dengan konsep pemberdayaan masyarakat banyak pakar yang membahas hal ini, antara lain Payne yang mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan pada intinya ditujukan pada: membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan
58
menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungan (dalam Adi, 2008: 78). Dalam kesimpulannya Shardlow menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan gagasan Biestek yang dikenal dengan di bidang ilmu Kesejahteraan Sosial dengan nama self determination. Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya. Sementara itu tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal misalnya persepsi mereka sendiri maupun karena kondisi eksternal misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil. Beberapa kelompok lemah meliputi : a. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis. b. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, serta masyarakat terasing. c. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan atau keluarga. Menurut Berger, Nenhaus dan Nisbet, struktur-struktur penghubung yang
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat beperan sebagai struktur penghubung antara masyarakat lemah dan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembagalembaga keagamaan (misal masjid dan gereja) dan lembaga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, juga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat (Suharto, 2009: 61). Menurut Kieffer ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. Konsep pentidakberdayaan ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinankemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, para penerima bantuan social keluarga merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentuk-bentuk. Solomon melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari fakktor internal dan
eksternal. Menurutnya ketidakberdadyaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif, interaksi negatif dengan lingkugan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar. a. Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat. b. Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh wanita atau kelom-pok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi social dimana mereka berada. c. Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
59
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Seperti dikatakan oleh Soetomo (2011: 68) bahwa apabila sebelumnya kepentingan masyarakat diabdikan untuk peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi, maka perspektif alternatif produktifitas justru diabdikan untuk kepentingan masyarakat. Apabila semula mengutamakan sentralisasi, dalam perspektif baru lebih bersifat desentralisasi. Apabila sebelumnya menempatkan masyarakat sebagai obyek, dalam perspektif baru masyarakat ditempatkan sebagai subyek, dengan demikian perlu selalu ada peningkatan kapasitas agar dapat menjalankan fungsi sebagai aktor pembangunan tersebut. Apabila dalam pendekatan yang bersifat top-down berlaku sistem komando dan instruksi, maka dalam pendekatan baru lebih mengutamakan proses belajar sosial. Apabila dalam pendekatan lama menimbulkan ketergantugan terhadap program dari atas, dalam perspektif baru mendorong terwujudnya keberlanjutan kegiaitan pembangunan yang berorientasi kemandirian. Apabila sebelumnya didasarkan penilaian yang terlalu under estimate terhadap kemampuan masyarakat, perspektif baru memberikan pengakuan terhadap kemampuan masyarakat termasuk pengakuan terhadap kearifan lokal. Apabila dalam pandangan sebelumnya hubungan antara masyarakat dengan pihak eksternal khususnya negara bersifat vertikal, dengan perspektif baru hubungannya menjadi bersifat horizontal dalam bentuk kemitraan. Posisi masyarakat yang maginal dan powerless dibuat menjadi lebih berdaya. Dengan demikian pendekatan yang digunakan disebut sebagai pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya pokok pikiran dari teori pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) yang dalam implementasinya dijabarkan ke dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pendekatan yang mem-berikan kesempatan, wewenang yang
60
lebih besar kepada masyarakat terutama masya-rakat lokal untuk mengelola proses pem-bangunannya. Kewenangan tersebut meli-puti keseluruhan proses pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menarik manfaat hasil pembangunan. Disamping akses dan kontrol terhadap pengambilan keputusan tersebut, masyarakat lokal juga lebih memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya. Unsur utama dari proses pemberdayaan masyarakat adalah pemberian wewenang dan pengembangan kapasitas masyarakat. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena apabila masyarakat telah memperoleh kewenangan tetapi tidak atau belum mempunyai kapasitas untuk menjalankan kewenangan tersebut maka hasilnya juga tida optimal. Masyarakat berada pada posisi marginal disebabkan karena kurang memiliki kedua unsur tadi, kewenangan dan kapasitas. Kondisi tersebut sering juga disebut masyarakat kurang budaya atau powerless, sehingga tidak mempunyai peluang untuk mengatur masa depannya sendiri. Hal itulah yang dianggap sebagai penyebab utama kondisi kehidupannya tidak sejahtera. Maka peningkatan kesejahteraan melalui pemberdayaan tidak selalu harus membuat dikotomi antar komponen dalam masyarakat. Dalam hal ini pemangku kepentingan untuk kesejahteraan masyarakat dapat berasal dari unsur negara, masyarakat maupun dunia usaha. Masing-masing sesuai karakterisktiknya dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian pendekatan yang digunakan adalah pendekatan holistik dan integratif. Dalam pendekatan holistik tersebut dapat diusahakan sinergi antara keggiatan berbagai aktor yang meliputi negara, masyarakat dan swasta. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan merupakan kombinasi dan sinergi antara statist,
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 interprise dan populist paradigm (Hall dan Midgley dalam Soetomo, 2011: 93). C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dukuh Winong, Desa Krakitan, Kecamatan bayat, Kabupaten Klaten. Dalam penelitian ini akan mengkaji tentang proses pemberdayaan masyarakat melalui sistem peternakan bersinergi di dukuh tersebut. Karena di dukuh ini terdapat sentra peternakan rakyatdengan jumlah populasi binatang ternak berada di bawah 30.000 ekor setiap orangnya. 2. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini tentu berhubungan dengan berbagai pihak. Data itu dibagi dua : a. Data primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama (responden) yaitu dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah keluarga yang terlibat langsung dalam pengelolaan peternakan, anggota keluarga yang juga terlibat dalam mengolah limbah peternakan yakni hasil dari penjualan pupuk kandang, keluarga yang terlibat dalam pembuatan kandang, dan juga orang yang terlibat dalam pemasaran hasil produksi peternakan baik berupa telur dan daging. b. Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu dari buku karya ilmiah, hasil browsing, makalah, serta arsip dan dokumentasi resmi. 3. Teknik Pengambilan Sampel a. Populasi dan sampel Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah warga Dukuh Winong Desa Krakitan, Kecamatan
Bayat, Kabupaten Klaten. Sedangkan yang menjadi sampel adalah sebagian warga yang menjadi pelaku usaha peternakan ayam dan warga yang mendukung jalannya usaha peternakan seperti pekerja yang memmbuat kandang, dan pelaku usaha yang mengambil limbah ternak. b. Teknik sampling Dalam penelitian ini menggunakan tehnik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan-tujuan tertentu saja. Sampel ditentukan berdasarkan pada ciriciri tertentu yang dianggap mempunyai hubungan erat dengan populasi. Peneliti dengan sengaja menentukan anggota sampelnya berdasarkan kemampuannya dan pengetahuannya tentang keadaan popukasi. Pengertian sengaja disini adalah bahwa peneliti telah menentukan informan dengan anggapan/ pendapatnya sendiri sebagai sampel penelitiannya dan peneliti mengetahui persis siapa yang akan dipilih sebagai sampel. 4. Teknik Analisis Data Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang subyek penelitian, maka digunakan teknik analisis interaktif. Data-data yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan (Miles dan Huberman, 1992) yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
61
Jurnal Sosiologi
DILEMA
D. Hasil dan Pembahasan Winong secara admiinistratif terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Jarak dukuh Winong dari pusat Pemerintah Desa Krakitan sejauh 200 meter, sedangkan jarak dukuh Winong dengan pusat Pemerintah Kecamatan Bayat 3 km, dan dengan kabupaten Klaten sejauh 8 km. Dukuh Winong menjadi sentra peternakan ayam di wilayah Kabupaten Klaten sejak tahun 1988. Jenis peternakan yang diusahakan oleh para peternak di Dukuh Winong termasuk dalam peternakan rakyat karena jumlah populasi binatang ternak di bawah 30.000 ekor setiap orangnya. Jumlah populasi ayam saat ini yang ada di Dukuh Winong sebanyak 65.000 ekor dan diusahakan oleh 18 pengusaha. Jumlah populasi ayam petelur di Dukuh Winong yang lumayan besar telah mampu menyerap banyak tenaga kerja berikut ini adalah tabel serapan tenaga kerja di bidang peternakan di Dukuh Winong.
Tabel 2 Serapan Tenaga Kerja di Bidang Peternakan di Dukuh Winong
62
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa peternakan ayam petelur di Dukuh Winong mampu menyerap banyak tenaga kerja yang impact ke depannya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakatnya. Peternakan ayam adalah sebuah industri peternakan khusunya ayam (unggas) yang diternakan secara intensif untuk mendapatkan hasil dari produksi peternakan. Peternakan ayam ada bermacam ragamnya ada peternakan ayam pedaging, peternakan ayam petelur dan peternakan ayam hias. Pada penelitian ini akan di bahas tentang peternakan ayam petelur yang mampu menjadi ajang pemberdayaan bagi masyarakat di Dukuh Winong, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten klaten. Peternakan ayam bersinergi adalah sistem peternakan ayam yang saling berjaringan secara mutualisme terhadap segi-segi produksi dan jaringan itu digerakan oleh masyarakat sekitar. Peternakan bersinergi ini adalah jalan keluar atas adanya beberapa penolakan-penolakan warga sekitar peternakan terhadap adanya usaha peternakan yang ada di wilayahnya. Setelah ada peternakan bersinergi ini telah mampu meredam adanya konflik-konflik antara warga sekitar dengan peternakan. Peternakan bersinergi ini berjalan dengan cara mengikutsertakan warga sekitar dalam proses produksi dalam peternakan itu. Proses produksinya antara lain dalam pembuatan kandang, dalam pemeliharaan ayam, penyediaan bahan pakan ayam dan dalam pemasaran hasil produksi peternakan baik hasil utama (telur dan daging) maupun hasil tambahan (pupuk kandang). Hampir semua warga di sekitar peternakan selalu dilibatkan dalam proses-proses tersebut sehingga warga sekitar merasa memiliki terhadap peternakan tersebut sehingga hal ini bisa meredam konflik yang muncul antara peternakan dengan warga sekitar. Sistem peternakan di Dukuh Winong ini mulai digunakan sejak tahun
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 1998, berarti sampai saat ini sistem peternakan ini sudah dipakai selama hampi 12 tahun di Dukuh Winong, Desa Krakitan. Sejak itu pula sistem ini telah mampu meredam konflik antara peternakan dengan warga sekitar dan site ini pula telah mampu memberdayakan warga sekitar sehingga taraf kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Sebelum adanya penerapan sistem peternakan bersinergi ini kondisi perekonomian di Dukuh Winong masih rendah, pada tahun 1999 ditemukan adanya anak putus sekolah sebanyak 3 orang di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sejak tahun 2000 sampai sekarang sudah tidak ada lagi anak putus sekolah. Pada tahun tahun sebelum 1998 terdapat banyak anak muda yang setelah lulus SMA hanya menganggur tidak mendapat pekerjaan dan tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan kuliah, tetapi sekarang pengangguran di Dukuh Winong tidak ada lagi karena warga yang tidak mempunyai pekerjaan bisa terserap dalam usaha peternakan ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bp. Drs. H
.Edy Racmanto selaku tokoh masyarakat di Dukuh Winong Desa Krakitan, “dulu anak muda disini banyak yang nganggur tidak punya pekerjaan tapi sekarang yang menganggur bisa bekerja dipeternakan jadi tidak ada pengangguran lagi”. Selain bisa mengurangi tingginya angka pengangguran di Dukuh Winong, sistem peternakan bersinergi ini juga mampu berimbas secara positif dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga. Pendapatan ratarata sebelum ada peternakan bersinergi ini adalah sekitar 15.000/hari tetapi setelah ada peternakan bersinergi ini rata-rata pendapatan warga yang tergabung dalam peternakan bersinergi ini mencapai Rp. 40.000-Rp50.000/ hari. Dengan dasar ini dapat disimpulkan kalau peternakan bersinergi ini telah mampu meningkatkan taraf hidup warga. Berikut ini akan disajikan matriks perubahan yang terjadi sebelum dan setelah ada penerapan sistem peternakan bersinergi di Dukuh Winong, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Tabel 2 Matriks Perubahan Kondisi Warga dan Lingkungan Dukuh Winong Setelah Penerapan Sistem Peternakan Bersinergi di Dukuh Winong
No. 1.
Bidang Penerimaan warga terhadap keberadaan peternakan
Sebelum Ada beberapa warga yang menolak keberadaan peternakan.
2.
Ketenagakerjaan
3.
Kesejahteraan warga
4.
Sarana prasarana umum
Banyak pengangguran Rata rata pendapatan Rp.15.000 kurang terawat
5.
Pendidikan
Tidak ada TPA dan beasiswa
Sesudah Warga menerima keberadaan peternakan di Dukuh Winong dan lebih kooperatif dengan peternakan. Pengangguran terserap dalam peternakan. Rata rata pendapatan Rp. 40.000-Rp. 50.000 Ada perbaikan dan perawatan terhadap sarana dan prasarana umum Ada pembiayaan untuk TPA dan pemberian beasiswa untuk anak dari keluarga tidak mampu.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
63
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Peternakan bersinergi telah mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk tergabung dalam setiap tahapan produksi peternakan mulai dari pembuatan kandang, pemeliharaan ayam, penyediaan makanan ternak hingga dalam pemasaran hasil produksi. Setiap warga di sekitar peternakan diberi kesempatan untuk ikut tergabung dalam setiap tahapan produksi ini. Sehingga dengan cara seperti ini warga bisa mendapatkan pekerjaan dari adanya peternakan ayam di Dukuh Winong. Dalam tahapan produksi pembuatan kandang, warga yang mempunyai kemampuan dalam pertukangan kayu dan batu direkrut untuk menjadi tukang kandang. Warga sekitar yang bekerja menjadi tukang kandang di Dukuh Winong ada 6 orang, sebelum ada sistem peternakan bersinergi ini tukang kandang diambil dari daerah Gunung Kidul tapi setelah ada sisitem peternakan bersinergi ini tukang kandang diambil dari warga sekitar peternakan yang memiliki kemampuan dalam pertukangan kayu dan batu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bp. Sri Sumanto, “saya menjadi tukang kandang sejak 8 tahun lalu,sebelumnya saya bekerja jadi tukang kayu di Jakarta tapi kena PHK akhirnya pulang ke kampong ternyata alhamdulilah dirumah malah banyak yang menawarkan untuk menjadi tukang di kandang ayam ini”.
Upah yang diterima oleh para tukang kandang besaranya bervariasi mulai dari Rp.30.000-Rp.40.000, pelibatan warga sekitar untuk menjadi tukang kandang ini telah mampu menyerap pengangguran warga sekitar dan telah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peternakan bersinergi juga telah mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang bisa menyerap tenaga kerja di
64
lingkungan peternakan. Selain tukang kandang, bidang peternakan bersinergi yang paling banyak membuka lapangan pekerjaan adalah pemeliharaan ayam atau tenaga kerjanya sering disebut dengan kata “anak kandang”. Jumlah anak kandang yang ada di Dukuh Winong sebanyak 32 orang. Kebanyakan anak kandang ini berasal dari pemuda umur 25-35 tahun. Sebelumnya anak kandang di peternakan ini diambil dari wilayah Bayat dan Gunung Kidul, tetapi sekarang lebih banyak warga sekitar yang bekerja sebagai anak kandang. Rata-rata upah yang diterima oleh para anak kandang adalah Rp.25.000 dan sudah ada aturan meskipun tak tertulis di kampung ini, yaitu kotoran ayam yang dijadikan pupuk kandang ini menjadi milik para anak kandang dan dari penjualan kotoran ayam ini rata rata dalam sebulan anak kandang bisa memperoleh uang sekitar Rp.1.000.000. Peternakan bersinergi telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara menyerap tenaga kerja yang ada di wilayah sekitar peternakan. Anak kandang ini bekerja mulai pukul 06.00-15.00 WIB. Lapangan pekerjaan lain yang terbuka dalam sistem peternakan bersinergi adalah sebagai pedagang atau supplier makanan untuk ternak ayam, makanan ini bisa berupa konsentrat layer, jagung, bekatul dan obat-obatan. Jumlah populasi ternak yang besar di Dukuh Winong yang mencapai 65.000 ekor setiap harinya membutuhkan kurang lebih 1 ton konsentrat layer, 4 ton jagung kering dan 1 ton bekatul kualitas utama. Dari kondisi ini bisa membuka peluang kerja yang cukup besar yaitu sebagai supplier makanan ternak. Di Dukuh Winong terdapat 6 orang yang bekerja sebagai supplier jagung, 3 orang yang bekerja sebagai supplier konsentrat layer dan 3 orang yang bekerja sebagai supplier bekatul dan 1 orang yang bekerja sebagai supplier obat-obatan dan vaksinasi.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 Dalam penyediaan makan ini ternyata mampu membuka lapangan pekerjaan sebanyak 9 orang, belum lagi para petani yang menanam jagung menjadi lebih mudah dalam menjual hasil panenya. Peternakan bersinergi juga telah mampu membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitar peternakan untuk menjadi pedagang telur. Jumlah warga yang menajdi pedagang telur sebanyak 17 orang yang sebagian besar adalah para ibu rumah tangga. Para pedagang telur mengambil telur dipertenakan untuk dijual ke toko atau di pasar, biasanya telur diambil pada siang hari dan sorenya baru dibayar. Pemasaran telur di Dukuh Winong saat ini hanya bisa mencukupi kebutuhan lokal ditingkat Kabupaten Klaten saja, itupun masih kurang dalam memenuhi permintaan pasar. Para ibu rumah tangga yang dulunya hanya menganggur di rumah, kini bisa lebih diberdayakan untuk menjadi pedagang telur dan bisa menambah pendapatan keluarga hal ini seperti diungkapkan oleh bu Listyani, “sebelumnya saya ini hanya ibu rumah tangga biasa,sehari hari tidak ada pekerjaan,akhirnya saya ikut jualan telur ternyata hasilnya lumayan bisa untuk tambahan pendapatan dan untuk ditabung”.
Peternakan ayam petelur selain memproduksi telur juga menghasilkan barang bernilai ekonomis yang sebenarnya itu adalah residu tau limbah dari peternakan ayam, hasil itu adalah kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk kandang. Ada 3 warga yang menjadi pedagang kotoran ayam untuk dijual ke Temanggung dan Boyolali. Untuk ayam-ayam yang sudah menurun produksinya maka akan memasuki masa afkir, pada masa itu ayam akan dijual sebagai ayam potong hidup.
E. Kesimpulan Pada daerah ini ternyata desa dengan hasil utama adalah hasil dari peternakan mampu menjadi ajang pemberdayaan bagi masyarakat. Sistem peternakan bersinergi adalah peternakan ayam yang saling berjaringan secara mutualisme terhadap segisegi produksi dan jaringan itu digerakkan oleh masyarakat sekitar. Peternakan ayam bersinergi ini adalah jalan keluar atas adanya konflik karena adanya penolakan warga sekitar peternakan terhadap adanya usaha peternakan yang ada di sekitarnya. Setelah adanya peternakan bersinergi ini berjalan lancar dengan cara mengikutsertakan warga sekitar dalam proses produksi dalam peternakan itu, proses produksinya antara lain dalam pembuatan kandang, dalam pemeliharaan ayam, dalam penyediaan bahan pakan ayam dan dalam pemasaran hasil produksi hasil dari peternakan yaitu berupa telur, daging maupun produk sampingan berupa pupuk kandang. Dengan jalan melibatkan warga sekitar untuk memnangani bersama hasil peternakan itu akhirnya semua warga ikut merasa memiliki sehingga hal ini bisa meredam konflik yang muncul dengan warga sekitar. Selain meredam konflik cara ini juga bisa memberdayakan masyarakat sehingga warga yang tinggal di Dukuh Winong, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten menjadi lebih sejahtera.
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
65
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama Tjokrowinoto, Mulyarto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mikkelsen, Britha. 2005. Methods for Development Work and Research 2nd Edition. New Delhi: Sage Publication Rais, M. Amin. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan Di Indonesia. Yogjakarta: Aditya Media Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Soetomo. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sutrisno, Loekman. 1997. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius
66
Sri Hilmi Pujihartanti “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Peternakan Bersinergi”
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PEMBANGUNAN DESA
Jefta Leibo Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract Poverty reduction in developing countries requires an appropriate approach based on the paradigm adopted. Failure of production-oriented paradigm, not a lot to contribute to poverty reduction but then that is more appropriate to do with the People Centered Development approach, which underlies the management of Local Resources. This approach is more focused on humans as subjects and creative relationships and human ecological balance. Regional autonomies, requires an approach that “People Centered Development”, thus spurring people actively participate in solving their own problems. But with a record of development is done in alleviating poverty require adequate assistance to the officers at the district level (assistance from upstream to downstream). Thus, what is the purpose of the village community can be achieved.
Keywords: Local Resources Management, Rural Development and Poverty Alleviation.
A. Pendahuluan Di era pemerintahan SBY dengan kabinet “koalisi” isu kemiskinan tetap menjadi isu sentral, sebab dari hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 bahwa saat ini ada 27 juta penduduk berada dalam kondisi miskin, maka pengentasan kemiskinan menjadi komitmen bangsa ini untuk merealisirnya. Namun yang terjadi adalah perdebatan seputar kemiskinan secara kuantitatif yang menurut “rezim” SBY dengan kabinet Indonesia bersatu jilid II dari tahun ke tahun sepanjang SBY berkuasa tetap turun. Para akademisi sangat meragukan penurunan angka kemiskinan tersebut, ketika di pelbagai daerah terdapat kaum miskin yang belum tertangani secara tuntas. Terlebih lagi, khalayak tidak mengetahui program yang realistis apa yang sudah dilakukan selama rezim SBY berkuasa hampir tujuh tahun. Kita tahu ada Menteri
Pemberdayaan Desa Tertinggal, tetapi jarang sang menteri turun ke lapangan (ke daerah daerah di luar Jawa) menyaksikan sendiri rakyat miskin. Sang Menteri hanya tinggal di Jakarta bahkan terkadang mengiklankan diri lewat televisi. Program realistis dalam upaya pengentasan kemiskinan menjadi tidak jelas, ketika tidak memiliki “maping” tentang daerah daerah atau kantong kantong kemiskinan baik di pedesaan (masyarakat agraris dan masyarakat pesisir) maupun perkotaan di Indonesia. Kemiskinan masyarakat pesisir, disebutkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad (sebelum penggantian menteri yang baru – reshuffle kabinet Indonesia bersatu II Oktober 2011) secara kuantitatif ada 3.000 desa, yang harus dibangun secara koordinatif bersama kementrian lain: Kesehatan,Pendidikan, PU, dan sebagainya.
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
67
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Persoalan kemiskinan bukannya persoalan bangsa Indonesia saja dalam proses pembangunan yang berkelanjutan akan tetapi juga merupakan persoalan negaranegara berkembang lainnya. Paling tidak ada tiga hal sebagai tantangan berat bagi negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunannya. Pertama seperti yang sudah disebutkan diatas (kemiskinan), kedua makin buruknya lingkungan hidup dan terakhir kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yang menyangkut diri mereka sendiri. Untuk mengantisipasi ketiga masalah itu berbagai model pembangunan telah diaplikasikan beserta perbagai pendekatan yang juga digunakan. Memang pada suatu waktu paradigma pembangunan tertentu menjadi acuan pembangunan nasional, tetapi disisi lain bisa juga ia mengalami proses demistifikasi dan paradigma baru muncul baik menggantikannya maupun melengkapi atau menjadi komplementernnya. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana pengelolaan sumberdaya lokal kaitannya dengan pendekatan lain yang dilakukan untuk pembangunan (desa).
B. Orientasi Produksi Secara historis, istilah “Dunia Ketiga” dikenal di kalangan penulis liberal dan radikal Perancis dalam tahun 1950-an, ketika mereka mencari “jalan ketiga” atau “kekuatan ketiga” dalam politik negara mereka, yakni mana yang lebih cocok antara nasionalisme konservatif di satu pihak dengan komunisme yang dogmatis beku dipihak lain. Dalam skala yang lebih luas, diperlukan lagi di dunia yang didominasi dan diancam oleh Perang Dingin antara bangsa-bangsa industri yang kuat dan kaya di “Barat” dan “Timur”. Harapan penulis di atas bertambah besar sebab ada gerakangerakan diplomasi pada waktu itu yang
68
dipimpin oleh pemerintahan Mesir, India, Yugoslavia dan juga adanya konferensi di Bandung (Indonesia) pada tahun 1955. Ketika itu diantara dua puluh sembilan negara Afrika dan Asia, mayoritas baru saja mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial. Ungkapan yang diciptakan pada waktu itu, le tiers monde (Dunia Ketiga) menarik karena tidak memuat kata yang modern “troisiesme (ketiga), akan tetapi kata kuno “tiers” (ketiga) yang mempunyai asosiasi historis yang kaya dengan “le tiers etat” (status ketiga). Status ketiga dalam konteks kerajaan adalah rakyat jelata yang pada tahun 1789 bangkit dan menggulingkan status atasan dalam “Acien Regime”, masing-masing kaum bangsawan dan kaum pendeta. Jadi pada waktu itu, “Dunia ketiga” berarti negara-negara yang walaupun berbeda di beberapa bidang lain, memiliki tiga hal yang sama yaitu mereka miskin, bekas jajahan kolonial dan dalam perang dingin antara “Barat dan Timur” mereka bebas. Istilah ini diperkenalkan pada publik Inggris oleh Peter Worsley dan Irving Louis Horowitz dalam buku Three Worlds of Development di tahun (1966) Maka sejak itu kata dunia ketiga menjadi hal biasa. Akan tetapi saat ini, ungkapan ini tidak lagi relevan karena Dunia Ketiga telah mengalami disintegrasi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat, oleh karena itu lebih tepat kalau disebut sebagai negara berkembang atau sedang berkembang (Goldthorpe, 1992: 2324). Sepuluh tahun lalu, negara berkembang kebanyakan menerima pendekatan pembangunan yang sifatnya Birokratik dan Teknokratik yang memakai logika produksi sebagai basis. Pendekatan yang demikian oleh Korten dan Klaus (1984) disebut sebagai “Pendekatan Pembangunan yang Berpusat pada Produksi” (Production Centered Development-PCD) yang tujuan utamanya adalah untuk mencapai dan
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
ISSN : 0215/9636, Vol 26. No.1 Tahun 2011 mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, lalu pada akhirnya diharapkan bakal meningkatkan kesejahteran masyarakat. Ada beberapa kharakteristik dari PCD, yaitu pertama, orientasinya pada peningkatan taraf hidup yang diukur dari kenaikan nilai ekonomi barang dan jasa yang diprosuksi, serta kenaikan tingkat konsumsi masyarakat. Kedua, adanya konsentrasi pada pemilikan alat-alat produksi, ketiga ada dominasi mekanisme pasar dalam menentukan jenis, kualitas, kuantitas barang dan jasa yang diproduksi, keempat optimalisasi pemanfaatan kapital (modal), dan kelima, adanya suatu sistem perencanaan yang sentralis sifatnya. Dalam kenyataan yang kita lihat PCD telah gagal mewujudkan “Trickle Down Development” sebagaimana yang dijanjikan, bahkan telah dituduh sebagai penyebab melahirkan polarisasi sosial melalui proses konsolidasi (Blau, 1975) atau Value Agglutination seperti yang dikatakan Riggs (1964) yaitu terjadinya interaksi yang saling menunjang diantara sejumlah parameter stratifikasi sosial dan differensiasi sosial, seperti harta, kekuasaan, status sosial, tingkat pendidikan dan sebagainya. Contoh yang paling nyata dalam pendekatan PCD ini adalah dibidang pembangunan pertanian ketika rezim Soeharto berkuasa, sebab apapun yang dilakukan oleh petani (tanaman pangan-beras), selalu dikendalikan dari pusat. Hal ini tidak bisa disalahkan, artinya memang merupakan kondisi obyektif saat itu sebab disamping komitmen tentang stabilitas dan ketahanan nasional, ada pula ketahanan pangan. Walaupun disana-sini diajurkan untuk difersifikasi tanaman pangan, namun ada pembatasan-pembatasan tertentu dari pihak Deptan pada waktu itu.
C. Sumber Daya Lokal Kalau dilihat model-model pembangunan yang memberikan peranan berlebih kepada birokrasi yang terpusat dalam penyelenggaraan program-program pembangunan, selama ini semakin disadari bukannya hanya telah menurunkan kemampuan (ability) masyarakat untuk penyelesaian masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal, akan tetapi menjadikan mereka sangat tergantung pada birokrasi pemerintah. Untuk itulah selama dua dasawarsa terakhir perhatian banyak diberikan pada pendekatan yang lebih bersifat parsipatoris. Jika pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada produksi digunakan paradigma pembangunan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, maka pada model pembangunan yang baru, digunakan paradigma People-Centered Development (Pop-CD). Paradigma inilah yang kemudian melandasi wawasan “pengelolaan sumber daya lokal” atau “Community Based Resource Management”, yang mencuat lewat rintisan David C. Korten (1984). Kalau dikaji, pengelolaan sumber daya lokal ini memiliki beberapa ciri yaitu, pertama logika yang menjadi landasannya adalah “logika keseimbangan ekologi manusia”, kedua sumberdaya utama yang mendukungnya adalah sumberdaya informasi yang sangat kaya dan inisiatif yang kreatif, dan yang ketiga tujuannya adalah untuk mencapai realisasi potensi-potensi kemanusiaan. Sudah tentu pengelolaan sumberdaya lokal berbeda dengan pendekatan yang mengacu pada produksi (PCD), seperti misalnya pendekatan Top-Down dan Blue Print, seperti yang disajikan dalam tabel berikut:
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
69
Jurnal Sosiologi
DILEMA Tabel 1
Perbedaan Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Lokal dan Pendekatan Top-Down (Blue Print)
Sumber : Mulyarto Tjokrowinoto: 1991. Dari perbedaan yang dikemukakan itu, pengelolaan sumber daya lokal mendefinisikan program aksinya untuk mengentaskan kemiskinan melalui: pertama, penyediaan bantuan pelayanan dan penyelenggaraan kegiatan yang menjajikan perbaikan kondisi-kondisi tempat orang miskin, dengan belajar dan bekerja. Yang kedua, memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya publik dan privat, dan ketiga, pengembangan dan penyelenggaraan serta penge-
70
lolaan, semaksimal mungkin melibatkan partisipasi aktif penduduk miskin. Dalam pada itu pendekatan Top-Down dan Blue Print cenderung menciptakan ketergantungan (Dependency Creating), sedangkan pengelolaan sumberdaya lokal cenderung mengaktualisasikan potensi masyarakat (Empowering). Tabel berikut ini akan memperjelas perbedaan dua pendekatan itu beserta programnya.
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
ISSN : 0215/9636, Vol 26. No.1 Tahun 2011 Tabel 2 Program Pembangunan yang Empowering dan Dependency Creating
Hal
Empowering
Dependency Creating
- Prakarsa - Dimulai dengan - Proses desing Program
- Di Desa - Di Ibukota - Pemecahan masalah - Rencana formal Dinamis, melibatkan - Statis, didominasi pakar masyarakat
- Teknologi
Asli, Ilmiah
- Ilmiah
- Sumber Utama - Kesalahan - Organisasi pendukung - Pertumbuhan - Pembinaan personil
- Rakyat dan sumber lokal - Diterima (Embraced) - Dibina dari bawah - Tahap demi tahap - Berkesinambungan berdasarkan pengalaman lapangan dan belajar dari kegiatan lapangan
- Dana dan Teknis pusat - Diabaikan dan dilalaikan - Dibina dari atas - Cepat, mekanistik - Prajabatan, pendidikan formal, didaktik
- Diorganisasi oleh - Evaluasi
- Tim interdisipliner - Technical Specialist - Oleh diri sendiri - Eksternal, bergantian, Impact Oriented berkesinambungan, process oriented Kuat, berkelanjutan, - Terbatas, berubah, individual posisional
- Kepemimpinan
- Analisis Sosial
- Untuk definisi masalah dan perbaikan program
- Untuk membenarkan rencana dan memenuhi persyaratan evaluasi
- Fokus manajemen
- Kelangsungan berfungsinya sistem dan kelembagaan
- Selesainya proyek pada waktu yang ditentukan
Sumber : Mulyarto Tjokrowinoto, 1991 Dari tabel diatas, pengelolaan sumberdaya lokal memberikan peranan pada warga masyarakat, bukannya sebagai “subyek”, akan tetapi lebih sebagai “aktor ” yang menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mereka menguasai sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, di samping mengerahkan proses-proses yang mempengauhi hidupnya sehari-hari.
Dalam konteks pembangunan, walaupun peranan pemerintah pusat tidak terlalu “campur tangan”, sebab ini sejalan dengan apa yang sudah dikemukakan oleh kepala negara kita pada era reformasi bahwa dalam pembangunan saat ini pemerintah kabupaten dan kota diberi keleluasaan untuk merancang programnya sendiri sesuai dengan kondisi daerahnya. Ini sekaligus mempunyai makna otonomi
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
71
Jurnal Sosiologi
DILEMA
daerah yang sesungguhnya. Karena dengan pengelolaan sumberdaya lokal, cenderung mengaktualisasikan potensi masyarakat, maka disini bisa berarti bagaimana sumberdaya manusia harus dikembangkan untuk mendukung institusi lokal (desa) yang ada, sebab kedua masalah ini harus berjalan seiring dengan catatan institusi lokalpun harus dibenahi. Hal ini semua untuk menjadikan “aktor” yang berperan dalam program pembangunan (desa) peka terhadap sumberdaya alam apa yang harus digarap untuk kepentingan masyarakat desa itu sendiri. Sudah barang tentu sistem-sistem untuk mengorganisasi diri sendiri melalui satuan-satuan organisasi yang berskala manusiawi dan sudah lama dan mapan dalam komunitas yang ada, perlu diperhitungkan untuk dilibatkan dan dengan sendirinya partisipasi aktif dari masyarakat makin meningkat, sehingga tantangan yang dihadapi paling tidak akan lebih ringan. Semuanya ini yang barangkali terlihat dan bagaimana strategi pemerintah mengentaskan kemiskinan masyarakat di pedesaan sekarang ini.Dan sudah tentunya pemerintahan kabupaten/kota yang diberi kewenangan yang luas.
proses yang mempengaruhi hidup mereka sendiri. Sumber-sumber yang ada bisa sumber daya alam, maupun sumberdaya manusia yang ditata bersama-sama sebab hal ini akan membantu setiap “aktor” yang berperan dalam pembangunan (desa) yang ada. Dengan demikian semuanya ini akan memotivasi masyarakat untuk turut terlibat secara aktif dalam proses pembangunan yang berlangsung, sekaligus bisa mengentaskan kemiskinan yang ada. Dalam konteks pembangunan desa di Indonesia, kita tidak bersikap deterministik, sebab walaupun bagaimana dalam hal tertentu (bantuan dana), pemerintah pusat memainkan peranan sangat penting, tapi kemudian dengan adanya otonomi daerah justru di daerahlah fokus pembangunan itu dilakukan secara serius.
D. Catatan Penutup Masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang saat ini membutuhkan berbagai macam pendekatan. Ketika suatu model yang diterapkan tidak berhasil, muncullah model baru yang dirasa cocok dan menguntungkan, seperti halnya model PCD yang sifatnya sangat birokratis dan teknokratis digantikan dengan model Pop-CD yang lebih ditekankan pada pengaktualisasikan potensi masyarakat. Model ini yang disebut juga sebagai “pengelolaan sumberdaya lokal”, memberikan peranan pada warga masyarakat untuk menentukan tujuan-tujuannya sendiri dengan menguasai sumber-sumber yang ada, kemudian diarahkan pada proses-
72
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
ISSN : 0215/9636, Vol 26. No.1 Tahun 2011
Daftar Pustaka Blau, Peter M. 1975. Parameter of Social Structure dalam Peter M Blau, Aproaches to The Study of Social Structure. New York: Free Press Goldthorpe, J.E. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Korten, David C. 1984. People Centered Development. West Hartford: Kumarian Press Korten, David C. 1987. Community Managemen, Asian Experience and Perspectives. West Hartford: Kumarian Press Nasikun. 1991. Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan Berwawasan Lokal Antara Retorika dan Kenyatan. Makalah. Yogyakarta: PAU-SS UGM Riggs, Fred W. 1964. Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society. Boston: Hoghton Mifflin Company Tjokrowinoto, Mulyarto. 1991. Makna dan Logika Pengelolaan Sumberdaya. Makalah. Yogyakarta: PAU-SS UGAM
Jefta Leibo “Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Pembangunan Desa”
73
Jurnal Sosiologi
74
DILEMA
EFFECT OF GLOBALIZATION ON CAPABILITY DEPRIVATIONS: Study Among The Urban Poor in Surakarta
Yulius Slamet Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract Effect of globalization has been discussed and investigated pervasively however, there is no single conclusion drawn. This paper aims to present research result concerning the effect of globalization employing Amartya Sen’s Capability Approach and intended to find out effect of globalization on capability deprivation among the poor. Research is conducted in Surakarta urban area. Numbers of 324 poor people are selected as sample member. Triangulation method by combining survey and qualitative data collection techniques is employed. Research result indicates that the degree of capability among the poor is very low. Structurally they are deprived because they do not able to access modern facilities. Their life is dominated by impoverishment that makes them have low degree of geographical mobility. Their lowness is due to the fact that they are economically deprived and socially are marginalized. As a matter of fact the poor are in the situation of being impowerless, they can not release their selves because they are lacked of skill, no capital, no networking, less educated, voiceless, and only few who care them. They are poor and stay become poor because of they are socially, economically, politically, and structurally are deprived.
Keywords: Effect of globalization, Capability deprivation, The urban poor
A. Introduction The core of this research is to find out the degree of capability deprivation among the poor. Capability Amartya Sen’s approach is used as the guideline to explain the real situation faced by the poor especially in selected research urban site. This research assumed that capability of the poor does not stand alone but it is influenced by many factors, one of them is the process of globalization. According to Dollar (2005) global economic integration has been going on for a long time. As in previous waves of integra-
tion, this change is driven partly by technological advances in transport and communications and partly by deliberate policy choices. Thus, one key development in this current wave of globalization is a dramatic change in the way many developing countries relate to the global economy (Dollar, 2005), integration process of national economy of the nations in a global economic system (Fakih, 2008). According to Dollar (2005) there are five trends in the era of globalization since 1980’s: growth rates in poor economies have accelerated and
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
75
Jurnal Sosiologi
DILEMA
are higher than growth rates in rich countries for the first time in modern history; the number of extremely poor people in the world has declined signifi-cantly; global inequality has declined modestly; withincountry inequality in general is not growing, though it has risen in several populous; age inequality is rising worldwide. According to Fakih (2008) globalization project started since trade mechanism regulated through the creation of free trade policy, international agreement on trade was signed in Maroco, April 1994, famously called GAAT (General Agreement on Tariff and Trade). Effects of globalization are still debatable. According to Mazur, globalization has dramatically increased inequality between and within nations, within countries and across countries (Chomsky). On the other hand Walter Schwarz asserted that all the main parties support nonstop expansion in world trade and services, although it makes rich people richer and poor people poorer. B. Frame of Reference Different points of view are articulated in explaining poverty. According to structural approach, it is argued that structural poverty is the product of hegemony and exploitative social, economical, and political system at local, national, as well as international levels in which benefits the power holders (Rachbini, 1995; Sanker and Nugroho, 1999; Suyanto, 1966). Poverty also is caused by the government broad intervention and the government does not give freedom to the poor to regulate their selves (Soetrisno, 1999; Penny, 1990). Many also point out that the major poverty caused liberalism of economy (Suyatna, 2005), neo liberalism, structural adjustment as recommended by IMF (Shah, 2003; Khudori, 2004; Hancock, 2005; A Special Report By The International Forum on Globalization, 2001; Hasibuan, 1999; Suyatna, 2006; Fakih
76
(2008) and caused by deprivation or poverty trap (Chambers, 1997). This research is intended to fill the research gap in which how globalization impinges capability deprivation has not been done by previous researchers. Below capability approach initiated by Amartya Sen is presented briefly. According to Sen (1999:4) development can be seen as a process of expanding the real freedom that people enjoy. Sen argues that all of those are very important as means to expanding freedoms enjoyed by the members of society. But freedom, according to Sen, depend also other determinant such as social and economic arrangements as well as political and civil rights. According to Sen the development requires the removal of major sources of unfreedom: such as poverty, tyranny, poor economic opportunities, systematic social deprivation, neglect of public facilities, intolerance or overactivity or repressive states. Sen points out five types of freedom that he sees in an instrumental perspective: (1) political freedom, (2) economic facilities, (3) social opportunities, (4) transparency guarantees, and (5) protective security. Sen employs capability concept as approach on issues of justice and poverty to the center stage of development a normative analysis long neglected by economists and other social scientists (http:/ /www.st-edmunds.cam.ac.uk/vhi/sen/). Sen sees poverty as deprivation of basic capabilities, rather than merely low incomes, which is the standard criterion of identification of poverty. The core concepts used by Sen are functionings and capabilities. Functionings are seen as constitutive elements of living. A functioning is an achievement of a person: what he or she manages to do or to be, and any such functioning reflects, as it were, a part of the state of that person (Clark, 2006:4; Sen in Kuklys et al.2004: 2).
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 Over the last decade Amartya Sen’ Capability Approach (CA) has emerged as the leading alternative to standard economic frameworks for thinking about poverty, inequality and human development generally (Sen, 1999; Clark, 2006). According to capability approach to development, poverty is understood as capability deprivation. Someone could be deprived of such capabilities in many ways, by ignorance, government oppression, lack of financial resources, or false consciousness (http://en.wikipedia.org/wiki/ Capability_approach). Martha Nussbaum (2002) underscores women in much of the world lack support for fundamental function of human life. Unequal social and political circumstances give women unequal human capabilities. C. Methods Sociological research methods have developed combined methods, means combining quantitative and qualitative research methods (Cole, 1972; Bryman, 1988; Creswell, 1994). According to Cole they needs more than one instruments in the measurement of variables they study, a strategy was referred to as “triangulations of measurement”. The researcher often relies on triangulation, or the use of several kinds of methods or data (Janesick, 1994). Denzin ( Janesick, 1994; Patton, 1987) identifies four basic types of triangulation. Increasingly, social science research is employing both quantitative and qualitative methods in the quest for research design best suited for assessing complex issues and concepts, including that of social capital (Krishna and Shrader, 1999). Rossman and Wilson (Rossman and Wilson, 1984, 1991 in Krishna et al, 1999) asserted that integration of complementary methodologies is a fruitful strategy for several reasons: to enhance confirmation or corroboration of varying methodologies via triangulation; to
elaborate or develop analysis, providing richer detail; and to initiate new lines of thinking through attention to surprise or paradoxes. In this research data triangulation is used in the sense that the researcher combined two data collecting techniques for deriving data. Survey research and depth interviewing, observation, and focus group discussion are used together for collecting data. Research was undertaken in Jebres and Pasar Kliwon Sub Districts (Kecamatan). First step the researcher did was to find out list of the member of poor families that was available at the heads of Kelompok Swadaya Masyarakat (KSMs). Recommended by Arkin et al (Arkin et. al 1950) confidence limit = 95%, reliability limit = ±5% and p : q = 0.5 : 0.5; the n (sample) size is 324. Systematic random sampling procedure was used for selecting the respondent under the study. Non probability sampling techniques of this research focuses on two types of purposeful sampling recommended by Patton i.e. extreme or deviant case sampling and maximum variation sampling. Informant of this qualitative data collecting study is selected on snowball sampling suggested by Bailey (1982). This research measures capabilities as suggested by Nussbaum’s list of capabilities and BHPS questions used from Nussbaum, M.C. 2001, Symposium on Amartya Sen’s Philosophy: 5 Adaptive Preferences and Women’s Options, Economics and Philosophy, 17 pp. 67-68. D. Findings Twenty two question items developed in this research to measure the degree of respondents’ capability being studied. Research result describes the percentage distribution of question items measuring the degree of capability.
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
77
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Dealing with capability respondents fall in the category of low capability. In terms of health satisfaction it proves that the poor are being lack to access existing health facilities except PUSKESMAS and State General Hospital. The poor are not able to keep their health because they consume low nutritious food intakes, lack of rest and of sleep, work harder and sometimes work over time until late night, and stay in slum areas which are not met health standard. The second dimension of capability measured in this study is bodily integrity capability. Data shows that the poor have less opportunity to step forward in public speaking, less to involve in community organization, feel inferior, and do not strive to show off in public meeting. In terms of practical reason capability research result shows that more than a half of respondents state not sure being capable, it can be concluded that respondents’ practical reason capability tend to low. This implies that the poorer are not dare to make decision because of their situation of being empower in which their economic ability does not support to be dare to take risk. In many cases the have nots are marginalized in the decision making process; which in turn, they are neglected in the development process. Economically and socially, the poor feel that they are less being empowered since their economic conditions which are being prone to be influenced by the economic changes and vulnerable to fall into poorer. Dealing with social role, the poor feel that they less participate in social, political as well as other organizations, that is why they think of their selves less play important role in surrounding community life. They would be less satisfied with their present life, their income, their family, the community life in general, their job, and with the way they spent their leisure.
78
In depth interview also discovers that the respondent get poorer because of his age, he has no knowledge to do another job, to drive becak is the only job that he can do, no side job offered to him by other community members, and as becak driver he feels that technologically he is deprived by new mode of transportation. Above depictions point out that as a matter of fact the poor are in the situation of being powerlessness, they could not release their selves because they are lacked of skill, no capital, no networking, less educated, voiceless, and only few who care them. Fact they are getting poor and poor is caused by internal factors (such as of increasing age, lack of human capital, low managerial knowledge) as well as external factors (such as the impact of global crises which causes higher prices of raw materials which in turn, decreases orders, the price increasing of basic needs, technological deprivation, and economic structure that is not pro poor (such as the establishment of many malls harm the trader of traditional markets). It seems that those who live in impoverished condition are very vulnerable group toward the economic changes. They always consume all of their daily income, work to day for to morrow meal, feel that their daily income is not enough to meet daily meal, involved with debt, gali lubang tutup lubang (literally it means to dig a hole for closing another hole, means to borrow money for repaying another debt). It is recognized that poor people feel inferior, voiceless, marginalized in the community life due to the situation of being impoverished. Interview result uncovers that the respondents do not feel that they have another talent and interest except to work as they do daily. They live traditionally, routinely, and constantly or it can be said stagnantly. It is true that in Indonesian
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 society dual economic system face to face each other (Boeke in Nasikun, 1984). E. Conclusion Underlying reasons on the effect of globalization on capability deprivation has been discussed however, this article does not indicate quantitatively that low capability is directly influenced by globalization process. This research attempts to apply triangulation methods in explaining the degree capability and how capability is deprived by the globalization process indirectly. The finding from the empirical analysis indicates that that the poor has no access to public facilities, because structurally public facilities more benefit the haves and politically some policies are not pro-poor. Structurally they are deprived because their life is dominated by impoverishment that makes them have low degree of capability. Quantitative research result discovers that most of the respondents are in being low in capability. Their lowness is due to the fact that they are economically deprived and socially are marginalized. As a matter of fact the poor are in the situation of being impowerless, they can not release their selves because they are lacked of skill, no capital, no networking, less educated, voiceless, and only few who care them. They are poor and stay become poor because of they are deprived socially, economically, politically, and structurally are deprived.
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
79
Jurnal Sosiologi
DILEMA
References Arkin, Herbert and Raymond R. Colton. 1957. Tables for statisticians. New York: Barnes & Noble, Inc.. Chambers, Robert. 1997. Whose Really Counts? Putting the First Last. London: Intermediate Technology Publication Creswell, John W. 1994. Research Design. Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Crocker, David A. 1992. Functioning and Capability: The Foundations of Sen’s ad Nussbaum’s Development Ethic. Political Theory (pp. 584-612): Sage P u b l i c a t i o n , Inc. Fakih, Mansour (2009). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (The Ruins of Development Theories and of Globalization). (Sixth ed.). Yogyakarta: Insist Hasibuan, Sayuti. 1995. Kemiskinan, Pembangunan dan Globalisasi (Poverty, Development And Globalizatition) in Loekman Soetrisno, Mochamad Maksum, Dyah Ismoyowati Ismaryati (eds.), Pikiran-Pikiran Alternatif Pengentasan Kemiskinan (Alternative Ideas for Poverty Reduction). Yogyakarta: P3PK UGM Haq, Mahbub ul. 1995. Tirai Kemiskinan (Original title: The Poverty Curtain) (Masri Maris, Trans.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Herbert, D.T. 1975. Urban Deprivation: Definition, Measurement and Spatial Qualities. The Geographical Journal (pp. 362-372): Blackwell Publishing onbehalf of The Royal Geographical Society (with the Institute of British Geographers) Janesick, Valerie J. 1994. The Dance of Qualitative Research Design, Metaphor, Methodolatry, and Meaning. In Norman K.Denzin and Yvona S. Lincoln ( e d s . ) , Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Khudori (2004), Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap Kejahatan Industri Pangan (Neoliberalsm Annihilates Peasant, to Unmask the Wick of Food Industries). Yogyakarta: Resist Book Nasikun 1985. Sistem Sosial Indonesia (Social System in Indonesia). Jakarta: Rajawali Press Nugroho, Heru. 1999. Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pemberdayaan (Poverty, Inequality, and Empowerment) in Dewanto, Awan Setya et al., (eds.). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia (Poverty and Equality in Indonesia).Yogyakarta: Aditya Media Nussbaum, Martha. 2002. Capabilities and Social Justice. International Studies Review (pp.123-135): Blackwell Publishing on behalf of The International Studies Association Patton, Michael Quinn 1987. How to Use Qualitative Methods in Evaluation. Newbury Park: Sage Publication Penny, DH (1990). Kemiskinan, Peranan Sistem Pasar (Original title: Starvation: the Role of Market System. Ace Partadiredja et al., Trans.) Jakarta: UI-Press
80
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 Rachbini, Didiek J. 1995. Kasus dan Akar Masalah Kemiskinan (Case and Root of P o v e r t y Problem. In Loekman Soetrisno, Mochamad Maksum, Dyah Ismoyowati Ismaryati (eds.). Pikiran-Pikiran Alternatif Pengentasan Kemiskinan (Alternative Ideas for Poverty Reduction). Yogyakarta: P3PK UGM Robeyns, Ingrid. 2005. The Capability Approach: A Theoretical Survey. Journal of H u m a n Development (pp. 1-31) Sanker, Peter. A Dynamic Perspective on Technology, Economic Inequality and Development in Technology and Inequality, Questioning the Information Society. Sally Wyatt, Flis Henwood, Nod Miller and Peter Sanker (eds.). London and New York: Roudledge Taylor and Francis Group Sen, Amartya. 1984. The Living Standard, Oxford Economic Papers, New Series, Vol. 36. Supplement: Economic Theory and Hicksian (pp. 74-90): Oxford University Press Sen, Amartya. 1990. Justice: Means Versus Freedoms. Philosophy and Public Affairs (pp. 111-121): Blackwell Publishing Sen, Amartya. 1983. Poor, Relatively Speaking. Oxford Economic Papers New Series, Vol. 35, No. 2 (Jul., 1993), pp. 153-169 Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: A Division of Inc.
Random House,
Suyatna, Hempri. 2006. Sintesis Liberalisme dan Sosialisme, Sebuah Jalan Tengah M e n u j u Tata Ekonomi Dunia Baru (Synthesys Between Liberalism and Socialism, A Way Toward New World Economic Order). In Prihatin, Juni S and Hempri Suyatna (eds.), Pembangunan dan Kemiskinan. Yogyakarta (Development and poverty). Yogyakarta: Aditya Media
Other Sources Clark, David A. 2006. The Capability Approach: Its Development, Critiques and Recent Advances. Global Poverty Research Group, Institute for Development Policy and Management, University of Manchester, UK. The Elgar Companion to Development Studies, Cheltenham: Edward Elgar. The Capabilities Approach Philosophical and Policy Context. In http://en.wikipedia.org/wiki/Capability approach Sah, Anup. 2003. Causes of Poverty: Structural Adjustment–A Major Cause of Poverty. In http://www.globalissues.org/TradeRelated/SAP.asp Sah, Anup. 2008. Causes of Poverty. In http://www.globalissuesorg/TradeRelated /SAP.asp Sah, Anub (March 04, 2008). Poverty Facts and Stats. In http://www.globalissues org/TradeRelated/SAP.asp
Yulius Slamet “Effect of Globalization on Capability Deprivations: Study Among The Urban in Surakarta”
81
Jurnal Sosiologi DILEMA
82
REPRESENTASI DI BALIK PERANG IKLAN TARIF PULSA SELULER
Vibriza Juliswara Sosiologi Kartika Bangsa Yogyakarta
Abstract Along with the development of technology, the price of a GSM into any free fall ’too’ cheap. The number of mobile phone operators to be increased by variation of its products, all equipped with the presence of new markets that rival GSM, CDMA supposedly cheaper. The drums of war against CDMA, GSM, Telkom Flexi played by the presence, respectively, present new operators who each offer features sweet and promising to consumers such as the Fren, Esia, and Cheers, and which has recently emerged that is Smart Consumers actually have been hypnotized by the sweet promises of mobile operators without further examine what is behind this tariff war. The properties of cellular operators capitalists who do not want to lose as indicated by the number of terms and conditions that actually even confusing customers and new customers (because the main target of these ads is to attract new customers loyal as much as possible). Because it is very important to her ads. The goal in addition to the support of the ad will be able to inject compliance voluntarily. Gramsci calls the hegemony. Not through coercion but the make the best possible ad then soldiers would easily support you get. Support will be flowing if you can sort the ads that entice, attractand influence people. With the ads, then all the real political decision to bring calamity; can turn into blessings and good fortune. People no longer the holder of sovereignty, but a collection of consumer tastes and interests can be directed. Key word: Representation, Advertising, Power Relations A. Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah, jumlah penduduk dan letak geografis yang sangat potensial dalam pengembangan bisnis telekomunikasi seluler. Kue yang sangat besar ini diperebutkan oleh sepuluh operator seluler yang bermain di wilayah ini yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo, Hutchison, Sinar Mas Telecom, Sampoerna Telecommunication, Bakrie Telecom, Mobile-8, dan Natrindo Telepon Seluler. Dari sepuluh operator tersebut hanya terdapat tiga operator yang
memiliki pangsa pasar diatas 5%, yaitu Telkomsel (55,6%), Indosat (24,8%) dan Excelcomindo (14,8%). Tak mengherankan jika antar operator bersaing dalam memperoleh dan mempertahankan konsumen dengan berbagai strategi yang diterapkan. Beberapa strategi yang diterapkan operator seluler antara lain penawaran bonus kartu perdana (starter pack), bonus isi ulang, bonus pemakaian pulsa, berbagai hadiah melalui penukaran poin, dan tarif sms maupun panggilan murah. Persaingan
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
83
Jurnal Sosiologi DILEMA antar operator seluler terlihat nyata dengan melimpahnya berbagai bonus dan tarif yang cenderung terus menurun. Kemampuan membuat iklan yang bagus sehingga dapat menarik perhatian konsumen potensial bukanlah hal yang mudah. Selain kreatifitas perancang iklan, operator seluler juga harus mampu mengenaIi karakteristik sasaran pasar yang ingin dicapai. Salah satu karakteristik masyarakat Indonesia menyukai apa yang dinamakan “gratis”. Budaya senang gratisan ini bukan hanya pada level kelas bawah namun level menengah atas pun tak luput memiliki kesenangan yang sama. Tak heran jika kebanyakan operator menyajikan berbagai bonus mulai gratis sms, pulsa, tarif murah bahkan panggilan gratis yang disampaikan melalui iklan-iklan menarik dengan artis ternama. Tawaran yang disampaikan melalui iklan-iklan tersebut diharapkan dapat membentuk persepsi positif calon konsumen sehingga membangun intensi untuk mengambil keputusan menggunakan produk tersebut. B. Rumusan Masalah Seiring perkembangan teknologi, harga kartu perdana GSM pun terjun bebas menjadi ‘terlalu’ murah. Jumlah operator telepon seluler menjadi bertambah dengan variasi produk-produknya, semua dilengkapi dengan hadirnya pasar baru saingan GSM yaitu CDMA yang konon lebih murah. Genderang perang GSM melawan CDMA ditabuh oleh hadirnya TelkomFlexi, berturut-turut hadir operator-operator baru yang masing-masing menawarkan fiturfitur manis dan menjanjikan bagi konsumennya seperti Fren, Esia, dan Ceria, dan yang baru-baru ini muncul yaitu Smart. Bagaimana relasi kuasa dibalik iklan perang tarif murah, pengaruhnya terhadap konsumen dan bagaimana representasi para actor dibalik iklan tersebut
84
C. Metode Penelitian Sumber data yang digunakan terbagi atas dua bagian yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa penelitian mengenai iklan tariff pulsa dari beberapa operator telepon seluler, sedangkan untuk sumber data sekunder menggali pada artikel-artikel di internet serta download langsung pada website yang menyediakannya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research). Metode ini dilakukan untuk memperoleh data-data dan informasi tentang obyek penelitian. Peneliti menggunakan metode kepustakaan karena data yang digunakan dalam pene-litian ini berupa analisa wacana iklan. Selain itu dikaitkan dengan kondisi yang melatarbelakangi iklan itu disampaikan, karena selalu ada pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat, sehingga perlu menggunakan buku-buku, maupun artikel yang berkaitan dengan topic bahasan. Brown dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur pembentuk iklan adalah teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat Anton M. Moeliono (dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan unsurunsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginter-pretasikan teks; pertautan logis antar-kejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik. Berdasarkan pendapat tersebut telah diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) bahwa hubungan koherensi merupakan sutau rangkaian
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 fakta dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Perang Iklan Tarif Murah Pulsa Iklan tarif operator seluler yang kian hari kian “mencengangkan” konsumen. Sebut saja ProXL yang dimulai dengan tarif Rp.0,1 per detik sampai akhirnya menawarkan tarif Rp.600 sampai puas, Simpati PeDe dengan Rp.0,5 per detik dengan fleksibel dan transparannya setelah satu menit, bahkan Mentari hadir dengan iklan yang lebih membius yaitu “gratis nelpon satu menit pertama”. Atau yang baru keluar, IM3 yang awalnya bertarif Rp.0,01 per detik sekarang makin “menggila” dengan Rp.0,00000000001 per detik. Semua belum dilengkapi iklan 3 (Three) dengan Rp.1 per menit, atau iklan-iklan dari partai CDMA seperti Esia dengan “tarif GSM mahal ngakunya murah” yang tidak kalah persuasifnya. Entah itu pada tariff telepon maupun layanan pesan singkat, semua memiliki tujuan yang sama yaitu mempertahankan konsumen yang telah ada maupun menjaring konsumen baru sebanyakbanyaknya. Namun benarkah tarif yang mereka tawarkan itu ‘murah’? Iklannya Dian Sastro yang mengusung “Cuma Rp. 0”? Ya, iklan tersebut sebenarnya menerangkan bahwa Mentari mempunyai sebuah kelebihan untuk masalah tarif yaitu paket freetalk 5000, artinya jika pada hari tersebut sudah menggunakan pulsa sebesar Rp 5000,- maka mendapatkan gratis telp sebesar Rp 5000,-. Sehingga freetalk ini yang disebut Cuma Rp 0,-. Perlawanan terhadap iklan Rp 0 dari Indosat dilakukan oleh XL pada Selasa 9 okt 2007 dalam sebuah iklan yang terpampang lebar di koran KOMPAS seluas 1 halaman koran yang isinya
menyerang iklan “Cuma Rp. 0” nya Mentari, dari teks dan gambar dari iklan tersebut antara lain headline mengambil suatu pepatah Tong kosong nyaring bunyinya, kalimat tersebut ingin memojokkan “rivalnya” mungkin terlalu sering menampilkan iklaniklannya di mediamasa dan televise yang dianggap omong besar, kemudian dari teks tertulis Hati hati janji si NOL : dari sini kelihatan sekali, siapa “rivalnya” itu ditambah lagi gambar cewek sedang duduk di tong yang dibawahnya tutup tong dengan tulisan Rp 0 hanya utk 3 mnt. Dari kata-kata janji tersebut, Cewek baju orange itu mulai menjelaskan/membuktikan sesuatu table perhitungan yang menurut dia, rivalnya tidak menepati janji. Sehingga dia bilang “Tetap Termurah Rp 1,-” 2. Relasi Kuasa di Balik Industri Seluler “Tetangga sebelah ngomongnya paling murah, ternyata tarifnya ribet dan jangkauannya terbatas” sementara iklan yang disebelahnya adalah iklan XL yang sedang memasarkan kartu perdana tariff paling termurah Rp.0,1/detik ke semua operator se-Indonesia. Pelanduk bertarung, gajah repot dibuatnya. Mungkin perumpamaan ini tepat untuk menggambarkan pertarungan Indosat dan XL. Mereka yang bertarung rebutan posisi kedua, Telkomsel yang malah dibuat repot. Pertarungan keduanya menjadi strong number two membuat keduanya melancarkan segala strateginya guna mendongkrak revenue serta pelanggannya. Salah satunya adalah dengan melancarkan perang tarif. Hal ini yang membuat Telkomsel, yang notabene sebagai operator dengan jumlah pelanggan terbanyak pertama, menjadi kerepotan. Seperti yang diungkapkan oleh Tb Daniel Azhari, GM Sales and Costumer
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
85
Jurnal Sosiologi DILEMA Service Telkomsel (detikINET, 7/1/2010). “Mereka sama-sama ingin menjadi nomor dua, dampaknya ke kita cukup besar,” tuturnya. Menurutnya, pihaknya dibuat repot dengan perang tarif yang dilancarkan oleh kedua kompetitornya itu. Pasalnya karakter pelanggan adalah sensitif dengan harga. Sedangkan dengan perang tarif, operator selalu menawarkan harga yang lebih murah dari kompetitornya. “perang tarif sangat price sensitive. Ada produk baru dan murah pasti akan pindah. Ini repotnya. Masyarakat melihat yang perang tarif. Pasar jadi terganggu, effortnya besar bagi kita untuk berikan pelayanan yang lebih. Simpelnya banyak masyarakat yang bertanya ke kita kenapa kita tidak seperti mereka itu,” terang Daniel. Pun demikian, Daniel mengaku tidak akan ikut nyemplung ke perang tarif tersebut. Baginya dengan mempertahankan kualitas yang dimilikinya akan membuat pelanggannya tetap ber-tahan. “Kita tidak akan ikut-ikutan. Kita fokus untuk meningkatkan kualitas,” tegasnya. Apa yang dilakukan oleh para operator penyedia layanan dengan memusatkan perhatiannya pada dasar- dasar peluang, melalui gagasan kreatif yang diberlakukan kepada setiap inovasi yang diluncurkan ke pasar, dengan fokus pada produk yang dijual, dalam pengertian bahwa konsumen sebagai pengguna dan sumber dari keuntungan perusahaan, adalah ternyata berpola sama, yaitu konsumen merupakan ‘mata air’ keuangan dan keuntungan perusahaan. Sebagai misal Excelcomindo, penyedia layanan telekomunikasi nirkabel yang mula- mula dikenal dengan tawarannya sebagai operator layanan nirkabel dengan jaminan terhadap mutu suara jernih dan jelas dalam layanan mereka dengan focus pasarnya di masyarakat perkotaan
86
(sekalipun tarif layanannya adalah relatif lebih mahal dari operator GSM lainnya), kemudian terjun untuk bersaing dengan meluncurkan produk layanan telekomunikasi dengan sangat murah kepada para penggunanya. Dengan harga Rp.1 untuk per tiap detik layanan telekomunikasi suara di antara sesama penggunanya, mereka melakukan suatu terobosan untuk mengangkat dan mempertahankan pangsa pasar mereka. Dengan kata lain, mereka hanya membebankan biaya kepada konsumen terhadap per tiap detik layanan suara yang dipergunakan untuk memberikan konsumen kepuasan, sehingga konsumen akan merasa bahwa uang yang dikeluarkan adalah sesuai dengan lamanya layanan yang diterima. Teknologi dan ilmu sendiri menjadi ideologi. Demikian tesis Herbert Marcuse (Wartaya, 1987:308). Menurut Marcuse teknologi dan ilmu telah menjadi cara berfikir yang positif. Ini diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic conciousness). ‘Kesadaran teknokratik telah mendominasi kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dan teknologi telah menjadi ideologi, karena telah melegitimasi masyarakat dan keadaannya. Pendapat Marcuse menjadi titik tolak pembahasan Habermas sebagai tanggapan. Hadirnya teknologi dan perkembangan ilmu yang cepat dalam masyarakat telah menimbulkan perubahan. Perubahan yang sangat mendasar terjadi dalam masyarakat adalah masalah kepribadian (Arifin dalam Karim (ed), 1992:115). Perkembangan faktor teknik dewasa ini sudah besar untuk menggerakkan proses yang melumpuhkan faktor manusia dan
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 memunculkan system “manusia mesin” ( Josef, dalam Mangunwijaya (ed), 1983:74). Sedangkan unsure kepribadian terlalu lemah untuk menghadapi penetrasi itu, yang digambarkan dengan melemahnya peran manusia dalam keluarga dan pekerjaan. Sebagai ilustrasi, generasi muda sekarang adalah generasi muda yang dininabobokan oleh mesin ( handphone, play station, video, game-game lainnya, makanan siap saji, dan lain sebagainya) sebagai manifestasi dari Iptek. Oleh karena itu, Russel dalam Arifin (1992: 116) menyatakan bahwa tanpa memperhatikan aspek kehidupan manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan akan menghadirkan “tirani”. Tirani-tirani telah mendorong aspek gerak ilmu dan teknologi ke arah penyimpangan yang cukup mendasar, karena pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi dibangun atas kemampuannya yang didasarkan oleh kontemplasi (perenungan), melainkan melalui jalur manipulasi (simulakra) kasus Super Toy, motor dan mobil matic). Karena itu, sebagai sebuah kekuatan teknologi telah mengembangkan praktek palsu yang tidak lagi berorientasi pada pragmatisme, melainkan karena dorongan cinta kekuasaan. Dalam hal yang demikian, manusia modern sudah tidak lagi mengamati keterbatasan ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari perilaku dalam adopsi, penciptaan, dan pengembangannya telah merusak hakekat kehidupan, baik yang bersifat alami maupun yang bersifat sosial. Ketimpangan-ketimpangan ekonomi, politik, keamanan, sosial, serta moral telah menghadapkan manusia dengan masa depan yang tidak jelas. Tekanan-tekanan moral telah menyudutkan manusia dalam split personality dan frustasi,
kegelisahan sosial, serta lahirnya krisiskrisis dalam pelbagai kehidupan manusia. Dan menurut Habermas dalam Widyarsono (1991:103) sejak akhir abad ke-19 semakin kuat arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menandai kapitalisme lanjut, yakni pengilmuan teknologi dan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan teknologi dan kemajuan sains modern. 3. Pengaruh Iklan Pulsa Murah terhadap Perilaku Konsumsi Konsumen Konsumen sebenarnya telah terbius oleh janji-janji manis operator seluler tersebut tanpa mengkaji lebih jauh apa yang ada dibalik perang tarif ini. Sifatsifat kapitalis operator seluler yang tidak mau rugi seperti yang ditunjukkan oleh banyaknya syarat-syarat dan ketentuan yang justru malah membingungkan pelanggan maupun konsumen baru (karena target utama iklan-iklan tersebut adalah untuk menjaring pelanggan baru yang setia sebanyak-banyaknya). Seseorang yang berakal sehat pasti akan bertanya kenapa angka nol pada iklan IM3 terlalu banyak. Tapi yang terjadi sekarang, jumlah nol tersebut bahkan diperlombakan. Kita dipaksa untuk berpikir berapa jumlah nol yang ada di iklan tersebut bukannya bertanya bagaimana mungkin aplikasi tarif dengan nilai nominal sekecil itu. Kita hanya dipaksa berpikir bagaimana sistem tarif ini berjalan tanpa menyadari kenapa sistem ini yang dipakai. Fungsi iklan di televisi maupun yang terdapat di berbagai banner atau spandukspanduk memang sangat membius dengan segala mitos yang terbangun didalamnya. Sebagai konsumen utama dari produkproduk ini. Jangan heran apabila yang terdapat di otak konsumen adalah mitos yang terbangun yaitu “Siapa yang paling
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
87
Jurnal Sosiologi DILEMA termurah?” Kenyataannya dilapangan ternyata jauh panggang daripada api. Tarif setengah rupiah per detik-nya Telkomsel Simpati baru berlaku setelah satu menit pertama. Indosat dengan Mentari dan IM3nya terbatas menawarkan fitur tarif murah (ataupun gratis beberapa menit) hanya pada pelanggan tertentu yang telah mendaftar. Pun Excelcomindo masih setali tiga uang dengan awalnya satu rupiah per detik ataupun sekarang “sampai puas” ternyata
berlaku pada jam dan hitungan menit tertentu. Intinya, praktek tarif super murah yang ditawarkan operator-operator tersebut pada hakikatnya rumit dalam hal syarat dan ketentuan yang diberlakukan. Praktis, konsumen dan masyarakat luas telah jadi korban pembiusan besar-besaran yang tengah dilakukan oleh semua operator-operator ini. Semua ini terbukti dengan makin semrawutnya tingkat konektivitas maupun kelancaran komunikasi jaringan seluler tersebut.
Tidak terlihat adanya peningkatan pelayanan pada konsumen dengan lebih beradab. Contohnya pada jaringan Telkomsel sekarang menjadi kacau setelah diterapkan Simpati PeDe. Semakin susah berkomunikasi, pernyataan nomor tidak berlaku, ataupun salah sambung, menjadi bukti bahwa operator siap menampung konsumen baru, tetapi tidak siap melayani semua konsumen sesuai haknya. Betapa terganggunya jaringan akibat meluapnya pemakaian telepon seluler yang murah meriah karena ketiadaan batasan maupun aturan yang jelas. Penerapan tarif-tarif tersebut sangat tidak transparan (bertolak belakang dengan kesan yang ditawarkan operator seluler yang katanya “transparan” itu). Operatoroperator seluler tadi tidak memberikan edukasi pasar pada masyarakat apalagi pelanggannya. Masyarakat akan terperangkap iming-iming tarif yang menggiurkan tersebut. Masyarakat hanya akan menerima dan sibuk memilih-milih mana
yang lebih murah, bukan mana yang lebih baik. Pun bagi masyarakat yang sudah terlanjur pusing gara-agar hal ini cenderung tidak berdaya karena kegagalan edukasi pasar pada dunia komunikasi dan seluler. Namun berbagai bonus tersebut seringkali dibatasi oleh syarat dan ketentuan yang berlaku (term and conditions) yang tidak dijelaskan dalam iklan. Konsumen kadang merasa dirugikan ketika mereka tergiur bonus dan tarif murah yang ditawarkan operator seluler dan baru mengetahui berbagai bonus dan tarif murah itu memiliki syarat dan ketentuan berlaku yang berderetderet setelah mereka telanjur membeli produk itu. Masyarakat kita mulai menggunakan seluler untuk hal-hal yang tidak penting. Terjun bebasnya harga telepon seluler maupun kartu perdana baik GSM ataupun CDMA menjadikan tingkat konsumerisme masyarakat menjadi melejit dengan tingkat yang amat drastis. Sekarang kita terbiasa untuk menelepon tentang hal-hal yang
88
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 tidak penting dan cenderung sepele dengan durasi yang melewati batas keawajaran karena “tarif murah” ini. Kita sebagai masyarakat dan konsumen telepon seluler telah menjadi korban “tren”, korban “nafsu kapitalisme”, korban operator seluler yang tidak pernah mau merugi, dan korban konsep persaingan yang tidak sehat dan tidak mendidik untuk menjadi hal lumrah. Operator lebih gencar menawarkan ber-bagai bonus dan tarif murah pada pelang-gan prabayar dibandingkan pascabayar. Mayoritas konsumen seluler di Indonesia merupakan pengguna kartu prabayar yang cenderung lebih beresiko untuk berganti nomor atau berpindah operator, berbeda dengan pengguna kartu pascabayar yang lebih terjamin loyalitasnya. Strategi bonus dan tarif murah dipergunakan operator seluler dalam meningkatkan loyalitas pengguna kartu prabayar. 4. Representasi di Balik Iklan Perang Tarif Pulsa Seluler Di samping menampilkan kenyataan baru, iklan berfaedah untuk membimbing kesadaran naif publik. Bukankah seperti iklan hemat listrik itu begitu memukau, sehingga publik tidak sadar kalau rumah yang diketuk itu sesungguhnya sama. Dengan bintang iklan yang rupawan, lalu dengan mengucap ‘ingat 17.00-22.00’ maka seketika publik percaya bahwa berhemat listrik adalah tugas semua orang, termasuk mereka yang sudah lama berhemat. Golongan ini adalah mereka yang menggunakan listrik hanya untuk setrika, belajar atau nonton TV. Tak mungkin iklan penghematan listrik itu mengambil objek sasaran lapangan bola yang disembur aliran listrik ribuan watt, atau pusat perbelanjaan yang menggu-nakan listrik lebih dari 24 jam. PLN lagi-lagi harus tahu bahwa mengajarkan ‘kontradiksi’ kelas itu
bukan sesuatu yang bijak. Biarkan yang berstatus rakyat kecil merasa bersalah menggunakan listrik ketimbang meminta para pejabat atau pengusaha untuk berhemat. Uang saudarasaudara, mampu membuat semua informasi dari keliru menjadi benar dan dibenarkan. Karena itu sangat penting sekali untuk beriklan. Tujuanya selain mendapat dukungan juga iklan akan mampu menyuntikkan kepatuhan secara suka rela. Gramsci menyebut dengan hegemoni. Bukan melalui paksaan serdadu tapi bikin iklan sebaikbaiknya maka dukungan dengan mudah akan kamu dapatkan. Dukungan akan mengalir deras kalau kamu dapat menyusun iklan yang memikat, menarik dan dapat mempengaruhi orang. Ingatkah kamu bagaimana tayangan iklan bencana, tambah membawa keuntungan karena jumlah sumbangan yang berlipat-lipat kemudian datang. Bencana alam yang berisikan kesedihan bisa membawa dampak empati sekaligus keuntungan yang luar biasa. Melalui iklan, semua kisah sedih akan membawa keberuntungan. Dengan iklan, maka semua keputusan politik yang sesungguhnya membawa musi-bah; dapat berubah jadi nikmat dan keberuntungan. Rakyat bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan, tapi kumpulan konsumen yang selera dan kepentinganya bisa diarahkan. Sekali lagi, pakailah iklan untuk mempertahankan kursi kekuasaanmu! Iklan akhirnya memiliki fungsi menjaga kekuasaan. Dengan iklan maka kursi kekuasaan bisa dipertahankan dengan cara-cara yang lebih beradab. Pemerintahan yang keji bisa jadi tampak baik ketika iklan menayangkan wajah pemimpin yang berparas rupawan dengan postur tubuh yang atletis.
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
89
Jurnal Sosiologi DILEMA Kekayaan yang menumpuk di tangan para pejabat, tidak akan tampak sebagai bentuk kerakusan kalau iklan menayangkan kegiatan saleh anda. Kini waktunya bagi anda untuk mengalokasikan budget khusus untuk iklan: karena suara rakyat bisa berubah menjadi suara konsumen. Sebagai suara konsumen maka semua kebijakan bisa anda perlakukan sebagai produk: yang penting bukan isi kebijakan tapi bagaimana membungkusnya! Yang paling perlu bukan bagaimana anda mampu untuk memasukkan kepentingan rakyat di dalamnya, melainkan cara dan taktik anda untuk ‘meyakinkan rakyat. Iklan yang mampu mengubah suara kedaulatan rakyat menjadi kepatuhan yang membabi buta. Pesanku yang paling ujung: jangan takut untuk beriklan! Dalam Selections from Prison Notebooks, Gramsci (1971:57) menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses “kepemimpinan” intelektual dan moral. Hegemoni merupakan penguasaan ber-dasarkan konsensus atau persetujuan yang secara langsung atau tidak langsung dan secara terbuka atau diam-diam mempengaruhi struktur-struktur kognitif dan afektif yang dikuasai. Semakin canggih hegemoni dilaksanakan, semakin tidak kelihatan kekuasaan yang dijalankan. Hal itu karena yang dikuasai sudah masuk dalam pola-pola berpikir, berkata, dan bertindak yang menguasai. Jadi, pihakpihak yang dihegemoni menerima gagasangagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok penghegemoni tidak karena dipaksa secara fisik maupun karena dibujuk untuk melakukannya tetapi mereka sendiri memiliki alasan-alasan tersendiri untuk menerimanya.
90
Dengan menggunakan kerangka hegemoni, semakin setuju pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin berhasil hegemoni yang terjadi. Dalam hal ini, ide-ide yang dijalankan dalam kekuasaan tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari yang dikuasai dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada internalisasi ideologi, kultur, nilainilai, norma-norma, dan segi-segi politik. Dengan kata lain, penggunaan kekerasan dan kekuatan mencerminkan kekurangberhasilan ideologi yang dijalankan oleh kekuasaan. Semakin koersif kekuasaan berlangsung, semakin pudar segi-segi hegemoniknya. Persaingan pelaku telekomunikasi di Indonesia saat ini kian sengit. Ceruk pasar yang potensial merupakan alasan terkuat mengapa persaingan operator. Konsumsi peralatan teknologi komunikasi seperti itu akan semakin berkembang secara kompetitif seiring dengan kemajuan teknologinya. Sedangkan kemajuan teknologi komunikasi seperti itu yang di prediksikan mampu merubah perilaku dan gaya hidup konsumen menjadi semakin realitas. Director Corporate Service PT Exelcomindo Pratama, penyedia seluler XL, Joris de Fretes, menyatakan kualitas layanan dan infrastruktur selalu ditingkatkan pihaknya tiap tahun. “Sejak berdiri 1996, kami aktif berinovasi. Bahkan, pada 2007 kami sempat mengadakan program tarif murah Rp 1 per detik, Ia menjelaskan, dari pro-gram itu jumlah pelanggannya meningkat signifikan menjadi 24,7 juta pada akhir Juni 2009, atau naik 60% dari akhir 2007 (15,5 juta pelanggan). “Kenaikan ini diperkuat dengan jaringan lebih dari 18.128 Base Tranceiver Station (BTS) baik 2G maupun 3G,” ujarnya. Dengan kenaikan pelanggan secara signifikan, XL mulai berancangancang menjadi operator terbesar kedua di Indonesia, dari sebelumnya di posisi ketiga.
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011 Revenue share selalu bertumbuh antara 17 persen dan 18 persen saat ini,” katanya. Masih dikatakan Joris, sampai saat ini revenue share perusahaannya dengan pesaing terbesar kedua (PT Indosat,red) jaraknya makin kecil, atau tinggal enam persen. “Untuk itu, kami yakin target menjadi nomor dua bisa terwujud, tentunya sesuai program tiga tahun lalu yang dicanangkan manajemen,” katanya. Di sisi lain, munculnya indikasi klaim itu, kata dia, karena di wilayah Indonesia Timur, posisinya berada nomor dua dengan total pelanggan 7,5 juta. “Hal tersebut ditunjang beberapa daerah yang menjadi pasar utama di antaranya Madura, Bali, dan Sulawesi,” katanya menegaskan. Berkat keberhasilan itu, ia semakin optimistis bisa menjadi nomor dua secara nasional. “Dalam mencapainya kami selalu berkomitmen meningkatkan pelayanan bagi pelanggan baik pelanggan baru maupun mereka yang selama ini setia dengan operator ini,” katanya. (www.perangtarifseluler.com) Di sisi lain, PT Indosat tampaknya tak terlalu menanggapi klaim XL. Mereka justru menjalankan perusahaannya dengan konsep aliran air yang perlahan namun pasti, bermuara pada ujung terbaik. “Division Head Marketing & Sales Support” PT Indosat East Java Bali Nusra (EJBN), Ahmad Rusdilfahmi, menilai, hal tersebut merupa-kan kewajaran. “Apalagi, jika operator lain saling klaim menjadi terbaik. Itu hal biasa,” ucapnya. Ia optimistis tetap menjadi terbaik kedua di Indonesia karena ketersediaan jaringan dan kualitas layanannya lebih baik daripada operator lain. “Bahkan, kini jumlah pelanggan Indosat kian melejit. Per September mencapai 36 juta orang dan ketersediaan jaringan 15.428 BTS. Intinya, masyarakat yang menilai mana yang terbaik,” katanya. Sebelumnya, Head of Corporate Communication operator GSM Axis PT Natrindo Telepon Seluler Anita Avianty
menegaskan, pihaknya juga ingin memantapkan posisinya sebagai yang pemain telekomunikasi terbesar keempat di Indonesia. “Kini, jumlah pelanggan kami 6 juta orang atau naik dari tahun lalu sekitar 3 juta,” katanya (pulsa10) (www.tekno-loginet.com) Dengan total aset sebesar 55 triliun, Indosat telah mencatat keuntungan tahun 2009 sebesar 1.5 triliun, dengan EBITDA 48%. Angka ini tentu saja kurang menggembirakan, jika dilihat dari potretnya selama 5 tahun terakhir. Laba Indosat tahun 2005 dibukukan sebesar 1.6 triliun, tahun 2006 sebesar 1.4 triliun, tahun 2007 sebesar 2 triliun dan tahun 2008 sebesar 1.9 triliun, berarti rata-rata pertumbuhan tercatat hanya 0.9%. Begitu juga dengan aset, tahun 2005 total aset Indosat sebesar 33 triliun, artinya dalam kurun lima tahun, pertumbuhan nilai aset hanya berkisar 68%. Angka ini jauh di bawah XL, Telkomsel dan kompetitor lain di industri Telco. Tahun 2005 total aset XL hanya 9.4 triliun, sedangkan di penghujung tahun 2009 XL telah mencatat total aset 27.4 triliun, atau tumbuh hampir 200%. Tentang laba, akhir tahun 2009 XL melaporkan laba sebesar 1.8 triliun, sebuah capaian yang mencengangkan, mengingat dalam lima tahun terakhir keuntungan XL terseokseok. Tahun 2005 XL mencatat kerugian 224 miliar, demikian juga tahun 2008 juga mengalami kerugian 15 miliar. Sedangkan tahun 2006 dan 2007 mencatat keuntungan masing-masing 652 dan 251 miliar. XL masih mencatat EBITDA tahun 2009 yang lumayan sekitar 45 %. Pada lima tahun terakhir, Indosat meraih rata-rata pertumbuhan pelanggan berkisar 25%. Tahun 2005 Indosat membukukan jumlah pelanggan sebanyak 14.512 jt, tahun 2006 naik menjadi 16.705 jt, tahun 2007 naik kembali menjadi 24.550 jt, tahun 2008 naik lebih tinggi menjadi
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
91
Jurnal Sosiologi DILEMA 36.510 jt, sedangkan tahun 2009 Indosat mencatat pertumbuhan negative sebesar 3.380 jt, sehingga jumlah pelanggan menjadi 33.130 jt. Tahun 2005 XL baru bias mengumpulkan pelanggan sebanyak 6.978 jt, tahun 2006 terkumpul sebanyak 9.528 jt, tahun berikutnya 15.469 jt, tahun 2008 mencapai 26.016 jt dan akhir tahun 2009 kemarin berhasil meraih angka 31.438 jt. Jika dibandingkan dengan Indosat, setiap tahun XL berhasil meraih pertumbuhan pelanggan yang selalu lebih tinggi. Dalam lima tahun tersebut, pelanggan XL bertumbuh 4.5 kali, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 47%. E. Kesimpulan Dari dua sudut pandang yang berbeda, Pertama keperkasaan hegemoni kapitalistik, yang direpresentasikan oleh tarif pulsa murah dalam iklan disply di media merupakan suatu upaya bukan saja untuk meningkatkan margin penjualan produk tetapi juga adanya upaya dari pihak provider untuk mempertahankan popularitas yang telah mereka capai. Dengan demikian fungsi iklan sebenarnya menjadi multi fungsi yakni,: meningkatkan penjualan produk, mempertahankan popularitas, menanam imajinasi di benak konsumen, memberikan kepercayaan kepada konsumen dan fungsi lainnya. Kedua dari sisi konsumen memang dirasakan adanya hegemoni ekonomi politik kekuasaan dari kapitalis untuk menjadikan konsumen sebagai obyek kekuasaan.
92
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
ISSN : 0215/9635, Vol 26. No.1 Tahun 2011
Daftar Pustaka Aifin, MT. “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan” dalam Karim, Rusli dan Ridjal, Fauzie (Ed). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana. Hardiman, Budi, F. 1993. Refleksi Sosial Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu,Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius. Heru Nugroho, Pengantar, The Globalization of Nothing, (George Ritzer), Penerbit, Universitas Atmajaya,Yogyakarta,2006 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, 2005 Giddens (1979) dalam Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Prakeik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta,2005 John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar KonprehensipTeori dan Metoda, Penerbit Jalasutra Yogyakarta,2007 Widyarsono, A. “Teknologi dan Sains sebagai Ideologi (Rasionalisasi Weber menurut Habermas)”. Teori Kritis Harbemas, Sebuah Alternatif, Thn. XVIII (1991). No. 4. Wibisono, Koento. “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan” dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana. Elisawati, Ventura.” Ketika Luna Maya “menjadi” Monyet” Online posting 26 Oct. 2008. < http://vlisa.com/2008/10/26/ketika-luna-maya-menjadi-monyet/#comment234825>. http://khalidmustafa.wordpress.com/2008/02/21/perbandingan-tarif-xl-01-detik-dantarifim3- 001-detik/ http://khalidmustafa.wordpress.com/2008/03/04/tarif-im3-diturunkan-menjadi000000000001-detik/ XL-Indosat Siapa Lebih Baik? http://www.perangtarifseluler.com/front/index.php/beritamedia/69-inilah/1443-xl-indosat-siapa-lebih-baik XL-Indosat Siapa Lebih Baik? Posted In Berita IT On Sunday, October 11th, 2009 http://www.teknologinet.com/2009/10/xl-indosat-siapa-lebih-baik.html http://www.indosat.com/template/media/editor/files/Indosat_annualreport2006.pdf http://www.indosat.com/Investor_Relations/Investor_Relations/Annual_Report
Vibriza Juliswara “Representasi di Balik Perang Iklan Tarif Pulsa Seluler”
93
Jurnal Sosiologi DILEMA
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH DAN PENELITIAN SOSIAL DILEMA SOSIOLOGI
Jurnal Ilmiah dan Penelitian Sosial DILEMA (Dialektika Masyarakat) SOSIOLOGI menerima naskah Ilmiah berupa hasil penelitian atau artikel dalam bidang Ilmu Sosiologi. Adapun pedoman penulisan naskah adalah : 1. Naskah belum pernah dimuat atau sedang diajukan untuk dimuat dalam media publikasi lainnya. 2. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4/kwarto, dengan jarak 1,5 spasi, font 12 (margin : atas – bawah – kanan 3 cm, kiri 4 cm), disket disertakan. 3. Judul naskah seluruhnya ditulis dengan huruf besar dilengkapi dengna judul dalam bahasa Inggris. Di bawah judul ditulis nama para penulis (tanpa gelar), dan tambahkan catatan kaki tentang instansi dan jabatan penulis. 4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris untuk naskah berbahasa Indonesia dan sebaliknya (maksimum 250 kata). 5. Sistematika penulisan naskah terdiri atas : a. Hasil Penlitian : Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan Terima Kasih (kalau ada), Daftar Pustaka. b. Artikel : Pendahuluan, Pembahasan, Penutup, Daftar Pustaka. 6. Penulisan daftar pustaka berpedoman pada contoh berikut : a. Terbitan Berseri : Leibo, Jefta. 2003. Pemberdayaan Perempuan di Kawasan Timur Indonesia, Wanodya, Jurnal Ilmiah Penelitian Kajian Wanita dan Gender, No. 15 Tahun XIII, 51 – 55. b. Buku : Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. (1st and 2nd ed). University of Chicago Press. Chicago. c. Makalah Seminar : Haryono, Bagus. (2004, Oktober). Menemukan Model Kontrol Sosial yang Efektif. Makalah disajikand alam Seminar Hasil Penelitian Dosen Muda. Surakarta. d. Tulisan yang tidak dipublikasikan : Utami, Trisni. 1994. Pola Adaptasi dalam Penerimaan Inovasi pada Sistem Pertanian Peladangan di Daerah Transmigrasi Rajawajitu Lampung Utara. Tesis (S2) yang tidak dipublikasikan. Program Studi Ekologi manusia. Unversitas Indonesia. Jakarta. 7. Redaksi berhak mengubah naskah dengna tidak mengurangi pokok isi tanpa ijin penulis. Demikian syarat penulisan yang harus ditaati setiap calon penulis. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
94