6 INTERAKSI EKSPLOITATIF ANTAR STAKEHOLDER KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN
6.1 Pengantar Tujuan dari bab ini adalah mendeskripsikan interaksi antar para pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan. Stakeholder yang dimaksudkan dikelompokkan dalam tiga kubu, yakni penegak hukum, pengelola perikanan dan pemanfaat perikanan. Di dalam bab ini akan dipaparkan secara panjang lebar profil dan cara pandang dari masing-masing stakeholder, yang ternyata dilandasi oleh perbedaan kepentingan. Dalam bab-bab selanjutnya akan terlihat bahwa perbedaan kepentingan yang melahirkan perbedaan pendapat itu ternyata berakar pada masalah hubungan kelas yang eksploitatif. Informasi utama untuk bab ini berasal dari focus group discussion (FGD) yang dilakukan pada kegiatan pembentukan koperasi Ata Matuna. 6.2 Metodologi Adapun metodologi yang dipakai untuk memperoleh informasi ini adalah 1) FGD (focus group discussion), 2) indepth interview, 3) pencatatan data statistik dan 4) observasi. Kategori informasi yang sama yang diperoleh atau pendapat dari berbagai responden yang sama dikumpulkan dalam kelompok katalog yang sama. Hasil FGD yang utama adalah yang dari pertemuan untuk pendirian koperasi Ata Matuna. Kami tidak melakukan sendiri FGD, tetapi oleh moderator dan trainer. Sejumlah tema yang sebaiknya dikembangkan dalam FGD kami diskusikan dengan moderator, yakni pak Darwin, seorang guru SD di pulau ini yang berperan sebagai moderator, maupun trainer. Jadi, kami tidak melakukan sendiri FGD tersebut. Topik-topik yang ditanyakan adalah : 1) identifikasi diri dan masyarakat, 2) identifikasi masalah yang dihadapi, 3) usaha-usaha yang bisa dikembangkan melalui koperasi.
126
6.3 HASIL PENELITIAN 6.3.1 Profil stakeholder 6.3.1.1 Pemanfaat perikanan Banyak pendatang dari Pulau BallangLompo, Sarrapo, Pulau Lumu-lumu, dari Makassar, dan lain-lain yang mencari hidup / bekerja di pulau ini. Beberapa diantara mereka juga menikah dengan penduduk pulau ini dan menetap, sementara yang lain menetap atau ikut tinggal di rumah punggawanya. Angka kematian nelayan di Pulau Barrang Lompo karena kecelakaan di laut berupa akibat penyelaman tertinggi dibandingkan pulau-pulau lain berdasarkan data yang kami peroleh dari Bu Bidan Nursiah. Angka kematian karena terkena ledakan bom ikan sangat kecil. Pernikahan dini masih tinggi, usia belasan sudah menikah. Maklum sekolah umumnya hanya sampai SMP, setelah itu apa lagi kalau bukan menikah. Pengaruh video porno yang merebak disana dan kategorisasi ’main perempuan’ hanya sebagai kenakalan biasa yang mendorong pernikahan dini. Selain itu, ’uang naik’ yang tinggi sekitar 10 juta belum lagi uang pestanya, menyebabkan laki-laki cenderung cepat turun ke laut menjadi nelayan. Kebanggaan bagi si nelayan bila dia mampu membayar sendiri ’uang naik’ tersebut (cultural pride). Pada tahun 1999 ada 719 orang yang masih sekolah, yang terdiri dari 650 siswa Sekolah, 49 siswa SMP, 17 siswa SMU serta ada 3 orang yang berada pada bangku perguruan tinggi. Di pulau ini hanya ada dua sekolah dasar, yakni SD Inpres dan SDN Barrang Lompo, serta 1 sekolah SMP. Jika seseorang ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi dia harus ke luar pulau ini, bisa ke Makassar atau ke Pulau Ballang Lompo. Artinya, biaya pendidikan akan meningkat karena dia harus membayar biaya pondokan, transportasi dan makan di sana. Tidaklah mengherankan bila terjadi banyak putus sekolah hanya sampai tingkat SMP saja. Selain itu, ada dua kecenderungan, yakni pertama semakin tinggi kelas akan semakin sedikit jumlah muridnya, dan kedua jumlah murid perempuan jauh lebih banyak pada kelas-kelas yang lebih tinggi. Bahkan mereka yang berada di perguruan tinggi kebanyakan adalah perempuan (tahun 1999 ketiganya perempuan), begitu juga tahun 2005 ini dari 9 orang yang berpendidikan S 1
127
sebagian besar perempuan. Salah satu masalah paling pelik dalam pendidikan di pulau ini adalah ketika musim tangkap ikan, hanya sedikit murid yang datang ke sekolah. Kebanyakan mereka pergi ke laut. Pulau Barrang Lompo ini terletak tidak jauh dari kotamadya Makassar, bahkan merupakan salah satu kelurahan dari kota tersebut. Pulau ini bisa dicapai dengan menggunakan perahu penumpang sekitar 45 menit. Kedekatan ini tampaknya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat. Bila dibandingkan dengan pulaupulau lain di kepulauan Spermonde, seperti Kapoposang, Papandangan, dan lainlain, boleh dikatakan di kelurahan Barrang Lompo ini terdapat variasi pekerjaan paling banyak dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya paling baik. Bahkan terdapat jenis-jenis pekerjaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hasil laut, seperti kerajinan perak, menenun sarung, jual keliling barang perkakas rumah dan pakaian, jual gorengan, jual bakso dan lain-lain. Peluang melakukan pekerjaan ini dipengaruhi kegiatan ekonomi di Makassar. Sebagian besar penduduk tentu saja bekerja dalam usaha yang berhubungan dengan hasil laut. Ada 5 jenis ikan karang yang menjadi target utama untuk ditangkap, yakni sunu, baronang, rappo-rappo (yellow tail fish), laccukkang dan sinrilli. Jenis ikan lain yang juga banyak ditangkap adalah ikan merah, katamba, kerapu, ande-ande, tawassang, kalampute, papakkulu, dan dora-dora. Ikan Sunu adalah ikan komersial yang banyak diharapkan nelayan pada kegiatan menangkap ikan. Tahun 1990-an ikan jenis ini meningkat drastis harganya menjadi sangat mahal. Contohnya jenis ikan sunu ukuran super (berat 0,5 sampai 1 kg) pada tahun 1991/1992 harganya hanya Rp 6000,-, tetapi pada tahun 1995/1996 harganya menjadi Rp 12.000,-. Ikan ini dijual dalam keadaan hidup, jika sudah mati harganya rendah sekali. Penduduk pulau ini sebagaimana daerah lain di provinsi Sulawesi Selatan beragama Islam; memang terdapat beberapa orang yang beragama nasrani tetapi mereka pendatang dari Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
128
6.3.1.2 Pengelola perikanan Adapun yang dimaksud dengan pengelola perikanan di sini adalah aparat pemerintah, mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kotamadya, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya Makassar. Aparat tingkat kelurahan tidak semuanya berada di pulau. Pada saat penelitian ini berlangsung hanya Pak Hasbi sebagai Kaur Pemerintahan saja yang berada di pulau, selebihnya termasuk Pak Lurah ada di kota Makassar. Wawancara dengan para aparat tersebut mengapa mereka tidak berada di pulau, diperoleh jawaban bahwa tinggal di pulau dengan gaji kecil membosankan. Menurut mereka lebih baik tinggal di kota Makassar, selain dekat keluarga, tidak ada tambahan biaya hidup lagi sebagaimana kalau tinggal di pulau. Setiap waktu mereka bisa ke pulau, khususnya kalau ada pejabat datang atau ada perayaan hari besar
nasional atau keagamaan. Dalam pandangan mereka tinggal di pulau
membosankan. Contohnya, ketika perayaan 17 Agustus-an saat penelitian ini masih berlangsung, beberapa kali mereka hadir ke pulau untuk mengiringi pejabat. Sorenya mereka pulang ke kota. Ketika ditanyakan soal praktek penggunaan teknologi tangkap yang destruktif, para aparat kelurahan juga mengeluhkan tetapi mereka bisa memaklumi karena hanya dengan cara itu penduduk bisa sejahtera.
Menurut
mereka cara itu tidak bisa dihentikan karena sudah turun temurun dan tidak ada teknologi tangkap alternatif yang tersedia. Pengawasan juga sulit sebab tiadanya sarana untuk itu. Selain itu, penduduk juga sudah sangat tergantung kepada Punggawa Pa’es. Kalau dilarang bisa menimbulkan konflik yang berbahaya bagi keharmonisan masyarakat pulau ini. Ketika ditanyakan pula ke aparat kecamatan, maka yang muncul adalah keluhan. Pertama, mereka tidak punya sarana untuk melakukan pengawasan. Kedua, kalau dilakukan tindakan tegas misal berupa teguran atau larangan langsung kepada nelayan-nelayan pelaku, dikuatirkan akan terjadi kericuhan besar dan keselamatan aparat kelurahan maupun kecamatan akan menjadi taruhannya. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kotamadya Makassar juga selalu mengeluhkan hal ini, tetapi mereka melihat sisi positifnya, yakni kesejahteraan penduduk yang terjamin. Selain itu, ketiadaan alternatif teknologi dan krisis
129
ekonomi yang tiada kunjung henti menyebabkan mereka memaklumi praktek penggunaan bom ikan. Tambahan pula, produksi ikan jadi meningkat. Kendala yang dihadapi oleh DKP kotamadya Makassar adalah terbatasnya anggaran pengawasan, hanya memilik satu kapal untuk pengawasan dan hanya ada satu Pegawai Penyidik Kelautan. Ilustrasi mereka, sekali operasi menghabiskan biaya sedikitnya Rp 500.000,-. Itu sebabnya dalam setahun, mereka hanya bisa melakukan dua kali operasi pengawasan. Menurut salah seorang kepala bidangnya, praktek penggunaan bom ikan sudah disadari nelayan potensi untuk merusak terumbu karang, karena itu nelayan saat sekarang memilih area mengebom. Bom ikan biasa diledakkan di permukaan laut saja. Kalau dulu sering menggunakan bom ikan 5 liter untuk sasaran di dasar laut, kini lebih banyak menggunakan bom yang diledakkan di permukaan laut, yakni 0,25 liter, 0,5 liter dan 1 liter saja. Harga pembuatan sebuah bom ikan juga menjadi pertimbangan, karena akhir-akhir ini harga material bom ikan naik pesat. Biaya pembuatan 0,25 liter bom ikan (ukuran botol Krating Daeng mencapai Rp 50.000,-).
Jadi, sebenarnya sudah mulai ada kesadaran tentang pentingnya
kelestarian lingkungan laut di kalangan masyarakat nelayan.
6.3.1.3 Penegak hukum Adapun yang dimaksud dengan penegak hukum di sini adalah aparat keamanan dan pengadilan. Aparat keamanan terdiri dari Polisi Sektor, Polisi Pelabuhan, Polisi Daerah, Poltabes Makassar, Polairud. Aparat Pengadilan yang sempat diwawancarai secara intensif adalah dua hakim pengadilan kotamadya Makassar yang pernah menangani pengadilan nelayan yang melakukan destructive fishing maupun pedagang ilegal material bom ikan. Dari wawancara yang dilakukan, keluhan dari para penegak hukum ini yang utama adalah masalah penghasilan yang kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup. Masalah ini semakin terasa ketika seorang penegak hukum harus tugas di pulau-pulau kecil yang jauh dari kota. dia terpisah dari keluarganya, sehingga dia harus mengeluarkan biaya ekstra.
Kalau dia mau menengok
keluarganya harus memakai kapal dengan biaya yang cukup besar.
130
Selain itu, mereka mengeluh kalau dilakukan tindakan yang represif terhadap nelayan bom ikan, maka akan terjadi kericuhan (social upheavel) besar, karena para nelayan bisa menggunakan bom sebagai senjata untuk membela dirinya bila terdesak.
6.3.2 Interaksi eksploitatif Situasi lingkungan sosial
sebagaimana yang telah diuraikan di atas
berpengaruh positif terhadap gencarnya perdagangan ilegal material bom ikan. Penduduk yang sebagian besar adalah Sawi dari kapal Pa’es bersikap melindungi para Punggawanya. ”Punggawa itu kehidupan kita, ....kita mesti melindunginya”, kata seorang nelayan. Itu sebabnya mereka melindungi Punggawanya dari incaran polisi yang akan menangkapnya. Punggawa Lelang
Oknum Polisi
Punggawa Darat
Punggawa Pulau
IKAN
UANG
NELAYAN PA’ES
Gambar 14 Aliran ikan dan uang dari nelayan Pa’es ke oknum polisi dan para Punggawa
131
Tabel 4 Neraca interaksi antara Nelayan dengan Punggawa Pulau dan Penegak Hukum dalam kegiatan perikanan di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan No Pelaku interaksi Keuntunganyang nelayan dengan diperoleh nelayan 1. Punggawa Pulau 1.modal untuk res 2.perlengkapan res 3.pinjaman uang sewaktu-waktu tanpa bunga 4.kalau ditahan polisi, dibebaskan 5.biaya sekolah anak dan kesehatan 6.Biaya nikah 2 Penegak Hukum 1.kepastian res 2.bahan bom ikan
Kerugian yang diperoleh nelayan 1.setor hasil tangkapan ikan dgn harga rendah (pembeli monopsoni) 2.bagi hasil yang rendah 3.bantuan tenaga untuk perawatan kapal 4.bantuan tenaga untuk kegiatan punggawa, spt pernikahan anak nya, pemilu, 1.bayar uang polisi 2.kasih ikan untuk lauk pauk
Sumber : Hasil fieldwork penulis Ikatan patron-klien yang menunjukkan loyalitas sangat tinggi dari para Sawi kepada punggawanya, memungkinkan lestarinya praktek kenelayanan destruktif ini. Sawi memperoleh pinjaman uang untuk keperluannya misal untuk anak sekolah, istri sakit atau melahirkan anak, dan lain-lain. Begitu juga ketika Punggawa membutuhkan tenaganya untuk operasi pencarian ikan, untuk pesta pernikahan anaknya, untuk pemeliharaan kapalnya, bahkan untuk kampanye Pemilihan Umum, Sawi akan dengan sigap membantu. Pola hubungan kerja yang terbentuk karena hutang (debt working relationship) ini bertahun-tahun berjalan terus di pulau ini. Dalam kerja kenelayanan Pa’es ternyata ada hubungan kerja lain yang juga terbentuk karena interaksi yang ada dalam operasi
penangkapan ikan, yakni
hubungan kerja semu (pseudo working relationship) antara nelayan dengan oknum polisi. Oknum polisi memberikan semacam ’garansi’ untuk kepastian berangkat berlayar meninggalkan pulau dengan membawa alat tangkap bom ikan. Selain itu, beberapa oknum polisi juga diduga, berdasarkan informasi dari banyak penduduk,
membantu
dalam
perdagangan
illegal
material
bom
ikan.
Sebagai ’imbalannya’ nelayan di’wajibkan’ menyetor uang polisi sepulang dari berlayar dan memberi sejumlah ikan lauk pauk untuk para oknum tersebut.
132
Pola hubungan semacam ini meluas tidak hanya sampai di pulau, akan tetapi juga sampai ke kota Makassar. Punggawa di pulau pinjam modal ke Punggawa di Makassar (Punggawa Darat) untuk modal usahanya, misal untuk beli mesin kapal. Hasil tangkapan ikannya akan dijual ke Punggawa dengan harga yang sudah ditentukan sepihak oleh Punggawa yang piutang. Pinjam modal di sini tidak hanya berupa uang semata tetapi bisa dalam bentuk natura, misal mesinnya, kapal, atau material bahan bom ikan. Walaupun belum dipastikan semuanya mengikuti pola ini, tetapi beberapa kasus yang ada menunjukkan bahwa aliran ikan seringkali sejalur dengan aliran modal dan aliran material bom ikan.
Tabel 5 Neraca Interaksi antara Punggawa Pulau dengan Punggawa Darat dan Punggawa Lelang No Interaksi Untungnya Ruginya Punggawa Pulau dengan 1 Punggawa Darat 1.Bantuan modal 1.Pembelian monopsoni 2.Pengetahuan ikan dengan harga lebih 3.Bantuan menghadapi rendah penegak hukum 1.Pembelian monopsoni 2 Punggawa Lelang 1.Bantuan modal ikan dengan harga lebih 2.Pengetahuan rendah 3.Bantuan menghadapi penegak hukum Sumber : hasil fieldwork penulis, 2005 Tingkat pendidikan yang rendah, pernikahan dini dan pola hidup yang konsumtif merupakan faktor internal yang mendorong nelayan untuk menjadi nelayan Pa’es. Hal ini telah banyak diuraikan dalam bab sebelumnya. Lingkungan fisik yang berlimpah ikan, khususnya ikan karang, perairan yang jernih juga mengundang para nelayan untuk berlomba menangkap ikan sejak puluhan tahun yang silam. Ketika perairan Pulau Barrang Lompo masih dipenuhi ikan,orang menangkap ikan di sekitar pulau itu saja. Setelah perairan itu berkurang ikannya, orang pun mulai mencari ikan jauh dari kampung halamannya dan keterikatan nelayan terhadap Punggawa-punggawa tersebut semakin meningkat.
133
6.3.3 Identifikasi nelayan terhadap dirinya maupun pihak lain Di dalam workshop : Program Pengembangan Kewirausahaan dan Pembentukan Koperasi Ata Matuna Pulau Barrang Lompo yang diselenggarakan oleh Lembaga Maritim Nusantara dan Forum Mitra Bahari diperoleh informasi tentang cara pandang atau identifikasi nelayan terhadap dirinya maupun para pihak lainnya secara emic. Tempat workshop adalah Marine Station Universitas Hasannuddin yang terletak di Pulau Barrang Lompo pada tgl 6 – 7 Agustus 2005 dengan moderator Pak Darwin, seorang guru SD. Adapun peserta lebih dari 50 orang, tetapi tidak ada satu pun Punggawa Pa’es yang turut hadir. Ada beberapa kesimpulan yang diperoleh dari workshop yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini, yakni : 1) identifikasi nelayan terhadap dirinya dan Punggawa, 2) identifikasi nelayan terhadap usaha-usaha yang bisa dikembangkan melalui koperasi Ata Matuna dan 3) identifikasi nelayan terhadap masalah-masalah yang dihadapinya sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini rangkuman hasil workshopnya. Nelayan melihat dirinya sebagai pihak yang hanya punya pengetahuan dan ketrampilan dalam kerja kenelayanan. Pihak Punggawa dianggap sebagai superior, karena punya modal, jaringan pemasaran, etos kerja yang tinggi. Tidak mengherankan menurut nelayan bahwa Punggawa memperoleh pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan Sawi. Pengetahuan jaringan pemasaran ikan dikuasai oleh para Punggawa, sehingga harga ikan hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Hal ini dianggap sebagai masalah besar, menurut nelayan, yang menjadi kendala hingga kini mereka tidak bisa sejahtera. Para nelayan berharapkan koperasi bisa menjadi alat yang memecah monopoli pemasaran, dalam arti bisa memasarkan hasil laut nelayan dengan harga yang lebih bagus. Adapun rincian workshop pembentukan koperasi tersebut adalah sebagai dideskripsikan di bawah ini. Diawali dengan pengantar dari moderator tentang pentingnya koperasi dalam mengembangkan kewirausahaan di masyarakat Pulau Barrang Lompo. Masyarakat di pulau ini belum terbiasa untuk kerjasama. Lebih sering terjadi pertengkaran bila ada kerjasama antar penduduk. Penduduk biasa sendiri-sendiri dalam bekerja. Buktinya cukup banyak. Dulu di pulau ini pernah dibentuk
134
Tabel 6 Rumusan nelayan tentang karakteristik wirausahawan, bidang usaha koperasi kenelayanan, dan peran koperasi dalam perdagangan komoditi perikanan 1
Aspek Kewirausahaan
Wirausahawan (pedagang, pawarung, souvenir, Punggawa) a. bercirikan 1.etos kerja = keberanian, kerja keras, hemat, disiplin, berdasarkan target b. pengetahuan = skill, ketrampilan, pengalaman c. pasar, komoditi/usaha yang dipilih d. relasi/jaringan e. modal&perencanaan keuangan Pekerja (Sawi, pegawai dll) Hanya punya pengetahuan, skill, ketrampilan dan pengalaman 2 Bidang usaha koperasi Kelompok usaha barang-barang produksi : kenelayanan a. jual-beli komoditi perikanan/kelautan b. warung serba ada (sembako) c. kebutuhan alat tangkap nelayan d. depot air minum e. home industry hasil laut f. dan lain-lain Kelompok usaha jasa : a. simpan pinjam b. pembayaran listrik/air minum c. kredit kepemilikan mesin kapal d. dan lain-lain 3 Contoh permasalahan : Jual beli komoditi perikanan : usaha perikanan Mata rantai pemasaran hasil laut 1. nelayan Æ Punggawa Pulau Æ Punggawa Darat Æ TPI (Punggawa Lelang) Æ Papalele/ Pagandeng Æ konsumen 2. nelayanÆPunggawaPulauÆPunggawa DaratÆ TPI (ponggawa lelang) Æ Pasar tradisional/moderenÆkonsumen 3. nelayanÆPunggawaPulauÆPunggawa DaratÆeksportirÆkonsumen 4. koperasi dapat menjembatani antara produksi/tangkapan nelayan ke Ponggawa/eksportir atau konsumen Sumber : Rapat pendirian koperasi Ata Matuna di Pulau Barrang Lompo(2005)
135
koperasi tetapi kocar kacir alias gagal. Uangnya entah kemana. Koperasi hanya ada namanya, tidak ada kegiatannya. Sebelum dilanjutkan lebih jauh, moderator mempersilahkan penduduk menyampaikan harapan-harapannya atau usul-usulnya. Pak Harijo sebagai penanya pertama mengatakan : Koperasi itu penting. Tapi susah mengurusnya. Harus bagus pengurus-pengurus yang dipilih nanti. Itu syaratnya, jika koperasi tidak mau mati lagi. Persepsi peserta, menurut hemat penulis, melihat bahwa manajemen koperasi sangat rumit, sehingga diperlukan orang yang pandai dan trampil Penanya kedua Daeng Tata yang panjang lebar membahas tentang perkoperasian dan trauma kegagalan membangun koperasi yang dialami oleh masyarakat pulau ini : Undang-undang nomer 5 tahun 92 tentang perkoperasian perlu kita jadikan pegangan. Masyarakat kita masih dihantui fenomena koperasi yang lalu. Itu perlunya pelatihan koperasi, terutama untuk pengurus. Adapun yang menarik adalah pendapat penanya ketiga yakni Daeng Ince : Pengurus yang dipilih nanti harus yang punya kemampuan mengembangkan Ata Matuna, bukan hanya pandai bicara. Kemampuan bicara bukan yang terutama jadi kriteria pengurus, harus orang mampu yang dipilih sebagai pengurus. Disini terlihat bahwa banyak tokoh masyarakat yang dipilih jadi pengurus sebelumsebelumnya adalah orang-orang yang pandai bicara. Pak Harijo menimpali tentang kegagalan membangun koperasi di masa lalu : Saya tidak tahu bagaimana masa depan Pulau Barrang Lompo, bukannya pesimis. Saya mengusahakan sosialisasi dengan banyak pihak sebagai pembuka. Entah kenapa pengurus-pengurus sebelumnya
selalu gagal mengembangkan
koperasi. Pak Rojai menyambung pendapat pak Harijo : Supaya terhindar dari kegagalan-kegagalan seperti sebelumnya, langsung saja sekarang susun struktur organisasinya Moderator
menjawab secara singkat saja semua harapan tersebut dan
meminta Pak Ariefuddin sebagai motivator koperasi untuk memulai ceramahnya sekaligus merespon harapan-harapan dari peserta. INTI CERAMAH : Pak Ariefuddin dari Lembaga Pendidikan Koperasi
136
(beliau diminta oleh Dinas Kelautan dan Perikanan kotamadya Makassar untuk memotivasi penduduk agar mau mengembangkan koperasi yang diharapkan kelak bisa mengurangi pula kenelayanan destruktif). Syarat berdirinya koperasi itu adalah adanya kepentingan ekonomi yang sama. Co berarti bersama dan operation berarti berusaha. Koperasi artinya usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Sehingga koperasi merupakan suatu badan usaha sekaligus perkumpulan orang. Ini penting. Koperasi bekerja bersama-sama, bergotong royong, bukan sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Gotong artinya dikerjakan bersama dan royong artinya dinikmati bersama. Di koperasi kita belajar bekerjasama. Koperasi minimal 20 orang, dan anggota punya hak khusus. “Sing kama ji” jangan disamakan antara anggota koperasi dan bukan anggota koperasi. Nilainilai yang mendasari koperasi adalah : kebersamaan, menolong diri sendiri, kejujuran, keadilan, demokratis. Prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam menjalankan koperasi : keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan demokratis, SHU dibagi adil sesuai jasa, kerjasama antar koperasi dan usaha lain, kemandirian, serta balas jasa terbatas. Pengurus koperasi dipilih berdasarkan kriteria “es te em je” (STMJ). S = sempat, orang yang menjadi pengurus harus punya waktu cukup untuk koperasi, kalau yang sibuk-sibuk jangan. T = tahu, orang tersebut harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan tentang koperasi, sehingga bisa mengembangkan koperasi. M = mau, orang itu harus punya kemauan kuat atau motivasi untuk bekerja demi kemajuan koperasi. J = jujur, ini kunci dari semua-semuanya. Umumnya koperasi bangkrut karena pengurusnya tidak jujur. Pesan yang disampaikan oleh pembicara pertama ini menekankan bahwa : 1) orang pulau ini belum biasa kerjasama, dan koperasi menjadi wahana berlatih kerjasama, 2) Masih kurangnya pengetahuan tentang koperasi di masyarakat pulau ini 3) Tiadanya kejujuran seringkali sebagai penyebab bangkrutnya usaha koperasi
137
Selanjutnya peserta workshop ini dilatih tentang pernik-pernik koperasi seperti jenis-jenis usaha di daerah pesisir, peluang permodalan dan juga manajemen kewirausahaan. Pelatihan-pelatihan ini sangat teknis sifatnya dan disampaikan oleh Pak Asrul dan Pak Nasruddin selama dua hari. Pada hari kedua peserta diminta untuk bersama-sama merumuskan beberapa hal penting yang juga berkaitan dengan tema disertasi kami. Hasil perumusan yang dilakukan oleh nelayan sendiri dengan dipandu oleh trainer sebagaimana yang tertera pada tabel di bawah ini. Perumusan ini tentang tiga hal. Pertama, bagaimana penduduk merumuskan potensi kewirausahaan yang ada di masyarakat pulau ini, yang dibagi antara dua lapisan masyarakat, yakni kelompok yang sudah terbiasa wirausaha (ponggawa, pawarung, pedagang, penjual souvenir) dan kelompok yang hanya mempunyai pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan (para Sawi, pegawai dll.). Kedua, bagaimana penduduk melihat potensi usaha apa yang bisa dikembangkan oleh koperasi, yang dibagi atas 2 kelompok usaha, yakni kelompok usaha barang-barang produksi dan kelompok usaha jasa. Ketiga, penduduk diminta merumuskan masalah kenelayanan yang paling penting, dan mereka melihat rantai pemasaran hasil laut yang membuat nelayan pada posisi dieksploitasi. Koperasi diharapkan bisa menyeimbangkan posisi antar stakeholder yang terlibat dalam matarantai pemasaran.
6.4 Pembahasan Eksploitasi juga terjadi pada hubungan patron client (lihat Li Causi, 1981 ; Noel, 1990; Putra, 1996 dan Scott, 1992) sebagaimana yang terjadi di masyarakat Pulau Barrang Lompo. Hubungan kerja yang berdasarkan hutang (debt working relationship) terjadi antara nelayan dengan Punggawa Pulau. Mata rantai berikutnya adalah Punggawa Pulau dengan Punggawa Darat, dan terakhir antara Punggawa Darat dengan Punggawa Lelang. Punggawa Pulau(pemilik modal uang) yang membiayai operasi penangkapan ikan (res). Ia bertindak sebagai pembeli monopsoni hasil tangkapan nelayan dengan harga sepihak. Rantai berikutnya pembeli monopsoni oleh Punggawa Darat dan selanjutnya adalah Punggawa lelang (TPI) Pembeli monopsoni dengan harga rendah ini terjadi
138
diduga karena aliran modal dari Ponggawa dan juga aliran material bom dari Ponggawa di atasnya. Beberapa nelayan mengemukakan bentuk interaksi eksploitasi sosial dalam kalimatnya sebagai berikut : - ”Nelayan disini sangat terikat dengan pengusaha. Kita tahu harga di Ujung Pandang 35 ribu, sementara pengusaha bikin harga seenaknya misal hanya 24 ribu. Kita tidak bisa protes karena perbekalan kita dari mereka”(Ar, bukan nama sebenarnya, Punggawa pa’es). Ungkapan yang lain : ”Harga ikan di pulau bisa 2 kali lipat dibandingkan harga di kota karena nelayan menjual ikan di kota dan para Pa ba’lu juku membeli ikan-ikan tersebut dan menjualnya di pulau. Jenis ikan-ikan tembang yang per basket (keranjang kecil) di kota Rp 5000, di pulau bisa Rp 10 ribu” (Hari, bukan nama sebenarnya, penduduk PBL) Adapun oknum penegak hukum (pemilik modal hukum) mempunyai hubungan kerja semu dengan nelayan (pseudo working relationship) yang memungkinkan nelayan membeli material bom ikan melalui perdagangan ilegal material bom ikan dan memungkinkan nelayan melakukan operasi penangkapan ikan dengan cara DF. Ia melakukan pemungutan ‘uang polisi’ terhadap nelayan yang melakukan DF. -”Kasihan para pelanggar, mereka korban saja. Sudah tiap kali beri uang untuk polisi, tertangkap dan para polisi itu tidak melindungi tapi menyuruh nelayan untuk membayar uang sogokan lagi yang nantinya dibagi-bagi antara mereka.” (Kasubdin Penangkapan ikan DKP Makassar). -”detonator itu darimana kalau bukan dari polisi. Itu susahnya” (idem). Nelayan juga mengemukakan bagaimana menderitanya mereka harus selalu membayar ‘uang polisi’, sebagai berikut : “Sakit hati saya, hasil belum dibagi sudah harus nyetor dulu ke polisi. 1 juta sedikitnya harus keluar, belum ongkosnya. Kita yang keluar keringat dapat sedikit” (Bakh, bukan nama sebenarnya, tentang kepahitannya kerja pa’es). Sementara itu nelayan Pa’es lain mengemukakan besar rata-rata ‘uang polisi yang harus dibayar nelayan sebagai berikut : Kalau sekarang nelayan nyetor ke polisi sekitar 2 juta, kalau lagi dapat sedikit ikan yah sekitar 1 juta-an. Dulu tahun 1999 hanya sekitar 250 ribu-an . setelah ada pos polisi perairan yang berkantor di dermaga sejak 3 bulan yang lalu maka nelayan nyetor ke kantor itu, tidak berkeliaran ke rumah-rumah(Rud, bukan nama sebenarnya, nelayan Pa’es).
139
Terlihat bahwa ada perbedaan-perbedaan kepentingan yang mewarnai langgengnya kerja nelayan Pa’es. Pemanfaat perikanan berkepentingan untuk bisa leluasa menggunakan bom ikan agar memperoleh hasil tangkap yang banyak, sedangkan penegak hukum maupun pengelola perikanan berharap bisa memperoleh keuntungan dari adanya sistem kenelayanan tersebut. Kepentingankepentingan
yang
dipunyai
para
pihak
terhadap
kecenderungan sebagai bentuk eksploitasi sosial.
nelayan
memberikan