Diva Kecil Panggil Aku Diva (Selingkuh, Sebuah Pernyataan) 3/5 Sebelumnya aku perkenalkan, Wahai Angin, aku Diva. Aku terlahir dengan
senyum yang lepas. Aku Diva. Sekelumit cerita ini akan
dimulai.
Masa
kecilku,
bukan
masa
kecil
dimana
anak-anak
bebas
berlarian sesuka hati mereka. Bukan pula masa kecil bergelimang materi kebanyakan anak orang berada. Tapi aku Diva. Diva kecil mulai belajar berjalan mulai belajar menyanyi, dan juga, marah. Aku paling suka ekspresi marahku, semua itu terbingkai dalam sebuah foto di sudut kamar merah jambuku. Dengan alis ditarik, muka di tekuk, tapi selalu ada sesuatu yang mengganjal di setiap batin yang melihat. Dia, Diva. Di sekian marah pun guratan lesung di pipinya membuat mata bertanya, benarkah
dia marah? Karena senyum masih tetap tersungging dalam
puncak amarahnya. Aku mengingat foto itu, foto yang diambil usai pertengkaran kecil anak sekolah dasar. Diva kecil didorong salah seorang teman bermainnya, Ramona. Diva kecil bukanlah Diva yang mau kalah. Seketika kenanganpun menggelitik batinku, karena peristiwa tersebut di dahi Ramona hingga kini masih terdapat bekas luka, mungkin itu ulah deretan gigi-gigi liarnya. Panggil aku Diva, malam ini aku duduk di tepian kaca kamarku, ku tengok keluar namun hampa. Harusnya aku bahagia, karena aku sudah bisa berhadapan lagi dengan kalian, kumpulan kata-kata penyambung lidahku. Ya,
ini
yang
aku
suka,
sejak
kecil
aku
paling
suka
melompat,
melompatkan jari ini untuk bercerita tentang apa saja yang aku rasa, yang mengusik pikiranku, yang membuatku susah tidur, semuannya. Aku cinta menulis. Seminggu yang lalu aku masih terbaring lemah, kanker itu lagilagi tak ingin melihatku tersenyum. Tapi aku masih saja Diva, ini yang akan membuatku merasa hidup. Kalimat ini yang sempat dikatakan kakakku sebelum ia meninggal dengan penyakit yang sama. Diva, Diva. Masalah kecil ini hanya keluarga dan satu-satunya sahabatku yang tau. Semua karena permintaanku. Semasa kecil, Erik yang juga teman SDku tanpa sengaja melihatku memuntahkan butiran darah itu. “Div, kamu kenapa Div?” teriak Erik seraya
menggoyang-goyangkan
badanku.
Sedang
aku
tak
mampu
lagi
menjawab, aku hanya tetap tersenyum menatapnya. “Aku panggil guru ya Div?” pamitnya merebahkan tubuhku di dekat tiang depan lorong kamar mandi. “Rik, jangan”, akupun menahannya pergi. Sejak peristiwa itu Erik tak pernah sedetikpun meninggalkanku. Dia benar- benar menjagaku. Namun, aku tetap Diva. Aku bersikeras mengikuti ekstra tari di sekolahku, padahal aku tau, hal ini justru akan memicu kambuhnya penyakitku, tapi aku nggak mungkin diam dan menunggu kapan penyakit ini membawaku pergi. Diva Diva, tak sedikitpun terlihat dia lemah. Hari-hari di masa sekolah dasarku menyenangkan, dalam kelompok tari, aku terpilih untuk memimpin, aku tersenyum kecil, terimakasih tuhan aku bisa melakukan hal-hal yang orang lain juga bisa rasakan, bukan sebuah pengasihan. Keluar dari sekolah dasar Erik pun menemaniku melajutkan pada satu sekolah yang sama, dimana ada aku pasti erik akan menemaniku
meskipun dari jauh. Dia seperti pohon yang tak pernah rela buahnya dipetik orang. Suatu ketika Erik bercerita, Ia dan almarhum kak Vera pernah berjanji, Kami selamanya saudara, yang akan selalu mennjaga satu sama lain. Namun setelah SMP Diva dan Erik terpaksa berpisah, Diva memilih untuk bersekolah di SMA Pelita Persada, dan Erik melanjutkan di SMA Tunas Bangsa. Di SMA Pelita Persada kisah cinta ini dimulai.
(malam ini semakin larut, kutulis semua ini sebagai curahan hatiku, sedang aku tak pernah tau apa sebenarnya yang aku inginkan, aku Diva aku , Skenarioku) .......,di malam ulang tahun salah seorang sahabat.
~~~ Putih Abu Cinta SMA Pelita Persada, Diva tumbuh dan besar disana, mengenal lebih dalam dunia jurnalistik yang sesungguhnya, dan langkah awal yang Ia
tempuh adalah masuk dalam sebuah organisasi Redaksi sekolah. “ZigZag” disebut Zig-Zag karena berita selalu berjalan Zig-Zag, berdasar fakta atau sekedar
fiktif gossip belaka. Zig-Zagnya hidupnya kuncup
di sini. Karena tanpa diva sadari, dia mengenalnya, seseorang yang dia anggap
pangeran.
Dan
selanjutnya
hari-harinya
berjalan
layaknya
skenario sebuah film remaja. Dimas namanya, perkenalan ringan lewat salah seorang kakak kelas. Diawali lunch di café sebelah GOR di Bekasi Selatan, mereka menjalani cinta layaknya Romeo dan Juliet, namun bukan menyangkut masalah kisah cinta antara keluarga bangsawan dan rakyat jelata. Tapi dengan prestasi yang dimiliki Dimas sebagai senior yang cukup memiliki banyak penggemar, Diva merasa tersanjung dan sedikit bangga layaknya putri ketika bersanding dengannya. Hari-hari berjalan indah. Namun lagi-lagi hidup itu luapan masalah, berdiri kita di pucuk pohon tertinggipun, luapan ombak pantai yang menggenang akan menyentuh kaki kita. Masalah ini berawal dari pertengkaran kecil masing-masing prinsip. Mereka
berbeda ,
Tak perlu diungkap cerita masa SMA yang seharusnya menjadi masa indah.
“Aku benci cinta pertama.”,teriak Diva di depan kaca
riasnya. Karena cinta pertamanya ternodai “Perselingkuhan”. Kusebut dia mawar. Kakak kelasku sendiri, mungkin ini dia cinta. Dimas dan Mawar melanjutkan cinta mereka hingga setahun yang lalu. Cukup lama. Sedang hari ini aku tlah tersudut dengan kisah cintaku yang lain.
Sebenarnya
selingkuh
itu,
konsekuensi
waktu
atau
hanya
pelampiasan ketertarikan terhadap yang di luar? Dan kututup malam ini dengan senyuman sementara. ~~~ 6/5 Dimasukinya sabtu pagi di
rumah orang tuanya. Dipandangnya
cerita hidup yang ia tulis lusa lalu. Disini terbesit khayalnya tentang kawan-kawan lama yang memberikan cerita tiga tahun silam. Ya, waktu manis masa-masa menuju kedewasaan, mereka semua berjalan bersama yang kata orang di kampus biru. Masih Diva ingat. Dan sekarang ia dengan pikiran anehnya kembali nyeletuk, “ Perasaan warna cat tembok kampusku coklat muda, bukan biru. wah mulai gila aku dengan makna kiasan. hehe.” Tapi ia sadari di kampus biru ini, kisah baru akan ia tawarkan. Menjalani
beberapa
bulan
di
kota
orang
membuatnya
sedikit
jengah. Bandung, diva pilih dia karena suasana alamnya yang masih perawan. Walaupun kalau kita perhatikan itu hanya ada dalam katalog pariwisata yang tersebar di pintu selamat datang kota. Namun harus diakuinya, naiklah ke atas bukit, pandang ke sekitar. Karena Bandung masih
sama,
lekat
dengan
budaya
sunda
dan
puncaknya
nan
elok
menggelitik imajinasi. Selalu itu yang ia suka, dia rasakan angannya terbang meraih apa yang diinginkannya. Di kampus ini Diva mengambil jurusan sastra murni Indonesia. Yang sebenarnya dia sendiri termakan oleh ucapannya. Di SMA pernah ia
disuruh mewakili sekolah dalam Lomba Baca Puisi, ia pikir dan ia harapkan tidak berkutat dengan dunia tulis menulis sepagai suatu upaya. Diva memang senang menoreh tinta. Tapi cukup untuknya dan cukup untuk bayangannya. Ya sudah, itu pun tak akan jadi sesalnya karena yang ia ucap kemarin berjalan kini, dan memang akan dijalani dengan senyuman., batinnya. Diva, ia memilih duduk di bangku paling depan yang jarang mahasiswa pilih. Ia tak ingin peduli dengan sekitar. Karena lukanya kemarin
belum
lagi
sembuh,
dan
dia
berusaha
menguburnya.“Perselingkuhan”Dimas dan Mawar justru menyunggingkan tawa kecil di gurat melodi orang-orang yang pernah dia anggap sahabat. “Aku benci. Aku tak ingin berbagi. Aku sosok sendiri.”, lagi hati kecilnya mencekam.
Dan Pikirannya Bercerita, Tapi tuhan. Aku manusia. Aku berjalan menapaki hari yang lekas pergi seperti angin berhembus. Di depan area parkir kampus A, di sini aku mengenal dia. Ricky. Ricky dan aku memulai percakapan dengan rasa kesal. Karena walau kita sekelas hampir tak pernah kami bertegur sapa. Aku pun tak akan berlama-lama bersenda gurau dengannya. Malas.
Aku ingin konsen ke kuliahku. Diva, bukan gadis lemah karena cinta. Sejujurnya Dimas masih membayang, Sabtu pagi ini kuhentikan langkah imajinasiku pergi. Terlalu kebelakang, dan ini sesak. That’s me.
Ijinkan cermin ini pecah Karena hati bertitah gundah ~~~ Malam ini akui aku kesepian, kubulatkan bola mataku kearah luar, kukernyitkan sementara ia, dan aku pejamkan dalam pasrah. Aku bicara tentang mata, mata ini pernah berhias sejuta kenangan yang mengusikku siang tadi. Kali dibohongi.
ini
aku
Mataku
tak
inginkan
menerobos
hati,
karena
dinding-dinding
hati
selalu
keegoisannku.
bisa
Mungkin
benar aku sudah lupa Dimas. Karena, itu tiga tahun lalu. Alasan yang simpel bukan? Waktu. Mengajariku mengawali luka mengakhiri perih. Aku sadari mataku inginkan cahaya musim kampus biru di awal tahun pertama. Ricky, aku kangen dia. Naluriku meminjam matanya untuk mengedip manja kearah jantung ini. Aku berdebar lagi, di hari-hari yang harusnya aku isi dengan usaha melupakannya. Melupakan dua kemarau. Mata
ini
sayu.
Ricky,
kuawali
ia
dengan
kebimbangannya
menyandingku. Namun, kuakhiri ia dengan kebimbanganku menyendiri.
Mata ini terlalu bimbang. Aku buta, ini netra. Sikap Ricky justru
tak
berubah,
dingin,
angkuh
dan
merasa
dia
adalah
yang
diinginkan. Tapi maaf Diva, aku pun meminta maaf pada diriku sendiri, dan mata ini nggak pernah berbohong bahwasanya ia tetap memandangmu. Jauh ataupun hanya hitungan senti darimu. Bagiku cinta itu kamu. ~~~ Dan romansa di kampus biru pun menghinggapiku, aku dan Ricky mengikuti seminar yang sama. Detik cinta ini datang dan berawal. Yah, motivator seminar menunjuk kami sebagai wakil audience, disitu digambarkan bahwa aku seekor kelinci dan Ricky seekor kucing. Penggambaran kejiwaan manusia, psikologi manusia yang tercermin dari hewan kesayangannya. Kami pun saling memandang, kejadian yang mengalir saja ini membuat kami lupa akan amarah kami, dan aku kembali berfikir. Alasan apa yang membuat kami selalu tidak cocok, sedangkan cinta itu nyata adannya. Hadir, dan memeluk kami. Aku dan Ricky secara kebetulan harus bertemu di suatu acara tahunan kampus sebagai pengisi acara. Tarianku dan pentas musikal Ricky
sukses
menghibur
kawan-kawan. Namun di backstage.
Aku
dan
Ricky.... lagi-lagi hati ini berdebar penuh sesak. Sesaat kemudian, Ricky menutup mataku dari belakang, kedua tangannya nyata hadir, dan aku hanya berkata lirih, pertanyaan klise, “ini siapa?”. Kisah cinta ini berawal, diutarakannya perasaan yang sejalan dengan perasaanku selama ini.