PSE/JJuni-25/2007 Dampak Sertipikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil (Effects of the Land Certification Project on the Land Market and Smallholders)1 Oleh : Risnarto 2
Ringkasan 1.
Makna Tanah dalam Sistem Kehidupan Manusia
2.
Pengertian Tanah dalam Dimensi Pertanahan Pengertian Umum Tanah dan Pertanahan
3.
Gambaran Tentang Kepemilikan Tanah Skala Kecil Gambaran Makro Gambaran Mikro
4.
Program Sertipikasi Tanah Di Indonesia Konsep Penguasaan Pemilikan Tanah Sertipikasi Hak Atas Tanah Bagi Rakyat
5.
Dampak Proyek Sertipikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil Konsep Pasar Tanah Konsep Dampak Sertipikasi Tanah Dampak Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Makro
6.
Implikasi Kebijakan.
Daftar Pustaka
PSE/JJuni-25/2007 Ringkasan 1. Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Titik awal hubungan antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama sebagai mahluk sosial. Hubungan penguasaan dan penggunaan tanah itu memerlukan kepastian hukum kepemilikan tanah. 2. Dalam rangka mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, Negara memberikan penguatan hak atas tanah kepada rakyat berupa Hak Milik (HM), HMAT, dibutuhkan masyarakat banyak. Norma hukum baru itu, memiliki sifat tetap berkepastian hukum bagi pemilik berikutnya, merupakan produk hukum konstitutif yang bersifat universal dan merupakan induk hak-hak atas tanah selanjutnya. HMAT dapat mendukung kepentingan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak, dapat dibebani hak atas tanah lain dan dapat dibebani hak tanggungan (dengan pemasangan Akta Hak Tanggungan). Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI. Kegiatan pendaftaran tanah akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat. Dengan sertifikat tanah, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata. Oleh karena itu, dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya, harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan bukti yang lain. 3. Sejak UUPA diundangkan tahun 1960 sampai tahun 2006 telah diterbitkan 33,74 juta sertipikat tanah atau sekitar 36 % jumlah bidang tanah yang perlu disertipikat di luar kawasan hutan. Program pendaftaran dan sertipikat hak atas tanah akan ditingkatkan, khususnya bagi masyarakat miskin melalui berbagai program dan proyek. Saat ini rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga petani sekitar 0,35 hektar. Terdapat lebih dari 15 juta petani gurem dengan luas penguasaan pemilikan tanah di bawah 0,2 hektar. Program sertipikasi tanah bertujuan memberikan kepastian dan perlindungan hukum hak kepemilikan atas tanah, yang diharapkan berdampak terhadap peningkatan kegiatan ekonomi melalui peningkatan produksi usahatani, kredit dan kepemilikan aset petani, namun apabila tidak didukung difasilitasi dengan akses ke sumber-sumber ekonomi, seperti sarana dan prasarana produksi, teknologi budidaya dan prosesing, pemasaran, akses perbankan, organisasi dan lainnya akan menghadapi mekanisme pasar tanah yang tidak memihak pada kepemilikan usahatani skala kecil. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemecahan tanah dan peralihan tanah cenderung meningkat didaerah yang mempunyai aksesibilitas ekonomi, terlebih lagi jika diberi sertipikat hak milik atas tanah. . 4. Pemerintah (BPN) telah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan program pendaftaran dan sertipikasi tanah masyarakat miskin, khususnya petani dengan usahatani skala kecil di wilayah pedesaan. Untuk itu diperlukan beberapa strategi: Pertama, kebijakan pemberian sertipikasi tanah bagi rakyat miskin di pedesaan perlu didukung dan diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan wilayah berbasis pertanian. Program ini pada dasarnya adalah bentuk Reforma Agraria yang secara ringkas adalah program land reform (LR) didukung dengn program Akses Reform (AR). Kedua, data dan informasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pedesaan perlu diinventarisasi dalam rangka menyusun tipologi pedesaan berbasis pertanian serta upaya perlindungan sosial ekonomi bagi rakyat kecil yang terancam kehilangan tanahnya. Ketiga, kegiatan usaha tani skala kecil perlu dikembangkan dalam suatu pola “corporate farming” yang memberikan nilai tambah lebih baik bagi pendapatan petani guna mempertahankan kelangsungan usahataninya.
PSE/JJuni-25/2007
1.
Makna Tanah dalam Sistem Kehidupan Manusia
Tanah dan manusia merupakan dua hal yang saling terkait erat dalam suatu perjalanan kehidupan manusia sebagai individu, makhluk sosial maupun dalam suatu kehidupan sebagai Bangsa. Hubungan antara tanah dengan bangsa dan pada gilirannya antara manusia secara individu mapun kelompok dengan tanah, merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. Nilai filosofis tanah itu, bagi berbagai bangsa bersifat universal, berlaku pada siapapun, dimanapun dan kapanpun sebagaimana digambarkan berikut ini:. a. Di masyarakat Jawa hubungan antara manusia dengan tanah digambarkan dalam suatu ungkapan: “ sadumuk batuk sanyari bumi, den labuhi lutahing ludiro lan ditohi pati “. Di Masyarakat Bugis mengenal ungkapan: “narekko mualai pale, namautona sipolo tana tudangekku tekkualangi soro ritettongekku namo tetti cera paccappurekku” . Kedua ungkapan tersebut secara umum menyatakan :“jika orang merampas tanahku walau sepotong, akan saya pertahankan sampai titik darah penghabisan atau mati.” (Muchtar Wahid, 2004) c.
Di Amerika, Robert Frost pada tahun 1941 dalam suatu puisi “The Gift Outright” menggambarkan: “the land was ours before we were the land”s, she was our land more than a hundred years before we were her people”.. Michael G Kitay (1985), mengutarakan “There is a bond, an almost mystical communion, that exists between the land and people living on it” (Sedjarwo Soeromihardjo, 1985).
d. Sementara itu, bagi orang Aborigin, Australia digambarkan sebagai simbol hidup: “tanah bukanlah milikmu, tetapi kamu menjadi milik tanah, tanah adalah tempat sucimu, ikonmu” ( Risnarto, 2005 ). Menurut hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam besar (macro cosmos) dan kecil (micro cosmos). Maka tanah dipahamkan secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. (Herman Soesangobeng, 2002). Konsep filosofis adat tentang tanah itulah yang menjiwai konsepsi filosofis Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia, secara filosofis memandang tanah dari perspektif mendasar sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air, ruang angkasa serta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. _______ 1. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Land and Household Economy 1970-2007, Changing Roads for Poverty Reduction.PSEKP and UNESCAP-CAPSA, Bogor.Indonesia, tanggal 25 Juni 2007. 2. Dr.Risnarto MS, Kepala Puslitbang BPN-RI/Peneliti Utama Bidang Pertanahan
PSE/JJuni-25/2007 Dari konsepsi filosofis tersebut jelas bahwa bagi Bangsa Indonesia, tanah adalah sumberdaya strategis yang merupakan kekayaan nasional, karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apakah saat ini kemakmuran dari sumberdaya tanah yang merupakan hak dasar warganegara Indonesia sebagai individu, kelompok masyarakat maupun hak Bangsa Indonesia telah terpenuhi ? Dalam kontek ini ada tiga persoalan yang akan diutarakan dalam makalah ini yang pada gilirannya memerlukan pemikiran dan strategi penanganan secara terintegrasi di antara para pemangku kepentingan yang peduli rakyat kecil. Pertama, persoalan kepemilikan tanah skala kecil di wilayah pedesaan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan hidup dan pengembangan usaha. Pertanyaannya adalah apakah dengan luas pemilikan tanah pertanian yang sangat kecil, masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan mengembangkan usahanya ? Kedua, persoalan kepastian hak kepemilikan tanah. Pertanyaannya adalah apakah Program Sertipikasi Tanah Milik Masyarakat dapat mengatasi pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan mengembangkan usahanya guna mencapai kesejahteraan ? Ketiga, persoalan perlindungan kepemilikan tanah skala kecil terhadap pasar tanah. Pertanyaannya adalah apakah sertipikasi tanah milik masyarakat berskala kecil mampu bertahan terhadap perkembangan sosial ekonomi yang mendorong terjadinya peralihan penguasaan pemilikan dan konversi penggunaan pemanfaatan tanah ?. 2.
Pengertian Tanah dalam Dimensi Pertanahan
Pengertian Umum Tanah sebagaimana yang tampak sehari-hari ternyata mempunyai pengertian yang bermacam-macam tergantung sudut pandang dan kepentingan. Ada yang mengenal tanah sebagai benda/barang atau material, tubuh bumi (soil), sebagai tempat/lokasi (land) dan ruang hidup (space). Pengertian tanah sebagai material berkaitan dengan kegunaan fisik sebagai bahan galian atau barang tambang. Pengertian sebagai soil, berkaitan dengan kegunaan sebagai wahana tumbuh dan berproduksinya sesuatu komoditi tanaman. Pengertian sebagai land berkaitan dengan tempat bermukim dan berusaha bidang pertanian maupun non-pertanian. Sedangkan sebagai space berkaitan dengan ruang dimana manusia hidup dan berada, yang dikenal sebagai ruang geografi dengan entity utama posisi, luas, jarak, accessibility. Dalam hubungan dengan pengertian benda, Black Law Dictionary, (1999), .menyebutkan bahwa tanah (land) merupakan benda berwujud tidak bergerak (immovable) yang tidak dapat rusak, berbeda dengan barang (chattel) yang merupakan benda bergerak (movable). “Land is immovable, as distinct from chattels, which are movable, it is also, in its legal significance, indestructible”. Sementara itu, Petter Butt (2001) mendefinisikan tanah (land) sebagai luasan fisik dari permukaan bumi dalam sebuah area tertentu, di mana pemilikan atas tanah tersebut dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut “title deed”. Jarang ada sebuah
PSE/JJuni-25/2007 dokumen pemilikan tanah menggambarkan luasan di atas atau di bawah permukaan tanah dari pemilikan itu. Akan tetapi dalam pengertian hukum, pengertian tanah tidak terbatas sekadar permukaan bumi, tetapi termasuk di bawah dan di atas permukaan bumi, tidak dibatasi sesuatu yang padat, tetapi meliputi sesuatu benda cair dan gas”. Dalam Common Law konsep tanah mempunyai tiga area dimensi ruang “land is an area of three-dimensioned space, its position identified by natural or imaginary points located by reference to the earth’s surface. This three dimensional space may include the earth’s surface, or may be the wholly above it or wholly below it. It may have physical contents or it may be void, for any three-dimensional quantum of the space – even airspace - can be “land”. If it has contents that are fixed in position, those fixed contents are part of the “land”. But the “land” is more than those fixed contents.The contents of the space may be physically severed, destroyed or consumed, but the space itself – and so the “land” – remains. In this sense, the land is indestructible. It is also immovable” ( Peter Butt, 2001). Menurut Vink (1975) seorang ahli tanah dan geografi, tanah merupakan permukaan bumi dengan kedalaman tertentu di bawah dan ketinggian tertentu di atas, merupakan luasan berkaitan dengan ruang (spatial context). Pengertian itu digunakan oleh banyak Negara dan instansi, antara lain Food Agricultural Organization (FAO). Pengertian ini sejalan dengan tanah sebagai land di UUPA. Pengertian Tanah dalam UUPA Pengertian tanah dalam UUPA adalah permukaan bumi yang dapat dilekati sesuatu hak atas tanah. Permukaan bumi itu, berada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut. Secara skematis pengertian tanah sebagai bagian pengertian agraria disajikan dalam skema pada Gambar-1 (Risnarto, 2006).
Bumi (1) Agraria (Pasal -1 UUPA)
Air
(2)
Ruang Angkasa (3)
---à Permukaan disebut tanah (1A) ---à Tubuh bumi di bawahnya (1B) - --à Tubuh bumi di bawah air (1C) ---à Perairan Pedalaman ---à Laut .---à Ruang di atas Bumi ---à Ruang di atas Air
(2A) (2B) (3A) (3B)
Gambar-1: Pengertian Tanah dalam Ruang Lingkup Agraria Menurut UUPA Tanah dan Pertanahan Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Aspekaspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Hubungan saling terkait itu dikemal dengan istilah pertanahan.
PSE/JJuni-25/2007 Pertanahan merujuk pada sistem yang saling terkait antara suatu subjek hak atas tanah (perorangan/individu, kelompok masyarakat atau badan hukum pemerintah dan swasta) dengan suatu objek hak atas tanah pada lokasi. luas dan batas-batas tertentu melalui hubungan penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan. Kekuatan hubungan itu, diindikasi dari tingkat hubungan secara juridis dalam bentuk jenis hak atas tanah yang dipunyai maupun hubungan secara fisik dalam bentuk penggunaan dan pengambilan manfaat. Kekuatan hubungan itulah yang menjadikan tanah mempunyai nilai hak kepemilikan (property right), di samping pembentuk nilai tanah yang lain, seperti accessibility, transferability, utility dan amenity (Risnarto, 1999). Dimensi hubungan penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan tanah itu, ditentukan oleh pengaruh lingkungan setempat maupun lingkungan strategis global. Maka hubungan manusia dengan tanahpun mempunyai dimensi politik, hukum, sosial ekonomi, sosial budaya bahkan dimensi hankamnas dalam skala nasional, regional dan lokal. Oleh karena itu, kebijakan pertanahan merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional berkelanjutan dalam mempercepat pemulihan dan stabilitas ekonomi nasional yang difokuskan kepada penanggulangan kemiskinan, pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, serta pelestarian lingkungan Dalam konteks ini, timbul pertanyaan seberapa besarkah kapasitas kepemilikan tanah skala kecil itu mampu mengakomodasi berbagai kebijakan pembangunan nasional, regional dan lokal ? 3.
Gambaran Tentang Kepemilikan Tanah Skala Kecil
Gambaran Makro Badan Pertanahan Nasional merupakan institusi yang mempunyai peran strategis dalam mendukung program penanggulangan kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan. Dari segi ekonomis, wilayah pedesaan merupakan sumber produksi pertanian yang berfungsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, tetapi juga untuk wilayah perkotaan. Namun, fungsi sumber produksi tersebut dalam periode 10 tahun terakhir ini telah mengalami masalah dalam memberi kesejahteraan masyarakat, utamanya petani yaitu terjadinya penyempitan luas penguasaan tanah per keluarga petani akibat adanya fragmentasi tanah serta peralihan tanah kepada pihak lain sehingga terjadi ketimpangan penguasaan pemilikan tanah serta menurunnya kemampuan tanah pertanian untuk mendukung kebutuhan hidup minimum. Fragmentasi tanah tersebut selain disebabkan meningkatnya jumlah penduduk juga disebabkan menurunnya luas tanah pertanian akibat adanya perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian, khususnya di daerah yang letaknya di pinggiran wilayah kota. Hubungan antara luas pemilikan tanah dengan pemenuhan kebutuhan hidup pokok disajikan pada Gambar-2. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan bahwa petani dengan pemilikan tanah luas sampai dengan sangat luas dapat hidup layak. Pendapatan dari ushatani tanah saja sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup minimum apalagi ditambah pendapatan dari usaharani non basis tanah dan luara usahatani. Sebaliknya petani dengan pemilikan tanah sempit sampai dengan sangat sempit tidak dapat hidup layak. Pendapatan dari usahatani basis tanah walaupun ditambah dari pendapatan dari usaharani non basis tanah dan luara usahatani tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup minimum.
PSE/JJuni-25/2007
B
A +
+
C +
Sangat luas
+
+
Luas
+ Sempit
Sangat sempit
Luas Pemilikan Tanah
_
Kebutuhan Hidup Minimum
A = Pendapatan Usaha Tani Basis Tanah B = Pendapatan Usaha Tani Terkait Tanah C = Pendapatan Luar Usaha Tani Gambar 2. Ilustrasi Pengaruh Ketimpangan Pemilikan Tanah Terhadap Kesenjangan Pendapatan Petani. 1. Petani dengan pemilikan tanah luas sampai dengan sangat luas dapat hidup layak. Pendapatan dari A dapat mencukupi kebutuhan hidup minimum apalagi ditambah pendapatan dari B dan C. 2. Petani dengan pemilikan tanah sempit sampai dengan sangat sempit tidak dapat hidup layak. Pendapatan dari A walaupun ditambah dari B dan C tidak mencukupi kebutuhan hidup minimum.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga petani adalah 0,83 hektar, untuk Jawa 0,47 hektar dan Luar Jawa 1,27 hektar per keluarga petani. Pada tahun 1999 rata-rata nasional 0,41 hektar dan pada tahun 2003 diperkirakan menurun menjadi 0,37 hektar. Sementara itu jumlah petani gurem dengan luas penguasaan pemilikan tanah di bawah 0,2 hektar terus meningkat dari 9,53 juta orang (1983) menjadi 10,94 juta orang (1993), 12,45 juta orang (2003) dan diperkirakan menjadi sekitar 14 juta orang (2004). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanah yang dikuasai petani sudah semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan menjurus kepada degradasi kesuburan tanah dan lingkungan hidup. Tabel 1 : Distribusi Usahatani di Indonesia (1983 s/d 2003) No
Kelompok Luas Usahatani (ha)
Distribusi Usahatani 1983 1993 2003*) % Usaha Luas % Usaha Luas % Usaha Luas tani Rata2 (ha) tani Rata2 (ha) tani Rata2 (ha) 1 Kurang 0,50 40,8 0,26 48,5 0,17 54,6 0,14 2 0,50 – 1,99 44,9 0,94 39,6 0,90 36,2 0,83 3 2,00 - 4,99 11,9 2,72 10,6 3,23 8,1 3,45 4 Lebih 5,00 2,4 8,11 1,3 11,9 1,1 3,22 Ø Jumlah usahatani (juta) 15,9 17,9 19,2 Ø Jumlah areal (juta ha) 16,7 15,4 13,2 Ø Rata-2 luas usaha (ha) 1,05 0,74 0,70 Sumber: Sensus Pertanian Indonesia BPS, Tahun 1983,1993 dan 2003 (sementara)
Tabel 2 : Struktur Penguasaan Tanah Pertanian di Indonesia No
1 2 3 4
Kelompok Luas Penguasaan (ha)
Tunakisma dan petani kurang 0,10 0,10 – 0,49 0,50 - 0,99 Lebih 1,00 Jumlah
Rumah Tangga Pedesaan 1993 % rumah tangga 43
% kumulatif 43
% luas dikuasai --
% rumah tangga 47
27 14 16 100
70 84 100
13 18 69 100
26 13 14 100
2003*) % kumulatif 47
% luas dikuasai --
73 86 100
Sumber: Sensus Pertanian Indonesia Tahun 1993 dan 2003.(sementara)
Gambaran Mikro Gambaran lebih rinci diungkapkan melalui penelitian oleh Risnarto pada tahun 2003 di Desa Dasan Lekong, Kecamatan Sukamulia, yang letaknya sekitar 5 km dari ibukota Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Dasan Lengkong berpenduduk padat dan tidak seluruh keluarga mempunyai tanah usaha. Dari jumlah rumah tangga sebanyak 3 257 Keluarga, hanya 1987 orang (61 %) yang tercatat sebagai wajib pajak tanah. Sebanyak 995 orang (25,36 %) keluarga pendapatannya bersumber dari usahatani tanah, tercatat sebagai pemilik penggarap sawah atau kebun. Sebanyak 540 orang (13,76 %) sebagai penyakap, 156 orang (3,97 %) penyewa dan sebanyak 2 243 orang (56,91 %) sebagai buruh tani. Berdasarkan luas kepemilikan tanah, sebagian besar (66,10 %) mempunyai tanah di bawah 1000 meter2, sementara itu, sebanyak 32,71 % antara 0,1 s/d 0,5 hektar. Hanya sekitar 1,19 % yang tercatat sebagai pemilik tanah di atas 1,00 hektar.
12 17 71 100
PSE/JJuni-25/2007
Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok petani dengan luas pemilikan tanah di bawah 0,5 hektar (0,39 hektar) pendapatan usahataninya hanya mencapai Rp 1,84 juta.dengan total pendapatan sekitar Rp 2,94 juta per keluarga. Sedangkan kelompok petani dengan luas pemilikan tanah di atas 0,5 hektar (0,64 hektar) pendapatan usahataninya mencapai Rp 3,38 juta.dengan total pendapatan sekitar Rp 4,58 juta per keluarga.. Berapa luas kepemilikan tanah pertanian yang optimal ? Penelitian Penguasaan Tanah Pertanian Optimal dilakukan Puslitbang BPN bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan-Lembaga Penelitian IPB, Bogor Tahun 2002 di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran luas tanah yang optimal per keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima orang, guna memenuhi kebutuhan hidup layak (tidak miskin) untuk Sawah di Jawa sekitar 0,93 hektar dan Luar Jawa sekitar antara 1,86 hektar. Sedangkan untuk pertanian tanah kering (tegalan/ladang) untuk Jawa sekitar1,34 hektar dan Luar Jawa sekitar 3,71 hektar, Kisaran luas tersebut telah memperhitungkan kemampuan penggunaan teknologi traktor kecil dalam pengolahan tanah pertanian. Sementara itu, penelitian di Desa Dasan Lengkong, Lombok Timur menghasilkan temuan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan 5 jiwa pada tingkat tidak miskin diperlukan pendapatan sekitar Rp 5 600 000 – Rp 6 720 000.- per tahun. Jika seluruhnya dipenuhi dari pendapatan usahatani maka sekurang-kurangnya pendapatannya adalah sekitar Rp 6 000 000 per tahun atau sekitar Rp 3 000 000 per musim. Pendapatan itu dapat dipenuhi dengan pemilikan tanah sawah seluas 1,54 hektar atau tanah kering seluas 1,63 hektar. Keadaan itu sulit diwujudkan, karena dengan proses fragmentasi kepemilikan tanah serta peralihan tanah disertai dengan konversi penggunaan tanah tampaknya akan lebih mempercepat melemahnya akses masyarakat terhadap tanah usaha dan secara perlahan terjadi proses pemiskinan penduduk. Tabel 3 : Luas Minimum Usahatani Sawah dan Tanah Kering. Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum Keluarga. Tanah Sawah (Ha/KK) Tanah Kering (Ha/KK) No Propinsi 1.00 X 1.25 X 1.50 X 1.00 X 1.25 X 1.50 X 1 Jawa Barat 0,56 0,70 0,84 0,80 1,00 1,20 2 Jawa Tengah 0,62 0,78 0,94 0,92 1,15 1,38 3 Jawa Timur 0,66 0,82 0,99 0,93 1,16 1,39 4 Kalimantan Selatan 1,23 1,54 1,86 2,47 3,09 3,71 Sumber: Hasil penelitian Puslitbang BPN bekerjasama dengan PSP-IPB Bogor, 2002.
Tabel 4:
Luas Minimum Usahatani Sawah dan Tanah Kering Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum Keluarga Di Desa Dasan Lekong, Lombok Timur, Provinsi NTB. Tahun 2003 No Tingkat Hidup Petani Satuan Pendapatan Luas Pemilikan Bersih Minimum Tanah Minimum (Ha) Sawah Kering 1 Setara 1,00 X PBM Rp 000 5 600 1,02 1,42 2 Setara 1,25 X PBM Rp 000 7 000 1,28 1,36 3 Setara 1,50 X PBM Rp 000 8 400 1,54 1,63 Keterangan : 1,00 X garis kemiskinan = keluarga miskin 1,25 X garis kemiskinan = keluarga agak miskin 1,50 X garis kemiskinan
= keluarga tidak miskin
9
PSE/JJuni-25/2007
4.
Program Sertipikasi Tanah Di Indonesia
Konsep Penguasaan Pemilikan Tanah Titik awal hubungan antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama sebagai mahluk sosial. Hubungan penguasaan dan penggunaan tanah itu memerlukan kepastian hukum kepemilikan tanah. Sejarah pemilikan tanah mengindikasi bahwa pada awalnya kepemilikan tanah diperoleh melalui proses penguasaan. Proses itu dalam sistem hukum barat dikenal sebagai possession yang berbeda makna dengan ownership. Dalam kamus hukum, possession (Inggris) atau posesio (Latin) atau bezit (Belanda), diartikan sebagai “kepunyaan”. Possession dimaksudkan sebagai pendudukan secara fisik atau secara faktual. Syarat lain adalah adanya niat atau maksud memiliki dengan itikad baik (“animouse possidendi”). Niat untuk memiliki dikaitkan dengan waktu dan bukti lainnya. Dengan demikian hak menguasai itu, harus didahului dengan tindakan pendudukan untuk memperoleh penguasaan dan pada batas waktu tertentu akan menjadi hak milik. C. Chambers (2001) mengutarakan bahwa :“ to have possesion of a thing, a person must control that thing an intend to posses it. Both are required” possession adalah penguasaan fisik melalui pendudukan dan disertai dengan adanya niat untuk memiliki. Pengertian ownership dalam padanan bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kepunyaan atau pemilikan atas suatu benda. Ownership biasanya termasuk di dalamnya hak untuk menguasai bendanya secara nyata atau seseorang yang mempunyai suatu benda, namun belum tentu menguasai secara fisik. contohnya orang menyewakan tanah atau rumah. Secara tegas perbedaan possession dalam arti penguasaan fisik dengan ownership dalam arti kepunyaan atau pemilikan adalah bahwa penguasaan melibatkan pendudukan secara fisik, adanya niat untuk menguasai, yang dapat diperoleh tanpa alas hak. Sedangkan pemilikan harus dibuktikan sebagai hak mutlak dan perpindahan pemilikan harus dilakukan dengan alas hak, tidak sekadar serah terima penguasaan. Oleh karena itu, penguasaan merupakan cikal bakal adanya pemilikan (property). Arti dari milik itu sendiri melekat adanya hak, sehingga dibedakan istilah private property untuk menunjukkan milik pribadi dan public property untuk menunjukkan milik negara atau milik umum. Penguasaan atas benda termasuk tanah merupakan awal dari adanya hak milik yang.dalam Hukum Barat pada umumnya atau Common Law, dikatakan “possession is the root of title”. Sertipikasi Hak Atas Tanah Bagi Rakyat Dalam rangka mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 2 ayat (2) huruf c, dan Pasal 16 UUPA, Negara memberikan hak atas tanah kepada berbagai subjek hukum untuk digunakan sesuai dengan jenis hak yang diberikannya, dengan memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah. Hak-hak atas tanah itu meliputi Hak Milik (HM), Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPl). Hak atas tanah yang diberikan kepada masyarakat dengan kepemilikan skala kecil adalah Hak Milik (HM)
10
PSE/JJuni-25/2007
HMAT, merupakan hak atas tanah strategis yang dibutuhkan masyarakat banyak. Lahirnya HMAT pertamakali dikenal sebagai HMAT original, prosesnya melalui penetapan konversi, pengakuan/penegasan hak serta penetapan pemberian hak atas tanah. Produk hukum itu bersifat konstitutif, yang menimbulkan norma hukum baru yaitu hak kebendaan yang bersifat overdragbaar zakelijk beschikking (keputusan yang menimbulkan hak kebendaan, sifat kepastian haknya dapat dipindahkan). Norma hukum baru itu, memiliki sifat universal dan tetap berkepastian hukum bagi pemilik berikutnya. Oleh karena itu hak milik atas tanah original adalah produk hukum konstitutif yang bersifat universal dan merupakan induk hak-hak atas tanah selanjutnya. HMAT dapat mendukung kepentingan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak, dapat dibebani hak atas tanah lain dan dapat dibebani hak tanggungan (dengan pemasangan Akta Hak Tanggungan) Selanjutnya Pasal 19 UUPA, menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI, menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pendaftaran tanah dimaksud telah ditetapkan dalam PP No.10/61 yang dalam perkembangannya diganti dengan PP No. 24/97, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 8 Oktober 1997. Pendaftaran tanah berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Pada dasarnya bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah serta satuan rumah susun, menyediakan informasi, dan menyelenggarakan tertib administrasi pertanahan. Dalam Pasal 3 PP No. 24/97 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk : a. b. c.
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Penjelasan Pasal 3 PP No. 24/97, menyatakan bahwa kepastian hukum dan perlindungan hukum merupakan tujuan utama diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Pendaftaran tanah sebagai suatu proses pelayanan yang terdiri dari aktivitas lapang, administrasi dan penerapan hukum, melibatkan peran aparat pelaksana dan pemohon sangat menentukan tercapainya tujuan pendaftaran tanah. Berdasarkan tata laksana pendaftaran tanah itu, maka kegiatannya meliputi: a.
b.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration), ialah pendaftaran untuk pertama kalinya atas sebidang tanah yang meliputi tiga kegiatan, yaitu bidang fisik atau teknis kadasteral, bidang juridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Pemeliharaan data pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pencatatan pemindahan hak dan peralihan hak atas tanah serta perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Kegiatan pendaftaran tanah pertamakali, merupakan kegiatan fisik untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya, dan bangunanbangunan yang terdapat di atasnya. Setelah penetapan batas dan pemberian tanda-tanda batas yang jelas, berdasarkan penunjukan oleh pemegang hak tanah, dengan persetujuan pemilik tanah berbatasan (contradictoire delimitatie) diadakan pengukuran yang diikuti dengan perhitungan luas dan pembuatan peta bidang tanahnya yang disebut Surat Ukur.
11
PSE/JJuni-25/2007
Kegiatan bidang juridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya, siapa pemegang haknya dan ada atau tidaknya hak pihak lain yang membebaninya, berdasarkan dokumen yang ada. Kegiatan selanjutnya adalah pendaftaran haknya berdasarkan surat keputusan pengakuan atau pemberian hak, dengan menerbitkan Buku Tanah. Kemudian diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai salinan dari Buku Tanah yang berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat. Sertifikat tanah memuat data pemegang hak, jenis hak, dilengkapi Surat Ukur yang memuat letak, luas dan batas-batas bidang tanah yang bersangkutan. Lebih lanjut, ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data juridis serta penerbitan sertifikat, dalam PP No. 24/97 tampak jelas adanya usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar oleh karena pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Kegiatan pendaftaran tanah yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat, merupakan realisasi salah satu tujuan UUPA. Kewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah, pada prinsipnya dibebankan kepada pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, daerah demi daerah berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran. Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah, berisi data fisik mengenai keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap perlu, dan data yuridis mengenai keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah, dan hak-hak lain, serta beban-beban lain yang berada di atasnya. Dengan sertifikat tanah, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata. Oleh karena itu, dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya, harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan bukti yang lain. Sejak UUPA diundangkan sampai dengan tahun 2006 telah diterbitkan sebanyak 33,74 juta sertipikat hak atas tanah atau sekitar 36 % jumlah bidang tanah yang perlu disertipikat di luar kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 65 persen diterbitkan melalui kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik dan 35 persen sisanya melalui pendaftaran tanah secara sistematik, seperti ajudikasi PAP, Prona, dan sektoral lainnya (Transmigrasi, Perkebunan, Sawah Irigasi, UKM dll).. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa sejak dibentuk Badan Pertanahan Nasional selama 16 tahun (1990 sampai 2006) dapat diterbitkan sekitar 23 juta sertipikat hak atas tanah. Keadaan itu menunjukkan bahwa kemandirian lembaga BPN akan berpengaruh positif terhadap peningkatan program sertipikasi tanah termasuk pengembangan program sertipikasi massal swadaya yang berbasis inisiatif masyarakat. Dari sejumlah 33,3 juta sertipikat, hampir 6 juta sertipikasi tanah melalui program PRONA yaitu untuk masyarakat miskin. Tabel 5 Pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Sampai Tahun 2006 No
Tahun
Jumlah Sertpikat Diterbitkan Program Sistematik Ajudikasi Prona Sektoral dll 7 576 058 2 094 259 1 288 854 6 467 147 903 771 1 189 591 14 543 205 1 865 442 2 998 030 2 888 882
Sporadik 1 2 3
s/d 1989 1990 sd 2000 Jumlah sd 2000 2001 sd 2006*) Jumlah sd 2006*)
Jumlah Bidang 10 959 171 11 336 388 22 295 559 11 439 886 33 735 445
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2006, *) angka sementara
12
PSE/JJuni-25/2007
Jika dikaji lebih seksama, pada tahun 2000 perkiraan jumlah bidang tanah yang perlu disertipikat sebanyak 60,6 juta bidang tanah. Di masa mendatang diperkirakan jumlah bidang tanah yang perlu didaftar semakin banyak akibat adanya penggarapan tanah di sekitar perkebunan dan hutan serta adanya pemecahan tanah.. Apabila diasumsikan pertumbuhan itu sekitar 2,0 %/tahun maka diperkirakan pada tahun 2015 jumlah bidang tanah yang perlu disertipikatkan sekitar 80 juta bidang tanah. Selanjutnya pada tahun 2006 jumlah bidang tanah yang bersertipikat sekitar 33,7 juta bidang. Kemampuan pensertipikatan tanah oleh BPN dalam lima tahun terakhir sekitar 1,5 juta bidang/tahun. Apabila kemampuan ditingkatkan sebesar 2 juta bidang/tahun maka diperlukan waktu lebih 20 tahun untuk menyelesaikannya. Waktu selama itu akan semakin berpotensi untuk timbulnya berbagai masalah pertanahan akibat perkembangan penduduk, keadaan politik, sosial ekonomi dan sosial budaya serta adanya pengaruh global dunia. 5.
Dampak Proyek Sertipikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah Kepemilikan Tanah Skala Kecil
Konsep Pasar Tanah Tanah sebagai barang ekonomi nilai atau harganya tergantung pada penawaran dan permintaan. Menurut Mangkusubroto (1992) bahwa dalam jangka pendek, penawaran tanah sangat inelastis karena luas tanah yang ada tidak dapat bertambah secara cepat dan drastis. Dalam jangka panjang permintaan tanah semakin bertambah karena berbagai faktor yang mempengaruhi, seperti pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan masyarakat, perubahan fungsi tanah dan sebagainya. Dengan logika semacam itu, maka harga tanah akan selalu meningkat kecuali ada faktor eksternal, seperti penurunan kualitas lingkungan. Selain bersifat inelastis, menurut Dasso dkk, (1989), tanah memiliki karakteristik properti, antara lain : (1) tidak mudah untuk dipindahkan; (2) properti masingmasing memiliki karakteristik yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya; (3) tidak mudah ditukar dengan uang (unliquid); (4) merupakann barang tahan lama (durability); (5) terkait dengan aspek legal. Berdasarkan karakteristik tersebut, dalam beberapa hal menurut pakar properti Eckert, (1990), pasar tanah, memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi pasar persaingan sempurna yaitu : (1) pasar properti bersifat unik; (2) jumlah pembeli dan penjual terbatas, sehingga harga sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan jumlah pembeli ataupun penjual; (3) sarat dengan intervensi pemerintah seperti legalitas, tata ruang, pajak dan lain-lain; (4) bersifat immobile sehingga terkait dengan kondisi lokal; (5) pembeli dan penjual mempunyai informasi yang terbatas. Kemampuan mengumpulkan informasi pembeli dan penjual itulah yang akan menentukan para pelaku pasar tanah mempunyai respon yang berbeda terhadap produk real estate, motivasi dan kriteria pembuat keputusan sangat bervariasi apakah mereka sebagai enduser, investor atau spekulan. Berkaitan dengan tingkah laku konsumen dalam membeli tanah, terdapat asumsi bahwa adanya persamaan selera mengenai ukuran tanah serta keinginan memperoleh tanah dengan utilitas yang lengkap. Norm Miller menemukan fakta bahwa pertimbangan utama pembeli dalam memperoleh tanah adalah tingkat harga yang rendah. Pembeli yang bukan berasal dari lokasi di mana properti tersebut berada akan membayar lima persen lebih mahal jika dibandingkan
13
PSE/JJuni-25/2007
dengan pembeli lokal. Keadaan itu dapat mendorong peralihan tanah ke pihak pembeli luar lokasi tanah. Terdapat pendapat tentang berbagai faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi harga tanah, salah satunya adalah hak atas tanah (property right). Aspek legal merupakan bagian terpenting dalam penilaian properti. Dalam hal ini sertipikat hak atas tanah memegang peranan yang cukup signifikan. Tanah yang telah bersertipikat akan dinilai lebih tinggi daripada yang tidak ada atau belum bersertipikat. Dowell dan Leaf (dalam Sembiring; 1997) memperlihatkan bahwa ada hubungan yang kuat antara hak atas tanah dengan harga tanah. Pada tahun 1989 peneliti tersebut telah mewawancarai makelar tanah di 128 kecamatan di Jakarta, menemukan bahwa tanah yang terdaftar di Jakarta nilainya meningkat 73 % dibandingkan dengan tanah serupa yang belum memiliki sertipikat. Sedangkan di negara-negara lain seperti Australia harga tanah meningkat 350 %, di Korea Selatan meningkat 275 %, di Jepang meningkat sebesar 300 % dan dinegara berkembang meningkat rata-rata 100 %. Proyek Land Consolidation juga memberikan dampak terhadap peningkatan nilai tanah akan meningkat rata-rata sebesar 500 % karena ada pembangunan prasarana fisik maupun fasilitas. Hal ini menyebabkan negara-negara tersebut di atas sangat antusias dalam melaksanakan Land Consolidation dan bahkan dilaksanakan secara swadaya masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (PPE) Universitas Gajah Mada pada tahun 1998 menunjukkan bahwa dari faktor kelembagaan, aksesibilitas, status tanah, utilitas dan kenyamanan, status tanah mempunyai bobot penentu sekitar 33,15 %, kedua terbesar setelah aksesibilitas. Pengukuran selanjutnya ditemukan bahwa jenis status tanah yang berbeda akan berpengaruh terhadap penentuan harga dasar tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak milik memberikan sumbangan sebesar 44,82 %, hak guna bangunan, 20,17 % , hak guna usaha 15,14 %, hak milik satuan rumah susun 5,94 % dan untuk tanah yang belum bersertipikat 13,93 %. Jika diformulasi dengan faktor pembobot 33,15 %, maka masing-masing pembeda terhadap penentuan harga dasar tanah adalah berturut-turut 13,52 % untuk sertipikat hak milik, 6,08 % untuk sertipikat hak guna bangunan, 4,57 % untuk sertipikat hak guna usaha, 4,21 % untuk belum bersertipikat dan 1,79 % untuk hak milik atas satuan rumah susun. Penelitian menunjukkan bahwa bagi pemilik tanah, sertipikat hak milik sangat menentukan harga tanah itu sendiri. Konsep Dampak Sertipikasi Tanah Terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam pengertian yang hampir bersamaan, yaitu effect yang berarti pengaruh dan impact yang berarti dampak. Pengaruh secara umum diartikan kondisi yang secara langsung terjadi sebagai respon suatu perlakuan sedangkan dampak secara umum diartikan kondisi yang secara tidak langsung terjadi akibat suatu perlakuan. Keadaan yang terakhir ini merupakan kombinasi dari berbagai interaksi pengaruh yang dapat terjadi dalam jangka waktu yang relatif lama dan lebih luas cakupan areanya. Dengan demikian dampak merupakan suatu proses jangka panjang yang dapat terjadi secara multiplier dari suatu pelaksanaan kebijakan. Dampak tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Jika mendasarkan pengertian ini pengaruh langsung bidang tanah yang didaftar dan diberikan status sertipikat hak atas tanah adalah adanya kepastian
14
PSE/JJuni-25/2007
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai tujuan yang ingin dicapai dalam penguatan hak dan pendaftaran tanah di Indonesia. Sedangkan dampak sertipikasi tanah adalah keadaan mengenai tanah sebagai kekayaan/faktor produksi yang berinteraksi dengan mekanisme pengelolaan tanah dalam suatu sistem pasar tanah. Dalam kontek ini, pemberian sertipikasi tanah rakyat berskala kecil dengan hak milik diharapkan dapat berujung pada kesejahteraan rakyat sebagaimana dicita-citakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA.. Konsep ini oleh penulis dirumuskan dalam suatu model pada Gambar-3. Dampak Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil Pengamatan di berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri pada berbagai model karakteristik wilayah dan perlakuan sertipikasi tanah telah diperoleh informasi mengenai dampak sosial ekonomi pendaftaran dan sertipikasi tanah,. Secara umum keadaan itu digambarkan sebagai berikut (lihat Tabel 5) A.
Model kegiatan ekonomi tanpa sertipikasi tanah
Model ini dipelajari dari tiga kasus di Indonesia, yaitu: (1) kasus kegiatan masyarakat tanpa intervensi sertipikasi tanah maupun pembangunan ekonomi pedesaan di desa Dasar Lekong, Kecamatan Sukamaju, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, (2) kasus adanya intervensi pembangunan wilayah berbasis pertanian tanpa sertipikasi tanah di pedesaan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan (3) kasus pembangunan usahatani konservasi tanpa program sertipikasi tanah di daerah Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah dan DAS Brantas Jawa Timur. Pada kasus pertama, walaupun tidak ada intervensi proyek sertipikasi tanah, namun di wilayah ini terjadi pemecahan dan peralihan tanah, peningkatan harga tanah dan selanjutnya berdampak meningkatnya konversi dari tanah pertanian ke non-pertanian. Keadaan disebabkan banyaknya pemecahan dan peralihan tanah akibat kebutuhan uang untuk biaya TKI/TKW ke Malaysia, Brunei, Arab dan sebagainya dan pembelian tanah oleh TKI/TKW yang sudah berhasil di “Negeri Jiran”, Berbagai perubahan tersebut sangat signifikan walaupun tidak tercatat secara formal. Pada kasus kedua, terdapat intervensi kegiatan pembangunan wilayan berbasis pertanian yang mendorong peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat pedesaan, namun tidak terdapat kenaikan harga tanah dan peralihan tanah. Pada kasus ketiga, walaupun ada intervensi kegiatan usahatani konservasi, namun di wilayah ini tidak banyak terjadi peralihan tanah dan kenaikan harga tanah, kecuali di di sekitar jalan desa yang diperbaiki atau diperlebar yang lokasinya dekat dengan ibukota kecamatan atau pusat kegiatan ekonomi. Penelitian mengenai hubungan status tanah dan usahatani konservasi menunjukkan bahwa tanah yang digarap sendiri olek petani pemilik pada umumnya lebih intensif melaksanakan usahatani konservasi dibanding dengan tanah yang disewa atau dibagi hasil. Ketika proyek selesai, usahatani konservasi tidak berlanjut, satu-satunya yang masih tersisa hanya sertipikat hak milik atas tanah.
15
DAMPAK AWAL (Initial Impact) KEKAYAAN / FAKTOR PRODUKSI
PENGARUH SERTIFIKASI TANAH
PRODUKSI
KESEMPATAN KERJA
OUTPUT
PENGUATAN P4T
KREDIT
INVESTASI/ KONSUMSI
MULTIPLIER
DAMPAK AKHIR KESEJAHTERAAN
KEPASTIAN HUKUM
KONSUMSI BARANG TAHAN LAMA
- PERUMAHAN - ALAT MESIN - KENDARAAN
SEWA/ OPPORTUNITY COST/INCOME
PENDAPATAN
PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMSI TABUNGAN
TERTIB ADMINISTRASI TANAH
Gambar 3
:
PENGELOLAAN PASAR TANAH
INVESTASI
PEMECAHAN
TANAH SEMPIT
SKALA USAHA KECIL
PERALIHAN
PEMUSATAN PEMILIKAN TANAH
KETIMPANGAN PEMILIKAN TANAH
Dampak Program Sertipikasi Tanah Terhadap Pendapatan dan Perekonomian
B.
Model Program Sertipikasi Tanah
Model ini dipelajari dari tiga kasus di Indonesia, yaitu: (1) Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) bantuan Bank Dunia,yang dilaksanakan pada tahun 1994 sd 2000 (2) Sertipikat Tanah Program Prona dan (3) Sertipikasi tanah UKM. Pada
kasus pertama, diamati beberapa lokasi yang menjadi obyek PAP di Kabupaten Karanganyar, yaitu Desa Salam yang merupakan daerah pertanian sawah yang subur dan lokasinya di jalan pariwisata Tawangmangu, dan Desa Jatikuwung yang merupakan daerah pertanian tanah kering tidak subur yang lokasinya dekat Kota Solo.. Setelah tiga tahun disertifikasi, di kedua desa tersebut terdapat peningkatan pemecahan dan peralihan tanah. Pemecahan tanah sebelum dan sesudah PAP, di Desa Salam meningkat 80% dan di Desa Jatikuwung 70% . Sedangkan jual beli tanah masing-masing meningkat 20% dan 30%. Selain itu, di desa Salam, terdapat indikasi masyarakat lebih intensif mengusahakan tanah sawah yang sudah bersertipikat dengan harapan produksi meningkat serta terdapat indikasi peningkatan pinjaman ke bank.
Pada kasus kedua, proyek sertipikasi tanah melalui PRONA dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang lokasinya terpencil serta masyarakatnya masih miskin dan juga tanah usaha tidak produktif. Setelah berlangsung sekitar 10 tahun, di lokasi ini tidak terjadi peningkatan produksi usahatani, pendapatan, peralihan tanah dan peningkatan kredit. Sertipikat hanya disimpan di lemari. Pada kasus ketiga, adalah proyek sertipikasi tanah Usama Kecil dan Menengah (UKM) di daerah non pertanian yang merupakan sentra industri dan perdagangan di Kecamatan Sarindik, Kota Tasikmalaya. Setelah satu tahun terjadi indikasi peningkatan nilai tanah yang diagunkan di BRI sebagai jaminan setelah disertipikatkan. Masyarakat juga dapat memilih Bank lain yang dapat memberi layanan kredit lebih baik. C.
Model Program Sertipikasi Tanah di Luar Negeri
Untuk melihat keragaman dampak program sertipikasi tanah, penulis menyajikan dua kasus di luar negeri, yaitu program pensertipikatan tanah wilayah pedesaan Bantuan Bank Dunia. di dua Negara, Kenya dan Thailand. Pada kasus pertama, di Kenya, pendaftaran tanah lebih berpengaruh terhadap keamanan hak untuk tanah dibanding menaikkan produktifitas pertanian, Tidak ada indikasi meningkatnya produksi pertanian, kenaikan harga tanah dan peralihan tanah. Pada kasus kedua, di Thailand secara umum proyek sertipikasi tanah juga tidak terdapat peningkatan produksi pertanian yang signifikan. Peralihan tanah dan peningkatan agunan dan jumlah dana yang dipinjam di bank hanya tampak terutama di daerah Chiang Mai yang merupakan lokasi periwisata. Dari berbagai penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa sertipikasi tanah yang dilaksanakan di daerah yang sudah berkembang perekonomiannya seperti
PSE/JJuni-25/2007
daerah perkotaan, industri dan perdagangan serta pariwisata cenderung memberi dampak terhadap pemecahan dan peralihan tanah serta kenaikan harga tanah. Demikian pula di daerah pedesaan yang subur yang didukung dengan infrastruktur pedesaan serta akses ke sarana dan prasarana pertanian lebih signifikan dampaknya terhadap pemecahan dan peralihan tanah serta kenaikan harga tanah.. Tabel. 5: Dampak Pemberian Sertipikat Tanah Terhadap Pasar Tanah Pada Kepemilikan Skala Kecil No. A.
1
2
3
Model yang Diamati Indonesia Tanpa Program Sertipikasi Tanah Desa Dasar Lekong Lombok Timur NTB 2003
Kawasan Berpotensi Ekonomi NTB dan NTT (1996 s/d 2002)
Daerah Hulu DAS Jratunsoluna dan Brantas, Jawa Tengah Jawa Timur (1981 1991)
Kasus/Perlakuan
Tanpa kegiatan pembangunan wilayah
Pengaruh yang di Timbulkan rata-rata 78 kali/thn
1.
2.
Terjadi peralihan tanah akibat kebutuhan uang untuk biaya TKT/TKW dan pembelian tanah oleh TKI/TKW yang sudah berhasil Terjadi Konversi penggunaan tanah
3.
Kenaikan harga tanah cukup signifikan
Program Pembangunan Wilayah Berbasis Pertanian di Nusa Tenggara ( NTIADP ) • Ditjen Bangda, Depdagri, biaya Bank Dunia - Usaha Tani basis tanah - Infrastruktur Wilayah jalan,irigasi) - Usaha Ternak - Kelembagaan
1.
2.
Produksi usaha tani pangan dan ternak meningkat, namun harga output lebih rendah dengan peningkatan harga input sehingga pendapatan harga sedikit meningkat tidak banyak terjadi peralihan tanah
3.
Kenaikan harga tanah tidak terdeteksi
Program Usaha tani konservasi • Ditjen Bangda, Depdagri, biaya USAID - Usaha tani konservasi - Jalan desa - Usaha ternak - Pemasaran produksi
1.
Peserta yang berstatus pemilik tanah lebih intensif menerapkan usaha tani konservasi dibanding petani penyewa atau petani bagi hasil
2. 3.
4.
B. 1
2
Program Sertipikat Tanah Dalam Negeri Daerah Pertanian Lokasi PAP di Kab. Karanganyar, Jawa Tengah: 1. Desa Salam ,Kec. Karangrejo tanah subur, akses jalan ke lokasi wisata Tawangmangu 2.Desa Jatikuwung,Kec Sendangrejo, (tanah tidak subur, dekat kota Solo) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi NTT, lokasi terpencil, masyarakat miskin, tanah usaha tidak produktif. Risnarto, Puslitbang, 1993
tidak banyak terjadi peralihan tanah Kenaikan harga tanah terjadi di sekitar lokasi jalan desa yang diperbaiki/diperlebar. Pasca dampak praktek konservasi berhenti, yang masih ada sertipikat yang disimpan di lemari
Sertipikasi Tanah PAP bantuan dari Bank Dunia (1994 - 2000)
1.Terdapat peningkatan pemecahan tanah di desa Salam 2.Meningkatnya peralihan tanah di 2 (dua) lokasi yang dekat dengan jalan raya 3.Terdapat indikasi masyarakat desa Salam lebih intensif mengusahakan tanah yang sudah bersertipikat dengan harapan produksi meningkat 4.Terdapat indikasi peningkatan pinjaman ke Bank
Sertipikat Tanah Program PRONA Tahun 1986
1. Tidak terjadi peningkatan usaha tani, produksi dan pendapatan 2. Tidak terjadi peralihan tanah 3. Tidak terjadi peningkatan kredit 4. Sertipikat tanah disimpan di lemari
18
PSE/JJuni-25/2007
3
C. 1
2
Daerah Non Pertanian Lokasi Kecamatan Sarindik, Kota Tasikmalaya (sentra industri rumah tangga masyarakat ekonomi kecil dan menengah Eliana, Puslitbang, 2007
Program Sertipikat Tanah di Luar Negeri Kenya : • Madzu, Lumakanla, Kianjogu, Mweiga Place dan Adhoila (1998)
Thailand : • Chiangmai, Laupong, Buri Ram, Roi Et, Ouchan, dkk, 1993
Sertipikasi Tanah UMK - tanah pertanian (industri rumah tangga)
1.Terdapat indikasi peningkatan nilai tanah yang di agunkan di BRI sebagai jaminan setalh disertipikatkan 2.Terdapat kecenderungan meningkatnya nilai tawar (bergaining positif) untuk meminjam kredit selain BRI.
Program Sertipikasi Tanah Wilayah Pedesaan Pertanian Bantuan Bank Dunia
1.Pendaftaran dan sertipikasi tanah mempunyai dampak yang lemah terhadap kesadaran tentang hak atas tanah bagi petani, pengguna kredit, hasil pertanian dan peralihan tanah 2.Pendaftaran Tanah Lebih berpengaruh terhadap keamanan hak untuk tanah di banding menaikkan produktifitas pertanian
Program Sertipikasi Tanah Wilayah Pedesaan Pertanian Bantuan Bank Dunia
1.Terdapat indikasi yang kuat peningkatan agunan dan jumlah dana yang dipinjam di bank 2.Terdapat indikasi meningkatnya peralihan tanah terutama di daerah Chiang Mai (pariwisata) 3.Terdapat indieks meningkatnya harga tanah di daerah Chiang Mai 4.Harga Tanah meningkat 472 % di daerah proyek dan 162 % di non proyek
Keterangan: Diringkas dari berbagai sumber
Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Makro Peranan sertipikat hak atas tanah terhadap pembangunan ekonomi daerah dapat diindikasi dari besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan besarnya nilai kredit yang diperoleh dengan pembebanan Hak Tanggungan yang didaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Umumnya semakin berkembang perekonomian suatu wilayah, semakin besar pula nilai BPHTB dan nilai kredit hak tanggungan. BPHTB merupakan salah satu jenis pajak yang strategis dalam mendukung penerimaan daerah kabupaten/kota yang bersumber dari pembagian keuangan Pusat dan Daerah. Dengan penerimaan itu, daerah kabupaten/kota dapat menggerakkan perekonomiannya melalui pengeluaran rutin dan pembangunannya. Sedangkan nilai kredit yang diperoleh dari pembebanan hak tanggungan merupakan sumber dana untuk investasi maupun operasionalisasi kegiatan perekonomian skala besar, usaha kecil dan menengah, maupun usaha rumah tangga. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, pada tahun 2005 penerimaan BPHTB secara Nasional sekitar Rp 7,0 trilyun. Penerimaan ini akan meningkat setiap tahunnya karena sifat pengenaannya adalah insident tax, yaitu dikenakan setiap terjadi perolehan hak atas tanah, baik melalui peralihan hak maupun pemberian hak baru. Sementara itu, hasil penelitian Risnarto dan Asmadi (Puslitbang, BPN) pada tahun 2005 di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa pada periode tahun 2000 sampai 2004, sertipikat HGB dan Hak Milik yang diagunkan dan didaftarkan melalui Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan
19
PSE/JJuni-25/2007
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, di Kota Bandung, tercatat nilai agunan kredit sekitar Rp 4,72 trilyun dan di Kabupaten Bandung sekitar Rp 0,74 trilyun. Sekitar 10 % nilai kredit di Kota bandung untuk usaha besar dengan asumsi nilai agunan lebih Rp 1 milyar, untuk usaha menengah sekitar 30 % dengan asumsi nilai agunan antara Rp 200 juta s/d Rp 1 milyar, sekitar 60 % untuk usaha kecil dan rumah tangga dengan asumsi nilai agunan di bawah Rp 200 juta. Penelitian lebih lanjut di beberapa kota dan kabupaten di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah dapat diprediksi bahwa untuk seluruh Indonesia sekurang-kurangnya total nilai kredit dengan jaminan sertipikat HGB dan Hak Milik sekitar Rp 108 trilyun. Keadaan ini jauh lebih tinggi (11 kali ) dibandingkan dengan investasi langsung ke Indonesia pada tahun yang sama yang hanya mencapai sekitar US $ 1023 juta atau sekitar 9,41 trilyun (kurs 1 US $ = Rp 9200). Pemanfaatan kredit untuk pembangunan di berbagai bidang itu, mempunyai dampak ganda (multiplier effect), seperti serapan tenaga kerja, perdagangan barang dan jasa, peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain kepastian hukum hak atas tanah menjadi dasar kepercayaan dunia usaha terhadap produk pelayanan pertanahan yang berimplikasi terhadap meningkatnya iklim investasi usaha. 6.
Implikasi Kebijakan.
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pertanahan melalui proyek pendaftara dan sertipikasi tanah yang bertujuan untuk memberi penguatan hak-hak atas tanah, kepastian dan perlindungan hukum kepemilikan tanah serta tersedianya data dan informasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah memberikan dampak yang beragam terhadap pasar tanah dan kepemilikan tanah skala kecil. Terdapat kecenderungan bahwa program sertipikasi tanah di wilayah pedesaan lokasinya terpencil dan tidak diintegrasikan dengan program pembangunan wilayah berbasis pertanian kurang memberi dampak terhadap peningkatan produksi dan kepemilikan aset rumah tangga petani. Sebaliknya program sertipikasi tanah di wilayah pedesaan yang mempunyai potensi perkembangan ekonomi dapat mendorong kenaikan harga tanah, pemecahan dan peralihan tanah. Keadaan ini jika tidak dikelola dengan seksama mendorong pemusatan tanah ke pihak ekonomi kuat yang berdampak meningkatnya ketimpangan penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dewasa ini jumlah bidang tanah yang telah terdaftar dan bersertifikat sekitar 34 juta bidang tanah. Pemerintah (BPN) telah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan program pendaftaran dan sertipikasi tanah skala kecil yang semula sekitar 1,8 juta (2006) menjadi 3,1 juta (2007) dan akan ditingkatkan sekitar 4,0 sd 5,0 juta per tahun. Sebagian besar program itu berada di wilayah pedesaan. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan pertanahan bagi kepemilikan skala kecil di pedesaan, diperlukan beberapa strategi: Pertama, kebijakan pemberian sertipikasi tanah bagi rakyat miskin di pedesaan perlu didukung dan diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan wilayah berbasis pertanian, yang menyediakan fasilitas akses jalan pedesaan, sarana dan prasarana produksi, teknologi produksi dan prosessing usahatani, pemasaran, kredit usahatani serta kelembagaan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan maupun pengorganisasian petani. Program ini pada dasarnya adalah bentuk Reforma Agraria.
20
PSE/JJuni-25/2007
Kedua, data dan informasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pedesaan perlu diinventarisasi dalam rangka menyusun tipologi pedesaan berbasis pertanian serta prioritas lokasi program sertifikasi tanah skala kecil. Dengan data basis pertanahan yang lengkap dapat diamati lebih seksama dampak proyek sertipikasi tanah dan upaya-upaya perlindungan sosial ekonomi bagi rakyat kecil yang terancam kehilangan tanahnya. Ketiga, kegiatan usaha tani skala kecil perlu dikembangkan dalam suatu pola “corporate farming” yang memberikan nilai tambah lebih baik bagi pendapatan petani sehingga dapat mengembangkan aset kepemilikan tanahnya guna mempertahankan kelangsungan usahataninya. Keadaan ini memerlukan koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan terhadap rakyat khususnya petani dengan kepemilikan tanah skala kecil.
21
PSE/JJuni-25/2007
Daftar Pustaka Black, H.C, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St Paul, MN. Barlowe, raleige. Land Resource Economics : The Economics of Real Property Second Edition Prentice_Hall, Inc NJ. 1972 Badan Pertanahan Nasional bekerjasama dengan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 1999. Studi Kondisi Awal Sosial Ekonomi Masyarakat Penerima Sertifikat PAP.. Yogyakarta. 1999. -------------. Data Base Sosial Ekonomi Menyangkut Penerima Sertifikat PAP Yogyakarta 1999. Charles, Griffith, Charisse, The Impact of Land Titling on Land Transaction Activity and Registration System Sustainability : a Case Study of Santa Lucia, Dissertation, Univerity of Florida Chambers C. 2001. an Introduction of Property Law in Australia, LBC Information Service. Feder, G. Ouchan. T. Chalamway, Y. Hangladarom C. 1998. Land Policies and Farm Productivity in Thailand. Jhon Hopkins University Press. Baltimore Mariland. st
Fisher, Jeffrey Daud Robert S Martin. Income Property Valuation 1 Edition Dearbon Financial Publishing Inc. Chicago II, 1994. Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal Sysytem A Sosial Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, Herman Sosesangobeng. 2003. Upaya Pembentukan Materi Hukum dan Kebijakan Pertanahan yang Demokratis. STPN–BPN, Yogyakarta. Kitay Michael. G. 1985. Land Acquisition in Developing Countries. Oelgeschloger, Gun & Hain, Boston, USA. Loekman Sutrisno, Sertifikasi Pemilikan Tanah dan Manfaatnya : Kajian dari Aspek Politik (Buku Pelatihan) Kerjasama PPE-UGM dengan BPN, Yogyakarta, 5 Maret 1999. Muchtar Wahid, 2005. Analisis Deskriptif Terhadap Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Penelitian Disertasi Universitas Hasanuddin, Makassar. PM Laksana, Implikasi Budaya Sertifikasi Tanah (Buku Pelatihan) Kerjasama PPE-UGM dengan BPN. Yogyakarta. 5 maret 1999. Peter Butt. 2001. Land Law, Fourth Edition, Law Book Co, NSW. Risnarto, 1999. Kajian Informasi data Pertanahan, Puslitbang BPN, 1999. ---------------, 1999. Pengelolaan Pertanahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional. …….…...., 1999. Survei Investasi Rumah Tangga di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. PPE-UGM. 1999 ……….…, 2000. Evaluasi Sosial Ekonomi Proyek Pensertifikatan Tanah (Terjemahan dari Socio-Economic Evaluation of the Land Titling Project). Puslitbang BPN. Jakarta 2000. …….….…, 2001, Dampak Sertifikasi Tanah Massal Program PAP Terhadap Peralihan Tanah, Jurnal IPTEK Pertanahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta. --------------, 2005. Pelayanan Pertanahan Mendukung Perekonomian Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional. Soedjarwo Soeromihardjo (1985) .Produktivitas Lahan Pertanian Rakyat Dalam Wilayah kecamatan di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian Disertasi Universitas Brawijaya.Malang:
22
PSE/JJuni-25/2007
23