| 449
IX. PENUTUP
Bagian yang akan menutup pembahasan tentang ruang lokal Kawasan Pusat Situs Purbakala ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama, adalah kesimpulan hasil penelitian tentang “Ruang Kemuliaan” dan konsep-konsep pembangunnya. Bagian kedua merupakan sumbangan penelitian terhadap pengetahuan, bagian ketiga, saran-saran yang berkenaan dengan pengembangan penelitian, dan yang terakhir, saran-saran terhadap praktik perancangan dan perencanaan ruang lokal.
9.1. Kesimpulan 1.
Simbol objek material (artefak), interaksi sosial dan interaksi antara pelaku dengan artefak dijumpai pada: a) elemen permanen, yaitu candi, arca, makam, elemen alam (bulan, matahari, air, api, arah mata angin, batu dan pohon), ruang ekonomi formal (lahan persawahan, industri bata, warung/toko) dan ruang ekonomi informal (pedagang kaki lima); b) elemen semi permanen, yaitu setting ruang pada aktivitas tertentu, elemen-elemen artifisial pendukung aktivitas sesajian, perlengkapan khusus untuk ritual (pakaian, payung, genta, bendera, topeng dan alat-alat untuk tarian sakral, wayang, musik dan gamelan, janur, bunga, air, api, burung), perlengkapan umum (foto tokoh tertentu, papan reklame); c) elemen tidak permanen, yaitu hubungan antar objek artefak (objek sakral), ragam aktivitas budaya (spiritual, festival), prosesi dalam aktivitas budaya, ekspresi posisi, postur dan gerakan tubuh, serta wajah dan suara pelaku aktivitas.
2.
Ideologi sebagai kesatuan ide, orientasi nilai, agama, mitos, dan struktur kesadaran ditemukan dalam keyakinan religius, kepercayaan, dan orientasi nilai.
3.
Terdapat
perkembangan
pengertian
tentang
keyakinan
religius
dan
kepercayaan yang bersumber dari referensi formal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) pada kenyataan empiris.
Dalam penelitian ini, keyakinan religius adalah keyakinan yang didasarkan pada ajaran-ajaran keagamaan yang dianut oleh umat pelaku, yaitu Islam, Hindu dan Buddha, sedangkan kepercayaan adalah keyakinan atas kebenaran sesuatu yang tidak bersumber pada agama tertentu. Penelitian ini menemukan bahwa kepercayaan meliputi keyakinan mitologis, keyakinan kosmologis, dan keyakinan historis. Keyakinan mitologis adalah keyakinan yang didasarkan pada mitos atau kisah-kisah suci pewayangan yang dipercaya oleh komunitas tertentu (Jawa dan Hindu). Keyakinan kosmologis, adalah keyakinan bahwa dunia dalam pengaruh kekuatan magis yang bersumber pada benda-benda di alam semesta, yaitu cahaya dan gerak matahari juga bulan, segara (laut), gunung, pohon, air dan arah mata angin. Dalam keyakinan ini, selain sebagai media perjumpaan pelaku ritual dengan roh leluhur atau dewa, elemen-elemen alam semesta tersebut juga dipercaya sebagai tempat dewa atau roh nenek moyang yang didewakan bersemayam (palinggihan). Komunitas yang mendasarkan ritual pemujaannya pada keyakinan ini adalah komunitas Jawa dan Bali.
Keyakinan historis, adalah keyakinan yang didasarkan pada
peristiwa sejarah yang dipahami oleh kelompok pelaku tertentu, yaitu sebagian dari masyarakat umum, masyarakat Islam, masyarakat Jawa, Hindu dan Buddha. Keyakinan historis dijumpai bersifat subjektif yang bersumber dari tradisi tutur, dan bersifat objektif yang bersumber dari bukti-bukti arkeologis dan kajian akademis. 4.
Dalam penetapan ruang, waktu dan laku, hubungan antar keyakinan ―religius, mitologis, kosmologis, dan historis― adalah arbitrer. Keyakinan menjadi landasan pemaknaan ruang melalui proses: a) interpretasi dalam satuan tunggal; dan b) sintesis antar keyakinan untuk menemukan harmonisasi dari kebenaran suatu nilai antar keyakinan yang beragam.
5.
Terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan sumber kesadaran. Dalam penelitian ini, kesadaran bersumber dari intuisi dan intelektual. Kesadaran intuitif adalah pemahaman yang bersumber dari gerak hati atau rasa, sedangkan kesadaran intelektual adalah pemahaman yang bersumber dari olah pikir
| 450
pelaku pemujaan. Sumber tutur dan atau referensial menjadi material penting dalam membangun kesadaran intelektual. 6.
Di balik kesetaraan hubungan antar keyakinan, hakekatnya terdapat struktur hierarkis keyakinan. Keyakinan religius adalah azas dari keyakinan lainnya. Pengertian keyakinan religius berkembang dari pengertian semula, yaitu keyakinan yang didasarkan pada ajaran-ajaran keagamaan tertentu. Keyakinan religius adalah keyakinan pelaku ruang tentang adanya Sumber atau Sebab Kemuliaan. Keyakinan tersebut mewujud dalam pandangan pelaku ruang tentang dunia, interaksi sosial supranatural, dan laku membangun kemuliaan.
7.
“Ruang” yang disebut pelaku ruang sebagai “dunia” adalah ruang eksistensial, yaitu ruang berhuni atau tempat pelaku ruang dapat mengorientasi, mengidentifikasi, dan membangun diri dalam dunia di luarnya. Dalam pemahaman ini, “ruang atau dunia” dikenali melalui proses strukturisasi yang ditemukan dalam wujud penentuan struktur hierarkis sesuai posisi dan peranannya kelompok sosial yang menempatinya.
8.
“Kelompok sosial” dibedakan menjadi kelompok sosial supranatural dan kelompok sosial manusia. Yang termasuk kelompok sosial supranatural adalah Gusti; leluhur, yaitu raja, resi, tokoh alim, dan patih atau prajurit kerajaan yang telah wafat; tokoh-tokoh mitologis dalam pewayangan dan danyang penguasa wilayah gaib; mahluk gaib lain baik berwujud manusia maupun binatang; dan orang tua yang telah wafat. Meski keseluruhan anggota kelompok ini bersifat gaib (tidak tercerap indera), namun Gusti tidak dapat disamakan dengan mahluk lainnya, bahkan dengan “mahluk gaib” yang dikenal dalam terminologi lokal. Kelompok sosial manusia adalah sekelompok orang yang disatukan oleh kesamaan ideologi (kepercayaan dan orientasi hidup).
9.
Terdapat tiga kategori “ruang atau dunia”, yaitu 1) “dunia supranatural-tak terbatas-tak terjangkau”; 2) “dunia antara” atau “dunia supranatural-terbatas”; dan 3) “dunia empiris” yang terdiri dari “dunia empiris-supranatural”, yaitu dunia arwah bagi kelompok sosial terkait dengan pelaku masa kini yang dikategorikan dalam “dunia antara” dan “dunia empiris-terbatas”.
| 451
10. Pelaku ruang memahami Kemuliaan dalam dua kategori, yaitu spiritual dan duniawi/materialistik. Kemuliaan spiritual dipahami dalam makna: 1) tercapainya jiwa suci dan luhur; 2) tercapainya kesadaran/penerangan dan ilmu sempurna; 3) tercapainya mahardika, yaitu kebebasan jiwa dari keterikatan material dan ketersambungan dengan yang imaterial; dan 4) tercapainya ke-manunggalan-an hamba dengan Tuhannya. Kemuliaan duniawi dipahami dalam makna: 1) tercapainya kehidupan selamat lahir dan batin; 2) terpenuhinya ilmu; 3) hubungan persaudaraan; 4) kelimpahan rezeki sandang, pangan, dan kesehatan; 5) keluasan kesempatan usaha; dan 6) tercapainya kedudukan sosial tertentu; dilandasi oleh dua ragam keyakinan, yaitu keyakinan religius dan keyakinan duniawi yang tidak terkait dengan keyakinan religius. 11. Gerak Meruang adalah gerak sosial dalam pelampauan ruang dan waktu dalam laku membangun kemulian. 12. Gerak meruang membangun Ruang Kemuliaan dalam dua hal, yaitu restrukturisasi dan reformasi ruang. Restrukturisasi adalah perubahan sekaligus penataan kembali struktur hierarkis ruang, dan reformasi adalah penataan kembali ruang empiris melalui penempatan elemen-elemen ruang dari konsepsi yang disadari semula. 13. Terdapat tiga pola gerak meruang yang menjadi kesatuan utuh dengan pola relasi sosial, yaitu: a) interaksi ruang terjadi antara “dunia empiris” menuju “dunia supranaturaltak terbatas” melalui “dunia supranatural-terbatas”, yang didasarkan pada keyakinan mengenai adanya perbedaan hierarkis antara Gusti dengan leluhur, dan ketidak terjangkauan Gusti. Konsepsi struktur hierarkis ruang berupa penempatan “dunia supranatural-tak terbatas-tak terjangkau” sebagai “dunia atas” dan “dunia empiris” sebagai “dunia bawah”, serta munculnya “dunia antara” yang menjembatani “dunia atas” dan “dunia bawah”. Reformasi ruang mewujud dalam hal penetapan situs purbakala
| 452
(candi) dan atau makam sebagai objek sakral dan pusat dari ruang pemujaan, yang diikuti oleh penempatan elemen-elemen pendukung ritual; b) interaksi ruang terjadi antara “dunia empiris” menuju “dunia supranaturalterbatas”, yang dilandasi oleh keyakinan mengenai relasi sosial berdasarkan pandangan bahwa leluhur adalah manifestasi dari Gusti. Konsepsi struktur hierarkis ruang berupa penempatan “dunia supranatural-terbatas” atau “dunia antara” sebagai muara tujuan laku pemujaan, dan dunia empiris sebagai “dunia bawah”. Reformasi ruang mewujud dalam hal menetapkan situs purbakala (candi), makam, elemen-elemen alam (pohon, batu) sebagai objek sakral. Objek sakral tidak serta-merta ditetapkan sebagai pusat ruang pemujaan. Pusat ruang sekaligus penempatan elemen-elemen pendukung ritual dalam suatu setting ruang ditentukan berdasarkan keyakinan religius pelaku terhadap elemen-elemen alam seperti bulan, matahari, segara (laut), air, dan arah mata angin; dan c) interaksi ruang terjadi antara “dunia empiris” dengan “dunia supranaturaltak terbatas” yang dibentuk oleh keyakinan bahwa pertama, manusia ―badan raga dan batin― yang berada di “dunia bawah” adalah representasi dari “dunia supranatural-tak terbatas”, sehingga “dunia empiris” (manusia) dan “dunia supramatural-tak terbatas” sebenarnya adalah tunggal. Kedua, kualitas batiniah manusia senantiasa berubah, sehingga menciptakan jarak antara manusia dalam “dunia bawah atau dunia empiris” dengan “dunia atas atau dunia ketuhanan”. Karena itu, diperlukan upaya mencapai kesatuan kembali dengan “dunia atas”. Meskipun demikian, keyakinan tentang ketidakmampuan manusia untuk menjangkau “dunia supranatural yang tak terbatas”, dan tentang “dunia supranatural-terbatas” atau “dunia arwah dan roh” adalah manifestasi dunia ketuhanan masih melatarbelakangi pandangan pelaku ruang. Secara konseptual, struktur hierarkis ruang berupa mewujudnya “dunia supranatural-tak terbatas atau dunia atas” pada “dunia supranatural-terbatas atau dunia antara”, dan kehadiran dan kesatuannya dengan “dunia empiris-terbatas atau dunia bawah”. Dengan kehadirannya
| 453
dalam “dunia empiris” atau pengalaman individual manusia, maka manusia secara konseptual telah berada di “dunia supranatural”. Dalam pola ini, meskipun reformasi ruang mewujud dalam hal menetapkan manusia sebagai pusat dan objek ruang sakral, namun penempatan elemenelemen pendukung ritual dalam suatu setting ruang tetap ditentukan berdasarkan keyakinan religius pelaku terhadap elemen-elemen alam seperti bulan, matahari, segara (laut), air, dan arah mata angin. Hal ini karena hanya pada ruang dan waktu tersebut manusia menemukan spiritualitasnya. 14. Gerak meruang telah memungkinkan pencairan batas-batas dimensional ruang dan perubahan ruang sekaligus elemen-elemen empiris yang menyertainya menjadi ruang konseptual. 15. Dalam gerak meruang, relasi sosial tercipta bersama ruang-ruang pemujaan dalam kerangka waktu yang subjektif. Bukan waktu vulgar-sekuensial, namun waktu primordial yang dihayati. Gerak meruang adalah gerak mewaktu, yaitu gerak menghayati asal masa lalunya, menghayati masa kininya demi mempersiapkan dan membangun kemuliaan diri di masa mendatang. Keserentakan waktu asali dalam hidup manusia ada bersama gerak meruangnya. Suatu gerak meruang yang tak ditemui dalam upaya membangun kemuliaan duniawi semata. Meski gerak meruang merujuk pada gerak sosial, namun gerak tersebut merupakan gerak sosial eksistensial. Gerak yang hanya dapat dihayati oleh manusia sebagai individual. Karena itu, gerak meruang terjadi didasarkan pada kepercayaan dan pengalaman hidup para pelaku ruang. 16. Dalam kesadaran pelaku, Ruang Kemuliaan adalah Sumber Kemuliaan itu sendiri: “Yang Maha Suci (Gusti Kang Maha Suci)”; “Yang Maha Memberi Petunjuk (Berilmu atau Kesadaran yang Sempurna)”; “Yang Maha Kuasa (Gusti Maha Kuasa)”; “Yang Maha Pencipta (Gusti Kang Murbeng Dumadi)”. 17. Hasil
dialog
teori
menunjukkan
bahwa
teori
Ruang
Kemuliaan
menyumbangkan warna baru terhadap teori-teori lokal tentang ruang, budaya, dan lingkungan, serta tentang ruang yang terkait dengan spiritualitas dan
| 454
kesejarahan. Persandingan teori ini dengan teori ruang lokal Sistem Spasial Desa Pegunungan di Bali dalam Perspektif Sosial-Budaya (Runa, 2004) yang dilatar belakangi oleh keterikatan sejarah dan sosio-kultural, menunjukkan adanya perbedaan konsepsi keruangan yang disebabkan oleh dinamika dan dialog antar keyakinan sebagai azas kesadaran tentang ruang. Sementara, persandingan teori ini dengan teori ruang Pemufakatan dan Desakralisasi Ruang di Permukiman Kauman Yogyakarta oleh Suastiwi Triatmodjo (2010) berdasarkan
adanya
kemiripan
persoalan
dinamika
perubahan
dan
pemufakatan ruang. Kedua teori ini menyatakan bahwa dinamika penggunaan ruang terkait dengan perubahan ideologi penghuni-pengguna ruang. Penciptaan ruang-ruang baru di permukiman Kauman Yogyakarta terutama dilandasi oleh proses rasionalisasi kebudayaan, yang disebut Suastiwi sebagai “desakralisasi ruang” untuk mencapai kemurniaan Tauhid bagi penghuni ruang, sedangkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan ruang dilandasi oleh perubahan secara internal dalam kesadaran dan keyakinan pengguna ruang. Perbedaan ini memperkaya teori-teori ruang berbasis sejarah dan budaya, dan teori dinamika makna ruang. 18. Persandingan teori Ruang Kemuliaan yang tercipta oleh “gerak meruang” dengan teori Production of Space (Lefebvre, 1991), menunjukkan posisi teori ini dalam teori penciptaan ruang yang selama ini tidak diungkap. Persoalan “historisitasi ruang” adalah persoalan utama dalam dialog kedua teori ini. Selama ini, persoalan “historisitas” ruang, dipahami sebagai persoalan sejarah ruang yang sekuensial. Lefebvre menyatakan bahwa persoalan “historisitas” sebagai keseluruhan rangkaian relasi produktif dalam ruang, dan teori hasil penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa konstruksi keyakinan, wacana sejarah, pengetahuan dan bahasa memungkinkan proses penciptaan ruang ini terjadi. Ketika Lefebvre menyatakan bahwa praktik spasial adalah produk dari praktik sosial di ruang empiris, teori Ruang Kemuliaan menunjukkan bahwa ruang yang tercipta secara konseptual maupun empiris adalah produk dari suatu relasi sosial yang primordial.
| 455
19. Temuan ini menambah warna baru dalam teori tentang makna ruang, teori penataan ruang, teori ruang bersejarah, dan teori ruang sakral.
9.2. Sumbangan Pengetahuan
Berdasarkan temuan studi, beberapa hal yang dapat dijadikan sumbangan pengetahuan dan masukan bagi perancangan dan perencanaan kawasan pusat Situs Majapahit Trowulan adalah: a.
persoalan ruang menyangkut persoalan ruang fisik yang terkait erat dengan kepercayaan, yaitu keyakinan religius, keyakinan mitologis, keyakinan kosmologis, keyakinan historis, dan orientasi hidup pelaku ruang. Pelaku ruang memaknai ruang melalui proses interpretasi atas keyakinan-keyakinan tersebut. Kesadaran terhadap ruang bersumber dari kerja intelektual dan intuisi melalui pengalaman meruang;
b.
ruang fisik manusia berhuni adalah kesatuan tunggal dengan dunia atau ruang yang transendental. Karenanya, cara berpikir dikotomis atau reduktif terhadap kesatuan itu akan bermuara pada rusaknya keseimbangan relasi antar dunia sekaligus antar kelompok sosial;
c.
realita ruang yang tak saja esensial, namun juga eksistensial. Hal ini memunculkan optimisme bahwa ruang tak sekadar
menjadi objek atas
tindakan manusia di atasnya, lebih dari itu ruang ternyata memungkinkan kemuliaan hidup manusia yang terlibat di dalamnya. Temuan disertasi ini diharapkan dapat memantapkan kesadaran masyarakat lokal tentang kemuliaan ruang bermukimnya, kontribusi ruang terhadap perbaikan hidupnya. Karena itu, semestinya temuan penelitian ini mampu memunculkan rasa kecintaan dan semangat melestarikan ruang oleh manusiamanusia yang menempatinya.
| 456
9.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut
Beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut adalah sebagai berikut: a. penelitian tentang realita ruang kemuliaan merupakan penelitian baru yang dilakukan di kawasan pusat situs Majapahit Trowulan. Penelitian dalam tema sejenis perlu dilakukan tidak saja di kawasan bersejarah, tetapi di ruang-ruang yang lebih beragam; b. perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang ruang kemuliaan pada ruang yang terkait secara sosio-kultural dan sejarah dengan Trowulan atau Majapahit, seperti Bali dan Jawa; c. perlu mengkaji simbol mitologi dan kosmologi dalam praktik-praktik spiritual dalam skala ruang mikro maupun kawasan; d. perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang makna ruang hidup dalam kawasan bersejarah ini bagi masyarakat setempat atau penghuni ruang; e. perlu kajian lebih mendalam tentang hubungan sosial antara masyarakat setempat dengan masyarakat pelaku pemujaan dari luar wilayah untuk memperkuat kajian tentang relasi sosial dalam membangun kemuliaan; f. perlu kajian lebih mendalam tentang masyarakat pendatang, sekaligus pelaku aktivitas spiritual di kawasan ini.
9.4. Saran bagi Perancangan dan Penataan Ruang
Saran bagi praktik perancangan dan perencanaan ruang di kawasan pusat situs Majapahit Trowulan adalah: a. kawasan ini memiliki makna mendalam yang terkait dengan keyakinan religius tentang Tuhan sebagai Sumber Kemuliaan. Keyakinan ini menjadi azas dalam pandangan pelaku ruang tentang dunia, laku, dan kebutuhan dasar setiap individu untuk menjalin hubungan sosial dengan sesama manusia maupun dengan kelompok supranatural yang diyakininya. Pandangan ini mempengaruhi realita pemanfaatan ruang.
| 457
Dalam praktik perancangan dan perencanaan ruang makna dan konsep ruang ini perlu dipertimbangkan terutama dalam program penataan ruang dan pengembangan kegiatan; b.
keterikatan emosional dan spiritual individu terhadap ruang mengingatkan kembali pentingnya kehati-hatian dalam setiap upaya penataan ruang. Karena itu, pengendalian pemanfaatan ruang adalah rekomendasi kuat dari penelitian ini bagi praktik perancangan dan perencanaan ruang. Dalam hal ini perlu mempertimbangkan adanya peraturan yang mengendalikan agar ketiga tujuan pemanfaatan ruang –ekonomi, sosial, spiritual– tidak saling menegasikan. Pengendalian pemanfaatan ruang terutama terkait dengan pengendalian aktivitas ekonomi industri bata yang semakin merusak sumber daya pertanian dan sumber arkeologis yang masih belum terungkap, serta pengendalian aktivitas ekonomi pariwisata yang justru cenderung mengkomodifikasi ruang, sejarah dan budaya. Karena itu perlu menciptakan kegiatan-kegiatan baru yang memungkinkan masyarakat setempat mencapai kemuliaan hidup duniawinya tanpa merusak potensi ruang dan budaya yang telah ada;
c. sebagai kawasan yang memiliki kekhasan sejarah, perlu dipertimbangkan upaya pelestarian ruang yang diawali dengan inventarisasi simbol-simbol artefak terkait dengan budaya Majapahit dan kemungkinan perkembangannya, serta dilengkapi dengan inventarisasi budaya kontemporer yang menjadi substrat kebudayaan Majapahit masa lalu. Hasil inventarisasi tersebut dapat menjadi masukan dalam menyusun konsep lokal tentang pelestarian ruang, dan tidak sekadar aplikasi dari konsep pelestarian normatif yang telah ada; d. melestarikan pada dasarnya adalah mengelola perubahan, karena itu perlu mempertimbangkan konsep pelestarian yang berorientasi pada pengembangan kegiatan dan ruang, serta penumbuhan kesadaran sosial untuk memperoleh manfaat dari ruang yang selaras dengan makna ruang yang telah ditemukan; e. berdasarkan temuan tentang konsep reformasi ruang dalam pola “gerak meruang”, maka perlu pengembangan aturan zonasi ruang, antara lain dengan penentuan pusat sakral berupa objek artefak maupun jalur-jalur kultural yang harus dipertahankan;
| 458
f.
penelitian ini menemukan bahwa keragaman keyakinan dapat bersatu dalam satu aktivitas spiritual. Hal ini menjadi pertimbangan terwujudnya ruang-ruang komunal yang memungkinkan kesatuan beragam keyakinan dengan tetap menjaga hak-hak spiritual individual;
g.
bagi pihak-pihak, khususnya perumus dan penentu kebijakan penataan ruang, pendekatan induktif dalam penelitian ini, memungkinkan untuk diterapkan sebagai
pendekatan
perancangan
dan
perencanaan
ruang.
Selain
memungkinkan terakomodasinya nilai-nilai lokal, pendekatan yang subjektif ini mereduksi jurang pemisah antara teori dengan praktik perancangan dan perencanaan ruang.
| 459