4 HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaan Perikanan Tangkap 4.1.1 Unit penangkapan (1) Kabupaten Kotabaru Alat penangkapan ikan adalah sarana yang merupakan perlengkapan/bendabenda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan. Di perairan Kabupaten Kotabaru beroperasi berbagai alat tangkap, seluruh alat tangkap yang digunakan lebih dari 18 jenis. Keseluruhan alat tangkap pada tahun 2008 berjumlah 8.738 unit (Tabel 7). Sebagian besar jenis alat tangkap yang digunakan sejak tahun 2000-2008 berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 11.529 ton. Penurunan produksi sejak tahun 2005 yang mana produksi sebesar 7.601 ton akibat dampak berpisahnya Kabupaten Kotabaru dengan Kabupaten Tanah Bumbu.
Alat penangkapan dominan yang dioperasikan di perairan
Kabupaten Kotabaru yaitu trammel net dan jaring insang tetap yang meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pukat cincin semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tabel 7 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Kotabaru No Jenis alat Tangkap 2000 2001 1 Dogol 2 Pukat cincin 82 593 3 Jaring insang 523 96 Hanyut 4 Jaring lingkar 5 Jaring insang 75 155 Tetap 6 Trammel net 1.402 1.146 7 Bagan tancap 407 729 8 Jaring angkat 23 9 Lainnya 9 Rawai tetap 36 10 Pancing tonda 321 11 Pancing lainnya 34 12 Sero 7 23 13 Jermal 44 14 Bubu 7 15 Perangkap 33 50 Lainnya 16 Penangkap Kepiting 17 Jala tebar 18 Garpu, tombak 1.005 1.579 Total 4.208 4.513 Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
2002
Tahun 2004 2.934 437 437 1.709 1.749
2003
594 103
2005 1.225 998
2006 969 278 419
2007 892 474
2008 790 22 870
152
148
148
352 885
1.140
113 253
2.327
1.143 765 -
2.537 1.153 -
2.537 1.153 -
2.569 800 -
2.459 1.414 -
2.351 839 -
1.468 577 -
23 -
153 1.385 985 -
153 1.095 1.323
181 325 -
206 330 -
122 154 65 -
1.904 -
-
-
-
-
-
19
433
1.582 4.362
1.603 10.110
11.529
266 7601
220 6409
152 5434
347 8738
84
Armada penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan usaha penangkapan ikan yang digunakan oleh para nelayan di Kabupaten Kotabaru. Armada penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru dapat digolongkan menjadi jukung, perahu kecil, motor tempel dan kapal motor. Kapal perikanan adalah kapal/perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk untuk melakukan survei/eksplorasi. Pada tahun 2006 berjumlah 3.761 unit. Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukurannya dan jumlah rumah tangga (RTP) penangkapan di laut di Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Kotabaru tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kategori perahu/kapal Tanpa perahu Jukung Perahu kecil Motor temple Kapal motor <5 GT Kapal motor 5-10 GT Kapal motor 10-20 GT Kapal motor 20-30 GT Kapal motor 30-50 GT Kapal motor 50-100 GT Jumlah
Jumlah Unit
RTP
723 170 11 2.285 326 243 3 3.761
225 577 136 9 1.819 169 60 15 6 9 3.026
Persentase Unit RTP 7,4 19,2 19,0 4,6 4,4 0,3 0,2 60,7 60,1 8,6 5,5 6,5 1,9 0,07 0,4 0,1 0,2 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
Berdasarkan Tabel 8 jenis kapal yang dominan yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan adalah kapal motor yang berkekuatan kurang dari 5 GT sebanyak 2.285 unit (60,7%).
Kapal tersebut memiliki daya jangkau
penangkapan kurang dari 4 mil yang digunakan untuk mengoperasikan trammel net dan dogol/lampara dasar, sedangkan jukung dan perahu kecil digunakan pada kawasan sungai, muara dan daerah pesisir. Kapal yang berkekuatan sekitar 10 GT memiliki daya jangkauan sekitar 10 mil digunakan oleh nelayan gillnet, sedangkan kapal yang berkeuatan 10 GT keatas daya jelayah mencapai 30 mil digunakan oleh nelayan mini purse seine dan nelayan pancing. Biasanya nelayan menggunakan mesin doble masing-masing berkekuatan 24 PK, dengan mesin puso D 6 silinder. Di Kabupaten Kotabaru masih ada (7,4 %) nelayan yang tidak
85
memiliki perahu, mereka bekerja sebagai ABK kepada nelayan mini purse seine dan nelayan gillnet . (2) Kabupaten Tanah Laut Perkembangan alat tangkap perairan laut di Kabupaten Tanah Laut selama 9 tahun terakhir (2000-2008) berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 4.874 ton dan produksi terendah pada tahun 2001 sebesar 1.178 ton. Namun pada tahun 2008 produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Laut mulai menunjukkan peningkatan, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas perikanan tangkap mulai berangsur pulih setelah berakhirnya konflik perikanan tangkap pada tahun 2007. Berdasarkan Tabel 9 alat penangkapan yang dominan digunakan di Kabupaten Tanah Laut adalah jaring insang hanyut dan dogol. Berdasarkan keterangan Dinas perikanan yang termasuk ke dalam jenis dogol adalah lampara dasar. Tabel 9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Laut No Jenis alat 2000 2001 tangkap 1 Dogol 2 Pukat pantai 94 306 3 Pukat cincin 4 Jaring insang 378 334 Hanyut 5 Jaring lingkar 195 126 6 Jaring insang tetap 7 Trammel net 170 148 8 Bagan tancap 32 12 9 Serok 398 91 10 Rawai tetap 419 19 11 Jermal 235 142 Total 2.653 1.178 Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
2002
2003
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
803 448
774 803 448
774 803 10 448
533 34 22 125
582 300 43 262
543 172 43 278
891 53 1076
312 810
312 860
312 860
133 164
159 48
129 104
55 146
465 5 400 395 402 4.040
465 5 400 395 402 4.864
465 5 400 395 402 4.874
98 8 148 282 38 1.585
193 545 380 45 2.557
139 362 278 31 2.079
347 276 58 3.206
Kabupaten Tanah Laut memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 1.669 unit (Tabel 10). Kapal yang dominan digunakan nelayan di Kabupaten Tanah Laut berkekuatan kurang dari 5 GT yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut dan dogol/lampara dasar. Pada tahun 2006 masih terdapat nelayan tanpa menggunakan perahu sebanyak 538 RTP (24,4%), nelayan tersebut melakukan usaha perikanan pukat pantai tanpa menggunakan perahu.
86
Tabel 10 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Tanah Laut tahun 2006 No 1 2 3 4 5
Kategori perahu/kapal Tanpa perahu Perahu sedang Motor tempel Kapal motor <5 GT Kapal motor 5-10 GT
Jumlah Unit
RTP
78 221 1.045 325 1.669
538 78 221 1.045 325 2.207
Persentase Unit RTP 24,4 4,7 3,5 13,2 10,1 62,6 47,3 19,5 14,7 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
(3) Kabupaten Tanah Bumbu Di perairan Kabupaten Tanah Bumbu beroperasi berbagai jenis alat tangkap. Seluruh alat tangkap ikan yang digunakan lebih dari 16 jenis, diantaranya dogol/lampara dasar, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, trammel net dan bagan tancap sedangkan perangkap dan penangkap kepiting sudah mulai punah sejak tahun 2005 (Tabel 11). Tabel 11 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu No Jenis alat tangkap 1 Dogol 2 Pukat cincin 3 Jaring insang hanyut 4 Jaring lingkar 5 Jaring kritik 6 Trammel net 7 Bagan tancap 8 Serok 9 Rawai tetap 10 Pancing tonda 11 Pancing lainnya 12 Sero 13 Jermal 14 Bubu 15 Perangkap lainnya 16 Penangkap kepiting Total
2004 157 10 26 6 17 50 39 18 171 194 194 882
2005 392 22 223 33 626 619 599 75 841 5 62 64 3.561
Tahun 2006 376 43 406 332 315 448 263 17 162 360 114 204 176 3.216
2007 366 43 386 322 285 308 248 17 162 122 114 194 206 2.773
2008 366 53 540 227 255 123 233 1.797
Sumber : DKP Provinsi Kal-Sel (2009)
Kabupaten Tanah Bumbu memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.950 unit (Tabel 12). Kapal perikanan yang dominan digunakan di perairan Kabupaten Tanah Bumbu
87
adalah motor tempel sebesar 1.795 unit (60,8%), yang berarti daya jelajahnya hanya terbatas di sekitar pantai dan digunakan oleh nelayan bagan tancap, jermal dan pancing. Tabel 12 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan laut di kabupaten Tanah Bumbu tahun 2006 No
Kategori perahu/kapal 1 Jukung 2 Perahu besar 3 Motor temple 4 Kapal motor <5 GT 5 Kapal motor 5-10 GT Jumlah
Jumlah Unit RTP 297 185 210 138 1.795 1.431 389 203 259 183 2.950 2.140
Persentase Unit RTP 10,1 8,4 7,1 6,4 60,8 66,9 13,2 9,5 8,8 8,6 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
4.1.2 Produksi Produksi perikanan laut terbesar di Kalimantan Selatan pada tahun 2006 adalah di Kabupaten Kotabaru sebesar 448.310.108 ton. Sedangkan di Kabupaten Tanah laut sebesar
299.121.900 ton dan Kabupaten Tanah Bumbu sebesar
207.216.400. Produksi perikanam laut di Kalimantan Selatan dibagi menjadi jenis ikan dan non ikan (Tabel 13). Jumlah hasil tangkapan dominan pada tahun 2006 di Kabupaten Kotabaru adalah kembung sebesar 62.135.252 ton untuk jenis ikan dan udang windu sebesar 119.398.114 ton untuk jenis non ikan. Demikian pula di Kabupten Tanah Laut jumlah hasil tangkapan dominan adalah kembung sebesar 21.262.800 ton dan udang windu sebesar 55.435.500 ton. Sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu hasil tangkapan dominan adalah teri sebesar 23.916.200 ton untuk jenis ikan dan udang putih sebesar 10.883.500 ton untuk jenis non ikan. Jenis ikan yang tersedia di Kabupaten Kotabaru dan tersedia juga di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu antara lain digolongkan berdasarkan tempat hidupnya yaitu: (1) ikan demersal terdiri dari ikan manyung (Arius venosus, Arius sagor dan Arius thalassinus), bawal hitam (Parastromateus niger), belanak (Mugil cephalus), kakap merah (Lutjanus erythopterus dan Lutjanus malabaricus) dan pari kembang (Amphotistius kuhlii); (2) pelagis kecil terdiri dari tembang (Clupea sp, Amblygaster sim), selanget (Anodontostoma chacunda), lemuru (Sardinella sim); (3) pelagis besar terdiri dari ikan kembung (Rastrelliger
88
kanagurta), tenggiri (Scomberomorus guttatus) dan tongkol (Auxis thazard); (4) ikan karang terdiri dari ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan Pisang-pisang (Pterocaesio diagramma, Pterocaesio tile dan Pterocaesio pisang), namun karena jumlah jenis ikan karang hanya sedikit maka pada statistik perikanan dimasukan ke dalam ikan lainnya. (Sedangkan jenis non ikan yaitu Udang putih (Panaeus indicus), Udang windu (Panaeus monodon), rajungan (Portunus pelagicus) dan cumi-cumi (Loligo sp) (Tabel 13) Tabel 13 Jenis dan volume produksi perikanan laut di Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu tahun 2006 N o I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Jenis ikan dan non ikan Ikan Manyung Ikan Sebelah Selar Kuwe Layang Bawal hitam Bawal putih Selanget Kakap putih Tembang Teri Gerot-gerot Peperek Kakap merah Belanak Biji nangka Kurisi Kuro/Senangin Swanggi/Mata besar Gulamah/Tigawaja Tongkol krai Tongkol komo Cakalang Kembung Banyar Tenggiri Tenggiri papan Tongkol abu-abu Kerapu bebek Kerapu Sunu Mako
Kabupaten Kotabaru 33.506 1.396 14.126.347 42.845.459 90.140 4.066.900 9.217.174 8.377 49.313 2.664.730 449.666 661.873 1.828.460 878.329 789.404 62.135.252 33.703.068 25.115.323 150.530 177.244
Tanah Laut 9.806.450 3.781.800 1.006.450 5.191.000 15.528.800 5.957.700 586.750 3.541.250 4.764.300 4.133.400 133.000 10.145.800 3.985.750 21.262.800 20.348.800 16.432.800 6.808.400 -
Tanah Bumbu 3.234.400 17.759.700 3.681.000 3.072.000 4.009.200 8.854.500 10.250.400 23.916.200 4.737.400 14.216.400 707.500 2.010.000 94.400 9.475.000 3.819.000 5.612.400 5.141.500 12.372.800 6.505.100 13.553.400 656.000 221.000 -
89
Tabel 13 (lanjutan) No
Jenis ikan dan non ikan Layurt Pari Ikan lainnya
32 33 34 35 Sub total II Non ikan 1 Udang dogol 2 Udang putih/jerbung 3 Udang krosok 4 Udang windu 5 Udang barong/karang 6 Udang lainnya 7 Kepiting 8 Rajungan 9 Cumi-cumi 10 Ubur-ubur Sub total Total
Kotabaru 70.169 70.168 199.125.363
Kabupaten Tanah Laut 1.149.950 2.247.250 3.965.700 140.4770.100
Tanah Bumbu 2.348.400 100.200 212.400 13.905.200 171.366.200
1.935.500 51.155.600 55.435.500 36.558.000 5.013.900 8.223.300 158.351.800 299.121.900
10.883.500 619.500 5.694.500 1.460.000 1.368.800 2.290.800 2.844.800 10.545.600 142.800 35.850.200 207.216.400
14.209.142 75.666.192 119.398.114 920.212 22.301.787 8.953.690 7.735.608 249.184.745 448.310.108
Sumber: Statistik Perikanan tahun 2007
4.1.3 Kondisi sumberdaya perikanan tangkap (1) Kabupaten Kotabaru Berdasarkan (Gambar 9) hubungan antara CPUE (Catch per unit Effort) dengan upaya penangkapan mengindaikasikan bahwa dengan meningkatkan trip penangkapan akan mendapatkan hasil tangkapan yang menurun.
Dengan
demikian mengindikasikan pula bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Kotabaru mengalami tren yang menurun.
Gambar 9 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008
90
Hasil tangkapan dan upaya penangkapan tahunan perikanan tangkap berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008. Upaya penangkapan (trip) dan kaitannya dengan hasil tangkapan (catch) secara umum dapat dijelaskan secara singkat bahwa nilai hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) menunjukkan hubungan yang negatif. Pada gambar tersebut nilai catch semakin menurun dengan meningkatnya intensitas upaya penangkapan (effort). Trend penurunan pada hubungan tersebut dalam bentuk persamaan regresi terhadap kedua besaran effort dan CPUE Sumberdaya perikanan sangat perlu dikelola dengan baik mengingat persediaan ikan sudah sangat berkurang.
Produksi perikanan di Kabupaten
Kotabaru menurun sejak tahun 2002-2006, mengindikasikan pentingnya pengelolaan sumberdaya ikan untuk menjamin ketersediaan ikan bagi kepentingan penangkapan. Jika dihubungan dengan sejarah perkembangan konflik, mulai tahun 2000–2009 konflik mencuat ke permukaan dan merupakan konflik terbuka. Ini mengindikasikan bahwa kelangkaan sumberdaya perikanan juga dapat memicu konflik perikanan tangkap. (2) Kabupaten Tanah Laut Berdasarkan Gambar 10 dapat dinyatakan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi dari tahun ke tahun. Gambar ini mengindikasikan bahwa peningkakatan effort atau input akan menguras sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Laut yang semakin terbatas karena tidak seirama dengan rekruitmen yang dalam jangka panjang dan akan menimbulkan biological overfishing. Sebagaimana dimaklumi, hasil tangkapan nelayan akan tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya sediaan ikan, namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia.
91
Gambar 10 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut pada periode 1998-2008 (3) Kabupaten Tanah Bumbu Kondisi sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan jenis alat tangkap yang dominan yang terdiri atas jaring insang hanyut, rawai tetap, jermal, trammel net dan bagan tancap selama 10 tahun (19982008) mengindikasikan bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu mengalami tren yang menurun,
Gambar 11 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Bumbu pada periode 1998-2008
92
4.2 Konflik Perikanan Tangkap 4.2.1 Peta wilayah konflik Kalimantan Selatan memiliki luas laut sebesar 28.751 km2 (12 mil x 1.330 km/sepanjang garis pantai Kal-Sel) yang terbagi pada beberapa Kabupaten diantaranya Kabupaten Kotabaru memiliki panjang garis pantai sebesar 825 km, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki panjang garis pantai sebesar 158,7 km dan Kabupaten Tanah laut memiliki panjang garis pantai sebesar 200 km. Konflik perikanan tangkap menyebar pada 3 (tiga) wilayah peisisir tersebut (Gambar 12). 115°00'
115°30'
116°00'
116°30'
22.0 23 20.7 21 19 5.9 5.57.7 11.6 17.421.217.9 19.4 20 18.6 18.0 5.2 19.7 24 24.0 8.6 10.2 16.7 2119.2 18 19 19.9 19.2 21.3 19.2 8.26.4 20.5 21.02327.026 21.2 7.4 9.9 19.6 7.17.7 13.9 18.120.7 10.3 17.9 22.5 22.523.023.022.5 23 26.0 24 23.5 9.4 8.3 10.79.5 3.9 12.114.7 2524.5 19.82 2.523.5 22.5 25 9.515.2 25.0 18.5 19.9 20 24.0 0.3 3.4 13.9 0.3 15.8 19.0 22.0 23.5 26.0 27.02122.5 24.5 2425.025 8.3 7.8 0.23.79.5 15.9 17.9 7.7 25.0 29 12.8 13.915.717.2 24.0 26.02927.5 26 7.77.011.1 27.5 12.8 13.3 15.7 3.57.0 25.0 29.0 2827.5 26 3.5 11.0 18.9 27.0 2726.0 6 6 6 6 6 23 39 #
3.45.3 1.12.5 3.6 1.4 0.1 #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
N
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
10
0
10
#
20 Kilometer
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
LEGENDA Batas Kabupaten Kontur Batimetri 4 Mil Laut
#
#
#
#
27 #
29
#
12
#
#
32
12 1421
29
#
#
12 Mil Laut
#
#
#
BANJARBARU
23
29
#
27
#
#
23
2
3°30'
#
12 16
KABUPATEN BANJAR
3°30'
#
P. Sebuku
KABUPATEN TANAH BUMBU
27 #
25 #
34
25
44 4
#
#
29
#
#
#
25 32 P. LAUT 27 6 4 4 6 4 4 31 29 25 6 4 5 6 6 6 8 4 4 5 24 30 31 7 5 4 5 3 7 6 6 7 8 8 4 4 5 4 5 6 26 31 7 8 6 21 6 7 7 6 9 27 30 31 31 9 8 6 5 6 9 9 11 9 18 21 26 7 6 6 6 6 12 10 31 5 10 10 8 8 16 6 8 11 14 12 9 31 4 4 6 14 29 6 20 25 33 7 9 9 8 7 8 4 6 66 16 8 7 9 1012 7 6 6 6 11 11 9 33 12 7 23 31 32 17 20 25 10 10101011 11 6 7 9 11 16 12 15 16 14 11 9 10 7 11 32 33 4 6 66 7 7 19 24 27 9 9 9 13 13 11 14 13 4 14 11 9 11 6 8 6 14 14 11 11 11 13 15 9 7 30 32 6 6 14 14 20 22 11 31 31 6 98 15 17 7 11 14 13 13 6 7 5 8 15 6 6 14 18 25 29 12 31 32 9 9 34 14 14 14 16 15 15 16 8 7 11 9 2 4 6 16 17 17 7 10 8 9 14 22 11 16 17 31 6 7 6 12 32 17 15 1817 9 9 10 34 12 12 3 4 6 77 9 10 11 119 9 16 16 16 14 27 30 31 16 16 18 33 15 32 7 12 19 19 8 9 2 1713 18 18 11 14 14 12 7 7 12 16 2 7 7 5 6 11 11 34 33 16 8 8 7 29 30 31 21 3 6 14 7 11 14 7 8 5 7 95 8 16 18 11 11 16 11 21 2 6 37 8 33 9 11 31 32 2 30 12 16 8 9 9 9 9 9 17 28 13 6 7 7 8 11 33 14 16 4 30 31 11 21 28 21 8 16 11 21 21 11 16 11 12 11 4 6 7 7 8 7 33 12 14 35 9 12 20 25 27 29 30 11 11 12 2 2 11 8 18 7 7 23 21 11 11 12 21 16 2 4 6 6 12 21 8 28 30 33 6 27 36 34 8 16 14 21 14 2 4 6 6 8 4°00' 18 8 23 25 9 8 11 16 16 7 8 8 21 9 1814 7 7 8 12 31 36 14 11 11 9 25 16 26 27 28 18 1817 19 19 21 7 7 23 25 12 21 9 16 25 21 4 5 10 11 12 24 9 8 11 11 11 11 12 16 32 34 35 38 2 6 7 8 19 21 1811 28 21 26 12 12 27 25 16 16 4 27 14 7 12 2 7 9 1116 1212 23 12 14 30 18 14 23 11 27 27 27 27 35 32 11 38 6 6 12 11 14 18 21 17 21 16 7 19 26 16 23 8 18 22 25 26 26 12 14 16 2 7 20 14 7 9 12 14 9 19 21 26 27 29 29 14 20 3 6 7 12 27 14 19 24 25 14 14 16 18 21 20 25 25 26 6 7 22 22 22 21 2 8 34 38 20 21 20 11 11 12 28 19 12 18 24 3 6 7 16 26 28 19 23 27 25 22 20 11 11 11 11 18 19 15 25 9 9 2 20 33 28 20 30 21 40 22 26 2 6 14 12 24 16 18 14 24 24 22 9 19 7 8 11 23 24 35 23 12 20 25 25 25 29 12 14 32 28 24 6 9 2 11 42 18 3 11 26 2 12 18 21 22 24 19 14 21 4 3 2 2 4 7 7 7 18 18 8 12 23 24 25 23 27 28 30 31 44 36 38 25 4 18 28 21 25 4 49 11 11 9 14 10 8 18 24 20 16 25 16 8 9 12 8 7 26 21 23 25 23 11 14 14 14 20 27 11 14 24 2312 9 11 11 24 24 22 12 23 20 42 30 22 15 14 18 23 27 32 12 25 21 18 20 35 28 31 28 12 12 14 16 12 25 23 21 29 14 25 24 25 12 16 24 24 16 16 24 27 45 25 16 12 14 31 27 25 16 12 14 20 24 32 14 18 25 24 34 26 31 44 18 40 25 32 26 27 33 28 18 22 26 27 26 18 26 3427 19 29 31 39 16 43 24 28 25 25 29 18 25 25 29 34 30 18 25 29 46 49 37 34 21 26 26 26 27 25 21 23 23 29 31 25 32 29 25 27 25 28 23 27 21 30 27 31 25 23 34 49 46 21 31 31 39 42 25 29 35 21 21 27 26 30 34 25 23 27 27 26 33 37 29 23 27 36 27 25 25 25 26 21 26 33 29 23 43 28 26 34 36 49 25 28 21 26 27 31 31 41 23 29 25 23 27 35 32 30 14 31 29 27 25 38 29 29 34 44 52 27 32 26 34 33 48 28 33 18 30 21 25 42 43 28 27 30 51 52 31 30 30 39 27 29 31 23 25 32 30 35 30 52 33 40 43 46 28 48 52 30 40 28 28 28 32 34 55 34 52 53 28 28 33 41 30 3131 46 43 48 28 24 36 31 34 39 54 28 29 33 31 54 54 #
#
#
#
#
#
#
KABUPATEN KOTABARU
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
R
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
2
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
4°00'
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
5
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
20
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
SELA
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
T MA K
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
ASSA
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
KABUPATEN TANAH LAUT
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
J A W A
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
L A U T
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
4°30'
115°00'
Keterangan: Desa Penelitian Pelabuhan Perikanan (PPI) Pelabuhan Umum Pelabuhan Pertambangan Budidaya udang Lampu suar
115°30'
#
#
#
#
#
#
#
#
116°00'
#
#
116°30'
Kasus daerah penangkapan ikan Kasus pengambilan teripang Kasus penggunaan bom Kasus lampara dasar Kasus seser modern Kasus bagan apung Kasus gill net Kasus cantrang Kasus purse seine
Gambar 12 Peta wilayah konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
#
4°30'
93
4.2.2 Jenis kasus konflik Jenis konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan terdiri dari konflik alat tangkap dan konflik pengkaplingan laut. Kedus jenis konflik tersebut tercakup dalam sembilan jenis kasus yaitu (1) kasus purse seine, (2) kasus daerah penangkapan, (3) kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara, (4) kasus lampara dasar, (5) kasus bagan apung, (6) kasus seser modern, (7) kasus gill net, (8) kasus penggunaan bom, dan (9) kasus cantrang. Selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan berdasarkan periode waktu dan tempat selama periode 1979–2009 No Kasus 1 Bagan apung
Tahun 1979
Lokasi Tanah Bumbu
Penggunaan bom Seser modern
1980
Kotabaru
1990
Tanah Bumbu
4
Daerah penangkapan
1996
Kotabaru
5
Gill net
1999
Tanah Laut
6
Daerah penangkapan Lampara dasar
2000
Kotabaru
2002
Kotabaru
2002
Kotabaru
8 9
Daerah penangkapan Lampara dasar Daerah tangkap
2003 2003
Kotabaru Kotabaru
10
Seser modern
2004
Tanah Bumbu
2 3
7
7
Konflik Penggunaan bagan apung dianggap telah merebut wilayah property nelayan lokal secara turun temurun Penggunaan bom telah merusak habitat perairan dan melanggar UU Adanya anggapan bahwa perairan pantai adalah hak nelayan tradisional, pengguna teknologi modern tidak boleh berdampingan dengan nelayan tradisional. Pengkavlingan daerah tangkap oleh nelayan sekitar Selat Laut, konflik terjadi setiap musim utara Masuknya gill net yang sangat panjang oleh nelayan Jateng telah melanggar UU yang ditetapkan pemerintah Kasus daerah tangkap terulang lagi, pada musim utara Penggunaan lampara dasar yang dimodifikasi dengan penambahan danleno dan papan layang menyrupai mini trawl dianggap mengakibatkan over fishing. Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara Kasus seser modern terulang lagi
94
Tabel 14 (lanjutan) No 11
Kasus Bagan apung
Tahun 2004
12
2004
13
Daerah penangkapan Purse seine
Lokasi Tanah Bumbu Kotabaru
2004
Kotabaru
15 16
Lampara dasar Seser modern
2004 2005
17
Bagan apung
2005
18
Daerah penangkapan Purse seine Lampara dasar Penggunaan bom
2005
Kotabaru Tanah Bumbu Tanah Bumbu Kotabaru
2005 2005 2005
Kotabaru Kotabaru Kotabaru
Purse seine Daerah penangkapan Pengambilan teripang dan kerang mutiara
2006 2006
Kotabaru Kotabaru
2007
Tanah Laut
25
Penggunaan bom
2007
26
Bagan apung
2008
27
Seser modern
2008
28
Cantrang
2009
29
Teripang dan tiram mutiara
2009
Tanah Laut Tanah Bumbu Tanah Bumbu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut Kotabaru
19 20 21 22 23 24
Konflik Kasus bagan apung terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi di musim utara Penggunaan purse seine dengan alat bantu lampu 40.000 watt oleh nelayan Jawa Tengah dapat menarik ikan di wilayah perairan Kotabaru sangat merugikan nelayan lokal. Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus seser modern terulang lagi Kasus bagan apung terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi Kasus purse seine terulang lagi Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus penggunaan bom terulang lagi Kasus purse seine terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi Aktivitas penyelam menggunaan kompressor mengambil karang oleh nelayan Su-Sel, Jateng, Kaltim sangat mengganggu nelayan lokal Kasus penggunaan bom terulang lagi Kasus bagan apung terulang lagi Kasus seser modern terulang lagi Masuknya cantrang oleh nelayan Jateng tidak bisa diterima karena nelayan tidak menggunakannya
Kasus pengambilan terulang lagi.
teripang
95
Di Kalimantan Selatan konflik juga terjadi dalam hal penggunaan laut untuk berbagai kepentingan. Hal ini terjadi karena laut digunakan untuk keperluan transportasi, pertambangan (batu bara, biji besi) dan budidaya (pembukaan lahan/penebangan mangrove) untuk tambak.
Interaksi berbagai konflik di
perairan Kalimantan Selatan disajikan pada Gambar 13.
Purse seine
Perikanan tangkap
Pengkavlingan laut
Lampara dasar Gillnet
X
X
Penggunaan bom Teripang & kerang mutiara Bagan apung
X
V
X
Seser modern Cantrang
X
Budi Daya
Tambak Penebangan mangrove Tambang batubara Tambang Biji besi Transportasi
V
Pertam bangan
X
bijibesi
batu bara
Penebangan mangrove
Cantrang
Tambak
Budidaya
Per tambangan
Transportasi
Perikanan tangkap
Seser modern
Teripang & kerang Bagan apung mutiara
Penggunaan bom
Gillnet
X Lampara dasar
Pengkavlingan laut
J
V
X Purse seine
I
X
Sumber: Data primer diolah Keterangan: X
V
: konflik : saling merugikan : menguntungkan bagi I : menguntungkan bagi J : saling menguntungkan : netral
Gambar 13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan (Modifikasi dari Cicin-Sain dan Knecht 1998) Berdasarkan Ganbar 13 situs diurutkan menurut interaksi konflik diantara pengguna perairan laut, yaitu: netral (18 kasus), saling menguntungkan (3 kasus), menguntungkan bagi I (23 kasus), menguntungkan bagi J (8 kasus), saling
96
merugikan (9 kasus), dan konflik (33 kasus). Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Interaksi pemanfaatan pertambangan dengan perikanan tangkap Di Kabupaten Kotabaru terdapat banyak sekali pertambangan batubara dan biji besi antara lain PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Sebuku Iron Lateralitic Ores, PT Trans Coalindo, PT Adibara Bransastra, PT Borneo Internusa, PT Arutmin Indonesia, PT Multi Usaha Pratama Saijaan (BUMD), PT Batu Besar Mega Nusantara. Pengerukan lahan dilakukan untuk pembangunan pelabuhan sebagai tempat untuk mendistribusikan hasil pertambangan biji besi dan batubara mengakibatkan perairan laut tercemar, hal ini terlihat perubahan warna air laut. Nelayan merasa resah dan mengeluh karena terjadi penurunan hasil tangkap. Lumpur hasil pengerukan untuk pendalaman alur pelabuhan perusahaan dan alat rongsokan dikapal-kapal yang jatuh ke laut mengganggu keamanan dan kemudahan operasional alat tangkap karena memberatkan alat tangkap yang diangkat nelayan akibat tersangkut lumpur dasar laut akibat pembuangan besi dan batu-batuan. Beberapa nelayan trammel net dan lampara dasar merasa kesal karena jaring masuk lubang kerokan dan robek, bukan hasil tangkapan yang didapat tapi ban bekas dan batuan yang tersangkut jaring bahkan jaring putus dan hancur. Selain pencemaran laut, lampu penerangan pelabuhan yang memiliki intensitas yang tinggi mengalahkan kekuatan lampu yang digunakan sebagai atraction pada bagan tancap untuk penangkapan ikan teri. Nelayan pengguna bagan tancap merasa resah karena hasil tangkapan ikan teri mengalami penurunan. (2) Interaksi perikanan tangkap dengan transportasi Lalu lintas perairan Kotabaru khususnya alur Selat Pulau Laut, Alur Selat Muara Batuan dan Selat Makasar adalah alur perdangangan lokal dan nasional (transportasi domestik) yang melayani kapal penumpang dan barang dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Selain itu terdapat juga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang diperuntukkan kapal-kapal mancanegara melintasi Selat Makasar. Dengan demikian kapal yang melewati alur tersebut terdiri dari kapal perikanan, kapal barang, tongkang dan kapal penumpang dengan berbagai ukuran.
97
Kegiatan transportasi laut tersebut meningkatkan perekonomian lokal berupa arus barang dan manusia dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Disisi lain, buangan limbah domestik dari kapal berpotensi menurunkan kualitas air laut. Perebutan fungsi laut yang mana bagi perusahaan merupakan jalur lalu-lintas perdagangan sementara bagi nelayan merupakan wilayah fishing ground. Kondisi ini sering terjadinya konflik antara nelayan dan kapal-kapal yang melalui alur tersebut. Kasus yang terjadi yaitu ditabraknya perahu nelayan oleh kapal-kapal perusahan tambang, tabrakan perahu nelayan dengan speed boat dan terganggunya nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan. Disepanjang pantai Pulau Tabuan sudah terlihat kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara. Konflik terjadi karena wilayah tangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional secara turun-temurun kini semakin sempit dan kualitasnya pun makin berkurang. (3) Interaksi antara pemanfaatan lahan budidaya dan penangkapan ikan Penebangan hutan bakau menyebabkan tempat pemijahan beberapa jenis ikan rusak. Penurunan fungsi ekologi laut terlihat dengan menurunnya hasil tangkap ikan bagi nelayan. Konflik ini memperlemah ikatan solidaritas nelayan tradisional dan petani tambak. (4) Interaksi pertambangan dengan petani tambak Mengeluhnya petani tambak udang akibat adanya pelabuhan yang mencemari perairan laut yang menjadi sumber air tambak tersebut. Kualitas air yang menurun mengakibatkan kerugian bagi petani tambak bahkan matinya usaha tambak di daerah sekitar pertambangan. 4.2.3 Penahapan konflik Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan memiliki kedinamisan yang tinggi. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda.
Tahap-tahap ini menggambarkan
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap-tahap konflik.
98
Dalam penelitian ini penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan, yaitu (1) Prakonflik tahun 1960-1979; (2) Konfrontasi tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006; (3) Krisis tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (4) Akibat tahun 2001, 2006-2007 dan 2009; (5) Pasca konflik tahun 2010-sekarang. Diagnosis pentahapan konflik adalah suatu cara untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningnkatan intensitas konflik dimasa depan dengan harapan untuk menghindari pola itu terjadi. 8
Krisis Krisis
6 Konfrontasi
Konfrontasi 4 Krisis
Akibat
2 Konfrontasi
Pasca konflik
Akibat
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1980
1979
0
1960
Prakonflik
Keterangan: Sumbu x = Tahun Sumbu y = Eskalasi konflik Krisis = tindakan anarkis (>2) kekerasan fisik (>4) penyanderaan kapal dan (>6) pembakaran kapal Gambar 14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan (1) Kondisi prakonflik tahun 1960-1979 Pada masa ini sumber daya yang tersedia masih banyak sehingga kehadiran nelayan dari manapun tidak dirasakan nelayan lokal sebagai pesaing dalam memanfaatkan sumberdaya. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open
99
acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan ekspoitasi tanpa terikat kuat pada batas-batas wilayah. Keberadaan nelayan dari provinsi Kalimantan Selatan seperti Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu masuk ke perairan Kotabaru atau sebaliknya melakukan migrasi musiman dapat hidup berdampingan secara harmonis. Selain itu kedatangan nelayan andon ke perairan Kalimantan Selatan masih berdampak positif yaitu sektor perdagangan maju, masyarakat dapat menjual jasa di bidang bahan dan alat tangkap, perbekalan melaut dan penginapan, serta adanya peningkatan peluang bekerja yaitu menjadi ABK bagi nelayan andon. Adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang berusaha di bidang kios-kios dan warung makan. (2) Periode tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006 (konfrontasi) Beberapa nelayan di Kotabaru ada yang masih menerapkan adanya pola penguasaan dan kepemilikan wilayah laut oleh kelompok masyarakat.
Pola
tersebut terbagi berdasarkan zone wilayah yaitu zona daerah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun, yakni hak eksploitasi sumberdaya di wilayah laut tertentu terbatas hanya untuk orang-orang dalam kelompok sosial wilayah tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sebagian lagi dari nelayan menganut paham open acces. Periode ini semakin banyak nelayan melakukan migrasi musiman yang datang ke perairan Kalimantan Selatan dengan membawa teknologi baru atau melakukan modifikasi terhadap alat tangkap, kualitas dan kapasitas yang berbeda pada fishing ground yang sama, membuat kenyamanan nelayan di perairan Kaliman Selatan merasa terganggu. Di perairan Kotabaru pada periode ini pula mulai terjadi teguran-teguran bahkan terjadi pertikaian-pertikaian di laut dalam bentuk penolakan terhadap penggunaan alat tangkap yang berbeda dengan alat tangkap nelayan lokal. Nelayan lokal memberikan peringatan-peringatan baik lisan maupun tertulis dan membuat perjanjian-perjanjian, walaupun pada akhirnya banyak yang melangar kesepakatan yang dibuat. Beberapa langkah pengamanan telah dibuat seperti mengadakan perpolisian masyarakat oleh pihak kepolisian, pembinaan dan sosialisasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan.
100
Kasus konflik daerah tangkap belum berakhir, pada tahun 2000-2005 terjadi lagi konfrontasi. Protes terhadap adanya pengkavlingan daerah penangkapan, dianggap menimbulkan ketidakadilan terutama oleh pengguna lampara dasar. Menentukan tapal batas dengan cara membuat patok batas wilayah perairan tempat operasional nelayan tradisional, menetapkan wilayah-wilayah tertentu yang dilarang beroperasinya nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar mini atau lainnya dan melakukan razia justru menimbulkan konflik yang lebih luas. Pada tahun 2004 untuk menertibkan konflik daerah penangkapan yang diperebutkan oleh nelayan di Kotabaru, maka dilakukan pertemuan antar nelayan. Diskusi dihadiri oleh Bupati Kotabaru, Kapolres, nelayan Kecamatan Kelumpang Selatan, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kecamatan Pulau Sebuku, Kecamatan Pulau Laut Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru.
Kapolres
menyarankan untuk menciptakan areal tangkapan baru, kemudian Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan ditertibkan kembali. Pembagian wilayahnya masing-masing yang terbagi dalam 6 daerah penangkapan (Gambar 15). Daerah penangkapan di Kotabaru terbagi berdasarkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun mulai perairan pantai sampai 5 mil keperairan laut dengan batas sebagai berikut : 1 Zona Pudi - Sanakin -Tanjung Pemancingan 2 Zona
Pulau
Simbangan-Tanjung
Tamiang-Sekandis-Talusi-Tanjung
Semelantakan Rampa Cengal- Sesulung-Tanah Merah-Separe Kecil-Separe Besar. 3 Zona Pembelacanan- Pantai-Tanjung Pulau Burung-Tanjung Ayun-Bui Merah/Kapal Pecah 4 Zona Pemancingan-Sungai Dungun-Pulau Manti-Sungai Bali-Tanjung Lita 5 Zona Tanjung Mangkok-Tanjung Gunung-Gunung Tinggi-Sekapung-Pulau Kapak 6 Zona Labuhan Mas-Tanjung Serudung-Tanjung Seloka-Pulau Kerayaan Namun upaya pembagian wilayah penangkapan tersebut menimbulkan konflik lebih meluas karena pencegahan terhadap pengguna lampara dasar mini dan sejenisnya di wilayah tertentu tidak didukung oleh nelayan lain khususnya nelayan pengguna alat lampara dasar mini. Hal ini bahkan menuai tuduhan
101
terhadap pelanggaran perjanjian. Nelayan Sungai Dungun menilai nelayan Rampa melanggar jalur penangkapan yaitu nelayan lampara dasar mini hanya boleh beroperasi pada kawasan di luar jalur nelayan Sungai Tanjung Bantai Langkang Baru ke arah Pulau Manti.
Nelayan yang masuk ke wilayah tersebut akan
dipukuli, alat tanggkap dirampas bahkan perahu yang digunakan ditenggelamkan. Bagi nelayan yang mendapatkan perlakuan yang tidak lazim tentu saja melawan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami, akhirnya penyelesaian konflik melibatkan kepolisian.
Organisasi INSAN menuntut
pencabutan patok batas diperairan selat sebuku kerena sangat merugikan dan Insan menuntut dihentikannya tindakan kekerasan serta menghendaki Dinas perikanan harus tegas dan lebih peduli terhadap konflik yang terjadi. Konflik pengkavlingan laut berkaitan dengan musim udang, antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus indicus), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang cat (Parapenaeopsis sculiptilis) dan udang lurik (Metapenaeus canaliculatus). Dalam satu tahun terdapat 3 (tiga) musim yaitu: (1) musim Utara (2) musim Barat/pancaroba dan (3) musim Tenggara. Pada ketiga musim tersebut potensi udang berbeda-beda untuk setiap wilayah di Kabupaten Kotabaru. Pada musim Utara potensi udang maksimun di daerah Selat Laut tapi minimum di wilayah lain (Tabel 15). Tabel 15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru No
Musim
Bulan
Potensi Udang maksimum
Perairan
1
Musim Utara
JanuariApril
2
Musim Barat Pancaroba
Mei
3
Tenggara (angin Selatan)
JuniMaksimum September
Sekitar Senakin dan Tg Dewa, Tg Gunung, Tg Ayun, Karang piring, Sebuli, Senakin, Pembelacangan, Pulau Kapak,
4
Musim Barat Pancaroba
OktoberDesember
Selat Laut, Pulau Sebuku
Minimum
Minimum
Selat laut: antara lain Senakin, Tg Gunung, Karang Piring, Tg Pemancingan, Pulau Manti, Sei Dungun, Tg Lita, Pulau Kapak. Selat laut
102
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru
103
Belum tuntas masalah konflik daerah tangkap kemudian masuknya nelayan purse seine dari provinsi lain (Jawa Tengah) ke perairan Kotabaru pada tahun 2006 mendapat izin dari DKP (sekarang KKP/Kementrian Kelautan dan Perikanan). Teknologi yang digunakan jauh lebih maju dibandingkan nelayan lokal, sehingga dalam melakukan penangkapan ikan nelayan-nelayan dari Pekalongan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi daripada nelayan lokal. Nelayan lokal mengeluh karena hasil tangkap mereka mengalami penurunan sejak masuknya nelayan dari Pekalongan. Nelayan Jateng melakukan penangkapan ikan pada jalur penangkapan 15 mil, secara yuridis tidak melanggar Undang-Undang yang telah mengatur Jalurjalur penangkapan dan telah memiliki surat izin penangkapan ikan. Namun bias cahaya terlihat sebelum 12 mil perairan Kotabaru sehingga ikan-ikan yang berada di sekitar pantai atau di wilayah kewenangan daerah tertarik oleh daya tarik lampu purse seine. Tindak lanjut terhadap keresahan nelayan yaitu dibuat kesepakatan antar nelayan mini purse seine Kotabaru dan nelayan purse seine Jateng, yakni nelayan Jateng tidak menggunakan lampu purse seine berkekuatan tinggi, tidak boleh menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru.
Selanjutnya dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan bahwa nelayan Jateng tidak akan merapat di pelabuhan Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es. Yang terakhir, jika nantinya ditemukan nelayan yang melanggar kesepakatan ini, maka pihak nelayan Kotabaru akan mengambil tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan yang menggunakan purse seine. Kenyataannya kesepakatan.
perilaku
nelayan
Jateng
banyak
menyimpang
dari
Nelayan lokal khususnya nelayan mini purse seine melakukan
protes ke DPRD dan Bupati Kabupaten Kotabaru, tetapi protes mereka diabaikan. Akhirnya bulan Mei 2005 nelayan mini purse seine berkumpul dan membuat organisasi nelayan dengan nama AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan). AMNES merencanakan penyerbuan dan berkeinginan untuk membakar kapal nelayan Pekalongan, namun aksi dapat digagalkan oleh Angkatan Laut dan Kepolisian Kabupaten Kotabaru
104
(3) Periode tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (krisis) Pada waktu itu telah terjadi pengkavlingan wilayah penangkapan ikan. Kemudian apabila ada orang luar yang masuk ke wilayah yang terlarang bagi alat tangkap tertentu maka terjadi pengusiran, kekerasan fisik dan perusakan alat tangkap, penyitaan dan bahkan penenggelaman kapal. Aksi ini dilakukan karena nelayan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. Sebelumnya sudah pernah disepakati masalah jalur penangkapan dengan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Selain itu pada periode ini konflik menjadi terbuka, saling tuduh bahwa jalur penangkapan yang disepakati telah digeser secara illegal. Organisasi INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) melakukan negosiasi untuk diselesaikan
secara
kekeluargaan
dan
mengharapkan
tidak
melakukan
pengkavlingan laut dan berjanji bahwa nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar atau yang memiliki teknologi lebih tinggi tidak akan memasuki wilayah selat laut dan selat sebuku yang diperuntukkan oleh nelayan tradisonal. Namun karena kasus tersebut sudah berdampak pada kekerasan fisik penyelesaian konflik dibantu oleh pihak kepolisian. Oganisasi INSAN mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum kepada pelaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru berjanji untuk membantu pembebasan perahu nelayan yang ditahan oleh nelayan dan membantu proses pengantian kerusakan atau dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Pada tahun 2007 polemik antara nelayan Kotabaru dengan nelayan asal Pekalongan, Juwana, Pati Jawa Tengah yang menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan purse seine masih berlanjut. Kemudian dilakukan perjanjian antara nelayan asal Jawa Tengah yang menggunakan kapal purse seine dengan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kotabaru yang ditandatangani di Jakarta. Namun hal ini dianggap tidak menguntungkan nelayan kotabaru,
malah sebaliknya dirasa menguntungkan
nelayan Jateng, sehingga nelayan Kotabaru tidak menerima hasil perjanjian dan kesepakatan yang sudah ditandatangani tersebut.
105
Masyarakat nelayan Kotabaru yang tergabung dalam HNSI menganggap kalau kesepakatan kedua yang telah ditandatangani tersebut atas nama pribadi, dan bukan atas nama HNSI, sebab sekarang ini yang bersangkutan sudah bukan ketua HNSI. Akhirnya terjadi inseden pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah yang ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp. 1,4 milyar. Insiden pembakaran kapal purse seine milik nelayan Jateng di perairan Pulau Kerayaan Pulau Laut Selatan Kotabaru memicu ribuan nelayan Kotabaru menggelar aksi protes di depan gedung DPRD Kotabaru yang menuntut diusirnya kapal-kapal purse siene dari perairan Kotabaru. Massa yang tiba secara bergelombang sekitar pukul 10.00 wita melempari gedung DPRD dengan air mineral, mobil-mobil milik anggota DPRD yang parkir di halaman tak luput dari aksi pukulan pengunjuk rasa. Sementara itu pada tahun 2007 di Kabupaten Tanah Laut terjadi konfrontasi. Keresahan sejumlah nelayan Tanah Laut yang sudah tiga bulan merasa hasil tangkapan mereka menurun drastis bahkan rugi karena masuknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara dan memiliki surat izin. Nelayan andon yang masuk ke perairan Kalimantan Selatan berasal dari Sulawesi (Ujung Pandang, Maros dan Serigi), Kalimantan Timur dan Jawa Timur (Ra’as). Nelayan andon menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan usaha penangkapan teripang dan kerang. Nelayan Sumenep dan nelayan Tanah laut melakukan eksploitasi perikanan pada wilayah fishing ground yang sama yaitu daerah Tanjung Selatan yang secara horizontal berjarak
40 mil
dari desa Tabanio.
Perairan
Tanjung Selatan
merupakan daerah yang subur, banyak terdapat sumber alam yang merupakan usaha penangkapan potensial bagi nelayan Tanah Laut yang merupakan ladang usaha perikanan tangkap secara turun temurun. Perairan Tanjung Selatan dikenal oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tanah Laut selain mengandung sumberdaya ikan juga memiliki terumbu karang dan teripang yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mengundang nelayan luar tertarik masuk untuk mengambil sumberdaya tersebut. Perairan Tanjung Selatan merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar 12-27 meter. Kesepakatan mulai dibuat dengan melakukan negosiasi antara nelayan Tanah Laut dengan Sumenep yaitu pengoperasian penangkapan ikan disesuaikan
106
dengan aktivitas nelayan lokal. Nelayan Sumenep hanya beroperasi pada siang hari, sedangkan nelayan Tanah Laut malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug tapi adanya campur tangan TNI AL, akibatnya sejumlah nelayan Tabanio kurang puas dengan kesepakatan itu, karena walaupun jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak TNI AL (LANAL). Mereka sebenarnya tetap menghendaki agar nelayan Sumenep dilarang menjamah perairan di Tanah Laut, kecuali jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan lokal. Konflik semakin memanas dan kritis karena
jumlah kapal nelayan
Sumenep yang masuk ke perairan Tanjung Selatan semakin banyak yaitu sekitar 400 unit. Dalam 1 (satu) unit kapal terdapat 1-2 buah kompressor, dimana 1(satu) alat kompressor digunakan untuk dua orang. Satu buah kapal terdapat 4-6 orang ABK.
ABK yang menyelam ke dalam perairan sebanyak 4 (empat) orang,
sedangkan ABK yang lain menunggu/menjaga di atas kapal. Jumlah keseluruhan ABK yang menyelam di perairan diperkirakan 1.600 orang dari 400 kapal nelayan andon. Nelayan Tabanio sangat merasa terganggu dengan aktifitas nelayan andon karena penyelaman dalam bentuk besar-besaran mengakibatkan kondisi perairan rusak, alat tangkap yang dipasang nelayan lokal banyak yang putus karena tersangkut jangkar nelayan andon. Dengan bantuan LANAL dilakukan sweeping, penyitaan dan penahanan kapal pencari teripang, karena mereka mencurigai kegiatan kapal nelayan Jawa Timur tersebut telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Menurut nelayan setempat, mereka menyelam, mencari kerang dan teripang yang terdapat di sekitar dasar laut berbatu, sementara tempat itu juga disukai ikan. Masyarakat nelayan lokal juga mencurigai para pencari komoditas laut bernilai ekspor tersebut menggunakan bahan peledak dan kimia.
Nelayan lokal
mengajukan tuntutan agar pencari teripang tersebut berhenti beroperasi di perairan sekitar Tanah Laut dan kemudian menyampaikan kesepakatan ini kepada kawankawan mereka.
Apabila mereka mau menuruti kesepakatan tersebut,
maka
nelayan Tanah Laut bersedia segera melepaskan kelima kapal yang telah disandera.
107
Pada tahun 2007 juga terjadi konflik antara nelayan Tanah Laut dengan nelayan andon asal Jawa Timur yang menggunakan bom dan diperkirakan telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Dugaan degradasi habitat ini didasari oleh kenyataan bahwa hasil tangkapan nelayan lokal selama tiga tahun terakhir cenderung menurun. Namun kasus penggunaan bom ini masih belum dapat dibuktikan oleh nelayan setempat, karena sulit menemukan barang bukti. Nelayan andon yang menggunakan bom menggunakan kapal bermesin cepat (sejenis mesin speed boat), sehingga tidak berhasil mengejar beberapa unit kapal yang terlihat memasuki wilayah perairan Tanah Laut. Selain itu nelayan yang dicurigai melakukan penangkapan ikan menggunakan bom biasanya barang bukti langsung dibuang sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan. Pada tahun 2008-2009 nelayan Kabupaten Tanah Bumbu merasa resah dan awal muncul kecemburuan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung yang memperoleh hasil tangkapan ikan teri dan ikan tembang lebih banyak, perbedaan produksi hasil tangkapan yang disebabkan perbedaan teknologi penangkapan. Nelayan bagan tancap melakukan penghancuran alat dan kapal bagan. Tindak lanjut dari konflik tersebut dibuat kesepakatan dimana nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda tidak boleh beroperasi pada suatu wilayan fishing ground yang sama bahkan tidak boleh beroperasi lagi. Pada tahun 2009 keberadaan nelayan cantrang yang dilakukan oleh nelayan Pekalongan Jawa Tengah mendapat reaksi keras dari masyarakat nelayan di Kalimantan Selatan.
Beberapa Pokwasmas melayangkan surat kepada Kadis
Perikanan di daerah masing-masing (Jawa Timur dan Sulawesi) yang intinya melarang keberadaan cantrang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon mendapat protes keras dari masyarakat nelayan di Kalimantan Selatan karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal Penggunaan cantrang dinilai sangat merugikan nelayan lokal, disamping itu telah meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberlanjutan perikanan tangkap dan belum ada undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan.
108
(4) Tahun 2001, 2006-2007 dan 2009 (akibat) Walaupun konflik berakhir sejalan dengan berakhirnya musim utara (Januari-April) maka untuk sementara kehidupan nelayan tampak harmonis dan konflik berakhir dengan sendirinya, namun pengkavlingan laut dengan patok tiang bakang masih dilakukan. Pada tahun 2007, khawatir konflik nelaan Kotabaru Kalsel dengan nelayan Tegal Jateng meluas, akhirnya masalah itu dilaporkan ke Presiden dan membentuk tim perikanan dua propinsi. Gubernur mengintruksikan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel untuk bertatap muka dengan asosiasi nelayan dari Kotabaru untuk mensosialisasikan naskah awal perjanjian perdamaian.
Kemudian
pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: pertama, dengan menyetop pengeluaran izin baru untuk kapal purse seine, kedua mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain. Pada tahun 2008 dilakukan pertemuan nelayan yang berjumlah kurang lebih 500 orang
yang berasal dari tiga Kecamatan yakni (1) Takisung (Tabanio,
Pagatan Besar, Kuala Tambangan dan Takisung) (2) Panyipatan (Batakan, Tanjung Dewa) (3) Jorong (Swarangan) dan dihadiri juga oleh Pol Air, TNI AL Pos Batakan, Dinas Kelautan dan perikanan Povinsi dan Kepala Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut, Camat Takisung serta Camat Penyipatan. Nelayan Tala membuat kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari tripang dan kerang. Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap Nelayannya agar meninggalkan perairan Tanah Laut ternyata direspon setengah hati. Mereka masih saja menjamah perairan Tanah Laut hingga akhirnya terjaring sweeping petugas Pol Air. Ada 12 (duabelas) kapal yang terjaring sweeping, dan 12 unit selam disita. Semuanya memiliki surat andon, namun tidak pernah lapor ke Dinas Kelautan dan Perikanan Tanah Laut. Melalui sweeping diyakini mampu membuat nelayan tersebut jera untuk kembali beroperasi ke perairan Tanah Laut.
109
DKP Tanah Laut dan beberapa perwakilan nelayan Tanah Laut menghadap Menteri Kelautan dan Perikanan.
Mereka akan berkonsultasi dan meminta
petunjuk untuk mencari solusi terbaik tentang pengaturan aktivitas melaut nelayan tradisional antar pulau. (5) Periode 2010-sekarang (pascakonflik) Pada periode ini walaupun tidak terdapat konflik, nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam kondisi yang aman. Nelayan meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Pokmaswas yang terbentuk semakin aktif dalam melakukan pengawasan dan menghimpun segala permasalahan nelayan. 4.3 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap 4.3.1 Tipologi konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik. Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan seperti yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan Ekses Menegur, melarang, mengusir, pembakaran kapal, aksi massa
Penyebab utama 1 Purse seine dari Jateng mendapat izin dari DKP Pusat 2 Kecemburuan nelayan lokal karena kesenjangan teknologi (purse seine 40.000-50.000 watt, fish finder, kapal 45-60 GT), hasil tangkapan dapat mencapai 2-3 ton/trip. Sedangkan nelayan lokal hanya menggunakan mini purse seine 3 Terjadi persaingan pasar: nelayan purse seine menjual hasil tangkapannya di Kotabaru dengan harga lebih murah dari harga ikan yang berlaku di pasaran.
Jenis konflik Konflik alat tangkap: purse seine
Tipologi konflik Mekanisme pengelolaan
alokasi internal
Mekanisme pengelolaan
Pihak yang terlibat Nelayan purse seine vs nelayan mini purse Seine, KKP, DKP, Kepolisian, TNI AL. Organisasi nelayan (HNSI, AMNES, INSAN)
110
Tabel 16 (lanjutan) Ekses
Bentrokan fisik, penganiayaan perusakan, penyitaan dan penenggelam an kapal,
Pengusiran, penyitaan, penyandraan, demontrasi/ aksi masa, sweeping
Perkelahian
Penyebab utama
Jenis konflik
Tipologi konflik
4 Pengoperasian purse seine berada diluar 12 mil, namun lampu yang digunakan mampu menarik ikan yang berada di wilayah perairan Kalsel 1 Perebutan daerah penangkapan seirama dengan perputaran potensi sumberdaya udang yang tersebar di beberapa wilayah Kotabaru 2 Pengkavlingan laut menjadi hak property 3 DKP Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan.
yurisdiksi perikanan
Konflik pengkavling an laut: pembagian daerah penangkapan ikan
Yurisdiksi Perikanan
1 Pengambilan teripang dengan cara menyelam dengan alat bantu kompresor yang diletakkan di atas kapal dengan panjang selang sekitar 50 meter dipasang pada mouth piece, sedangkan nelayan lokal tidak memanfaatkan teripang 2 Pelanggaran KepMen No.13/2004: Pengendalian nelayan andon yang telah menghambat aktifitas nelayan lokal karena jumlah kapal nelayan andon sekitar 400 unit dengan 1.600 orang penyelam telah melebihi kuota.
Konflik alat tangkap: alat bantu kompressor untuk pengambilan teripang dan kerang mutiara
Alokasi internal,
1 Modifikasi lampara dasar, penambahan danleno diisi dengan semen agar dapat mengeruk dasar perairan dan membuka mulut jaring kemudian nelayan mengganti danleno tersebut dengan papan layang (otter board). 2 Pelanggaran jalur-jalur penangkapan, mengoperasikaanya di wilayah perikanan tradisional
Konflik alat tangkap: lampara dasar
Mekanisme pengelolaan
Alokasi internal,
Mekanisme pengelolaan
Pihak yang terlibat
Nelayan Kec. Pulau laut Utara vs Kec. Pulau Sebuku Kotabaru, Walhi, INSAN, DKP Daerah, Kepolisian Nelayan teripang dan kerang mutiara (Andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim) vs nelayan lokal dari Tanah Laut, KKP, DKP pusat dan Daerah, TNI AL, Polair, Pokmaswas Nelayan lampara dasar vs nelayan trammel net, DKP Daerah, Pokmaswas
111
Tabel 16 (lanjutan) Ekses
Penyebab utama
Jenis konflik Konflik alat tangkap gillnet
Tipologi konflik Mekanisme pengelolaan
Pengusiran
2 Pelanggaran Kep. Mentan 392/99:Gillnet jalur Ia (3 mil) merupakan jalur terlarang bagi penggunaan gillnet sepanjang 1000 m
Pengusiran, pengejaran kapal
1 Daya ledakan yang ditimbulkan mencapai radius 100 meter persegi. yang beroperasi pada pagi dan sore hari dapat merusak terumbu karang, mematikan habitat ikan dan penyu, mengeruhkan kondisi perairan dan meningkatkan level sedementasi serta over fishing, merusak ekosistem dan sistem mata rantai makanan laut yang berakibat pada penurunan sumberdaya secara drastis. 2 Pelanggaran UU RI No.9 1985, larangan bom(illegal fishing) 1 Kesenjangan teknologi bagan apung, karena kapasitas kapal mampu mengoperasikan bagan apung yang dapat dipindahkan, hal ini dianggap merebut fishing ground, dan merugikan nelayan bagan tancap.
Konflik alat tangkap: alat bantu bom
Mekanisme pengelolaan
Konflik alat tangkap: bagan apung
Alokasi internal
Perkelahian
1 Kesenjangan kualitas peralatan tangkap antar nelayan seser modern dengan seser tradisional dalam menangkap jenis ikan sama dan pada fishing ground yang sama
Konflik alat tangkap: seser modern
Alokasi internal
Pengusiran, penahanan
3 Kesenjangan alat tangkap yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal dan cantrang belum pernah digunakan oleh nelayan lokal
Konflik alat tangkap: cantrang
Alokasi internal
Penghancur an alat dan kapal
Sumber: data primer diolah
Pihak yang terlibat Nelayan gillnet (andon) vs nelayan gillnet (Tanah Laut), DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan pengguna bom vs nelayan bukan pengguna bom, DKP Daerah, Pokmaswas, PPSDA, Polair, TNI AL
Nelayan bagan tancap Tanah Bumbuvs nelayan bagan apung Kotabaru, DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan seser tradisional vs nelayan seser modern, DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan andon (SulSel dan Jateng), KKP, DKP, Polair, TNI AL, Pokmaswas
112
4.3.2 Identifikasi kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik (1) Kasus purse seine Perbedaan idiologi dan prinsip dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan antara nelayan yang berkonflik kemudian mengartikulasikan sumberdaya perikanan secara berbeda dan memperlakukannya secara berbeda pula. Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan mini purse seine dan nelayan purse seine digambarkan pada Gambar
16. Nelayan mini purse seine menganggap alat
tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan ketika nelayan purse seine beroperasi di sekitar perairan Kotabaru. Nelayan mini purse seine - Pengoperasian purse seine merugikan nelayan lokal - Pelarangan pengoperasian purse seine di sekitar perairan Kotabaru
Wilayah konflik
- Purse seine adalah usaha
Posisi
Posisi
Kebutuhan
dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
yang sah dan memiliki surat izin - Penggunaan lampu berkapasitas tinggi dan menjual hasil tangkapan di wilayah Kotabaru merugikan nelayan lokal
Kepentingan
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan
Nelayan purse seine
- Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya - Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan izin usaha - Kepastian hukum
Gambar 16 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine
113
(2) Kasus daerah penangkapan ikan Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan nelayan Kecamatan Pulau Laut digambarkan pada Gambar 17. Konsepsi yang berlanjut pada eksploitasi sumberdaya perikanan yang dianut oleh nelayan Kecamatan Pulau Sebuku masih menganut eksploitasi perikanan dengan alat tangkap tradisional yang telah turun temurun.
Hal ini dikuasai oleh nelayan
tradisional yang masih bertahan dengan alat tangkap sero, rakang, pacing dan trammel net. Daerah penangkapan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun tersebut telah dianggap sebagai hak property bagi mereka, sehingga apabila nelayan luar masuk ke wilayah tersebut apalagi memiliki alat tangkap yang lebih besar atau yang telah dimodifikasi telah dianggap melanggar norma dan tidak menjaga kelestarian sumberdaya perikanan. Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku
Wilayah konflik
- Pelarangan terhadap nelayan selain kecamatan Pulau Sebuku dilarang masuk perairan selat laut pada musim utara - Pelarangan alat tangkap yang sudah mengalami modiifikasi
Posisi
Kepentingan
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Nelayan Kecamatan Pulau Laut - Tidak mematuhi masalah perbatasan, yang sudah ditetapkan - Lampara Dasar modifikasi yang menggunakan papan layang dianggap tidak ramah lingkungan - Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
Kebutuhan
- Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan izin usaha - Kepastian hukum
Gambar 17 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus daerah penangkapan
114
(3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kabupaten Tanah Laut dan nelayan andon memburu kerang dan teripang dari Sulawesi, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur digambarkaann pada Gambar 18. Nelayan dari Kabupaten Tanah Laut menganggap nelayan andon mengambil teripang menggunakan benda tajam merusak karang yang berpotensi mengancam
kelestarian sumberdaya
perikanan. Banyaknya jumlah kapal yang masuk sekitar 400 unit sangat mengganggu aktivitas nelayan lokal. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan dan robeknya jaring karena tersangkut jangkar nelayan andon ketika nelayan andon beroperasi di sekitar perairan Kabupten Tanah Laut. Nelayan lokal tidak pengambil teripang dan kerang mutiara - Banyaknya nelayan penyelam, merusak karang mencari teripang merugikan nelayan lokal - Pelarangan perburuan teripang di sekitar Kab. Tala
Nelayan andon pencari teripang dan kerang mutiara Wilayah konflik
Posisi - Memperoleh hasil tangkapan melimpah dan keuntungan yang besar
- Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun
Kepentingan
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Nelayan andon pencari teripang adalah usaha yang sah dan memiliki surat izin
Kebutuhan
- Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Gambar 18 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus teripang
115
(4) Kasus lampara dasar Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan tradisional terutama nelayan trammel net dengan nelayan lampara dasar digambarkan pada Gambar
19.
Nelayan trammel net menganggap nelayan lampara dasar tidak ramah lingkungan karena bersifat mengeruk ikan/udang yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa sedikitnya ikan yang tertangkap ketika lampara dasar beroperasi berrsamaan dengan nelayan trammel net. Nelayan trammel net
Wilayah konflik
- Pengoperasian lampara dasar dapat merugikan nelayan lokal
Posisi - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI - Kepastian Hukum
Kepentingan
Kebutuhan
Nelayan Lampara dasar Belum ada kejelasan Pelarangan pengoperasian lampara dasar tidak merugikan siapapun
- Memperoleh hasil tanggkapan - Memperoleh keuntungan
- Kepastian hukum - Keamanan berusaha
Gambar 19 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus lampara dasar
(5) Kasus gillnet Analisis terhadap”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan gillnet yang berbeda kapasitas. Nelayan gillnet dari Tanah Laut dan nelayan gilnet (andon) digambarkan pada
116
Gambar 20. Nelayan lokal menganggap nelayan andon menggunakan gillnet melebihi kapasitas tidak mengikuti anjuran dalam Kep. Mentan 392/99 yang mengatur penggunaan gillnet (Jalur 3 mil terlarang bagi penggunaan Gillnet sepanjang 1000 m). Nelayan gillnet (lokal)
Wilayah konflik
Pelarangan pengoperasian gillnet yang melebihi kapasitas - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI
Nelayan gillnet (andon) Pengoperasian gillnet tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
- Memperoleh hasil tanggkapan - Memperoleh keuntungan
Kebutuhan
- Kepastian Hukum
- Keamanan berusaha
Gambar 20 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus gillnet
(6) Kasus penggunaan bom Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan yang bukan pengguna bom dengan nelayan pengguna bom digambarkan pada Gambar 21. Nelayan yang menggunakan bom diangggap oleh masyarakat adalah perilaku yang menyimpang (deviant behaviour) dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau mungkin terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi. Ironisnya para pelaku pengguna bom sulit ditangkap, berdasarkan keterangan informan hal tersebut disebabkan luasnya kondisi perairan, kurangnya fasilitas dan anggaran dana untuk menertibkan pengguna bom. Selain itu pengguna bom menggunakan
117
kapal bermesin 6 (enam) silender sehingga kalah cepat ketika dilakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan nelayan penggguna bom tersebut telah mematikan ikan hingga telurnya bahkan yang masih tersembunyi pada karang ikut musnah dan keberadaan penyu ikut terganggu, karena daya ledaknya begitu kuat. Daya ledakan yang ditimbulkan mencapai radius 100 meter persegi. Nelayan pengguna bom ini biasanya dalam 1 (satu) unit kapal terdiri dari 10 ABK, yang beroperasi pada pagi dan sore hari.
Nelayan Bukan pengguna bom bom - Penggunaan bom
merupakan peanggaran UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 dan tidak sesuai dengan norma - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI - Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dan keamanan dalam pemanfaatan SDI - Kepastian Hukum
Nelayan pengguna bom Wilayah konflik
Posisi
Kepentingan
- Tidak mentaati UU yang berlaku di Indonesia sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian sumberdaya ikan dan ekosistem perairan
- Memperoleh hasil tangkapan yang melimpah - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
Kebutuhan
- Keperluan mendesak dan keuntungan sesaat
Gambar 21 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus penggunaan bom (7) Kasus bagan apung Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan bagan tancap dengan nelayan bagan apung digambarkaann pada Gambar
22. Nelayan bagan apung
118
menganggap bahwa nelayan bagan apung merebut wilayah fishing ground bagan tancap. Potensi
negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang dan
pendapatan mereka menurun bersamaan dengan beroperasinya bagan apung. Nelayan bagan tancap
Nelayan bagan apung Wilayah konflik
- Pengoperasian bagan
apung dapat merugikan nelayan bagan tancap - Bagan apung yang bisa dipindahkan dianggap merebut wilayah bagan tancap - Pelarangan pengoperasian bagan apung di wilayah bagan tancap bagan tancap - Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
Pengoperasian bagan apung tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Memperoleh keadilan
- Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
- Keamanan berusaha
Gambar 22 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bagan apung
(8) Kasus seser modern Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan seser tradisional dengan nelayan seser modern digambarkaann pada Gambar 23. Nelayan seser modern dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
119
Nelayan seser tradisional
Wilayah konflik
- Adanya anggapan
bahwa tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi - Pelarangan pengoperasian seser - Memperoleh modern di wilayah hasil tangkapan seser tradisional - Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Nelayan seser modern
Pengoperasian seser modern tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Memperoleh hasil tangkapan dan keuntungan yang besar
- Keamanan berusaha
Gambar 23 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus seser modern
(9) Kasus cantrang Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kal-Sel dengan nelayan cantrang dari Sulawesi dan Jawa Tengah gambarkan pada Gambar 24. Nelayan seser modern dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
120
Nelayan Lokal (Kal-Sel) Pelarangan keberadaan cantang beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel karena penggunaan teknogi yang berbeda dengan masyarakat lokal
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Wilayah konflik
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Nelayan cantrang (andon)
Belum jelasnya pelarangan cantrang beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel - Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
Keamanan berusaha
Gambar 24 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus cantrang
4.4.3 Identifikasi sikap, perilaku dan konteks sebagai faktor yang mempengaruhi konflik Analisis ini didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga lembaga utama yaitu: konteks atau situasi (K), perilaku mereka yang terlibat (P) dan sikapnya (S). Ketiga prinsip ini ditunjukkan sebagai sebuah segitiga sama sisi. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi, oleh karena itu tanda panahnya dua arah di setiap sudut (Gambar 25 sampai Gambar 33).
(1) Kasus purse seine B Perilaku Pandangan nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine - Purse seine menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan - Nelayan purse seine menggunakan teknologi yang lebih tinggi (lampu 40.000 watt) menarik ikan-ikan yang berada di wilayah perairan Kotabaru) - Nelayan purse seine mendapat izin dari DKP Pusat
A Sikap
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
- Menegur nelayan purse seine dari Jateng yang masuk keperairan sekitar Kabupaten Kotabaru - Mengusir nelayan purse seine yang menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru - Melarang nelayan purse seine yang mengisi bahan bakar, air dan es di wilayah Kotabaru - Melakukan pembakaran kapal purse seine - Membentuk asosiasi dengan pihak yang dapat memberikan solusi
Konteks Pandangan nelayan mini purse seine terhadap diri sendiri - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan - merasa sebagai pihak yang dirugikan - tidak memiliki modal
- Situasi yang tidak tenang/resah untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri - Belum optimalnya hukum dalam menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 25 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine
121
122
(2) Kasus daerah penangkapan B Perilaku Pandangan nelayan yang melakukan pengkavlingan terhadap nelayan lain yang masuk wilayahnya - Nelayan lain jangan melakukan penangkapan di wilayah sekitar tempat tinggal mereka (hak property) - Banyaknya nelayan lain yang masuk wilayah mereka dapat dapat mengurangi / menghabiskan sumberdaya udang/over fishing
Kebutuhan:
- Mengabaikan teguran-teguran yang dilakukan oleh nelayan tradisional - Melakukan aksi perlawanan, berlindung kepada aparat - Intimidasi, pemukulan, penyitaan, penenggelaman kapal
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
A Sikap Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri - Tidak memiliki modal yang besar - Tetap menggunakan alat tangkap tradisional yang dilakukan secara turun temurun - Mempertahankan sumberdaya untuk anak cucu - Mendapat dukungan dari DKP
C Konteks - Perairan laut bersifat milik bersama dimana setiap orang boleh memanfaatkannya - Belum optimalnya hukum dalam penyelesaian masalah
Gambar 26 Prinsip ”Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan yang melakukan pengkavilngan daerah penangkapan
(3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara B Perilaku Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang - Nelayan andon mempunyai modal untuk memiliki alat bantu penangkapan yang lebih tinggi/modern - Nelayan andon sudah memiliki jaringan pemasaran teripang & kerang - Nelayan andon bersikap tidak bersahabat, terlaku banyak & merusak karang A Sikap Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap diri sendiri - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan - merasa sebagai pihak yang dirugikan
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
- Menahan kapal nelayan andon dan mengancam untuk meninggalkan perairan Tanah Laut - Melakukan sweeping dan menyita kompresor nelayan andon
C Konteks - Situasi yang tidak tenang/merasa terganggu oleh aktivitas penyelam - Belum optimalnya hukum dalam menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 27 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang
123
124
(4) Kasus lampara dasar B Perilaku Pandangan nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar - Nelayan lain mempunyai modal untuk memiliki alat tangkap yang lebih tinggi/modifikasi - Dapat menghabiskan sumberdaya pesisir/over fishing di wilayah pesisir fihing ground nelayan tradisional - Persaingan yang tidak seimbang A Sikap Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri - Siap merubah alat, tetapi biaya / modal tidak mampu - Mengetahui alat tangkap yang ramah lingkungan
- menegur dan mengusir nelayan lampara dasar
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks - Sumberdaya ikan merupakan potensi namun bisa habis - Kepastian hukum/perda tentang penggunaan lampara dasar
Gambar 28 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar
(5) Kasus gillnet B Perilaku Pandangan nelayan gillnet (Tanah Laut terhadap nelayan gillnet (andon) - Pelarangan penggunaan gillnet yang melebihi kapasitas - jangkar gillnet andon menyangkut pada alat tangkap nelayan lokal.
A Sikap
Mengusir nelayan gillnet (andon) dari perairan Tanah Laut Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks
Pandangan nelayan gillnet (Tanah Laut) terhadap diri sendiri - Mendapat dukungan dari pemerintah/aparat - Mengetahui adanya pelarangan terhadap gillnet yang melebihi kapasitas
- Kepastian hukum dalam berusaha - Adanya Kep. Mentan 392/99 yang mengatur penggunaan gillnet. Jalur Ia (3 mil) terlarang bagi gillnet sepanjang 1.000m.
Gambar 29 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan gillnet (Tanah Laut terhadap nelayan gillnet (andon)
125
126
(6) Kasus penggunaan bom B Perilaku Pandangan nelayan terhadap nelayan pengguna bom - Merusak terumbu karang, mematikan habitat ikan dan penyu, mengeruhkan kondisi perairan dan meningkatkan level sedementasi serta over fishing, merusak ekosistem dan sistem mata rantai makanan laut yang berakibat pada menurunan sumberdaya secara drastis.bom
- praktik illegal fishing A Sikap
- Mengejar nelayan yang menggunakan bom untuk diadili - pelaporan kepada aparat tentang adanya penggunaan bom
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks - Penggunaan bom merupakan pelanggaran
Pandangan nelayan bukan pengguna bom terhadap diri sendiri - menyadari pentingnnya menjaga sumberdaya perikanan - mengetahui cara pemanfaatan SDI yang tidak merusak - mendapat dukungan dari aparat
terhadap undang-undang dan tidak sesuai dengan norma-norma yang diberlakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
- belum optimalnya hukum dalam memberantas illegal fishing - sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 30 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan terhadap nelayan pengguna bom
(7) Kasus bagan apung B Perilaku Pandangan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung - Bagan apung penyebab penurunan hasil tangkapan bagan tancap - Bagan apung beroperasi di wilayah bagan tancap
Menghancurkan bagan apung
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
C Konteks
A Sikap Pandangan nelayan bagan tancap terhadap diri sendiri - merasa sebagai pihak yang dirugikan - tidak memiliki keahlian dan ketahan fisik melakukan penagkapan dengan bagan apung
Situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri
Gambar 31 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung
127
128
(8) Kasus seser modern Pandangan nelayan seser terhadap nelayan seser modern - Nelayan seser modern mempunyai modal untuk memiliki kapal, mesin tempel/modifikasi seser - Dapat menghabiskan sumberdaya pesisir/over fishing di wilayah pesisir fihing ground nelayan tradisional - Persaingan yang tidak seimbang
A Sikap Pandangan nelayan seser terhadap diri sendiri - Siap merubah alat, tetapi biaya / modal tidak mampu
B Perilaku Mengusir nelayan seser modern dari fishing ground seser
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
C Konteks Situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri
Gambar 32 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan seser modern
(9) Kasus cantrang
B Perilaku B Perilaku
Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap nelayan cantrang (andon) - Perbedaan teknologi perikanan tangkap yang mana nelayan lokal tidak menggunakan cantrang - Cantrang menyebabkan hasil tangkapan berkurang
Melakukan penyandraan dan penyitaan cantrang dan berjanji untuk tidak kembali lagi
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan A Sikap Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap diri sendiri - merasa sebagai pihak yang dirugikan - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan - mengetahui cara memanfaatan SDI yang tidak merusak
C Konteks belum ada Undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan
Gambar 33 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Kal-Sel terhadap nelayan cantrang cantrang (andon)
129
130
4.3.4 Sumber konflik Berdasarkan hasil analisis bawang bombay dan segitiga SPK maka dapat dijelaskan sumber konflik yang disebabkan oleh perbedaan ”posisi-kepentingankebutuhan” antara pihak yang berkonflik. Kemudian dijelaskan pula prinsip ”sikap-perilaku-konteks” antara nelayan yang dirugikan terhadap nelayan lain. Dengan mengacu kepada pendekatan tersebut maka dapat dijelaskan pula sumber konflik (Gorre 1999) dapat dikategorikan kepada konflik yang disebabkan masalah hubungan, perbedaan kepentingan, masalah struktural dan konflik nilai (Tabel 17) Tabel 17 Sumber konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan No Kasus Penyebab utama Sumber Konflik Konflik 1 Purse seine 1 Keberadaan nelayan pengguna Masalah struktural purse seine mendapat izin dari DKP Pusat, sementara nelayan lokal merasa dirugikan 2 Penggunaan purse seine bagi Perbedaan nilai nelayan andon merupakan pengembangan teknologi perikanan tangkap, namun bagi nelayan Kal-Sel merupakan tindakan over fishing yang menurunkan stok ikan 3 Amarah nelayan local terhadap Masalah hubungan penggunaan purse seine pada posisi 15 mil yang secara yuridis memang tidak melanggar jalur penangkapan, ditambahlagi keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otda, pemkab 4 mil, pem-prov 8 mil menguatkan posisi nelayan andon, sehingga membangkitkan amarah nelayan local untuk melakukan anarkis 2 Daerah 1 pengkavlingan laut karena adanya Masalah hubungan penangkapan anggapan terhadap pemilikan sumberdaya disekitar daerah tempat tinggal (property right), namun disisi lain merupakan ketidakadilan bagi mereka yang memiliki wilayah tidak subur
131
Tabel 17 (lanjutan) No Kasus konflik 3 Pengambilan teripang
4
5
Lampara dasar
Bagan apung
Penyebab utama 1 Amarah terhadap penggunaan kompresor dengan selang 50 m pada mouth piece mengambil teripang pada wilayah berkarang untuk memperoleh keuntungan besar, namun disisi lain mengganggu aktivitas nelayan lain yang ingin mempertahankan keberlanjutan sumberdaya pada wilayah berkarang 2 pemberian surat izin terhadap nelayan pemburu teripang yang masuk di perairan Tala terlalu besar sangat merugikan aktivitas nelayan lokal 1 Disatu sisi modifikasi lampara dasar merupakan perkembangan teknologi untuk meningkatkan produksi, namun jika penggunaannya di lakukan di wilayah tangkap tradisonal maka dapat mengakibatkan over fishing 2 DKP Kal-Sel memberikan rekomendasi menggunakan balok penuntun segitiga (danleno), kemudian nelayan memodifikasi lagi dengan papan layang. Pengoperasiannya melanggar JJP bagi nelayan tradisional merugikan nelayan tradisional 1 Disatu sisi penggunaan bagan apung dapat meningkatkan produksi namun disisi lain terdapat anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang sama
Sumber Konflik Perbedaan kepentingan
Masalah struktural
Perbedaan nilai
Masalah struktural
Perbedaan nilai
132
Tabel 17 (lanjutan) No Kasus konflik 6 Seser modern
7
Gillnet
8
Penggunaan bom
Penyebab utama 1 Di satu sisi pengoperasian seser modern menggunakan kapal dapat meningkatkan produksi dan efektifitas namun disisi lain terdapat anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang sama 1 Pelanggaran Kep. Mentan 392/99:Gillnet jalur Ia (3 mil) merupakan jalur terlarang bagi penggunaan gillnet sepanjang 1000 m
1 Pelanggaran UU RI No 9 /1985 tentang perikanan: Larangan penggunaan bom dan tidak sesuai dengan normanorma yang diberlakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (illegal fishing) 9 Cantrang 1 Amarah terhadap penggunaan cantrang yang digunakan oleh nelayan andon, nelayan lokal tidak menggunakan cantrang adalah untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya karena cantrang dianggap sejenis trawl dan belum adanya izin yang membolehkan alat tangkap cantrang beroperasi di wilayah perairan Kalsel Sumber: Data primer diolah
Sumber Konflik Perbedaan nilai
Masalah struktural
Masalah struktural
Perbedaan kepentingan
133
4.4 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik 4.4.1 Resolusi konflik Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan nelayan di Kalimantan Selatan telah dilakukan sejak awal munculnya konflik, namun penyelesaian ini belum dilakukan secara bersama-sama dan masih terpisah pada masing-masing desa yang terlibat dalam konflik.
Secara umum upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan mulai dari memberi peringatan sampai pada aksi perlawanan atau konfrontasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan pembakaran dapat dilihat pada Gambar 34.
Sikap
Menghindari konflik
Pendekatan ke pemerintah dan aparat hukum
Aksi/Tindakan Memberikan peringatan dan negosiasi
pelaporan
Menunjukkan sikap perlawanan/konfrontasi
Melakukan penangkapan, pembakaran dan penyanderaan
Pengendalian diri
Pemberian sanksi, denda, penyitaan
Proses hukum
Tidak ada
ada
Gambar 34 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan Dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan upaya yang dilakukan, ditandai dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis yaitu beberapa kesepakatan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap. Hasil pengamatan di lokasi penelitian
134
terdapat
beberapa
upaya
yang
dilakukan,
bahkan
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa teknik resolusi konflik dalam suatu jenis konflik. 1) Kasus purse seine Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik purse seine terangkum dalam status penyelesaian konflik yang disajikan pada Tabel 18. Langkah pertama yang dilakukan oleh masyarakat nelayan mini purse seine di Kotabaru yaitu dengan berinisiatif menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Tabel 18 Status penyelesaian konflik pada kasus purse seine No 1 2 3 4
Status penyelesaian konflik Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan Pekalongan vs nelayan Kotabaru (tahun 2004) Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan Tegal vs nelayan Kotabaru (tahun 2005) Tindak lanjut kesepakatan yang diwakili seluruh stakeholder dilakukan di Surabaya tahun 2005 Masih beroperasinya kapal purse seine sekitar 40 buah berada di selat makasar maka dilakukan tindak lanjut kesepakatan/ penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar tahun 2007
Teknik resolusi konflik Negosiasi Fasilitasi Fasilitasi Fasilitasi
Konflik antara nelayan Kotabaru dan nelayan Pekalongan (1 April 2004) dapat diselesaikan dengan membuat surat pernyataan dari pemilik kapal purse seine. Terdapat 4 (empat) point dalam surat pernyataan tersebut, yaitu: (1) Tidak akan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan cahaya lampu (2) Sebisa mungkin bias cahaya lampu tidak terlihat dari perairan Kabupaten Kotabaru sejauh 12 mil dari pulau terluar (3) Tidak akan merapat ke pelabuhan Kabupaten Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es serta tidak menjual ikan kecuali dalam keadaan darurat (4). Apabila dikemudian hari ditemukan oleh nelayan melanggar surat pernyataan ini maka pihak nelayan Kabupaten Kotabaru dapat melakukan tindakan-tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan purse seine.
135
Dalam upaya ini masih mengalami kegagalan karena masih bersifat parsial,
tidak tersosialisasikan terhadap pengguna lain.
Melalui teknik
neogosiasi tersebut, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan yang dibuat hanya mengandalkan moral.
Pengguna purse seine semakin banyak
melakukan eksploitasi di sekitar perairan Kotabaru, sehingga terjadi tuduhan pelanggaran kesepakatan. Penanganan konflik ditindaklanjuti dengan menghubungi pihak ketiga yaitu Dinas Perikanan daerah untuk memohon dilakukan intervensi berupa fasilitasi. Penggunaan teknik fasilitasi ini merupakan bentuk perhatian pemerintah dan memiliki kekuatan hukum terhadap pelanggaran kesepakatan, namun kesepakatan tersebut harus diwakili langsung oleh stakeholder yang berkepentingan. Pada tanggal 16 Juni 2005 bertempat di Departemen Kelautan dan Perikanan berisi 14 poin kesepakatan yaitu: (1) Mewujudkan iklim usaha penangkapan ikan yang nyaman, kondusif dengan keamanan yang terjamin.
Upaya ini melibatkan seluruh stakeholders,
termasuk Dinas Perikanan dan Kelautan di setiap daerah serta Departemen Kelautan dan Perikanan. (2) Mencegah kerusakan sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bahan dan alat tangkap yang dilarang, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku (3) Untuk sementara, sambil menunggu hasil kajian BPPI semarang tentang pengaruh intensitas cahaya lampu purse seine, kapal purse seine dapat beroperasi dengan jarak sedikitnya 20 mil laut dari batas surut terendah dari setiap pulau pada malam hari (4) Untuk sementara, kekuatan lampu (intensitas cahaya) kapal purse seine maksimal 12.000 watt di atas kapal (5) Hasil penangkapan ikan kapal purse seine tidak dipasarkan di pasar lokal. Dalam hal pemasaran agar dapat melakukan kerjasama dengan nelayan setempat (6) Merintis upaya kemitraan antara nelayan perikanan tangkap Provinsi Jawa Tengah dengan provinsi Kalimantan Selatan
136
(7) Untuk melakukan peningkatan teknologi penangkapan ikan dalam upaya mengatasi kesenjangan teknologi dibawah koordinasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan (8) Dilakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan (9) Jika terjadi perselisihan perihal pelaksanaan kesepakatan diatas maka akan dilakukan musyawarah yang melibatkan
unsur-unsur yang terlibat yang
difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah (10) Segera melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan kepada
nelayan Jawa Tengah dan Kotabaru Kalimantan Selatan yang akan dimotori oleh Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi masing-masing daerah (11) BPPI segera melakukan pengkajian terhadap efektifitas penggunaan lampu pada kapal purse seine. Kajian ini melibatkan perwakilan HNSI, Dinas Perikanan dan Kelautan serta perwakilan nelayan Kotabaru dan Jawa Tengah (12) Kesepakatan ini berlaku mulai ditandatangani sampai keluarnya keputusan pemerintah pusat mengenai aturan penggunaan lampu (13) Bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan ini, akan dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (14) dengan ditandatanganinya kesepakatan ini, maka kesepakatan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku Namun bedasarkan hasil kesepakatan tersebut masih belum bisa menyelesaikan konflik, masih terdapat ketidakpuasan terhadap kesepakatan tersebut dan purse seine masih beroperasi di selat makasar wilayah perairan Kotabaru. Nelayan Kotabaru melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kotabaru. Kemudian membentuk AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan). Konflik semakin berkembang setelah adanya pengakuan nelayan purse seine yang tidak melanggar UU Jalur-jalur penangkapan dan dimiliki surat izin penangkapan ikan dari pusat, menyebabkan amarah nelayan lokal. Penyelesaian konflik mendapat tanggapan serius dari pemerintah dengan melakukan tindak lanjut terhadap kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tanggal 24–25 Januari
137
2006 di Surabaya dilakukan pertemuan dipimpin oleh DKP Provinsi, diperoleh suatu rumusan evaluasi resolusi konflik purse seine yaitu: 1 Evaluasi perkembangan konflik purse seine 1)
Sebagian nelayan Kotabaru belum dapat menerima sebagian hasil kesepakatan yang dicapai di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2005 dan sebagian nelayan Balikpapan belum dapat menerima sebagian hasil rumusan yang dicapai di Semarang pada tanggal 17 Januari 2006
2)
Proses koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi telah berlangsung termasuk nelayan yang terlibat konflik.
3)
DKP telah melakukan koordinasi dengan TNI AL dan POLRI untuk mencegah berkembangnya konflik dengan mengerahkan kapal ke kawasan konflik
4)
Proses sosialisasi rumusan hasil pertemuan masih belum dilakukan secara optimal oleh semua pihak.
5)
Untuk menghindari terjadinya konflik lebih lanjut, Kadiskamlut Provinsi Jateng telah membuat surat edaran agar nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap ikan di Selat Makasar.
6)
Pemerintah provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah kota Balikpapan bekerjasama dengan Muspida, unsur nelayan serta LANAL Balikpapan dan POLDA Kal-Tim telah melakukan pertemuan dengan masyarakat nelayan dalam rangka mencegah tindakan anarkis lebih lanjut.
7)
Pemerintah Kabupaten Kotabaru telah melakukan koordinasi dengan Muspida dan masyarakat nelayan untuk meredam dan mencegah berkembangnya konflik
8)
Masih terjadinya pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan.
9)
Proses hukum sedang berjalan dan pihak kepolisian akan mengundang saksi ahli. Hal yang sama agar dilakukan untuk penyelesaian kasus pembakaran kapal di pulau Kerayaan Kab. Kotabaru Kalimantan Selatan
138
2
Rencana tindak lanjut jangka pendek (s.d. pertengahan Pebruari 2006) 1) Kapal Pengawas DKP supaya tetap dipertahankan di wilayah selat Makasar untuk mencegah berkembangnya konflik 2) Masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi bersama Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten/Kota setempat melakukan sosialisasi hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan dengan melibatkan antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama, DKP, DPRD, organisasi nelayan (HNSI), dan penegak hukum (TNI AL dan POLRI) 3) Nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap di selat makasar. 4) Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan DPP HNSI agar segera memberikan perhatian dan bantuan kepada korban konflik nelayan 5) Dilakukan pertemuan tentang penanganan konflik nelayan antar daerah dengan melibatkan unsur pemilik, punggawa, penegak hukum, tokoh masyarakat nelayan, tokoh agama dan HNSI setempat untuk proses asimilasi/naturalisasi pada tanggal 14–15 Pebruari 2006 dan tempat akan ditentukan kemudian.
3
Rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang 1) Seluruh pihak menindaklanjuti hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan sebelumnya 2) Perlu dibentuk kelompok kerja (POKJA) Penanganan Konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan Kabupaten/Kota 3) Perlu konsistensi dalam penegakkan dan tindakan hukum secara tegas 4) oleh penegak hukum. Perlu dilakukan identifikasi dan kajian status sumberdaya ikan, musim penangkapan, jumlah armada penangkapan, jenis alat tangkap, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan produksi di wilayah
perairan Selat Makasar oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan 5) Dalam rangka mendukung terlaksananya pengendalian konflik nelayan antar daerah secara cepat dan tepat DKP perlu menyusun Pedoman Umum Penanganan Konflik Nelayan antar Daerah
139
6) DKP diharapkan membuat program modifikasi kapal Purse Seine Pelagis Kecil menjadi kapal Purse Seine Pelagis Besar dan pola pembiayaannya berupa fasilitas pinjaman. 7) Peningkatan teknologi penangkapan untuk nelayan di daerah potensi konflik untuk mengatasi kesenjangan nelayan 8) DKP segera menetapkan aturan penggunaan lampu untuk kapal Purse Seine dan alat tangkap lainnya yang menggunakan lampu sebagai alat Bantu penangkapan Hasil kesepakatan Surabaya dianggap tidak mewaliki nelayan Kotabaru, karena wakil HNSI yang telah ditunjuk untuk mewakili nelayan Kotabaru adalah bukan dari golongan nelayan, tetapi dari pengusaha, sehingga aspirasinya tidak mewakili nelayan sesungguhnya. Dan akhirnya nelayan tetap ngotot untuk tidak mau mengikuti surat kesepakatan yang dibuat.
Adanya kapal purse seine
sebanyak 40 unit masih berada di selat makasar/sekitar perairan Kotabaru membakar amarah nelayan dan melakukan pembakaran kapal purse seine pada tahun 2006. Kawatir konflik akan meluas, maka dilakukan tindak lanjut kesepakatan/ penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar tahun 2007. Pemerintah mengundang nelayan bertemu di Makasar. Pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: (1) dengan menyetop pengeluaran izin baru untuk kapal jenis purse seine (2) mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain. 2) Kasus daerah penangkapan Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik daerah penangkapan disajikan pada Tabel 19. Konflik pada kasus daerah penangkapan sebagian besar dilakukan secara kekeluargaan dan tidak pernah dilakukan secara tertulis karena diselesaikan hanya oleh dua pihak antara individu yang berkonflik. Kesepakatan lokal yang dibuat antara lain adalah: apabila nelayan luar masuk ke wilayah mereka akan diusir, perahu ditenggelamkan dan dirampas. Penyelesaian dapat juga dilakukan dengan cara ganti rugi dengan penyitaan alat tangkap dan perahu.
140
Tabel 19 Status penyelesaian konflik pada kasus daerah penangkapan No 1
2
3
4
Status penyelesaian konflik Nelayan Sungai Dungun melakukan penangkapan ikan di wilayah nelayan Dirgahayu. Konflik diselesaikan secara kekeluargaan (tahun 2002) Nelayan Dirgahayu melakukan penangkapan ikan di wilayah Sungai Dungun. Diselesaikan dengan cara penyitaan alat tangkap dan perahu (tahun 2003) Dilakukan pembatasan jalur penangkapan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) sebagai batas zone pengangkapan ikan, yang difasilitasi oleh DKP Kotabaru. Namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Pengurus INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah (i) pembagian wilayan tangkap (ii) larangan melaut di pulau kapak (tahun 2005) Akhirnya berhenti dengan sendirinya
Teknik resolusi konflik Negosiasi
Negosiasi
Negosiasi
Avoidance
Kesepakatan terhadap pengaturan jalur penangkapan, diatur oleh nelayan dengan pemasangan patok batas, namun digeser secara illegal oleh sebagian nelayan sehingga batas yang ada sudah tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Pendapat lain menyatakan bahwa pembatasan jalur penangkapan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Pengkaplingan wilayah laut yang selama ini dilakukan dianggap oleh sebagian nelayan tidak sesuai dengan sifat open acces. Pengurus INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah (1) pembagian wilayan tangkap (2) larangan melaut di pulau kapak (tahun 2005). Sejak itu konflik berakhir dengan sendirinya sejalan dengan berakhirnya musim utara.
141
3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik terangkum dalam status penyelesaian konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara disajikan pada Tabel 20. Nelayan Sumenep mengambil teripang dan kerang mutiara dengan cara menyelam di wilayah perairan Tanah Laut (Tabanio, Pagatan Besar dan Takisung).
Masyarakat nelayan Tanah laut yang merasa
resah dengan nelayan andon kemudian menahan 5 (lima) unit kapal nelayan Sumenep. Melalui negosiasi antara kedua pihak konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan nelayan Sumenep dilarang melaut di perairan Tabanio dan sekitarnya. Kemudian surat kesepakatan berubah setelah difasilitasi oleh LANAL, kesepakan menjadi “nelayan Sumenep hanya beroperasi siang hari, sedangkan nelayan Tabanio malam hari” supaya jaring nelayan lokal tidak menyangkut pada jangkar nelayan andon. Nelayan Tanah Laut merasa kurang puas dengan kesepakatan yang dilakukan bersama LANAL, kendati jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak LANAL dan dianggap tidak mewakili kehendak nelayan, maka 500 orang nelayan Tanah Laut membuat kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang mutiara. Pada pertemuan tersebut nelayan lokal membuat surat pernyataan yang intinya menolak kehadiran nelayan pencari kerang dan teripang dari Sumenep yang menyebabkan rusaknya habitat dan berkurangnya populasi (tenggiri dan lainnya) yang diajukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Laut. Tabel 20 Status penyelesaian konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara No Status penyelesaian konflik Teknik resolusi konflik 1
5 (lima) buah kapal nelayan Sumenep berhasil ditahan nelayan Tanah Laut. Konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan: nelayan Sumenep dilarang melaut di perairan Tabanio dan sekitarnya (16 April 2007)
Negosiasi
142
Tabel 20 (lanjutan) No 2
3
4
5
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
Negosiasi Surat kesepakatan berubah, nelayan Sumenep hanya beroperasi siang hari, sedangkan nelayan Tabanio malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug bersama Lanal Banjarmasin (18 April 2007) (Kurang puas dengan kesepakatan 18 April maka Surat permohonan 500 orang nelayan Tanah Laut membuat fasiltasi kepada kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap DKP Daerah kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang dari Sumenep (30 April 2007) Kapal nelayan Sumenep masih beroperasi, maka Fasilitasi dilakukan sweeping petugas Polair dan terjaring 12 (duabelas) kapal dengan 12 unit selam disita (8 Mei 2007). Kemudian 4 (empat) unit kapal nelayan Makasar dan Balikpapan di sweeping. Hasil tangkapan (teripang) dan kompresor (alat selam) telah dievakuasi sebagai barang bukti (20 Mei 2007) Konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara Fasilitasi oleh nelayan Sumenep terjadi juga di Kotabaru (tahun 2009) diselesaikan dengan membuat surat pernyataan untuk tidak akan melakukan aktivitasnya lagi yang difasilitasi oleh DKP (tahun 2009)
Melalui DKP Kabupaten Tala melayangkan surat kepada DKP Sumenep perihal keinginan masyarakat tersebut, yaitu: (1) Keberadaan nelayan tersebut tidak bisa diterima oleh nelayan Kabupaten Tanah Laut karena nelayan lokal tidak melakukan kegiatan penangkapan teripang dan kerang (2)Penangkapan kerang mutiara akan membawa dampak rusaknya kelestarian sumberdaya hayati kelautan dan perikanan terutama terumbu karang dan ikan akan punah. (3) Daerah penangkapan kerang mutiara bersamaan dengan lokasi penangkapan (fishing ground) nelayan kabupaten Tanah Laut, sehingga mengganggu atau merugikan kegiatan penangkapan (4) Untuk menghindari terjadinya konflik nelayan andon dengan nelayan Kabupaten Tanah Laut, kiranya nelayan andon tersebut tidak melakukan kegiatan penangkapan kerang mutiara dan teripang di Kabupaten Tanah Laut. (5) Kiranya nelayan andon tersebut agar ditarik dari
143
perairan Kabupaten Tanah laut dalam waktu segera. (6) Terlampir disampaikan surat pernyataan masyarakat pesisir Kabupaten Tanah Laut. Masuknya surat dari Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut tersebut ditanggapi oleh Kadis Kabupaten Sumenep dengan menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1
Sesuai aturan yang tertera pada keterangan andon Kabupaten Sumenep, nelayan andon yang melakukan andon ke daerah lain diharap melakukan hubungan baik dengan nelayan setempat dan tidak merusak ekosistem.
2
Berhubung saat ini timbul keresahan dan nelayan pesisir Kabupaten Tanah Laut karena adanya nelayan Ra’as yang andon ke wilayah pesisir Kabupaten Tanah Laut. Agar keresahan ini tidak menimbulkan konflik yang lebih luas, perlu dilakukan musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat yang mengacu pada UU perikanan No. 31 Tahun 2004 pasal 6 ayat 2 yang berbunyi: ”pengelolaan perikanan nuntuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap
nelayannya, masih belum bisa menyelesaikan konflik. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara. Bertambahnya nelayan andon tersebut bukan hanya berasal dari Sumenep saja tetapi bersasal dari Ra’as, Balikpapan, dan SulSel, akhirnya 12 (duabelas) unit kapal terjaring sweeping petugas Pol Air. Semuanya memiliki surat andon, namun tidak pernah lapor ke Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut. Tindak lanjut dengan masih beroperasinya nelayan pencari teripang dan kerang mutiara tersebut maka dengan difasilitasi oleh DKP Tanah laut melalukan beberapa upaya sebagai langkah resolusi konflik yaitu: 1 Mengadakan pertemuan dan penyuluhan kepada nelayan tentang nelayan andon dan peraturan perundang-undangan bersama-sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kaliimantan Selatan, Kecamatan dan Angkatan Laut.
144
2 Hasil kesepakatan adalah bahwa nelayan Sumenep yang masuk ke perairan Tabanio akan dipulangkan dengan ketentuan tidak boleh masuk lagi ke perairan Tabanio. Nelayan Sumenep diperkenankan beroperasi di Perairan Tabanio dan sekitarnya, jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan lokal. Kesepakatan tersebut juga berlaku bagi nelayan lokal yang ingin melakukan operasi penangkapan ke luar daerah. Berkaitan hal tersebut di atas sambil menunggu musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat maka nelayan Kabupaten Tala melakukan partisipasi terhadap pengelolaan konflik dengan melakukan beberapa kegiatan yang intinya yaitu: (1) melaksanakan perpolisian masyarakat (Polmas) (2) Melakukan patroli di perairan Tanah Laut 4) Kasus lampara dasar Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik lampara dasar
disajikan pada
Tabel 21. Resolusi konflik lampara dasar diselesaikan secara kekeluargaan. Konflik berhenti dengan sendirinya berdasarkan kesadaran masing-masing. Tidak ada kesepakatan tertulis. Dari keterangan responden wakil dari kelompok nelayan selalu berinisiatif untuk menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika mengalami kegagalan, mereka akan menghubungi pihak ketiga (misalnya dari unsur musyawarah pimpinan kecamatan/Muspika) untuk melakukan intervensi. Tabel 21 Status penyelesaian konflik pada kasus lampara dasar No
Status penyelesaian konflik
1
konflik lampara dasar diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak ada kesepakatan tertulis.
2
nelayan lampara dasar tidak beroperasi di fishing ground trammel net.
Teknik resolusi konflik Negosiasi
Aviodance
Dengan berjalannya waktu terhadap perkembangan lampara dasar yang telah mengalami berbagai modifikasi dengan memberikan sayap yang dilengkapi danleno kemudian berkembang lagi dengan mengganti danleno dengan papan
145
layang.
Namun nelayan lampara dasar modifikasi menyadari dan mengerti
untuk melakukan penangkapan tidak di wilayah tangkap tradisional. Akhirnya konflik berhenti dengan sendirinya (avoidance). Semakin lama nelayan pengguna lampara dasar justru semakin banyak dan menyukai penggunaan lampara dasar karena mampu meningkatkan hasil tangkapan. Hingga sekarang semakin banyak nelayan menggunakannya. Hal ini didukung oleh pemerintah dan akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang dianggap dapat mengakomodir keinginan masyarakat nelayan yaitu membolehkan menggunakan lampara dasar modifikasi dengan penambahan papan layang asalkan tidak menggunakan di fishing ground trammel net. Sejak itu konflik berakhir dengan sendirinya (avoidance). 5) Kasus bagan apung Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 22. Resolusi konflik bagan apung
difasilitasi Dinas Perikanan dan Kelautan.
Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi. Apabila terdapat potensi konflik maupun konflik yang mengemuka maka masalah tersebut akan dibahas dalam suatu forum musyawarah kelompok untuk mencari alternatif solusinya Tabel 22 Status penyelesaian konflik pada kasus bagan apung No 1
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik Resolusi konflik bagan apung difasilitasi Dinas Fasilitasi Perikanan dan Kelautan. Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi.
6) Kasus seser modern Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 23. Resolusi konflik nelayan seser dengan difasilitasi oleh PPNS dicapai
146
kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan penangkapan agak ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal. Tabel 23 Status penyelesaian konflik pada kasus seser modern No 1
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik Fasilitasi
Penyelesaian difasilitasi oleh PPNS dicapai kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan penangkapan agak ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal.
Untuk menjamin kesepakatan yang dibuat tersebut tidak akan dilanggar maka pengawasan dan penegakan hukum dilakukan bersama oleh Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu, serta masyarakat pengguna sumberdaya itu
sendiri
yang
terhimpun
dalam
Kelompok
Pengawas
Masyarakat
(Pokwasmas). 7) Kasus gillnet Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik gillnet disajikan pada Tabel 24. gillnet berakhir dengan sendirinya setelah diusir
Konflik
oleh nelayan lokal dan
akhirnya nelayan gillnet tidak berani lagi masuk ke wilayah perairan Tanah laut. Tabel 24 Status penyelesaian konflik pada kasus gillnet No 1
Status penyelesaian konflik Penyelesaian dilakukan dengan cara diusir dan akhirnya berhenti dengan sendirinya
Keterangan Avoidance
8) Kasus penggunaan bom Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik penggunaan bom disajikan pada Tabel 25. Pelarangan dan hukum terhadap penggunaan bom untuk menangkap ikan sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun karena kasus ini belum bisa ditemukan barang bukti maka tidak bisa diselesaikan secara hukum (litigasi).
Dalam upaya pemberantasan penggunaan bom, jajaran Dinas
147
Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan Dirjen Penanganan dan Pengendalian Sumberdaya serta TNI AL menggelar operasi gabungan untuk menangkap sejumlah kapal yang beroperasi menggunakan bom. Tabel 25 Status penyelesaian konflik pada kasus penggunaan bom No 1
2
3
Status penyelesaian konflik Penggunaan bom dilakukan pada terumbu karang yang terdapat di wilayah tanjung kunyit Kotabaru pada (tahun 2005). Tidak bisa diselesaikan karena tidak ditemukan barang bukti Beberapa unit kapal bermesin cepat (sejenis mesin speed boat) yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Kelompok nelayan desa Tabanio melakukan pengejaran tapi tidak berhasil, sehingga tidak bisa di selesaikan karena tidak ada barang bukti (tahun 2007). Secara intensif dilakukan sosialisasi oleh pemerintah daerah, DKP dan pokwasmas
Teknik resolusi konflik Avoidance
Kesulitan yang dialami oleh pengawas yaitu kurangnya fasilitas untuk melakukan pengejaran nelayan pengguna bom. Namun ketika dikejar sudah melarikan diri ke tengah lautan. Dengan melarikan dirinya nelayan pengguna bom, sudah memberikan pertanda kalau nelayan tersebut melarikan diri dan sudah tahu kesalahannya. Konflik ini berakhir dengan sendirinya ketika aparat keamanan (Polairut) melakukan pengawasan secara intensif. 9) Kasus cantrang Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik cantrang disajikan pada Tabel 26. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon Pekalongan telah mendapat protes keras dari nelayan lokal. Berkenaan dengan hal tersebut, pihak Dinas Kelauan dan perikanan Kotabaru sudah mengadakan pertemuan dan koordinasi dengan masyarakat nelayan Desa Hilir Kabupaten Kotabaru bersama pihak Kecamatan dan TNI-AL, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
148
1 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan mengecek ulang dengan melakukan pengawasan ke lokasi kejadian bersama-sama nelayan desa Hilir dan pihak TNI-AL 2 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan melakukan konsultasi hingga ke Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta untuk rekomendasi bisa/tidaknya alat tangkap cantrang beroperasi 3 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru bersama TNI-AL akan menseleksi surat menyurat perizinan mengenai aktifitas penangkapan dari Kab. Pekalongan. 4 Pihak nelayan dari Kab. Pekalongan wajib lapor kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru apabila akan melakukan aktifitas penangkapan di perairan wilayah hukum Kab. Kotabaru. Tabel 26 Status penyelesaian konflik pada kasus cantrang No 1
Status penyelesaian konflik cantrang untuk sementara tidak boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan (Tahun 2009)
Teknik resolusi konflik Fasilitasi
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru, melayangkan surat kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan sehubungan dengan adanya warga nelayan dari Pekalongan Jawa Tengah yang melakukan aktifitas penangkapan dengan alat tangkap cantrang di perairan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru. Berkaitan dengan permasalahan tersebut pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru sudah mengkonsultasikan dengan pihak Dirjen Tangkap di Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta dengan ketentuan alat tersebut belum ada Rekomendasi untuk beroperasi (dilarang). Aktifitas penangkapan ikan dengan cantrang di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Laut.
Alat tangkap cantrang tersebut disita oleh
masyarakat setempat kemudian pihak Dinas Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan TNI AL memberikan pembinaan, diberi peringatan dan apabila kembali lagi akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku
149
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kal-Sel melayangkan surat kepada Kadis Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah sehubungan dengan permohonan izin andon, dengan beberapa ketentuan yang dipersyaratkan yaitu: 1 Tetap mengacu pada UU RI No. 31 tentang perikanan pasal 6 ayat (2) 2 Kep.Men.Tan.
Nomor
392/KPTS/IK.120/4/99
tentang
jalur-jallur
penangkapan Ikan 3 Kep.Men Nomor 19/MEN/2004, tentang pedoman Pengendalian Nelayan Andon dalam rangka Pengelolaan SDI. 10) Resolusi konflik antara pengguna yang berbeda Penyelesaian konflik antara nelayan dengan perusahaan pertambangan diawali dengan melakukan negosiasi dan memberikan bukti tentang kerugian yang dialami oleh pihak nelayan dan bukti bahwa keberadaan perusahaan pertambangan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Akar permasalahan konflik yaitu ditemukannya batu diluar area kerja, perlu diverifikasi dengan cara dibuatkan foto bawah laut, dibuat berita acara temuan batu dengan melengkapi jenis batuan estimasi volume batuan dan koordinat lokasi. Kemudian dilakukan koordinasi dengan
pemda, pengawas, WALHI dan INSAN atas temuan
tersebut. Jika batuan tersebut merupakan sisa buangan batu hasil dregging, maka data-data diatas digunakan dalam pengambilan keputusan oleh ITP atas rekomendasi pihak-pihak yang terkait. Dengan adanya temuan batu di Blok I oleh nelayan dan untuk menyikapi usulan dari nelayan terhadap mekanisme penggantian kerusakan alat nelayan yag bekerja disana, maka dimintakan kepada kontraktor untuk membuat skedul pengecekan ulang seluruhnya blok I sebagai langkah awal atas maintenance periodik untuk blok I (dengan asumsi adanya arus yang kuat mengakibatkan batu muncul karena lumpur tergerus arus) Jalur/alur buangan tetap harus dilakukan pengecekan dan dituangkan dalam berita acara dan untuk buangan batu ke dumping area harus selalu diawasi dan
melibatkan
seluruh
(Kontraktor/pengawas)
unsur
pengawas
yang
ada
didalam
tim
150
Pemda Kotabaru memberikan regulasi Nomor 30 tahun 2004 tentang larangan aktivitas pertambangan batubara di pulau Laut Kabupaten Kotabaru mengingat pentingnya melindungi dan melestarikan Pulau Laut sebagai Miniatur hutan tropis dunia dan besarnya jumlah penduduk yang berada di Pulau Laut sangat tergantung pada kondisi alam dan kelestariannya. 4.4.2 Pemetaan institusi penyelesaian konflik Pemerintah dan pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah rencana dalam menyelesaikan konflik.
Tiap konflik mempunyai kekhasan
masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik. Pemetaan instutusi penyelesaian konflik merupakan
suatu
cara
untuk
menggambarkan
contoh
secara
grafis,
menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penyelesaian konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. (1) Kasus purse seine Keterkaitan antar stakeholders pada kasus purse seine dijelaskan pada peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine (Gambar 35). Pelaku utama konflik pada kasus purse seine adalah nelayan mini purse seine (Kotabaru) yang semi modern, berorientasi substensi dan pasar lokal dengan nelayan purse seine (Jawa Tengah) yang lebih modern dan berorientasi industri. Perseteruan antara kedua nelayan tersebut menyebabkan hubungan yang tidak harmonis (konflik sekunder) antara DKP (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), aparat hukum, organisasi nelayan serta
industri perikanan. Konflik sekunder
antara nelayan purse seine dengan DKP Pusat (sekarang KKP/Kementrian Kelautan dan Perikanan) karena telah memberi izin melakukan penangkapan di sekitar perairan Kotabaru, akibatnya nelayan mini purse seine Kotabaru merasakan ketidakadilan terhadap tindakan Dinas perikanan yang berpihak kepada nelayan purse seine Jateng.
151
HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) merupakan tenaga pendamping masyarakat, namun
karena keberpihakannya saat melakukan
persetujuan bahwa nelayan purse seine tetap bisa beroperasi di perairan sekitar Kotabaru maka terjadi konflik sekunder antara nelayan Kotabaru dan HNSI KalSel.
Keberadaan DPRD dan aparat yang terkesan lamban bertindak sampai
akhirnya terjadi unjuk rasa dan pembakaran kapal. Setelah konflik terbuka dan berdampak kekerasan dan kerugian besar, baru dilakukan tindak lanjut penyelesaian yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam konflik ini melibatkan stakeholder secara lebih luas seperti TNI AL, Polairud, Polsek dan Polres di pihak pemerintah dan LSM serta organisasi masyarakat yang dengan kekuatan moral merupakan upaya mandiri untuk mengatasi kerusakan laut dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan. +
DKP Jateng
KKP
+
+
+
+
A DKP Kalsel
+
Industri perikanan
+ POKMAS WAS
C
DPRD
+ INSAN
+ +
+
AMNES
+ + +
+ HNSI
+
B
+
+ TNI AL
+
+
Pedagang pengumpul
+ Polair
+
Keterangan: A : nelayan purse seine (teknologi tinggi) B : nelayan mini purse seine (teknologi menengah) C : nelayan tradisional
Gambar 35 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine
152
(2) Kasus daerah penangkapan ikan Konflik pada kasus daerah tangkap merupakan konflik sesama nelayan lokal yang terjadi di Kabupaten Kotabaru yang pada umumnya dilakukan oleh nelayan yang masih tradisional dan berorientasi substensi. Konflik utama terjadi antara nelayan di Kecamatan Pulau Sebuku antara lain desa Sungai Dungun dengan Kecamatan Hilir Muara antara lain desa Rampa dan desa Dirgahayu (Gambar 36).
Konflik sekunder terjadi antara organisasi nelayan (INSAN)
dengan Dinas perikanan yang telah menyetujui pembagian wilayah tangkap. Aksi demonstrasi INSAN ke Dinas Perikanan dan Kelautan dengan tuntutan pencabutan patok batas diperairan Selat Sebuku dan dihentikannya tindakan kekerasan oleh nelayan Sungai Dungun, kemudian INSAN mendesak dinas Kelautan dan Perikanan untuk secepat mungkin mempertemukan INSAN dengan kelompok nelayan Sungai Dungun, Pantai dan Senakin. Selain itu Dinas perikanan dituntut harus tegas dan mau mengganti kerugian kapal yang tenggelam serta alat tangkap yang rusak.
+
DKP Kalsel
+ +
A DKP Kotabaru
+
+
+
Pedagang pengumpul
+
+
POKMAS WAS
DPRD
+
+
+
INSAN
B +
+
TNI AL +
+
Polair
Keterangan: A : Nelayan Kecamatan Pulau laut Utara dan sekitarnya (Kotabaru) B : Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan sekitarnya (Kotabaru)
Gambar 36 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus daerah penangkapan ikan
153
Dinas Perikanan menyetujui pembagian wilayah penangkapan dengan harapan nelayan lampara dasar atau sejenisnya tidak bisa beroperasi di wilayah Kecamatan Pulau Sebuku (daerah penangkapan 4: Zona Pemancingan - Sungai Dungun - Pulau Manti - Sungai Bali -Tanjung Lita) dan Selat laut (daerah penangkapan 2: Zona Pulau Simbangan - Tanjung Tamiang-Sekandis - Talusi Tanjung Semelantakan - Rampa - Cengal - Sesulung -Tanah Merah - Separe Kecil -Separe Besar) (lihat Gambar 15) yang diperuntukkan untuk nelayan tradisional. Namun yang terjadi adalah sebaliknya menimbulkan konflik terbuka dan berdampak pada kekerasan fisik, intimidasi, perusakan dan penenggelaman kapal. Upaya penyelesaian konflik tersebut sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah terutama polsek/polres, kemudian dilakukan pengarahan oleh Kapolres agar masyarakat nelayan dapat melaut dengan aman, nyaman, dan hasil memadai. Nelayan tradisional dalam upaya memperjuangkan hak mereka memilih melakukan aliansi dengan pihak luar, dalam hal ini lembaga non pemerintah seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). Dengan kekuatan moral dan sebagai pemerhati lingkungan hidup
WALHI turut berpartisipasi
dalam memberikan perhatian dan sangat menyangkan adanya dampak kekerasan yang telah terjadi. Pada tahun 2005 dalam penyelesaian konflik daerah tangkap, WALHI bersifat sebagai pendamping ikut berdiskusi untuk membahas berbagai penyelesaian konflik daerah penangkapan di Kotabaru. (3) Kasus perburuan teripang dan kerang mutiara Konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara merupakan konflik antar provinsi.
Konflik utama terjadi antara nelayan dari Kabupaten
Tanah Laut yang melakukan penangkapan ikan tidak mengambil teripang dan kerang mutiara dengan nelayan pemburu teripang dari Jawa Timur, Sulawesi dan Kalimantan Timur yang berorientasi ekspor (Gambar 37). Dengan kekuatan otoritas yang dimiliki oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan, mereka memberikan surat izin andon dan memberikan hak untuk melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut.
Konflik ini melibatkan
banyak stakeholder diantaranya adalah polsek dan polres yang berkepentingan sebagai penegak hukum karena nelayan pencari teripang dianggap melakukan
154
perusakan karang dan menggunakan bahan kimia beracun dan berbahaya walaupun hal tersebut tudak dapat dibuktikan. Konflik sekunder terjadi antara nelayan Kabupaten Tanah Laut dengan TNI AL karena dianggap membekingi nelayan pemburu teripang. +
DKP Jatim
+ DKP Sulsel
+
+
DKP Kaltim
A
+ Eksportir perikanan
KKP
+
+
+
POKMAS WAS DKP Kalsel
Pedagang pengumpul
+ +
+
+ +
DPRD
+
B
+
+
+
+
Polsek, Polres
+ Polair
TNI AL
+
Keterangan: A : nelayan pemburu teripang B : nelayan Kalsel
Gambar 37 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus pengambilan teripang
(4) Kasus lampara dasar Pelaku utama konflik pada kasus lampara dasar terjadi antara nelayan tradisional yang masih bersifat substensi dengan nelayan lampara dasar yang sudah melakukan modifikasi alat tangkap (Gambar 38). Konflik sekunder terjadi antara nelayan tradisional dengan Dinas Perikanan yang telah memberikan izin terhadap penggunaan lampara dasar yang telah terjadi modifikasi alat menyerupai
155
trawl dengan menggunakan danleno untuk membuka sayap dan mengeruk dasar perairan. +
DKP Kalsel
DKP Tala
+
+ +
Pedagang pengumpul
+
A
+
+
_ + _
Pokmaswas
+
+ Pedagang pengecer
DKP Tanbu
+ DKP Kotabaru
B +
Keterangan: A : Nelayan Nelayan lampara dasar (Kotabaru, Tanah Laut, Tanah Bumbu) B : Nelayan trammel net dan tradisional lainnya B : Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan sekitarnya (Kotabaru)
Gambar 38 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus lampara dasar
Pokmaswas dalam hal ini sebagai jembatan untuk melakukan pengelolaan kolaboratif melakukan aliansi terhadap pengguna lampara dasar dan pemerintah (DKP) serta memahami keinginan pengguna lampara dasar dan keinginan pemerintah.
Lampara dasar akhirnya dapat digunakan dan disetujui oleh
masyarakat untuk digunakan, tapi dengan syarat tidak dioperasikan di wilayah fishing ground nelayan tradisional, Dalam hal ini penggunaan lampara dasar dapat menguntungkan kedua belah pihak dan dapat meningkatkan hasil tangkapan. (5) Konflik gillnet Pelaku utama konflik pada kasus gillnet terjadi antara nelayan andon yang dianggap menggunakan gillnet melebihi kapasitas dengan nelayan gillnet dari Kabupaten Tanah Laut.
DKP daerah selaku pemegang otoritas melarang
penggunaan gillnet yang melebihi kapasitas, sehingga DKP mendukung diusirnya
156
nelayan gillnet dari perairan Tanah laut. dengan sendirinya.
Dengan demikian konflik berakhir
Sebagai tindak lanjut untuk kelestarian sumberdaya
perikanan, Pokmaswas terus melakukan pengawasan terhadap adanya oknum nelayan yang melakukan pelanggaran. Dalam hal ini konflik sekunder terjadi antara DKP dan nelayan gillnet yang melebihi kapasitas (Gambar 39). +
DKP Kalsel
DKP Tala
+
Pedagang pengumpul
A
+
+
-
-
_ Pokmaswas
_+ _
_ +
+
+
+
TNI AL Polair
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan gillnet (andon) B : Nelayan gillnet (Tanah Laut)
Gambar 39 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus gillnet
(6) Kasus bagan apung Pelaku utama konflik pada kasus bagan apung yaitu nelayan bagan tancap dan bagan apung yang terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu (Gambar 40). Pelaku utama tersebut masih sama-sama berorientasi pada substensi, pasar lokal dan nasional. Konflik sekunder terjadi antara nelayan bagan tancap dengan DKP daerah yang terkesan membiarkan penggunaan bagan apung digunakan oleh beberapa nelayan.
Hal tersebut mengundang amarah nelayan bagan tancap
sehingga terjadi penghancuran kapal yang menggunakan bagan apung. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi dengan pemerintah (DKP) dan juga memiliki aliansi dengan nelayan bagan apung, melalui pengelolaan kolaboratif akhirnya nelayan bagan apung menyetujui untuk sementara tidak
157
beroperasi melakukan eksploitasi penangkapan ikan teri dan ikan tembang di Kabupaten Tanah Bumbu.
DKP Kotabaru
+
+
DKP Kalsel
+
A
+ DKP Tambu
+ Pedagang pengumpul
+
-
Pokmaswas
+ +
_ _
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan Bagan apung (Kotabaru) B : Nelayan Bagan Tancap (Tanah Bumbu)
Gambar 40 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus bagan apung
(7) Kasus seser modern Pelaku utama konflik pada kasus seser modern adalah nelayan Kabupaten Tanah Bumbu pengguna seser tradisional yang hanya bertumpu pada tenaga manusia yang cemburu terhadap nelayan pengguna seser menggunakan perahu motor (Gambar 41). Hasil tangkapan kedua jenis alat tangkap tersebut adalah udang rebon yang masih berorientasi substensi yang diolah menjadi terasi atau ebi dan pasar lokal.
158
DKP Kalsel
DKP Tambu
+
Pedagang pengumpul
A
+
_ + _ +
+ +
Pokmaswas
+
Pengolah terasi
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan seser modern (Tanah Bumbu) B : Nelayan seser tradisional (Tanah Bumbu)
Gambar 41 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus seser modern Konflik sekunder terjadi antara nelayan seser tradisional dengan DKP daerah. Nelayan seser tradisional menuntut untuk dilarangnya pengguna seser yang menggunakan perahu motor untuk beroperasi di wilayah pesisir pengguna seser tradisional. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi dengan pemerintah (DKP) dan juga memiliki aliansi dengan nelayan seser melalui pengelolaan kolaboratif untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya perikanan akhirnya nelayan seser modern menyetujui untuk mengoperasikan seser modern agak ke tengah sehingga tidak bertabrakan dengan nelayan seser tradisional saat melakukan penangkapan udang rebon. (8) Kasus penggunaan bom Pelaku utama konflik pada kasus penggunaan bom di perairan Kalimantan Selatan yaitu nelayan andon dan seluruh nelayan dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan (Gambar 42). Adanya cara pandang yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalalkan cara untuk dapat mengasilkan ikan dengan cara yang cepat tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan.
Perseteruan tersebut telah menyebabkan hubungan yang tidak
harmonis (konflik sekunder) dengan berbagai aparat pemerintah seperti Dinas
159
Kelautan Provinsi dan Kabupaten, PPSDA, TNI AL dan Polair serta masyarakat pesisir yang tergabung ke dalam organisasi Pokmaswas.
+ DKP Kotabaru
+
A
+
-
PPSDA
_ + _
+
Pedagang pengumpul
+
DKP Tanbu
DKP Kalsel
+
_ Pokmaswas _ + B +
+ +
_ _
DKP Tala
+
TNI AL, Polair
Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan pengguna bom B : Nelayan tidak pengguna bom
Gambar 42 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus penggunaan bom Nelayan yang bukan pengguna bom melakukan aliansi kepada semua lembaga pemerintah beserta aparat hukum
yang mendukung pemberantasan
illegal fishing terus bekerjasama bahu membahu untuk melakukan pengawasan yang dibantu oleh Pokmaswas. (9) Kasus cantrang Konflik pada kasus cantrang merupakan konflik antar provinsi. Cantrang tidak digunakan oleh nelayan di Kalimantan Selatan, oleh karena itu masuknya cantrang ke perairan Kalimantan Selatan merupakan masalah besar dan menyebabkan kecemburuan nelayan lokal.
Pelaku utama adalah nelayan
Kalimantan Selatan dengan nelayan andon pengguna cantrang (Gambar 43).
160
DKP Jateng
+ DKP Sulsel
+
+ Eksportir perikanan
A
+ KKP
+
+ POKMAS WAS DKP Kalsel
+ Pedagang pengumpul
+ +
+
+ +
DPRD
+
B
+
+
+
+
Polsek, Polres
+ Polair
TNI AL
+
Keterangan: A : nelayan cantrang (andon B : nelayan Kalsel
Gambar 43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus cantrang Nelayan Kal-Sel melakukan aliansi kepada DKP Daerah dan provinsi KalSel untuk menolak beroperasinya cantrang sampai ada kejelasan dibolehkannya cantrang
masuk
ke
perairan
Kalimantan
Selatan.
Pokmaswas
yang
berkepentingan dalam melakukan pengelolaan kolaboratif secara intensif melakukan pengawasan dan segera melaporkan kepada Dinas Perikanan jika cantrang masuk ke wilayah perairan Kalsel.
161
4.4.2 Peran kelembagaan pengelolaan konflik (1) Kelembagaan pemerintah Kalsel secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan baik provinsi maupun kabupaten, demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam.
Keberadaan peraturan-peraturan
tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan diantaranya adalah: 1 Membentuk Pokmaswas Beberapa daerah pesisir mulai membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS). Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta mayarakat maritim lainnya. Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat. POKMASWAS berfungsi sebagai mediator antara
masyarakat dengan
pemerintah/petugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat
maritim lainnya, dapat menjadi
anggota kelompok masyarakat Pengawas. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas perairan laut Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas Desa Kab. Tanah Laut 1 Batakan 2 Kuala Tambangan 3 Muara Asam-asam Kab. Tanah Bumbu 1 Tungkaran Pangeran 2 Wiritasi 3 Sungai Rukam 4 Setarap
Nama Kelompok
Pengukuhan
Anggota
Indah Lestari Batu lima Bina Bersama
2001 2006 2006
140 50 12
Cinta Bahari Manuntung Berkat Bersatu Berkat Usaha
2005 2004 2005 2006
60 20 16 46
162
Tabel 27 (lanjutan) Desa Kab. Tanah Bumbu 5 Muara Ujung 6 Sungai Cuka 7 Angsana Kab Kotabaru 1 Mata Sirih 2 Teluk Gosong 3 Teluk Tengah 4 Teluk Tamiang 5 Lontar Selatan 6 Pantai Kec. Kalumpang Selatan 7 Tanjung Batu 8 Pulau Kerayaan 9 Pantai Kec. Kalumpang Tengah 10 Rajawali
Nama Kelompok
Pengukuhan
Anggota
Bersujud Berdikari Karang Kima
2006 2007 2007
24 22 28
Putra Celebes Berkat Rakat Pelisma Pada idi Pantai Pesisir
2005 2005 2005 2003 2005
20 24 20 12 21
Pantai Kalumpang II Karang Tanjung Lumba-lumba
2005 2005 2004
20 24 10
Pantai Kalumpang I Teluk Sirih
2005 2005
19 12
Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Kal-Sel 2009
Dalam upaya pemberdayan Pokmaswas, sesuai dengan kemampuan pemerintah/Dinas perikanan memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawas secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Bantuan tersebut berupa kamera digital, Hp dan stimulan lainnya berupa kelotok (kapal motor), baju seragam, topi dan atribut lainnya. Selain itu pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS. Satuan pembina SISWASMAS (Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat) memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah menyiapkan tindak lanjut. Jaringan kerja sebagai koordinasi pelaksanaan SISWASMAS disajikan pada Gambar 44.
163
Tingkat Pusat Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Departemen Sekretariat
Tingkat Daerah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Tingkat Kabupaten Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
POKMASWAS Ketua Wakil Ketua Sekretaris Seksi-seksi: (Operasi, Keamanan, Humas)
Gambar 44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS Kegiatan POKMASWAS selain penanganan konflik nelayan yaitu: (1) membantu Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan, patroli atau razia (2) membantu Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menegakkan peraturan bidang perikanan dan memberantas illegal fishing (3)
Melakukan kegiatan
sosialisasi UU No 31 tahun 2004 dan peraturan perikanan (4) Penyebaran leaflet (5) Secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan kelompok. Yang menjadi obyek utama dalam pengawasan Sismaswas yaitu (1) pemanfaatan sumberdaya yang illegal meliputi: (penggunaan bahan peledak, pengguna bahan berbahaya beracun seperti strum, potas, tuba, bom, pengguna alat tangkap yang dilarang seperti arus listrik, trawl, jaring dengan mesh size kurang dari 2,5 cm hampang dengan jarak tertentu, pelanggaran daerah penangkapan (2) pencemaran dan perusakan ekosistem/lingkungan laut misalnya perusakan terumbu karang, hutan mangrove. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan dapat dilakukan secara terus menerus oleh Pokmaswas dan didukung oleh semua pihak, baik oleh aparatur pemerintah (Pengawas Perikanan), Polisi Perairan dan Udara, TNI Angkatan Laut serta Dinas Perikanan dalam melakukan penegakan
164
hukum di laut. masyarakat
Sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis dapat
dilakukan
oleh
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
(POKMASWAS). Jaringan kerja dan mekanisme POKMASWAS disajikan pada Gambar 45. Jaringan kerja
Tindakan
Pokmaswas
Survai lapangan/informasi pelanggaran dalam pengelolaan & pemanfaatan sumberdaya
APARAT
Pelaporan
Penghentian, pemeriksaan, pengejaran
PPNS-PPI-DKP-Satpol-AIRUD-TNIAL-Karantina Melakukan koordinasi Dinas Kabupaten/ Kota/Provinsi, Instansi terkait
Tembusan kepada Dirjend Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Proses penyelidikan & penyidikan
Operasi tindak lanjut
Gambar 45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas Upaya pemberdayaan Pokmaswas, pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan
telah
memberikan
pendidikan/pelatihan/studi
banding
untuk
mengembangkan wasasan anggota pokmaswas ke provinsi lain seperti pulau Jawa, dan Sumatera.
Antusias Pokmaswas yang tinggi untuk melaksanakan
fungsinya dengan baik mendapat perhatian serius oleh pemerintah dengan diadakannya lomba mulai tingkat Kabupaten sampai Ke tingkat provinsi dan mendapatkan penghargaan tertinggi berupa Adi bhakti Mina Bahari yang diserahkan di Jakarta. Pokmaswas dari Kalimantan Selatan termasuk 5 (lima) nominasi terbaik tingkat Nasional.
2 Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat peringatan dan sosialisasi Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan antara pihak yang berkonflik. Dinas Perikanan dan Kelautan memfasilitasi beberapa konflik dan melakukan pertemuan pihak-pihak yang berkonflik seperti pada kasus konflik yaitu:
165
(1) Tanggal 28 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan yang dihadiri oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), DKP Propinsi Kal-Sel, DKP Kabupaten Kotabaru, Koramil, TNI-AL, Tokoh masyarakat dan staf Pemda Kabupaten Kotabaru serta Staf Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di rumah ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kotabaru dengan hasil bahwa nelayan Kotabaru bisa menerima nelayan Purse seine Propinsi Jawa Tengah tetapi tidak menggunakan lampu. (2) Tanggal 31 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan antara DKP Propinsi Kal-Sel, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kotabaru, TNI-AL, Instansi terkait lainnya yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten Kotabaru bertempat di Kotabaru, yang memperoleh kesepakatan sementara (3) Pertemuan stakeholder di Dinas Perikanan dan Kelautan Kal-Sel diikuti DKP Kotabaru, DKP Provinsi Kal-Sel dan DKP Provinsi Jateng (16 Juni 2005). (4) Tanggal 14 Juli 2005 dilaksanakan sosialisasi hasil kesepakatan penyelesaian konflik nelayan Jawa Tengah dan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan dengan hasil bahwa Nelayan Kotabaru menduga kesepakatan dimaksud sudah menjadi ketetapan, sebenarnya ketetapan tersebut itu bersifat sementara yang diberlakukan uji coba selama 3 bulan, sehingga nelayan Kotabaru tidak bisa menerima hasil kesepakatan di maksud. (5) Pertemuan evaluasi
kesepakatan 7 Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi
serta penyempurnaan RPP pelagis kecil laut Jawa di Semarang (21013 Juli 2005) (6) Pertemuan stakeholder di Surabaya diikuti oleh Ditjen PT, Ditjen P2SDKP, DKP Provinsi Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel, Ja-Bar, Ja-Tim, DKP Kota
Balikpapan,
Dinas
Pertanian-Peternakan
dan
Kelautan
Kota
Pekalongan, Wakil PUSKUD Mina Baruna Ja-Teng, DKP Kabupaten Pati, Bagian Hukum Pemkot Balikpapan, Ketua Umum dan Sekjen DPP HNSI, Ketua DPD HNSI Ja- Teng, Ja-Tim, Ja-Bar, Sul-Sel, dan perwakilan nelayan Ja-Teng (asosiasi purse seine Indonesia) (24-25 Januari 2006).
166
(7) Pertemuan stakeholders yang bersifat informal pada tahun 2008 diadakan di Kabupaten Tanah Bumbu dihadiri oleh DKP Tanah Bumbu yaitu (1) kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi (konflik bagan apung ) (2) kesepakatan yang diperoleh bahwa pengoperasian seser modern agak ketengah/tidak bersamaan dengan pengguna seser modern. (8) Sosialisasi, penyuluhan hukum dan peraturan perikanan di beberapa wilayah yang merupakan basis konflik di Kabupaten Kotabaru, Tanah bumbu dan Tanah Laut seperti Pulau laut, Desa Rampa, Kalumpang dan Tabanio. (9) DKP Tanah Laut melayangkan surat kepada DKP Kab. Sumenep untuk menarik Nelayan Andon tersebut dan perairan Kabupaten Tanah Laut dengan surat nomor 532.3/123/PSDH tanggal 24 April 2007 tentang nelayan Andon, perihal keberadaan nelayan andon yang tidak bisa diterima karena melakukan pencarian kerang dan teripang yang tidak dilakukan oleh nelayan Tanah Laut. (10) Dinas
Kelautan Perikanan Tanah Bumbu melayangkan surat
nomor
523.32/1173/XII/2006 kepada DKP Sumenep perihal hasil patroli terhadap nelayan andon yang tidak memiliki surat andon. (11) Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kal-Sel melayangkan surat nomor 523.5/UI/Diskanlut/2009 kepada Dinas Perikanana Kelautan provinsi Jawa Tengah perihal alat tangkap cantrang belum bisa diterima karena masih dalam ujicoba dan belum direkomendasikan. 3 Mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi Pemerintah Kalimantan Selatan, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan beberapa regulasi yaitu: (1) Larangan pengambilan tiram mutiara di wilayah perairan kecamatan Pulau laut Barat, Pulau Laut Selatan dan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru yang tertuang dalam peraturan Bupati Kotabaru No 03 tahun 2006 (2) Pembentukan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan tingkat provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan gubernur Kal-Sel No 188.44/053/KUM/2007
167
(3) Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan SDI (FKKPS) tahum 2004 di Mataram NTB membahas tentang pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan yang disepakati oleh 7 (tujuh) DKP Provinsi (Jateng, Jatim, Sulsel, Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kal bar) (4) Pertemuan dalam rangka apresiasi pengelolaan SDI tentang penanganan konflik nelayan dan optimalisasi pemanfaatan SDI di wilayah perbatasan dihadiri oleh Menteri kelautan dan perikanan dan 100 peserta yang terdiri dari anggota komisi IV DPR, pejabat eselon I dan II lingkup DKP, Komisi Nasional
Pengkajian
SDI,
MPN
(Masyarakat
Perikanan
Indonesia),
GAPPINDO (gabungan pengusaha perikanan Indonesia), ASTUN (Asosiasi Tuna Indonesia), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Direktur Perjanjian Internasional-Departemen Luar Negeri, Direktur Kepolisian Perairan Kepolisian RI, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), JICA (Fisheries Expert dari Japan Internasional Cooperative Agency) dan SEAFDEC (Southeast Asian Fisheries Development Center) Bangkok, BBPPI (Balai Besar Pengembangan Penangkakapan ikan), para pakar perikanan dan wakil dari perguruan Tinggi IPB serta Dinas kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten (Hotel Le Grandeur Jakarta 14-16 Agustus 2007). (2) Lembaga formal lainnya Lembaga
formal
yang
selama
ini
diharapkan
dapat
membantu
menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairut dan TNI AL, dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan, seperi pada kasus purse seine, pengambilan teripang dan kasus cantrang. Pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan sudah mengikutsertakan lembaga formal yang ada yaitu PPNS, namun ketersediaan personilnya masih dirasakan kurang ketersediaanya. (3) Kelembagaan non pemerintah Kelembagaan lokal (non pemerintah) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan.
Kelembagaan non pemerintah yang ikut membantu
168
nelayan dalam penanganan konflik di Kalimantan Selatan diantaranya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan), INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan). Keberadaan kelembagaan non pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang peduli dan khawatir akan semakin menurunnya hasil tangkapan. Kelembagaan non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kalimantan Selatan memang sudah ada, hal ini memperkuat posisi dan menyeimbangkan kekuatan nelayan di Kalimantan Selatan. Pola kebiasaan masyarakat yang mencerminkan kerjasama yang sudah melembaga merupakan dasar yang kuat untuk menerapkan pendekatan bottom-up yang dapat mempertemukan aspirasi pemanfaatan sumberdaya dan keinginan pemerintah dengan melibatkan stakeholder. Pola kebiasaan yang umum terdapat di semua desa pesisir Kalimantan Selatan yang merupakan tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan. Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan.
Keberadaan tradisi leluhur yang
bernuansa kearifan lokal merupakan stok kapital bagi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) merupakan varian pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu masyarakat dalam interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan lokal bersifat rinci, kaya dan spesifik sebagai hasil akumulasi pengalaman-pengalaman lokal yang bersifat unik. Keberadaan kelembagaan lokal dapat dikembangkan melalui pendekatan CBRM (community based fisheries management) yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau teknologi modern.
169
4.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konstruk laten dengan confirmatory factor analysis.
Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk
menguji apakah konstruk laten dari masing-masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Model SEM yang telah dibuat dilakukan modifikasi.
Dalam suatu penelitian sering
terjadi beberapa faktor tidak secara eksplisit dapat dibuat model, karena tidak semua teori bisa dikembangkan mencapai spesifikasi model secara sempurna. Revisi model melalui suatu modifikasi dilakukan dengan melihat covarian modification indices. Nilai modification indices (MI) pada covarian diharapkan akan menurunkan nilai chi-square jika covarian dari indikator-indikator tersebut dikorelasikan. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengkorelasikan variabel yang mempunyai nilai modification indices lebih besar sehingga terjadi substitusi nilai covarian ke dalam persamaan lain dengan memecah dua persamaan yang dapat menurunkan nilai chi-square untuk memenuhi goodness of fit. Berikut ini disajikan evaluasi tingkat kecocokan keseluruhan model. Evalusi terhadap tingkat kecocokan data dengan model yang terdiri dari (1) ukuran kecocokan absolut (absolute fit measures) (2) ukuran kecocokan inkremental (incremental fit mneasures) (3) ukuran kecocokan parsimoni (parsimonious fit measures) (4) ukuran kecocokan lainnya (other GOFI). Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model Kriteria Chi-Square (χ2) Probability (p) X2/df GFI AGFI CFI NNFI RMSEA PGFI IFI CN
Cut off Value Diharapkan kecil > 0,05 < 2,00 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 < 0,08 > 0,60 > 0,90 > 200
Hasil Model 129,37 0,33 1,051 0,93 0,91 0,89 0,87 0,016 0,67 0,91 234,68
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009)
Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Dapat diterima Dapat diterima Baik Baik Baik Baik
170
Menilai Goodness Of Fit (GOF) suatu SEM secara menyeluruh (overall) tidak dapat dilakukan secara langsung. SEM tidak mempunyai satu uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model, sehingga dapat menggunakan ukuran GOF secara bersama-sama atau kombinasi. Berdasarkan Tabel 28, ukuran kecocokan absolut menggunakan ukuran Chi-Square (χ2), probability (p), GFI (Goodness of Fit Index) dan RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation). Tujuan menguji Chi-Square adalah untuk mengetahui apakah matriks kovarians estimasi dengan kata lain kesesuaian model yang dibangun dengan data yang tersedia, semakin kecil Chi-Square semakin baik model itu.
Probability
menunjukkan kemungkinan peristiwa itu terjadi. RMSE bertujuan untuk mengetahui penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya.
Berdasarkan evakuasi terhadap kecocokan absolut
diperoleh nilai bahwa telah memenuhi syarat (cut off value) tidak terdapat pelanggaran nilai kritis, dengan demikian derajat prediksi model keseluruhan (model structural & pengukuran sesuai dengan data) Ukuran kecocokan inkremental menggunakan ukuran NNFI (Non Normed Fit Index), CFI (Comparative Fit Index), AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) dan IFI (Incremental Fit Index). Nilai CFI dan NNFI berada sedikit di bawah standar yang direkomendasikan (marginal fit), namun jika dilakukan pembulatan dengan menambahkan (0,03 dan 0,01) diperoleh nilai NNFI dan CFI setara dengan 0,90, sehingga sudah memenuhi dan tidak terdapat pelanggaran nilai kritis dan diberi keterangan dapat diterima, sementara nilai AGFI dan IFI sudah memenuhi ukuran kecocokan inkremental. Ukuran kecocokan parsimoni yang ditunjukan oleh nilai Normed Chi Square (X2/df) memenuhi kriteria bahwa model memiliki kehematan tinggi. Kriteria lain dalam melengkapi uji kecocokan model ditunjukan oleh nilai CN (Critical “N”) yang menunjukkan ukuran sampel mencukupi untuk digunakan, sehingga dapat dikemukakan bahwa analisis descriptive statistic menunjukkan bahwa model dapat diterima dan memuaskan. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana kekuatan pengaruh antar konstruk, baik pengaruh langsung, tidak langsung, maupun pengaruh totalnya. Mencermati model sebagaimana ditujukkan
171
pada Gambar 46 dan perbandingan nilai critical ratio (CR) atau t-hitung terhadap nilai t-tabel akan diperoleh pola hubungan antar variabel. Jika nilai CR atau t-hitung lebih besar daripada t-tabel, maka hubungan antar variabel signifikan. Pada nilai α = 5%, diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,96 dengan hasil korelasi antar variabel pada Gambar 46 ditabulasikan pada Tabel 29.
0.92
X1
0.94
X2
0.91
X3
0.35
0.29 0.24
1.00
X4
X5
-0.03
0.48
KONFLIK
X6
0.98
X7
1.00
X8
0.99
X9
0.98
X 10
0.95
X 11
0.83 -0.25
0.59
Y3
0.65
Y4
0.97
Z1
0.54
Z2
0.82
Z3
0.98
-0.18
0.15
OUTCOME
-0.04 0.21
Y2
0.59
0.61 0.63
0.88
0.41
RESOLUSI\
0.30 0.02
1.00
Y1
0.09
0.68
0.14
0.42
-0.23
0.15
0.33
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016 Keterangan: X1 = Ekonomi X2 = Aktor X3 = Oposisi X4 = Isu X5 = Nelayan X6 = Kompetisi
X7 = Tokoh X8 = Stok X9 = Intertest X10= Peraturan X11= Budaya
Y1 = Litigasi Y2 = Negosiasi Y3 = Fasilitasi Y4 = Aviodance
Z1 = Partisipasi Z2 = Keberlanjutan Z3 = Keadilan
Gambar 46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi
172
Tabel 29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap Koefisien Model t-hitung Keterangan Jalur X1 0.29 2.98 Significant X2 0.24 2.46 Significant X3 0.30 3.09 Significant X4 0.02 0.19 Tidak significant X5 -0.03 -0.32 Tidak significant X6 0.61 5.38 Significant KONFLIK 0.15 X7 1.60 Tidak significant X8 -0.04 -0.42 Tidak significant X9 0.09 0.93 Tidak significant X10 0.14 1.39 Tidak significant X11 -0.23 -2.27 Significant Y1 0.35 2.92 Significant Y2 0.41 4.33 Significant RESOLUSI Y3 0.59 4.50 Significant Y4 -0.18 -2.00 Significant Z1 0.68 3.72 Significant Z2 0.42 4.01 Significant OUTCAME Z3 0.15 1.54 Tidak significant KONFLIK RESOLUSI 0.48 2.80 Significant RESOLUSI OUTCAME 0.59 2.85 Significant Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009)
Dalam hal pengaruh langsung variabel penyebab konflik (KONFLIK) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) dan variabel (OUTCOME) pada kasus konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Variabel (KONFLIK) dengan nilai koefisien path 0,48 dan nilai CR (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2,80 yang > (lebih besar) dari
nilai
t-tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar
berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI).
173
Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. 2 Variabel (RESOLUSI) dengan nilai koefisien path 0,59 dan nilai CR (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukan angka 2,85 yang > dari nilai t-tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel (OUTCOME). Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan stakeholder dalam memilih teknik resolusi konflik yang tepat berpengaruh langsung terhadap peningkatan outcome. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan responden menentukan teknik resolusi konflik yang digunakan maka mendukung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
9.24
X1
9.50
X2
9.17
X3
10.00
X4
2.98
2.92
2.46
4.33
RESOLUSI\
3.09 0.19
9.99
X5
4.82
X6
9.80
X7
-0.32 5.38
2.80
KONFLIK
9.99
X8
9.93
X9
9.89
X 10
9.46
X 11
8.02
Y2
8.50 -2.96
Y3
5.05
Y4
9.80
Z1
3.24
Z2
7.92
Z3
9.84
-2.00 2.85
1.60 -0.42
3.10
4.50
Y1
OUTCOME
0.93
3.72
1.39
4.01
-2.27
1.54
4.65
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016
Gambar 47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t-hitung
174
4.5.1 Faktor penyebab konflik Variabel penyebab konflik (KONFLIK) dikonstruk dari 11 (sebelas) indikator, namun yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) ada 5 (lima) indikator yaitu: indikator X1 (ekonomi), X2 (aktor), X3 (oposisi), X6 (kompetisi) dan X11 (budaya) masing masing memiliki nilai louding (bobot pengaruh) 0,29; 0,24; 0,30; 0,61 -0,23, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Komponen penting dari faktor penyebab signifikan terhadap resolusi konflik Faktor yang Komponen penting yang berpengaruh berpengaruh dan nilai terhadap Resolusi Critical Ratio konflik Faktor Penyebab 1 Kompetisi (0,61) konflik 2 Oposisi (0,30) 3 Ekonomi (0,29) 4 Aktor (0,24) 5 Budaya (-0,23)
konflik yang berpengaruh Dampak terhadap Faktor penyebab konflik yang dipengaruhi Resolusi 1 Litigasi 2 Negosiasi 3 Fasilitasi 4 Avoidance
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009) Berdasarkan Tabel 30 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah laten faktor penyebab konflik yaitu: indikator kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya dalam pemanfaatan sumberdaya memberikan kontribusi terbesar kepada faktor penyebab konflik. (1) Kompetisi Persepsi masyarakat terhadap kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya dengan nilai loading 0,61 dengan thitung (5.38) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi masyarakat terhadap persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Kalimantan Selatan terjadi kompetisi baik antar sesama nelayan lokal maupun nelayan lokal dan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam penggunaan alat tangkap
dan sumberdaya di wilayah penangkapan (fishing
ground). Adanya sebagian nelayan yang cenderung memanfaatkan sumberdaya secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
175
kepentingan kelompok lain. Seringnya terjadi kompetisi penggunaan teknologi yang lebih tinggi akibatnya masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing. Kompetisi
dalam
penelitian
ini
merupakan
dimensi
sumberdaya,
berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat, dimana terjadi kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya seperti kompetisi dalam penggunaan teknologi alat tangkap
dan
perebutan
lokasi
wilayah
penangkapan
(fishing
ground).
Memperebutkan sumberdaya perikanan bukan persoalan yang mudah. Terdapat kecendrungan yang besar bahwa pengoperasian peralatan tangkap yang lebih canggih, semakin memperderas arus keserakahan perikanan sehingga berdampak serius terhadap kelestarian sumberdaya. Kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkaitan dengan perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya ikan maupun kebijakan yang diterapkan. Pengelolaan sumberdaya ikan yang terpenting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa pengelolaan perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. (2) Oposisi Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pihak yang bertolak belakang dengan nilai loading 0,30 dengan thitung (3.09) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan keberadaan pihak yang bertolak belakang dalam pemanfaatan sumberdaya dapat memicu terjadinya konflik. Oposisi dalam hal ini yang berkaitan dengan antagonistik dimana banyak pihak yang sejalan dan bertentangan terhadap persetujuan atau resolusi yang dilakukan. Oposisi bisa terjadi terhadap pihak-pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam konflik. Dalam masyarakat nelayan terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai rendah. Perbedaan tersebut
176
antara lain dalam usaha penangkapan seperti juragan/usahawan dan ABK, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, organisasi pemerintah dan non pemerintah Dalam keadaan tersebut beragamnya posisi dan sosial masyarakat sangat memungkinkan adanya pihak oposisi dalam masyarakat pantai. (3) Ekonomi Persepsi masyarakat terhadap kondisi perekonomian masyarakat dengan nilai loading 0,24 dengan thitung (2.46) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian masyarakat dapat memicu terjadinya konflik. Hal ini dilihat pada persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi dan keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan dan adanya resesi ekonomi yang berkepanjangan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantantan Selatan dapat dilihat pada usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Nelayan tradisional seperti nelayan lampara dasar, trammel net dan sejenisnya dengan masa kerja sekitar 1525 hari dengan biaya operasional per bulan sekitar Rp 1.700.000,- per bulan. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan ikan sekitar 20 liter. Rerata penghasilan bersih Rp 84.585 setiap melaut/per orang. Namun dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak ditambah harga peralatan baik jaring maupun suku cadang mesin juga mengalami kenaikan sementara harga penjualan hasil-hasil tangkap nelayan sejak tahun 2004 sampai sekarang tidak mengalami kenaikan. Maka rata-rata pendapatan bersih nelayan Rp 84.585 bahkan bisa turun menjadi Rp. 32.220 setiap melaut dengan semakin meningkatnya konflik. Sementara nelayan lain dengan usaha perikanan mini purse seine dan gillnet lingkar dengan biaya operasional sekali melaut sebesar Rp 4.000.000,- sampai 5.000.000,-.
Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas
penangkapan ikan sekitar 4500 liter atau 2 drum. Rerata pendapan nelayan sebesar Rp.10.000.000,- sampai Rp.15.000.000,- per bulan. Pada saat terjadi konflik pendapatan menurun yaitu hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.612.125,- sampai 7.850.491,- per bulan.
177
Persepsi terhadap kondisi perekonomian masyarakat nelayan merupakan pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Kemiskinan dan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut seringkali mengakibatkan masyarakat melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya. Sehingga
semakin
tinggi
ketergantungan
masyarakat
karena
kondisi
perekonomian maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya konflik. (4) Aktor Persepsi masyarakat terhadap aktor dengan nilai loading 0,24 dengan thitung (2.46) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sedikitnya pihak yang terlibat dapat memicu terjadinya konflik. Aktor dilihat berdasarkan persepsi responden terhadap terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik dan kemudahan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik . Pihak yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap sangat bervariasi tergantung pada skala konflik yaitu mulai dari konflik tingkat desa, kabupaten dan provinsi. Untuk konflik antar provinsi seperti pada kasus pengambilan teripang antara lain terdiri dari nelayan andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim, nelayan lokal dari Tanah Laut, DKP pusat dan Daerah, TNI AL dan Polair. Untuk konflik tingkat desa lebih mudah dilakukan identifikasi dan inventarisasi dibandingkan konflik tingkat provinsi atau nasional. (5) Budaya Persepsi masyarakat terhadap latar belakang budaya dan adat dengan nilai loading -0,23 dengan thitung (2.27) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang budaya dan adat dapat memicu terjadinya konflik. Namun karena di wilayah pesisir Kalimantan Selatan sudah beradaptasi dengan berbagai budaya dari berbagai etnis maka terjadi pengaruh yang negatif. Tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam adat.
Bagi masyarakat nelayan atau pesisir,
terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan.
178
Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan. Interaksi etnis yang berkembang di perisisr Kalimantan Selatan terdiri dari Bugis, Banjar, Jawa, Madura, Mandar, Bajau, Bone, Bali dan Thionghoa (Tabel 31) Tabel 31 Persebaran etnis/suku yang mendiami wilayah pesisir Kal-Sel No Wilayah Pesisir Etnis/suku 1 2
Tanah Laut Kotabaru 1 Pulau Laut bagian Utara 2 Pulau Laut Bagian Timur 3 Pulau Laut Bagian Selatan 4 Pulau Laut Bagian Barat
5 Pulau Laut Bagian Tenggara 3 Tanah Bumbu Sumber: Data primer diolah
Bugis, Banjar, Jawa, Madura Bugis, Mandar, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Bone, Banjar, Jawa, Thionghoa Bugis, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bali
Upacara adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan sumberdaya alam yaitu: (1) upacara selamatan laut, yang dilaksanakan setiap tahun sekali, tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah yang tujuannya untuk syukuran dan selamatan atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Disamping itu dilakukan juga (2) upacara selamatan setiap masyarakat nelayan mau berangkat melaut (3) Upacara “Balatif” yaitu upacara yang dilakukan oleh warga pesisir di Kabupten Tanah Laut untuk menolak bala baik berupa bencana alam atau penyakit pada waktu bulan safar. Caranya dengan berlari-lari kecil sekeliling kampung sambil mengucapkan dzikir kepada Allah SWT (4) Aturan lokal bahwa setiap hari Jum’at nelayan tidak boleh pergi menangkap ikan setelah jam 10.00 wita. Jika melakukan hal itu, maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai denda sebesar Rp. 1.000.000,- dan jika tetap melakukan maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai sangsi tidak akan diurus penduduk saat meninggal. Selain upacara-upacara tradisional yang dipengaruhi oleh ajaran agama, masyarakat daerah pesisir juga menyelenggarakan upacara tradisi lainnya. Erat kaitannya dengan kegiatan penangkapan di laut, sebagian masyarakat nelayan merasa perlu memberi ”makan” kepada laut, agar mereka terhindar dari amukan badai dan memperoleh hasil tangkapan yang banyak pada tahun berikutnya.
179
Upacara yang disebut ”Mappanretasi” ini juga dimaksudkan untuk menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara tersebut dilaksanakan setiap bulan April.
Upacara Mappanretasi sebagai puncak persembahan ke laut ini
dilaksanakan oleh penduduk nelayan di beberapa Pulau Laut dan Pagatan yang kebanyakan berasal dari Bugis.
Sebelum acara puncak, yakni acara sakral
pemberian makanan ke laut, masyarakat menyelenggarakan pertunjukan kesenian tradisional, seperti Masukkeri (seperti seni rebana). Selain upacara mappanretasi terdapat juga upacara yang diselenggarakan oleh umat Hindu yang berasal dari etnis Bali. Setiap menjelang nyepi semua etnis Bali di seluruh pesisir Kalimantan Selatan berkumpul di perairan pantai Sungai Loban Tanah Bumbu, pantai tersebut mereka berinama ”pantai Bali”. Mereka membawa berbagai simbol keagamaan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dan sesaji ke pantai untuk dipersembahkan dalam ritual ”melasti.” Ribuan umat Hindu berkumpul di pantai, perempuannya mengenakan saput dan kamben dengan selendang melilit pinggang dan rambut disanggul berhias bunga segar. Sedang laki-lakinya berbusana dominan putih, selain memakai saput dan kemben yang berfungsi seperti sarung juga menggunakan udeng atau ikat kepala. Bagi yang tidak bisa ke pantai atau laut, bisa melarutkan sesaji ke sungai atau air mengalir dan sumber air. Ritual ini bertujuan untuk menyucikan diri (buana alit) dan menyucikan alam semesta (buana agung). Dilanjutkan tawar Kesangeh setelah selama satu tahun mengambil kekayaan alam semesta, saatnya manusia membayar (nawur) untuk menyeimbangkan alam semesta. Kaitannya dengan tri hita karana, yakni menghormati alam semesta, sesama manusia dan Tuhan. Berdasarkan analisis SEM terdapat beberapa indikator peubah laten faktor penyebab konflik yang tidak signifikan pengaruhnya yaitu: indikator isu yang berkembang di masyarakat, ketersediaan stok, adanya keinginan tertentu dalam masyarakat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum.
180
(6) Isu yang berkembang di masyarakat Persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi tidak berpengaruh signifikan sebagai faktor penyebab terjadinya konflik. Masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan tampaknya sudah dapat memaknai kondisi nyata yang terjadi di masyarakat, adanya isu harus diyakini terlebih dahulu, kebenaran isu memang membutuhkan proses yang panjang untuk dapat dibuktikan. Dalam menindak lanjuti isu yang berkembang, masyarakat lebih menghendaki tidak mau adanya kesalahan dan harus dilakukan urun rembuk bersama warga masyarakat. (7) Keberadaan tokoh dalam konflik Tokoh dalam masyarakat erat kaitannya dengan adanya pelapisan sosial di masyarakat. Pelapisan sosial yang terjadi didasarkan atas keadaan ekonomi dan jabatan formal yang diemban oleh yang bersangkutan. Tokoh yang dianggap berpengaruh yaitu pemimpin formal (kepala desa) dan pemimpin informal (para punggawa atau pemilik modal). Pola pengambilan keputusan biasanya dilakukan melalui para punggawa, karena setiap anggota akan lebih patuh kepada para punggawanya, sehingga proses pengambilan keputusan berpusat kepada pemimpin informal. Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan tampaknya sudah dapat berfikir kritis yang tidak mau patuh begitu saja terhadap tokoh masyarakat. Sehingga keberadaan tokoh masayarakat tidak berpengaruh signifikan dalam meredam konflik, dengan kata lain tingkat kepatuhan masyarakat tidak bisa mengandalkan kepada tokoh masyarakat, sekalipun tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat.
Dalam menyelesaikan konflik, pola pengambilan
keputusan dilakukan melalui piranti musyawarah dan dialog antara perangkat desa dan dan masyarakat, namun munculnya emosi yang kuat dapat mendorong masyarakat melakukan tindakan kekerasan seperti pembakaran kapal atau aksi demontrasi perusakan yang tidak bisa dicegah oleh tokoh masyarakat. (8) Jumlah nelayan Persepsi responden tentang bertambahnya jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik tampaknya tidak berpegaruh nyata sebagai faktor penyebab
181
konflik. Jumlah nelayan yang terdiri dari nelayan lokal dan nelayan andon sejak dahulu tidak pernah berkurang. Profesi sebagai nelayan di Kalimantan Selatan terwujud oleh keturunan dari generasi ke generasi dan merupakan pencaharian turun temurun, sehingga jumlah nelayan dianggap berkembang secara proporsional. Nelayan lokal pada umumnya merupakan nelayan dengan rutinitas penangkapan ikan harian (one day fishing), daerah operasional di perairan pesisir kurang dari 6 mil dari pantai pemukiman mereka. Sementara nelayan andon yang melakukan kegiatan penangkapan di sekitar perairan Kalimantan Selatan terdiri dari nelayan Kalimantan Timur, Jawa dan Sulawesi yang merupakan nelayan dengan armada besar (purse seine, cantrang, pemburu teripang), memiliki daya jangkau ke perairan dalam dan umumnya melakukan penangkapan ikan dengan sistem menginap. Sebagian besar nelayan andon yang beroperasi di sekitar perairan Kalimantan Selatan tersebut merupakan nelayan
penuh,
artinya
matapencaharian utama.
mata
pencaharian
sebagai
nelayan
merupakan
Berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap,
nelayan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu nelayan pemilik dan nelayan ABK. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri yang dipoerasikan sendiri maupun dengan melibatkan ABK. Nelayan ABK adalah nelayan yang bekerja kepada nelayan pemilik sebagai anak buah kapal. (9) Ketersediaan stok Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan kemurahan hasil alamnya, yakni hasil laut. Oleh karena itu masyarakat nelayan berupaya mempertahankan potensi sumberdaya perikanan dengan melakukan proteksi terhadap nelayan lain yang ingin menguasai sumberdaya perairan yang berada sekitar tempat tinggal mereka. Cara pandang nelayan terhadap ketersediaan sumberdaya biasanya dihubungkan dengan hasil tangkapan. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa berdasarkan data produksi ikan per upaya (CPUE) di perairan laut dalam kurun waktu sepuluh tahun (1999-2008) terus menurun. Penurunan ini lebih diakibatkan dari peningkatan jumlah upaya penangkapan (trip) dari tahun ke tahun yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan laju rekruitmen ikan.
Kondisi ini menyebabkan
182
peluang nelayan dapat menangkap ikan pada lokasi yang biasa menjadi semakin kecil karena keberadaan ikan yang semakin menurun, namun sumberdaya yang tersedia masih cukup untuk diperebutkan dalam bentuk persaingan antar kelompok. (10) Keinginan tertentu dalam masyarakat Adanya kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan bisa muncul dimasyarakat. Kelompok kepentingan yang ada di wilayah pesisir yaitu PKK, Posyandu, kelompok nelayan, remaja mesjid dan para punggawa atau pemilik modal serta tokoh masyarakat atau kepala desa. Pada waktu tertentu terdapat juga adanya kepentingan tetertentu dengan maksud mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut, seperti pengusaha eksternal (pertambangan) atau orang-orang partai, namun hal ini tidak signifikan pengaruhnya sebagai faktor penyebab konflik. (11) Keberadaan hukum dan peraturan perikanan Keberadaan hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah kebayakan bersifat makro dan tidak dapat mengakomodasi keadaan geografis wilayah perairan di Kalimantan Selatan, sehingga peraturan yang ada seperti diabaikan. Dalam hal ini perlu perubahan stuktural terhadap keberadaan hukum dan peraturan perikanan agar keberadaannya berpengaruh nyata dan dapat meredam konflik perikanan tangkap. 4.5.2 Teknik resolusi konflik Variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) dikonstruk dari 4 (empat) indikator yaitu Y1 (litigasi), Y2 (negosiasi), Y3 (fasitasi), Y4 (avoidance) masingmasing nilai louding 0,35; 0,41; 0,59; dan -0,18. yang sumuanya signifikan berpengaruh langsung terhadap variabel pembangunan perikanan (OUTCOME) yang terdiri dari Z1 (partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap), Z2 (pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan) dan Z3 (pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan), sebagaimana yang disajikan pada Tabel 32.
183
Tabel 32 Komponen penting dari faktor yang berpengaruh signifikan terhadap OUTCOME Faktor yang Komponen penting yang Dampak terhadap berpengaruh berpengaruh dan nilai Faktor penyebab terhadap Resolusi Critical Ratio konflik yang konflik dpengaruhi 1 Fasilitasi (y3 = 0,59) OUTCOME RESOLUSI 2 Negosiasi (y2 = 0,41) 1 partisipasi 3 Litigasi (y1= 0,35) (Z1=0,68) 4 Avoidance (y4 = - 0,18) 2 berkelnjutan ( Z2 =0,42) Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009) Berdasarkan Tabel 32 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah latent yang efektif digunakan yaitu semua indikator teknik resolusi konflik yaitu: litigasi, negosiasi, fasitasi, dan avoidance. Nilai loading tertinggi adalah fasilitasi (0,59), hal ini sesuai dengan dengan kondisi empiris yaitu teknik resolusi konflik yang paling sesuai dan paling sering digunakan serta memberikan kontribusi yang besar terhadap efektifitas resolusi konflik di daerah penelitian adalah fasilitasi. Variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) berpengaruh signifikan terhadap variabel pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (OUTCOME), namun indikator yang memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yaitu Z1 (partisipasi masyarakat), dan Z2 (pemahaman terhadap keberlanjutan perikanan tangkap) masing-masing memiliki nilai loading 0,68 dan 0,42. Namun tidak signifikan terhadap Z3 (pemaaahan terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan).