SOSIOLOGI PERTANIAN: Globalisasi Pangan : Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia Budi Widianarko
Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email :
[email protected] Tujuan Pembelajaran 1. Pendahuluan 2. Globalisasi Pangan
3. Dampak Globalisasi Pangan 4. Peluang Pertanian Indonesia Pertanyaan Diskusi
Tujuan pembelajaran 1 2 3
4
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu : Menjelaskan pengertian globalisasi dan sebagai salah satu factor eksternal yang mempengaruhi perubahan social masyarakat pertanian/pedesaan. Mengidentifikasi dan menjelaskan beberapa fenomena terjadinya globalisasi pangan di Indonesia (termasuk di Malang, Jawa Timur) Menyebutkan dan menjelaskan dampak positif dan negative dari globalisasi pangan terhadap : (1) Ketahan Pangan dan pertanian local; (2) Keragaman produk pangan; (3) Keragaman hayati; (4)Keamanan pangan dan lingkungan. Menyebutkan dan menjelaskan pilihan strategi dalam menghadapi tantangan globalisasi pangan untuk memperbesar peluang survival pertanian di Indonesia.
1. Pendahuluan Tata dunia yang dapat memberikan jaminan kesejahteraan hidup kepada segenap anggota keluarga manusia di dunia ini tampaknya masih menggantung sebagai sebuah utopia. Alih-alih terjadi pemerataan kesejahteraan, dari waktu ke waktu dunia justru semakin sarat dengan ketimpangan. Globalisasi sebagai model ekonomi yang mendominasi pengambilan kebijakan global sejak akhir perang dunia kedua telah dianggap gagal oleh banyak pihak (lihat a.l. Kahn, 2002; Moreira, 2002). Secara kelembagaan globalisasi ekonomi diawali dengan kelahiran dua institusi kembar Breton Woods: Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF); yang dilanjutkan dengan pembentukan putaran Uruguay (1985-1994), dan sejak 1995 world trade organization (WTO) (Hodges, 2005). Yang disebutkan terakhir ini beroperasi melampaui batas-batas negara dan masuk ke arena perdagangan global. Mandat dan ideologi utama WTO adalah perdagangan bebas (free trade)
universal
yang mengikat negara-negara
anggota secara hukum. WTO memiliki otoritas untuk mengadili dan menghukum negara anggota yang melanggar.
MODUL
12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Globalisasi mengandalkan kebijakan ekonomi neoliberal atau sering disebut sebagai Washington Concencus. Model ini hadir dalam bentuk kebijakan-kebijakan perdagangan bebas, liberalisasi pasar uang dan modal, deregulasi dan privatisasi. Jantung dari model globalisasi adalah diposisikannya korporasi-korporasi global sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang diyakini akan mampu meneteskan dan menyebarkan kemakmuran ke seluruh warga masyarakat. Namun, scenario indah itu tidak berwujud. Globalisasi justru melanggengkan ketimpangan dan kemiskinan. Kebijakan-kebijakan rezim globalisasi dianggap cenderung mempertahankan kemakmuran di pihak si kaya, membenturkan tenaga kerja tidak terampil dengan yang terampil, mementalkan semakin banyak warga (dislocation) dari kehidupan tradisionalnya, mereduksi akses warga miskin terhadap pangan dan pelayanan sosial yang vital, membatasi transfer pengetahuan dan teknologi ke negara-negara berkembang (Juhasz, 2002). Tidak tanggung-tanggung, lembaga sekaliber Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun telah mengakui kegagalan model ini seperti tertulis dalam laporan pembangunan manusia (Human Development Report) 1966: The new rules of globalization and the players writing them focus on integrating global markets, neglecting the needs of people that markets cannot meet. The process is concentrating power and marginalizing the poor, both countries and people. The current debate is to narrow, limited to the concerns of economic growth and financial stability and neglecting broader human concerns such as persistent global poverty, growing inequality between and within countries, exclusion of poor people and countries and persistent human right abuses. (Anonymous, 1999) Meskipun sejak lahir globalisasi terus menerus dikritik namun implementasinya melalui beragam kebijakan masih sangat mewarnai dunia (Juhasz, 2002). Hingga saat ini, globalisasi masih menjadi arus utama dalam pengelolaan ekonomi Negara dan interaksi ekonomi antarnegara di dunia. Jika dipandang sebagai sebuah proses, globalisasi dapat dipahami sebagai makna reduksi hambatanhambatan bagi pergerakan lintas batas barang, jasa dan modal; meningkatnya aliran komoditi, teknologi, informasi modal finansial, modal distribusi dan pemasaran; serta sampai tingkat tertentu migrasi orang dan tenaga kerja (Kennedy at.al.2004). cirri utama proses globalisasi adalah penyeragaman berbagai praktik dan proses kelembagaan, legal, ekonomi, sosial dan budaya di berbagai negara yang tidak dapat berlangsung serempak. Dalam kaitan itu, Cattels (1998) seperti dikutip Cavalcanti (2004) berkomentar nahwa : ……globalization is not a homogenous process; the ways in which things are globalized differ, as do the globalizers. Lebih jauh, Bouman (1998) dalam Cavalcanti(2004) menegaskan bahwa globalisasi tidak berhasil menghomogenkan kondisi manusia melainkan justru menghasilkan polarisasi. Sebagai salah satu komponen utama jika bukan yang terpenting dalam perekonomian sistem pangan juga sedang menghadapi arus kuat globalisasi. Sebenarnya dalam pangan sistem pangan globalisasi bukan fenomena baru. Globalisasi sistem pangan telah berlangsung stidaknya ratusan tahun yang lalu. Meskipun belum dinamai sebagai “globalisasi” pergerakan sumber pangan tanaman dan hewan telah berlangsung dari dulu (lihat Page 2 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Widianarko, 2005). Dalam perkembanagnnya, kini globalisasi sistem pangan menjadi lebih kompleks karena menyangkut lebih banyak aspek dan sampai tingkat tertentu mengancam sistem pangan lokal. Tulisan ini akan membahas ciri dan dampak globalisasi terhadap sistem pangan dmestik serta mengidentifikasi peluang pertanian Indonesia dalam menghadapi arus kuat globalisasi. 2. Globalisasi Pangan Seperti sudah diungkapkan di bagian depan tulisan ini, globalisasi pangan sama sekali bukan fenomena yang baru. Globalisasi pangan telah berlangsung sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu seiring dengan perpindahan tumbuhan dan hewan sumber pangan sebagai buah pergerakan manusia menembus batas-batas wialayah. Saat ini tidak ada satupun Negara di dunia yang bisa mengklaim telah menghidupi penduduknya dengan pangan yang seratus persen asli setempat. Pergerakan benih anaman dan bibit ternak telah dan terus terjadi sepanjang rentang waktu sejarah peradaban manusia. Sebagai akibatnya proses intoduksi sumber dan bahan pangan berlangsung terus di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks sistem pangan jejak globalisasi secara kasat mata dapat dibaca dari perubahan-perubahan yang berlangsung di sepanjang rantai pangan (food chain) sejak tahap produksi dan pengolahan hingga ke pemasaran dan penjualan produk. Meskipun laju dan derajat perubahan itu bervariasi antar wilayah dan negara, namun sangat jelas bahwa semua negara bergerak ke araha yang sama (Kennedy et al. 2005). Di Indonesia sendiri, kehadiran sejumlah buah dan sayuran segar (fresh fruits and vegetables) dan ratusan item pangan olahan impor di hypermarket hingga ke pasar becek saat ini merupakan sakah satu contoh nyata hadirnya fenomena globalisasi pangan (Widianarko, 2005). Globalisasi mengandalkan dua mantra sakti yaitu liberalisasi dan harmonisasi. Sebagai salah satu subsitemnya, globalisasi pangan juga takluk pada dua mantar itu. Liberalisasi mewujud dalam keterbukaan pasar. Semua hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang harus direduksi dan bahkan dieliminasi demi terbukanya pasar bagi produk-produk impor (McMichael, 1994). Desakan para pemimpin negara barat kepada negara-negara berkembang untuk mengadopsi ideology perdagangan bebas-termasuk untuk sektor pertanian dan pangan sebenarnya adalah sebuah anomali etika. Desakan itu bertentangan dengan praktik mereka sendiri, seperti Amreika Serikat (AS) dan UNi Eropa (UE), yang memberikan subsidi kepada para petani mereka dan memberlakukan tarif kepada produk pertanian yang diimpor. Sebagai ilustrasi, rata-rata subsidi yang diberikan oleh pemerintah AS kepada petani dan pedagang yang menjual jagung ke Filipina besarnya sekitar 100 kali lipat pendapatan seorang petani jagung ke Mindanao. Standar ganda inilah yang menjadi ganjalan perundingan WTO di Doha tahun 2003 dan di Hongkong awal tahun 2006. Prinsip harmonisasi mewujud dalam penyeragaman standar mutu dan keamanan produk pangan. Saat ini, penyeragaman proses, produk dan aturan-aturan pertanian sedang berlangsung dengan intens. Salah satu klausul utama kesepakatan tentang pertanian (Agreement on Agriculture AoA) dalam kerangka GATT 1994, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan tentang sanitary dan phytosanitary dalam rezim WTO, berbunyi “harmonization of sanitary and scientifically justifiable standarts”. Page 3 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Meskipun kesepakatan tentang keamanan pangan ini pasti mengatasnamakan konsumen seluruh dunia, tetapi tetap mencerminkan kemenangan lobi negara-negara maju. Menyikapi kesepakatan itu, negara-negara maju melakukan penyesuaian-penyesuaian regulasi keamanan pangan mereka yang bertitik berat pada pengendalian proses dan pencegahan risiko dalam keseluruhan daur produksi. Konsekuensinya, produsen di negara berkembang harus mencurahkan segala daya upaya untuk melindungi konsumen di negara-negara maju. Pada kenyataannya, prinsip harmonisasi sering menjadi penghambat ekspor produk pangan negara berkembang karena kesenjangan know-how dan peralatan. Sebaliknya produk pangan dari negara maju dnegan mudah melenggang masuk ke pasar negara-negara berkembang. Keadaan ini mngakibatkan apa yang dikenal sebagai paradox keamanan pangan. Decade 1990-an sering disebutsebut sebagai periode yang paling berpengaruh terhadap proses globalisasi pangan. Pada periode tersebut terjadi perubahan radikal dalam sistem ritel pangan berupa pertumbuhan supermarket secara pesat di berbagai penjuru dunia. Selain itu, peningkatan keterbukaan pasar, investasi asing, dan tersedianya teknologi yang lebih baik dalam merunut stok dan pnegiriman pangan juga semakin memaacu arus globalisasi. Bak gayung bersambut, perkembangan itu sangat sesuai dengan apa yang tengah berlangsung di sisi permintaan, seperti semakin meningkatnya urbanisasi, perempuan yang bekerja di luar rumah, akses terhadap piranti pendingin, serta gaya hidup manusia yang makin sedikit gerak. Saat ini, kompetisi untuk meraih pangsa pasar produk pangan cenderung semakin intensif terutama dengan masuknya pemain-pemain baru yang perkasa seperti jaringan restoran siap saji dan supermarket multinasional. Secara langsung, perubahan yang terjadi pada sistem pangan itu mempengaruhi ketersediaan dan akses terhadap pangan melalui modifikasi produksi, sistem pembelanjaan bahan, distribusi dan lingkungan perdagangan pangan. Yang sangat berpeluang menjadi pecundang adalah pasar-pasar pangan tradisional, agenagen kecil dan sampai tingkat tertentu pedagang makanan kaki lima. Supermarket memang secara signifikan menghadirkan produk produk dengan standar mutu dan keamanan pangan yang lebih baik, harga yang kompetitif dan kenyamanan belanja. Sebuah studi di Transkei, Afrika Selatan menunjukkan bahwa hanya dalam waktu sekitar lima tahun saja supermarket telah mampu menarik meyoritas keluarga miskin di sana untuuk berbelanja kebutuhan pangan terutama karena alasan harga dan mutu. Salah satu industri pangan yang dewasa ini juga tengah bergerak menjadi suatu industry global adalah bisnis buah dan sayur segar. Diungkapkan McMichael sejak dekade 90-an telah tejadi pergeseran permintaan dalam konsumsi buah dan sayur global, dari produk-produk olahan ke buah dan sayur segar. Jika sebelumnya manusia hanya mengkonsumsi buah segar secara musiman maka industry buah dan sayur segar telah mampu mengubah pola tersebut, yaitu dengan menghadirkan sayur dan buah-buah off season. Sehingga tercipta kebutuhan buah dan sayur segar sepanjang tahun. Tersedianya teknologi modified atmosphere umur simpan buah dapat dipertahankan lebih lama. Tidak mengherankan, jika pada saat dipajang di pasar-pasar swalayan, apel dari AS telah berumur sekitar Sembilan bulan sejak saat panen. Pemain utama dalam bisnis buah dan sayur segar ini adalah raksasa-raksasa bisnis transnasional yang menjembatani produsen dan pasar. Beberapa pemain besar dalam bisnis ini antara lain Dole, Chiquita, Albert Fischer, Polly Peck dan Del monte. Di Cile salah satu pemasok Page 4 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
terbesar buah dan sayur of season ke Eropa dan Amerika Utara, lebih dari 50 persen ekspor buah dikuasai oleh lima perusahaan transnasional. Distribusi buah dan sayur sangat bersifat padat modal dan padat energi, membutuhkan armada pengangkut berupa truk, pesawat udara dan kapal yang semuanya harus dilengkapi dengan kemampuan pendinginan. Sistem distribusi ini juga dihadapkan dengan tantangan transportasi antar benua yang berjarak puluhan ribu kilometer. Dengan persyaratan yang demikian berat maka tidaklah mengherankan bahwa di dunia hanya sedikit pemain yang dapat berperan dalam distribusi buah dan sayur ini. Dan para pemain besar inilah yang mulai masuk ke pasar Indonesia menembus pasar tradisional dan jaringan supermarket hingga hipermarket. Situasi serupa juga terjadi pada pasar produk pangan olahan di Indonesia. Pada periode 2000-2004, Australia menempati urutan teratas negara pengekspor produk pangan di Indonesia, dengan jumlah produk terdaftar lebih dari 434 produk terdaftar. Dalam daftar 10 besar, Malaysia menempati peringakat kedua dengan 273 produk terdaftar, disusul oleh AS, China, India dan beberapa negara lain. Selain memasukkan produk pangan yang diproduksi di negara lain, liberalisasi pasar juga membuka peluang baru untuk terjadinya pengambilalihan industri pangan lokal oleh perusahaan transnasional, demi merebut konsumen yang setia pada merek-merek produk pangan lokal tertentu. Kecenderungan ini telah berlangsung di berbagai Negara, termasuk Indonesia seperti dipelopori oleh Unilever, Nestle, Danone, Del Monte, dan lain-lain. 3.
Dampak Globalisasi Pangan Menimbang jenis dan derajat perubahan yang ditimbulkannya maka bisa dipastikan bahwa globalisasi
telah menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negative. Pembahasan kali ini dibatasi pada dampak globalisasi pangan terhadap ketahanan pangan dan pertanian lokal, keragaman produk pangan, keamanan pangan, dan lingkungan serta keragaman hayati. 3.1 Ketahanan Pangan dan Pertanian Lokal Salah satu dampak terpenting globalisasi pangan adalah semakin rumitnya penjaminan kecukupan pangan karena semakin terbukanya pasar. Impor menjadi salah satu strategi utama bagi Negara manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Hal tersebut sesuai dengan salah satu premis globalisasi bahwa pasar bebas akan mampu memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen. Dengan tersedianya pilihan konsumen lebih berdaya dan berkuasa, sehingga untuk memberdayakan rakyat pemerintah harus mampu menawarkan lebih banyak pilihan. Tidak ada cara lain untuk menambah pilihan bagi konsumen, kecuali dengan membuka pasar domestik lebar-lebar. Terancamnya ketahanan pangan karena ketergantungan terhadap impor bahan-bahan pangan merupakan biaya yang harus dipikul oleh Negara-negara berkembang. Dalam perkembangannya, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Negara-negara berkembang semakin tergantung pada negara-negara kaya dalam penyediaan pangan. Dalam sejarahnya program bantuan dan ekspor pangan murah serta ekspor teknologi Page 5 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
agribisnis AS semula mendomplengh program bantuan luar negerei AS, termasuk Marshall Plan dan Revolusi Hijau dengan sasaran negara-negara dunia ketiga. Sebaggai contoh, di korea selatan empat perusahaan lokal bermitra dengan perusahaan agribisnis AS, termasuk Ralston Purina dan Cargill mengintroduksikan berbagai teknologi dan model pemasaran ke dalam sistem pangan negara itu. Kehadiran perusahaan joint venture terbukti mampu mendorong peningkatan impor jagung, kedelai, bibit tternak dan berbagai peralatan serta sarana produksi dari AS. Globalisasi berhasil menempatkan AS sebagai salah satu eksportir pangan terbesar di dunia. Pada tahun 1994 saja, ekspor AS telah mencapai 40 persen kedelai, 17 persen beras, dan 33 persen kapas volume yang diperdagangkan di dunia. Indonesia merupakan salah satu importer pangan terbesar bagi AS. Pada tahun 200 total impor kedelai Indonesia dari AS mencapai 1, 2 juta ton berniali sekitar sperempat milliar dollar AS, hampir lima persen total ekspor AS untuk komoditas tersebut dan menempatkan Indonesia sebagai importer kedelai terbesar di dunia.. AS adalah produsen kedelai terbesar di dunia, hampir separuh produksi dunia. AS mengekspor sekitar 50 persen kedelainya ke eropa dan asia, dalam berbagai bentuk. Sekitar 60 persen diekspor untuk produk olahan kedelai, khususnya dalam bentuk minyak dan tepung. Dalam ekspor biji-bijian ini peran perusahaan transnasional tidak bisa dikesampingkan. Pada tahun 1994, hampir separuh dari ekspor biji-bijian AS dikuasai oleh dua perusahaan: Cargill dan Continental. Seperti telah diungkapkan sebelumnya kehadiran supermarket selain memberikan kenyamanan belanja juga telah mendiorong pemasaran produk dengan standar mutu dan keamanan pangan yang lebih baik dengan harga yang kompetitif. Sebagai konsekuensinya produk pangan termasuk buah dan sayur yang dipasarkan harus memiliki mutu, ukuran dan bentuk yang seragam. Perkembangan ini tentu saja member peluang kepada koperasi untj lebih memegang kendali atas pasar pangan. Meskipun kota sering dianggap sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, Nef (1995) dalam Kennedy,et.al (2005) berargumentasi bahwa fenomena hyperurbanization atau overurbanization lebih disebabkan oleh problem kemiskinan di pedesaan dari pada daya pikat kota itu sendiri. Sejumlah bukti eksplisit dan implisit tentang iklim perdagangan global yang tidak setara termasuk tariff yang tidak adil, dumping, dan subsidi pertanian kepada petani di negara kaya dianggap oleh banyak pihak telah memperparah kemiskinan di negara-negara berkembang. Paradigm global penyediaan pangan murah untuk penduduk kota-kota di negara berkembang akan menyingkirkan petani lokal dari pasar dan sangat beresiko memunculkan kerawanan pangan jika pada suatu saat perdagangan global pangan mengalami gangguan. 3.2. Keragaman Produk Pangan Tak dapat dipungkiri masuknya pangan impor member lebih banyak alternatif piliha kepada konsumen. Sebagai ilustrasi, produk pangan olahan impor secara signifikan menyumbangkan keragaman pangan di Indonesia. Untuk sembilan kelompok pangan olahan, produk pangan impor menyumbang sekitar 60 persen dari total keragaman. Untuk empat kelompok produk, yaitu : makanan ringan, bumbu instan, minuman sari buah, dan susu pertumbuhan, produk impor bahkan melampaui kontribusi produk domestik. Page 6 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Rumah tangga Indonesia juga semakin terpapar pada produk pangan yang relative baru seperti sosis dan nugget. Dengan pertimbangan kepraktisan (practically), pasar pangan kita telah dipenetrasi secara meyakinkan oleh kedua produk itu. Tingkat konsumsi nugget selama rentang waktu 1995-2000 meningkat lebih dari dua puluh kali lipat. Pada tahun 1995, konsumsi sosis per kapita baru mencapai 2,9 gram kemudian terus melonjak hingga mencapai 53,3 per kapita perhari (Jonsen, 2004). Penetrasi produk sosis di kota-kota besar kita juga cukup menyakinkan, mencapai 76 persen (Jonsen, 2004). Pengamatan langsung di pasar-pasar tradisonal, di supermarket dan hypermarket menunjukkan betapa sistem pangan kita sudah sangat tergantung pada produk buah impor. Rak-rak di kios-kios dan di counter buah supermarket semakin didominasi oleh buah impor: jeruk, apel dan pir. Produk buah lokal cenderung menempati posisi marjinal. Akibatnya, secara bertahap selera konsumen akan terpola, hanya menyiaki segelintir buah saja. 3.3 Keragaman Hayati Globalisasi pertanian telah berhasil menyebarluaskan teknik-teknik budi daya pertanian dan jenis-jenis tanaman dari negara kayak ke seluruh dunia. Proses inilah yang bertanggung jawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian. Akibatnya sistem produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan. Keberlanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan dengan penambahan input terus-menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida. (McMechael, 1994). Globalisasi pangan memang berhasil menyumbang keragaman produk pangan. Namun pada saat yang sama, globalisasi pertanian telah mengakibatkan erosi keragaman sumber pangan. Erosi tersebut menuntut biaya ekonomi dan sosial. Cara-cara budi daya pertanian yang diintroduksikan oleh korporasi cenderung hanya terfokus pada sejumlah terbatas spesies hibrida dan belakangan transgenik, disertai penggunaan senyawa agrokimia secara massif. (Thrupp, 1998). Saat ini, budi daya pertanian global hanya menumpukkan harapan pada beberapa biji-bijian saja, terutama gandum, beras dan jagung. Begitu pula dengan kacang-kacangan kekayaan plasma nutfah marga leguminoceae tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh para petani karena kepentingan ekonomi global hanya memprioritaskan beberapa jenis kacang saja, terutama kedelai dan kacang tanah. Umumnya petani di wilayah dengan kekayaan hayati tinggi memiliki pengetahuan lokal yang memadai untuk menjamin ketahanan dan kemanan pangan. Erosi kekayaan hayati ini menyebabkan pengetahuan lokal yang terkait juga terkikis. Akibatnya tidak hanya semakin sulit untuk mendapatkan produk pangan yang aman. Reduksi keragaman hayati diikuti punahnya pengetahuan lokal tentang pemanfaatn sumber daya hayati yang terpinggirkan. Akibatnya petani semakin tergantung pada teknologi yang disediakan oleh pemain agroindustri transnasional berupa pasokan benih, pupuk dan pestisida. (Widianarko, 2002) Padahal pengetahuan lokal memiliki peranan yang sangat krusial dalam pemanfaatan kekayaan hayati untuk penyediaan pangan. Pengetahuan lokal atau asli dipergunakan untuk menyebut pengetahuan yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh suatu komunitas dalam rentang waktu panjang sebagai piranti untuk
Page 7 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
menyesuaikan diri dengan lingkungan ekologi pertanian sosial ekonomi yang dihadapi. Dengan semakin tergerogotinya kekayaan hayati di kawasan-kawasan tersebut maka pengetahuan lokal yang terkait juga terkikis. 3.4 Keamanan Pangan dan Lingkungan Penetrasi produk pangan global seperti sosis, nugget dan burger mau tidak mau akan mempengaruhi pola pangan. Dengan demikian dampak globalisasi pangan yang paling kasat mata tercermin dari perubahan pola pangan yang terjadi. Secara gradual akan terjadi pergeseran kearah budaya pangan yang universal. Penyeragaman ini akan mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan status nutrisi mayarakat. Warga miskin akan didorong untuk mengonsumsi pangan kaya energi dan pangan bermutu rendah yang murah harganya. Dalam perkembangan selanjutnya bisa diduga bahwa kelompok miskin akan terjebak untuk selalu hanya mengonsumsi pangan kualitas rendah dan berpengawet. Secara menarik Fine et.al.(1996), dalam buku mereka Consumption in The Age of Affluence, memberikan ilustrasi tentang fenomena “Sindrom sosis” yang menjebak anak-anak dari keluarga miskin di Inggris. Globalisasi telah memicu terjadinya apa yang disebut oleh Kennedy et al, (2005) sebagai dietary convergence. Salah satu faktor terpenting dibalik penyeragaman diet dan status gizi ini adalah urbanisasi dan gaya hidup yang menyertainya. Lingkungan perkotaan tampaknya mempengaruhi kebiasaan makan warga kaya maupun miskin dan berdampak pada status gizi dan kesehatan. Di stau sisi sebenarnya kota menyediakan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik serta menawarkan lebih beragam pangan dibandingkan dengang desa. Disisi lain lingkungan perkotaan lebih tercemar dan padat serta mendorong gaya hidup yang sedentary. Terlebih lagi makanan yang dikonsumsi di perkotaan cenderung punya kandungan lemak, gula tau pemanis yang lebih tinggi. Studi di 11 negara berkembang menunjukkan globalisasi pangan telah mengakibatkan perubahan keseimbangan gizi masyarakat, yang dicirikan oleh peningkatan konsumsi makanan kaya energi (gandum, beras, jagung), lemak, dan pangan hewani (Kennedy et al.,2005). Globalisasi juga diakui berperan dalam mendorong pengembangan teknologi rekayasa produk pangan. Keragaman teknologi produksi dan pengemasan terutama ditujukan untuk peningkatan umur simpan (shelf life) produk yang memungkinkan transportasi jarak jauh. Peningkatan shelf life seringkali mengorbankan kualitas. Dibandingkan dengan produk segar, kualitas gizi produk olahan umumnya mengalami perubahan sperti denaturasi protein dan kehilangan vitamin dan enzim, oksidasi lemak dan lain-lain. Untuk mengurangi penurunan kualitas penyimpanan seringkali dipergunakan bahan-bahan pengawet makanan. (Wharton, 2003) Seringkali faktor waktu juga berkombinasi dengan faktor jarak. Globalisasi pangan cenderung meningkatkan jarak tempuh produk pangan (Food miles). Food miles diartikan sebagai jarak kumulatif yang harus ditempuh dan energi yang digunakan untuk meracik dan mendistribusikan komponen-komponen suatu produk pangan dan kemasannya. Globalisasi pangan telah membuat jarak antara produk pangan dengan konsumennya semakin jauh. Secara bertahap sumber pangan rumah tangga sudah bergeser dari pekarangan sendiri ke hypermarket. Sampai tingkat tertentu, konsumsi masyarakat semakin ditentukan oleh transportasi dan iklan produk pangan bukan ketersediaan sumebr daya pangan lokal. (Wharton, 2003) Page 8 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Semakin panjang food miles berakibat semakin berjaraknya konsumen dari kegiatan budi daya pertanian dan pengolahan pangan. Selain itu, yang belum banyak disadari perpanjangan food miles juga meningkatkan penggunaan bahan pengawet per unit produk pangan yang dihasilkan (Iles, 2005). Pergerakan bahan dan produk pangan melintas batas-batas negara menuntut produk yang tahan lama. Butler (2005) menyebutkan bahwa food miles juga memiliki implikasi lingkungan, terutama penggunaan energi untuk transportasi. Sebuah studi di jerman pada tahun 1993 membuktikan bahwa bahan- bahan penyusun segelas yoghurt stroberi harus menempuh perjalanan sepanjang 3.500 kilometer. Transportasi udara sayuran segar dari Negara berkembang ke Negara maju bahkan lebbih banyak mengonsumsi energi. Menurut estimasi, energi yang dibutuhkan untuk menerbangkan asparagus yang ditanam di Chili ke New York lebih dari 70 kali lipat kandungan energi di dalam sayuran itu sendiri. Efek terhadap iklim global dari transportasi pangan berupa emisi gas-gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Keberlanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan dengan penambahan input secara terusmenerus, berupa benih, pupuk dan pestisida. Dampak penggunaan pupuk buatan dan pestisida telah terbukti menyiskan residu pada produk pangan yang memicu ketidakamanan produk pangan (Widianarko, 2002a). Kehadiran Genetically Modified Organism (GMO) (Widianarko, 2002b) sering dianggap sebagai jawaban terhadap masalah kecukupan pangan tersebut. Namun, harus disadari bahwa sebenarnya belum ada jaminan terkait dengan efek jangka panjang konsumsi pangan berbasis genetically modifie food (GMF). Hingga saat ini kontroversi masih melingkupi pemanfaatan GMO/ GMF terutama dari sisi keamanan hayati dan etika lingkungan. (Kimbrell & Davis, 1999) 4. Peluang Pertanian Indonesia Secara jujur harus diakui bahwa tidak mudah untuk mengidentifikasi
peluang survival pertanian
Indonesia di tengah arus kuat globalisasi pangan, meminjam pernyataan Hodges (2005): tidak ada solusi sederhana untuk persoalann globalisasi pangan yang dihadapi Negara-negara berkembang saat ini. Lebih jauh ia mengatakan : Food is no longer simply a lokal or even a national issue. The exploding population, shrinking world and growing interconnections of life have turned food into a global crisis needing dedicated national and international leadership and wisdom. Pendekatan sebatas ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan memamdai karena tantangan yang dihadapi bersifat multidimensional menembus ranah sosial ekonomi, politik, dan bahkan etika. Tidak berlebihan kiranya jika Hodges (2005) justru mengusulkan kepemimpinan (leadership) dan kearifan (wisdom) sebagai modal utama untuk memperbaiki governance pangan global. Dalam semangat yang sama, tulisan ini sama sekali tidak berambisi untuk dapat menawarkan solusi yang cespleng bagi dunia pertanian Indonesia melainkan sekedar menawarkan beberapa pilihan strategi yang ditawarkan ini dirumuskan sebagai tanggapan terhadap tantangan-tantangan globalisasi pangan yang telah secaar serius mengancam dunia pertanian Indonesia. Page 9 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Untuk memperbesar peluang survival pertanian Indonesia dalam menghadaapi tantangan tersebut berikut ini ditawarkan lima strategi. 1) Advokasi perdagangan internasional 2) Adaptasi terhadap perkembanagn teknologi 3) Produksi komoditi bernilai tinggi dan produk alternatif 4) Pengembangan pertanian organik 5) Peningkatan akses pasar bagi produk lokal. 4.1. Advokasi Perdagangan Internasional Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia perlu menggalang kemitraan di tingkat internasional untuk senantiasa mendesakkan perdagangan global yang lebih adil. Penolakan sikap standar ganda negara kaya khususnya AS dalam hal subsidi hasil pertanian perlu terus disuarakan. Dalam for a internasional juga perlu disuarakan perlunya pertimbangan terhadap perbedaan kecepatan antarnegara dalam berintegrasi dengan pasar global. Bahkan bila perlu, proposal untuk mengecualikan pertanian dari rezim WTO bukanlah usulan naïf. Dari waktu ke waktu semakin banyak pihak menyuarakan hal itu. Advokasi ini diperlukan untuk melindungi pasar pangan domestic dari masuknya pangan murah bersubsidi. 4.2.
Adaptasi Perkembangan Teknologi Selain diplomasi pemerintah di ranah perdagnagn internasional para petani Indonesia perlu secara terus-
menerus dikembangkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terutama bioteknologi. Pelatihan-pelatihan (produksi, pengolahan pascapanen, manajemen usaha tani), penyediaan akses terhadap formasi pasar, serta pendanaan pertanian perlu ditingkatkan untuk memperbaiki produktivitas dan efisiensi usaha para petani. Dalam konteks ini lembaga penyuluhan dan pendidikan formal pertanian menempati posisi yang amat strategis. 4.3. Komoditi Bernilai Tinggi dan Produk Alternatif Dalam jangka panjang, bersaing kancah perdagangan global untuk bahan makanan pokok dan biji-bijian, seperti gandum, beras jagung dan kedelai, mungkin sangat berat bagi pertanian Indonesia. Kebijakan pangan murah bersubsidi dari negara-negara kaya nampaknya masih menjadi ganjalan yang utama. Mengingat harga makanan pokok di pasar internasional cenderung selalu lebih murah dari harga domestik, maka secara parsial usaha tani perlu didorong untk menghasilkan komoditi bernilai tinggi. Seperti buah-buahan eksotis dan biofuel. Buah-buahan eksotis termasuk yang memiliki efek fungsional dalam dan luar negeri. Paradigm pangan murah di pasar global perlu dilawan dengan paradigm pangan untuk kualitas hidup., semakin langka dan mahalnya minyak bumi merupakan peluang yang dapat diisi oleh komoditi biofuel. 4.4.
Budidaya Pertanian Organik dan Lokal Pemerintah perlu mendorong tumbuh kembangnya usaha pertanian organic, yang menghindari
penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Memanfaatkan kecenderungan global yang memberikan perferensi kepada produk-produk organik dan lokal, maka wawasan dan kesadaran konsumen domestic tentang keamanan Page 10 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
pangan dan food miles perlu terus dibangkitkan. Nantinya secara bertahap dapat diharapkan terbentuknya suatu critical mass dalam masyarakat yang memilih opsi pangan lokal, organik dan ramah lingkungan sebagai prioritas utama. Dengan demikian produk pertanian organik yang diproduksi setempat akan mendapatkan jaminan pasar. 4.5.
Peningkatan Akses Pasar Bagi Produk Lokal Perkembangan jaringan supermarket dan hipermarket perlu disikapi dengan cermat. Dapat diprediksi
peran pasar generasi baru ini dalam penyediaan pangan masyarakat akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Untuk menjamin produk pertanian lokal masuk ke dalam rantai pasokan jaringan super hypermarket maka diperlukan suatu intervensi kebijakan oleh pemerintah. Intervensi tersebut harus menyentuh para pihak yaitu pemasok, penjual, dan konsumen. Pihak pemasok perlu diberdayakan untuk mampu memasok produk dengan mutu yang terus ditingkatkan. Pihak penjual kemungkinan sampai tingkat tertentu dapat diwajibkan untuk memasarkan produk pertanian lokal dan secara bersamaan juga berpeluang mendapatkan intensif atas setiap usaha peningkatan produk pertanian lokal yang dipasarkan. Pihak konsumen perlu mendapat informasi tentang keunggulan produk-produk pertanian lokal dan didorong untuk membeli melalui iklan layanan masyarakat yang didanai pemerintah. Akhirnya implementasi kelima kebijakan di atas sama sekali tidak boleh meninggalkan amanat moral dan etis pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu kesejahteraan petani. Ketahanan pengan memang perlu diwujudkan, tetapi jangan sampai terjadi keberhasilan untuk mewujudkannya mengorbankan kesejahteraan petani. Sudah saatnya, tolak ukur keberhasilan pembangunan pertanian harus digeser dari ketahanan pangan ke ketahanan ekonomu rumah tangga petani.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous (1999). “Human Development Report 1999”. United Nations Development Program. Oxford University Press. Oxford. Butler, C.D. (2005). “Free Trade in Food: Moral and Physical Hazards. “In R.E Hester & R.M Harrison (eds): Sustainability in Agriculture Issues in Environmental Science and Technology. The Royal Society of Chemistry. Cambridge 2005 Babu, S.C Future of the Agri-food system: Perspectives from the Americas. Food Policy 2004 Cavalcanti, J.S.B. “New Challenges for the Players in Global Agriculture and Food” International Journal of Sociology of Agriculture and Food 2004 D’Haese, M. & G. Van Huylenbroek (2005). “The Rise Supermarkets and Changing Expendetures Pattenrs of Poor Rural Households Case Study in the Transkei Area, South Africa.”Food Policy 2005. Fine, B., M. Heasman & J. Wright. Consumtion in The Age of Affluence-The World or Food. Routledge. London. 1996. Hodges, J. (2005). “Cheap and Feeding the World Sustainably.” Livestock Production Science 2005. Iles, A. (2005). “Learning in Sustainable Agriculture: Food Miles and Missing Objects.“ Environmental Values 2005. Page 11 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2011
Juhasz, A. (2002) “The Failure of Globalization.” Cambridge Review of International Affairs 15 (3): 2002 Jonsen, G.D. ”Prospek dan Preferensi Masyarakat Terhadap Konsumsi Daging Sapi Olahan di Indonesia.” W Food Conference, Jakarta, 6-7 Oktober 2004 Kahn, J. (2002). “Globalization Proyes Disappointing.” The New York Times, 21 March. Kennedy, G., G. Nantel & P. Shetty (2004). “Globalization of Food Systems in Developing Countries: a Synthesis of Country Case Studies.” In FAO: Globalization of Food Systems in Developing Countries: Impact on Food Security and Nutrition. FAO Food and Nutrition Paper 83. FAO. Rome. Kimbrell, A. & D.E. Davis (1999). “Globalization and Food Scarcity. “The Ecologist 29(3): 185-186. McMichael, P. (ed). (1994). The Global Restructuring of Agro-Food Systems. Cornell University Press, Ithaca McMichael, P. (1998). The Global Food Politics. Monthly Review 50:97-111 Moreira, M.B. (2004). “Agriculture and Food in The Globalization Age.” International Journal of Sosiology of Agriculture and Food 12(1): 17-28 Sampurno, H. 2004. “Peran Swasta dalam Jaminan Keamana Pangan.” W Food Conference. Jakarta, 6-7 October Thrupp, L.A. (1998). “Cultivating Diversity.” Agrobiodiversity and Food Security. World Resources Institute, Washington D.C Wharton, C.H. (2003). Ten Thousand Years from Eden: The Long Search for A Personal Nutrition from Our Forest Origins to The Supermarkets of Today WinMark Publishing Orlando. Widianarko, B. (2002a). Pangan, Lingkungan dan Manusia. UNIKA Soegijapranata University Press Semarang. Widianarko, B. (2002b). Food Safety: A Paradox of Globalization.” 2002 EWC/EWCA International Conference, Kuala Lumpur, July 1-4 Widianarko, B. (2005). Keragaman Pangan: Globalisasi Sedari Dulu.” SUAR 1(1): 4-10 Widianarko, B. R. Pratiwi, Soedarini, R. Dewi, S. Wahyuningsih, and N. Sulistyani. (2003). Menuai Polong – Sebuah Pengalaman Advokasi Keragaman Hayati. PT. Grasindo, Jakarta.
Pertanyaan Diskusi 1 2 3
4
Jelaskan pengertian globalisasi dan globalisasi sebagai salah satu factor eksternal yang mempengaruhi perubahan social masyarakat pertanian/pedesaan. Lakukan identifikasi dan jelaskan beberapa fenomena terjadinya globalisasi pangan di Indonesia (termasuk di Malang, atau Jawa Timur). Sebutkan dan jelaskan dampak positif dan negative dari globalisasi pangan terhadap : (1) Ketahan Pangan dan pertanian local; (2) Keragaman produk pangan; (3) Keragaman hayati; (4)Keamanan pangan dan lingkungan. Sebutkan dan jelaskan pilihan strategi dalam menghadapi tantangan globalisasi pangan untuk memperbesar peluang survival pertanian di Indonesia.
Page 12 of 12