一
. 4 ■ ¨ . ‘、 一・ .
LAPORAN PENEL:T:AN (:NTER FiRM LiNKAGES)DAN‐
SttRATEG:B:SNIS TERHADAP K:NERJA USAHA M:KRO DAN KEC:L (STUD:KASuS PADA KLASTER:NDuSTR:KEC:LD:JAWA TENGAH)
C)leh:
Dr.Arif Hoetoro,SE。
,MT.
Penelitian ini dibiayai oleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (pNBp) Dengan Kontrak Nomor : 4151/UNlO.2/pG/2Oll Tanggal : 26 September 2Oll
KEMENTER:AN PEND:D:KAN NAS:ONAL
FAKULTAS EKONOMI DAN BiSNiS UN:VERSiTAS BRAW:JAYA 2011
格■ ■
PENGARUH KA:TAN uSAHA ANttAR F:RMA
燿 、 ﹁
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENELiT:AN
l
Pengaruh Kaitan Usaha Antar Firma (lnter Firm Linkages) dan Strategi Bisnis terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (Studi kasus pada Klaster lndustri
Judul Penelitian
Kecil di Jawa Tengah) 2.
Ketua Penelitian Dr.Arif Hoetoro,SE。 ,MT“
a. Nama Lengkap & Gelar b. Jenis Kelamin c. PangkaUGol./NlP. d. Jabatan e. Fakultas / Jurusan 3.
Laki― laki
Penata,‖ Lektor
│ノ
c,197009201995121001
Ekonomi&Bisnisノ │lmu Ekonomi
Anggota Peneliti
4
3(Tiga)bulan
Jangka Waktu
5
Rp
Biaya Penelitian
3.000.000100
Tiga Juta Rupiah
6.
Pendapatan Negara Bukan Paiak(PNBP)
Sumber Dana
Malang, Desember Peneliti,
Ketua BP3M Fakultas
2011
idan Bisnis
Universitas
Dr.Khusnu:Ashar,SE,,MA. NIP.195508051984031002
Dr.Arif Hoetoro,SE。 ,MT.
NIP.197009201995121001 Fakultas Ekonomi dan Bisnis ayai り
つ
F購
■:,
闘 樋
>
ヽ
lria面b,SE.,MSA.,PhD。
196201101987011001
,Ak.
BABI PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Telah umum diakui bahwa usaha mikro dan kecil (UMK) memainkan peran yang penting
dalam pembangunan ekonomi; utamanya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
UMK memberi kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan lapangan kerj4 alokasi investasi yang lebih luas, dan distribusi pendapatan (Amini, 2004t Hasan dan Khor, 2009) serta sering berperan sebagai inkubator untuk perusahaan besar (Weber dan Znidar5id, 2010). Pengakuan atas
kontribusi ini tidak dapat dilepaskan dari usaha-usaha untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional yang dapat dimainkan oleh
UMK.
Ayyagari (2006) menyoroti tiga hal dalam kaitan tersebut. Pertama, UMK, khususnya perusahaan yang sedang tumbuh, menyumbang banyak untuk inovasi dan kewirausahaan dalam
perekonomian. Kedua,
UMK menghasilkan dinamisme dan fleksibilitas untuk ekonomi dengan
cara menciptakan perusahaan baru, menambah kekuatan kompetitif dan lebih murah dalam melakukan berbagai penyesuaian terhadap gunoangan ekonomi. Dan ketiga, IJMK memainkan
peran yang sangat strategis dalam transformasi ekonomi dan sosial melalui interaksi mereka dengan perusahaan lain (Alyagari, 2006).
Selain keunggulan yang UMK berikan dalam proses pembangunan ekonomi tersebut skala usaha mereka yang relatif kecil sering dipandang sebagai sebuah kerugian yang cukup signifikan
di seluruh dimensi
operasional dan strategis. Misalnya, dalam hal keuangan
UMK mengalami
kesulitan besar dalam mendapatkan modal eksternal yang diperlukan untuk pertumbuhan yang cdpat (Keskin dan Senturk, 2010). Selain
itu, dalam usaha mereka untuk meningkatkan skala
ekonomi, UMK sering menghadapi berbagai hambatan dan kendala ketika rnereka berniat untuk
mengintegrasikan
lini produk mereka ke sistem yang lebih luas (Rothwell dan Beesley, l9g9).
Dengan demikian, kesulitan yang dihadapi oleh UMK tidak selalu mumi dalam hal ukuran dan kurangnya sumber daya, tetapi juga dalam hal keterasingan mereka dalam operasi dan interaksi dengan perusahaan lain (Harvie, 2007).
Mengingat kondisi atas skala usaha yang terbatas ini, UMK sering beroperasi daram ruang
yang sempit untuk mencapai tujuan mereka. oleh karena itu, mereka prakis membutuhkan dukungan dan sumber daya dari agen ekstemar seperti dari kerabat don teman-teman, institusi
pendukung (bank dan lembaga keuangan lainnya, agen untuk mengerami usaha kecir, dan peraturan pemerintah), atau perusahaan lain (perkotaan et al, 2000;. wattanapruttipaisan, 2002
;
Beaver, 20o2; Roxas et al, 2007).. DarNn hal ini, cukup jamak diketahui bahwa tingkat efisiensi operasional mereka bergantung pada antara lain yang disebut kaitan kerjasama antar penrsahaan (Felzensztein dkk, 2010.), hubungan antar-perusahaan (phele, 2004; Saito et al, 2007.
)
atau
kaitan usaha antaF flFma(SatO,2000).
DJallq OkOnomi globJ saat ht peran dan penthgnya kaitan tsaha antar irnta(ル
″r…
′ ′ ″●rS)hi meniadi Semattn umum di sduFuh dunh(uFban et d.,2000p.Kaitan usaha antaF UMK ini tcJaFn dengan mcmbcnkan kcscmpatan yang luas dalam mengatasi harqbatan dan kendala pcrkembangan mcreka caFbё r et al,1989;Jalal,1997)UMK yang memliki variasi ketcrkJtan usahajuga merangsang prOdut prOscs,pcngadaan,dan inovasi pasar(MaChikita dan
Ueは ,2010).Misainyt hubungan_hubungan bisnis yang teFbentuk dalam klasteF induStFi keCil dapat mcmfasilitasi uMK dalam mempcrOleh kcuntungan iOkasi dengan menyediakan saluran untuk pcntenuhan sumbeF daya dan layanan yang bcmilai tarnbah dengan mendekatkan usaha pada pengguna akhir cヽ adVi, 1999; Kuah, 2002; KuncorO dan Supomo, 2003 ) Fclzcnszcin
(2003)mcnuttukkan bahwa hubungan
Ыs面 s yang d■ emukan ddam klasteF membe」 kan manfaat
つι
1
ピ E E I
´
露 E I I I
bagi UMK dalam banyak cara. Misalnya, hubungan tersebut dapat menawarkan UMK dengan
I I
produksi lebih fleksibel dan khusus antar perusahaan dan meningkatkan efisiensi dalam
I I
produksi. Hubungan tersebut juga memfasilitasi UMK dengan aliran informasi yang lebih baik
I I
dan ruang yang luas untuk meningkatkan inovasi.
I I
Contoh lain dari manfaat kaitan usaha antar-firma tercermin dalam hubungan sub-kontnak
I I
yang sering dilakukan oleh UMK. Sebuah contoh penting dalam hal
ini adalah UMK
yang
I I
beroperasi dalam klaster industry pengecoran logam di Ceper, Klaten, Jawa Tengah. Sato (2000)
I I
menunjukkan bahwa hubungan sub-kontrak yang dilakukan oleh UMK tersebut telah berhasil
I
memPromosikan pengembangan industri pengecoran logam. Hal
ini terjadi ketika IJMK di
klaster industri tersebut mengembangkan sub-kontrak dengan perakit
di
sektor modern
perkotaan, ternyata kaitan usaha tersebut mampu memberikan manfaat bagi penjualan produk. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang terlibat banyak dirangsang untuk meningkatkan inovasi
dan kemampuan teknologi melalui sistem kaitan usaha sub-kontrak. Dengan demikian, kaitan usaha sub-kontrak
ini
sangat signifikan untuk pengembangan lebih lanjut dari UMK yang
terletak di wilayah perdesaan Jawa Teagah tersebut.
Namun, kaitan usaha antar-firma yang sukses tidak hanya ditentukan oleh mekanisme kaitan usaha itu sendiri. Dilihat dari pendekatan kontingensi yang mencoba untuk membangun hubungan fungsional antara variabel-variabel lingkungan dan variabel organisasi (Boyoung,
2010), dapat dikatakan bahwa penerapan kaitan usaha secara efektif bergantung pada faktorfaktor seperti strategi dan preferensi manajerial. Hal ini juga sering disebut sebagai hubungan bisnis yang didasarkan pada kerjasama dan kompetisi (Eolitander dan Tidstrom,20l0); yaitu perusahaan harus mengelola keseimbangan antara kaitan usaha anta frrma dan rencana shategis
﹂E E D E 國 D R
yang diperlukan dari mitra usaha. Oleh karena itu, kaitan usaha yang sukses harus memiliki
3
kemampuan untuk memiliki strategi bisnis yang mampu beradaptasi seiring dengan perkembangan perusahaan (Harvie, 2007) yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pemsahaan.
Dalam bingkai pemaparan di atas, studi ini meneliti kaitan usaha antar-firma, strategi bisnis dan dampaknya pada kinerja UMK di propinsi Jawa Tengah. studi ini terutama berfokus pada hubungan kausal antara kaitan usaha" strategi bisnis dan kinerja UMK yang dibangun dalam
model yang terintegrasi. Model ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang kompehensif tentang bagaiman UMK mengembangkan kaitan usaha antar-firma dan menerapkan strategi bisnis mereka untuk meacapai pengembangan kinerja usaha mereka secara simultaa.
1.2 Rumusan Masslah
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, tampak jetas bahwa kaitan usaha antar firma dan strategi bisnis menentukan kemampuan
UMK dalam meningkatkan kemampuan dan sumber
daya internal perusahaan. Penelitian ini mengusulkan untuk memberi perhatian yang tinggi pada aspek ini. ArtinyB, kaitan usaha antar-firma, strategi bisnis dan kinerja
uMK perlu diteliti
dengan
mengkonstruksikannya dalam model yang terintegrasi. selama ini, penelitian yang terkait masih. membangun model yang hanya menguji hubungan ketiga variabel tersebut daram pengukuran yang parsial.
Dibandingkan dengan studi yang ada, studi yang dilakukan oleh banyak peneliti baik di negara maju maupun berkembang sebagian besar menjelaskan hubungan antara kaitan usaha,
strategi bisnis, dan kineqia UMK daram gambar yang parsiar. Akibatnya, penelitian yang ada gagal menunjukkan hasil yang dinamis tentang bagaimana UMK memanfaatkan kaitan usaha
antar-firma dan strategi bisnis secara bersamaan untuk mencapai kinerja yang lebih baik.
4
︱ ︲
Kegagalan untuk membangun variabel-variabel tersebut dalam sebuah model yang terintegrasi akan menyebabkan kegagalan dalam menyajikan gambaran yang komprehensif pengembangan LIA,iK.
Diantara contoh-contoh yang terbaik dalam hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Toomey (1998), Ajayi (2003), Adeya (2006), dan Kongmanila dan Takahashi (2009) yang hanya
menyelidiki pentingnya hubungan antar-perusahaan untuk kinerja UMK di negara-negara Afrika dan Asia Temuan mereka menunjukkan bahwa kaitan usaha yang dibangun pada hubungan subkontrak dan cluster memberikan kontribusi yang positif untuk kineda UMK. Temuan itu juga
menekankan bahwa untuk mencapai manfaat kaitan usaha, pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang cukup untuk UMK untuk mampu mendukung pemgembangan kaitan usaha tersebut. Sementara itu, Weiiland (1999), Sato (2000), Kuncoro (ZOOZ\, dan Marijan (2005) memfokuskan penelitian mereka pada korelasi antara kaitan usaha dan kinerja UMK di pedesaan Jawa. Hasil penelitian mereke menunjukkan bahwa dengan kaitan usaha antar-finna,
UMK di
daerah pedesaan Jawa telah berhasil mengembangkan usaha mereka. Namun, mereka tidak
menyelidiki bagaimana UMK tersebut menggunakan kaitan usaha yang tekait dengan kapasitas intemal mereka dan shategi. Senada dengan hal
ini, penelitian tentang hubungan antara strategi bisnis dan kinerja UMK
juga dilakukan oleh Gimenez (1999), Greenbank (2001), dan Hasyim (2005). Dalam penelitiann mereka pada
UMK Brasil misalnya, Gimenez (1999) membuktikan bahwa UMK yang meng-
adopsi strategi bisnis yang tepat akan menghasilkan kinerja yang lebih baik, terutama dalam hal
pertumbulan omset. Dalam studinya pada UMK di Inggris, Greenbank (2001) menekankan pada
pilihan strategi bisnis yang berhubungan dengan pengaturan tujuan perusahaan. Sementara Hasyim (2005) lebih memfokuskan pada strategi penerapan model Porter untuk UMK di
5
Malaysia. Meskipun semua penelitian tersebut dimaksudkan untuk menghadBpi lingkungan ekstemal, ternyata temuan mereka hanya menekankan pada strategi bisnis intemal perusahaan
kecil. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Rungtusanatham dkt. (2003) dan McGovem
(2005). Penelitian-penelitian mereka hanya difokuskan pada korelasi antara kaitan usha aRtar-
firma dan strategi bisnis sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan strategis dan kinerja operasional UMK. Mengacu pada perspektif berbasis sumber dayaaerusahaan (RBVF), Rungt,sanatham dkk. (2003) menemukan bahwa dengan membangun kaitan usaha anta-firmq
uMK
akan memperoleh manfaat untuk meningkatkan dan memperruas kemampuaa intemal mereka.
Demikian pula, dengan mengambir UMK Irrandia di industri porimer sebagai contoh, McGovern (2005) meneliti manfaat kaitan usaha daram menambah kapasitas iatemar UMK.
Mempertimbangkan semua penelitian di atas, studi ini mencoba untuk mengembangkan sebuah model terintegrasi yang meayelidiki hubungan kausal antara kaitan usaha, strategi bisnis
dan kinerja UMK. Penelitian ini digunakan sebagai pendekatan untuk menjelaskan p€ngembangan UMK
di provinsi
penelitian sebelumnya
UMK
Jawa Tengah. untuk mengisi kekurangan yang disediakan oreh
di atas, model ini dirancang untuk mengg&mbarkan interaksi dinamis
secara intemal dan
ekternar yang dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi
kinerja UMK. Dengan demikian, studi ini mencoba untuk melampaui penelitian yang ada-dengan menguji model yang lebih komprehensif dari hubungan antara kaitan usaha antar-fima, strategi bisnis dan kinerja UMK yang pada gilirannya memberikan pemahaman yang rebih baik pada pengembangan
UMK terutama mereka yang beroperasi dalam klaster-klaster industri kecil di
lndonesia.
6
/
.
1.3 Per.tanyaan Penelitian
Secara spesifik rumusan permasalahan pertanyaan penelitian berikut ini
l.
di
atas dapat dirumuskan dalam beberapa
:
Bagaimanakah karakteristik yang utama UMK di Provinsi Jawa Tengah?
2. Bagaimanakah UMK di Jawa Tengah mengembangkan bentuk-bentuk
kaitan usaha antar
firma?
3.
Bagaimanakah UMK diJawa Tengah menerapkan strategis bisnis mereka?
4. Sejauh apakah kaitan usaha antar-firma memengaruhi kinerja UMK di Jawa Tengah? 5.
sejauh apakah strategi bisnis memengaruhi kinerja
6. Sejauh apakah kaitan usaha antar-firma
uMK di Jawa Tengah?
menguatkan strategis bisnis
UMK
dalam
meningkatkan kinerja usaha mereka?
1.4
Tujuan Penelitian Tujuzur penelitian ini adalah untuk:
l.
Menjelaskan karakteristik
2.
Mendeskripsikan bagaimana
v*i
utama LJMK di provinsi Jawa Tengah.
UMK di Jawa Tengah
mengembangkan bentuk-bentuk
kaitan usaha antar-fi rma.
3.
Menjelaskan bagaimana UMK di Jawa Tengah menerapkan strategis bisnis mereka.
4.
Menjelaskan pengaruh kaitan usaha antar-fima terhadap kinerja UMK di Jawa Tengah.
5.
Menjelaskan pengaruh strategi bisnis terhadap kinerja UMK di Jawa Tengah.
6.
Mendeskripsikan peran kaitan usaha antar-fimra dalam menguatkan strategi bisnis yang diterapkan UMK di Jawa Tengah dalam peningkatan kinerja usaha mereka.
7
1.5 3atasan Penelitian
Pcnclitian ini dimaksudkah untuk mengcskplorasi pcrkcmbangan UNIK di Jawa Tcngah terutama difokuskan pada mcFCka yang bcFOpcrasi di klastcr‐
klasteF induStH kccil di Jawa
Tengah Sccara khusus, penclitian ini mcmberikan pcnekanan pada kaitan usaha antar‐ rlrllla,
strategi bisnis dall kincJa UMK yang dibanglln dalam model yang tcFintegFaSi.Dengan dcmikian,penclitian ini dibatti pada:
1.KlastcF UMK yang teFSebar di kabupatcn tcFplHh di PFO宙 nSi Jawa Tengah.Hal ini diasumsikan ballwa dalaln klastct bcrbagai belltuk dan jcnヽ kaitan usaha antar‐ ■rFna
yang dikembangkan oleh LIMK dapat ditemukan. 2 Sampel penelitian terbatas pada UMK manufaktur yang didistribusikan di beberapa wilayah sub‐ scktoF manufaktuF
3.Kiatan usaha antar‐ flrtna yang ada dikcmbangkan oleh tlMK difokuskan pada bentuk ka■ an
usaha,yaitu,kaitan bclakang(bα οttα 〃 ル 機 照),k面 tan laniutan∽ 翻 ´ガ
JJZ″r〉 dan kaitan seittar(ヵ
。 ルο ″ ralル 厳r)dengan daborasi tambahan pada
bebCFapajenヽ kaitan usaha antaF‐ ■ mla sepcdi kaitan input dan output sub‐ kOntFat dan klastering.
4 StFategi bisnis yang ditcFapkan Olch uMK terbatas pada stFategi bisnis fungsional,yaitu;
stratcgi keuangan, pcmasaran, pcngcmbangan sumbcr daya manusia, pcnelitian dan pcngembangan,dan opeFaSiOnal
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Bentuk-bentuk Kaitan Ussha
antar-Firna (Iuler-Firm Linkages)
Usaha untuk memperkuat kaitan usaha antar
UMK telah menjadi inti mata rantai nilai
produksi. Pengembangan rantai nilai tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk utama,
perlama, kaitan vertikal yang mempunyai kaitan belakang dan lanjutaj dan kedua, kaitan horisontal (Miehlbradt dan Mcvay, 2006). untuk mendapatkan hasil positif dari kaitan-kaitan usaha tersebut, Miehlbradt dan
Mcvay (J006) menunjukkan bahwa hasil yang positif akan
terjadi ketika ada dorongan pasar yang kuat untuk kaitan usaha tersebut, investasi yang kuat, dan sistem pasar yang sesuai.
2.1.1
Kaitan Usaha Belakang dan Lanjutan (Baekward and Forward Linkage) Perhatian yang khusus harus diberikan untuk Hirschman
(l9gg) yang pertama kali
mengembangkan konsep kaitan usaha/sektoral selama proses industrialisasi sebagai ',mekanisme pancingan untuk merangsang kegiatan ekonomi". Mazzola dan Bruni (2000) iuga mengadopsi
definisi Hirschman mengenai kaitan usaha tersebut sebagai uzutan terhubung dari keputusan investasi selama proses industrialisasi. Kaitan usaha
ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis
kaitan- Pertoma, kaitan produksi yang mengacu pada hubungan anlar perusahaan yang memberi
input kepada perusahaan lain (backward linkage) atau digunakan sebagai input produk dari perusahaan lain yang menjadi lanjutan usahanya
(foruard linkage). Ke&n, kaitan konsumsi
berhubungan dengan perluasan peluang investasi bagi pengusaha lokal daiam meningkatkan permintaan barang akhir. Dan ketiga, kaitan fiskal yang berasal dari perubahan tarif atau subsidi komersial lainnya dan insentif (Mazzola dan Bruni, 2000).
9
Selama proses pembangunan, baik kaitan belakang (baek*ard linkage) maupun lanjutan
(forward linkage) memainkan peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan kaitan-kaitan usaha tersebut dapat mempercepat transformasi sektor ekonomi dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang meluas melalui ekspansi kaitan usaha tersebut (Hirschman, 1988; McCartney, 2006). Pertumbuhan ekonomi
ini dapat ditemukan
dengan
jelas dalam transformasi pertanian
sejak tedadi pergeseran individual dari pertanian yang sangat berorientasi subsisten ke arah
produksi yang lebih berorientasi industrial. Dalam hal
ini,
transformasi produksi y&ng
berorientasi industrisl tersebut lebih mengandalkan pada sistem pengiriman input dan output. Hal
ini pada akhimya meningkatkan integrasi pertanian dengan sektor lain dari ekonomi domestik ke sector internasional. Sebagai hasilnya, hubungan yang tercipta dalam tahapan ini menjadi faktor
kunci untuk mencapai kontribusi yang optimal dari sektor pertanian yang berbasis luas untuk pertumbuhan ekonomi (ECA, 2007).
2.1.2 Kaitan Usaha Sejajar (Ho risontal Linkag e)
Bentuk lain dari kaitan usaha antar'firma adalah kaitan horisontal. Bentuk kaitan ini merupakan jaringan perusahaan yang berarti merupakan kumpulan perusahaan yang bekerja sama dan berbagi risiko/biaya dan akses ke pasar. Dalam kaitan
ini, kelompolg koperasi dan
asosiasi produsen memainkan berbagai peran dalam berbagi informasi untuk pengolahan bersama atau pemasaran suatu produk (Miehlbradt dan
kaitan horisontal karena dalam hubungan
McVay,2006). Kaitan usaha ini disebut
ini tidak ada
pmrisahaan yang dominan (Ayyagari,
2006). Namun, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan besar dibatasi untuk membentuk hubungan horisontal dalam mencapai tujuan pasar dan strategi untuk bekerja sama dengan UMK
(Miehlbradt dan McVay, 2006).
10
趾 Dalam kaitan horizontal, UMK bisa melakukan kegiatan bersama seperti pengaturan antara
perusahaan untuk melakukan pengembangan produk, berbagi biaya layanan khusus atau peralatan, mengumpulkan informasi pemasaran, dan pasokan pasar (Henry dkk, 1997.'). Dengan
demikian, banyak pilihan yang tersedia untuk UMK, termasuk untuk target pasar, up-grading, dan bagaimana cara untuk masuk ke dalam kontrak dengan perusahaan besar. Manfaat hubungan
horizontal juga menyediakan UMK dengan skala ekonomi dan akses terhadap informasi dan pasar yang biasanya hanya tersedia untuk perusahaan besar (Ayya gan,2006).
Dalam beberapa kasus, kaitan horisontal yang efektif juga menjadi dasar untuk interaksi
dan kerja sama ekonomi. Misalnya, kesediaan untuk bertindak sebagai mitra usaha sangat memungkinkan sekelompok UMK untuk meminjam modal dari lembaga kredit yang biasanya
jika memberi pinjaman
kepada
UMK individual akan terlalu berisiko (Berry, lggT). Demikian
pulq melalui kaitan horizontal ini memungkinkan sekelompok UMK memenuhi pesanan dari sebuah perusahaan besar, yangjika dilakukan secara individual tidak akan terpenuhi.
2.2 Jenis-jenis Kaitan Usaha antar-Firma
Bentuk-bentuk kaitan usaha antar-firma berkembang dalam banyak jenis seperti waralaba" subkontrak, kaitan input-output, dan klastering. Yang terpenting dalam kaitan usaha antar-firma
ini
adalah bahwa kerjasama dalam kaitan usaha tersebut harus saling menguntungkan dan
berdasarkan kepercayaan (Miehlbradt dan McVa y, 2006).
2.2.1 Waralaba Waralaba merupakan sistem bisnis dimana pengusaha mandiri bekerja sama dalam sebuah
jaringan kontrakual. Dalam sistem ini, pemilik waralaba menciptakan sebuah konsep waralaba yang ditawarkan kepada pelaksana waralaba yang mengkomersilkan layanan waralaba atau
produk. oleh karena itu, jika para pihak yang terlibat benar-benar independen mereka tetap bekerja dengan cara yang diformalkan melalui kontrak waralaba (Gauzente, 2002). Secara umum, Borbor (2005: 6) mendefinisikan waralaba sebagai: "Sebuah kontrak yang komprehensif di mana satu pihak (franchisor) memberikan ke pihak lain (franchisee) suatu hak untuk mengoperasikan bisnis seperti menjual produk dan atau jasa yang dihasilkan atau dikembangkan oleh franchisor dibawah
skenario bisnis waralaba yang berupa format, kebijakan dan praktek dengan imbalan royalti biaya. Sebuah perjanjian warataba biasanya dapat digunafan sebagai kontrak bisnis sejauh mana franchisee akan didukung oleh franchisor dalam hal pemasaran dan wilayah".
Berdasarkan definisi
ini, waralaba dapat dilihat sebagai suatu jenis hubungan
antar-
perusahaan yang berhubungan dengan transGr metode bisnis dari pemberi ke penerima waralaba
(Anagha, 2006). Dalam hal ini. waralaba dibagi menjadi dtra; pertama, waralaba tradisional, adalah bentuk paling umum dari wararaba yang melibatkan produsen huru dan hilir penjual. Keduo, waralaba bisnis adalah kategori waralaba yang lebih cepat tumbuh di mana franchisor memberikan merek dagang, strategi pemasaran, dan kontrol kualitas kepada penerima wararaba dengan pertukaran untuk pembayaran royalti dan biaya di muka (Lafontaine dan stade, 1996).
2.2,2 Sub-Kontrak
Dalam rantai pasokan yang terintegrasi secara vertikar, satu perusahaan dapat mempertahankan kepemilikan dar/ atau kontrol atas perusahaan lain. Hal
ini dapat dicapai dengan
pengatuftm subkontrak di mana produksi subkontrak turun melalui serangkaian level dari pokok untuk perusahaan independen. webster et al. (1997: g2g) mendefinisikan subkontrak sebagai:
di mana sebuah sub-kontraktor (yaitu sebuah perusahaan dengan tujuan bisnis yang independen), melakukan semua atau bagian dari pe-Uuatin p-ark utama, untuk spesifikasi disesuaikan (dari berbagai detail) yang diberikan oleh perusahaan kontraktor. K3erratan yang mendukung proses - pro-duksi ini dapat dilakukan oleh salah satu pihak, sesuai dengan perjanJian sebelumnya,,. "Proses
うι
i
Dengan demikian, subkontrak mempakan jenis kaitan antar-perusahaan
di mana
suatu
perusahaan (sebagai kontraktor) menawarkan perintah untuk perusahaan-perusahaan independen
lain (sebagai sub-kontraktor) untuk melakukan pengolahan material, komponen, bagian, atau sub-perakitan sesuai dengan spesifikasi atau rencana yang disediakan oleh kontraktor (Lemma, 2001; Taymaz dan Kilicaslan, 2004). Menurut Mieghem (1999) subkontrak terjadi karena suatu perusahaan mungkin merasa kurang menguntungkan atau tidak layak untuk memiliki semua kemampuan yang diperlukan secara mandiri.
Subkontrak menyediakan .perusahaan yang terlibat manfaat risiko investasi yang berkurang, kontrol atas proses kerja, respon terhadap perubahan teknologi dan pasar, dan menye-
diakan sistem produksi dengan kelangsungan hidup meningkat untuk pertumbuhan jangka panjang.Manfaat lainnya adalah dipromosikan antara perusahaan dalam berbagai bentulq dan memainkan peran penting dalam resrrukturisasi beberapa sektor industri (Ajayi, 2003).
Namun demikian, kerugian tertentu mungkin dapat terjadi dalam pengaturan subkontrak,
Misalnyq kontraktor bias saja mempe(ahankan tingkat kontrol yang tinggi terhadap proses produksi subkontraktor, karena input dan peralatan produksi subkontrak sering disediakan oleh kontraktor, dan memajukan pembayaran untuk produksi dan / atau kredit untuk membeli mesin khusus dan peralatan yangjuga mengerahkan pengawasan lebih lanlut (Lemma, 2001).
2.2.3 Kaitan Usaha Input-Output Selain jenis-jenis kaitan antar-firma sebagaimana disebutkan di atas, kaitan usaha inputoutput juga dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan UMK yang sehat. Dilihat dari
perspektif manajemen rantai suplai (SCM) kaitan input dan output .memungkinkan organisasi mendapatkan barang dan layanan yang tepat ke tempat mereka dibutuhkan pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang tepat, dan dengan biaya yang dapat diterima' (Hong dan
cheng,2004). 13
Dalam hal kaitan input, kaitan tersebut dapat difokuskan pada rantai pasokan antara perusahaan kecil dan besar
di mana mereka melakukan transfer teknologi, pelatihan, informasi
dan dukungan keuangan untuk usaha kecil. Menurut Goldmark dan Barber (2005), kaitan input dapat memberikan teknologi baru, kualitas input lainnya, dan/ atau jasa produksi yang penting
dan secara langsung akan mempengaruhi kinerja UMK, sebagai hubungan yang memberikan kekayaan informasi pasar sehingga dapat menurunkan biaya transaksi. Sementara itu, kaitan output dapat dilakukan melalui output upgradingantara perusahaanperusahaan terkait. Organisasi Pembangunan Industri
(tlNIDO) menunjukkan bahwa ada hirarki
berikut yang terjadi dalam proses upgrading dengan melakukan proses pemelajaran dan adaptasi yang biasanya memerlukan kombinasi dari dukungan pasar dan dorongan pemerintah (Nelson, 2007).
2.2.4 Klastering
Konsep klaster fokus pada hubungan antara para pelaku dalam rantai nilai dalam memproduksi produk dan jasa. Konsep klaster melampaui jaringan horizontal sederhana di mana perusahaan beroperasi pada pasar produk akhir yang sama dan termasuk dalam kelompok
industri yang sama, pemasaran kolektif atau kebijakan pembelian. Di banyak negara, kelompok usaha
ini semakin menjadi
perancang kebijakan industri dan inovasi yang fokus pada faktor-
faktor teritorial karena mereka mampu mendorong perbaikan kewirausahaan, belajar
dan
produktivitas (LTNIDO, 20 I 0).
Klaster sering lintas-sektoral (vertikal dan/ atau lateral), terdiri dari perusahaan yang berbeda dan saling melengkapi yang mengkhususkan
a
diri di lini tertentu atau basis pengetahuan
dalam rantai nilai (Roelandt dan Hertog, 1999). Untuk jalur pertumbuhan klaster, terdapat lima faktor utama yang menentukan pertumbuhan yaitu:
l)
ukuran pasar, 2) saham skala ekonomi dan 14
-
ruang lingkup, 3) tingkat upgrade, 4) sifat dari pendukung institusi, dan 5) bentuk efisiensi
kolektif(Uzor, 2004).
Inti dari klaster industri terletak pada
kemampuan mereka untuk mengembangkan
hubungan melalui kemitraan strategis antara perusahaan, pelanggan, pemasok, dan lebih luas lagi
adalah komunitas bisnis (Nel dan Makuwaz4 2001;. Mills, dkk, 2008). Sejalan dengan pandangan ini, Titze dkk. (2008) memberikan perspektif yang lebih fungsional
di klaster yang
didefinisikan sebagai Jaringan produsen perusahaan yang saling tergantung (termasuk pemasok khusus) dihubungkan satu sama lain dalam rantai produksi nilai tambah'.
UMK yang
beroperasi dalam klaster memungkinkan mereka untuk mendapatkan
keuntungan dari "ekonomi ekstemal", yaitu, keuntungan yang dihasilkan dari adanya ',kedekatan
geografis" seperti ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan imbas pengetahuan. Dalam hal
ini, Dahl dan Pedersen (2002: 5) menyatakan bahwa: "Ketika perusahaan yang sejenis beroperasi dalam klaster, perusahaan akan berbagi seperangkat nilai-nilai dan pengetahuan sehingga berperan penting dalam membangun lingkungan budaya industrial. Dalam lingkungan ini, perusahaan dihubungkan oleh hubungan informal tertentu dalam campuran kompleks dari kerjasama da:n kompetisi ... Dengan budaya yang mendukung hubungan informal ini dan berbagai lembaga daerah menyediakan layanan jaringan dengan mengatur pameran dagaig, konferensi, seminar, dan kegiatan sosial, individu-individu (rekan kerja, pe;in!, mantan rekan kerja, pemasok, pelanggan, dll) maka pembentukan hubungan dan kontak informal ini akan semakin diperkuat oleh kegiatan-kegiatan yanglsedang berlangsung."
schmitz (1995) berpendapat bahwa klaster akan menguntungkan perusahaan jika mereka
dapat menunjukkan efisiensi kolektif, yaitu keunggulan kompetitif yang disebabkan oleh "ekonomi eksternal" dan "aksi bersama". Untuk menganalisis ini, Titze dkk. (200g) mengusulkan kombinasi dari dua cara analisis, yaitu; analisis input-output dan analisis konsentrasi industri di tingkat regional.
15
LFL︰Lrllllllll l ´ ︱︱ ,
2.3 Strategi Bisnis
Dalam pandangan mazhab ekonomi neo-klasik, pemsahaan diperlakukan sebagai aktor non-strategis-
Yaitu bahwa perusahaan hanya beroperasi untuk memaksimalkan keuntungan
mereka, sementara pasarlah yang akan menentukan tingkat keuntungan yang dicapai (Kesper, 1999). Namun, Kesper (1999) menunjukkan bahwa karena adanya keterbatasn al6es ke pasar-
informasi yang terkait, maka transaksi pasar tidaklah gratis sehingga menyebabkan pasar sangat tersegmentasi. Akibatny4 keadaan tersebut mensyaratkan bahwa operasi perusahaan tidak ditentukan oleh'iwisible hand, tetapi oleh pengusaha bersama-sama dengan pilihan strategis mereka.
Menurut Kotey dan Harker (1998), kontribusi keseruruhan dari UMK untuk pengembangan
ekonomi khususnya yang berkaitan dengan tujuan-tujuan ekonomi seperti penciptaan lapangan
kerja, kemajuan teknologi, dan pajak pendapatan bagi pemerintah, tergantung pada kinerja individu masing-masing uMK. Kinerja perusahaan masing-masing pada gilirannya ditentukan. oleh strategi yang digunakan dalam operasi bisnis mereka.
Dalam konteks uMK, oleh karena pendekatan pembentukan strategi digambarkan bersifat
informal, imptisit, intuitif dan inkremental (cragg dkk., 2002), maka konseptualisasi strategi bisnis untuk UMK berbeda dengan perusahaan besar atau korporasi. Namun cragg dkk. (2002) menyatakan bahwa selama
ini studi tentang strategi UMK telah
gagal menyediakan model
strategi yang sesuai dengan tipe perusahaan tersebut. Studi yang berbeda telah menghasilkan
tipologi yang berbeda dan tidak semua jenis strategi selalu hadir di semua industri. Kurangnya konsensus bisa atau sebagian terjadi karena fokus pada strategi yang tersirat ketimbang eksptisit
oleh usaha mikro dan kecil, yang membuat strategi dalam perusahaan-perusahaan tersebut lebih sul
it untuk dipelajari.
16
Oleh karena itu, Turgay dan Kassegn (2005) berpendapat bahwa arah strategis dalam usaha
kecil pada dasamya sama dengan lainnya kecuali bahwa usaha kecil menghadapi hambatan yang
lebih sulit untuk menemukan pilihan strategis yang tepat untuk diterapkan mengingat keterbatasan kemampuan intemal mereka. Lebih penting lagi, mereka menunjukkan bahwa usaha
kecil yang berusaha untuk unggul dalam kinerja mereka dengan mengakuisisi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan perlu mengembangkan rencana strategis dengan menilai peluang ekstemal mereka untuk memanfaatkan kemampuan mereka yang unik dan menyesuaikan perusahaan ke arah yang diinginkan (Turgay dan Kassegn , 2005).
Menurut Ha (2002), strategi bisnis fokus pada peningkatan posisi kompetitif dari sebuah perusahaan atau produk
unit bisnis atau jasa. Dalam pengaturan perusahaan kecil, Kotey dan
Harker (1998) menyatakan bahwa kegiatan yang merupakan strategi dapat dikelompokkan secara
fungsional, yaitu berupa kegiatan-kegiatan strategis berjangka pendek yang mencakup bidang-
bidang seperti pemasaran, keuangan, sumber daya manusia, produksi, dan pengembangan penelitian (Kotey dan Harker, lggg; Ha.2002). Selain itu, duajenis strategi lain yang diusulkan yaittsmtcgi prOaktif cterkat dcngan kinc」 a tinggi)dan strategi reaktif(dengan ungkat kineJa
yang relatif lebih rendah) dan bahwa semua perusahaan mengadopsi sfiategi ini dalam derajat yang bervariasi. oleh karena itu, UMK mungkin harus diklasifikasikan dalam posisi strategi mana mereka beraCa diantara proaktifatau reaktif.
2.4 Kinerja
o'Regan dkk. (2005) menyatakan bahwa kinerja dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan hasil dalam dimensi yang ditentukan secara priori, a dalam
kaitannya dengan target. Namun, mengingat pentingnya usaha kecil untuk ekonomi, kineda perusahaan
kecil merupakan isu yang menjadi perhatian terus menerus yang berhubungan 17
1 ■■■1 ︲ 一
dengan pembuat kebijakan, manajer dan penasehat mereka (Maes et al., 2003). Namun, terdapat
ketidaksepakatan tentang terminologi yang digunakan, tingkat analisis, dan konseptual yang digunakan untuk menilai kinerja usaha kecil dan menengah (Ha,2002). Menurut Wiklund (1998)
tidak ada konsensus yang pasti tentang langkah-langkah yang tepat dalam menilai kinerja usaha kecil, dan penelitian mengenai hal ini cenderung memfokuskan pada variabel yang mudah untuk mengumpulkan informasi daripada variabel yang penting.
Meskipun pengukuran kinerja pada UMK masih sering diperdebatkan, Chong (200g) menyatakan bahwa perusahaan kecil tetap dapat mengukur kinerja mereka dengan menggunakan ukuran keuangan dan non-keuangan. walker et al. (1999)juga membuktikan bahwa keberhasilan perusahaan
kecil itu dapat dimulai secara mumi dari aspek-aspek keuangan ke non-keuangan.
Dalam hal ini, penjualan kotor (Delmar, l99Z) dan laba kotor (O'Regan dkk., 2004) dapar digunakan sebagai indikator kinerja keuangan dan produktivitas perusahaan (Fu et al., 200g) dapat digunakan sebagai indikator kinerja non-keuangan. Sementara itu, Moha Asri (1999) menggunakan laba bersih dan modal disetor untuk mengukur indikator kinerja keuangan dan
jumlah karyawan untuk mengukur indicator kinerja non-keuangan. Selain itu, masih terdapat isu lain terkait dengan sumber data yang digunakan untuk mengembangkan konstruk kinerja perusahaan kecil.
Lillo dan Lajara (2002)
berpendapat bahwa
data tentang kinerja perusahaan dapat diperoleh baik dari data sekunder atau primer. Mereka juga
menyarankan bahwa pengukuran subjektif kinerja dapat digunakan lebih dari data yang obyektif
untuk beberapa ala*n. Pertama, perusahaan kecit seringkati sangat enggan untuk memberikan
data keuangan mereka. Keduo, data keuangan yang obyektif tidak terseciia untuk publik, sehingga mustahil untuk memeriksa keakuratan laporan kinerja keuangan usaha mikro dan kecil.
Ketiga, dengan asumsi bahwa kalaupun data keuangan UMK ada yang dilaporkan, data tersebut
18
pada perusahaan-perusahaan kecil tetap sulit untuk ditafsirkan. Akhirnya, skor mutlak pada
kriteria kinerja keuangan dipengaruhi oleh faktor industrial yang terkait. Oleh karena itu, Ha (2002) dan Garg (2003) menilai bahwa penilaian subjektif dapat digunakan sebagai merode pengukuran sebab untuk mendapatkan data kinerja pada perusahaan kecil sangat sulit disebabkan kekurangan mereka dalam catatan akuntansi dan hal-hal lain yang bersifat administratif.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sampel Penelitian
Oleh karena penelitian ini untuk menyelidiki hubungan antara kaitan usaha antar-firma dan
strategi bisnis untuk kinerja UMK, sampel penelitian beroperasi dalam berbagai klaster industri kecil
di
ini
sengaja
dipilih dari UMK
Jawa Tengah. Pilihan
ini
yang
didasarkan pada
asumsi bahwa dalam klaster tersebut, bentuk dan jenis kaitan usaha antar-firma diidentifikasi dengan mudah sehingga dampaknya terhadap pembangunan MSE dapat dianalisis secara efektif.
Dengan menggunakan metode sampling klaster acak,
kabupaten sampel
di
mana setiap kabupaten terdiri dari
l0
kabupaten
l-5
dipilih untuk menjadi
klaster. pada masing-masing
kabupaten sampel, satu atau dua klaster dipilih untuk menjadi sampel klaster. untuk tujuan
pemilihan sampel, sejumlah UMK
di
setiap gugus sampel dipilih untuk menjadi sampel
penelitian. Nama kabupaten, klaster industri kecil yang tersebar di propinsi Jawa Tengah dan jumlah
UMK yang dijadikan
sebagai sampel penelitian dalam studi
ini ditampilkan pada Tabel
3.1
berikut:
20
1 ・
Tabet 3.1 Sampel Penelitian
No.
Regency
Cluster
No. of MSEs
Number
in Cluster @opulation)
of
Sample in Percentage
Sampled
(%)
MSEs
3.
Jepara
4.
Klaten
5.
Kudus
7.
Pati
9.
Rembang Sukohario Surakarta
N
9
3.62
Brass Handicraft
212 3597
3.77
176
8 143 7
412
18
3.88
1612 130 320
59
3.41 3.85
´ 5 ‘J 2
Magelang
10.
221
Teak Wood Carving Iron Castins Rooitile Embroidery Convection
6.
8.
Wood Furniture
Stone Handicraft Cassava Mill
Metal Working Fish Processins Hand Drawn Batik Music Instrument 14
3.89 3.98
3.92
5 15
251 55
12
4.37 4.50 4.38
5
9.09
r55 220 7727
6 8
3.87 3.64
310
3.81
5
Shuttlecock
10
〇 一
2.
Blora Boyolali
1
3.2 Pengumpulan Data Pengumpulan data telah dilaksanakan pada tatrun 2010. Namun demikian, terkait dengan
penelitian ini diperlukan adanya survey konfirmasi rcrhadap datadata yang telatr terkumpul tersebut. Untuk itu survey konfirmasi data akan dilaksanakan pada bulan September-November
201t. 3.3 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara dua tahap yaitu
l)
analisis deskriptif dan 2) analisis statistik
inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan fitur dasar dari data yang dikumpulkan dari penelitian lapangan. Berbagai teknik yang digunakan dalam analisis ini diklasifikasikan dalam bentuk:
l)
grafis dan 2) deskripsi tabel. Selain itu, beberapa langkah
21
魔蝿 ﹁
variabilitas untuk data seperti varians, deviasi standar, jangkauan, dan simpangan rata-rata juga digunakan dalam analisis ini. Sedangkan analisis statistic inferensial digunakan untuk menjawab hipotesis dan model
penelitian. Untuk kepentingan analisis ini maka SPSS (Sratisr'cal Package
for Social
Sciences)
danSEM (Structural Equotion Modeling)digunakan sebagai alat analisis yang diperlukan. 3.4 Model dan Hipotesis Penelitian
Model dan hipotesis penel itian ditampilkan sebagai berikut:
Research & Developm6nt
:NTER‐ FIRM
L,NKAGES
Fonwり rd.Linkages
Backward Linkages Ho百zontal Linkages
MSEsp
pERFORMANCES :ndivid● ai:ndexes Performance:
●Total Sa!e
O Net Prolt
.
O Tota:Asset
O Emp10yees
≧柵 柵 J:
≧ 触 里里 … 」 … … … …¨
22
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden terdiri dari informasi tentang usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan responden. Gambar dan tabel di bawah ini menjelaskan karakteristik pribadi dari 310 responden
di
semua jenis cluster industri dan kabupaten seperti yang disajikan dalam bagian
berikut.
4.1.1 Usia Responden
Profil responden MSE menunjukkan bahwa di Jawa Tengah, usia responden berkisar 70 tahun (rata-rata
:43,64; SD:
2l-
10,09) dengan rata-rata 44 tahun. Gambar 4.1 menggambarkan
rentang usia responden sebagai berikut:
Gambar 4.1
Usia bponden(T■ hun)
,Below 25
2534 r35 -
44
Dari responden yang disurvei, ada 131 (42,3 persen) responden yang berusia 35 sampai 44 tahun. Kelompok usia ini memiliki frekuensi 79 (25,5 persen) responden yang dari rentang 23
usia 45-54 tahun dan sebesar 46 (14,8 persen) yang dari rentang usia 25-34 tahun. Kelompok rentang usia 55-64 tahun diwakili oleh 37 (11,9 persen) responden sedangkan kelompokterkecil
diwakili oleh empat (1,3 persen) responden yang berumur di bawah 25 tahun dan 13 (4,2 persen) responden dengan rentang usia
di atas 64 tahun. Gambar 4.1 secara jelas menunjukkan bahwa
mayoritas responden bekerja secara aktif selama usia produktif antara 25 hingga 54 tahun. 4.1.2 Gender
Dilihat dari perspektif gender, jumlah responden laki-laki lebih besar dari perempuan. Gambar 4-2 menunjukkan bahwa laki-laki terdiri dari 243 (78,40 persen) responden sedangkan
wanita terdiri 67 (21,60 persen) responden. Temuan
ini
konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tambunan (2006b) yang menunjukkan bahwa laki-laki pengusaha (61,93 Persen dari pengusaha total) didominasi peluang kerja di sektor industri manufaktur kecil di Indonesia dibandingkan dengan pengusaha perempuan (38,07 persen dari pengusaha total). Tambunan (2006b) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan, dan kurangnya kesempatan pelatihan merupakan faktor yang masuk akal yang menyebabkan jumlah pengusaha perempuan untuk lebih sedikit {ibandingkan laki-laki dalam industi manufaktur kecil.
Gambar 4.2 Gender Responden
I
24
4.13 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden ditunjukkan berkisar dari 'tidak sekolah' untuk
pasca
sarjana (yaitu gelar master). Gambar 4.3 menggambarkan tingkat pendidikan formal yang diselesaikan oleh responden sebagai berikut:
Gambar 4.3 Tingkat Pendidikan Responden
瑯 螂 %
3
0
% 9籠 2.
協 鷹
父 螂
・ 一
ご
F
% ︻ 6 ・ ・ ゞ ヾ
ぶ Level of Educatlon
Dari responden yang disurvei, ada lima (1,6 persen) responden yang tidak menyelesaikan sekolah dasar mereka. Sementara itu, responden yang menyelesaikan pendidikan mereka adalah
sebagai
berikut 57 (18,4 persen) responden tamat SD, 93 (30,0 persen)
responden
menyelesaikan SMP, 122 (3g,4 persen) responden menyelesaikan SMA, sembilan (2,9 persen) responden selesai diploma, 23 (7,4 persen) responden menyelesaikan gelar sarjanq dan satu (0,3
persen) responden gelar master selesai. Data jelas menunjukkan bahwa mayoritas responden menyelesaikan pendidikan formal mereka ditingkat SMA.
25
4.2 Kaitan Usaha antar
UMK
4.2.1 Persepsi terhadap Kaitan Usaha Seperti ditulis dalam literatur. hubungan antar-perusahaan dipandang oleh UKM sebagai saluran strategis untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam produksi, pemasaran dan area lain
dari bisnis. Lemma (2001) menunjukkan bahwa melalui hubungan perusahaan membuka jalan
untuk memperoleh informasi tentang produk yang menarik yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan pada tingkat yang berbeda. Mereka
juga memanfaatkan pada manfaat lainnya
inpu! ketersediaan kredit
termasuk harga rendah dan pasokan rutin dari
tenaga kerja terampil,
dan pasar.
Tabel 4.1 menyajikan data tentang bagaimana pengusaha dalam sampel dirasakan pentingnya atau manfaat dari hubungan antar-perusahaan untuk kemajuan perusahaan mereka sebagai berikut:
Tabe1 4.1
Perseptsi terhadap Manfaat КbLitan Usaha
Benefit Knowledee ImD(i.rement Product Innovation Product Oualitv Inout suo。 lv
Work Capital Cost Reduction Product Marketing Sale Improvement Total
Respondents
No Relation Frequencv (%) 34 11.0 42 13.5 35 H.3 44 14。 2 69 22.3 135 43.5
Related Frequency 276 268 275 266
(%) 89.0 86.5
269
49
13.2 15.8
88:7 85.8 77.7 56.5 86.8
261
84。
310
100。 0
310
41
241 175
2
100.0
26
4.2.2 Kaitan Usaha Belakang 4.2.2.1 Kaitan
Input
Bagi UMK, membuat kaitan input dimaksudkan untuk memperoleh pasokan bahan baku,
mesin dan peralatan produksi berjalan terus menerus. Kaitan usaha tesebut dapat dibangun dengan membuat transaksi terus-menerus dengan perusahaan besar, perusahaan kecil, grosir, koperasi, dan / atau penjual langsung. Dalam hal hubungan ini, porusahaan seperti pasokan UMK dengan input produksi. Tabel 4.2 menyajikan pola keterkaitan input sebagai berikut:
Table 4.2 Pola Kaitan Input
Input Purchased
Raw Material 0/0 Frequency
Machinery % Frequency
Equipment % Frequency
from Larqe Firm Wholesaler Cooperative
21.0
19
61
9.4 12_6
Dircct Seller
45
14.5
Combination
1ll
35.8
2
0.6
All
29 29 6 9 31
12
・3
12.4 9.4 9.4
37
1.9
J
2.9
43
13.9
10.0
28.7
100.0
189
61.0
89 4 142
3ro
100.0
310
一 〇
No Linkage Total
38
つp ワ′
Small Fi.lll
29 39 65
Resoon
100.0
3.9 11:9
23.5 1.0
1.3
459
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa di antara pemasok input, grosir menjadi pemasok utama
(65 [21,0 persen]) responden diikuti oleh penjual langsung (45 (39
[2,6
sebanyak
[4,5
persen]), perusahaan kecil
persen]), perusahaan besar (29 [9,4 persen ]), dan koperasi (19
lll
[6,] penen]). Selain itu,
(35,8 persen) responden membeli bahan baku dari berbagai agen seperti dari
perusahaan besar dan penjual langsung, dari perusahaan besar dan kecil, dari perusahaan besar,
koperasi dan penjual langsung.
27
Dalam hal pembelian mesin, Tabel4.2 menyajikan bahwa di antara responden, 189 (61,0 persen) responden tidak membeli mesin untuk produksi mereka.
lni mungkin berkaitan
dengan
jenis mode produksi seperti di kerajinan batu, digambar tangan batik dan bordir yang tidak memerlukan mesin-mesin produksi. Sementara itu, di antara mereka yang menggunakan mesin dalam produksi, 38 (12,4 persen) responden yang dibeli mesin dari perusahaan besar, 29 (g,4
persen) responden yang dibeli mesin dari perusahaan-perusahaan kecil, 29 (9,4 persen) responden membeli mesin dari grosir, dan
3l
(10,0 persen ) responden memperoleh mesin dari
kombinasi pemasok berbagai mesin.
4.2.2.2 Subkontark Subkontrak adalah jenis lain dari kaitan usaha belakang yang dapat ditemukan di antara
UMK dalam sampel. Sato (2000b) menunjukkan bahwa banyak dari usaha kecil di provinsi Jawa Tengah membangun hubungan subkontrak untuk meningkatkan kapasitas usaha mereka dan untuk meningkatkan kemampuan teknologi. Tabel 4.3 menyajikan rincian hubungan subkontrak tersebut.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa 163 (52,6 persen) responden menawarkan hubungan subkontrak kepada mitra merekq sementara 147 (47,4 perxn) responden tidak menawarkan hubungan tersebut. Bagi mereka yang menawarkan hubungan subkontralg proporsi produksi atau
output subkontrak berkisar l-75 persen dari produksi. Di antara responden, sebanyak persen) responden menawarkan keluaran
l-25 persen subkontralg 38 (24,4 persen)
ll2 (68,7 responden
menawarkan 26-50 persen keluaran subkontrak, dan 13 (7.9 persen) responden menawarkan
5l-
75 persen output yang disubkontrakkan.
Seperti ditulis dalam literatur, ada banyak manfaat yang dapat diperoleh untuk perusahaan yang menawarkan sistem subkontrak kepada mitra mereka. Studi
ini
menemukan
28
電1 1
bahwa sejumlah 122 (74,8 persen) responden subkontrak menjalankan produksi terus menerus,
116 (71,2 persen) responden subkontrak untuk meningkatkan kapasitas produksi, 100 (68,0 persen) responden subkontrak untuk mengurangi biaya produksi, 67 (41,1 persen) responden menawarkan subkontrak untuk menghasilkan lebih efisien, dan 57 (34,9 persen) responden menawarkan subkontrak untuk berinovasi produk. Secara ringkas, dinamika subkontrak ke belakang tersebut disajikan pada Tabel 4.3 berikut:
Tabe1 4.3
Subkontrak ke Belakang No Subcontract Reason Freq. Low Demand
100
DissatisFled Qua!ity
100
Bad Partnership
85
High RIsk
63 54
Process lnefficiency Tota:
Res,ondents
147
Subcontract (%) 68.0 68.0 57.8 42.9 36.7 47.4
Share
Freq.
1-25% 26-50% 51-75%
(%)
112
68.7
38
23.4
Total Respondents
163
52.6
Reason
Freq.
(%) 74.8 71.2 68`0 41.1 34.9 52.6
Production Continuity CapaciW lmprovement Cost Reduction Efficiency
Product lnnovation Total Respondents Problem Exceed Time
Umit
Unsatisfied Result
Multiple order Break the Contract Business Failure
lnefficiencv Total Respondents Solution System lmprovement Job lmprovement Contract Renewing New Partnership
7.9
122 116 100 67
57
163 Freq.
128 128 81 73
43
(%) 78.5 78.5
49.7 44.8 26.4
4
163
52.6
Freq.
(%}
123 120
75.5
73.6
97
59.5
76
46.6
Payment Revision
40
24.5
Trust Buildins Total Respondents
8
4.9
163
52.6
29
4.2.3 Kaitan Usaha
Depan
:..,,
.
4.2.3.1Kaitan Output
Dengan demikian, mereka perlu agen atau perusahaan untuk menerima produk mereka. Terutama karena ketertarikan
ini,
membuat hubungan output dengan perusahaan besar,
perusahaan kecil, grosir atau konsumen langsung menjadi pilihan strategis. Tabel 4.4 menyajikan
pola hubungan output sebagai berikut:
Table 4.4 Pattern of Output Linkage
Outnut Supplied to
("/"1
LarEe Firm
Frequency 90
Small Fi.111
5
1.6
34 36 132
11.0
42=6
13
4.2
3r0
100.0
Wholesaler Direct Consumer
Combination AH Total Respondent
29.0
lL6
Tabel 4.4 jelas menegaskan bahwa memasok output ke berbagai perusahaan lebih disukai
oleh responden dalam membangun hubungan output seperti yang dilakukan oleh 132 (42,6 persen) responden. Selain
itu, terdapat sekitar 90 (29,0 persen) responden memasok produk
mereka ke perusahaan besar,36 (11,6 persen)'responden untuk konsumen langsung,34 (11,0 persen) responden untuk grosir, lima (1,6 persen) responden untuk perusahaan kecil, dan 13 (4,2 persen) responden memasok produk mereka untuk semua perusahaan.
Namun, hubungan tersebut tidak menjadi pilihan untuk semua responden UMK. Di antara mereka terdapat sebanyak 237 (76,5 persen) responden masih mempertahankan hubungan
produksi terus menerus dan 73 (23,5 persen) responden tidak menjaga hubungan terus menerus.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan output lebih disukaioleh pelaku UMK dalam sampel. 30
¨■一
Karena ukurannya yang kecil, UMK sering terbatasi dalam memasarkan produk mereka.
4.232 Subkontrak Kedepan Dalam rangka meningkatkan produk perusahaan dan kapasitas, banyak UMK dalam sampel memproduksi produk mereka berdasarkan pesanan melalui hubungan subkontrak. Tabel
4.5 di bawah ini menyajikan rincian hubungan subkontrak kedepan antara responden yang
disurvei; 156 (50,3 persen) responden menghasilkan produk dengan menerima
pesanan
subkontrak dan 154 (a8,7 persen) responden menghasilkan produk tanpa menerima subkontrak yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
Table 4.5 Subkontrak Kedepan No Subcontract Reason Fteq.
lndependency Difficulty in Partnership gusin€ss Development
126
Subcontract (96)
818
71.2
72.7
78
50.6
umited PrOf t
Complicated Rule No Subcontract Offered
Order Continuity Effi ciency in Production Ctpacity lmprov€ment
Freq.
129
Cost Reduction 33.1 6
3819
Totai
RespOndent
Reason
%) 〔 s2.7 71.6 35.3
Product lnnovation Profit lmprovement
49
314
10
64
155
50.3
Iotal 154
49.7
R6pondent Problem
98 0フ
Contract lmprovement New Speciflcation Chanse in Order Quality lmprovement Bad Partnershlp
Freq.
88 80
43
{%)
628 60.9 56.4 51.3
27.6
Total Reapondcnt Solution Negotiation with Partner
n e
n 硼d o p s お
System lmprovement New Asreement Payment lmprovement New Partnership
156 Freq.
101 100
94
50.3 {%)
647 64.1 60.3
46.8 40
256
156
50.3
Menurut Sato (2000b) terdapat dua alasan penting mengapa suatu perusahaan mempertahankan hubungan subkontrak yaitu; alasan untuk tujuan mendapatkao risiko bisnis yang
j ^
Fendah dan kemaum tekn。 logio Melalui hubungan yang terus,enerus dalam hubungan teFSebuち suatu peFuSahaan dap● meminindkan dsiko bisnお total ddam peFbdejangka paniang SChingga
dapat mettaga kOntinuitas pЮ duksi dan dapat membuat rencana untuk meningkatkan kenl〔 Inpuan
teknologinya.
Tabe1 4.5juga p"yaJikan alasan hengapa lIMK dalatn sampel berniat untuk menemma
subkontrak dibedkan oleh mitm mereka.Di antara mereb,129(82,7 pe鵬 ⇒ reSponden ingin mempenmankan kelangsllngan produksi,121(77,6 persen)respOnden men∞ ba untuk membuat pFOSeS prOduksi lebih ensien9 dan 55 o5,3 persenu responden perlu meninmkall kapasitas prod山 si merekao Sementara 55 o5,3 persen)respOnden ingh mengurangi biaya produksi,49
014 peSen)reSponden perlu meninmtkan kualitt produk merelt dan 10(6F persen) responden mencoba untuk meningkatkan laba pemsahaan. Sementara itu,UMK dalalln satnpel yang ddak menerlma pesanan subkonmk memiliki
alasan tertentu.Di antara alasan mereka adalah bahwa 126(81,8 persen)respOnden ingin
mempemhankan pЮ ses produksi secara mandiH,H2(72,7 pcrsen)respOnden merasa kesulitan und menemukan perusahaan mha yang ba」 ヒ dan 78(50,6 persen)respOnden khawat缶 terhadap五 siko kemttllan bisnis mereka sendid.Al観
腱lain
tennasuk 55 o5,7 persen)respOnden
yang ingin ttemakSimalkan keuntungan mereka 51(33,l persen)reSponden melanggar aturan yang ketat sistem subkon燎 亀 dan enarn(38,9 persen)reSponden tidak memiliki tawaran pesanan
subkontrak.Beberapa masalah di antara pihak yang terlibat rnungkin muncul dalam hubungan subkontrak ke depan.Dalaln hal ini,perubahan kebjakan pasangan yang dirasakan oleh 98(62,8 persen)respOnden sebagJ masalah yang paling sering teJadio Perubahan datang tanpa p可
可 ian
SebeluFnnya Sehhgga membutt para pengusaha diatur sistem ketta merekao Spesi■ kasijelas dari pesanan subkontrakjuga mttadi masalah lain yang seHng tedadi SepeFi yang dialaFni Oleh 95
32
(60,9 persen) responden. Selain masalah ini,88 (56,4 persen) s€ring memiliki perubahan tidak teratur pada perintah yang diberikan oleh kontraktor, 80 (51,3 persen) responden gagal untuk meningkatkan kualitas produk,
dn
43 (27,6 persen) rcsponden memiliki masalah kemitraan
yang buruk.
Untuk mengatasi masalah, UMK dalam sampel mengambil beberapa tindakan. Di antara
merekq ada
l0l
(64,7 persen) responden bemegosiasi dengan mitra dalam hal produk dan
spesifikasinya, 100 (64,1 persen) responden mencoba untuk melakukan perbaikan sistem kerja, 94 (60,3 persen) responden bemegosiasi dengan mitra untuk memperbaharui kontrak, 73 (46,5
persen) responden mengusulkan perbaikan pembayaran, dan 40 (25,6 persen) responden mencoba mencari kemitraan baru dengan perusahaan lain.
4.2.4 Kaitan Horisontal Sandse dan Rietveld (1997), Nadvi (1999), Weijland (1999), Sato (2000b), Kuncoro dan
Supomo (2003), dan Tambunan (2008) menunjukkan fenomena umum aglomerasi UMK dalam
sebuah cluster. Rogerson (2001) secara khusus menyoroti bahwa dalam cluster, UMK mengembangkan bisnis mereka dengan manbuat sebuah hubungan horisontal intens yang memudahkan mereka untuk membuat aksi bersama unruk tujuan efisiensi kolektif. Dalam hal ini, aksi bersama dapat dilakukan dalam bentuk pinjam-meminjam alat, mengamankan tempat usaha,
atau tindakan bersama untuk pengadaan bahan baku. Tabel 4.6 menggambarkan rincian hubungan horisontal tersebut sebagai berikut:
33
Table 4。 (ゝ
IIOFiZOntal Linkage ActiЙ ty
Freq.
lnformation Sharins
283
Order Sharing Joint Marketins Equipment Sharing Joint Training .,oint Purchase of
204 136 106
97 60
Reason
(96)
913 658 439 342 313 194
lnpuVMaterials
Number of Similar Firms Strategic Location ltlfrastructure Availabiltty
Problem Unfair Competition Limited Cooperation Lack of Coordination Break the Asreement
191 172
labor AvJLbinty ,vver Availab‖ ity
54
Business Development
16
(%}
690 616 555 423 390 174
Tota:
310
100
R● spOndent
So:ut:on
Freq.
236 158 147 78
761 510 474 252
Total Respondeitt
214
Supp:ler Ava‖ ab‖ ity
Tctai
RespOndent
Freq.
310
System lmprovement Remind the Partner
Agreement Renewal New Partne.ship Trust Building
1∞
Tota!Respondent
310 Freq.
183 183 150 69
1∞ (%〕
590 590 484 22.3
14
45
310
100.0
Tabel 4.6 menegaskan bahwa 283 (91,3 persen) r.sponden bersama-sama bertindak dalam berbagi informasi bisnis, 204 (65,8 persen) responden terlibat dalam berbagi bisnis pesanan, 136 (43,9 persen) responden terlibat dalam pemasaran bersamq dan 106 (34,2 persen) responden terlibat dalam pekerjaan peralatan berbagi. Selain tingkat yang lebih rendah kerja
sama' UMK dalam sampel .iuga mengembangkan aksi bersama dalam pelatihan bersama (92 responden atau 31,3 persen). dan pembelian input (60 responden atau 19,4 persen).
Aksi bersama yang muncul dalam sebuah klaster industri kecil menunjukkan bahwa, sebagai akibat dari kedelatan fisik,
UMK harus dapat berbagi informasi, jaringan satu sama lain
dalam hal pemasok, pedagang, pelanggan, dan perusahaan pada masalah umum dan masalahmasalah (Rogerson, 2001). Tabel 6.12 dengan jelas menunjukkan bahwa untuk beberapa UMK
batas dalam sampel telah berhasil mengembangkan kegiatan bersama usaha berupa mereka menikmati keunggulan komparatif kedekatan fisik.
34
Selain keuntungan dari kedekatan fisik, alasan terkait lainnya mungkin menjadi kekuatan
pendorong untuk UMK dalam sampel untuk menciptakan hubungan horisontal dalam operasi bisnis mereka. Tabel 6.12 menyajikan data mengapa UMK dalam sampel dibangun hubungan horisontal. Di antara alasan, ada 214 (69,0 persen) responden menyatakan itu karena jumlah berlimpah dari perusahaan yang sama di cluster,
l9l
(61,6 persen) responden merasa bahwa
lokasi mereka adalah strategis untuk melakukan bisnis, 172 (55,5 persen) responden menikmati infrastruktur yang disediakan oteh pemerintah daerah, 13l (42,3 persen) responden menganggap tenaga kerja terampil yang melimpah yang tersedia di cluster, responden
l2l
(39,0 persen)
menyatakan bahwa usaha mereka yang dekat dengan pemasok inpu! 54 (17,4 persen) responden menganggap kedekatan konsumen dan l6 (5,2 persen) responden bopikir pengembangan usaha.
Menurut Nadvi (1999a), cluster kadang-kadang memberikan tanda-tanda yang jelas tentang efisiensi kolektif maupun kegagalan kolektif. Artinyq ketika tindakan kolektif gagal berlangsung atau ketika tindakan perusahaan menyebabkan kerusakan posisi kotektif mereka.
Tanda-tanda
ini
menunjukkan bahwa dalam upaya untuk membangun hubungan horisontal,
UMK terkadang menghadapi beberapa masalah terkait dengan kerja sama mercka horizontal. Masalah mungkin menyebabkan kegagalan antara
LMK untuk mendapatkan
keuntungan
hubungan horisontal.
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa masalah utama bahwa perusahaan-perusahaan menghadapi persaingan yang tidak adil
yanfiialami oleh 236 (76,1
persen) responden. Setelah ini,
responden 158 (51,0 p€rsen) menyatakan bahwa pasangan sering mengembangkan lebih cepat secara eksklusif tanpa memberikan sebuah kerjasama intens. Secara khusus, 147 (47,4 persen)
responden menyatakan bahwa sangat sulit untuk membuat koordinasi dalam membuat tindakan bersama, dan 78 (25,2 persen) responden merasa bahwa kegagatan untuk bekerja sama secara
35
horizontal sering disebabkan oleh kekerasan perjanjian. Masalah-masalah ini untuk sebagian membawa sejauh kegagalan kolektif antara
UMK beroperasi dalam kelompok industri kecil di
Jawa Tengah.
Untuk mengatasi masalah ini beberapa tindakan yang diambil seperti disajikan pada Tabel 4.6. Di antara responden yang disurvei, respondan 183 (59,0 persen) menyatakan bahwa sistem kerja meningkatkan sering dianggap sebagai metode penting untuk memecahkan masalah.
Selain itu, 183 (59,0 persen) responden lebih memilih untuk mengingatkan para mitra pada kesalahan mereka tanpa memaksakan sanksi. Secara khusus, 150 (48,4 persen) responden mangusulkan kepada pasangannya untuk memperbarui perjaqiian bisnis. Sementara 69 (22,3 persen) responden mencoba untuk menemukan mitra lain untuk membuat kemitraan baru, 14 (4,5 persen) responden berusaha meningkalkan kepercayaan di antara mereka-
43 Kerjasama dan Persaingan antar IJMK Bagian
ini
menjelaskan keseluruhan tingkat kerjasama dan kompetisi
perusahaan yang disurvei. Dengan menggunakan lima poin kerjasama
ini ditunjukkan dengan
di
antara
Likert skala pengukuran, tingkat
seberapa sering perusahaan bekerja sama sementara tingkat
persaingan diungkapkan oleh strategi bisnis perusahaan. Ini sampai batas tertentu menyediakan
banyak informasi tentang prevalensi baik kerjasama dan kompetisi
di
antara perusahaan
berkerumun.
4.3.1 Kerjasama antar
UMK
Tingkat kerja sama yang dilakukan oleh responden ini tercermin dari frekuensi mereka dalam melakukan hubungan antar-perusahaan di antara mereka- Tabel 4.7 menyajikan tingkat kerjasama sebagai berikut:
36
Table 4.7 Tingkat Kerjasama antar UMK level of Coope.atlon
Frequency (%)
Mean High
Low
Ncwr
q,snh
std, Dev.
S'tinzt
Ofi.n
rTetaJt
391 330
126
Sackward Linkage
lnput Linkage
16.7
77.7
Subcontract Linkase Order Delivery Technical Support
224
224
99
13.6
32.0
17.7
28.6
Financial suoport
201
25.9
20.7 19.0
34.7 26.5 28.9
t6.7 9.9
1222 1190
3.36 3.L7 3.27
1.110
65 61
2.76
1209
2.75
1.240
184 184
3.30 3.44
1.172
78 54 78
266
1.304
2.54 2.96
■260
Total Respondent Forward Unkage
Outl'iit Unka€c Subcontract Linkase
294 99 82 26.5
Marketing Support
180
27.9
214
316
23.8
36.4
20.4 23.1 19.0
218 2t.L 19.4
22.4 う0
Technical SupDort Financial Support
18.7 13.3
7.244
1259
Tota!
Respondent
294
Ord€r Sharins Jolnt Marketlns Joint lnput Purchase Joint Training Total Rcspondent
こ一
Horizontal LJnkaSe lnformation Sharins 15.3
20.7
194
241
26.2
20.1 19.0
23.5 24.5 20.1 23.1
228
4t.z
11.9
31.6
296
269
78 95
2.83
1123 1205 1282
24.5
6.1
2.U
1.271
19.7
48
2.43
t.267
294
Dalam hal keterkaitan ke belakang, Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa kaitan input,
subkontrah dan delivery order menempati tingkat tinggi kerja sama antara perusahaan. Dari responden yang disurvei, 39,1 persen dan 16,7 persen responden sering dan selalu menjaga
hubungan masukan masing-masing. Secara khusus, 33,0 persen dan 12,6 persen responden sering dan selalu menjunjung tinggi hubungan subkontrak masing-masing, dan 34,7 persen dan
9,9 persen responden sering dan selalu mempertahankan pengiriman pesanan masing-masing. Rata-rata, masukan keterkaitan, subkontrak, dan delivery order menunjukkan tingkat wajar kerjasama diukur dengan skala Likert lima (mean
:3,17-3,36).
37
Sementara
itu, dukungan teknis dan keuangan mengambil rendahnya kerjasama antar
perusahaan. Dari responden yang disurvei, 17,7 persen dan 28,6 persen responden tidak pemah
dan jarang memberikan dukungan teknis, sedangkan 20,1 persen dan 25,9 persen responden
tidak pemah dan jarang menawarkan dukungan keuangan masing-masing. Rata-rata, dukungan backwardly teknis dan keuangan menunjukkan rendahnya tingkat kerjasama diukur dengan skala
Likert lima (mean
:
2,7
5).
Dalam hal keterkaitan ke depan, Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa output dan keterkaitan subkontrak menempati tingkat tinggi kerja sama antara perusahaan. Dari responden
yang disurvei, 31,6 persen dan 18,4 persen responden sering dan selalu mempromosikan keterkaitan keluaran, sedangkan 36,4 persen dan 18,4 persen responden sering dan selalu menerima hubungan subkontrak masing-masing. Rata-ratq output dan keterkaitan subkontrak menunjukkan tingkat wajar kerjasama diukur dengan skala Likert lima poin (mean = 3,30-3,214). Sementara itu, perusahaan menerima teknis, keuangan, dan pemasaran dalam mendukung
rendahnya tingkat kerjasama. Dari responden yang disurvei, 26,5 persen dan 20,4 persen responden tidak pernah dan jarang mendapatkan dukungan teknis masing-masing. Secara khusus,
27,9 persen daa 23,1 persen responden tidak pemah dan jarang menerima dukungan keuangan,
sedangkan 18,0 persen dan 19,0 persen responden tidak pemah dan jarang mengambil u
pengiriman dukungan pem.rsaran masing-masing. Pada dukungan, rata kedepan teknis, keuangan, dan pernasaran menunjukkan rendahnya tingkat kerjasama diukur dengan skala Likert
lima (mean = 2,54-2,96). Dalam hal hubungan horisontal, Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa account berbagi informasi untuk kerja sama tingkat tinggi seperti ditunjukkan oleh 53,1 persen responden (mean
=
3,33). Kegiatan lain seperti pelatihan bersama, pembelian bersama dari input
/
bahan,
38
pemasaran bersama, dan berbagi agar mendapat perhatian sedikit mengingat fakta bahwa mereks
mempraktekkan dalam rendahnya tingkar kerjasama diukur dengan skala Likert lima (mean = 2,43 menjadi 2,96).
43.2 Persaingan antar UMK Melalui Strategi Bisnis Strategi bisnis yang digunakan dalam penelitian ini mengungkapkan suatu kondisi ketika
UMK dalam sampel
mencoba untuk bersaing satu sama lain berdasarkan kapasitas intemal
mereka sendiri. Dalam situasi bisnis strategi dapat mendorong perusahaan untuk menjalankan
bisnis dalam lingkungan yang kompetitif. Hal ini kemudian dikatakan bahwa strategi bisnis sampai batas tertentu menunjukkan tingkat persaingan yang dihadapi oleh perusahaan. Dengan menggunakan lima skala Likert pengukuran, Tabel 4.8 menggambarkan tingkat persaingan di antara perusahaan yang disurvei secara rinci.
Dalam hal untuk strategi keuangan, Tabel 4.8 menegaskan bahwa sebagian besar responden menginvestasikan kembali bagian dari keuntungan mereka dan menjaga saldo kas
dengan benar.
Di
antara merek4 26,5 persen dan 16,0 persen respondell sering dan selalu
menginvestasikan kembali keuntungan merek4 sedangkan 36,1 persen dan 25p, persen responden sering dan selalu menjaga saldo kas masing-masing. Diukur dengan skala Likert lima
poin, dua strategi yang cukup diterapkan oleh responden (rata-rata = 3,174,64). Sementara itu, pembiayaan dana, mudah ekstemal sourcing, dan pembayaran
di
muka kurang mendapat
perhatian mengingat kenyataan bahwa mereka mempraktekkan dalam tingkat rendah dari strategi
diukur dengan skala Likert lima (mean = 2,51-2,80).
39
Table 4.8 Persaingan antar UMK melalui Strategi Bisnis level of Comp6tition
5[a*r Finance Strategy External Financing Easy Fund Sourcing
Frequency (%) Fair HiCtt *,Feb S'ti,e.s Ort.n .f,fiutqs
Mean
Low
33.0 18.9
19.7 L9.7
t7.o 24.8
Profit Reinvestment
9=9
22,L
25.5
Cash Balance
5.1
11.9
2L.8
Payment in Advance
2L.4
25.5
13.9
13.8 25.9
26,s 36.1 30.0
std. Dev.
6.5
2.51
6.5
2.73
1.334 1.253
16.0
3,t7
2s.2
3.64
1.224 1.132
8.8
2.80
tr316
8.2
3.03
7.5
1.126 1.288 1.145
Total Respondents
Marketlng Strategy New Marketine Promotion Pricing Strategy High Turnover
Complaint Response
294 10.5
2t.8
29.6
25.9
20.7
22.8
29.9 23.1
20.4
30.3 20.1 15.0
26.9 29.9
L7.3
5.1
2.66 2.56
32.3
11.6
3.23
1.087
22.l
33.0
22.4
3.49
1.188
6.1
6.5
Total
294
Respondents HRM StrateSy
Worker Partakine Worker Performance Worker Satisfaction Constructive critics Trainins for Worker
20.1
16.0
25.2
34.0
4.8
2.gt
1.218
5.8
21.4
36.1 35.4
20。 1
3.48 3.46
1.■
3.4
16.7 18.0
8.2
2L.4
35.0
12.6
2L.L
28.9
9.5
3.22 2.87
1.161
19.7
3.35 3.11 2.69
1.137 1.139 1.254
25.2 22.8 20.7
17.0
56
1.076 1.288
Total Resoondents
294
R&D Strategy
lnformation Update
7.8
l7.o
20。 1
Qua‖ ty Contro:
5.8
10.9
16.0
Active inAssociation
25.2
t7.3
25.9
Consumer Taste Business Anticipation
7.8
11.9
9.5
L7.7
23.s 20.1
Tota! Respondents Operation Strategy Operational Chanee Data on Competitor Cost Reduction Target Evaluation
11.6
23.L
14.6 15.6
20.7
t9.7
28.9
6.5
13.3
28.6
High lnventory
8.8
25.2
18.4
42.5 41.2
26.2 32.3 40.1
12.6 26.2 5.4 24.5
3.54
t.204
12.5
3.29
1.177
10.9
1.207 1.207
8.5
3.09 2.99 2.93
L6.7
3.42
1.111
13.9
3.19
1.212
294 21.4 24.1
33.0 32.0 27.2 35.0 33.7
8.5
1.198
Total Resoondents
294
40
/
Dalam hal strategi pemasaran, Tabel 4.8 menunjukkan bahwa mencari metode baru pemasaran, mempe(ahankan omset tinggi, dan menanggapi keluhan pelanggan yang paling
diterapkan oleh responden. Di antara merekg 29,9 persen dan 8,2 persen responder sering dan selalu menerapkan metode baru pemasamn masing-masing. Secara khusus, 32,3 persen dan I1,6 persen rcsponden sering dan selalu menjaga omset tinggi, sedangkan 33,0 persen dan 22,4 persen
responden sering dan selalu menanggapi keluhan pelanggan masing-masing. Diukur dengan
skala Likert lima poin, shategi ini cukup diterapkan oleh rcsponden (rata-rata
= 3,03-3,aD.
Sementara itu, promosi, dan strategi harga kurang diterapkan karena rendahnya tingkat strategi
diukur dengan skala Likert lima poin (mean:2,56-2.,66). Manajemen sumber daya manusia (HRM) adalah jenis lain dari strategi yang menerima
banyak perhatian yang dibayarkan oleh perusahaanaerusehaan yang disurvei. Tabel 4.8 menunjukkan bahwa 36,1 persen dan 20,1 persen responden sering dan selalu menilai kinerja
masing-masing, sementara 36,4 penen memperhatikan mereka pada karyawan
dan 17,0 persen responden sering dan
kepuasan
mereka masing-masing. Secara
khusus, 35,0 persen dan 12,6 pers€fl responden sering dan selalu mendorong pads membangun masing-masing. Diukur dengan skala
selalu
kitik
yaf,g
Likert llma poin, kegiatan seped di HRM
menerima tingkat wajar aplikasi oleh responden (mean = 3,22-3,48). Sementara itu, melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan dan menawarkan pelatihan bagi karyawan yang kurang diterapkan sebagai kegiatan menerima rendahnya tingkat perhatian dalam stretegi HRM diukur dengan skala Likert lima poin (mean= 2,87).
Untuk tingkat tertentu, penelitian dan pengembangan (R & D) strategi pada dasamyajuga diterapkan oleh perusahaan yang disurvei. Tabel 4.8 menjelaskan bahwa kegiatan tersebut dalam
R&D
sebagai menjelajahi informasi bisnis, mengontrol kualitas produk, mengikuti selera
41
ノ
konsumen, dan mengantisipasi tren bisnis sebenamya menerima banyak perhatian dari strategi perusahaan. Diukur dengan skala Likert lima poin, kegiatan seperti di R
&
D strategi yang cukup
diterapkan oleh responden (rata-rata = 3,29-3,71). Sementara itu, mengambil bagian aktif dalarn bisnis terkait kurang diterapkan oleh perusahaan. Diukur dengan skala Likert
& D srategi menunjukkan rendahnya tingkat
lim4 kegiatan di R
strategi yang diterapkan oleh responden (mean =
2,69).
Akhimya, sehubungan dengan strategi operasional, tampeknya bahwa sebagian besat responden membayar perhatian mereka pada strategi ini. Tabel 4,8 menunjukkan bahwa di antara responden, ada 33,0 persen dan 10,9 persat responden yang sering dan selalu membuat beberapa perubahan dalam operasi perusahaan masing-masing. Dalam hal tetterfit,33,7 persen dan 13,9 pemen responden sering dan selalu menjaga persediaan tinggi masing-masing, dan 35,0 persen
dan 16,7 persen responden sering dan selalu mengOvaluasi kinerja perusahaan dari target masingmasing. Diukur dengan skala Likert lima poin, kegiatan tersebut dalam strategi operasi yang
cukup diterapkan oleh responden (rata-rata
=
3,09'3,42). Sementara itu, moncari informasi
tentang pesaing dan mengurangi biaya produksi kurang diterapkan oleh Perusahaan. Diukur dengan skala Likert lima poin, kegiatan-kegiatan dalam shategi operasi menunjukkan hampir tingkat wajar strategi yang diterapkan oleh responden (mean= 2,99).
42
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Provinsi Jawa Tengah adalah sebuah laboratorium yang luar biasa untuk menjelajahi
UKM terutama kelompok industri kecil,
adanya hubungan antar-perusahaan yang dibangun oleh
karena ada kelompok banyak dari
tlMK di
seluruh provinsi. Untuk menganalisis mereka,
penelitian ini telah menerapkaa pendekatan studi kasus cluster dipilih yang mencakup sektor manufaktur berbagai sub dan kabupaten mulai dari kecil ke kelompok besar. Studi kasus dijelaskan dengan mengeksplorasi sifat hubungan secara deskriptif dan memeriksa hipotesis yang berkaitan dengan kontribusi kaitan dengan kinerja perusahaan. Telah berlaku umum bahwa hubungan antar4erusahaan yang dibangun oleh materi UMK
untuk kinerja perusahaan. Literatur yang ada dalam bidang hubungan antar-perusahaan memberikan
UMK dengan
kendala perkembangan mereka @arber et al, 1989;.
ini telah
menjelaskan bahwa
kesempatan yang luas untuk mengatasi
ldal, 1997), memberikan efek ekonomi
untuk UMK dalam berbagai bentuk dari peningkatan permintaan, tahu -bagaimana teknologi perbaikan dan amplifikasi sebagian besar pembeli (Cooke dan Wills, 1999; Grierson et al, 1999;.
Knopp, 2002i Mullei, 2003; Domberger dan Utama, 2008), dan menjadi instrumen strategis untuk mengelola rantai nilai dan keberhasilan kompetitif dengan menyalurkan UMK untuk mencari cara yang paling ekonomis dan efisien sumber keterampilan, bahan, dan layanan yang dibutuhkan untuk memproduksi barang komersial (Stanton dan Polatajko, 2001; Kuah, 2002). Sehubungan dengan kaitan antar-usaha yang dibangun oleh
UMK di Jawa Tengah, yaitu,
perusahaan yang beroperasi dalam klaster industry kecil, jenis kegiatan seperti kaitan input,
output, dan subkontrak adalah jenis kaitan usaha yang paling umum ditemukan. Sejalan dengan
43
IrBwati (2007), studi ini menemukan bahwa kaitan antar-usaha antara UMK di klaster dicirikan oleh campuran persaingan dan kerjasama, eksternalitas aglomerasi, dan limpahan pengetahuan yang menjadi faklor kunci untuk menyokong pertumbuhan dan pembentukan cluster. Sebagai upaya untuk memiliki keunggulan kompetitif untuk bisnis mereka,
UMK pemilik
dalam studi ini menyadari bahwa memiliki dekat antar-kerjasama dengan hal-hal perusahaan loin
untuk pertumbuhan perusahaan mereka. Para pemilik memahami bahwa keunggulan seperti peningkatan pengetahuan bisnis, inovasi produk, dan peningkatan penjualan mungkin akan
diperoleh ketika mereka mengubah kerjasama antara perusahaan ke dekar hubungan antarperusahaan.
Studi
ini
perusahaan lain baik
nenemukan bahwa sebenamya mereka benar-benar terkait dengan
di dalam atau di luar kelompok yang dinyatakan
sebagai backwardly,
kedeaan, atau horizontal.
Pengembangan kaitan antar-usaha dalam klaster digunakan sebagai sampel penelitian
dalam penelitian ini menunjukkan fenomena yang menarik. Pertamq kelompok yang ditandai dengan kerjasama serta kompetisi di antara coJocated perusahaan. Fenomena ini dinyarakan oleh
hubungan antar-perusahaan dan strategi bisnis yang diterapkan secara bersamaan oleh
UMK
sepanjang operasi dari bisnis. Kedua, dilihat dari perspektif ukuran cluster, terlihat bahwa cluster
yang berbeda dalam ukuran mempengaruhi ke tingkat yang berbeda dari interaksi aRtar€ colocated perusahaan. Hal ini mungkin menjadi fenomena umum bahwa interaksi antara hubungan
antar-perusahun dan strategi bisnis co-located perusahaan lebih kuat dalam kelompok besar dibandingkan dengan co-located perusahaan dalam kelompok kecil. Dan ketiga, meskipun
di
UMK
cluster cenderung saling bekerja sama seperti yang diungkapkan dalam berbagai jenis
hubungan antar-perusahaan, itu tidak berarti bahwa hubungan bekerja dengan lancar. Masalah
44
munoul dalam hubungan baik secara teknis atau sosial menjadi satu lokasi menyebabkan perusahaan untuk meraup keuntungan dari hubungan tidak efektif.
Hal ini, sampai batas tertentu, membawa ke pertanyaan apakah kaitan antar-usaha yang dibangun oleh UMK perusahaan tersebut.
di Jawa Tengah
memberikan kontribusi kinerja yang lebih baik dari
Dilihat dari perspektif kerja sama saja, memang benar bahwa
beberapa
peneliti seperti Sandee dkk. (1994), Weijland (1999), Sato (2002b), Kuncoro dan Supomo (2003), dan Ismalina (2009) telah menunjukkan bahwa hubungaa antar-perusahaan positif mempengaruhi kinerja perusahaan. Cluster seped yang ditunjukkan oleh Bender
a
al. (2002)
menarik UMK bertujuan berasal dari manfaat ekonomi kelompok ekstemal seperti spillover pengetahuan. Dengan menggunakan pandangan Marshall dalam prinsip tentang Ekonomi (1920),
juga membuktikan bahwa hubungan pengelompokan bisa membantu usaha kecil untuk tumbuh. Para aglomerasi perusahaan yang bergerak dalam kegiatan serupa atau terkait dihasilkan berbagai ekonomi ekstemal lokal yang menurunkan biaya untuk perusahaan berkerumun. Keuntungan tersebut termasuk kolam pekerja khusus, akses mudah ke pemasok input dan jasq dan penyebaran c€pat pengetahuan baru. untuk beberapa hal, cluster digunakan sebagai sampet
dalam penelitian
ini jelas menunjukkan bahwa ekonomi eksternal seperti membantu
pertumbuhan UMK di Jawa Tengah.
Sebagai upaya untuk mengembangkan kaitan antar-usaha dalam klaster, pemerintah daerah Jawa Tengah kemudian merumuskan program untuk membantu
uKM untuk
menjadi
tebih kuat. upaya terbaru dalam UMK dan promosi klaster diarahkan, pertama, program pengembangan klaster sejalan dengan kebijakan desentralisasi dikoordinasikan Pengembangan Ekonomi
&
oleh Forum
Promosi Kerja (FEDEp). Kedu4 program untuk memperkuat
pembangunan kapasitas sumber daya lokal yang dibantu oteh Badan perencanaan pembangunan
45
Nasional @adan Pembangunan Nasional Edi [BAPPENAS]) dan Deutsehe Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Dan ketiga, program untuk mempromosikan kemitraan publik-swasta yang didorong untuk UMK dan pengembangan klaster.
Namun, penelitian ini menemukan bahwa program masih tidak sesuai dengan harapan pengusaha.
Ini mungkin mengulangi
percobaan yang sama
di masa lalu yang mengakibatkan
hasil yang tidak puas pengembangan UMK sebagai program dieksekusi untuk kepentingan
progam terpusat. Programarogram terakhir yang disediakan oleh pemerintah daerah Jawa Tengah untuk bekerja batas tertentu tidak efektif, sehingga gagal untuk mempromosikan UKM untuk juga berkembang.
UMK di Jawa Tengah tampaknya beroperasi
sesuai dengan kapasitas
intemal dan strategi tanpa mempertimbangkan mengandalkan program assistantship disediakan oleh pemerintah daerah Jawa Tengah.
Mengambil penyelidikan lebih lanjut
diperpanjang dengan melihat mereka
di luar perspektif
dari penpektif
kerjasama perusahaan, analisis
persaingan, pada kenyataannya,
memberikan cakrawala khas dari efektivitas aglomerasi perusahaan kecil
di Jawa Tengah.
Didorong oleh persaingan yang seha! strategi bisnis yang diterapkan oleh co-located perusahaaa dalam kelompok memainkan peranan penting sebagai kondisi
ini memotivasi
perusahaan atau
industri untuk meningkatkan kualitas produk dan inovasi. cluster ini bisa dipandang sebagai daerah terbuka
di mana "pengetahuan dengan bebas mengambil di udara,,. Akibatnya, salah satu
manfaat potensial dari clustering adalah peningkatan tekanan kompetitif
di mana co-located
perusahaan dirangsang untuk mengoperasikan bisnis bersama strategi internal mereka bisnis.
Sudut pandang
ini, yaitu,
menyelidiki interaksi dinamis antara hutrungan antar-
perusahaan dan strategi bisnis yang diterapkan secara bersamaan oleh
uKM dalam samp;l
memberikan kontribusi untuk konsep strategi hibrida dalam mengakomodasi pada prinsipnya
46
baik perilaku spontan dan yang disengaja pencari tujuan untuk meningkatkan perusahaan posisi,
sumber daya dan kemampuan. Para co-located perusahaan bersaing secara intens dan menghasilkan inovasi, tetapi, pada saat yang sama mereka bekerja sama secara implisit maupun
eksplisit dengan berbagi sumber input dengan cara simbiosis. Penelitian
ini
telah
mengungkapkan bahwa dengan menggabungkan aspek kerja sama dan persaingan dalam analisis, pengembangan UMK di Jawa Tengah dipengaruhi oleh tingkat kerjasama dan kompetisi yang dilakukan oleh co-located perusahaan. Hasil dari penelitian ini apalagi memungkinkan para
peneliti untuk menjelaskan bagaimana usaha mikro dan kecil di Jawa Tengah melakukan dalam mencapai daya saing perusahaan.
5.2 Rekomendasi
Penelitian sederhana ini dimaksudkan untuk menelaah lebih jauh dinamika usaha miko dan kecil (UMK) yang bekerja di dalam klaster industri kecil. Dengan mengambil sampel pada
klaster-klaster industry kecil di Provinsi Jawa Tengah diperoleh informasi bahwa usaha-usaha
miko
dan kecil di Jawa Tengah temyata banyak membangun kaitan usaha Bntar firm baik yang
bersifat bockword,forward, mauprxr horizontal linkages dengan perusahaan-perusahaan lainnya.
Dalam banyak hal, dengan menjalin kaitan usaha tersebut, UMK di Jawa Tengah telah banyak memperoleh manfaat bagi usaha produksi mereka. Namun demikian, berbeda dengan anggapan umum, UMK yang bekerja di dalam klaster-
klaster industri kecil temyata diliputi oleh banyak dinamika bisnis. Di samping bahwa mereka terus menjalin kaitan usaha dengan firma-firma lainnya, mereka juga perlu bersaing antar dengan mengandalkan pada kemampuan srategi-strategi bisnis yang mereka
itu,
berdasarkan
UMK
miliki. Oleh karena
hasil yang diperoleh dari lapangan, penelitian ini mengajukan
beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
47
Bagi pemerintah daerah perlu memfasilitasi program-program yang dapat member stimulasi bagi berkembangnya kerjasama yang saling menguntungkan bagi UMK dan lingkungan bisnis yang mewadahi persaingan yang sehat antar UMK.
Bagi UMK sendiri perlu adanya komitmen bersama yang konsisten dalam menjalin kaitan usaha antar mereka sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi yang optimal. 3_
Penelitian
ini akan lebih baik jika menggunakan data-data longitudinal
diperoleh fitur-fitur dinamika UMK yang bekerja
sehingga
di dalam klaster-klaster industri
kecil secara konsisten dan berkesinambungan. 4
Penelitian selanjutnya tampak perlu untuk memasukkan faktor-faktor sosial budaya oleh karena hal itu sangat berpengaruh terhadap pola kerjasama dBn persaingan yang terbangun oleh dan antar
UMK. Pada gilirannya, hal tersebut berpengaruh
kinerja usaha kecil dan menengah yang b€roperasi
di
dengan
lingkungan klaster-klaster
industri kecil.
48
DAFTAR PUSTAKA Adeya, N. (20O6). Knowledge, Technologt ond Growth: the Case Stu$t of Handieraft and Furniture Clusters in Tanzania. K4D Program, World Bank
Ajayi, D.D. (2003). 1'he Nature and Scope of Production Subcontracting in Nigeria. ly'ica Development, Vol. XXVIII, Nos. 3 & 4 Amini, A. (2004). "The disaibutional role of small business in developmentti. httemstiofiql Journal ofSocial Economics Yol.3l No.4: 370-383 Anagha Group. (2006). 'Franchise Operations and Adminiskation System,l, Barber, J., Metcalfe, S., and Porteous, M. (1989). Barriers to Growth: the ACARD Study. In "Barriers to Growth in Small Firms". Fi'ited by Barber et al. Routledge. London and New York
Beaver, G. (2002). Small Business, Entrcpre eu,ship and Enterprise Development. pearson Education Limited. Edinburg Berry, A. (1997). 'SME Competitiveness: The Power of Networking and Subcontracting". No. IFM- I 05, htto://forms.iadb.orq./sdVdoc/ifrn- I 05e.pdf
Eorbor, M. S. (2005). The Advantages and- Disadvantages of Licensing
&
Franchising in
Canada. ANLAB 606 Fall 2005
Boyoung K. (2010). The Contingency Factors Influencing Organizational Structuring of the Desigr Units within a Company. Joumal of Digital I teraction Design, Yol.9, No. 1: 28*4.3
Chong, H.G. (2008). Measuring perfomance of small-and-medium seized eRteryrises: the grounded theory apprcach. Journal of Business and Pubtic Affairs,Yol.2 Issue I Cragg, P., King, M., and Hussin, H. (2002). IT alignment end firm performance manufacturing firms. Joumal of Strategic Information Systems ll: 109-132
in
small
Dahl, M,S,, and Pedersen, C.O.R. (2002). Knowledge Flows ttuough tnformal Contacts in Industrial Cluster: Myths or Realities? DRUID Working Paper No 03{l Delmar, F. (1997). Measuring grou4h: methodological considerations and empirical results, in Donckles, R. and Mieftinen, A. (Eds), Entrepreneurship and SME Research: on its Way to the Nert Millenrzm, Ashgate Publishing Ltd, Aldershot. England
ECA. (2007). Overvie* of the Sustoinable Development Report on Africa (SDM): Agricultural and Rural Trorcformation in Africa. Fifth Meeting of the Africa Committee on Sustainable Development (ACSD-5). Addis Ababa. 22-25 October
49
,
Felzensztein, C. (2003). 'Collaborative networks and inter-firm co-operation
Where are we? Where
in
marketing:
do we need to go?"
uach.cU
facultad/economicas/instituto/administracion/doc€nts/cfelzensztein/univ/paperVpapers_fi les/l l3-Final_Paper> (Accessed on 30 December 2008)
Felzensztein, C., Gimmon, E., and Cader, S. (2010). Geographical Co-Lncation, Social Networks and Inter.firm Marketing Co-operation: the Case of the Salmon Industry, Zorg Range P lanni ng, doi: 10. l0l6/j.lrp.20l 0.02.006: l-16 Fu, X., Eisingerich, A., and De Hoyos, R. (2008).'Clusrcrs of Management Practicos, Sruotumt Embeddedness and Firm Productivity''. SLPTMD Working Paper Series No.008,
Garg, V.K., Walters, B.A. and Priem, R.L. (2003). Chief executive scanning emphases, environmental dynamism and manufacturing firm performance. Strategic Monogement Joumal, Vol. 24 No. 8 Gauzente, C. (2002). Using Qualitative Methods in Franchise Research - an Application in Understanding the Franchised Entrepreneurs' Motivations. Forur,I.r eualitative Social Research Volume. 3, No. l, Art. 20, January Gimenez, F.A.P. (1999). "Miles and Snow's Strategy Model in the Context of Small Fims,,, Goldmark, L., and Bareber, T. (2005). Trade, Micro and Small Enterprises, and Global Value C&ains. MicToREPORT #25. USAID Greenbank, P. (2001). Objective secing in the micro-business. International Joumat Entrepreneurial Behovior & Research, Vol.7, No, 3: 108-127
of
Hq T.T. (2002), Entreprenetial Orientation, Business Strategies snd Firm Pedormance: a Comparative Sndy of Small Medium-Scale Enterprises in Yietnam and Thailand. Dissertation Work at Asian Institute of Technology. Thailand
C (2007). "SME Clustering and Networking and its Conrribution to Regional Devdopment: An . Overview of the Key Issuer". The 4s Stl{Es in Global Economy Conference, 9-106 July,
Harvie,
Hashim, M.K. (2005). Snoll and Medium-Sized Enterprises in Malaysia: Role and Issues. Universiti Utara Malaysia PreSs. Malaysia Henry, M.S., Barkley, D.L and Zhang, y. (1997). Industry Clusters in the WA Region: Do They A/fect Dnelopment or Rural Areas? Contraotor Paper 98-9. TVA Rural Studies Program Hirschman, A.O. (1988). The Strategt of Economic Development. A WesWiew Encore Edition. Westview Press. Boulder & l,ondon
LE ■■ ■ロ ロ
Hong, J. W, and Cheng, C. (2004). The Linkage of Partnership in American Automotive Industry Supply Chain Management. Jounal of Industrial Technology. Volume 20, Number 3
Jalal, K.F. (1997). Microenterprise Development: Not by Credit Alone. ADB Project. Asian Development Bank
A. P. (1999). Small and it4edium-sized Metalworking Companies in lhe Wtwakrsrand: Facing the global challenge. TIPS 1999 Annual Forum
Kesper,
Kongmanilq X., and Takahashi, Y. (2009). Inter-Firm Cooperation and Firm performance: An Empirical Study of the Lao Garment Industry Cluster. International Journal of Business and Management Vol. 4, No. 5. May Kotey, B., and Harkeq M. (1998). "A Framework for Examining Strategy and Strategy Types in Small Firms", (Accessed on I January 2009) Kuah, A.T.H. (2002). "cluster Theory and Practiee: Advantages for Smalt Business tncating in a vibrant cluster". .Iournal of Research in Marketing and Entrepreneurs&rp: volume Four, Issue 3: 206-228
Kuncoro, M. (2002). A Quest for Industrial Distfiets: aa Emperical study of Manufaeturing Industries in Java. Paper presented in international workshop on the theme .,Economic Growth and Institutional change in Indonesia during the 196 and 206 centuries',. Amsterdam.
F
ebruary, 25 -26
Kuncoro, lr4, and Supomo, I.A. (2003). "Analisis Formasi Keterkaitan, pola Klaster, dan orientasi Pasar: studi Kasus sentra lndustri Keramik di Kasongan, Kabupaten Bantul, D.L Yogyakarta" . Jurnal Empirika Volume 16. No. I . Juni Lafontarne, F,, and slade, fn, E, (1996). Retail oontracting and costly monitorin$ Theory and evidencn. Europe an Eco nomic Review 40: 923-932
Lemma, S. Qo0l} subcontracting strategl for the Ethiopian Micro and small Enterprises. study Report submitted to Ethio-German Micro and Small Enterprises Development Programme. Addis Ababa, Ethiopia. July 2001
Lillo,
F. G., and Lajara, B. M. (2002). New venture competitive saategies and performance: an Empirical Study. M@n@gement, Y o1.5, No.2: 127-145
Machikita, T., and ueki, Y. (2010). Innovation in Linked and Non-linked Firms: Effects Variety of Linkages in East Asia. ERIA Discussion paper Series: ERIA-DP-2010_3
of
Maes, j-, Sels, L., and Roodhoft, F. (2003). Modeling smoll Business profirability: on Empirico!
Tesr
in the construction
Industry.
A
paper presented at the Academy
of
Annual
Management Meeting, August l-6, Seattle (WA)
Marijan, K. (2005). Mengembangkan Industri Kecil Menengah melalui pendekatan Kluster. INSAN Vol.
Z
No. J, December 2005
51
M■ 77olへ F.,and BFunt S.(2000).The FOle Of lnkagcs in■ southcm ltaly.ま
,″
rra7グ Ec“ο″た B′ い
111.perfoFmanCe:evidence fFOm
&Orgα ″彦α′ わ″,Vol.43:199221
io″
.
McCartllcy,M.2o06)“ Comparativc Advantagc and Sustainablc Economic Gro¬
饉 in lndia On the lndian Economy in the Era of Financial Globalization. 28-29 Scpち くhttp ://cconomix.u‐ paFiS10.ν pdf/co1loques/2006 1ndia/McCaFtnCy_pd>(Acccss On 3 Janu響 2009) ancr 1991''.Papcr prcsented at htemational Confcrcn∝
McGovem,P。
(2005).“ Learning Nmorks as an Aid to Devcloping Strategic Capability amOng
MSEs: O Casc study
■。m the nsh Polymcr lnduま Ert くht"ノ /Ⅲ Ⅲw.
sbacr.uca.edu/rcscarch/icsb/2∞ 5/135.Pd)は
CCCSSCd On 30 December 2008)
Micghcm, I.A.V.(1999). C∞ rdinating lnvcmmcnt, ProductiOn, and Sub∞ ルね″αr″ ′ ″r scセ ′ccNol.45,No.7,July
ntrattng,
A.0,and McV彎 ,M.2o06).動 〃 ′物σ″′″gS問 ″J″ ´ιル P由畿 &`ム ″ ″S″ ル′ 71gヵ ′Lttibル ルwrrsヵ rr″ ι ん arf賜 θ 6 R`α ルたhtemational `2θ “ ofthc IL0 Training Ccntte
Michibradち
D′ κ.Op魏
Mlls,K.G,Rcynolds,E.B and RcameF,A.(2008)CJ● stett αだ Gο″Ψ′ ″ :И 民ぃ ル 滋 rar bル ヵ ″ &="″ Fi"gセgio″ ●J Eο ο ″た∫.Metropo:itan `it疵 Policy“Program. Brookings_Apri1 2008
Moha A3ri,A.(1999).撤 ll cヵ αJratts.Ashgatc
“
'。
α秋ブルを″
Publishing Ltd.England “"E"″
TttSカ
ル″′ Osね 卜 ¨
3鎖Sa雇 、■
Nadvi, K.(1999). ``C。 llective Efrlciency and c011cctive Failure:he RespOnse of SialkOt Surgical lnstmment Cluster to Global Quality Pressuresi'.″ brJJ D´ 惚Jq″ ,′″rv。 1.27,
'm弼 ッ 城顆 No 9:1605-1626
曲 羅 鷺∠
NelsOn,J(2007).B′ はdi"gZル 晟慇●/● rc。 ″″ ″rル ′α〃 RIり06ibル and thc Fcllows OfHarvard Comcgc
.lJu0
E″ ″η ″″ ″″s″ 夕
O'Rcgan,N.,Sims,M.,and Ghobadian,A.(20%).疇 C impad Ofmanagcmenttechniques on the pc“ b● nancc oftcchno10gy basOd lilllis.財
力″0ッ α″ο″
0'Rcgall,N.,鉗 ms,M.,and Ghobadian,A.(2005).Higll perfOnllan∝ :ownership and dedgon‐ making in Sヽ 便 s.物 ″ ″ ′D´ あ″Vo1 43,N。 _3:382■ 96 `″
`お
Phclc, T, Roberts, S. and Steu田 与 I(2004). ルどなrrlaノ 灘 020α ″′ 象,cα ′ E"″ ο″た
鶴鴛 漁 熙 躍 Ψ ヒ 嘲魔 l毬 出 競 地 β 誂淑輌i跳 うん ξυ
Roelandt, T and Hertog P. (1999). Cluster Analysis and Cluster Based Policy Making in OECD Countries: an Introduction to the Theme. OECD Publication Service. France
Rothwell, R., and Beesley, M. (1989). The Impo(ance of Technology Transfer. ln Barber et al. (ed.). Baniers to Growth in Small Frims. Routledge. London and New York
8., Lindsay, V., Ashiti, N., and Victorio, A. (2007). "An institutionai View of Locat Entrepreneurial Climate". Journal of Asio Entrepreneurship and Sustoinability. Volume lll lssue I
Roxas, H.
Rungtusanatham, M., Salvador, F., Forza, C., and Choi, T.Y. (2003). Supply-chain linkages and operational performance: A resource-based-view perspective, International Joumal of Operations & Production Management. Vol.23, No,9: 108,+-1099
Eaito, Y.U., Watanabe, T., and Iwamur4 M. (2007). Do larger Firms hove more Inter-f n, Relationships? RIETI Discussion Paper Series 07-E-028 Sato, Y. (2000). 'Linkage Formation by Small Firms: the Case of Rural Cluster in Indonesia". letin of Indonesian Economic Studies Yol.36 No. l. April: 137- 166
B
Schmita H., (1995). Collective Efhciency: Growth Path for Small Scale indusrry . The jotrnat Development Studies 31 (4) Solitander, M., and Tidstrtim, A. (2010). Competitive flows of intelloctual capital creating networks. Jownal of Intellectual Capital Yol. I I No. l: 23-38
Taymaz,
in
of
value
E., and Kilicaslan, Y. (2004).
development An
Determinants of subcontructing and regiotul empiical study on Turkish textile and engineering industries. lvIETlJ.
Turkey Titze, M., Brachert, M., and Kubis, A. (2008). Ihe ldentification of Regional Industrial Clusters Using Qualitative Input-Output Analysrs. IWH Discussion Paper l3l2008 Halle lnstitute for Economic Research
Toomen D. (1998). South African Small Business Growth through Interfirm Linkages. A dissertation work at Rhodes University
Turgay, T., and Kassegr, H. Z. (2005). Empirical Strategic Management Model for Smatl Businesses in the Turkish Republic of the Northem Cyprus. Review of Social, Economic & Business Studies. Vol.3/4, 135-160
'
UNIDO. (2010). Cluster development for pro-poor growth: the WIDO approach. The United Nations lndustrial Development Organization. Vienna Urban, S., Mayrhofer, U., and Nanopoulos, P. (2000). Inter-frmt Linkages: the European Experience. Contribution to the Book "International Collaborative Partnership". Macmillan Uzor, O. O. (2004). Small and Medium Scale Enterprises Cluster Development in South- Eastern Region of Nigeria. IWIM, Nr. 86 53
Walker, E., Loughton, K., and Brown, A. (1999). The Releyance of Non-Finaneial Measure of Success for Micro Business Owners. Available online at htto:// www.sbaer.uca. edu,/research/icsb/ 1999/
I
0l
Wattanapruttipaisan, T. (2002). SME Subcontracting as a Bridgehead to Competitiveness: an Assessment of Supply-Side Capabilities and Demand-Side Requirements. Asia-Pacific Development Journal Yol.9, No. l,June Weber, B., and Znidar5id,
Paper presented
A. (2010). Slovenian Micro Enterprises and eOpportunity Chaltenge. eConference eTrust: Implications for the Individual,
at 23'o Bled
Enterprises and Society. June 20-23, Bled, Slovenia
Webster, M., Alder, C., and Muhlemann, A. P. (1997). Subcontracting within supply chain for elecaonics assembly manufacture. International Journal of Operations & Production Management. Vol. 17, No. 9:827-841 Weijland, H. (1999). Microenterprise Clusters in Rural Indonesia: Industrial Seedbed and Policy Targ*. Yorld Development Vol.27, No. 9, pp. l5l5-1530
Wiklund, J. (1998). Entrepreneurial Orientation as Predictor of Performance and Entreprrneurial Behavior in Small Firms - Longitudinal Evidenee. Frontier ol Entrepreneur-ship 1998, Babson-Kauffrnan
54