PURNAMA SALURA
1 / 27
I L U S T R A S I
2 / 27
Nyaman dan Tidak Nyaman Saya diundang datang kerumah seorang dokter mata. Beberapa tahun silam saya pernah membuatkan rancangan villa untuk ayahnya. Saya menghubungi ia lewat telepon untuk menanyakan kondisi mata saya. Mata saya agak pedih dan berair. Kondisi ini sangat mengganggu penglihatan ketika membaca e-book. Apalagi jika membuat gambar rancangan. Agak buram jika dipaksakan untuk melihat garis-garis halus di layar komputer. Ia memeriksa mata saya di paviljoen (bangunan kecil) di samping rumah induknya. Saya sering bingung dengan istilah yang digunakan dalam beberapa cerita tentang dokter mata. Saya bertanya padanya : apakah perbedaan arti optometrist dengan opthamologist. Dia hanya menjawab dengan senyum manis yang dikulum. Setelah selesai memeriksa kondisi mata saya, ia tak menuliskan resep seperti yang biasa ia lakukan pada pasiennya. Ia malah memberikan beberapa obat yang diambil dari lemarinya. Rupanya kondisi mata saya tak parah benar. Mungkin saya saja yang terlalu manja. Atau mungkin ini alasan saya agar dapat berjumpa dengannya. Lalu kami duduk di ruang keluarga di rumah induk. Saya baru dapat memperhatikan raut mukanya dengan seksama sekarang. Saat ini kulitnya menjadi berwarna sawo matang. Agak gelap. Sedang mukanya masih tetap cantik seperti beberapa tahun yang lalu. Bahkan lebih matang ekspresinya. Hanya saja sekarang ia menggunakan kacamata. Benda bergagang 3 / 27
I L U S T R A S I
4 / 27
berwarna coklat ini bertengger diatas hidungnya yang relatif mancung. Sangat cocok dengan bentuk mukanya yang lonjong dan warna kulitnya yang kecoklatan. Agaknya tak percuma ia menjadi seorang optometrist docter. Ia mengajak saya untuk berkeliling melihat rumahnya yang relatif baru beberapa bulan ditempati. Saya tak tahu gaya apa rumah ini, yang saya lihat adalah ada beberapa campuran gaya berseliweran di sana. Di bagian teras ada beberapa tiang yang mirip dengan tiang kuil di Yunani menyangga bentangan balok berdinding yang berbentuk arch. Melengkung setengah lingkaran seperti jembatan jaman dahulu. Tapi dengan entengnya ia memberi istilah gaya minimalis pada rumahnya. Saya teringat akan sebuah buku berjudul Form and Purpose yang membahas tentang style dan trade mark. Buku ini ditulis oleh arsitek yang baru-baru ini merancang kompleks Marina Bay Sand di Singapur, Moshe Sadie. Ia berpendapat bahwa istilah style pada sebuah benda adalah apabila pada benda itu masih melekat asal-usul tempatnya. Atau masih ada hubungan keterikatan dengan tempat. Sedangkan jika benda itu tidak lagi ada keterikatan dengan asal-usul tempatnya maka benda tersebut dapat disebut sebagai trade-mark. Saya sepakat dengan pemikiran Moshe Safdie yang ini. Walaupun saya tidak sepakat dengan konsep bangunan Habitat yang ia rancang di Kanada. Jika sebuah bangunan Victorian-style yang berasal dari Inggris lalu ditempatkan dalam sebuah kompleks real-estate di Indonesia, maka bangunan tersebut 5 / 27
I L U S T R A S I
6 / 27
tidak lagi berfungsi sebagai Victorian–style. Bangunan tersebut lebih cocok disebut sebagai trademark real-estate tersebut. Definisi tentang style memang sangat beragam. Pelaku arsitektur kadang mempunyai pendapat yang berbeda satu dengan lainnya. Secara umum, style adalah kosakata yang digunakan ketika mengklasifikasikan bangunan. Klasifikasi bisa saja disusun berdasar struktur, bahan, tampilan, lokasi dan periode sejarah. Dalam kajian style saya cenderung berpegang pada karakter. Sebuah bangunan diklasifikasikan sama dengan bangunan lain atau mempunyai style yang sama apabila kedua bangunan itu mempunyai karakteristik yang serupa. Misalnya karakter arsitektur-igloo, tercipta karena ada keterikatan erat antara bangunan dengan alam sekitarnya. Jika bangunan igloo diletakkan di Yogya maka bangunan ini tercabut dari akarnya. Hal ini mengakibatkan bangunan igloo tidak dapat survive dan bertumbuh secara ideal di Yogya. Bentuk bangunan yang mirip dengan bangunan igloo yaitu dome-house memang dibangun di yogya. Menurut saya bangunan dome-house tidak tepat jika dikatakan mempunyai gaya igloo. Bentuk bangunan ini lebih tepat jika dikatakan sebagai trade-mark dari dome-house. Kembali pada rumahnya, saya bertanya mengapa disebut minimalist-house ? Ia menjawab dengan entengnya bahwa pemilik rumah sebelumnya menyebutkan bahwa gaya rumah ini adalah gaya minimalis. Tapi ia mengeluh karena tak suka dengan 7 / 27
I L U S T R A S I
8 / 27
gaya ini. Pada kamar tidur utama misalnya, disalah satu sisi kamarnya terdapat jendela yang sangat kecil berukuran lebar tigapuluh sentimeter dengan tinggi dua meter disusun berderet dengan jarak limapuluh sentimeter antar tiap jendela. Dinding berjendela kecil-kecil ini membuat taman yang ada dibalik sisi lainnya tak dapat dinikmati. Lebar jendela yang relatif sempit ini tidak memberi peluang bagi kawan saya ketika berada di dalam kamar untuk melihat keindahan taman dan air tejun yang terhampar di luar. Rasanya memang seperti inilah ciri bangunan popular yang sedang digemari di negara kita. Demikian juga diungkapkan keluhan terhadap kenyamanan teras ruang keluarganya. Atap teras menggunakan bahan transparan kaca tebal yang tampak sangat clean. Ditopang oleh tiang baja yang menahan balok-balok baja berwarna putih. Tak heran jika sinar matahari yang terik dapat masuk dengan leluasa menembus penutup atap kaca . Memang teras ini tampak bersih dan ringkas jika dipandang, tapi sangat tak nyaman untuk digunakan di siang hari dikala sinar matahari katulistiwa sedang terik. Tak bersahabat dengan dengan kulit manusia. Ia mengajak saya untuk mengobrol di teras ruang keluarganya. Saat itu matahari sedang tinggitingginya. Dengan santainya ia mengajak untuk duduk di bale yang tingginya sekitar empatpuluhlima sentimeter di atas lantai. Alasnya kayu ditutupi dengan karpet. Kami duduk bersila. Ia tampak tak canggung walau mengenakan rok agak pendek. Ia 9 / 27
I L U S T R A S I
10 / 27
mengambil bantal kecil yang ada dan diletakkan di atas pangkuannya. Ia masih menunggu reaksi pendapat saya tentang teras ini. Tapi saya belum bereaksi apapun. Lalu ia bertanya dengan tatapan mata agak masam, seperti apakah bangunan yang baik? Apakah karena setia mengikuti mode yang sedang in? Ataukah karena berulang tampil di media televisi dan majalah? Apakah ciri-cirinya? Apakah rumahnya ini tergolong kategori rumah yang baik? Bertubi-tubi pertanyaan mengalir ke luar dari mulutnya. Saya terbayang ketika ia dahulu sering berpesan mengingatkan ayahnya tentang jangan lupa membawa obat. Jangan lupa pula untuk meminumnya tepat waktu. Pesan itu dicelotehkannya ketika ayahnya akan berangkat bersama saya untuk pergi berolah raga di pagi hari. Masih jelas dalam ingatan saya iapun kadang berpesan pada saya agar tidak lupa untuk mengingatkan ayahnya. Ia berharap agar ayahnya selalu menggunakan payung supaya tidak terpapar oleh panas matahari langsung. Memang ketika berjalan dipadang rumput luas untuk memukul bola kecil berdiameter 42,7 mm, sinar matahari selalu bebas mengenai badan. Dahulu ayahnya dan saya kerap bermain golf bersama. Kami memang mempunyai hobby yang sama. Bayangan dalam pikiran saya terhenti. Pertanyaannya kembali mengganggu pendengaran saya. Pertanyaan yang sederhana sekali. Setiap orang yang ingin membuat bangunan privat maupun publik tentu akan mempertanyakan hal tersebut. Jika arah pertanyaan tertuju pada tampilan fisik bangunan 11 / 27
I L U S T R A S I
12 / 27
semata, jawaban biasanya cenderung bersifat relatif. Hal ini dapat dimengerti karena kesukaan akan tampilan tentu berbeda-beda. Setiap orang mempunyai preferensi berbeda terutama ketika sampai pada sisi kebaikan, apalagi keindahan. Beauty is always in the eyes of the beholder. Itu pepatah yang sering saya baca. Filsuf terkenal dari Yunani Plato dan muridnya Aristoteles sudah sejak dulu saling berbeda pendapat tentang hal di atas. Yang satu berkata bahwa yang baik itu adalah yang ideal. Jadi sesuatu yang baik itu ada dalam alam pikir bukan pada alam nyata. Sementara yang satunya berpendapat bahwa yang baik itu justru adalah hasil perbandingan dari seluruh benda sama yang ada di alam nyata. Konon kemajuan ilmu pengetahuan saat ini diawali dan dipicu oleh perdebatan dua paham yang saling berseberangan ini Ajaran Plato yang saya gemari adalah teori tentang idea, teori ini sangat bersifat logis. Plato meguraikan bahwa, jika ada sejumlah materi atau individu memiliki nama yang sama, tentunya ada satu “idea” atau “forma” bersama. Meskipun terdapat banyak kuda, sebetulnya hanya ada satu idea atau forma tentang kuda. Plato juga sangat menyukai ilmu pasti. Cara berpikir Plato sangat dipengaruhi oleh kaum Pythagorean. Jika berbicara tentang bujur sangkar, ia bukan berbicara tentang bujur sangkar yang kongkret. Tapi bujur sangkar yang ideal, jadi idea tentang bujur sangkar. Demikian halnya dengan kata indah. Kata ini bisa mencakup : baju indah, kursi indah, rumah indah, dan indah yang lainnya. Yang menyebabkan rumah 13 / 27
I L U S T R A S I
14 / 27
disebut indah ialah ide tentang indah itu. Rumah tidak sama dengan indah karena ada rumah yang buruk. Jadi ide indah itu sempurna dalam dirinya sendiri, tidak tercampur dengan yang lain. Lain halnya dengan Aristoteles. Ia menjelaskan bahwa materi tidak mungkin ada tanpa adanya bentukan fisik. Kuda yang indah adalah kuda yang pada keseluruhan bentuk serta pada setiap bagian badannya lebih indah dari seluruh kuda yang diperbandingkan. Jadi kata indah itu nyata berdasar properti fisikalnya. Menurutnya, bentuk materi yang sempurna atau murni atau ideal adalah theos. Dalam Bahasa Yunani berarti Tuhan. Logika Aristoteles sering dimulai dari empiri. Dari keberadaan nyata suatu benda. Saya mulai merasa agak gerah. Apakah karena pertanyaannya yang sulit dijawab atau memang karena teras ini terpapar langsung sinar matahari terik. Saya menengadah, selarik sinar yang silau menusuk mata. Matahari dengan leluasa memamerkan sinarnya kemata saya lewat penutup atap teras yang transparan. Rupanya selain tingkat kesilauannya, pancaran infrared yang pasti membawa panas mulai menyerang kulit saya. Akhirnya saya bereaksi dengan mengajaknya pindah dan duduk di ruang tamunya saja. Ia tersenyum mengiakan. Agaknya merasa senang bahwa keluhannya benar.
15 / 27
I L U S T R A S I
16 / 27
Suka dan Tidak Suka Ternyata Ia ingin membuat sebuah bangunan untuk praktek dokter mata dengan beberapa kawannya. Pusat perawatan mata, begitulah istilah yang ia lontarkan. Di sana nanti akan ada tempat praktek, operasi kecil, apotik, toko kacamata serta restoran sebagai fasilitas penunjangnya. Rupanya ia ingin menguji dahulu pendapat saya tentang seperti apa bangunan yang baik. Villa yang saya buatkan untuk ayahnya dahulu tampaknya belum cukup untuk menjadi bukti hasil sebuah rancangan. Ia ingin lebih meyakinkan diri bahwa saya sanggup juga merancang bangunan publik. Saya mengeluarkan komputer jinjing dan duduk bergeser di sampingnya. Karena badan kami agak berdekatan saya mencium aroma yasmine. Parfum kesukaannya belum berubah. Masih sama seperti dahulu. Kemudian saya menayangkan beberapa gambar bangunan dengan gaya yang beragam. Mulai dari gaya yang klasik, rennaissance, modern, posmodern, minimalis, sampai late-modern saya perlihatkan padanya tanpa membahasnya sedikitpun. Saya ingin ia mendapatkan ekspresi ragam arsitektur sebanyakbanyaknya. Saya tak ingin jika perbendaharaan di dalam kepalanya hanya dipenuhi oleh satu atau dua gaya arsitektur. Ia mulai bereaksi. Ada gaya bangunan yang disukainya, dan ada juga yang tidak. Lalu saya bertanya padanya apakah bangunan yang ia sukai itu merupakan bangunan yang baik? Tampaknya ia bingung. Entah bingung akan pertanyaannya atau 17 / 27
I L U S T R A S I
18 / 27
akan jawabannya. Lalu saya melanjutkan dengan pertanyaan berikut: Jika baik menurut ia, apakah akan baik juga menurut orang lain? Jika setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda tentang sebuah nilai baik, masih adakah nilai yang sama diantara setiap orang yang berbeda? Saya mengambil contoh sebuah gambar bangunan yang berjudul Falling Water karya Frank Lloyd Wright arsitek Amerika ternama tahun 60-an. Ia sepakat dengan saya bahwa bangunan ini dapat menyentuh hatinya. Sayapun berpendapat demikian. Lalu saya mengambil contoh tentang bangunan yang dekat dengan rumahnya yaitu Gedung-Sate. Perlahan saya lontarkan pertanyaan padanya. Apakah sampai sekarang jika melewati Gedung-Sate ia masih menganggap bahwa bangunan itu baik? Beberapa tahun yang lalu ia dan ayahnya yang kini telah tiada sepakat menganggap bangunan ini merupakan bangunan yang baik. Ia mengangguk pertanda setuju. Lalu saya bertanya ulang, mengapa bangunan tersebut tetap bernilai baik walaupun telah dimakan waktu yang cukup lama? Tetap bernilai baik walaupun sudah banyak bangunan lain yang dibangun baru? Lalu saya mengemukakan sebuah hasil survai tentang GedungSate. Dari seratus persen responden yang telah ditanya apa pendapatnya tentang gedung sate, hampir seratus persen menyatakan bahwa ini bangunan baik. Benarkah pendapat ini? Apakah pendapat ini dapat dijadikan rujukan? Jika jawabnya ya. Apakah kita semua harus merancang bangunan mirip GedungSate? 19 / 27
I L U S T R A S I
20 / 27
Ia tampak malah menjadi lebih bingung dari semula. Mungkin jawaban tentang nilai baik baginya malah menjadi kabur membingungkan. Kali ini saya yang menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikan padanya. Aromanya tehnya pun yasmine. Ia menawarkan rokok, saya menolaknya dengan halus. Saya melanjutkan percakapan. Responden tentang Gedung-Sate di atas hanya berdasar pada foto perspektif gedung sate. Sungguhpun demikian pada waktu survai mereka sudah dikonfirmasi bahwa memang mereka pernah melihat Gedung-Sate secara nyata. Apakah dengan hanya sebatas melihat tampak luar dari jarak tertentu lalu kita boleh berpendapat bahwa Gedung-Sate itu merupakan bangunan yang baik? Jawabannya bisa saja ya dan bisa juga tidak. Apabila kita melihat ruang dalamnya, merasakannya, mengalaminya secara langsung, tentu akan tercipta penilaian yang lebih utuh dan lengkap tentang bangunan tersebut. Meskipun demikian, jika penilaian pertama kita terhadap tampilan fisik bangunan tersebut kurang baik, tak heran jika kita akan enggan untuk melakukan pengalaman berikutnya terhadap seluruh kelengkapan bangunan tersebut bukan? Kita sering mendengar istilah dont judge a book by its cover. Tetapi jika covernya saja sudah tidak menarik, akankah kita berniat melanjutkan untuk melihat isinya? Ia mengisap rokoknya agak dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Lady-like sekali cara ia memegang rokok. Padahal dahulu, ia tak pernah berani merokok di depan ayahnya. 21 / 27
I L U S T R A S I
22 / 27
Saya agak terbatuk-batuk ketika asap rokoknya menerpa pada hidung saya. Ia lalu menepis-nepis udara disekitar muka saya agar asap tak sampai kehidung saya.
Cocok dan Tidak Cocok Sebuah bangunan tidak pernah bisa lepas dari konteks alam dan budaya di mana manusia itu berada. Dengan mengamati benar-benar potency dan constraint dari tempatnya, konteks alam ini sebenarnya sudah memberi jawaban seperti apakah bangunan yang sejalan atau sesuai dengan dirinya. Alam relatif sangat lambat berubah. Sebuah sungai misalnya memerlukan waktu ber puluh tahun untuk mengubah bentuknya. Iklim di kutub Utara sangat pasti berbeda dengan iklim di daerah katulistiwa. Iklim kutub memberikan batasan suhu yang sangat dingin. Kita tidak dapat mengubahnya. Demikian juga iklim di daerah tropis tak mungkin tiba-tiba mempunyai suhu dibawah nol derajat. Pengamatan mendalam tentang kondisi kespesifikan alam seharusnya akan membawa kita pada pemikiran yang menyesuaikan diri dengan alamnya. Atau minimal selalu memperhatikan kesejalanan dengan alam. Ia berhenti dari menyimak dengan serius. Ia bertanya atau lebih tepat lagi menggumam. Apakah bentuk rumah panggung itu tercipta oleh alamnya? Saya tertegun sejenak lalu melanjutkan perbincangan. 23 / 27
I L U S T R A S I
24 / 27
Saya berpendapat bahwa manusia dan kelompoknyalah yang menetapkan kriteria-kriteria tentang sikap apa yang mereka tentukan pada alam tempat mereka hidup. Bukan karena alam semata. Bukankah alam tidak dapat memberikan semua yang dibutuhkan oleh manusia? Kita juga telah belajar bahwa selain mempunyai kebutuhan, manusia juga pada dasarnya mempunyai keinginan. Alam tentu tidak dapat menyediakan semua keinginan manusia. Keinginan ini yang lalu melahirkan sikap untuk perilaku mereka. Perilaku kelompok akan menjadi acuan bagi anggota kelompok tersebut. Kelompok ini lalu membuat kesepakatan tentang apa yang baik dan apa yang tidak. Jadi manusia dan kelompoknya bersepakat menentukan apakah mereka akan mengikuti atau menyesuaikan diri dengan alamnya atau justru sebaliknya. Ketika teknologi canggih ditemukan, manusia seakan sudah dapat menguasai alamnya. Padahal kita tahu benar bahwa dasar-dasar teknologi adalah meniru atau mengambil prinsip dari perilaku alam. Perilaku manusia yang ingin berbeda dengan perilaku alam ini ujung-ujungnya akan berakhir dengan penguasaan atau pengrusakan terhadap alam. Tentu oleh manusia. Padahal semua manusia juga sadar bahwa mereka tidak akan bisa hidup tanpa adanya dukungan alam. Dan ketika keseimbangan gerak alam sudah tidak seperti semula, malapetaka mulai menjelang. Banjir besar, longsor, kemarau dan penghujan yang berkepanjangan mulai datang. Sampai titik ini perlahan-lahan ia semakin mengerti. Ia berkata lirih sangat perlahan nayris 25 / 27
berbisik. Jadi bangunan yang baik adalah yang sesuai dengan alamnya dan juga sesuai dengan kondisi kelompok manusianya. Saya melanjutkan bahwa: kata kunci bangunan yang baik adalah spesifik. Kata ini dapat berarti sesuai atau sangat pas, atau fit. Jadi jika bangunan: Spesifik dengan tapaknya, Spesifik dengan iklimnya, Spesifik dengan penghuninya, Spesifik dengan budaya penghuninya, Apakah lalu bangunan ini dapat disebut sebagai bangunan yang baik? Lagi-lagi saya tidak menjawab pertanyaannya. Bahkan saya malah bertanya. Ia mengangguk perlahan. Entah ia paham atau ia bosan mendengarkan celoteh saya. Yang pasti adalah setelah pertemuan ini hubungan kami kembali terekat. Kami jadi sering pergi berdua ke beberapa kota untuk melihat bangunan kesehatan yang ada.
26 / 27
BANGUNAN BAIK purnamasalura.com 2015
27 / 27