PURNAMA SALURA
1 / 27
I L U S T R A S I
2 / 27
Suka Tidak Suka Perkumpulan ini mengundang saya untuk berbicara mengenai profesi arsitektur. Dahulu memang saya termasuk anggota dalam perkumpulan ini. Mereka menyebutnya club. Saat itu saya termasuk anggota termuda diantara empatpuluh lima orang anggota yang ada. Sementara club saya ini termasuk sebuah club tertua di kota yang dingin ini. Tak mudah memang utuk menjadi anggota club ini. Setiap anggota harus dipromosikan oleh salah seorang anggota senior yang sudah tentu mempunyai profesi penting dalam masyarakat. Bisa jadi kedudukannya sebagai pejabat tinggi, pengusaha sukses, seniman terkenal atau pesohor dalam komunitas. Saya memang beruntung, seorang pemilik pabrik coklat yang brandnya cukup terkenal di seantero dunia memromosikan saya untuk menjadi anggota. Itu kisah dahulu. Setelah berhenti cukup lama dari keanggotaan club ini kebetulan saya diminta mengisi weekly meeting mereka sebagai pembicara. Tingkat kehadiran atau istilah mereka attendance yang diumumkan tadi cukup tinggi, mencapai angka 90 %. Itu termasuk anggota yang melakukan make-up di tempat lain. Club ini sangat terkenal menjunjung etika dalam melakukan kegiatan kemanusiaan. Selesai sesi tanya jawab, saya duduk di sebelah seorang wanita indo berambut agak pirang yang berpakaian sangat formal. Wanita ini mengenakan blazer berwarna cream, menutupi baju terusan berbahan kaos hitam yang tampaknya agak ketat 3 / 27
I L U S T R A S I
4 / 27
menempel di badan. Ia menyodorkan kartu namanya. Tertera di sana nama dan titelnya : MBA, MBE. Ada dua degree yang disandangnya. Keduanya tentang bisnis. Yang pertama Business Administration, yang kedua Business Ethics. Sedangkan jenis usahanya adalah real-estate. Entah mengapa biasanya saya agak enggan jika bertemu dengan pengusaha jenis ini. Padahal profesi arsitek sangat erat berkaitan dengan real-estate. Mungkin karena dalam perjalanan berprofesi, saya selalu bertemu dengan beberapa pengusaha real-estate yang kehendaknya nyaris mengedepankan profit semata. Sehingga selalu mengabaikan bahkan menafikan aspek penting lainnya. Tetapi tentu saja tidak elok kalau hanya menimpakan kekesalan saya hanya pada jenis pengusaha ini. Karena dalam praktiknya pengelola kota yang berperan sebagai wasit tentu ikut mempunyai andil besar jika akhirakhir ini kondisi tatanan dan wajah kota kita semakin tak karuan. Ia bertanya sambil membuka percakapan. Apakah saya tertarik untuk memberi konsultasi tentang perancangan perumahan baru di tempat ia bekerja. Anehnya saya langsung menjawab tertarik. Mungkin karena tatapan matanya halus menghiba. Atau mungkin juga karena raut mukanya yang penuh dengan ekspresi serius. Mau Tidak Mau Pagi itu saya memarkir mobil di depan pintu pagar yang bertuliskan nama perusahaan yang 5 / 27
I L U S T R A S I
6 / 27
menggunakan bahasa asing. Bahasanya agak sulit dieja oleh lidah saya. Penjaga membukakan pintu kayu yang ekspresinya sangat kokoh. Suaranya berderit-derit seperti bunyi engsel yang telah lama tak bertemu dengan minyak. Saya dipersilakan masuk dan menunggu di ruang tamu. Ada tangga ke lantai atas, rupanya kantor pimpinan terletak di lantai dua. Ruang tamu ini termasuk mewah dalam ukuran bangunan lapangan. Dinding bangunan tersusun dari konstruksi kayu yang ditempel dengan pelapis dari bahan GRC dan gypsum. Sebentar kemudian seorang pemuda memakai t-shirt lengan pendek putih turun dari lantai dua dan mengundang saya untuk naik. Dari balik t-shirt ketatnya tersembul otot-otot yang kekar. Kami bertiga berada di ruang yang berukuran empat kali delapan meter. Disebelah ujung ada satu perangkat meja dan kursi pimpinan. Di depannya ada sebuah meja besar dengan delapan buah kursi yang beroda. Ditengah meja besar ini terletak sebuah maket rancangan perumahan. Tidak seperti malam kemarin di tempat weekly meeting, kali ini wanita indo yang kemari saya temui menggunakan celana panjang jeans dan baju bercorak kotak-kotak khas keluaran sebuah merek yang ciri bahannya hampir semua berpola kotak-kotak. Ia tampak santai sekali, senyumnyapun cerah tidak formal seperti yang dipamerkannya kemarin. Ah…saya tidak perduli dengan senyumnya yang menarik . Saya hanya ingin cepat pada inti pertemuan. Ia memperkenalkan pemuda kekar tadi sebagai manajer lapangan. Kemudian ia meminta pemuda tadi 7 / 27
I L U S T R A S I
8 / 27
menerangkan tentang proyek yang sedang digarapnya secara keseluruhan. Saya menyimak dengan cermat. Sesekali saya bertanya dan menorehkan catatan. Ternyata proyek ini diakuisisi oleh perusahaan tempat wanita indo kenalan baru saya ini bekerja. Itupun baru berjalan satu bulan lamanya. Tahap pekerjaan saat ini adalah baru pada tahap persiapan untuk mengerjakan land-clearing. Saya yakin dengan nilai proyek sebesar ini ia tentu tidak hanya berkonsultasi dengan saya. Tapi tentu meminta second-opinion, atau bahkan lebih dari satu pendapat profesional. Saya bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa biro konsultankah yang ia mintai pendapat. Setelah introduksinya selesai, saya meminta untuk diantar meninjau kondisi lapangan. Manajer lapangan bersiap. Tapi wanita indo ini ingin mengantarkan saya sendiri. Saya agak menampik diantar olehnya. Maksud saya adalah agar dapat lebih leluasa mengorek informasi dari manajer lapangan. Tapi ia bersikeras mengantar. Ia berada dibalik kemudi mobil Rubicon hitam, mobil ini tampak kotor sekali dari luar, tetapi dalamnya sangat bersih, apik dan harum. Walaupun demikian saya mencium aroma rokok di sana. Kami berhenti di beberapa batas tanahnya. Tampaknya masih banyak rumah penduduk setempat yang akan tergusur. Telponnya berbunyi, ia tampak gembira sekali menerimanya. Saya terpancing untuk ikut menyimak. Sayangnya ia berbincang menggunakan bahasa Jerman. Dahulu ketika di sekolah menengah atas nilai 9 / 27
I L U S T R A S I
10 / 27
bahasa Jerman saya sangat rendah, jadi saya tak paham apa yang mereka perbincangkan sama sekali. Itu telpon dari ayahnya, dia bercerita bahwa ayahnya seorang pengusaha Jerman yang telah lama tinggal di Indonesia. Rupanya ia dan ayahnya mengelola perusahaan keluarga dalam bidang manufaktur. Ini adalah kali pertama mereka masuk ke dalam bidang properti. Ia lalu meminta pendapat saya apakah saya tertarik untuk menangani perancangannya sampai pada tingkat detail. Saya tak langsung menjawab, hanya mengernyitkan dahi. Tak sampai hati rasanya untuk menolak permintaan wanita indo ini. Prinsip yang masih saya anut adalah, saya tak hendak terlibat dalam perancangan yang terlalu mementingkan profit. Perancangan yang tak peduli dengan lingkungan sekitarnya, seakan menutup diri membangun tembok tebal yang memisahkan diri dari kondisi yang ada. Tapi celakanya kalimat yang keluar dari mulut ini adalah kata-kata “akan saya rundingkan dulu dengan kawan-kawan saya”. Mengambangkan persoalan.
Benar Tidak Benar Ia menepikan mobil dan berhenti tepat di bawah sebuah pohon besar sehingga mobil diteduhi oleh bayangan pohon. Kemudian ia menatap saya dan berkata dengan serius. Ia akan paham sekali jika saya tidak dapat menerima pekerjaan ini. Tapi ia meminta saya jujur dan mengeluarkan alasan yang mendukung pendapat saya. Saya agak kaget. Peka juga rupanya 11 / 27
I L U S T R A S I
12 / 27
wanita indo ini. Ia berkata lanjut bahwa ia sangat tertarik dengan topik ceramah yang saya bawakan kemarin sore. Tentang etika dalam Arsitektur. Ia berkata bahwa pendalamannya pun adalah dalam bidang bussines ethics Saya kembali tertegun, mungkin muka saya memerah. Baiklah...saya lalu menatap mukanya sebelum mengutarakan pendapat. Kali ini saya memerhatikan raut wajahnya secara mendetail. Ini karena ia duduk persis disamping saya dalam mobil Rubicon ini, jadi jarak pandang kami relatif sangat dekat. Saya pikir kulit mukanya yang putih tentu ia dapatkan dari ayahnya. Matanya agak sipit, ah…ada sisi oriental di sana. Perpaduan ini sungguh menarik. Rambutnya yang panjang menyisakan poni diatas mata menutup dahinya yang tampaknya agak lebar. Molek. Ia membuka jendela seraya mematikan airconditioning, lalu membuka laci samping mengambil sebuah kotak rokok serta dua kaleng minuman yang mengandung ion. Perlahan ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok yang berpola kotak-kotak mirip dengan bajunya. Ah…saya sangat familiar dengan aroma rokok ini. Saya berkata padanya bahwa saya telah lama berhenti merokok. Tapi entah mengapa saya mengambilnya sebatang dan saya mengendus-endus rokok jenis ini. Dahulu saya merokok jenis ini. Ia lalu menyalakan rokoknya. Saya membukakan kaleng minuman dan memberikan padanya. Saya memulai pembicaraan dengan kata maaf. Saya berpendapat bahwa proyek ini menutup diri dari 13 / 27
I L U S T R A S I
14 / 27
lingkungan dengan membuat tembok tinggi pada area batasnya. Saya mencontohkan ketika saya merancang sebuah hotel di daerah pengunungan di pulau dewata. Hotel itu tidak menutup diri dengan lingkungan, bahkan membuat jalan keliling sebagai boundary sehingga penduduk sekitar dapat ikut menikmati dan menggunakan jalan tersebut. Dirancang juga fasilitas umum pada area yang langsung bersambungan dengan perumahan penduduk sekitar. Area tersebut lalu dikelola bersama dengan penduduk sekitar. Dengan cara membuka diri pada masyarakat setempat, area hotel malah dilindungi secara tidak langsung oleh pada penduduk. Jika kita membuka diri memberi dengan tulus, justru kita malah mendapatkan. Kembali pada proyeknya, jika ditengok dari rencana perkembangan kota, perancangan seperti ini membawa konsekuensi pertumbuhan parsial. Yang ujung-ujungnya akan menambah beban jalan. Bayangkan saja jika jalan keluar dan masuk ke dalam kompleks hanya melewati satu gerbang yang bermuara ke arah jalan kecil. Sementara jalan masuk dan juga jalan keluar dalam area kompleks mempunyai lebar yang tiga kali lebar jalan muaranya. Bottle-neck. Ini rancangan yang sangat egois, mementingkan diri sendiri. Saya mengungkapkan juga bahwa dengan hanya membuat tipe bangunan yang mewah akan menciptakan segregasi sosial yang dampaknya akan terasa dalam waktu yang sangat panjang. Akan sangat berbeda jika pada area ini dirancang berbagai tipe. Mulai dari yang sederhana, besar sampai mewah. Niscaya pada daerah boundary-nya zonasi akan tertata 15 / 27
I L U S T R A S I
16 / 27
dengan elok. Manfaat nyata akan dirasakan oleh penduduk sekitarnya. Saya mulai memperhatikan perubahan parasnya. Ia ternyata mendengarkan dengan pandangan muka berseri-seri. Jangan-jangan ia mentertawakan pendapat saya. Betapa sayangnya jika saya harus berbeda pendapat dengan wanita indo cantik ini, apalagi jika harus berseberangan pendapat. Saya lalu menambahkan bahwa kualitas perancangan yang etis akan sangat berpengaruh pada kesuksesan meraup profit dan sekaligus menggalang benefit. Bayangkan saja jika intervensi rancangan yang dilakukan pada suatu area justru dapat membuat area tersebut menjadikan daerah sekitarnya lebih baik. Keberlangsungan kehidupan malah akan terjaga. Bukankah ini merupakan tingkat sustainability yang ujung-ujungnya melahirkan multiplier profit and benefit?
etik dan tidak etik Saya tanyakan pendapatnya. Ia malah tersenyum lebar dan mengangguk tanda setuju sampai-sampai poninya yang pirang bergerak-gerak dengan indahnya. Pendapat ini yang saya tunggu sahutnya berapi-api. Ia menceritakan ketika ia bersekolah di jurusan etika bisnis, pradigma yang diajarkan sangat berbeda. Pandangan tentang dominasi pasar, pemenang dalam persaingan bisnis mulai dipertanyakan. Menjadi lebih hebat atau bahkan 17 / 27
I L U S T R A S I
18 / 27
paling hebat tapi merugikan yang lain justru akan membawa kehancuran dalam jangka panjang. Membangun kemajuan secara bersama itu jauh lebih menguntungkan. Dasar dari etika dalam bisnis harus dimulai dari diri sendiri. Dari kelompok sendiri lalu dikobarkan ke luar sehingga menciptakan ruang pengaruh yang semakin besar. Bukan sebaliknya yaitu dipengaruhi oleh kondisi pasar yang semakin tidak etis karena pengejaran terhadap profit semata. Mengedepankan aspek benefit pada lingkungan harus menjadi kuncinya. Tidak ada lagi istilah pesaing. Yang tersisa hanyalah patner yang saling mendukung. Konon dua orang gurunya yaitu Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale dalam bukunya The Power of Ethical Management, menceritakan contoh tentang perjalanan hidup seorang anak. Ketika anak itu berusia 8 tahun ia ikut di samping ayahnya dalam mobil. Ayahnya melanggar rambu lalu lintas. Lalu dengan jelasnya ia melihat sang ayah menyelipkan lembaran uang di bawah surat ijin mengemudi. Dan polisi membiarkan mereka pergi. Sang anak bertanya, mengapa? Ayahnya menjawab tanpa rasa bersalah. Tak apa anakku, Itu sudah biasa dan semua melakukannya. Ketika sang anak berumur 12 tahun ia diajak menemani ibunya menonton film untuk usia 17 tahun ke atas. Ia takut tak boleh masuk, tapi sang ibu menenangkan dia dengan mengeluarkan selembar uang yang disatukan dengan tiketnya. Penjaga pintu menerima tiket dan uang tersebut lalu mengijinkan mereka berdua untuk masuk. Sang anak bertanya, 19 / 27
I L U S T R A S I
20 / 27
mengapa? Sang ibu menjawab tanpa rasa bersalah. Tak apa anakku, Itu sudah biasa dan semua melakukannya. Ketika ia berusia 17 tahun ia mendaftar pada sebuah sekolah tinggi. Kawannya yang notabene mempunyai nilai jauh lebih bagus dan menduduki ranking ke dua dalam sekolahnya, tidak diterima. Tapi karena pamannya yang menjadi pengusaha sukses mempunyai banyak uang berlebih dan bersedia menyumbangkan sejumlah dananya untuk sekolah tinggi tersebut ia diterima. Sang anak bertanya, mengapa? Sang paman menjawab tanpa rasa bersalah. Tak apa keponakanku, Itu sudah biasa dan semua melakukannya. Ketika ia berumur 19, salah seorang pegawai administrasi sekolah menghubungi ia. Lalu menawarkan jawaban soal ujian yang akan keluar nanti. Dan ia diminta untuk membeli jawaban soal ujian tersebut karena kemungkinan lulus tanpa membeli soal tersebut sangatlah kecil. Sang anak bertanya, mengapa? Pegawai administrasi itu menjawab dengan muka tak bersalah : Tak apa dik, Itu sudah biasa dan semua melakukannya. Ternyata sang anak tertangkap tangan ketika mengikuti ujian karena ia membawa jawaban soal ujian. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan surat keputusan memalukan yang dikirimkan pada kedua orang tuanya. Apa yang dikatakan keluarganya? Ayah dan ibunya sangat marah dan berkata : Tega-teganya kau melakukan hal ini pada kami? Pamannya pun tak ketinggalan turut mengata-ngatai : kau belajar dari 21 / 27
I L U S T R A S I
22 / 27
siapa melakukan kecurangan ini? Kami tidak pernah mengajarkan hal-hal seperti ini di rumah. Saya tercenung mendalam agak terpojok juga mendengar ceritanya ini. Bukankah peristiwa seperti itu sudah menjadi rahasia umum? Malu rasanya saya…Menyuap yang berwajib, menyuap penjaga tiket, menyuap pengurus kartu penduduk, hampir semuanya saya lakukan juga. Demikian pula hampir semua kawan-kawan saya menganggap ini hal biasa. Saya terhenyak lemas dikursi mobil ini. Wanita cantik ini kembali tersenyum. Kali ini saya yang merasa terpukul oleh senyumnya yang tidak tampak manis lagi. Senyumnya seakan menghakimi saya. Padahal senyumnya tetap cantik dan parasnya tetap molek. Ia membuka kembali ceritanya dengan kata maaf. Persis seperti ketika saya memulai mengutarakan pendapat saya tadi. Ia berkata bahwa ada tiga pertanyaan penting yang selalu ia pegang teguh. Sekelebat saya teringat juga akan tiga pertanyaan penting dari Socrates. Socrates seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup pada 469-399 SM yang juga merupakan guru Plato, terkenal sangat bijaksana. Ketika ada seorang kenalannya datang ingin membicarakan sesuatu tentang muridnya, ia lalu mengajukan tiga pertanyaan sebagai penyaring apa yang ingin dibicarakan. Pertanyaan pertama yang menekankan pada kebenaran. Socrates bertanya pada kenalannya apakah ia sudah yakin bahwa apa yang akan diwartakan itu mengandung nilai-nilai kebenaran. Kenalannya menggelengkan kepala. Kemudian Socrates mengajukan pertanyaan ke dua. Pertanyaan ke dua 23 / 27
I L U S T R A S I
24 / 27
adalah tentang kebaikan. Socrates bertanya apakah dalam berita yang akan disampaikan di dalamnya mengandung nilai-nilai kebaikan. Lagi-lagi kenalannya menggelengkan kepala. Kemudian Socrates melontarkan pertanyaan ke tiga. Pertanyaan ke tiga mengedepankan kegunaan dan manfaat. Socrates kemudian bertanya apakah sesuatu yang ingin disampaikan ini di dalamnya mengandung nilainilai kegunaan dan akan bermanfaat bagi Socrates dan muridnya. Kenalannya hanya tertegun tak berkata dan lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kali ini Socrates ikut menggelengkan kepala. Ia berkata bahwa jika apa yang ingin disampaikan atau diceritakan tidak benar, tidak baik dan tidak ada manfaatnya tak perlulah untuk dibicarakan. Konon apa yang akan diceritakan oleh kenalannya adalah cerita tentang Plato salah satu murid Socrates yang diduga sering menggoda istri Socrates. Wanita cantik ini berkata bahwa gurunya mengajarkan agar ia selalu mempertanyakan tiga etika dasar dalam melakukan bisnis : Apakah proyek bisnis properti ini legal ? [jika saya meneruskannya apakah saya tidak melanggar hukum, aturan dan prinsip atau pola yang telah ada?] Apakah proyek bisnis properti ini mengandung prinsip keseimbangan? [Apakah cukup fair untuk semua pihak yang terlibat? Apakah di dalamnya mengandung kesetaraan hubungan kerja] Jika proyek bisnis properti ini telah dipublikasikan dan dipasarkan secara meluas 25 / 27
apakah akan membuat saya merasa nyaman dan bangga? Sambil memperbaiki letak poni yang mengganggu matanya ia mengucapkan kata terimakasih pada saya bahwa tiga pertanyaan yang ia lontarkan tadi sudah terjawab. Saya menjadi semakin bingung. Ia bertanya kembali pada saya dalam nada yang sangat berbeda. Apakah saya masih tertarik untuk mengubah dan memperbaiki seluruh perencanaannya agar tiga pertanyaan di atas dapat terjawab dengan baik? Saya terkagum-kagum dengan cara negosiasi yang ia lakukan. Dengan penuh semangat saya menyanggupi untuk mengerjakannya. Lalu dengan tenangnya ia mencium kedua pipi saya dan mengucapkan terimakasih dengan lirih. Saya masih terbingung-bingung… Ketika mengendarai mobil arah kembali ke kantor, pikiran saya mengawang-awang. Bukankah arsitektur juga harus selalu berlandas etika? Jika fungsi dan bentuk arsitektur selalu berlandas pada etika bukankah akan tercipta makna arsitektur yang etis?
26 / 27
ETIKA ARSITEKTUR purnamasalura.com 2015
27 / 27