PURNAMA SALURA
1 / 25
C
A
T
A
2 / 25
T
A
N
Batas Arsitektur Kawan kental saya baru saja tiba. Sementara saya masih asik berkutat dengan pekerjaan perancangan di meja gambar. Jika mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, memang tak terasa waktu berpacu dengan cepat. Saya pikir teori relativitas Einstein terbukti kebenarannya. Sekarang sudah jam enam sore. Saya berjanji menemaninya untuk makan malam di tempat adik wanitanya. Sudah cukup lama ia ingin mengenalkan saya dengan adiknya. Ia sudah menunggu diruang tamu kantor. Ternyata ia tak datang sendiri. Ia datang bersama teman wanitanya. Setelah berkenalan kami lalu berangkat bersama menggunakan mobilnya. Saya menduga teman wanitanya adalah teman satu profesi dengannya yaitu ahli konstruksi. Ternyata dugaan saya meleset. Teman wanitanya adalah seorang ahli bahasa yang menekuni bahasa Perancis. Ia mendalami pemikiran Sartre dan juga Derrida. Saya bilang padanya bahwa saya justru sangat kagum dengan pemikiran-pemikiran Saussure. Ia lalu mulai mengoceh tentang kegeniusan Derrida. Ujungujungnya saya dapat kuliah gratis tentang linguistik. Khususnya aliran Perancis Mobil melaju ke daerah Utara kota. Dari daerah ini kita nyaris dapat melihat seluruh kota terhampar jauh dibawah sana. Seorang laki-laki berperawakan besar membuka pagar, ia mempersilahkan mobil kami masuk. Saya pikir inilah resiko mempunyai rumah yang jauh dari keramaian. Harus ada penjaga 3 / 25
C
A
T
A
4 / 25
T
A
N
keamanan. Tanahnya cukup besar, luasnya hampir satu hektar. Rumah adiknya ini terdiri dari dua bangunan besar yang terpisah. Hanya disambungkan oleh selasar terbuka. Di halaman parkir tampak sebuah sedan mutakhir buatan Jerman. Tak ada garasi di sana. Ini adalah pertemuan kedua saya dengan adiknya. Kali pertama kami bertemu ketika peresmian kantor ayahnya sebulan bulan yang lalu. Kala itu ia baru saja kembali ke Indonesia. Kami makan malam berempat di teras rumahnya. Hawa dingin perlahanlahan mulai menyerang tubuh saya. Adiknya seorang seniman yang senang melukis dan membuat patung. Ia tamatan Eecoles des BeauxArts, sekolah seni ternama di Perancis. Saya berlagak hebat dengan bertanya tentang Quatremere de Quincy jagoan arsitektur dari sekolah tersebut. Ecole de Beaux-Arts adalah sebuah sekolah seni yang didirikan di Paris tahun 1819. Institusi ini merupakan institusi yang paling tua yang mengajarkan tentang desain. Demikian pula halnya dengan pengajaran arsitektur yang terstruktur secara rasional diajarkan dalam sekolah ini. Pada masa itu orang mempelajari seni atau arsitektur hanyalah dengan sistem magang pada pakar yang ada. Landasan pembelajaran pada sekolah ini adalah pada arsitektur Roman dan Renaissance. Beaux-Arts mempunyai tradisi unik yaitu selalu mengadakan sayembara “Grand Prix de Rome” di mana pesertanya dibebaskan pada siapa saja asalkan saat berumur antara 15-20 tahun. Para siswa Beaux-Arts hampir semua selalu mengikuti sayembara yang dianggap bergengsi ini. 5 / 25
C
A
T
A
6 / 25
T
A
N
Rupanya kawan wanita kakaknya cocok bercakap-cakap tentang Perancis. Akhirnya kami mengoceh tentang sejarah Perancis kesana kemari. Sampai pada suatu saat adiknya membuat saya tertegun dengan pertanyaan : Apakah batasan (boundary) pengetahuan arsitektur? Apakah sebatas bangunan saja? Ataukah seluruh lingkungan binaan manusia? Apakah seni interior, seni lukis masuk ke dalam batasan arsitektur? Apakah Jembatan yang dirancang kakaknya termasuk juga arsitektur? Jika jawabnya ya, lalu mengapa sekolah kakaknya bukan jurusan arsitektur? Kalau saja saya tahu adiknya akan bertanya seperti ini, mungkin saya akan enggan untuk datang. Untung ia tak bertanya lanjut. Ia mengajak saya melihat bangunan studionya. Ia berkata pada kakaknya ingin minta pendapat saya tentang perluasan studionya. Jadi ia ingin kami berdua saja yang pergi ke studio. Kakaknya mengiakan seraya tersenyum aneh pada saya. Seharusnya saya senang karena diberi kesempatan untuk mengobrol berdua. Tapi pikiran saya mulai tak karuan. Saya masih memikirkan jawaban akan pertanyaannya. Apakah batasan pengetahuan arsitektur itu?
Idea-Medium-Ekspresi Kami berdua berada di bangunan studionya. Ruangnya relatif luas lebarnya enam meter, panjangnya mungkin duabelas meter. Saya menghitungnya dari jarak antar kolom lalu dikalikan 7 / 25
C
A
T
A
8 / 25
T
A
N
jumlah kolomnya. Di sana ada meja gambar, alat-alat lukis berserakan, beberapa pigura dan kanvas tersandar di dinding. Kami lalu duduk di kursi kayu diteras studionya. Saya bertanya padanya tentang apa yang ia pelajari di sekolah seni. Ia berkata bahwa pelajarannya selalu dimulai dengan filsafat. Selalu mengajukan pertanyaan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang segala hal. Ia benar. Saya mulai berpikir tentang hakekat setiap benda. Benda apapun yang ada di dunia ini, apakah natural-made maupun man-made, pasti punya hakekat. Apakah hakekatnya? Idea. Setiap benda selalu mempunyai idea di dalamnya. Tak perduli benda buatan manusia atau benda yang ada di alam raya ini selalu punya idea di dalamnya. Sebuah benda mati di alam ini, misalkan sebuah batu, pasti mempunyai idea tentang keberadaannya. Sehingga sering kita menyebutnya bahwa batupun “mempunyai jiwa”. Pada sebuah benda mati buatan manusia, idea atau tujuan penciptaannya tentu ada. Tanpa idea ini tidak akan tercipta benda tersebut. Ekspresi. Setiap benda juga selalu mempunyai ekspresi. Sebuah batu kali mempunyai ekspresi yang berbeda dengan sebongkah es. Demikian juga sebatang kayu mempunyai ekspresi berbeda dengan selempeng plastik. Pada benda mati, ekspresi selalu terpancar walaupun tanpa intensi. Pada benda hidup, umumnya ekspresi yang terpancar didominasi oleh intensi atau tujuan penciptaannya. Dapat kita katakan bahwa ekspresi memancarkan hakekat bendanya. Atau hakekat penciptaan benda. 9 / 25
C
A
T
A
10 / 25
T
A
N
Medium. Idea butuh medium. Demikian juga ekspresi muncul dari mediumnya. Dengan demikian medium adalah wadah dimana idea dan ekspresi bertempat. Medium adalah sesuatu diantara (pertemuan) idea dan ekspresi. Tanpa medium idea tak akan pernah ada. Demikian juga ekspresi tak akan pernah terpancar jika tidak ada medium untuk idea tersebut. Idea-medium-ekspresi selalu bersatu-padu. Tidak akan pernah terpisah-pisah. Sehingga ketiganya lalu menjadi sebuah benda. Ketiganya inilah yang merupakan esensi atau hakekat setiap benda. Lamunan saya terhenti, ia bertanya apakah saya kedinginan? Saya belum sempat menjawab ketika ia menggamit tangan saya mengajak saya untuk beranjak dari teras yang dingin ini. Kali ini kami duduk berdampingan disofa besar yang empuk dan hangat. Ia mengajak saya berdiskusi tentang perluasan studionya. Saya mencoba menjelaskan tentang kebutuhan dan keinginan. Apakah kebutuhannya akan ruang kerja sudah mencukupi? Ataukah keinginannya yang mendominasi kebutuhannya? Ia tampak menyimak. Tapi ia lalu berkata bahwa ingin menyerahkan keputusan itu pada saya. Seperti apakah idea saya? Saya mulai berkonsep tentang idea untuk studionya. Tentang perlunya sebuah tema bagi idea. Tema ini tentu akan muncul menjadi ekspresi ruang studionya. Dengan demikian bentuk luar dan susunan ruang dalam studionya akan menjadi medium bagi idea dan ekspresi nantinya. Saya bilang bahwa 11 / 25
C
A
T
A
12 / 25
T
A
N
medium atau bentuk adalah hasil akhir dari sebuah rancangan arsitektur. Bentuk ini akan mengakomodasi kegiatannya serta sekaligus mengekspresikan kualitas kegiatan serta kualitas bentuknya. Saya bersukur ia mudah mengerti dan paham. Mungkin karena ia punya segudang perbendaharaan dan pengetahuan luas tentang seni. Yang menurut saya bahkan jauh lebih mendalam dari pengetahuan saya. Ah, sudah cantik, cerdas dan berpengetahuan tinggi tentang seni pula.
Obyek Formal-Material Diskusi kami berdua semakin mendalam. Ia semakin ingin tahu tentang arsitektur. Sedangkan saya justru hanya ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Saya bertanya padanya : apakah yang dimaksud dengan suatu obyek (seni) ? Seakan tak perlu berpikir lagi ia menjawab secara filosofis. Jika kita berkata tentang kata obyek, tentu juga di sana ada kata subyek. Obyektif bertumpu pada obyeknya, subyektif tentu sebaliknya. Setiap obyek dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi “forma(l)” dan sisi “materia(l)”. Forma adalah tujuan penciptaan benda tersebut. Ada tiga tujuan dasar setiap penciptaan benda. Pertama, normatif yaitu menciptakan norma-norma agar tercipta suatu bentukan atau kondisi yang baik. Kedua, deskriptif yaitu menerangkan, menyatakan dan mengurai agar tercipta suatu pemahaman yang baik. Ketiga, efisiensif yaitu bertumpu pada kebutuhan dan 13 / 25
C
A
T
A
14 / 25
T
A
N
menciptakan kemudahan dalam kehidupan yang ada. Ketiga tujuan atau alasan penciptaan sebuah obyek di atasselalu melekat dan ada pada obyek tersebut. Tampak sekali ekspresi passion pada mukanya. Membuat saya semakin tertarik untuk duduk mendekat. Lebih lanjut lagi ia menambahkan bahwa pada sisi materia, setiap obyek selalu punya kespesifikan pada zat yang menjadikan obyek itu nyata. Obyek materialnya bisa tangibel, atau bisa juga intangibel. Yang pertama adalah material nyata yang dapat dilihat diraba, dipegang, alias fisikal. Yang kedua materialnya ada tapi tak dapat dilihat, diraba alias non fisikal. Badan kita nayata fisikal, tapi hati kita jelas non fisikal. Bagaimana dengan gelombang suara? Bagaimana dengan enerji? Apakah fisikal atau non fisikal? Tanya saya dalam hati. Teoritis sekali. Saya ingin menanyakan lebih lanjut uraiannya. Tapi perbincangan kami terputus karena kehadiran kakaknya dan teman wanitanya. Mereka ikut duduk dihadapan kami sambil bergandengan tangan. Saya mengajak mereka untuk ikut dalam diskusi. Saya kembali mengingat pertanyaan awal gadis cantik disebelah saya ini. Apakah batas (boundary) pengetahuan arsitektur? Kali ini rasanya makin mudah untuk menjelaskannya. Batas setiap ilmu pengetahuan akan lebih jelas jika diurai atau diterangkan lewat pokok-pokok idea-medium-ekspresi serta obyek formal-material. Saya mulai melemparkan pertanyaan pada teman wanita kakaknya untuk menguji pokok-pokok 15 / 25
C
A
T
A
16 / 25
T
A
N
di atas. Jika ia sebagai seorang ahli linguistik ingin berpuisi dengan lantang, apakah ideanya? Teman kakaknya menjawab dengan fasihnya. Adanya keinginan untuk menyampaikan sesuatu. Bisa saja tentang suatu pertempuran antara baik dan jahat yang berkecamuk dibenaknya. Bisa juga hanya suatu perasaan emosional mendalam tentang cinta. Saya bertanya kembali menegaskan. Apakah idea ini dapat digolongkan pada keinginan atau kebutuhan.Tentu lebih condong kearah keinginan ketimbang kebutuhan jawabnya. Keinginan untuk mengekspresikan sesuatu. Dengan demikian obyek formalnya tentu bersifat deskriptif. Bagaimana cara menyampaikan puisi tersebut? Apakah mediumnya? Ia menjawab dengan tersenyum. Bunyi. Idea puisi kemesraan butuh bunyi bisikan yang lirih. Idea puisi pernyataan sikap menggugah semangat butuh bunyi yang meledak-ledak. Tanpa bunyi sebagai mediumnya idea tak akan menjadi nyata tak akan mengada. Padahal bunyi tak dapat kita lihat, tak dapat kita pegang. Jawaban untuk pertanyaan yang saya simpan dalam hati tadi mulai terbayang. Gelombang dan enersi nyata ada. Jadi obyek formal dari puisi yang disampaikan lewat suara adalah non fisikal. Saya terkagum-kagum dengan pengetahuan teman kakaknya ini. Tersadar saya mengatupkan mulut saya yang tadi menganga karena kagum. Seperti tidak mau kalah adiknya menyambung uraian teman kakanya tadi. Lewat intonasi bunyi pula ekspresi idea akan dapat dikomunikasikan. Suara halus mendayu-dayu 17 / 25
C
A
T
A
18 / 25
T
A
N
akan mempunyai ekspresi yang sangat berbeda dengan suara hentakan yang menggelegar. Dengan demikian ekspresi dari idea lewat medium bunyi adalah sangat tergantung dari intonasi atau kualitas susunan keras-pelan volume bunyi, tinggi-rendah frekuensi bunyi. Ritme bunyi. Lalu dengan runtut ia menyimpulkan bahwa : Idea puisi selalu dimulai dari keinginan bukan kebutuhan. obyek formal dari puisi selalu bersifat deksriptif medium puisi adalah bunyi obyek materialnya non fisik ekspresinya ditekankan pada intonasi bunyi. Ia menoleh pada teman kakaknya : Est-ce vrai que Mademoiselle? Teman kakaknya mengangguk mengiakan. Lalu ia melirik genit pada saya. Bukan main. Kedua wanita ini tampak sangat terdidik. Kecil rasanya saya di situ. Bukankah itu boundary dari puisi? Bagaimana dengan boundary dari arsitektur? Adiknya bertanya kembali pada saya. Saya tersentak. Saya lemparkan kembali pertanyaan padanya. Saya memohon ia untuk mengurai ilmu lukis yang ia tekuni. Dengan santai ia menguraikan sambil tersenyum : idea lukisan juga selalu dimulai dari keinginan bukan kebutuhan. obyek formal dari lukisan juga selalu bersifat deksriptif medium lukisan adalah warna karena tanpa warna tak akan ada lukisan
19 / 25
C
A
T
A
20 / 25
T
A
N
obyek materialnya juga non fisik karena warna tak dapat dipegang, yang terpegang hanya benda di mana warna itu ditempelkan ekspresinya ditekankan pada kualitas susunan warna. Lukisan monalisa merupakan susunan dari warna yang membentuk muka dan setengah badan seorang gadis. Singkat. Saya masih belum paham, tapi malu rasanya untuk bertanya meminta penjelasan. Kakaknya menyela ingin tahu bagaimana batasan untuk ilmu sipil. Sang adik melirik manja seraya menjelaskan : idea ilmu sipil selalu dimulai dari kebutuhan bukan keinginan. Misalkan kebutuhan akan konstruksi yang kuat obyek formal dari ilmu sipil adalah efiensif karena tujuannya tidak ingin mendeskripsikan tidak juga ingin membuat norma untuk kehidupan. Sebatas bagaimana bertujuan menciptakan konstruksi yang efisien medium ilmu sipil adalah masa. Seperti tiang diding balok, karena kekuatan konstruksi harus diwujudkan lewat masa-masa ini. obyek materialnya sangat fisikal dapat dipegang, disambung dilihat. ekspresinya ditekankan pada kekuatan konstruksi. Jika bentangan jembatan sangat panjang tentu besar pula dimensi jembatan tersebut. Demikian pula penekanan bentuknya selalu tercipta akibat gaya yang saling menekan dan menarik jembatan tersebut. Kakaknya bertepuk tangan gembira. Saya merasa makin kecil. Lalu sebelum ditanya kembali oleh adiknya saya mencoba menguraikan sambil terbata21 / 25
C
A
T
A
22 / 25
T
A
N
bata. Saya meminta adiknya membantu saya menguraikan. Akhirnya adiknya dan saya sampai pada kesimpulan bahwa batas ilmu arsitektur adalah : idea ilmu arsitektur pada awalnya dimulai dari kebutuhan tetapi lalu disana selalu ada keinginan menyertainya. Misalkan adanya kebutuhan akan ruang untuk mengkomodasi kegiatan yang sekaligus butuh makna tertentu. obyek formal dari ilmu arsitektur adalah juga efiensif karena tujuannya adalah menciptakan ruang yang efiesien untuk digunakan beraktifitas medium ilmu arsitektur adalah ruang dan masa pelingkupnya. Pelingkup ruang menjadi penting karena kenyamanan beraktivitas banyak ditentukan oleh kualitas pelingkupnya obyek materialnya sangat fisikal dapat dilihat, diraba, digunakan dan dialami ekspresinya ditekankan pada kualitas ruang untuk beraktivitas serta komunikasi dari elemen pelingkupnya Lega rasanya. Malam semakin larut. Kawan saya tersenyum memeluk teman wanitanya dengan mesra. Tak mau kalah, adiknya melingkarkan tangannya pada lengan saya lalu menyandarkan kepalanya sambil melirik pada kakaknya. Kawan saya lalu beranjak masuk sambil berpelukan dengan teman wanitanya. Tak ingin rasanya beranjak dari sofa empuk ini. Apalagi ada wanita cantik menyandarkan kepala pada lengan saya. Hawa dingin rasanya mulai beranjak hilang perlahan karena saya mendekapnya. Selanjutnya kami hanya duduk berdiam berpelukan 23 / 25
menonton langit malam yang bertaburan bintang. Cerah !. Saya mendapat pencerahan secerah bintang dilangit.
24 / 25
OBYEK ARSITEKTUR purnamasalura.com 2015
25 / 25