2.2 Farmakodinamik Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya (setiawati dkk,1995) Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru. 2.4
Tujuan
Mempelajari
Farmakodinamik
dan
Mekanisme
Obat
Selanjutnya akan kita bicarakan lebih mendalam tentang farmakodinamik obat. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah: 1.
Meneliti efek utama obat.
2.
Mengetahui interaksi obat dengan sel.
3.
Mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons yang khas untuk obat tersebut. Reseptor Obat Reseptor adalah makromolekul ((biopolimer)khas atau bagiannya dalam organisme yakni tempat aktif obat terikat. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah protein. struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan affinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat dapat menimbulkan perubahan yang besar. Interaksi Obat Reseptor persyaratan untuk obat - reseptor adalah pembentukan kompleks obat reseptor. apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar terbentuknya tergantung pada affinitas obat terhadap reseptor. kemampuan obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Agonis adalah obat yang memilki baik afinitas dan aktivitas intrinsik. Pada teori reseptor obat sering dikemukakan bahwa efek obat hanya dapat terjadi bila terjadi interaksi molekul obat dengan reseptornya. Lebih mudahnya dirumuskan seperti ini.
Obat (O) + Reseptor (R) --> Kompleks obat reseptor (OR) ---> Efek-Efek Terapeutik Tidak semua obat bersifat betul-betul menyembuhkan penyakit, beberapa obat memang dibuat hanya untuk meniadakan atau meringankan gejala suatu penyakit. Berikut ini adalah tiga jenis terapi obat: Terapi Kausal, obat yang berfungsi untuk memusnahkan penyebab penyakit, obat inilah yang digunakan untuk menyembuhkan penderita dari penyakit. contoh obat dengan terapi kausal adalah antibiotik, anti malaria dan lain-lain. Terapi simptomatis, obat ini berguna untuk meringankan gejala dari suatu penyakit. contoh obat jenis ini adalah analgesik, antipiritik, anti emetik dan sebagainya. Terapi subtitusi, obat yang digunakan untuk mengantikan zat yang lazim diproduksi oleh tubuh. misal insulin pada penderita diabetes, hormon estrogen pada pasien hipo fungsi ovarium dan obat-obat hormon lainnya. 2.2.1 Mekanisme Kerja Obat Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang, setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis. 2.2.2 Reseptor Obat 1.Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan non kovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen. 2.Hubungan Struktur-Aktivitas Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. 3. Reseptor Fisiologis Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh ligand
binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor
domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lah yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal. 2.2.3 Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi extra seluler ( extracellular chemical ) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar. Contoh transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D. Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor ) misalnya adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklikAMP. Yang merupakan second messenger. Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gengen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth factor, p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa protein kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino hidrovobik yang menembus membran plasma. Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin. Reseptor ini
merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui. Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G yang masingmasing dapat memberikan respon terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula. Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon terhadap aktivitas bermacam-macam reseptor. 2.2.4 Interaksi Obat – Reseptor Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der waals) dan jarang berupa ikatan kovalen 1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitasnya efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat.
Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan michaelis-menten. Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai kurva dosis-intensistas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi kurva log dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk sigmoid.. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC dapat bermacam-macam , tetapi masing-masing berbentuk sigmoid. Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ), sehingga lebih mudah untuk memperbandingkan beberapa DEC. 1/KD menunjukan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD (= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas intrinsik atau efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks obat-reseptor
untuk
menimbulkan aktivitas dan/atau efek farmakologik. 2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek antihipertensi, misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk masing- masing komponennya. Kurva sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik. Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan afinitas obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan
terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membayangkan bila obatnya mudah menguap atau di serap melalui kulit. Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh akyivitas intrinsik obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi oleh timbulnya efek samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya. Slopeatau lereng log
DEC merupakan variabel yang penting karena
menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang curam, misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbulkan sedasi/tidur. Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal yang berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi di perlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek 2.2.5 Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion molekul kecil, atau masuk komponen sel. 1.Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik. Dengan demikian juga katartik
osmotik (MgSO4), gliserol yang mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler Perubahan sifat asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine, dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam saluran vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik digunakan sebagai antiseptik dan disenfektan, dan kontrasepsi, contohnya, (1) detergen merusak integritas membran lipoprotein;(2) halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak integritas dan kapasitas sibseluler dan protein. Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya menurun 2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat Cu2+ bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite) pada keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yang terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikelurkan melalui ginjal. 3. Masuk ke dalam Komponen Sel Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti mokroba lain. 2.2.6 Terminologi 1. Spesifisitas dan Selektivitas Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis reseptor, dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik dengan sendirinya tidak selektif.
Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis reseptor; kolinergik, adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini memblok reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus. Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat ini pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan sebagai obat semprot langsung ke saluran napas. 2. Istilah Lain Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan dosis tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek yang berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat denervasi atau akibat pemberian kronik suatu bliker reseptor yang merupakan denervasi farmakologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya terhadap insulin. Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis dan sangat jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang siur maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi