11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Ekonomi Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan
yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Pengertian pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Paling tidak menurut Goulet dalam Todaro (1999) pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance), jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom). Artinya pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian, keadaan fisik dan non fisik (Jayadinata, 1999). Indonesia sebagai negara yang dibangun di atas konstitusi UUD 1945, haruslah mendasarkan pembangunannya termasuk pembangunan ekonomi pada amanat konstitusi dasar. Dengan demikian, ekonomi modern yang dibangun di atas bumi Indonesia tetap konsisten dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa sistem perekonomian yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi ekonomi yakni pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia adalah sumberdaya
12
manusia (tenaga, pikiran, waktu nilai-nilai, dan sebagainya) dan sumberdaya alam (lahan, keanekaragaman hayati, agroklimat tropis, dan lain-lain). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kerakyatan dimungkinkan jumlah penduduk, keanekaragaman sosial budaya masyarakat, dan sumberdaya alam dapat menjadi subyek dan modal pembangunan. Pembangunan kemakmuran
ekonomi
masyarakat
luas.
nasional Hal
ini
ditujukan
sebesar-besarnya
merupakan
konsekuensi
untuk
langsung
pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yakni melalui pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki rakyat dan keuntungan pelaku ekonomi (organisasi ekonomi). Bila pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya domestik dalam kerangka organisasi ekonomi kerakyatan, maka hasil pembangunan berupa gaji, upah, sewa, royalty, rent, profit secara otomatis akan diminati rakyat Indonesia.
2.2
Pembangunan Wilayah Tantangan ekonomi utama yang dihadapi saat ini dan mempunyai keterkaitan
penting dengan stabilitas sosial dan politik baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang terdiri dari dua permasalahan yang saling berkaitan, yaitu : (a) mempertahankan tingkat pendapatan nyata, dan jika mungkin meningkatkannya di tengah-tengah kendala sumberdaya dan dana yang terbatas, (b) meningkatkan lapangan kerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah terutama di wilayah perdesaan. Karena itu kebijaksanaan wilayah harus ditujukan untuk memperbaiki ketimpangan dan kesenjangan strukural sebagai proses penyesuaian
13
terus – menerus. Dalam paradigma pembangunan wilayah yang menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat serta keberlanjutan pembangunan ekonomi. Menurut Todaro (1999) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok – kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spritual.
2.3
Kelembagaan Kelembagaan petani atau kelembagaan ekonomi masyarakat yang telah ada
di lokasi merupakan modal bagi pengembangan kelompok agribisnis hortikultura. Upaya yang diperlukan adalah memberdayakan kelompok tani/agribisnis tersebut melalui pembinaan dan bimbingan intensif, sehingga dapat merubah cara pandang atau pola fikir menjadi pengelola kegiatan agribisnis secara baik dalam bentuk koperasi agribisnis, kelompok usaha agribisnis, kelompok usaha lainnya.
14
Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dalam meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang ada secara baik dan bijaksana. Kelompok tani merupakan kelompok swadaya masyarakat, terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk anggota, yang dibangun atas dasar kekuatan, kebutuhan dan tujuan bersama. Sebagai kelompok usaha, maka kelompok tani diarahkan agar mampu memanfaatkan berbagai peluang dan kesempatan berusaha serta meningkatkan usaha ke arah komersial, efisien dan profesional. Dengan demikian maka selanjutnya kelompok tani ini dapat berkembang menjadi kelompok agribisnis. Pengembangan kelembagaan usaha dalam rangka mengembangkan kelembagaan usahatani yang ada di masyarakat menjadi suatu kelembagaan usaha agribisnis. Beberapa komponen kegiatan yang tercakup dalam kegiatan pengembangan kelembagaan
usaha
adalah;
1)
Inventarisasi kelembagaan usaha, 2) Penguatan/Pemberdayaan kelembagaan usaha, 3) Fasilitasi penumbuhan kelembagaan usaha. Menurut Anwar (2000a) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game) dan organisasi, berperanan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara professional dengan produktivitas tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi,
sedangkan
spesialisasi
yang
berlanjut
akan
mengarah
kepada
15
peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang berspesialisasi melalui pertukaran (exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain.
Agar transaksi
ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi, yang mencakup “aturan presentasi” dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut. Pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan :i) Transaksi melalui sistem pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumber-sumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. ii) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution).
2.3.1 Kelembagaan Contract Farming
16
Salah satu aspek industrialisasi perdesaan yang banyak dikembangkan dan diharapkan menjadi motor dalam proses pembangunan perdesaan sekaligus diharapkan dapat menambah devisa negara adalah agroindustri. Menurut Wilson (1986), secara umum pola contract farming memiliki kemiripan yang mencolok dengan usaha industri rumah tangga di luar sekor pertanian yang melakukan sub kontrak. Pada konteks ini, menurut Wilson, ada bentuk-bentuk hubungan dalam contract farming yang perlu diamati secara cermat, yaitu hubungan kontrak pemasaran, hubungan kontrak produksi, dan integrasi vertikal (Wilson, 1986: 50-51). Implikasinya, kita dapat memiliki kejelasan mengenai kontrol yang diterapkan pemberi kontrak kepada petani produsen dan melihat keterlibatan inti atau pemberi kontrak dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani plasmanya. Jadi dalam model contract farming ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan /menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasanbatasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah) yang kerap tidak bisa disetarakan dengan jumlah tenaga yang harus dikeluarkan. Pada banyak kasus, petani-petani tidak dapat terlibat di pasar bebas tersebut tidak mereka miliki. Akses yang bersifat infrastruktur maupun struktur pasar bebas dari komoditi-komoditi tertentu memang kerap tidak tersedia.
2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis Secara Vertikal
17
Didalam sistem agribisnis beberapa pakar berpendapat bahwa adanya kebutuhan untuk mengkoordinasikan rangkaian kegiatan antara manajemen penyediaan (supply) komoditi pertanian secara vertikal akan mendorong untuk menciptakan potensi yang menyangkut peranan baru dari kegiatan kontrak-kontrak pertanian.
Kontrak
tersebut
merupakan
sebagai
salah
satu
cara
untuk
menghubungkan (yang saling membutuhkan) antara para petani kecil dan pengrajin kepada kegiatan- kegiatan di luar usahatani, sehingga dapat menjadikan komoditas pertanian menjadi bernilai tinggi di dalam pasar komoditi, terutama dalam hubungannya
dengan
liberalisasi
ekonomi
dalam
menghadapi
globalisasi
perdagangan dunia yang akan diberlakukan tahun 2003. Oleh karena itulah dengan timbulnya persyaratan bagi sistem pertanian baru ini, dimana tata-niaga dan perdagangan komoditas bahan-bahan pangan dan non-pangan menjadi terlibat dalam kontrak-kontrak produksi maupun tataniaga dengan para petani dan industriawan di negara maju; atau bagi kepentingan Indonesia untuk mencapai koordinasi yang diperlukan, guna dapat mnyediakan (supply) dalam ukuran ketepatan jumlah, mutu maupun waktu penyampaian (delivery) dari komoditi pertanian yang diperlukan. Sistem kontrak produksi pertanian dapat mempunyai berbagai bentuk-bentuk yang agak beragam, tetapi esensinya terdapat dalam bentuk kontrak pertanian dan industri kecil, dimana seorang pedagang/tengkulak berkontrak dengan para petani atau para pengrajin untuk membeli suatu jumlah dan kualitas dari hasil produksi pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang ditentukan dan disetujui secara bersama. Tingkat harga komoditas pertanian mungkin dapat menjadi tetap (fixed)
18
pada musim tanam atau tingkatnya ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran pasar pada musim panen. Dalam banyak pengalaman, terjadi manfaat/keuntungan bagi para petani dari adanya akses petani kepada informasi teknologi dan jasa-jasa penyuluhan yang diberikan oleh para pedagang/tengkulak. Sering juga para pedagang/tengkulak memberikan input-input (produksi) atas dasar kredit pendahuluan. Dengan adanya kontrak usahatani (contract farming) diharapkan akan mengurangi kerugian dari kedua resiko-resiko baik berupa resiko produksi maupun resiko tataniaga melalui jaminan yang meyakinkan terhadap sumber persediaan (supply) dengan persyaratan kualitas yang khusus dan waktu tertentu tertentu kepada pengolah hasil maupun kepada tengkulak perantara, dan menjamin kepada petani suatu pasar penjualan yang segera dapat dilakukan, sebagai saluran penjualan bagi hasil-hasil produksinya, maupun akses terhadap input-input yang diperlukan. Jenis kontrak ini sudah biasa dilakukan untuk tanaman tahunan (perennial) seperti kopi, kapas, dan yang bersifat musiman seperti sayuran yang diolah dan dikalengkan serta komoditi yang sangat mudah busuk (highly perishable commodities) termasuk sayur-sayuran dan susu. Praktek seperti ini banyak dilakukan baik di negara Afrika, di Asia (termasuk Indonesia), maupun Amerika Latin yang mempunyai pengalaman dalam kontrak-kontrak pertanian untuk kopi, teh, coklat, kacang-kacangan, susu, asparagus, tomat, terung jepang, kacang jepun (edamame), ocra, dll. Kontrak pertanian, dari sudut lain tidak dapat dianggap sebagai suatu obat mujarab untuk segala penyakit (is not a panacea) dalam hubungannya dengan keperluan tujuan mengintegrasikan para petani kecil dalam kaitannya kepada pasar
19
global yang bernilai tinggi. Skim kontrak pertanian juga banyak dirundung persoalanpersoalan di masa lampau, seperti ketidakmampuan untuk memaksakan kontrakkontrak (inability to enforce contract) kepada para petani, karena tidak seimbangnya kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power) antara para petani produsen atau pengrajin dan para pedagang perantara (tengkulak) yang biasanya mempunyai perilaku monopsonistik dari para tengkulak yang bersangkutan, dimana keadaan ini cenderung mengeksploitasi rente monopsoni (monopsony rent). Bahaya dari beberapa skim kontrak pertanian juga terjadi dimana bahwa kontrak tersebut sepertinya menggantikan otoritas para pengambil keputusan dari setiap petani dengan menyerahkannya kepada para pengolah bagian hilir (downstream processors), atau para distributor yang dapat menjadikan seolah-olah para petani itu sebagai semacam tenaga-kerja/buruhnya (quasiemployees). Persoalan lain yang dihadapi pada kontrak pertanian atau industri kecil berhubungan dengan biaya-biaya transaksi per unit yang tinggi yang disebabkan oleh kontrak tersebut, yang sebagian harus ditanggung oleh para petani yang berskala kecil. Tambahan pula, dapat dipahami bahwa para petani ini menghadapi persoalan-persoalan yang lebih besar dalam memenuhi persyaratan kualitas dan keamanan hasil pertaniannya atau produk setengah (jadi) olahannya (intermediate products); dan karenanya dari pengalaman menunjukkan bahwa kontrak- kontrak pertanian dan industri kecil akan lebih menguntungkan bagi para pelaku agribisnis yang usahataninya berskala medium sampai besar, seperti yang dilaporkan oleh Key and Runsten (1999). Faktor-faktor ini dapat menyumbang kepada terjadinya bahaya bahwa para petani kecil yang mungkin akan tersisishkan (terkucilkan) dari
20
manfaat/keuntungan karena sistem pengaturan-pengaturan kontrak pertanian yang terjadi. Jika kita menerima anggapan pendahuluan bahwa kontrak-usahatani merupakan suatu alat agar para petani kecil dapat betahan dalam keterlibatannya dengan pasar-pasar bersaing untuk produk-produk tanaman pertanian dan hasil peternakan bernilai tinggi (high valued crops), maka sekarang menjadi penting untuk dapat
mengambil
pelajaran
dari
kontrak-usahatani (contract farming) dan
menggunakan institusi ini guna memperbaiki kelembagaan yang sedang bekerja dan sekarang
berlangsung.
Dengan
melalui
evolusi
dan
mengarah
kepada
kecenderungan yang meningkat kepada keperluan adanya koordinasi vertikal di bidang usaha pertanian, maka kerangka konsep teoritis untuk mengevaluasi perkembangan institusi yang menyangkut koordinasi tersebut juga mengalami evolusi secara dinamik. Beberapa kerangka dari evaluasi perkembangan tersebut juga mengalami beberapa perubahan- perubahan. Beberapa aspek yang menyangkut apa yang disebut ekonomi institusional yang baru (New Institutional Economics, NIE) seperti teori kontrak (contract theory), hubungan-hubungan agensi (principal-agent relations); kontrak yang tidak lengkap (incomplete contracts ), teori permainan (game theory), biaya-biaya transaksi (transactions costs), dan batas-batas kegiatan usaha (boundaries of the firms), sekarang menjadi pusat perhatian utama (key focus areas) seperti yang dikemukakan oleh Barry e.t al. (1992). Kerangka berpikir teoritis ini bermanfaat dalam upaya untuk menganalisis hubungan-hubungan antara petani (agent) dan koordinator/negosiator dari agribisnis (principal), dimana pengambilan keputusan
21
tentang luasnya (scope) dari koordinasi vertikal dan spesifikasi-spesifikasi kontrak yang berhubungan, dapat mempengaruhi posisi finansial dan kinerja dari kedua belah pihak principal dan agent. Dalam kontekstual kontrak-usahatani (contract farming), kerangka berpikir ini dapat dipergunakan untuk menganalisis dan memecahkan persoalan- persoalan yang secara khusus banyak menjadi kendala dan sering mengarah kepada putusnya hubungan-hubungan kontraktual pertanian maupun industri kecil di wilayah perdesaan.
2.3.1.2 Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan Meskipun kontrak usahatani dapat bersifat informal di wilayah perdesaan, tetapi tujuan utama dari pengaturan-pengaturan kontrak adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian lebih besar dari resiko pertanaman (seperti bencana alam karena banjir dan kekeringan atau serangan hama dan penyakit) disamping juga untuk menangkal terhadap resiko yang datang dari terjadinya fluktuasi harga-harga (market risk) yang disebabkan oleh sifat dari komoditas pertanian yang mudah busuk (perishability). Adanya kemungkinan untuk mempertukarkan resiko (trading risk) yang secara teknis disebut asuransi (insurance) yang bila dilakukan secara formal pada pasar yang bersaing akan meminta biaya-biaya transaksi yang tinggi. Oleh karena itu di wilayah perdesaan untuk mengatasi resiko-resiko diatas dibentuk kontrak non-formal sebagai alternatif institusional yang berdasarkan mekanisme saling percaya mempercayai (trust building mechanism) antara para petani dan pedagang/tengkulak. Sistem kontrak non-formal ini dianggap lebih efisien jika
22
dilakukan melalui sistem kontrak tersebut di luar mekanisme institusi pasar (extramarket institution) karena biaya-biaya transaksinya kecil, yang banyak disaksikan terjadi di wilayah-wilayah perdesaan. Dalam kenyataan, sistem pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian tradisional yang ukuran usahataninya kecilkecil. Oleh karena itu sistem produksi pertanian seperti ini dicirikan oleh volume produk-produk yang dihasilkan dengan keadaan kualitas dan kuantitasnya terkena oleh ketidak-pastian (uncertainty), karena produksinya kecil-kecil yang selanjutnya menimbulkan ketidak pastian kepada pasar dengan mengalami fluktuasi hargaharga yang besar. Di pihak lain, karakteristik permintaan dalam pasar komoditi adanya jaminan (asuransi) produksi tidak bersifat homogen, jika dibandingkan dengan pasar komoditas indusri umpamanya. Dengan sifat permintaan yang demikian, jika diterapkan kedalam struktur pertanian seperti di atas, yang didominasi oleh pertanian kecil-kecil itu, tidaklah mengherankan bahwa pasar jaminan (asuransi) formal tidak dapat dilaksanakan sehingga pasarnya tidak terwujud (missing market). Namun demikian, karena sifat permintaan terhadap penanggulangan resiko (asuransi) pada petani tetap ada, maka sifat permintaan tersebut mengalami fragmentasi karena lahan petaninya kecil-kecil yang jumlah petaninya berjuta-juta orang mempunyai kadar resiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu terjadinya persoalan kemungkinan petani beresiko tinggi, akan menimbulkan kesalahan dalam menseleksi mereka sebagai calon nasabah, maka akan timbul fenomena apa yang disebut adversely selection of risk, yaitu kemungkinan kesalahan menyeleksi mereka yang beresiko tinggi dibanding dengan mereka yang baik-baik. Masalah lain yang dihadapi pasar asuransi pertanian (crop
23
insurance) adalah adanya fenomena lain yang timbul karena terjadinya kelalaian pada nasabah yangtelah diasuransikan yang disebut cenderung mengalami kerusakan moral (moral hazard) (Anwar, 2003) , tetapi dalam pasar asuransi bidang pertanian tradisional yang mempunyai karakteristik bahwa hubungan antar individu di perdesaan lebih bersifat personal yang biasa menggunakan mekanisme norma sosial yang dianut dalam tatanilai masyarakat ini, maka dalam sistem asuransi tradisional, antara lain berlaku berdasarkan hubungan atas saling percaya mempercayai (trust building mechanism), sesuai dengan kebiasaan hidup dan adat masyarakat perdesaan yang berlaku di wilayah ini. Hubungan personal dalam kelembagaan masyarakat tradisional (berbeda dengan sistem harga yang impersonal) mempunyai fungsi penting dalam menekan biaya-biaya transaksi pada sistem ekonomi perdesaan yang biasa menganut norma sosial dengan tatanan adat yang mengandung sanksi-sanksi dan ganjaran (rewards and sanctions) baik yang bersifat sosial maupun ekonomi. Keadaan fragmentasi pasar perdesaan yang masing-masing bersifat tidak lengkap (incomplete market), maka pasar asuransi perdesaan mengarah kepada pasar yang sifatnya tidak sempurna (inperfect market). Keadaan pasar seperti ini biasanya disebabkan oleh buruknya keadaan infrastruktur (terutama jalan, jembatan dan sistem komunikasi), seperti yang banyak berlaku di wilayah perdesaan di luar Jawa. Sehingga aliran informasi menjadi terbatas atau sulit penyampaiannya sama sekali, terutama yang dialami oleh masyarakat di wilayah yang jauh-jauh dan terisolasi. Keadaan imperfeksi pasar yang berkaitan dengan keadaan lingkungan dan adat istiadat di atas, selanjutnya mendorong timbulnya berbagai sistem pengaturan
24
sosial (social arrangements) yang berupa norma-norma berfungsi sebagai subtitusi dari ketidak hadiran jaringan sistem legal yang lebih kompleks yang terdapat pada pasar jaminan asuransi formal. Pada pasar asuransi formal dengan kerangka sistem legal yang demikian, maka bentuk pasarnya bersifat yang lebih homogen (karena komoditas asuransi dibakukan dalam sistem legal yang serbasama) dengan para nasabahnya sama-sama juga memahami sistem tersebut, antara lain dicirikan oleh lebih jelasnya penegasan property right, aturan kontrak-kontrak yang formal yang dapat dilaksanakan (enforceable), sehingga lebih mengandung jaminan kepastian. Tetapi persyaratan-persyaratan pasar asuransi formal yang demikian tidak dapat diwujudkan dalam kebanyakan sistem ekonomi perdesaan. Karenanya persyaratan dan kondisi pasar asuransi formal ini di kebanyakan ekonomi perdesaan tidak dapat dipenuhi. Dengan tidak dapat dipenuhinya persyaratan tersebut, pengusaha asurasi formal akan meninggalkan segmen pasar asurasi pertanian di perdesaan, sehingga mudah menimbulkan terjadinya kekosongan pasar (vacuum). Di lain pihak dengan tingginya
resiko
di
bidang
pertanian,
sebenarnya
permintaan
terhadap
penanggulangan resiko (melalui asuransi) pada masyarakat perdesaan tetap besar, sehingga keadaan tersebut mendorong untuk munculnya upaya membentuk asuransi jenis lain yang menggunakan institusi sistem asuransi informal. Oleh karenanya dalam bentuk tradisional yang menyatu dengan adat kebiasaan/kultur masyarakat perdesaan, para petani sering berupaya untuk menanggulangi resiko membuat inovasi kelembagan baru yang berupa asuransi informal, seperti yang terdapat dalam praktek pembagian resiko (risk sharing). Cara-cara ini telah banyak dipraktekkan masyarakat pertanian di wilayah perdesaan, yang pada hakekatnya
25
merupakan bentuk pertukaran resiko dengan pihak petani lain melalui berbagai bentuk sistem aturan penyakapan lahan dengan cara-cara: bagi hasi maro, mertelu, dan sewa atau bentuk-bentuk institusi lain yang variasinya. Contoh lain dalam penanggulangan resiko pada masyarakat tradisional, sejak waktu dahulu, -umpamanya dimana penerapan teknologi masih rendah (tradisional) --, maka resiko yang sering datang dari alam harus dihadapi petani dengan tegar. Oleh karena itu, untuk menanggulangi tersebut petani harus mencari seorang pelindung (patron) yang biasanya seorang petani kaya dengan mempunyai lahan luas. Namun sebaliknya, ketika suppy tenaga kerja masih terbatas, seorang patron juga membutuhkan tenaga kerja (client) yang terjamin (kesetiaannya), agar semua lahannya dapat digarap dengan berhasil baik. Dengan demikian, kedua pihak yang saling memerlukan mendorong pertukaran resiko masingmasing, sehingga terjadilah keadaan keseimbangan yang saling menguntungkan, yang mengarah kepada terbentuknya suatu kelembagaan yang disebut hubungan patron-client atau principal-agent relations (menurut literatur ekonomi informasi).Dari sudut pandang ilmu ekonomi sebenarnya praktek asuransi seperti di atas merupakan tindakan pengelolaan resiko (risks management) yang mengakomodasikan kepentingan individu-individu untuk mempertukarkan resiko-resiko (to exchange the risks). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengatasi resiko kerugian karena kegagalan yang kemungkinannya lebih parah yang akan dihadapinya. Kemudian para produsen (petanipetani) yang bersangkutan dapat mentransfer resiko tersebut kepada pihak penjamin (insurer dengan melakukan 'pembayaran' tertentu dalam
26
bentuk premium harga yang biasanya lebih rendah dari harga pasar yang harus diterimanya. Di wilayah perdesaan, kebanyakan para petani berupaya untuk mengatasi resiko, dengan mengelola resiko tersebut melalui cara kontrak informal. Tujuan dari pengaturan kontrak ini adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh resiko alami maupun resiko dari kejatuhan harga terutama apabila terjadi panen raya, karena sifat mudah busuk (perishability) dari hasil-hasil pertanian maka bilamana hasil tersebut tidak cepat dijual harganya akan jatuh sekali. Proses dalam mempertukarkan resiko ini tujuannya adalah untuk menghindari biayabiaya transaksi dari pasar asuransi formal yang biayanya jauh lebih tinggi (bila polis asuransi dibeli oleh petani dalam pasar asuransi formal). Oleh karena itu, melalui cara mempertukarkan resiko secara informal seperti melalui praktek ijon (hasil produksinya belum masak panen) yang didasarkan kepada saling percaya (trusts building mechanism) antara tengkulak dan para petani) dapat dipandang sebagai prosedur yang lebih efisien apabila dilakukan melalui institusi perdesaan yang banyak kita saksikan di wilayah-wilayah perdesaan. Seperti diketahui, resiko-resiko itu tidak dapat dihilangkan, tetapi untuk menghindari kerugian karena resiko, maka resiko dapat di-managed. Salah satu cara untuk memanage resiko tersebut adalah melalui pengaturan kontrak informal (seperti melalui future trading) dalam rangka memanage resiko-resiko tersebut. Tujuan dari pengaturan kontrak itu karenanya untuk meminimumkan resiko kerugian yang lebih besar disbanding tanpa kontrak. Dalam kontrak informal biasanya petani dan tengkulak (traders) dimana petani menghadapi resiko kemungkinan kejatuhan harga pada waktu panen dan pedagang
27
menghadapi resiko dari tidak dipenuhinya volume yang akan dikirim kepada kontaktor yang lebih besar di kawasan kota (supper market misalnya). Oleh karena itu pengaturan kontrak memungkinkan individuindividu mempertukarkan resikoresiko (exchanging risks) demi untuk memperoleh kepastian (certainty) dengan bayaran kerugian yang lebih kecil melalui kontrak informal. Cara kontrak informal ini ternyata memberikan biaya-biaya transaksi yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan melalui pasar asuransi formal. Resiko yang biasanya dihadapi oleh para pedagang adalah resiko tidak terpenuhinya volume hasil produksi kepada kontraktor diluar wilayah perdesaan, sehingga tengkulak membutuhkan upaya koordinasi dengan para petani untuk dapat memenuhinya dengan membayar kredit pendahuluan berupa ijon.
2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang pengumpul dengan Petani Model contract farming ada yang memberikan peluang kepada pihak pengumpul untuk mengontrol proses produksi dan mengatur keuntungan yang bisa diraih, dapat dilihat dari bentuk kontrak dan bentuk pasar yang diciptakan. Meskipun untuk mencapai tujuan ini masih diperlukan faktor-faktor pendukung lainnya, seperti penguasaan manajemen usaha yang handal dan sistem kontrol yang juga handal. Penyimpangan ini terjadi karena tidak terpenuhinya kedua hal di atas. Banyak petani sering menjual hasil – hasil produksinya keluar . Kebebasan yang dimiliki petani tidak melulu disebabkan oleh kondisi lingkungan yang masih memungkinkan petani untuk menjual hasil pertaniannya ke luar pihak, melainkan karena tidak diterapkannya sanksi-sanksi hukum secara nyata yang menyertai ikatan-ikatan yang
28
telah ditentukan dalam kontrak. Sehingga struktur pasar yang direncanakan merupakan pasar bebas-monopsoni sedangkan struktur pasar yang berkembang merupakan pasar bebas-pasar bebas. Melihat struktur pasar tersebut tampak bahwa petani dalam contract farming memiliki
kebebasan dan keberdayaan untuk
menerobos tekanan struktur ikatan contract yang melingkupinya. Keberdayaan yang dimiliki pihak pengumpul
lebih disebabkan oleh pihak pengumpul yang tidak
mengembangkan mekanisme pengikat agar petani tidak bebas bergerak. Pihak pengumpul tidak memberikan dana kepada petani akibatnya tidak dapat mengikat petani. Ikatan kontrak tidak disertai oleh sanksi hukum. Dalam hal ini perlu diciptakan struktur pasar, yang memberikan peluang usaha untuk menguntungkan pihak petani dari pada perusahaan/ pihak pengumpul. Apapun
bentuk
hubungan
kontrak
yang
terjalin,
pada
hakekatnya
perusahaan/ pihak pengumpul ingin menguasai pasar agar kendali harga pembelian hasil produksi maupun penjualan input dapat memperbesar keuntungannya dan proses akumulasi kapitalnya bisa berlangsung terus. Oleh karena itu, model pasar monopoli-monopsoni merupakan satu model ideal bagi suatu perusahaan/ peagang pengumpul yang mengembangkan hubungan produksi dengan petani kecil melalui kontrak. Pada satu sisi, jaminan kualitas hasil produksi yang bisa terkontrol selalu menjadi alasan untuk menguasai pasar atau menciptakan pasar yang monopolis. Alasan kualitas hasil produksi ini kemudian selalu dimanfaatkan untuk menguasai aspek-aspek produksi yang seharusnya menjadi porsi dan hak petani untuk menentukannya, jika pasar yang berkembang adalah pasar bebas atau jika petani mendapatkan satu perlindungan penuh dari negara. Pasar yang monopsonis
29
kemudian dibangun melalui penutupan akses informasi terhadap pasar lainnya. Dengan kata lain, pasar yang dapat dikendalikan sektor privat akan selalu diupayakan oleh perusahaan/ pedagang pengumpul yang berkembang di alam kapitalisme. Untuk kepentingan ini mereka akan melakukan apa saja, termasuk membangun kerjasama dengan negara baik secara langsung maupun melalui kebijakan negara yang telah imbas tidak lagi mementingkan perkembangan ekonomi rakyat secara nyata, bukan di tingkat slogan dan retorika. Salah satu fungsi utama pasar yang efisien adalah memberikan fasilitas bagi arus informasi harga. Secara ideal, harga aktual yang terbentuk berdasarkan informasi tersebut harus mencerminkan kondisi penawaran dan permintaan produk. Harga yang efisien sebenarnya dapat memberikan sinyal mengenai kelangkaan sumberdaya dan pereferensi konsumen (Adamowicz et al., 1984). Pada kenyataannya, penetuan harga yang efisien tersebut sangat sukar dilakukan karena adanya interaksi kompleks berbagai faktor di dalam sistem pemasaran. Besaran aktual dari suatu harga yang efisien sukar untuk diestimasi, namun informasi menyangkut arah perubahan harga (a lead or a lag structure – direction of price change) dapat pula digunakan sebagai indikator berkaitan dengan isu efisiensi penetapan harga (Higginson et al., 1988). Perusahaan / pedagang pengumpul sangat bergantung pada situasi pasar yang harus mereka hadapi
untuk memasarkan hasil produksinya lebih lanjut.
Namun, selama mereka masih bisa masuk kedalam pasar ini boleh dikatakan situasinya lebih baik dibanding dengan situasi yang harus dihadapi petani di pasar tertutup akibat hubungan kontraknya dengan pihak perusahaan / pedagang
30
pengumpul. Ketika harga hasil produksi perusahaan/pedagang pengumpul mengalami penurunan, mereka masih dapat menekan petani untuk memikul bebannya dengan cara merendahkan kembali harga beli atau menolak menerima hasil produksi dengan berbagai teknis yang sebetulnya merupakan upaya untuk mengontrol optimalisasi produksi. Sementara itu, petani harus menerima tekanan ini karena mereka terikat kontrak dengan pihak perusahaan/pedagang pengumpul dan posisi tawar mereka lebih rendah dibanding dengan posisi tawar pihak perusahaan/pedagang pengumpul. Melalui struktur pasar tertutup yang dibangun antara perusahaan / pedagang pengumpul dan petani, perusahaan/ pedagang pengumpul dapat memperkecil resiko kerugian dengan cara melimpahkannya kepada petani yang “harus” menerimanya. 2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial Kontrak melalui ikatan kredit bersifat kompleks dan elusif benar-benar ditegakkan secara mandiri, tanpa melibatkan aturan formal atau mediasi organisasi formal/semi formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta asosiasi petani buah-buahan/sayur-sayuran. Sayangnya, terdapat
sejumlah informasi yang
menyebabkan kontrak menjadi bias seperti tidak ada petani yang dikenakan denda karena menjual hasil panen sayuran kepada selain tengkulak yang telah memberikan kredit kepada mereka. Mengapa hal ini dapat terjadi, karena petani merasa malu atau takut untuk melakukan tindakan tercela (moral hazard) tersebut karena reputasi mereka akan jelek di mata masyarakat. Tekanan sosial baik rasa malu ataupun rasa takut merupakan implikasi keberadaan norma sosial untuk menghukum petani berlaku curang terhadap petani lainnya. Mekanisme penegakan
31
melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila petani dan tengkulak merupakan anggota masyarakat desa yang sama, dimana anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara geografi maupun karena hubungan kekerabatan/persahabatan. Aksi spontan secara bersama-sama yang diorgani-sasikan dalam sebuah desa bertujuan untuk menghindari masalah penunggang gelap (free riders), tentu saja mekanisme penegakan yang kuat tersebut hanya akan efektif diterapkan dalam komunitas masyarakat yang kecil. Keberadaan norma semacam itu akan meneyebabkan bias yang luas dalam penetapan biaya kontrak, dimana tidak hanya pembias yang mengalami kerugian dalam kontrak sedang berjalan.
Di masa mendatang reputasi petani tersebut
menjadi buruk dimana ia tidak memiliki peluang memperoleh kontrak kredit dengan anggota masyarakat yang lain. Mekanisme penegakan kontrak melalui norma sosial tidak hanya berlaku bagi petani tetapi juga tengkulak. Meskipun tidak dirinci secara eksplisit, hal ini dapat diasumsikan bahwa petani menerima harga penjualan hasil panen secara adil, yang dikonseptualisasikan sebagai perbedaan harga jual tengkulak dengan standar keadilan bagi semua anggota masyarakat di dalam komunitas tersebut. (perspektif yang berbeda dengan konsep tersebut dikenal dengan teori dilemma pedagang / theory of traders dilemma ). Tegkulak akan dikenakan sanksi sosial, jika mereka menyebabkan bias secara signifikan terhadap klausul kontrak yang implisit tersebut yang mengharuskan membayar produk petani berdasarkan harga yang adil. Hal ini dibuktikan dengan adanya seorang tengkulak yang beroperasi di wilayah penelitian (walaupun hanya isteri keduanya berasal dari desa tersebut) dihentikan suplainya
32
oleh petani karena melakukan pembayaran harga yang tidak adil. Secara de facto penghentian tersebut diorganisasi oleh petani berdasarkan norma sosial dan aliran informasi yang lengkap dalam sebuah desa. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya mengakui bahwa dalam pasar yang bersaing akan membuat sanksi tersebut menjadi lebih dapat dipercaya (reliable). Petani sayur – mayur atau buah-buahan biasanya melakukan penjualan produk secara kontinu berdasarkan harga yang ditawarkan oleh tengkulak yang menjalin ikatan kredit kontrak dengan petani. Namun hal ini tidak berarti kekuatan monopoli berada di tangan tengkulak. Dalam pasar yang lebih kompetitif, petani dapat dengan mudah beralih kepada tengkulak lain pada musim berikutnya, jika harga yang ditawarkan tengkulak jauh lebih rendah secara relatif terhadap harga pasar. Namun, tentu saja kekuatan monopsoni dapat menangkap rente monopsoni (suatu kelebihan di atas rata-rata keuntungan) dari aktivitas ekonomi, ketika tidak terdapat pesaing lain dalam pasar produk lokal. Berikut merupakan diagram yang menggambarkan informasi unsure-unsur yang berpengaruh terhadap posisi rebut tawar dalam kontrak agribisnis dalam kaitannya dengan peranan sejarah dan tradisi dalam norma sosial jauh sebelum kontrak itu terjadi, khususnya yang berperan dalam terciptanya kontrak pertanian dan agribisnis ke arah perubahan kelembagaan dan akumulasi asset baik pada tingkat petani maupun pedagang.
33
Aset Petani : - Pendidikan - Pengalaman - Lahan usaha - Aset lain seperti rumah - Pendapatan, - Sosial
Aset Perdagang : -
Pendidikan, Pengalaman Lahan Rumah Aset lain Keuangan Sosial
Penerapan agribisnis : - Pengawasan kualitas / kuantitas, - Metode pembayaran, - hubungan kerjasama dan jaringan kerja, - Perjanjian kontrak - Penggunaan antara, - Pencarian informasi - Pengukuhan hak - Penegakan hukum, - Investasi &spesialisasi
34
Aktivitas Komersial : - Penjualan - Transportasi - Penyimpanan, - Transformasi(bentuk,ukuran)
Kinerja : - Biaya, - Marjin, - Keuntungan.
- Biaya operasi Tetap, - Biaya operasi variabel - Biaya variabel pemasaran, - Biaya transaksi
- Arbitrase Antar Wilayah (Perdagangan antar wilayah ) - Arbitrase antar waktu (Penyimpangan) - Arbitrase antar bentuk (pengolahan).
Gambar 1. Hubungan Unsur-unsur yang Dapat Mempengaruhi Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak Pertanian di Wilayah Perdesaan. 2.3.1.5 Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon Kontrak-kontrak non-formal dalam aktivitas agribisnis traditional biasa dilakukan
oleh
para
pengumpul
antar-desa
(inter-village
collectors)
yang
menciptakan kelembagaan untuk memastikan more exact persiapan dan koordinasi dalam mengumpulkan produk-produk pertanian seperti buah-buahan dan sayuran kedalam ukuran volume yang besar guna dikirim ke kota-kota besar seperti Jakarta melalui cara ikatan kredit pendahuluan (tanpa bunga) yang sering disebut ijon
35
(masih hijau) kepada para tengkulak pengupul di perdesaan untuk jaminan agar produk-produk yang telah dikumpulkan dapat dihimpun kepadanya. Ikatan kredit kepada tengkulak tingkat bawah (di suatu desa) oleh tengkulak tingkat atas (antara desa) banyak dilakukan untuk jagung dan kedele misalnya. Untuk komoditi pertanian tengkulak antar desa sering memberikan kredit pendahuluan jangka pendek) kepada pengumpul di desa atau kampong untuk membeli komoditi pertanian yang dapat disimpan kepada petani. Dalam pemasaran buah-buahan dan sayuran ikatan kredit dilakukan antara tengkulak dan petani (pada masa hasil produksi masih hijau) untuk menjamin bahwa pengiriman penjualannya oleh petani kepada tengkulak ilakukan secara tepat, karena tengkulak harus memastikan volume kiriman kepada kontraktor lain diluar desanya. Pemberian kredit oleh tengkulak juga dapat berbentuk pupuk atau pestisida, terutama hal ini terjadi pada petani buah-buahan atau sayuran pada musim tanam atau musim pemupukan pohon. Bahkan dalam hal petani buah mangga, bantuan kredit tersebut bukan hanya berbentuk barang atau uang, tetapi juga alat memetik buah dengan gunting agar buah mangganya bersih, tidak mengandung getah. Meskipun perjanjian kontrak tidak tertulis, tetapi secara implicit dalam kontrak tersebut mengandung bagian sanksi bahwa apabila petani yang sudah diberi kredit pendahuluan menjual hasilnya kepada tengkulak lain dapat dikenakan denda (mungkin beberapa ratus rupiah per kilogramnya) yang dikenakan kepada petani yang melanggar. Biasanya pembayaran kembali kredit dilakukan dengan mengurangkan dari pendapatan penjualan hasil buah-buahan atau sayuran pada waktu panen. Namun skedul pembayaran kredit dapat dilakukan secara fleksibel tetapi pada umumnya
36
dalam selang waktu dua atau tiga bulan. Ikatan kredit pada buah-buahan dan sayuran tujuan utamanya adalah untuk jaminan ketepatan pengiriman dalam jumlah dan waktu untuk komoditas mudah busuk dalam system pemasarannya dan bukan karena sekedar untuk memperoleh uang atau pupuk dan pestisida saja. Ikatan kredit umpamanya tidak terdapat pada tanaman tembakau, karena petani memerlukan pupuk dan pestisida yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh petani sayuran dan buah-buahan. Apabila para petani diikat oleh kredit pendahuluan oleh para tengkulak di suatu desa, tengkulak di desa itu juga diikat oleh kredit dari tengkulak antar-desa. Untuk memberikan kredit dalam bentuk pupuk, tengkulak di desa memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa berupa uang cash dengan syarat ketentuan yang sama sebagaimana kontrak yang dilakukannya dengan para petani. Untuk kedua tengkulak desa dan antardesa, sukubunga yang dikenakannya tidak secara jelas ditentukan. Biasanya kredit dari tengkulak antar-desa untuk membeli komoditi yang dapat disimpan seperti kedele menggunakan kredit dengan jangka waktu sangat pendek, mungkin kurang dari seminggu sehingga sukubunga yang dikenakan sangat kecil atau diabaikan. Dalam hubungan dengan yang terakhir ini, maka kiranya kurang masuk akal, apabila kredit tersebut tidak dikenakan sukubunga untuk masa dua bulan, mengingat di wilayah perdesaan biasanya dicirikan oleh ekonomi dengan kelangkaan modal yang ketat di wilayah perdesan dan tingginya sukubunga. Tetapi mengingat para tengkulak memerlukan jaminan ketepatan waktu dan jumlah pengiriman barang pertanian yang dihimpun dari para petani, maka pemberian kredit
37
tanpa bunga (dapat) merupakan bayaran yang harus ditanggung tengkulak untuk memperoleh kepastian perolehan barang yang lebih besar. Cara lain dalam kontrak antara petani dan tengkulak biasa dilakukan dengan menggunakan perbedaan harga-harga (differential prices) pupuk
dan pestisida.
Tengkulak dapat membeli input-input ini dalam jumlah besar dengan memberikan kredit pendahuluan kepada banyak petani dimana pembelian input oleh tengkulak dikenakan harga yang lebih rendah dibanding dengan pembelian masing masing petani yang jumlahnya lebih kecil. Umpamanya jika tengkulak dapat membeli pupuk dari pedagang agent (dealer) besar di kawasan perkotaan dalam jumlah besar biaya pembelian beberapa ton termasuk biaya transportnya akan lebih kecil, sedangkan harga yang dikenakan kepada para petani lebih tinggi dimana pada tingkat harga ini sama yang dibayar oleh petani untuk membeli pupuk satu dua karung kepada kioskios pupuk di desa-desa. Dengan cara ini, tentunya operasi kredit tengkulak di desa menjadi menguntungkan, terutama jika tengkulak desa tersebut memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa dengan pinjaman tanpa bunga. Jika dia harus mengoperasikan dana untuk dipakai sebagai kredit pengikat, maka biaya kredit tersebut akan hampir sama besarnya dengan bunga yang diperolehnya. Sekarang bagaimana sukubunga dikenakan kepada kredit pendahuluan dari tengkulak antardesa kepada tengkulak di dalam desa?. Biaya kredit (suku bunga) untuk tengkulak antar-desa biasanya jauh lebih rendah dibanding dengan tengkulak di dalam desa, karena tengkulak antar-desa lebih mempunyai agunan (kolateral) dan sebagian karena besarnya jumlah pinjaman juga lebih besar, sehingga biaya transaksi per unitnya jauh lebih kecil. Demikian pula karenanya jangka waktu kreditnya lebih
38
pendek bagi tengkulak antar-desa disbanding dengan jangka waktu kredit tengkulak di dalam desa. Biasanya tengkulak antar-desa mempunyai ikatan kontrak kredit dengan banyak tengkulak-tengkulak pengumpul di beberapa tempat yang satu sama lain berbeda dalam keadaanlingkungannya dimana musim-musim bertanam dan panennya berbeda pula. Oleh karena itu tengkulak antar-desa dapat memulihkan kreditnya kembali dari tengkulak dalam desa diberbagai tempat satu per satu secara terus menerus dimana dia dapat memotong pembayaran kembali kredit yang telah diberikannya dari hasil penerimaan pendapatan sejumlah besar penjualan buahbuahan dan sayuran yang disampaikan kepadanya dari beberapa musim dalam setahun. Dari hasil perolehan pembayaran kembali kredit tersebut dari salah satu desa pada musim panen, maka dia dapat memberi dana kredit kepada tengkulak di desa lain pada musim tanam. Dengan cara ini maka kredit jangka panjang itu dapat dirubah menjadi kredit bergulir untuk jangka pendek dengan menghemat secara nyata sukubunga yang dikenakan. Meskipun biaya kredit tersebut dapat hemat untuk tengkulak antar-desa, tetapi besarnya masih positif dan cukup besar. Rupanya mereka para tengkulak harus menanggung biayabiaya yang harus dikurangkan dari keuntungannya, demi untuk memperoleh jaminan (dengan kordinasi lebih baik) antara produksi usahatani dan pemasaran dari komoditi pertanian yang umumnya bersifat mudah-busuk (perishable) guna dapat dikirim kepada pasar-pasar yang lokasinya jauh.
2.3.1.6 Mekanisme Masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak yang Dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement)
39
Dengan memperhatikan betapa kompleks dan rumitnya system kontrak melalui ikatan kredit dalam kontrak informal, tetapi perlu diingat bahawa kredit tradisional ini meski tanpa ikatan formal ternayta dapat ditaati oleh pihak yang melakukan kotrak dengan baik (self-enforced) tanpa adanya campur-tangan intermediasi pihak ketiga, apakah itu melalui organisasi formal (pengadilan), organisasi semi-formal seperti kerapatan masyarakat desa (village assembly) atau asosiasi petani sayuran atau buah-buahan. Meskipun demikian, beberapa informasi mengenai pelanggaran kontrak itu ada dan dapat tersebar kepada warga desa; umpamanya petani-petani yang menjual hasil panen sayuran atau buahbuahan kepada orang lain selain tengkulak yang sudah mengikatnya elalui kredit pendahuluan, tanpa mengalami sanksi sangat sedikit umlahnya. Mengapa mereka tidak berani berlaku curang dalam kontrak informal, meski mereka dapat menutupi penyelewengannya (moral hazard) dari sudut pandang para tengkulak?. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah bahwa para petani akan merasa malu atau takut mempunyai reputasi yang jelek yang dapat timbul dari obrolan dari mulut ke mulut (gossips) beberapa tetangganya yang kebetulan mengetahui penyelewengan mereka. Kedua perasaan malu dan rasa takut kepada tekanan sosial ini berimplikasi adanya norma-norma sosial yang dapat menghukum seorang warga desa yang berbuat curang kepada warga lainnya didesa yang sama. Selanjutnya mekanisme pemaksaan kontrak (enforcement mechanism) yang didasarkan kepada nomanorma sosial akan ditingkatkan terutama apabila warga desa dan tengkulak yang bersangkutan masih merupakan warga asli dari kampung dimana anggota-anggota masyarakat komunalnya masih mempunyai ikatan-ikatan kekeluargaan dengan
40
lokasi kampungnya yang masih kuat. Oleh karena itu di kampung-kampung semacam itu masih terdapat tindakan kolektif yang spontan diorganisasikan didalam kampung sedemikian rupa untuk menghindari adanya “penompang gelap” (free riders) yang dapat merusak upaya tersebut dengan organisasinya. Dalam komunitas yang kecil, interaksi antar warga menjadi lebih intensif, sehingga mekanisme pemaksaan norma (enforcement mechanism) dapat bekerja lebih baik. Dengan berlakunya norma semacam itu, maka harapan biaya (expected cost) dari pelanggaran kontrak akan menjadi lebih besar, karena selain pelanggar kontrak mengalami kehilangan keuntungan dari kontrak yang dilaksanakan, tetapi dengan terjadinya reputasi yang buruk akan menekan dia dari kesempatan-kesempatan masa depan guna memperoleh kontrak yang lain dengan warga desa yang lain yang menguntungkan. Mekanisme kelembagaan masyarakat komunal setempat selain mengikat para petani, tetapi juga mengikat para tengkulak. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan secara spesifik, dari informasi yang diterima dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya para petani itu menerima harga yang wajar (fair prices) untuk produk yang dijualnya (dalam kontrak), jika diperhitungkan dengan harga jual para tengkulak dikurangi dengan marjin yang baku (standard margin). Hal ini berarti bahwa pasar menjadi suatu standard yang fair untuk para warga komunitas desa – suatu perspektif yang bertentangan dengan apa yang diuraikan dalam teori dilemma para tengkulak. Jika para tengkulak ternyata melanggar sekali kontrak implisit dalam kontrak tradisional, maka sebenarnya ada pasal (tidak tertulis) untuk
mengharuskannya
membayar
harga-harga
dasar
pasar
yang
fair
(marketbased fair prices) kepada petani. Jika tidak, mereka akan beresiko menerima
41
sanksi sosial oleh masyarakat. Sehubungan dengan ini dalam salah satu pengalaman penelitian perdesaan pernah ada seorang tengkulak yang dijegal (dihentikan) perolehan supply komditi dari petani, karena berperilaku dengan reputasi buruk karena membayar harga yang tidak fair (dimana tengkulak itu bukan warga asli di desa yang mempunyai isteri kedua yang berasal dari desa disitu). Jadi embargo yang dilakukan diorganisasikan oleh para petani kepada tengkulak yang curang, akan memperoleh hukuman yang didasarkan kepada norma-norma social (social norms) yang efektif yang dibantu oleh derasnya arus informasi yang mengalir di dalam desa. Oleh karena itu penting diketahui bahwa dengan mengorganisasikan adanya pasar bersaing, maka sanksi semacam itu akan lebih terpercaya. Seorang petani buah atau sayuran biasanya akan terus menjual hasil produksinya pada harga-harga yang ditawarkan oleh seorang tengkulak dimana dia telah membuat kontrak dengan ikatan kredit. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tengkulak mempunyai kekuatan monopsonistik, jika masih terdapat persaingan antara mereka. Oleh karenanya pada keadaan kompetitif, jika harga-harga yang ditawarkan tengkulak berada relatif dibawah harga pasar yang berlaku, maka petani dengan mudah akan mengalihkan penjualan hasilnya kepada tengkulak lain dalam musim berikutnya. Namun, jika keadaan desa relative terisolir seperti banyak yang terdapat diluar Jawa sehingga hanya tengkulak tertentu yang bisa masuk kedalam desa tersebut, maka di adapat menjadi monopsonistik yang akan mengeksploitasi rente monopsonistik (monopsonist rent) yang biasa disebut memeras petani. Bentuk pengamanan terhadap resiko (insurance) yang lain dapat bersifat selfinsured. Cara ini dilakukan secara internal, yang biasanya builtin dalam sistem
42
tatanilai budidaya masyarakat desa, seperti penentuan portfolio pola tanam (cropping system) dalam rangka diversifikasi pengusahaan tanaman. Diversifikasi usahatani secara sempit dilakukan dalam bentuk inter-cropping atau multiple cropping, dll. Sedangkan dalam bentuk yang lebih luas dapat berupa Farming system . Sehubungan dengan ini, H.M. Markowitz (1959)2 membuktikan bahwa diversifikasi investasi asset produktif (khususnya lahan) dengan berbagai resiko dan pendapatan yang diharapkan akan meminimumkan total untuk rataan pendapatan tertentu. Petani menghadapi resiko penjualan hasil yang dapat jauh lebih rendah jika petani mencoba memasarkannya sendiri, sehingga dengan ikatan kredit petani dapat terhindar dari resiko yang harus ditanggungnya apabila terjadi kerusakan fisik seperti kalau sayuran dan buah-buah mengalami kebusukan. Dalam pengertian asuransi yang formal, 'pembayaran' tersebut dilakukan dalam bentuk premi. Tanpa adanya asuransi, petani akan mengalami kegagalan pada suatu saat tertentu -- yang walaupun jarang terjadi -- namun nilai kerugiannya seringkali cukup besar, sehingga pendapatannya menurun meskipun dalam kontrak asuransi tersebut kegagalan mungkin saja tetap terjadi. Namun jika tanamannya diasuransikan, pendapatannya tidak akan menurun terlalu banyak, karena petani tersebut akan menerima santunan dari pertanggungan perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi sendiri, nilai harapan total pertanggungan yang akan dibayar kepada petani-petani yang mengalami kegagalan ditetapkan harus sama dengan jumlah total premi yang diterimanya dikurangi dengan marjin keuntungan.