MUSLIM TIONGHOA DI JAKARTA: PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIM TIONGHOA 1991-1998 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh : FIRDAUS ALANSYAH 1111022000003
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karta orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Mei 2017
Firdaus Alansyah
i
DEDIKASI Teruntuk Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Laela Hasanah, Ali Muhammad, Ahmad Sobari, Devi Mutiara Sula, dan semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.
v
ABSTRAK Firdaus Alansyah Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 1991-1998 Dalam penulisan ini akan dijabarkan peranan penting dari Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah muslim Tionghoa Jakarta dalam berdakwah. Yayasan Haji Karim Oei menjadi salah satu ujung tombak Tionghoa untuk mengenalkan Islam ke etnis Tionghoa ditengah pandangan negatif yang masih berkembang dikalangan etnis Tionghoa terhadap Islam. Sejarah panjang tentang keberadaan etnis Tionghoa dan juga peranannya dalam perkembangan agama Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa merupakan salah satu fakta bahwa Islam dan Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan. Namun dalam perjalanannya terjadi berbagai peristiwa mulai dari politik, sosial, hingga budaya yang membuat pribumi dipandang kurang baik dimata etnis Tionghoa dan juga sebaliknya, akhirnya berdampak pula pada citra Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia dimata etnis Tionghoa akibat dari pemahaman yang salah tentang Islam karena kurangnya informasi tentang agama Islam dikalangan etnis Tionghoa. Oleh karena itu maka didirikanlah sebuah yayasan yang berfungsi sebagai sebuah tempat informasi mengenai Islam untuk etnis Tionghoa bernama Yayasan Haji Karim Oei. Yayasan Haji Karim Oei merupakan sebuah yayasan yang berada di jalan Lautze Pasar Baru Jakarta Pusat. Yayasan ini didirikan pada tahun 1991, sejak saat itu yayasan ini secara aktif menjadi wadah Tionghoa dalam berdakwah. Yayasan ini didirikan untuk mengenang jasa Oei Tjeng Hien atau yang lebih dikenal dengan nama H. Abdul Karim Oei yang meninggal pada tahun 1988. Beliau dikenal juga sebagai bapa pembaruan dan pembauran bagi muslim Tionghoa. Yayasan Haji Karim Oei atau yang biasa disebut dengan YHKO berdiri dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tiongoa, mendekatkan Islam dengan etis Tionghoa, menjadi pusat informasi tentang Islam untuk Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam. Kata Kunci: Muslim Tionghoa, Jakarta, Yayasan Haji Karim Oei, Sejarah, 1991-1998
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur untuk kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat yang tiada terhitung, dan dengan kasih sayang –Nya kita dapat terus bernafas dan berbuat di dunia tercinta ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Karena berkat perjuangan beliaulah kita dapat hijrah dari the dark age menuju the enlightenment age. Banyaknya rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam merampungkan skripsi yang berjudul: Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 19911998. Namun, semua rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha dan kerja keras. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada mereka semua, diantaranya: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Faultas Adab dan Humaniora. 3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah.
vii
4. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi mahasiswa di prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurta maupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. 5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau. 6. Bunda Tati Hartimah, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi. 7. H. Ali Karim, SH. selaku narasumber sebagai ketua Yayasan Haji Karim Oei yang juga merupakan anak kandung dari Haji Karim Oei telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk penulis wawancarai. 8. Yusman Iriansyah, SE. serta seluruh pengurus harian Yayasan Haji Karim Oei, selaku narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk diwawancarai serta memberikan informasi yang penulis butuhkan. 9. Keluargaku, Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Kakakku Laela Hasanah, serta Adik-adik tercintaku Ali Muhammad, Ahmad Sobari, dan Devi Mutiara Sula yang selalu memberikan dukungan setiap viii
hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah ini menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. 10. Yunita Amanda, yang telah menemani penulis dalam melakukan pencarian sumber, penelitian dan wawancara, dan memberi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi, serta telah menemani penulis sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai. 11. Himpunanku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal. 12. Teman-teman seperjuangan di SPI 2011, dan senior-juniornya yang saking banyaknya sehingga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun penulis merasa harus berterima kasih kepada, Bang Mayong, Bang Johan, Bang Ali Tauan, Bang Mugni Labib, Yudha bengbeng, Ahmad Al-Faiz, Ikhwanuddin, Illham, Humaedi, Cipay, dan Naufan sahabat penulis yang banyak membantu selama masa perkuliahan ini. 13. Arif Ableh dan Giri, sahabat serta saudara penulis dari semasa SMP dulu hingga kini, terima kasih telah menjadi tempat menuangkan segala cerita dan memberi motivasi untuk penulisan skripsi ini.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ iv DEDIKASI ..................................................................................................................... v ABSTRAK .................................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii DAFTAR ISI .................................................................................................................. x DAFTAR ISTILAH ..................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 11 C. Tujuan dan Manfaat penelitian ................................................................ 12 D. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 13 E. Metode penelitian..................................................................................... 15 F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 16
vi
BAB II
SEJARAH MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA .............................. 18 A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia Hingga Masa Orde Baru (1407-1990)..................................................................................... 18 B. Keadaan Muslim Tionghoa 1991-1998: .................................................. 40 1. Aktifitas Ekonomi, Sosial, danBudayaMuslim Tionghoa Jakarta ..... 40 2. FasilitasDakwah Muslim Tionghoa Jakarta....................................... 43 3. Tokoh Muslim Tionghoa: Sebuah Simbol Yayasan .......................... 48
BAB III SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN HAJI KARIM OEI (YHKO) .... 54 A. Sejarah BerdirinyaYayasan Haji Karim Oei ............................................ 54 B. Stuktur Kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei ..................................... 58 BAB IV PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIM TIONGHOA ............................................................................... 63 A. Aktifitas dan Kegiatan Yayasan Haji Karim Oei..................................... 63 A.1 Pengajian Mingguan ....................................................................... 63 A.2 Bimbingan Baca Al-Qur’an ............................................................ 66 A.3 Bimbingan Shalat ............................................................................ 67 A.4 Konsultasi Agama Islam ................................................................. 68 A.5 Shalat Berjamaah ............................................................................ 69 A.6 Kegiatan Sosial ............................................................................... 70 A.7 Pengislaman .................................................................................... 71 B. Metode Dakwah Yayasan Haji Karim Oei .............................................. 74
vii
C. Peranan Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa .................................................................................................. 78 BAB V KESIMPULAN ............................................................................................. 80 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 82 LAMPIRAN ................................................................................................................. 88
viii
DAFTAR ISTILAH Chinezenmood
pembantaian orang-orang Tionghoa
Chiese Offcieren
Kapitan Cina (tenaga administrasi dan penarik pajak Cina)
Devide Et Impera
Politik pecah belah
Geschoren Cinezeen
Orang-orang Tionghoa cukuran
Hollandsch Chineesche School
Sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang didirikan pemerintah Belanda
Inlander
Sebutan mengejek oleh orang Belanda untuk masyarakat asli Indonesia (pribumi) pada masa penjajahan Belanda
Ius Soli
Hak mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara
Landraad
Pengadilan untuk Pribumi pada masa Kolonial
Pecinan
Daerah pemukiman yang didominasi atau di khususkan untuk etnis Tionghoa
Sinshe
Pengobatan tradisional
Tiong Hoa Hwee Koan
Perkumpulan Tionghoa
Vereenigde Oost Indische Compagnie
Persekutuan dagang asal Belanda yang didirikan pada 1602
Wijkenstelsel
Peraturan untuk menciptakan pemukiman etnis Tionghoa disejumlah kota besar di Hindia Belanda xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa
Tabel 2
Data Pengislaman PITI 1965-1978
Tabel 3
Jumlah Pengislaman di Yayasan Haji Karim Oei 1997Oktober 2016
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum dan sesudah direnovasi
Gambar 2
Kaligrafi yang dipasang di belakang mimbar Masjid, Percampuranantaraseni Arab danCina
Gambar 3
Buya Hamka, Karim Oei, Soekarno
Gambar 4
Haji Abdul Karim Oei
Gambar 5
Suasana makan bersama yang dilaksanakan setiap hari minggu, terlihat muallaf Tionghoa dengan akrab bercengkrama dengan pribumi.
Gambar 6
Seorang muallaf yang baru saja bersyahadat sedang belajar gerakangerakan sholat bersama muallaf lainnya di bawah pengawasan atau bimbingan Ustadz Suhaimi.
Gambar 7
Proses pengislaman etnis Tionghoa yang dilakukan di Masjid Lautze (lantai satu Yayasan Haji Karim Oei).
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan Islam di Indonesia sampai saat ini tidak lepas dari peran Muslim Tionghoa dalam dakwah Islam di Nusantara. Peran Muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia salah satunya dengan berdirinya Kesultanan Islam pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak. Menurut Sumanto Al-Qurtubi berdirinya Kesultanan Demak tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang Tionghoa, mengingat Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan Demak adalah keturunan Cina dengan nama Tionghoa yaitu Jin Bun. Dalam catatan Babad Tanah Djawi, Serat Sunda, serta Tembang Babad Demak menyebutkan bahwa Raden Fatah alias Jin Bun adalah seorang anak dari raja Brawijaya V dan putri Cina bernama Sio Ban Chi anak dari Syekh Bentong.1 Bukti lain yang menunjukan peran Muslim Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah beberapa wali yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa. Sebagai contoh Sunan Ampel alias Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo berasal dari Yuan, beliau merupakan cucu dari penguasa Campa bernama Bong Tak Keng yang berkuasa 1413-1446. Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu dengan perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut melahirkan 1
Sumanto Al-Qurtubbi, Arus Cina Islam Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm.214.
1
2
keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang. 2 Di Tiongkok sendiri Islam sudah bersentuhan dengan masyarakat Tionghoa terutama ketika jazirah Arab dipimpin oleh Khalifah ketiga yaitu Utsman Bin Affan (644-656 M). Saat itu Utsman Bin Affan mengirim utusannya yakni Saad Ibn Abu Waqqas ke Cina pada tahun 651 M untuk menghadap kaisar Yong Hui di kota Changan. Tujuannya adalah memberi teguran kepada kaisar agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam dan Persia. Pada saat itu Dinasti Tang berkuasa di negri Cina sekitar tahun 618-905 M, bahkan peristiwa tersebut diperkuat oleh fakta berupa naskah annals pada masa Dinasti Tang.3 Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Dinasti Ming, bahkan ada yang berpendapat bahwa Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina. Karena untuk pertama kalinya seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti Ming) yakni Emprass Ma Hoe adalah Muslimah.4 Pada masa ini pula di tahun 14101416 Laksamana Cheng Ho diutus oleh Kaisar Dinasti Ming untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang. Hal ini dikarenakan lokasi terebut banyak diganggu oleh bajak laut Hokkian pimpinan Lin Tao-Ch’ien.5 Pada tahun 1407 Dinasti Ming melakukan ekspansi dengan misi untuk merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian.6
2
Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS), hlm. 84-86. 3 Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000), hlm.273 4 Ibrahim Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.7. 5 Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pustaka Sufi, 1999), hlm.19. 6 H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.4.
3
Di Kukang (Palembang) sendiri telah dibentuk komunitas Cina muslim bermazhab Hanafi pertama di kepulauan Indonesia.7 Selain itu ketika ekspansi Cheng Ho yang dikatakan di catatan Ma Huan menyebutkan secara jelas dan menggambarkan bahwa pedagang Cina Muslim telah Menghuni kota-kota dan ibukota Majapahit pada abad ke-15.8 Dapat dikatakan ini merupakan cikal bakal dari komunitas etnis Tionghoa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Leo Suryadinata ada kejadian dimana masyarakat etnis Tionghoa masuk Islam pada masa sebelum datangnya Belanda ke Nusantara. 9 Menurutnya kedatangan Belanda datang ke Nusantara pada tahun 1596 dan berdirinya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya telah menghambat proses asimilasi etnis Tionghoa. Kedekatan etnis Tionghoa dengan pribumi serta kepiawaian mereka dalam hal perdagangan yang diatas pribumi membuat VOC memberi perhatian khusus kepada etnis Tionghoa. VOC mengangap etnis Tionghoa mampu memainkan peranan sebagai penguhubungan antara pribumi dalam bidang perdagangan eceran/lokal, sehingga kegiatan ekonomi pedesaan di Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa.10 Hal ini membuat VOC memberikan kebijakan perlindungan dan keleluasaan yang lebih kepada etnis Tionghoa, sehingga muncullah anggapan dimata pribumi bahwa etnis Tionghoa adalah kaki tangan VOC. 7 8
H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.5. Mely G. Tan, Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
11. 9
Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 175. 10 Sumanto Al-Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm. 178.
4
Salah satu kebijakan VOC yang terkenal adalah politik devide et impera atau politik pecah belah. Dalam penerapan politik pecah belahnya pemerintah Belanda menggolongkan masyarakat Indonesia kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas atau pertama adalah golongan untuk bangsa eropa, golongan menengah atau kedua untuk bangsa pendatang dari timur asing (mayoritas Cina), dan golongan yang terakhir dan yang terendah adalah untuk masyarakat pribumi. Pemerintah VOC tidak mengingikan etnis-etnis yang ada di negri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan di wilayah jajahannya. Pengelompokan golongan sosial yang diberlakukan oleh VOC ini menempatkan pribumi di golongan terakhir, sehingga pribumi dianggap sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh. Sehingga secara tidak langsung hal itu berdampak kepada citra Islam di mata etnis Tionghoa.11 Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terjadi gelombang migrasi besarbesaran orang Tionghoa menuju Hindia Belanda. Hampir seluruhnya berasal dari dua propinsi di Tiongkok, yaitu Fujian dan Kwangtung yang terbagi ke dalam tiga kelompok bahasa yang berbeda, yaitu Hokkian, Hakka, dan Kanton. 12 Migrasi ini merupakan dampak dari kekacauan dimana pada masa itu Tiongkok di bawah pemerintahan Dinasti Qing (1644-1911) terjadi pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam di Tiongkok. Kedatangan orang-orang Tionghoa yang sangat besar pada 11
Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina”, Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII , Jakarta: 14-17 November 2006, hlm.1. 12 G.W Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 6-7.
5
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini secara drastis mengubah tatanan masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu. Jumlah mereka yang cukup banyak lambat laun menggeser keberadaan orang-orang Tionghoa peranakan yang sudah menetap ratusan tahun lebih dulu di Indonesia.13 Menurut Afthonul Afif14, Spirit nasionalisme Tiongkok yang dibawa oleh para imigran pada migrasi yang mereka lakukan di awal abad ke-20, memberi penegasan betapa mereka lah yang paling pantas menyebut diri sebagai orang Tionghoa asli. Sementara mereka yang sudah membaur dengan penduduk pribumi terlebih mereka yang memutuskan masuk Islam tidak lagi dianggap sebagai orang Tionghoa asli. Situasi ini membuat sentimen yang timbul tidak hanya antara etnis Tionghoa peranakan dengan Pribumi saja, namun timbul pula perpecahan antara Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok.Kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dalam rangka penyatuan diri mereka dengan pribumi tidaklah mulus. Kenyataan bahwa mereka adalah imigran yang berasal dari kelompok ras dan memeluk agama yang berbeda dari pribumi menyulitkan penyatuan itu. 15 Setelah Indonesia merdeka, banyak dari masyarakat pribumi meragukan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini bermula dari sikap Tionghoa peranakan yang awalnya mendukung Indonesia, berbalik menjadi pihak netral antara pihak Belanda dengan Pihak Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia dan pemerintah Indonesia berusaha untuk 13
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media, (Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), hlm.xxxviii. 14 Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Depok: Kepik, 2012), hlm. 35. 15 Leo Suryadinata,Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1988), hlm.97.
6
menghilangkan semua sentimen yang ada dikalangan pribumi, dengan cara melakukan pembauran dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap kelompok minoritas ini. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu berupa undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.16 Dalam sistem ini seorang Tionghoa dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Indonesia dengan Repubik Rakyat Cina pada 1955.17 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru diterapkan pada 1960.18 Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Berbekal Surat Peritah 11 Maret atau yang sering kita sebut dengan SUPER SEMAR, Letnan Jendral Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, peralahan tapi pasti posisi Soekarno digantikan oleh Soeharto.19 Pada G 30 S/PKI etnis Tionghoa diindikasikan ikut terlibat dalam peristiwa tersebut, hal dikerenakan Cina kala itu merupakan negara yang menganut
16
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,(Jakarta: Grafiti Pers. 1984), hlm.116. Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh,(Bandung: Alumni,1975),hlm.121-128. 18 Isi perjanjian Dwikenegaraan dapat dilihat selengkapnya dalam Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185. 19 Cosmas Batubara, Sejarah Lahirnya Orde BaruHasil dan Tantangannya, (Jakarta; Prahita,1986), hlm.27. 17
7
sistem komunis. Sehingga pada awal pemerintahannya, Soeharto dengan segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yeng berkaitan dengan etnis Tionghoa di Indonsia terutama terkait masalah pembauran. Salah satunya mengeluarkan Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967.20 Dalam Instruksi Presiden tersebut, semua hal yang berhubungan dengan Cina yang bisa mengakibatkan terhambatnya proses pembauran seperti perayaan tahun baru Cina, dilarang. Dengan demikian dapat dikatakan semenjak berkuasa, presiden Soeharto pada saat itu berusaha untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempercepat proses asimilasi demi tercapainya kedamaian di masyarakat pasca peristiwa G 30 S. Oleh sebab itu, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia berusahauntuk berasimilasi, mereka tidak segan-segan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia atau pun dengan cara memeluk agama Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh pribumi. Hal ini menunjukan bahwa mereka serius dalam mengatasi sentimen negatif yang berkembang di masyarakat, serta agar bisa diterima secara utuh sebagai bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Menurut Leo Suryadinata, beberapa orang Tionghoa memeluk agama Islam karena alasan praktis. Misalnya usahawan akan lebih mudah membuka usaha atau menjalankan usaha mereka karena ketika masuk Islam, karena akan lebih mudah diterima masyarakat pribumi yang mayoritas Islam. Atau tertarik terhadap Islam
20
Stuart W Grief, WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1991), hlm. xvii-xviii.
8
karena hubungan erat mereka dengan sahabat-sahabat muslim pribumi mereka.21 Namun terlepas dari pendapat tersebut, tidak sedikit pula yang masuk Islam dikarenakan hubungan yang kuat dan tidak mengenal perbedaan suatu ras atau golongan sesama muslim dalam Islam yang membuat mereka lebih memilih agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Menurut Junus Jahja, dengan etnis Tionghoa memeluk agama Islam dilihat sebagai tindakan atau penyempurnaan terakhir dan final dari proses pembauran.22 Untuk itu, demi mengenalkan Islam kepada etnis Tionghoa dan menjaga keimananorang-orang Tionghoa yang baru memeluk agama Islam, maka didirikanlah suatu organisasi atau lembaga yang kemudian dikenal dengan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau yang disingkat PITI pada tahun 1961.23 PITI merupakan gabungan dari dua organisasi muslim sebelumnya, yaitu Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM). Persatuan Islam Tionghoa oleh Yap A Siong di Medan, dan Persatuan Tionghoa Muslim didirikan oleh Kho Goan Tjin di Bengkulu. 24 Penggabungan ini diakukan karena sifat kedua organisasi ini masih bersifat kedaerahan, sehingga pengaruh kedua organisasi ini masih belum dirasakan oleh seluruh masyarakat Tionghoa muslim di Indonesia pada saat itu. Kala itu ketua PP Muhammadiyah, H. Ibrahim memberikan saran
21
Leo suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia,(Jakarta: Gramedia, 1988).
22
Junus Jahja,Islam Dimata WNI, hlm.15 Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,
hlm.95 23
hlm.92. 24
hlm.81.
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,(Jakarta: Trans Media Pustaka, 2008),
9
kepada Abdul Karim bahwa tidak ada organisasi yang secara khusus meyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tionghoa, sehingga Abdul Karim Oei mengusulkan untuk menggabungkan dua organisasi Islam yang sudah telebih dahulu berdiri yaitu Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Muslim untuk menjadi satu organisasi yang di namakan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia di Jakarta pada 14 April 1961.25 Pasca peristiwa G 30 S, PITI mengubah nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam dari sebelumnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Respon ini dilakukan karena adanya kebijakan pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang menggalakan kebijakan politik anti Cina.26 Seperti yang sudah dikemukakan diatas, bahwasanya lahirnya PITI sebagai suatu wadah Muslim Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari peran Haji Karim Oei sebagai tokoh sentral. Haji Karim Oei atau Haji Abdul Karim lahir di Padang Panjang pada 6 Juni 1905 dengan nama Tionghoa Oei Tjeng Hien. Pada 1929 ia masuk Islam, sesuatu yang sangat langka di kalangan Tionghoa pada saat itu. Karena ketaatannya ia kemudian diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Bengkulu dan salanjutnya untuk seluruh wilayah Sumatra Selatan. Selain aktif dalam bidang dakwah terlihat dengan posisinya yang cukup strategis di Muhammadiyah Sumatra
25
Mustopa, Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, (Tesis, UI:2006), hlm.26-27. 26 Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.107.
10
Selatan, ia juga seorang pebisnis yang sukses dan juga politisi yang ulung. Tercatat ia pernah menjadi anggota DPR dan anggota Konstituante.27 Setelah H. Abdul Karim Oei meninggal pada 1988, para pengikutnya kemudian mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Haji Karim Oei (yang selanjutnya akan disebut menjadi YHKO) yang didirikan pada 19 april 1991 dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam dikalangan etnis Tionghoa, mendekatkan Islam dengan etnis Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam.28 Penggunaan nama Haji Karim Oei pada Yayasan ini ditujukan untuk mengenang jasa dan kontribusinya dalam upaya dakwah Islam dikalangan etnis Tionghoa. Yayasan Karim Oei terletak di jalan Lautze no.89 Pasar Baru, Jakarta Pusat.Yayasan ini berdiri dikawasan yang biasa disebut pecinan, artinya daerah yang banyak dihuni oleh warga etnis Tionghoa. Tidak jauh dari lokasi berdirinya Yayasan Haji Karim Oei ini berdiri pula beberapa Vihara yang letaknya berdekatan satu sama lain, yaitu Vihara Tunggal Darma, Vihara Venuvana, Vihara Tri Ratna, dan Vihara Buddhayana.29 Keberadaan Yayasan Haji Karim Oei di tengah-tengah pemukiman Tionghoa ini dimaksudkan agar Yayasan Haji Karim Oei sebagai media untuk mengenalkan Islam kepada warga Tionghoa disekitarnya lebih efektif. Oleh karena
27
Junus Jahja, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia,2002), hlm.22. 28 Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.108. 29 Mustopa, Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, hlm.54
11
itu selain berdiri di daerah pecinan, Yayasan ini juga mendekorasi eksterior dan interior bangunannya bergaya khas Tionghoa. Oleh karena itu pemilihan topik mengenai etnis Tionghoa Indonesia, yang mengerucut pada muslim Tionghoa di Jakarta merupakan pembahasan yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengangkat peran Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya penyebaran agama Islam dikalangan etnis Tionghoa khususnya di Jakarta. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini saya akan membatasi pembahasannya pada fokus “Muslim Tionghoa di Jakarta” dengan melihat pada peran Yayasan Haji Karim Oei sebagai suatu wadah dakwah Islam bagi masyarakat muslim Tionghoa di Jakarta antara 1991-1998. Secara temporal saya mengambil rentang tahun tersebut karena, pada 1991 adalah awal berdirinya Yayasan Haji Karim Oei, sedangkan 1998 peristiwa kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan pada saat itu yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap aktifitas dakwah yayasan ini. Adapun perumusan masalah penelitian ini dapat diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah muslim Tionghoa dari sejak kedatangannya ke Indonesia sampai tahun 1990-an? 2. Bagaimana keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta antara tahun 1991-1998?
12
3. Bagaimana sejarah berdirinya Yayasan Haji Karim Oei dan peranannya dalam perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Tionghoa di Jakarta? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian dan analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan. C. Tujuan dan Manfaat Penelitan Penelitian ini bertujuan pertama, mengetahui peran Yayasan Haji Karim Oei dalam penyebaran agama Islam di Jakarta khususnya pada masyarakat Tionghoa. Kedua, untuk mengetahui metode yang dilakukan serta peranan Yayasan Haji Karim Oei dalam dakwah Islam di Jakarta. Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan sebagai sumbangan sejarah Islam di Indonesia 2. Mengetahuam keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta khususnya antara tahun 1991-1998 melalui peran Yayasan Haji Karim Oei dalam penyebaran agama Islam khususnya pada masyarakat Tionghoa. 3. Memberikan wawasan kesejarahan tentang muslim Tionghoa di Indonesia khususnya di Jakarta. D. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka sangat diperlukan dalam suatu penelitian, untuk mengetahui sejauh mana penelitian yang relevan dengan topik telah dilakukan, di samping untuk memperkaya data.
13
Buku Afthonul Afif yang berjudul “Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia”, buku ini secara umum menjelaskan kondisi yang dialami etnis tionghoa dalam hal sosial politik, terdiri dari beberapa bagian yaitu jaman Kolonial, Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi, akan tetapi lebih spesifik menjelaskan tentang kondisi muslim Tionghoa di masa reformasi dan perjuangannya dalam mencari identitas sebagai warga negara Indonesia yang diakui masyarakat. Buku ini sangat berguna bagi penulisan skipsi ini, khususnya pada bab I dan II. Untuk menjelaskan tentang kondisi Muslim Tionghoa pasca orde baru. Buku selanjutnya ditulis oleh Leo Suryadinatayang berjudul Dilema Minoritas Tionghoa dan Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Buku yang pertama menjelaskan tentang situasi dan kondisi politik yang dialami etnis Tionghoa pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Dimana etnis Tionghoa pada saat itu mengalami tekanan sosial politik yang cukup berat, terutama pada masa Orde Baru. Sedangkan buku kedua menjelaskan tentang kondisi sosial budaya yang di hadapi etnis Tionghoa pada jaman Orde Baru. Dimana pada masa pemerintahan Presiden Soeharto etnis Tionghoa tidak hanya mengalami tekanan dari sisi sosial politik saja, namun kebudayaan mereka dipaksa untuk dihilangkan salah satu contohnya pelarangan penggunaan nama Tionghoa dan perayaan hari besar Imlek. Buku ini juga sangat berguna bagi penulis, khususnya pada bab II skipsi ini. Untuk mengetahui masalahmasalah yang dihadapi etnis Tionghoa Indonesia pada masa orde baru. Selain buku-buku di atas terdapat beberapa karya hasil penelitian skripsi maupun tesis tentang muslim tionghoa. diantaranya skripsi yang ditulis oleh Nia
14
Paramita dari Universitas Indonesia yang berjudul “Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) Sebagai wadah asimilasi etnis Tiongoa di Indonesia”. Skripsi tersebut membahas peran PITI sebagai wadah asimilasi atau pembauran warga Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru namun tidak sama sekali tidak membahas tentang Yayasan Haji Karim Oei sebagai salah satu sarana yang di pakai muslim Tionghoa untuk berdakwah. Karena skripsi tersebut membatasi tahun penelitan dari 1961-1987. Adapun Tesis yang berjudul: “Islam dan Pembauran: Suatu Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta”, karya Mustopa dari Universitas Indonesia. Tesis ini membahas upaya pembauran yang dilakukan etnis Tionghoa, dan interaksi sosial yang terjadi antara muslim Tionghoa dengan pribumi di Jakarta. Objek penelitian dalam Tesis ini adalah Masjid Lautze Yayasan Haji Karim Oei sebagai tempat observasi penelitian. Namun tidak membahas tentang sejarah berdiri hingga peran Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya mengenalkan Islam atau berdakwah ke etnis Tionghoa di Jakarta. Hasil karya tulis dari para mahasiswa Universitas Indonesia ini oleh penulis digunakan untuk bahan perbandingan penelitian, agar terhindar dari plagiarisme. Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang muslim Tionghoa, namun tidak satu pun yang membahas tentang Yayasan Haji Karim Oei sebagai sarana dakwah Muslim Tionghoa. Hal tersebut merupakan celah kajian penting bagi peneliti, sebab hal tersebut mejadi tantangan penulis untuk mengungkapkan peran Yayasan Haji Karim Oei sebagai sarana Dakwah Muslim Tionghoa di Jakarta.
15
E. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode sejarah, yaitu untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau,30dan menggunakan pendekaan sejarah sosial kontemporer. Metode ini diharapkan dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah pada masa lampau, sedangkan dalam penelitiannya terdapat 4 tahapan,31 di antaranya adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama Heuristik, yaitu proses pencarian dan penemuan sumber data. dalam tahap ini peneliti mendapatkan data atau sumber primer hasil observasi dan wawancara langsung terhadap orang-orang yang terkait dengan Yayasan Haji Karim Oei, separti pengurus Yayasan atau Organisasi seperti Yayasan Karim Oei, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Peneliti juga mendapatkan data berupa arsip-arsip dan majalah-majalah atau koran yang berkaitan tentang etnis Tionghoa pada masa orde baru. Data-data tersebut penulis dapatkan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional (PNRI) dan perpustakaan Yayasan Haji Karim Oei yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Selain itu peneliti juga mendapatkan data sekunder berupa buku dan jurnal dari beberapa perpustakaan dan situs media online yang terkait dengan tema penelitian ini.
30 31
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (UI Pres: 1975) hlm. 32 Dudung Abdurahman, Metode Penitian Sejarah, (Logos. Jakarta 1999) hlm. 54
16
Tahap kedua adalah Kritik Sejarah, yaitu proses penyeleksian sumber. Seluruh data baik sekunder dan primer akan diseleksi kebenaran dan objektivitasnya. Jika dipastikan bahwa sumber-sumber tersebut mengandung fakta terpercaya dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka tahap selanjutnya adalah Interpretasi atau yang sering disebut juga dengan analisis sejarah tujuaannya agar data yang ada dapat digunakan untuk menjelaskan tema kajian penelitan ini sesuai dengan permasalahan yang dibuat. Setelah itu pada tahap terakhir adalah Historiografi atau penulisan sejarah. Yaitu proses penulisan hasil penelitian dengan cara merekonstruksi peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal ini terkait dakwah Islam yang dilakukan oleh muslim Tionghoa di Jakarta 1991-1998 berdasarkan sumber data yang diperoleh yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif analisis. F. Sistematika Penulisan Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masingmasing bab tediri dari beberapa bab sebagai berikut: Bab I: Meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BabII: Menuliskan tentang sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia mulai dari awal kedatangan muslim Tionghoa ke Indonesia hingga masa Orde Baru, dan menjelaskan keadaan muslim Tionghoa 1991 hingga 1998 beserta aktifitasnya baik ekonomi dan dakwah sosialnya.
17
Bab III: Menjelaskan tentang profil Yayasan Haji Karim Oei (YHKO), sejarah berdirinya YHKO, hingga struktur kepengurusan di YHKO. Bab IV: Peranan Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah dakwah muslim Tionghoa di Jakarta yang meliputi kegiatan dan aktifitas yang dilakukan YHKO, metode dakwah yang digunakan, serta peranannya. Bab V:Kesimpulan
18
BAB II SEJARAH MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA
A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia hingga Masa Orde Baru (1407-1990) Perkembangan muslim Tionghoa di Nusantara sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia diperkirakan melalui jalur perdagangan dengan pedagang Arab dan Persia. Selain menjalin hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia, Nusantara juga menjalin hubungan dagang dengan Cina. Para pedagang Cina yang datang ke Nusantara pada saat itu berasal dari Cina bagian selatan (Hangzhou, Guangzhou, Yangzhou), dan kawasan tersebut sejak awal abad ke-9 merupakan daerah komunitas muslim di Cina.32 Persentuhan Islam dengan Tiongkok diperkirakan sudah terjadi pada pertengahan abad ke-7 M, yang ketika itu di jazirah Arab Islam berada di bawah kepemimpinan Ustman Bin Affan 577-656 M (Khalifah ketiga). Saat itu Saad Ibn Abu Waqqas diutus oleh Utsman Bin Affan ke Cina pada 651 M untuk menghadap kaisar Yong Hui dikota Changan dimana pada saat itu Tiongkok di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618-905M) dengan misi memberi teguran kepada kaisar Yong Hui agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam
32
Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa (Cet ke-2), (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm.89.
19
20
dan Persia.33 Pendapat lain mengungkapkan bahwa Islam sudah dikenal di Cina sejak masa Rasulullah. Persentuhan pertama ini dibawa oleh sahabat Rasulullah Saw yaitu Sa’ad Ibn Lubaid. Perihal kedatanggannya dikarenakan pada masa itu umat Islam Hijrah ke Ethiopia untuk pertama kali, namun Sa’ad kurang nyaman dengan pola kehidupan di Ethiopia. Oleh karena itu ia berlayar menumpang dengan para pedagang dari Persia dan akhirnya berlabuh di Kanton sebuah pusat perdagangan di wilayah Cina saat itu.34 Di Tiongkok Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Melihat besarnya kontribusi Tionghoa muslim dalam menggulingkan Kerajaan Yuan yang akhirnya berdiri Dinasti Ming, maka pada kekaisaran pertama Dinasti Ming banyak di angkat jendral-jendral terkenal yang beragama Islam naik tahta. Jendral-jendral tersebut antara lain, Chang Yuchun, Mu Ying, Hu Dahai, dan Lan Yu.35 Bahkan ada yang berpendapat bahwa Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina karena untuk pertama kalinya seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti Ming) yakni Emprass Ma Hoe adalah Muslimah.36 Pada abad ke-15 di masa pemerintahan Dinasti Ming, orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan ke Nusantara. Kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak lepas dari ekspedisi Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong (1405-1433) yang 33
Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000),
hlm.273. 34
Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pusaka Sufi, 2003), hlm.19. Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.48. 36 Ibrahim Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.7. 35
21
mengemban tugas dari Kaisar Yung Lo (1403-1424) yang memerintah pada Dinasti Ming untuk membangun hubungan politik dan perdagangan ke Nusantara. Menurut ahli sejarah dari China bernama Zhan Zhin Xi, selama pelayaran dengan misi utama membangun hubungan diplomatik terutama dalam bidang ekonomi ke Nusantara, Cheng Ho juga memanfaatkan waktunya untuk menyebarkan agama Islam di tempat yang disinggahinya.37 Ekspedisi pertama laksamana Cheng Ho terjadi pada 1405 dengan tujuan Samudera Pasai. Laksamana Cheng ho bertemu sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah untuk menjalin hubungan politik dan ekonomi. 38 Setelah hubungan antara Tiongkok dan Samudera Pasai terjalin dengan baik, semakin banyak saudagar Tionghoa yang datang ke Pasai, dan tidak sedikit pula orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Islam. Peninggalan Cheng Ho di Samudera Pasai berupa lonceng raksasa yang bernama Cakradonya hingga kini masi bias kita lihat di Museum Banda Aceh.39 Pada 1407 Dinasti Ming kembali melakukan ekspansi dengan misi untuk merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian yang marak terjadi saat itu.40 Salah satu perompak terkenal asal Hokkian bernama Cen Tsu Yi berhasil ditangkap, lalu ia dihukum pancung di Peking pada 1408. Hukum pancung yang diberikan kepada Cen Tsu Yi merupakan salah satu peringatan dari Kaisar Yung Lo untuk orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang agar 37
Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.xviii. Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm.84. 39 Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm. 53. 40 H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos, hlm.4 38
22
tidak ada lagi aksi peompakan serupa di Kukang karena bisa membuat hubungan bilateral yang sedang dibangun oleh Dinasti Ming di Nusantara menjadi hancur. Di Kukang (Palembang) sendiri telah ada komunitas Cina muslim bermazhab Hanafi pertama di kepulauan Indonesia.41 Selain peran Cheng Ho sebagai muslim Tionghoa dalam perkembangan agama islam di Indonesia, tidak lepas pula peran besar dari para Wali Songo dalam penyebaran agama Islam di tahan Jawa pada khususnya. Beberapa sejarawan menganggap beberapa Wali Songo merupakan keturunan Tionghoa. Sebagai contoh Sunan Ampel alias Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo, beliau adalah anak dari Syekh Maulana Ibrahim Samargandi yang menikah dengan Dewi Candrawulan yang merupakan anak dari penguasa Champa bernama Bong Tak Keng (1413-1446). Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu dengan perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut melahirkan keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang.42 Bahkan menurut Pramoedya Ananta Toer, Sunan Kali Jaga merupakan keturunan Tionghoa. sunan kali jaga yang selama ini dikenal sebagai anak Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatika, menurutnya merupakan anak dari Brawijaya raja Majapahit yang menikah dengan seorang putri Cina muslim bernama Retna Subanci
41
Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.5 Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS), hlm. 84-86 42
23
anak dari Babah Bantong alias Tan Go Hwat. Seperti dalam penjelasannya sebagai berikut: “Babah Bantong adalah Tionghoa Islam, nama sebenarnya Tan Go Hwat. Benar anaknya (Retna Subanci) telah diselir oleh Sri Baginda Bhra Wijaya, tetapi anak babah Bantong dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban dan anak yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca (Sunan Kali Jaga)”.43 Fakta sejarah bahwa Sunan Kali Jaga lebih membela Demak dibandingkan dengan Tuban karena Demak adalah rezim Cina, merupakan alasan yang memperkuat pendapat yang di uatarakan Pram dalam bukunya. Pendapat Pram memang berlawan dan sangat berbeda dengan historiografi lokal Jawa seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kanda, juga Tembang Babad Demak. Dalam teks-teks tersebut, Sunan Kali Jaga adalah anak kandung dari Adipati Tuban, Arya Teja bukan anak Brawijaya dari Putri Cina yang dititipkan kepada Arya Teja. Namun sebaliknya, dalam Babad-babad tersebut disebutkan bahwa anak Brawijaya dari putri Cina bernama Sio Ban Chi anak dari Syekh Bentong bernama Jin Bun atau Raden Fatah. 44 Oleh Brawijaya, Sio Ban Chi yang sedang hamil diserahkan kepada Arya Damar raja muda Palembang bukan Arya Teja, dan di sanalah Raden Fatah dilahirkan. Berdirinya Kesultanan Demak juga tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang Tionghoa. Mengingat
43
Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad ke-16, (Jakarta, Hasta Mitra, 2002), hlm.367. 44 Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa PraKolonial Belanda, lihathttp://jurnal.elsaonline.com/?p=97 , diakses pada 21 Mei 2016.
24
Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan Demak (1475-1507) adalah keturunan Cina dari darah ibunya dengan nama Tionghoa Jin Bun. 45 Pengaruh muslim Tionghoa terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa tidak bisa dipandang sebelah mata, ini dibuktikan juga dengan berbagai peninggalan yang menunjukan adanya pengaruh Tionghoa yang cukup kuat sehingga menimbulkan sebuah alkuturasi kebudayaan antara Tionghoa, Islam, dan Jawa. Alkuturasi Tionghoa, Islam, dan kebudayaan Jawa bisa kita lihat dari segi arsitektur. Contohnya adalah ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara masjid di pecinan Banten, Kontruksi pintu makam sunan Giri di Gersik, kontruksi masjid Demak terutama bagian soko tatal penyangga masjid berserta lambang kurakura, dan konstruksi masjid Sekayu di Semarang. 46 Peninggalan lainnya yang berada di Jakarta ialah Masjid Angke yang terletak di Kebon Jeruk yang didirikan pada 1761 oleh Tamiem Dosol dan Nyonya Tan. Masjid ini sangat kental akan arsitektur Chinaanya, mulai dari bentuk pintu masuk, mimbar dan ujung-ujung atap yang juga menyerupai atap-atap pagoda atau klenteng yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, bedug-bedug masjid di daerah utara pesisir Jawa juga menyerupai bedugbedug yang biasa tergantung di serambi klenteng. 47 Adanya aktifitas masyarakat Tionghoa di daerah tersebut sehingga dimungkinkan adanya kontak sosial dalam hal pembangunan masjid atau pertukaran barang-barang budaya. 45
Sumanto Al-Qurtubbi, Arus Cina Islam Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm.214. Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa PraKolonial Belanda, di akses pada 21 mei 2016. 47 Amin Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979), hlm. 38. 46
25
Proses asimilasi dan keharmonisan antara pribumi dengan etnis Tionghoa mengalami
kemunduran
yang
cukup
siginifikan
oleh
beberapa
peristiwa.
Diantaranya, ketika Kesultanan Demak yang dikenal memiliki kedekatan dengan etnis Tionghoa dikarenakan sultan pertamanya merupakan keturunan Tionghoa mengamali keruntuhan pada 1549 akibat dari konflik internal kesultanan. Ketika terjadi masa transisi pemerintahan dari kesultanan Demak hingga berdirinya Kesultanan Mataram 1588 etnis Tionghoa merasa kehilangan tempat. Sikap Kesultanan Mataram pada saat itu dianggap etnis Tionghoa tidak berpihak kepada mereka menjadi penyebab berubahnya sikap loyalitas mereka kepada pihak Belanda.48 Migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke Nusantara yang terjadi pada masa VOC membuat populasi penduduk etnis Tionghoa semakin banyak dan sulit dikendalikan. Migrasi ini didominasi oleh orang-orang Hokkian dan Yunan sebagai pelarian menghindari bangsa Manchu. Pada saat itu di Tiongkok sedang terjadi pemberontakan oleh bangsa Manchu kepada dinasti Ming yang terjadi pada tahun 1616-1644, yang pada akhirnya dinasti Ming mengalami keruntuhan dan berdiri imperium baru yaitu Dinasti Qing (1644-1911). Dalam pemberontakan dan masa transisi pemerintahan tersebut diperkirakan 25 juta penduduk tewas dan jutaan penduduk lainnya bermigrasi ke berbagai penjuru negeri, termasuk ke Nusantara. 49 Sebagai gambaran besarnya gelombang migrasi etnis Tionghoa pada saat itu, pada 48
Teguh Setiawan, Tionghoa Indonesia : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis. (Jakarta: Republika, 2012), hlm.31. 49 Abdul Karim, Islam di Asia Tengah, (Yogyakarta: Bagaskara, 2006) hlm. 47
26
1619 etnis Tionghoa yang ada di Batavia hanya berjumlah 400 jiwa meningkat menjadi 2000 jiwa pada 1629, dan pada 1725 melonjak tajam menjadi 10.000 jiwa.50 Walaupun pada saat itu pemerintah VOC telah memberlakukan peraturan yang sangat ketat dengan hanya memperbolehkan satu perahu yang membawa para imigran tidak lebih dari 100 orang saja. Berikut gambaran jumlah etnis Tionghoa di Jawa masa Hindia Belanda: Tabel 1: Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa51
Wilayah Banten Batavia Bogor Priangan Jawa Barat
1815 628 52.394 2.633 180 58.178
1920 1930 1972 1983 4.545 7.823 60.974 81.452 97.870 149.225 20.432 37.767 24.748 37.577 89.872 81.871 14.093 33.003 42.474 37.314 167.751 259.718 329.381 360.934
Semakin banyaknya etnis Tionghoa pada masa itu membuat VOC merasa kekuasaannya terancam, etnis Tionghoa yang sudah dianggap anak emas dan memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi semakin mendominasi. Hal ini membuat kekuasaan VOC di Nusantara terancam disebabkan munculnya berbagai konflik antara etnis Tionghoa dengan Pribumi, seperti pada 1740 terjadi Kerusuhan etnis Tionghoa di Jakarta dengan pribumi. Kerusuhan ini disebabkan ketidakpuasan masyarakat pribumi terhadap pemerintah Belanda pada waktu itu yang dianggap berat sebelah terhadap etnis Tionghoa. Pada saat itu pribumi melakukan pembantaian 50
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740 : Tragedi Berdarah Angke. hlm.78 Raffles, I, 1978:II Volkstelling 1930, VIII, 1936: 164-166: sensus 1972 dalam Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), Hlm. 42. 51
27
terhadap etnis tionghoa yang mereka temui, membakar rumah-rumah, gudang-gudang logistik, dan melakukan penjarahan terhadap aset-aset yang dimiliki etnis tionghoa di batavia. Pada peristiwa ini Hembing menyebutnya dengan tragedi Chinezenmood (pembantaian orang-orang Cina/Tionghoa).52 Setelah peristiwa Chinezenmood untuk mengatasi gelombang migrasi yang cukup besar etnis Tionghoa pada masa itu, VOC memberlakukan kebijakan dan memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap para imigran serta pedagang-pedangang Tionghoa. Bagi para imigran Tionghoa yang baru datang dan hendak tinggal di Batavia mereka diharuskan memiliki izin khusus yang dikeluarkan oleh VOC. Selain kebijakan migrasi, VOC juga memisahkan pemukiman Tionghoa muslim dengan yang non muslim serta memberlakukan kebijakan cukur rambut untuk etnis Tionghoa muslim. Dalam dokumen-dokumen VOC etnis Tionghoa yang telah menjadi muslim disebut dengan “geschoren cinezeen” artinya orang-orang Tionghoa cukuran.53 Peraturan-peraturan yang diberlakukan VOC ini dimaksudkan untuk memudahkan Belanda dalam membedakan etnis Tionghoa yang sudah menjadi muslim dengan etnis Tionghoa yang non muslim dan pribumi. Kebijakan selanjutnya adalah penerapan politik devide et impera atau politik pecah belah.Dalam sistem politik ini VOC mengelompokkan masyarakat Indonesia kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas atau pertama adalah golongan untuk bangsa Eropa, golongan menengah atau kedua untuk bangsa pendatang dari timur 52
Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740: Tragedi Berdarah Angke. (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005), hlm.65. 53 Lance Castles, Profil etnik Indonesia, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), hlm. xx-xxi.
28
asing (mayoritas Cina), dan golongan yang terakhir dan yang terendah adalah untuk masyarakat pribumi. Pemberlakuan sistem ini karena VOC tidak menginginkan etnisetnis yang ada di negeri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan munculnya pemberontan yang bisa mengganggu stabilityas politik dan ekonomi yang sedang dibangun VOC. Pengelompokan golongan sosial yang diberlakukan oleh VOC yang menempatkan pribumi di golongan terakhir, sehingga muncul anggapan bahwa pribumi sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh, yang akhirnya secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap citra Islam dimata etnis Tionghoa. Ditambah lagi dengan kepiawaian yang dimiliki etnis Tionghoa dalam bidang perekonomian jauh melebihi kamampuan penduduk pribumi, fenomena inilah yang membuat jurang pemisah dan sentimentil yang terjadi semakin tinggi.54 Pada 1830 pemerintahan Hindia Belanda membentuk Chiese Offcieren atau Kapitan Cina sebagai tenaga administrasi dan penarik pajak. Mereka diberi tugas untuk menjelaskan berbagai peraturan pemerintah Hindia Belanda kepada kaum sebangsanya dan mengumpulkan pajak yang mereka harus bayar. Sebagai imbalannya, mereka diberi hak monopoli atas pembuatan garam, pertambangan timah, dan pembuatan mata uang perak.55 Walaupun terdapat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa muslim seperti penerapan peraturan mengenai cara berpakaian dan
54
Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina”, hlm.1. 55 Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002). hlm. 121.
29
gaya rambut yang berbeda, namun pemerintah Hindia Belanda dengan adil memberikan hak monopoli dan perdagangan kepada etnis Tionghoa tanpa memandang agama. Hal ini membuat perbedaan status sosial dan ekonomi antara muslim Tionghoa dengan pribumi semakin besar, sehingga memunculkan kecemburuan sosial yang akhirnya menghambat proses asimilasi antara keduanya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda tidak selalu pro terhadap etnis Tionghoa. Keberhasilan etnis Tionghoa dalam membuat jaringan komersial hingga kepelosok daerah membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir, sehingga pada 1863 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk etnis Tionghia untuk izin perjalanan bernama passenstelsel. Kebijakan ini mengatur etnis Tionghoa yang akan berpergian selama beberapa hari, mereka harus mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda dan bagi yang melanggar akan dikenakan denda sebesar ƒ25.56 Peraturan ini dibuat agar pemerintah Hindia Belanda dapat mengawasi dan mengontrol segala aktifitas perdagangan etnis Tionghoa dan mendapatkan keuntungan dari aktifitas mereka tersebut. Pada 1900 pemerintah Hindia Belanda kembali mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan etnis Tionghoa untuk bermukim di daerah tertentu dengan nama wijkenstelsel. Sistem ini dibuat bertujuan untuk mempermudah pengawasan terhadap etnis Tionghoa. pelanggaran atas kebijakan ini
56
Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 146.
30
akan dianggap tindakan kriminal, demikian pula pelanggaran atas ketentuan surat izin perjalanan.57 Problematika yang dialami etnis Tionghoa tidak hanya sampai disitu. Pada masa pergerakan kemerdekaan, masyarakat pribumi meragukan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini terjadi akibat adanya kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis dan membawa spirit nasionalisme yang berorientasi ke negri Tiongkok melibatkan orang-orang Tionghoa Indonesia. Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa yang berorientasi ke Tiongkok di Indonesia adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa pada tanggal 17 Maret 1900 di Jakarta. 58 Gerakan ini lahir karena adanya perlakuan diskriminatif yang dirasakan etnis Tionghoa dalam bidang hukum dan peradilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai contoh, dalam perkara kriminal tertuduh Tionghoa harus diadili di Landraad (pengadilan untuk Pribumi) karena dalam aturan hukum pidana etnis Tionghoa statusnya disamakan dengan pribumi oleh pemerintah Kolonial,walaupun pada penerapan devide et imperaetnis Tionghoa berada di strata sosial kedua.Tujuan utama gerakan ini adalah pengembangan ajaran Khonghucu, kebudayaan, dan tradisi Tionghoa. Ini terlihat jelas dari bunyi pasal 2 ayat 1 dalam anggaran dasar THHK ini yang berbunyi:
57
Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, hlm.146. Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 43. 58
31
”Untuk mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai dengan ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa Tionghoa”.59 Tepat setahun kemudian THHK pada tahun 1901 mendirikan sekolah khusus etnis Tionghoa di Jakarta dan mendidik mereka untuk menjadi nasionalis Tiongkok. Ini bisa dilihat dari buku-buku pelajaran berbahasa Tionghoa yang digunakan pada sekolah tersebut umumnya didatangkan langsung dari Tiongkok. 60 Dalam waktu singkat etnis Tionghoa di kota-kota lain ikut mendirikan sekolah-sekolah serupa yang bernaung dibawah THHK, sehingga ratusan sekolah THHK berdiri diberbagai kota dan menampung ribuan anak-anak Tionghoa. Gerakan-gerakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan THHK membuat pemerintah Hindia Belanda semakin khawatir.Berdirinya THHK telah menumbuhkan rasa nasionalisme etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang berkiblat ke Tiongkok yang merupakan bagian dari Gerakan Tiongkok Raya (Gerakan Pan Tionghoa). 61 Untuk meredam pergerakan etnis Tionghoa yang semakin berkiblat ke Tiongkok, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) yaitu sekolah untuk anak-anak Tionghoa pada 1908.Sekolah ini menerapkan sistem pendidikan Barat dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. 62 Walaupun diperuntukan
59 60
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 306. Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm.
272. 61 62
G. William Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, hlm. 14. Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 312.
32
untuk anak-anak dari etnis Tionghoa, dalam penerapannya sekolah ini juga menerima siswa dari kalangan Eropa dan pribumi, namun dengan kriteria-kriteria tertentu saja. Selain itu, surat kabar berbahasa peranakan Tiongoa Sin Po, mendukung nasionalisme politik Tionghoa. Ini bisa dilihat dari isi koran Sin Po yang lebih banyak memuat berita tentang perkembangan keadaan sosial politik di negeri Tiongkok dibandingkan dengan berita perkembangan di Hindia Belanda. Mereka mendesak etnis Tionghoa di Hindia Belanda menarik diri dari institusi-institusi politik lokal, dan menghimbau untuk terlibat secara aktif dalam politik di Tiongkok.63 Mereka menginginkan kesetaraan dengan Belanda di depan hukum dan juga menuntut pendidikan Tionghoa bagi etnis Tionghoa di Hindia Belanda. Gerakan-gerakan yang terus terjadi hingga masa kemerdekaan Indonesia, sehingga menimbulkan keraguan akan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Untuk mengatasi masalah nasionalisme etnis Tionghoa tersebut, pemerintah Indonesia berusaha dengan berbagai cara untuk menghilangkan semua sentimen yang ada dikalangan etnis Tionghoa, dengan cara melakukan pembauran dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap kelompok minoritas ini. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintahsaat itu berupa undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.64 Dalam sistem ini menyatakan bahwa warga negara adalah orang yang bertempat tinggal di negara tersebut, dengan
63 64
Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm. 5. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,(Jakarta: Grafiti Pers. 1984), hlm.116.
33
kata lain seorang Tionghoa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia tanpa melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RI dengan Repubik Rakyat Cina pada 1955.65 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru diterapkan pada 1960.66 Langkah yang di ambil pemerintahan Soekarno selanjutnya adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang sersifat asimilatif, yaitu pergantian nama bagi etnis Tionghoa pada tahun 1961. Kebijakan tersebut berupa UU No.4 Tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga yang berbunyi: “Sesuai dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dirasakan perlu untuk mengadakan penyeragaman dan penertiban dalam peraturan perubahan atau penambahan nama keluarga, sebagai suatu langkah untuk menghomogenkan warga negara Indonesia.”67 Kebijakan ini dimaksudkan agar menyesuaikan dengan nama khas Indonesia, sebagai contoh Ong Gie Kong menjadi Ongkojaya.68 Pergantian nama di kalangan etnis Tionghoa diharapkan menjadi cara asimilasi yang tepat bagi permasalahan Tionghoa di Indonesia. Namun kebijakan tersebut sulit untuk dilaksanakan karena rumitnya proses yang harus ditempuh. Bagi etnis Tionghoa yang ingin mengganti 65
Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, (Bandung: Alumni,1975), hlm.121-128. 66 Isi perjanjian Dwi Kenegaraan dapat dilihat selengkapnya di Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185. 67 Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga. 68 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, hlm.118
34
namanya diharuskan untuk melapor ke pengadilan dan kemudian mengumumkan perubahan namanya tersebut dalam Berita Negara.69 Sulitnya proses tersebut membuat kebijakan ini jalan di tempat bahkan tidak berjalan. Seiring berjalannya waktu, Soekarno tidak mempermasalahkan keputusan etnis Tionghoa yang memilih berasimilasi atau berintegrasi. 70 Oleh sebab itu, pada masa tersebut banyak perdebatan mengenai jalan mana yang harus di pilih oleh etnis Tionghoa Indonesia. Dalam hal ini Soekarno lebih mementingkan kesatuan bangsa yang berdasarkan nation-building demi tercapainya kestabilan negara. Oleh sebab itu Soekarno
mendukung
organisasi
Badan
Permusyawaratan
Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dalam memperjuangkan dukungan etnis Tionghoa di Indonesia untuk menentukan arah pembauran yang mereka inginkan. Meskipun dalam perkembangannya presiden Soekarno lebih dekat dengan Baperki dibanding LPKB, ini karena aktivitas Baperki yang selalu setia mendukung kebijakan-kebijakan Politik Soekarno.71 Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa berdarah G 30 S. Pada 11 maret 1966, Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah yang dimandatkan kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengatasi permasalahan peristiwa G 30 S tersebut. Surat yang sekarang kita kenal dengan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) itu menjadi landasan untuk 69
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 965 Asimilasi adalah peleburan sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 60. Integrasi adalah penyesuaian unsur kebudyaan yang salig berbeda, sehingga menciptakan suatu keserasian. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 383 71 Stuart W Grief, WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, hlm.21 70
35
memulihkan keadaan dari berbagai sektor, mulai dari sosial, ekonomi hingga politik di Indonesia.72 Pasca peristiwa G 30 S banyak terjadi pengusiran- pengusiran etnis Tionghoa yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.73 Hal ini merupakan imbas dari kecurigaan masyarakat pribumi atas etnis Tionghoa terlibat dalam PKI karena negri asal etnis Tionghoa yaitu Cina merupakan negara yang meganut paham komunis. Selain membubarkan PKI, Soeharto juga bergerak memulihkan kondisi sosial di Indonesia terutama menangani permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia. Akibat peristiwa September 1965 yang secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan, maka Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan yang bersifat asimilatif. Ini dimaksudkan agar etnis Tionghoa dapat berbaur secara menyeluruh dengan masyarakat Indonesia. Kebijakan pertama kali yang dikeluarkan oleh pemerintah Soeharto pada masa kekuasaannya terkait etnis Tionghoa adalah Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966. Kebijakan ini mengenai ganti nama bagi etnis Tionghoa yang merupakan terusan dari UU No.4 tahun 1961 yang dikeluarkan presiden Soekarno. Dalam Keppres 127/U/KEP/12/1966 disebutkan: “Pergantian nama dari orang Indonesia keturunan asing dengan nama yang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong usaha asimilasi ini, oleh karena itu bagi warganegara Indonesia yang masih memakai nama Cina, yang ingin mengubah namanya yang sesuai dengan nama Indonesia asli perlu diberikan fasilitas yang seluasluasnya.”74 72
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 933 Antara, Pengusiran WNA Tjina adalah wajar dan tepat, Sabtu 29 Maret 1967 74 Lampiran Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/KEP/12/1966 tentang Ganti Nama. 73
36
Dikeluarkannya kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah proses pergantian nama untuk etnis Tionghoa dan dengan maksud mempercepat proses asimilasi. Jika pada masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa yang ingin mengganti nama harus melakukannya di pengadilan dan di umumkan di Berita Negara75, maka dengan dikeluarkannya Keppres ini etnis Tionghoa dapat mengganti namanya di kantor walikota atau kabupaten saja. Salah satu faktor lain yang menjadi penghambat tejadinya proses Islamisasi dikalangan masyarakat keturunan Tionghoa adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Menurut Jendral A.H Nasution, setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965, banyak perwira yang melihat asimilasi sebagai faktor penting dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa demi terciptanya keamanan nasional.76 Oleh sebab itu saat Soeharto menjabat sebagai Presidium
Kabinet ia mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan asimilasi
dikalangan etnis Tionghoa. Setelah Soeharto secara resmi menjadi Presiden Indonesia, ia pun tetap mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pembauran etnis Tionghoa di Indonesia dalam upaya menyukseskan program pembangunan nasional. Kebijakan-kebijakan pemerintah Soeharto terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah77 :
75
Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 pada Pasal 6 mengenai Prosedur Ganti Nama. Junus Jahja, Non Pri Di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991), hlm. 168. 77 Junus Jahja, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, (Jakarta: LPMB, 1999), hlm. 126. 76
37
1. Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama. “Pergantian nama dari keturunan asing dengan nama yang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong usaha asimilasi.”78 2. Intruksi Presiden No.37/U/IN/6/1967 tentang Badan Kordinasi Masalah Cina. “Pembinaan warga negara asing dijalankan dengan melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan yang ekslusif rasial.”79 3. Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan
dilakukan
dalam
lingkungan
keluarga
atau
perorangan.”80 4. Intruksi Presiden No.15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina. “Untuk peningkatan daya guna dan kelancaran pelaksanaan
penyelesaian
masalah
Cina
di
daerah,
Gubernur/Kepala Daerah dapat dibantu oleh staf khusus.” 81 5. Keputusan Presiden No.240/1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut warga negara keturunan asing. “Terhadap warga negara Indonesia keturunan asing yang masih memakai nama Cina dianjurkan mengganti nama-namanya dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”82
78
Lampiran, Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966, pada poin Menimbang. Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam Rancangan KUHP”, (Jakarta: Focus Grup Discussion, 23 November 2006). 80 Lampiran,Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada poin Intruksi Pertama. 81 Lampiran,Intruksi Presiden No.15/1967, tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina pada Pasal 1 ayat 2. 82 Lihat lampiran,Keputusan Presiden No.240/1967, tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut Warga Negara Keturunan Asing pada Pasal 5. 79
38
6. Intruksi
Mendagri
No.
455.2-360/1988
tentang
penataan
kelenteng. “Segala tata budaya (Cina) yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia perlu dihindarkan.” 83 7. SK. Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978 tentang pelarangan Impor, penjualan, dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina. “Melarang mengimpor, memperdagang kan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf/aksara dan bahasa Cina.”84 8. SE 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 tentang larangan penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan beraksara dan berbahasa Cina. “Melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan dalam huruf/aksara dan bahasa Cina.”85 Kebijakan-kebijakan di atas yang dimaksudkan untuk mempercepat proses asimilasi, namun kenyataanya kebijakan-kebijakan tersebut membuat etnis Tionghoa semakin mengeklusifkan diri dan memisahkan diri karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Orde Baru. Sebagai contoh kebijakan yang membuat etnis Tionghoa mengekslusifkan diri adalah Intruksi Presiden No.14/1967. Dalam Intruksi Presiden tersebut disebutkan bahwa aktifitas peribadatan dan perayaan-perayaan yang berpusat pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam keluarga atau perorangan.86
83
Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam Rancangan KUHP”, 84 Lampiran,SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No.286/KP/XII/1978, pada poin Menetapkan. 85 Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam Rancangan KUHP”. 86 Lampiran,Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China.
39
Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah Orde Baru pasca peristiwa G 30 S yang menduga keterlibatan etnis Tionghoa didalamnya, oleh karena itu pada masa Orde Baru segala organisasi etnis Tionghoa baik muslim ataupun non muslim, yang bersifat politik maupun keagamaan didalam struktur kepengurusan harus terdapat warga pribumi.87 Kebijakan pelarangan penggunaan nama China juga berdampak pada sebuah organisasi dakwah untuk masyarakat Tionghoa di masa presiden Soeharto yang bernama PITI. PITI merupakan singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang berdiri pada 14 April 1961. PITI yang merupakan gabungan antara dua organisasi serupa yang bernama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) yang didirian oleh Yap A Siong di Medan dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang didirikan oleh Kho Goan Tjin di Bengkulu.88 Berdirinya PITI pada saat itu sebagai tanggapan realistis atas saran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk dakwah Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tiongoa yang beragama Islam. Pada Desember 1972 PITI yang semula singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. Pergantian nama ini adalah respon PITI atas surat kiriman dari Kejaksaan Agung yang berisikan larangan untuk menggunakan kata “Tionghoa” di dalam nama organisasinya.89 Hal
87
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES,2005) hlm. 343 88 Beny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm.81 89 Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.108.
40
tersebut dikarenakan penggunaan nama Tionghoa dikhawatirkan dapat menimbulkan ketegangan di masyarakat. Walaupun berganti nama, PITI tetap konsisten dalam upayanya dibidang dakwah etnis Tionghoa kala itu. PITI juga aktif dalam proses pengislaman dan memberikan dukungan moral bagi orang yang baru memeluk Islam. Dari arsip yang di miliki DPP PITI Jakarta, tercatat pada 1965 hingga 1978 sebanyak 119 etnis Tionghoa telah memeluk agama Islam. Tabel 2: Data Pengislaman PITI 1965-197890 Tahun 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 Jumlah
Jumlah Muallaf 30 8 15 10 7 8 3 4 3 3 9 4 6 9 119
(Sumber: Arsip DPP PITI Jakarta)
Data tersebut merupakan data yang dikumpulkan oleh PITI tanpa menambahkan data jumlah muslim Tionghoa dari Kantor Urusan Agama. Menurut Junus Jahja, salah seorang tokoh pembauran, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia 90
Lihat arsip DPP PITI Jakarta.
41
yang memeluk agama Islam berkisar antara 0,5% - 1% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 25.000 – 50.000 orang.91 B. Keadaan MuslimTionghoa 1991-1998 Permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa khususnya muslim Tionghoa pada masa Orde Baru sangat kompleks. Hal ini dikarenakan kelanjutan masalah yang belum usai di masa Orde Lama yang kemudian memunculkan masalah baru di masa Orde Baru. Dimasa Orde Baru segala aktifitas mulai dari ekonomi hingga agama atau kepercayaan etnis Tionghoa semua diatur oleh pemerintah kala itu, sehingga aktifitas dan kegiatan mereka sangat terbatas. Adapun keadaan etnis Tionghoa khususnya Tionghoa pada tahun 1990-1998 sebagai berikut: B.1 Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya Muslim Tionghoa Jakarta Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru terkait etnis Tionghoa dimaksudkan untuk mempercepat proses pembauran agar etnis Tionghoa dapat benar-benar menyatu dengan penduduk pribumi. Namun dalam kenyataanya kebijakan-kebijakan tersebut membuat pribumi dengan etnis Tionghoa semakin jauh. Bahkan tidak sedikit Tionghoa yang sudah menjadi seorang muslim merasa terusmenerus didiskriminasi dan dicurigai masih memiliki rasa ekslusivisme.92 Salah satu contoh dampak kebijakan yang semakin menambah jurang pemisah antara pribumi dengan masyarakat muslim Tionghoa dari kebijakan pemerintah Orde Baru adalah di sektor ekonomi. Pada Peraturan Presiden No.10/1967 (PP 10) 91
Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988)
92
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm.355.
hlm.97
42
pemerintah Orde Baru memberikan ruang lingkup seluas-luasnya kepada etnis Tionghoa dalam aspek ekonomi.93 Kebijakan ini merupakan keputusan yang dibuat pada seminar Angkatan Darat yang diselenggarakan di Bandung tahun 1966, dimana ditetapkan bahwa Etnis Tionghoa muslim maupun non muslim harus dicegah masuk ke bidang lain terutama pada bidang politik. Selain Peraturan Presiden No.10/1967, Orde baru juga mengeluarkan kebijakan lain terkait situasi ekonomi yang akhirnya menguntungkan etnis Tionghoa, antara lain, TAP No. XXIII/MPRS/1966, Undangundang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negri (UUPMDN).94Dalam UUPMA pada pasal 10 dan UUPMDN pasal 15 disebutkan: “Modal yang ditanam dalam usaha-usaha yang dimaksud akan dibebaskan dari pengenaan pajak kekayaan.” 95 Dengan adanya UUPMA dan UUPMDN pemerintah Orde Baru memberikan berbagai kemudahan dan perlakuan istimewa terhadap investor asing, khususnya pengusaha etnis Tionghoa berkewarganegaraan Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang memiliki dan akhirnya menanamkan modal yang besar di Indonesia. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Orde Baru terkait masalah ekonomi tidak lepas dari situasi ekonomi yang sangat tidak stabil pada masa itu. Sebagai gambaran, sejak 1965 harga-harga pada umumnya naik lebih dari 500%,
93
I Wibowo, Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, (Jakarta: Gramedia, 1999)
hlm.72. 94
Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina, (Jakarta: Djambatan,2000), hlm.31. Lihat lampiran Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negri. 95
43
keadaan semakin memburuk pada bulan Januari hingga Maret 1966. 96 Dalam catatan Fujitsu Research di Tokyo yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di-6 negara berkembang di Asia pada rentang 1980-1990, digambarkan bahwa perusahaanperusahaan tersebut mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa perantauan. Sebagai contoh di Thailand sebanyak 81% perusahaan dikelola atau dimiliki oleh etnis Tionghoa, di Singapura 81%, dan di Indonesia sendiri 73% nya didominasi etnis Tionghoa.97 Gambaran diatas membuktikan besarnya pengaruh dan peran ekonomi etnis Tionghoa dalam perekonomian di Indonesia bahkan Asia, yang akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat akibat kesenjangan yang semakin jauh anatar etnis Tionghoa muslim maupun yang non muslim dengan masyarakat pribumi. Selain dari aspek ekonomi, dampak lain dari kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa adalah di sektor sosial dan budaya. Kebijakan pertama yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru terkait masalah sosial dan budaya adalah dikeluarkannya Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama untuk etnis Tionghoa agar bersedia mengubah nama mereka dengan nama Indonesia.98 Sebagai contoh nama Tionghoa yang berubah menjadi nama khas Indonesia adalah Lim Sek Nio menjadi Nurhalim, Hauw Eng Hoa menjadi
96
Yahya A Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990) hlm.51 97 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembanguan Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1999) hlm.68 98 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm. 343.
44
Walitimena Hawardinata, dan Tee Bian Swie menjadi Tedjakusumah.99 Melalui kebijakan tersebut pemerintah memutuskan agar prosedur penggantian nama dipermudah
prosesnya.
Sebelumnya
pada
1961
Presiden
Soekarno
telah
mengumumkan kebijakan serupa akan tetapi belum terlaksanakan. Kebijakan selanjutnya adalah Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China. Dalam instruksi ini disebutkan: “pelaksanaan peribadatan, perayaan-perayaan pesta agama, dan adat istiadat cina dilakukan secara tidak mencolok didepan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”100 Kebijakan-kebijakan diatas merupakan upaya yang lakukan pemerintah Orde Baru agar terwujudnya asimilasi total kepada etnis Tionghoa, namun dalam perjalanannya upaya tersebut tidak berpengaruh signifikan. Ini bisa dilihat dari sikap pemerintah yang ternyata masih membedakan status warga negara berdasarkan keturunan. Sebagai contoh, Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk etnis Tionghoa diberikan tanda atau kode khusus yang khas. Tanda atau kode khusus di ktp ini juga berlaku untuk etnis Tionghoa yang sudah menjadi seorang muslim. 101 Meskipun dampak dari semua kebijakan pemerintah Orde Baru untuk etnis Tionghoa termasuk muslim Tionghoa lebih banyak mempersempit ruang lingkup mereka, namun disisi
99
Sinar Harapan, Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Raya, Rabu 24 Mei 1967. Lampiran, Inpres No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
100
China. 101
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994), hlm.212.
45
lain dalam kenyataan kehidupan sosial di Jakarta etnis Tionghoa yang sudah menjadi muslim dalam lebih mudah diterima dan beradaptasi dengan pribumi. B.2 Fasilitas Dakwah Muslim Tionghoa Jakarta Sejak masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru, etnis Tionghoa kurang mendapatkan informasi mengenai Islam akibat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan masing-masing pemerintahan saat itu. Oleh sebab itu tidak mudah bagi seorang keturunan Tionghoa untuk memeluk agama Islam, sehingga didirikanlah sebuah masjid dikawasan Pecinan Pasar Baru Jakarta Pusat bernama Masjid Lautze yang bertujuan sebagai sarana dakwah untuk kalangan Etnis Tionghoa di Jakarta. Masjid Lautze merupakan bagian dari yayasan bernama Yayasan Haji Karim Oei. Dengan nama “Lautze” dan adanya kata “Oei” pada Papan nama yang terpampang didepan Masjid atau yayasan ini juga mempunyai daya tarik tersendiri karena adanya identitas Tionghoa didalamnya. Nama masjid ini diambil dari nama jalan dimana masjid ini berada, yaitu jalan Lautze No.88-89 Pasar Baru, Jakarta Puat. Selain diambil dari nama jalan, Lautze sendiri merupakan seorang nabi bernama Lao Tze yang menyebarkan agama Taoisme di negri Tirai Bambu. Menurut Buya Hamka, Lao Tze mengajarkan bahwa “Tuhan itu adalah satu yang tidak dapat diraba, tidak berbentuk tetapi ada”. 102 Ajaran tersebut identik dengan ajaran Tauhid pada Islam, sehingga nama Lautze dianggap tepat untuk mengimplementasikan visi misi yang akan dijalankan Yayasan Haji Karim Oei sebagai pengelola Majis Lautze ini. 102
Junus Jahja, 10 Tahun Masid Lautze, (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 2001), hlm.3.
46
Lokasi berdirinya masjid yang juga bagian dari Yayasan Haji Karim Oei ini cukup strategis, berjarak kurang dari satu kilometer ke jalan Gunung Sahari Raya yang merupakan salah satu jalan utama di Jakarta, serta sangat dekat dengan stasiun kereta Comuter Line Sawah Besar yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki, sehingga memudahkan bagi orang-orang yang ingin menuju yayasan ini dari berbagai sudut kota Jakarta. Tidak hanya strategis berdasarkan letak geografis namun pemilihan letak berdirinya masjid dan yayasan ini juga strategis secara sosial keagamaan, dimana terletak di salah satu kawasan pecinan Jakarta. Ini bisa dilihat dari tak kurang dari lima buah kelenteng yang ada di lingkungan sekitar masjid ini. Klenteng pertama yang terletak bedekatan dengan jalan Lautze menuju jalan Kartini adalah Vihara Venuvana. klenteng selanjutnya bernama Vihara Tunggal Dharma, Vihara Tri Ratna dan tepat di depannya terdapat Vihara Graha Laotze, lalu yang terakhir adalah Vihara Buddhayana. Dengan demikian, ditemukannya beberapa klenteng atau Vihara yang berdekatan dengan Yayasan Haji Karim Oei atau masjid Lautze menggambarkan bahwa lokasi sekitar yayasan merupakan tempat pemukiman warga etnis Tionghoa yang banyak menganut agama Buddha.103 Selain Klenteng yang merupakan salah satu ciri kawasan pecinan, dikawasan ini juga terdapat banyak Sinshe atau pengobatan tradisional Cina yang telah membuka praktek bahkan sejak puluhan taun lalu, hal ini yang seringkali kita ditemui di sekitan daerah pecinan, ini adalah salah satu dari sekian banyak cirikhas kawasan pecinan.
103
Nurarni Widiastuti, Penggunaan dan Pengakuan Indentitas Islam pada Masyarakat Cina Muslim, (Depok: Tesis FISIP UI, 2009) hlm. 25
47
Oleh sebab itu, masjid yang juga menjadi bagian dari Yayasan Haji Karim Oei ini bertujuan sebagai pusat informasi Islam yang sasarannya adalah para warga etnis Tionghoa pada akhirnya didirikan di kawasan Sawah Besar agar memudahkan warga Cina yang ingin belajar tentang Islam karena lokasinya yang berada di tengah-tengah daerah pecinan di Jakarta. Masjid Lautze Jakarta berada di bagian lantai 1 dan 2 gedung yayasan yang menempati dua blok Ruko yang disatukan berukuran 15x20 meter, tanpa bedug, tanpa kubah, dan tanpa menara yang menjadi ciri khas masjid pada umumnya. Masjid Lautze Jakarta memiliki ciri tersendiri, ornamen-ornamen khas Tiongoa tampak dominan pada eksterior maupun interior masjid ini. Bagian depan bangunan masjid terkesan sangat oriental, ini bisa dilihat dari konsep pintu yang dibuat serupa layaknya pintu yang ada pada sebuah kelenteng atau Vihara.
Gambar 1: Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum dan sesudah direnovasi (Sumber: Arsip Yayasan Haji Karim Oei dan dokumentasi pribadi)
48
Didalam masjid ini setiap sudutnya terdapat kaligrafi Arab-Cina yang cukup menarik perhatian. Kaligrafi tersebut bertuliskan huruf Arab dengan percampuran seni antara Arab dan Cina. Semua kaligrafi Arab-Cina yang ada di Yayasan Hji Karim Oei ini hanya menonjolkan hasil sapuan kuas dengan tinta hitam pada selembar kain putih yang bingkai kayu berwarna merah, tidak banyak menonjolkan detail dan variasi seperti halnya kaligrafi Arab pada umumnya, pada kaligrafi ini hanya menonjolkan hasil sapuan kuas dengan tinta hitam pada selembar kain putih yang bingkai kayu berwarna merah.
Gambar 2: Kaligrafi yang dipasang di belakang mimbar Masjid, Percampuran antara seni Arab dan Cina (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Masjid ini didominasi warna merah dan kuning, serta diberikannya dekorasi seperti lampion-lampion pada bagian depan dan beberapa bagian dalam Masjid. Corak ornamen dan dekorasi yang tak jauh beda dengan Klenteng atau Vihara ini
49
memang sengaja dibuat oleh pihak Yayasan Haji Karim Oei selaku pengelola Masjid Lautze Jakarta. Hal ini dibuat agar para muallaf atau etnis Tionghoa yang ingin belajar Islam dan datang ke masjid atau yayasan ini tidak merasa canggung dan agar lebih dekat dengan kebudayaan mereka. Masjid Lautze sendiri menempati dua dari empat lantai bangunan ruko Yayasan Haji Karim Oei. Lantai satu dan dua dipergunakan untuk kegiatan sholat khususnya sholat Jum’at, karena setiap hari Jum’at Masjid Lautze selalu dipenuhi jamaah yang berasal dari warga sekitar maupun mualaf Tionghoa. Dikarenakan lokasi berdirinya Masjid Lautze ini berada dipusat bisnis serta para jamaah didominasi oleh pelaku bisnis, maka Masjid Lautze Jakarta tidak buka untuk melayani jamaah disetiap waktu sholat. Masjid yang juga Yayasan ini hanya pada waktu kerja saja, sehingga hanya dua sholat fardu yang dilaksanakan dimasjid ini yaitu sholat Dzuhur dan Ashar serta sholat Jum’at disetiap hari Jum’at. Khusus untuk bulan Ramadhan Masjid Lautze memiliki Jadwal tersendiri dalam menyelenggarakan sholat tarawih, serta buka puasa bersama yang dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu dihari sabtu tiap bulan Ramadhan.104 Ini dimaksudkan agar jamaah yang berasal dari kota-kota penyangga Ibu Kota seperti, Depok, Tanggerang, Bekasi dan juga Bogor bisa ikut berkumpul, karena cukup banyak jumlah jamaah Masjid Lautze dari kota-kota tersebut.
104
Harian Kompas, Nama dan Peristiwa, Selasa 28 November 1995
50
B.3 Tokoh Muslim Tionghoa Karim Oei atau yang yang dikenal juga dengan nama Haji Abdul Karim Oei, lahir pada 6 Juni 1905 di Padang Panjang dengan nama asli Oei Tjeng Hien. Beliau masuk Islam pada 1926, sesuatu yang sangat langka pada saat itu melihat etnis Tionghoa memeluk agama Islam, sehingga keberadaan Karim Oei menjadi sorotan masyarakat baik dari kalangan pribumi maupun etnis Tionghoa itu sendiri. 105 Keputusan Karim Oei untuk menjadi seorang muslim mendapat banyak sekali cemoohan dari kalangan etnis Tionghoa. Hal ini dikarenakan bagi orang Tionghoa siapapun yang menjadi Muslim dianggap akan turun derajat sosialnya di mata seluruh etnis Tionghoa yang masih memegang teguh ajaran agama atau keyakinan dari para leluhur mereka. Selain itu, orang Tionghoa yang menjadi muslim dianggap oleh orang Tionghoa lainnya sebagai inlander,106 di mana pada saat itu merupakan kedudukan tingkat terendah dalam strata sosial di masyarakat pada masa itu. Tetapi, bagi mereka (Tionghoa yang menjadi muslim) terutama yang berpendirian teguh seperti Karim Oei tidak merisaukan permasalahan tersebut. Bahkan Karim Oei merasa bersyukur dengan dirinya menjadi seorang Muslim maka beliau dapat menyatu dengan masyarakat luas terutama pribumi yang mayoritasnya adalah penganut agama Islam.
105
H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, (Jakarta: Gunung Agung, 1982) hlm.4 106 Inlander merupakan sebutan mengejek oleh orang Belanda untuk masyarakat asli Indonesia (pribumi) pada masa penjajahan Belanda. http://kbbi.co.id diaskes pada 15 Juli 2016.
51
Karim Oei merupakan lulusan dari Holland Chinesche School, SD tujuh tahun dengan bahasa Belanda untuk keturunan Tionghoa pada masa itu. Pada awal 1926 Karim Oei merantau ke Bintuhan (Bengkulu) dan berdagang hasil bumi, dan pada tahun tersebut juga beliau mememutuskan untuk memeluk agama Islam. 107 Dengan masuknnya Karim Oei sebagai penganut agama Islam, maka Oei juga disebut sebagai seorang saudara baru oleh sebagian besar masyarakat pribumi. Dengan pergaulan sejak muda di lingkungan Islam, beliau berkesempatan berkenalan dengan para tokoh pergerakan nasional, diantaranya adalah Buya Hamka dan Bung Karno. Awal perkenalan Karim Oei dengan Buya Hamka terjadi ketika Oei aktif di Muhammadiyah dan menjadi Konsul Muhammadiyah di Bengkulu. Beliau juga dikenal sebagai sahabat karib Bung Karno yang dikenalnya ketika Bung Karno di Buang ke Bengkulu oleh pemerintah Belanda pada saat itu. Persahabatan Karim Oei dengan Bung Karno sangat berpengaruh terhadap kehidupan Karim Oei itu sendiri, disamping ia menjadi muslim yang dikenal sangat taat ia pun menjadi seorang nasionalis sejati. Semasa kependudukan Jepang ia diangkat menjadi Dewan Penasehat Jepang (Chuo Sangi Kai). Pada masa kemerdekaan ia diangkat sebagai KNI Bengkulu dan sebagai anggota DPR mewakili golongan minoritas. 108
107 108
H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, hlm.4. H. Abdul Karim Oei (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, hlm. 84.
52
Gambar 3: Buya Hamka, Karim Oei, Soekarno (Sumber: Arsip YHKO)
Haji Abdulkarim Oei juga sebagai businessmen yang sukses. Dalam dunia bisnis ia dikenal sebagai seorang yang ulet dan memegang jabatan penting di berbagai perusahaan, antara lain, Komisaris Utama Bank Cental Asia (BCA), Direktur Utama Asuransi Central Asia, Direktur PT. Mega, Direktur Utama Pabrik Kaos Aseli 777, dan Direktur Utama Sumber Bengawan Mas.109 Beliau juga pernah menjadi anggota DPR antara 1956-1959 yang mewakili minoritas Tionghoa. Kemudian ia juga aktif dalam pasrtai Masyumi dan menjadi ketua partai setelah Juli 1959, serta menjadi anggota Konstituante. Dalam hal dakwah Islam beliau aktif di Muhammadiyah dan menjadi salah seorang pendiri organisasi dakwah Islam untuk kalangan etnis Tionghoa yaitu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang 109
Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991) hlm.43
53
didirikan pada 1961. Organisasi ini merupakan gabungan dari dua organisasi yaitu Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Islam yang sudah berdiri terlebih dahulu. Dalam perkembangannya yang disebabkan situasi politik pada era Orde Baru, PITI berubah nama menjadi Pembina Iman Tuhid Islam. Beliau juga pernah menjadi anggota
Majelis
Ulama
Indonesia
(MUI)
dan
pimpinan
Harian
Panitia
Penyelenggaraan Pembangunan Masjid Istiqlal pada1967-1974. Tidak hanya menjadi salah satu tokoh pembauran untuk masyarakat luas, Oei juga menerapkan konsep pembauran di lingkungan keluarganya. Putrinya yang bernama Tjioe Nio menikah dengan seorang dokter asal Indonesia asli (Pribumi). Putrinya yang kedua Eng Lie (Iriani) menikah dengan Ir. Macyar Helmy Nasution, putra dari Mubaligh Kenamaan Yunan Helmy Nasution.110
Gambar 4: H. Abdul Karim Oei
Haji Abdul Karim Oei (Sumber: Arsip Yayasan Haji Karim Oei)
110
Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, hlm.44
54
Karim Oei atau Haji Abdul Karim Oei meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 14 Oktober 1988 di usia 83 tahun yang disebabkan penyakit komplikasi. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta Selatan berdekatan dengan makammendiang isterinya Maimunah Mukhtar yang meninggal empat tahun lebih dulu yaitu pada 1984.111 Penggunaan nama Haji Abdul Karim Oei sebagai nama sebuah yayasan yang berkonsentrasi untuk memberikan informasi tentang Islam kepada etnis Tiongoa dan sebagai wadah dakwah untuk etnis Tionghoa di Jakarta mempunyai daya tarik tersendiri.112 Adanya kata “OEI” yang merupakan nama salah satu marga Tionghoa pada nama yayasan tersebut menarik perhatian etnis Tionghoa yang memang banyak bermukim disekitar gedung berdirinya yayasan ini, sehingga banyak etnis Tionghoa yang tidak segan untuk bertanya mengenai Islam dan pada akhirnya cukup banyak yang memeluk agama Islam melalui Yayasan Haji Karim Oei.
111 112
Junus Jahja, Non-Pri Di Mata Pribumi, hlm.44. Republika, Orang Cina yang Muslim dianggap pribumi, Jum’at 3 mei 1996.
BAB III SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN HAJI KARIM OEI (YHKO) A. Sejarah Berdirinya Yayasan Haji Karim Oei Untuk merepson dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pembauran atara masyarakat Etnis Tionghoa dengan pribumi, maka pada tanggal 9 April 1991 didirikan Yayasan Haji Karim Oei atau biasa disebut dengan YHKO dihadapan notaris Azhar Alia, SH. No. 49/1991, dengan tujuan utama didirikannya yayasan ini adalah untuk meningkatkan dakwah Islam dan sebagai pusat informasi Islam khususnya ke kalangan etnis Tionghoa. Nama yayasan ini sendiri diambil dari nama seorang tokoh keturunan Tionghoa yang dikenal sebagai perintis dakwah Islam di kalangan etnis Tionghoa dan juga pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu pada 1937-1942. Ia adalah Haji Abdulkarim Oei atau biasa disebut dengan Karim Oei dengan nama Tionghoa Oei Tjeng Hien. Selain seorang pendakwah ia juga seorang pengusaha yang sukses dan berkawan akrab dengan Bung Karno, Buya Hamka dan tokoh-tokoh nasional yang lainnya. Karim Oei meninggal dunia pada 1988 di usianya yang ke-83 tahun. Menutut Junus Jahja, Karim Oei adalah seorang Muslim yang taat, businessman yang sukses dan nasionalis sejati. Selain tujuan utama yayasan ini adalah untuk meningkatkan dakwah Islam ke kalangan Etnis Tionghoa, yayasan ini juga didirikan
55
56
sebagai tanda penghormatan dan untuk mengenang sosok Karim Oei dengan segala kontribusinya kepada negara.113 Pembentukan yayasan ini merupakan gagasan dari tokoh pembauran yaitu Junus Jahja, serta organisasi Islam anatara lain, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Al-Wasliyah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Muslim keturunan Cina.114 Dengan didirikannya yayasan ini mereka ingin kembali meneruskan kiprah yang telah dilakukan oleh Karim Oei semasa Hidupnya, dan berharap akan muncul Karim OeiKarim Oei berikutnya di Indonesia. Pada mulanya, tempat dimana Yayasan Haji Karim Oei berdiri di jalan Lautze No.88-89 yang sekarang digunakan sebagai Islamic Center untuk etnis Tionghoa dan sebuah Masjid adalah gedung sewaan, dan hanya satu gedung yang disewa oleh yayasan tersebut yaitu gedung bernomor 88. Seiring berjalannya waktu pemilik gedung menawarkan pihak yayasan untuk membeli gedung tersebut seharga ini 200 juta Rupiah. Namun pada saat itu pihak yayasan tidak memiliki dana yang cukup, sehigga Lukman Harun dan Junus Jahja sebagai salah seorang pendiri yayasan berinisiatif mengirim surat kepada Presiden Soeharto perihal meminta dana untuk membeli gedung tersebut. Menanggapi surat yang dikirimkan oleh yayasan, kemudian pada 19 September 1992 Presiden Soeharto melalui BJ Habibie yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia 113
Junus Jahja, Muslim Tionghoa, Kumpulan Karangan. (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 1996), hlm. 69. 114 Junus Jahja, Muslim Tionghoa: Kumpulan Karangan. hlm. 69.
57
(ICMI) dan Menristek untuk membeli gedung tersebut atasa nama Yayasan Abdi Bangsa. Tak lama berselang gedung di sebelah yayasan juga ingin dijual oleh pemiliknya, lalu Yayasan Bina Pembangunan yang didirikan sejumlah ulama dan kawan-kawan Departemen Keuagan membeli gedung yang ditawarkan tersebut. Selanjutnya kedua yayasan yang telah memiliki gedung tersebut secara ikhlas mempercayakan pengelolaan dan penggunaan gedungnya kepada Yayasan Haji Karim Oei untuk kegiatan dakwah sesuai dengan misi dan tujuan YHKO ini. Dan pada 4 Februari 1994 diresmikanlah tempat pemakaian gedung Yayasan Haji Karim Oei sekaligus Masjid Lautze oleh Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie.115 Sebagaimana organisasi atau lembaga pada umumnya, Yayasan Haji Karim Oei juga memiliki Visi dan Misi. Visi tersebut antara lain116 : 1. “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-lakidan perempuandan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Qur’an surat AL-Hujuraat ayat 13). 2. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat.” (Al-Qur’an surat AlHujuraat ayat 10).
115 116
Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016). Berdasarkan buletin yang dibagikan secara gratis oleh Yayasan Haji Karim Oei.
58
3. “Orang yang benar-benar Muslim atus cinta tanah air dan cinta pribumi.” (H. Abdul Karim Oei dalam Tempo, 23 Februari 1973). Sesuai dengan kutipan di atas, pada dasarnya visi Yayasan Haji Karim Oei adalah untuk mewujudkan pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi.117 Visi tersebut bertolak dari adanya kesenjangan antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang sudah berlangsung sangat lama yang disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari politik pecah belah hingga faktor ekonomi. Riwayat dan pengalaman hidup Karim Oei juga menjadi landasan utama dalam mewujudkan pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Menurut Ali Karim, pembauran melalui agama Islam adalah cara yang terbaik. Karena didalam Islam tidak ada perbedaan antar ras atau pun status sosial seorang manusia, yang membedakan manusia dengan yang lainnya hanya ketakwaannya.
Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Junus Jahja yang menegaskan bahwa etnis Tionghoa Muslim akan lebih mudah membaur dan diterima oleh pribumi sepenuhnya. Menurut Junus Jahja, masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia akan teratasi jika etnis Tionghoa berbaur dengan memeluk agama mayoritas di Indonesia yaitu Islam. Hal serupa juga terjadi di Thailand dan Filipina, proses pembauran di kedua negara tersebut lebih mudah karena etnis Tionghoa memeluk agama mayoritas disana. Etnis Tionghoa di Thailand memeluk agama Budha,
117
Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016).
59
sedangkan di Filipina memeluk agama Katolik.118 Oleh karena itu, Yayasan Haji Karim Oei menganggap agama Islam memiliki peran penting untuk menjalankan Visi tersebut. Lalu, misi Yayasan Haji Karim Oei menciptakan karakter Muslim Tionghoa sebagai seorang Muslim yang taat, nasionalis, dan juga menjadi pengusaha yang sukses ( 3 in 1 ).119Menurut Ali Karim, seorang Muslim harus menjadi Muslim yang taat menjalani kewajiban dalam beragama serta memiliki jiwa nasionalis dan bisa membuktikan kepada khalayak luas bahwa Muslim adalah orang-orang yang sukses jika tidak ingin di pandang sebelah mata oleh orang lain yang non-muslim. Beliau juga menambahkan bahwa sebagai seorang muslim Tionghoa harus memiliki rasa nasionalis yang tinggi sebagai bagian dari warga Indonesia, sehingga pembauran yang selama ini dicita-citakan oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini dapat terwujud. Faktor lain yang menjadi pendorong berdirinya yayasan ini adalah kurang aktifnya PITI dalam upaya dakwah ke etnis Tionghoa khususnya di Jakarta. Seperti penjelasan pak Ali Karim sebagai Ketua Umum yayasan ini menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Jakarta sangat sulit mendapatkan informasi tentang Islam dikarenakan salah satu wadah dakwah muslim Tionghoa pada masa itu yaitu PITI tidak memiliki kantor yang tetap dan selalu berpindah bila ada kepengurusan yang baru, sehingga menyulitkan bilamana ada etnis Tionghoa di Jakarta yang ingin mendapatkan informasi tetang Islam yang sebenarnya.
118 119
Junus Jahja, Islam Dimata WNI, (Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei), hlm.16. Wawancara Pribadi dengan Bapak HM. Ali Karim, SH., (Jakarta, 2 Juli 2016).
60
B. Struktur Kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei Periode kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei tidak memiliki jangka waktu tertentu dalam struktur kepegurusannya. Pergantian kepengurusan akan dilakukan jika pengurus ada yang meniggal dunia, mengundurkan diri, atau dengan hasil rapat tahuan yang rutin dilaksanakan yayasan tiap tahunnya.Pengesahan susunan kepengurusan akan dirapatkan dan dilakukan di depan notarisyang kemudian akan di tandatangani oleh orang-orang yang bersangkutan dalam hal tersebut. Perihal komposisi etnis dalam struktur kepengurusan di yayasan ini menurut pak Ali Karim tidak ada etnis yang dominan antara pengurus dari kalangan pribumi maupun etnis Tionghoa adalah seimbang. Hal ini menegaskan bahwa yayasan ini bukanlah suatu perkumpulan dari satu gologan, tapi sebuah wadah dakwah yang berkonsetrasi melakukan dakwahnya ke kalangan etnis Tioghoa. Selama periode 1991-1998 tercatat kurang lebihnya tiga kali pergantian kepengurusan, namun dalam hal ini bukan berganti orang namun berganti posisi dengan orang yang sama. Berikutsususnan pengurus Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) berdasarkan Akta Notaris No.49-09-04-1991, Notaris Azhar Alia, SH. Sebagai berikut:120 Dewan Pembina: 1. Prof. DR. Sri Edi Swasono 2. K.H. Ali Yafie 3. H. Sofyan S.Tanjdjoeng 4. H. Yunan Helmi Nasution, SH 5. Drs. H. Lukman Harun 6. Fahmi Idris 120
Lihat Arsip YHKO Akta No. 49, Notaris H. Azhar Alia, SH. 9 Maret 1991.
61
7. M.D. Rachman 8. Drs. H. Junus Jahja 9. Muhammad Amid Badan Pengurus: Ketua Umum Ketua I Ketua II Ketua III Sekretaris Umum Sekretaris I Sekretaris Bendahara Umum Bendahara II
: : : : : : : : :
H.M Ali Karim, SH Drs. Fairus Lubis H. Ahmad Gozali Katianda Endang Suhendi Bambang Wiwoho M. Ridwan H.R. Sudrajat Brotokuntjoro H. Suria, S.E H.M. Syarief Tanujaya, S.H
Pada pernyataan keputusan rapat YHKO akta Notaris No.4 tanggal 15 Oktober 1993, Notaris Mintarsih Natamihardja, S.H. Ada penambahan komposisi dalam kepengurusan yaitu dengan masuknya H. Azroel Haroen sebagai bendahara umum. Sehingga komposisi kepengurusan sebagai berikut:121 Dewan Pembina: Ketua : Prof. DR. Sri Edi Swasono Sekretaris : Drs. H. Junus Jahja
1. 2. 3. 4. 5.
Anggota-anggota: K.H. Ali Yafie H. Sofyan Tandjoeng H. Yunan Helmi Nasution, SH. Drs. H. Fahmi Idris H. M. D. Rachman
Badan Pegurus: Ketua Umum Wakil Ketua Umum Ketua I Ketua II Ketua III Sekretaris Umum 121
: : : : : :
Drs. H. Lukman Harun H. M. Ali Karim, SH. Drs. Fairus Lubis H. Ahmad Gozali Katianda, SH. H. Endang Suhendi Bambang Wiwoho
Lihat Arsip YHKO Akta No. 4 Notaris Mintarsih Natamihardja, SH. 15 Oktober 1993.
62
Sekretaris I Sekretaris Bendahara Umum Bendahara I Bendahara II
: : : : :
M. Ridwan Ir. Lubis H.R. Sudrajat Brotokuntjoro H. Azoel Haroen H. Suria, SE. H.M. Syarief Tanujaya, S.H
Pada rapat yang dilaksanakan di tahun 1995, H. Azroel Haroen mengundurkan diri dikarenakan kesibukan, sehingga komposisi kepengurusan kembali berubah dan sususannya pun ikut mengalami perubahan. Berikut adalah hasil rapat YHKO berdasarkan Tambahan Berita Negara RI 18-07-1995 No. 57:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dewan Pembina: Prof. DR. Sri Edi Swasono K.H. Ali Yafie H. Sofyan S. Tandjoeng H. Yunan Helmi Nasution, SH Drs. H. Lukman Harun Fahmi Idris M.D. Rachman Drs. H. Junus Jahja H.M. Amid
Badan Pengurus: Ketua Umum Ketua I Ketua II Ketua III Sekretaris Umum Sekretaris I Sekretaris Bendahara Umum Bendahara II
: : : : : : : : :
H.M. Ali Karim, SH Drs. Fairus Lubis H.A. Gozali Katianda, SH Endang Suhendi Bambang Wiwoho M. Ridwan Ir. Lubis H.R. Sudrajat Brotokuntjoro H. Suria, SE H. Syarief Tanujaya
Komposisi pengurus diatas berlaku hingga 1999, dan pada Juli 1999 ada beberapa penambahan stuktur kepengurusan sesuai dengan keputusan rapat YHKO. Yaitu adanya Badan Pendiri, Badan Perintis, Badan Penasehat Yayasan, serta Badan
63
Pengurus Yayasan. Pada Januari 2011 struktur kepengurusan dirampingkan sehingga menyisakan Badan Pembina, Badan Pengawas, serta Badan Pengurus. Struktur kepengurusan tersebut berlaku hingga saat ini. Walaupun terjadi beberapa kali perbubahan komposisi pengurus di YHKO, para pengurus sejak awal mendirikan yayasan tetap konsisten memfokuskan kegiatan dan tujuan yayasan sebagai pusat informasi Islam untuk etnis Tionghoa.
BAB IV PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIM TIONGHOA DI JAKARTA
A. Aktifitas dan Kegiatan Yayasan Haji Karim Oei Yayasan Haji Karim Oei dalam peranannya pada upaya berdakwah kekalangan etnis Tionghoa tidak lepas dari berbagai macam aktifitas dan kegiatan. Aktifitas ini bertujuan mengenalkan berbagai kegiatan kerohanian yang dilakukan umat muslim sebagai pembelajaran untuk muallaf maupun etnis Tionghoa yang ingin mengenal Islam lebih dalam. Adapun aktifitas dan kegiatan yang dilaksanakan Yayasan Haji Karim Oei sebagai berikut: A.1 Pengajian Mingguan Kegiatan pengajian mingguan ini diadakan setiap hari Minggu yang dimulai dari pukul 10.00 WIB hingga waktu Ashar tiba atau sektitar pukul 15.00 WIB. Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat muslim baik dari kalangan etnis Tionghoa maupun pribumi. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di sekitar yayasan saja yang datang pada pengajian mingguan tersebut, melainkan banyak pula jama’ah yang datang dari berbagai daerah seperti Depok, Tanggerang, Bekasi bahkan Bandung. Pengajian ini diselenggarakan pada hari minggu karena pada hari minggu para etnis Tionghoa yang ingin belajar tentang Islam libur dari rutinitas kerja mereka dan sebagian besar dari mereka biasanya hanya memiliki waktu luang di hari minggu. Selain itu, karena sebagian besar dari mereka adalah muallaf di mana di dalam
64
65
keluarganya lebih banyak non-muslim, yang pada hari minggu seluruh keluarga pergi meninggalkan rumah untuk beribadah. Sehingga untuk mengisi kekosongan waktu bagi para muallaf tersebut, maka diadakanlah pengajian di hari minggu secara rutin. “Hari minggu itu sebagian besar keluarganya pergi sembahyang, dan akhirnya dia (muallaf) sendiri dirumah. Makanya kita adakan pengajian setiap hari minggu, selain ada tausiyah dari para ustad juga ada acara makan-makan selepas pengajian. Walaupun dengan lauk seadanya yang penting bisa bikin para muallaf bisa berbaur”, tutur pak Ali Karim. Dalam pegajian mingguan ini YHKO menyiapkan empat penceramah yang akan bergantian mengisi tausiyah pada tiap minggunya. Diantaranya adalah Ustz. Yaya Ummayah yang mengisi tausiyah pada minggu pertama, H. Pepen Efendi pada minggu kedua, Hj. Lea pada minggu ketiga, dan H. Mubin yang mengisi tausiyah pada minggu terakhir ditiap bulannya. Tema tausiyah yang dibawakan para penceramah selain tetang tauhid dan fiqih, penceramah pun membawakan tema tentang sosial yang dikaitkan dengan ayat-ayat pada Al-Qur’an. Rangkaian kegiatan pengajian mingguan ini diawali dengan tausiyah yang dimulai dari pukul 10.00 WIB hingga masuk waktu sholat Dzuhur atau sekitar pukul 12.00 WIB, yang dilanjutkan dengan sholat Dzuhur berjamaah. Selepas sholat Dzuhur berjamaah para jamaah YHKO dipersilahkan naik kelantai 3 gedung yayasan untuk mengikuti acara makan siang bersama dengan lauk sederhana yang sebelumnya sudah disiapkan oleh para pengurus yayasan.
66
Gambar 5: Suasana makan bersama yang dilaksanakan setiap hari minggu, terlihat muallaf Tionghoa dengan akrab bercengkrama dengan pribumi. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Setelah kegiatan makan siang bersama selesai, kegiatan selanjutnya adalah pembinaan muallaf. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan bagi para muallaf tentang dasar-dasar agama Islam seperti apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dilakukan dalam agama Islam serta berbagai pengetahuan dasar tentang Islam lainnya. Kegiatan ini juga diisi dengan bimbingan baca Al-qur’an dengan mulai mempelajari buku Iqra dengan Ustadz Suhaimi dan ibu Ana sebagai pembimbingnya. Dengan adanya kegiatan tausiyah dan pembinaan muallaf yang dilakukan oleh para ustadz sehingga menambah pengetahuan para muallaf tentang agama Islam dikegiatan pengajian mingguan ini. Selain itu adanya acara makan bersama selepas tausiyah membuat para muallaf dari kalangan etnis Tionghoa dapat berbaur dengan
67
jamaah muslim yang lain yang ada di yayasan sehingga proses pembauran yang selama ini dicita-citakan dapat terwujud. A.2 Bimbingan baca Al-Qur’an Kegiatan ini dilaksanakan setiap harinya pada jam 10.00-16.00 WIB. Tempat pelaksanaan bimbingan baca Al-Qur’an ini dilaksanakan di latai 1 atau 2 yayasan Haji Karim Oei yang juga berfungsi sebagai masjid. Kegiatan bimbingan baca AlQur’an di yayasan ini mayoritas diikuti oleh para muallaf, walaupun tidak sedikit pula masyarakat sekitar yang mengikuti kegiatan ini. Jumlah peserta bimbingan memang tidak dapat dipastikan, namun ada saja yang ingin belajar membaca AlQur’an setiap harinya. Namun jumlahnya cukup banyak di hari minggu ketika kegiatan pengajian mingguan diadakan. Metode yang digunakan adalah metode Iqra, dengan Ustadz Suhaimi dan Ibu Ana sebagai pembimbing yang selalu siap setiap saat bila ada jamaah atau muallaf yang ingin belajar membaca Al-Qur’an di yayasan ini. YHKO juga menerima permintaan bimbingan baca Al-Qur’an di luar yayasan jika diperlukan oleh jamaah atau muallaf. Kegiatan bimbingan baca Al-Qur’an ini merupakan tindak nyata yayasan untuk merefleksikan salah satu misi yayasan yaitu menciptakan muallaf yang taat dapat terwujud, sehingga para etnis Tionghoa yang di muallafkan di yayasan ini menjadi seorang muslim yang taat dan berkualitas.
68
A.3 Bimbingan Shalat Kegiatan bimbingan kepada para Muallaf ataupun jama’ah YHKO tentang tata cara shalat yang baik dan benar, seperti diajarkan tentang tata cara berwudhu, bacaan-bacaan dalam shalat, rukun shalat dan syarat-syarat sahnya shalat dll. Bimbingan ini dilaksanakan setiap hari pukul 10.00-16.00 WIB, biasanya kegiatan ini dilakukan di lantai 2 masjid Lautze dibawah bimbingan ustadz Suhaimi dan ibu Erna Rabiah. Dalam bimbingan ini hal pertama yang diajarkan adalah tentang praktek gerakan dalam shalat, setelah itu diajarkan bacaan-bacaan dalam shalat terutama yang menjadi rukun shalat. Menurut Ustadz Suhaimi, ia mengajarkan para muallaf tentang tata cara shalat ini dengan cara pantonim, yaitu melalui gerakan-gerakan, lalu jika para mualaf sudah mulai mengerti tentang gerakan-gerakan dalam shalat maka proses selanjutnya adalah menajarkan bacaan-bacaan dalam shalat.
Gambar 6: Seorang muallaf yang baru saja bersyahadat sedang belajar gerakan-gerakan sholat bersama muallaf lainnya di bawah pengawasan atau bimbingan Ustadz Suhaimi. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
69
Melalui kegiatan ini pengurus yayasan berharap agar para muallaf dapat melaksanakan kewajiban shalat dengan baik dan sempurna, serta menambah kekhusukan dalam melakukan ibadah shalat. A.4 Konsultasi Agama Islam Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi informasi tentang agama Islam, baik mengenai aqidah, akhlak, sejarah Islam, Ibadah dan lain sebagainya. Konsultasi agama Islam ini dilaksanakan setiap hari pukul 10.00-16.00 WIB. Dengan ustadz Suhaimi dan bapak Yusman Iriansyah, SE yang juga merupakan keturunan Tionghoa sebagai konsultan dalam kegiatan konsultasi agama ini. Kegiatan ini dilakukan dengan cara datang langsung ke yayasan ataupun melalui telepon, namun lebih banyak yang berkonsultasi dengan cara datang langsung ke yayasan. Peserta konsultasi didominasi oleh mereka yang belum masuk islam dan biasanya ditangani langsung oleh Yusman Iriansyah, karena mayoritas yang datang untuk berkonsultasi adalah warga keturunan Tionghoa dan mereka bertanya dengan bahasa Tionghoa sehingga penempatan pak Yusman sebagai konsultan ini agar etnis Tionghoa yang ingin mendapat informasitentang Islam tidak canggung dan malu bertanya. Materi yang diberikan pada kosultasi ini biasanya informasi tentang Islam yang sebenarnya, syarat-syarat masuk islam dan lain sabagainya. Melalui konsultasi ini bagi kalangan yang belum masuk Islam, mereka mendapatkan informasi yang benar tentang Islam yang selama ini kurang dipahami, dan selanjutnya jika mereka merasa yakin dengan ajaran islam yang didapat dari kegiatan ini mereka langsung menanyakan syarat-syarat menjadi seorang muslim.
70
Dan bagi mereka yang muslim dengan adanya konsultasi agama islam ini dapat memperoleh penjelasan tentang islam. Dengan adanya konsultasi agama diyayasan ini, YHKO telah menjalankan fungsi utama sebagai pusat informasi agama Islam kepada siapapun yang membutuhkannya. Sehingga proses Islamisasi dan upaya pembauran melalui agama yang dilakukan oleh yayasan ini dapat berjalan dengan baik. A.5 Sholat Berjamaah Kegiatan lain yang penting dan wajib dilakukan bagi yayasan yang juga menjadi masjid ini adalah pelaksanaan sholat berjamaah. Dalam pelaksanaan sholat fardu berjamaah di YHKO sehari-harinya hanya ada sholat Dzuhur dan sholat Ashar saja. Ini disebabkan aktifitas etnis Tionghoa ataupun masyarakat pribumi ramai selama jam kerja karena lokasi berdirinya yayasan ini adalah dikawasan hunian dan bisnis Pasar Baru Jakarta. Sehingga Yayasan Haji Karim Oei dan juga Masjid Lautze hanya buka sesuai dengan jam kerja yaitu pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB. Namun pada kesempatan dan waktu-waktu khusus, Masjid Lautze akan buka hingga malam hari. Seperti pada bulan Ramadhan, Masjid Lautze digunakan juga untuk sholat tarawih oleh warga sekitar maupun para jamaah muallaf dari Yayasan Haji Karim Oei. Kegiatan sholat tarawih berjamaah ini hanya dilaksanakan pada hari sabtu setiap minggunya dibulan Ramadhan yang dilanjutkan dengan acara buka bersama. Hal ini dimaksudkan yayasan ingin memudahkan para jama’ah muallaf yang banyak berasal dari berbagai daerah disekitar Jabodetabek agar bisa ikut melaksanakan shalat Tarawih serta buka bersama. Keunikan lainnya pada
71
pelaksanaan shalat Tarawih di masjid Lautze ini adalah imam shalat akan diganti setiap rakaat kedua, dan yang menjadi imam adalah para muallaf dari kalangan etnis Tionghoa. Menurut bapak Yusman hal ini dilakukan untuk melatih para muallaf agar memiliki keberanian dan nantinya akan membuat para muallaf merasa lebih diterima di lingkungan barunya (Islam) ini. A.6 Kegiatan Sosial Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan, Yayasan Haji Karim Oei juga aktif dalam kegiatan-keggiatan sosial dimana yayasan ini membentuk sebuah lembaga yang khusus untuk menangani kegiatan sosial yang akan dilaksanakan oleh yayasan, lembaga ini diberi nama Forum Ukhuwah Karim Oei (FUKO). Lembaga ini aktif dalam melakukan kegiatan sosial serta secara rutin mengadakan hubungan silahturrahmi antar jama’ah yayasan, sebagai contoh: apabila ada salah satu jamaah yang terkena musibah baik itu sakit, korban banjir, bencana alam, dll, maka lembaga ini secara cepat akan memberikan bantuan kepada jama’ah tersebut maupun warga sekitar. FUKO juga sering kali mengadakan kerjasama dengan LSM maupun ormasormas Islam dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Salah satu kegiatan sosial di yayasan ini adalahkegiatan Teras Sehat yang merupakan pelayanan pengobatan gratis untuk para Dhuafa dan masyarakat disekitar Yayasan Haji Karim Oei. Pelayanan pengobatan gratis ini merupakan bentuk kerjasama yayasan dengan Rumah Sehat BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang dilaksanakan sejak 24 Januari 2016. Pelayanan pengobatan ini diadakan seminggu sekali dan dilaksanakan pada setiap
72
hari selasa mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Persyaratan bagi Dhuafa, masyarakat, maupun muallaf yang ingin mengikuti pengobatan gratis ini cukup membawa fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), serta surat keterangan tidakmampu dari RT/RW. Menurut dokter Iqbal sebagai dokter yang menangani para pasien dalam kegiatan tersebut khusus Dhuafa persyaratannya hanya membawa KTP saja. Dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh YHKO muallaf dari etnis Tionghoa juga ikut dalam pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk melatih mereka yang belum terbiasa bersosialisasi dengan masyarakat atau pribumi sehingga dapat berbaur dengan masyarakat. A.7 Pengislaman Pengislaman merupakan hal yang utama bagi Yayasan Haji Karim Oei ini, karena berkenaan dengan visi dan misi yayasan mengenai pembauran dan mengenalkan islam kepada etnis Tionghoa. Pengislaman ini dilaksanakan di lantai 1 yayasan yang juga berfungsi sebagai Masjid Lautze dan di selenggarakan setiap hari. Namun biasanya sering dilakukan pada hari jum’at dan minggu karena pada hari itu yayasan ramai dikunjungi para jamaah yang sholat jum’at ataupun pengajian mingguan di hari minggu, sehingga mereka (para calon muallaf) juga dapat langsung mengikuti atau sekedar melihat tata cara sholat berjamaah. Walaupun demikian, yayasan akan terbuka dan membantu apabila ada calon muallaf yang ingin di Islamkan pada hari selain jum’at dan mingggu, karena disesuaikan dengan waktu luang si calon muallaf itu sendiri.
73
Gambar 7: Proses pengislaman etnis Tionghoa yang dilakukan di Masjid Lautze (lantai satu Yayasan Haji Karim Oei). (Sumber:Dokumentasi Pribadi)
Mengenai jumlah muallaf yang telah diIslamkan, pihak yayasan tidak dapat memastikan berapa jumlah orang-orang yang telah di Islamkan melalui Yayasan Haji Karim Oei sejak awal berdirinya. Ini disebabkan terdapat dua periode pengislaman, periode pertama di 1991-1996 dan periode kedua 1997 hingga sekarang. Pada periode pertama, walaupun banyak warga yang mencari informasi dan berkonsultasi tentang Islam di yayasan ini, namun yayasan seringkali menyarankan kepada para calon muallaf agar melakukan proses pengislaman tersebut di masjid-masjid lain seperti masjid Agung Sunda Kelapa, masjid Istiqlal, dan masjid Al-Azhar. Ini dikarenakan pada periode pertama pihak yayasan tidak mengeluarkan sertifikat pengislaman, sehingga tidak ada pembukuan atau catatan tentang siapa-siapa saja dan berapa jumlah muallaf pada periode pertama ini.
74
“untuk proses pengilsaman, yayasan ini dibagi jadi 2 periode, periode pertama 1991 sampai 1996, yang ke dua dari tahun 1997 sampai sekarang. Di periode pertama banyak yang ingin masuk islam, tapi kita rekomendasikan ke masjid-masjid lain seperti, masjid Sunda Kelapa, Istiqlal, dan AL-Azhar. Karena masjid itu sudah bisa mengeluarkan sertifikat pengislaman sedangkan kita belum.” Tutur pak Ali Karim Tabel 3: Jumlah pengislaman di YHKO tahun 1997- 2000 Tahun Jumlah Muallaf 1997 104 1998 84 1999 50 2000 52 Jumlah 290 (Sumber: Arsip YHKO)
Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat peran penting YHKO dalam perkembangan agama Islam di kalangan Etnis Tionghoa Jakarta. Apabila kita bandingkan dengan tabel pengislaman yang yang tercatat oleh PITI sejak tahun 1968 hingga 1978, organisasi tersebut mampu mengislamkan 119 muallaf Tionghoa sedangkan pada tahun pertama dan kedua dalam pencatatan pengislamannya YHKO telah jauh melampaui pencapaian PITI. Hal ini membuktikan bahwa YHKO telah mampu menjalankan fungsi dan tujuan utamanya yaitu sebagai pusat informasi agama Islam dengan sangat baik dan efektif. B. Metode Dakwah Yayasan Haji Karim Oei Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan atau cara). Dengan demikian kita dapat artikan bahwa
75
metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.122 Sedangkan dakwah dari segi bahasa berasal dari bahasa arab da’wah, yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja da’a (madli), yad’u (mudlari), yang berarti seruan, ajakan, atau panggilan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan dengan suara, kata-kata, maupun perbuatan.123Secara garis besar ada tiga metode dalam berdakwah, yaitu metode Al-Hikmah, metode Al-Mau’idza Al-Hasanah, dan metode Al-Mujadalah.124 Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasari, dakwah Al-Hikmah adalah dakwah menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan guna menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan. Metode selanjutnya adalah metode Al-Mau’idza AlHasanah, menurut Abdul Hamid Al-Bilali, metode Al-Mau’idza Al-Hasanah adalah salah satu metode dalam dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberikan nasehat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik. Karena dalam segi bahasa , mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’dzan‘idzatan yang berarti nasehat, bimbingan pendidian, dan peringatan. Sementara hasanah artinya kebaikan. Sedangkan Al-Mujadalah secara istilah memiliki arti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua belah pihak adanya suasana yang akan melahirkan permusuhan. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, 122
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 242. 123 124
hlm. 71.
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, hlm. 240. Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib Profesional,
76
suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkanpendapat lawan dengan cara memberi argumen-argumen dan bukti yang kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode Al-Mujadalah adalah metode dakwah dengan cara bertukar pendapat secara santun yang tidak melnimbulkan permusuhan dengan menggunakan argumen-argumen yang kuat serta saling mengargai dan menghormati satu sama lain.125 Selain metode dakwah, bentuk dakwah yang biasa digunakan para da’i dalam mensyiarkan agama Islam pun ada beberapa macam. Diantaranya adalah Dakwah BilLisan, Dakwah Bil-Hal, dan Dakwah Bil-Qalam. Dakwah Bil-Lisan adalah dakwah yang dilakukan melalui lisan, yang dilakukan dengan ceramah-ceramah, khutbah, diskusi, nasihat, dan lain-lain.126 Bentuk dakwah ini merupakan cara dakwah yang paling sering digunakan oleh para da’i dalam menjalankan kegiatan dakwahnya kepada masyarakat, baik itu cerama di majelis taklim, khutbah jum’at, ataupun ceramah dipengajian-pengajian. Dakwah dengan cara ini juga dipakai oleh Yayasan Haji Karim Oei untuk melaksanakan kegiatan dakwahnya. Ini bisa dilihat dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan yayasan seperti pada pengajian mingguan atau pun khutbah jum’at pada penyelenggaraan sholat jum’at setiap minggunya. Selanjutnya adalah Dakwah Bil-Hal,yaitu dakwah dengan perbuatan nyata yang meliputi keteladanan. Misalnya dengan tindakan amal karya nyata tersebut
125
Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib Profesional,
126
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hlm.
hlm. 71. 11.
77
hasilnya dapat dirasakan secara konkrit oleh masyarakat sebagai objek dakwah. 127 Dalam hal ini Yayasan Haji Karim Oei juga melakukan dakwah ini, terbukti dengan mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Lautze dengan arsitekur Tionghoanya agar etnis Tionghoa mau mengenal Islam dan berbaur dengan pribumi. Terakhir Dakwah Bil-Qalam, yaitu dakwah melalui tulisan yang dilakukan dengan keahlian menulis seperti surat kabar, majalah, buku, maupun jurnal-jurnal.128 Dilihat dari beberapa buku yang pernah di tetbitkan oleh YHKO ini membuktikan bahwa yayasan ini juga menggunakan bentuk dakwah Bil-Qalam ini. Buku-buku yang pernah diterbitkan YHKO antaralain, Islam Dimata WNI, WNI Beragama Islam, dan Pembauran dan Islam. Semua buku tersebut ditulis oleh Junus Jahja salah satu tokoh pendiri yayasan dan juga dikenal sebagai salah satu tokoh pembauran. Dilihat dari pemaparan di atas, mulai dari metode dakwah, bentuk dakwah, hingga kegiatan dan aktifitas yang ada di YHKO, bisa disimpulkan tidak ada metode ataupun bentuk dakwah khusus yang digunakan oleh yayasan dalam aktifitas dakwah yang dilakukan untuk etnis Tionghoa, yang membedakan adalah pendekatan dakwah secara kultural. Seperti yang di katakan pak Ali Karim. “Kita ga ada metode dakwah atau dakwah khusus yang dipakai di yayasan ini, mungkin yang bikin kita beda dari yang lain pendekatan kultural yang kita gunakan. Jadi pendekatan kultur, karena orang Tionghoa itu kan susah dipisahkan dengan budayanya jadi kita pakai pendekatan budaya buat menarik perhatian Tionghoa, Alhamdulillah berhasil” Ungkap pak Ali Karim.
127 128
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, hlm. 11. Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, hlm. 11.
78
Pendekatan kultural dalam dakwah bisa juga disebut dengan Dakwah kultural. Dakwah kultural adalah dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budayabudaya masyarakat setempat (objek dakwah) tanpa menyimpang dari aqidah yang sudah ada dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di lingkungan masyarakat tersebut. Dakwah kultural juga bisa diartikan sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni, dan budaya lokal dalam prosesnya.129 Pendekatan kultural dalam berdakwah sebenarnya sudah tidak asing di Indonesia, sebagai contoh adalah dakwah Walisongo. Dalam kegiatan dakwahnya para walisongo ini sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal yang ada dimasyarakat wilayahnya untuk mempromosikan nilai-nilai Islam.130 Pendekatan kultural yang digunakan oleh Walisongo pada saat itu adalah dengan menyesuaikan media dakwah yang sedang digandrungi oleh masyarakat yaitu wayang. Kesenian wayang ini kemudian dimodifikasi oleh para Wali dengan konteks keislaman. Sedangkan pada YHKO, pendekatan kultural yang dimaksud Ali Karim adalah dengan cara membuat arsitektur Masjid Lautze bergaya khas Tionghoa. Dengan warna merah dan kuning yang dominan pada bangunan yayasan (Masjid Lautze), beberapa kaligrafi Arab-Cina, serta penambahan ornamen lampion didepan
129 130
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 349. Riddin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 257.
79
Masjid. Ini dilakukan agar membuat etnis Tionghoa yang ingin mencari informasi tetang Islam di yayasan ini tidak sungkan untuk masuk. Pendekatan kultural yang dilakukan YHKO ini membuahkan hasil, terlihat dari jumlah etnis Tionghoa yang telah dimuallafkan di yayasan ini telah mampu melampai pencapaian PITI sebagai organisasi pendahulu dalam bidang dakwah dikalangan Tionghoa ini. Bahkan dalam pencatatan terakhir yang dilakukan YHKO pada bulan Oktober 2016 telah lebih dari 1200 orang telah dimuallafkan diyayasan ini sejak tahun 1997. C. Peranan YHKO Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa Bicara muslim Tionghoa di Jakarta tidak bisa lepas dari peran Yayasan Haji Karim Oei (YHKO). Di tengah problematika yang dihadapi oleh etnis Tionghoa di Indonesia, YHKO hadir sebagai sebuah wadah untuk para muslim Tionghoa berdakwah, mengenenalkan, dan menyebarkan Islam ke etnis Tionghoa yang selama ini memandang sebelah mata Islam sebagai agama rendahan. Dengan pendekatan kultural dan berbagai kegiatan yang dilakukan YHKO, sedikit demi sedikit etnis Tionghoa dapat memahami Islam dengan lebih baik. Ini dikarenakan, berdirinya yayasan ini sendiri selain bertujuan untuk berdakwah juga bertujuan menjadi pusat informasi Islam bagi etnis Tionghoa serta menjadi wadah untuk mereka berasimilasi. Upaya untuk mengenalkan dan mendekatkan Islam dengan etnis Tionghoa di Jakarta dilakukan dengan mendirikan yayasan di tengah pecinan, dimana kawasan yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa. Bentuk bangunan yayasan yang berupa ruko dibuat sedemikian rupa dengan warna interior dan eksterior serta berbagai ornamen khas Tionghoa juga dibuat oleh yayasan
80
agar etnis Tionghoa yang datang dan ingin mengenal Islam merasa nyaman dan tidak canggung. Adanya kata “Oei” pada papan nama Yayasan Haji Karim Oei juga menjadi daya tarik tersendiri. Karena adanya identitas Tionghoa dalam nama tersebut sehingga etnis Tionghoa tidak sungkan untuk datang ke yayasan ini. Walaupun YHKO bukanlah satu-satunya wadah yang berkonsentrasi untuk berdakwah di kalangan etnis Tionghoa, namun peranannya sebagai wadah dakwah muslim Tionghoa khususnya di Jakarta sangat besar. Ini bisa dilihat dari pencapaian YHKO dalam pengislaman di tahun 1997 hingga 1998 ini melampaui pencapaian pengislaman yang dilakukan PITI pada pada periode tahun 1965-1978.131Bahkan jumlah etnis Tionghoa yang telah dimuallafkan di yayasan ini tercatat berjumlah lebih dari 1200 orang sejak 1991 hingga oktober 2016. Pada tahun pertama dan keduanya YHKO telah mengislamkan 188 muallaf dari etnis Tionghoa, sedangkan PITI pada rentang tahun 1965-1978 tercatat 119 etnis Tionghoa telah diislamkan. Berbagai kegiatan yang ada di YHKO adalah sebuah refleksi dari visi dan misi yang diterapkan yayasan ini. Yaitu untuk menyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tionghoa, mendekatkan Islam dengan etnis Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam. Dengan berbagai keterbatasan yang ada Yayasan Haji Karim mampu menjadi sebuah wadah dakwah dan berasimilasi yang efektif untuk kalangan etnis Tionghoa.
131
Lihat tabel 2 dan 3
BAB V KESIMPULAN
Dari uraian bab-bab yang telah penulis jelaskan pada skripsi ini bahwasanya Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) merupakan suatu yayasan yang bergerak di bidang dakwah yang berfokus untuk kalangan etnis Tionghoa di Jakarta. Tumbuh dan berkembangnya muslimTionghoa di Jakarta tidak lepas dari peranan Yayasan Haji Karim Oei yang berdiri sejak 1991. Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan dalam skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, tentang sejarah muslim Tionghoa sejak kedatangannya ke Indonesia hingga 1990-an. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia mulai dari kedatangan Belanda dengan berbagai kebijakan terkait etnis Tionghoa dan kebijakan yang berbau rasialnya, serta peristiwa migrasi besar-besaran yang terjadi akibat dari kebutuhan ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif di negeri asal membuat proses pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang awalnya berjalan dengan baik perlahan mundur. Ini disebabkan oleh adanya perubahan keadaan sosial, politik dan budaya yang terjadi kala itu sehingga membuat etnis Tionghoa tidak mendapatkan informasi tentang Islam. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa Orde Baru berlangsung. Dengan demikian minimnya pengetahuan etnis Tionghoa tentang Islam yang benar yang disebabkan faktor tersebut membuat proses asimilasi antara etnis Tionghoa dengan pribumi menjadi terhambat.
81
82
Kedua, mengenai berdirinya Yayasan Haji Karim Oei di Jakarta. Berbagai problematika yang di hadapi etnis Tionghoa sejak masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru membuat jurang pemisah antara etnis Tionghoa dan pribumi semakin jauh, sehingga menghambat proses pembauran. Dengan melihat akar permasalahan tersebut, dengan semangat dakwah Islam yang dimiliki muslim Tionghoa maka berdirilah Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan informasi dan dakwah Islam kepada etnis Tionghoa. Dengan adanya Yayasan Haji Karim Oei diharapkan stigma negatif yang selama ini melekat pada Islam di mata etnis Tionghoa dapat teratasi. Terakhir kesimpulan mengenai peran Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah dakwah muslim Tionghoa di Jakarta. Keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta saat ini tidak lepas dari peran YHKO dalam upaya dakwahnya ke kalangan etnis Tionghoa. Sejak berdirinya, YHKO menggunakan pendekatan budaya dalam metode dakwahnya. Pendekatan budaya yang dilakukan YHKO dan berbagai kegiatan yang dilakukan di yayasan ini berhasil menarik minat etnis Tionghoa untuk mengetahui Islam lebih dalam, yang pada akhirnya banyak dari mereka memilih Islam sebagai agama yang diyakininya. Pada tahun pertama dan kedua pecatatan yayasan dalam pengislaman yang dilakukannya telah melampaui pencapaian yang dilakukan oleh PITI. Hal ini menjadi bukti betapa penting peranan Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah dakwah dan juga membuktikan bahwa menjadi seorang muslim adalah salah satu cara efektif seroang etnis Tionghoa agar dapat berbaur dengan pribumi.
DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Primer 1. Arsip Tak Terbit Akta No.49 tahun 1991, Pendirian Yayasan Haji KarimOei (YHKO), NotarisAzhar Alia, SH. Akta No.4 tahun 1993, Pernyataan Keputusan Rapat Yayasan Haji KarimOei (YHKO), NotarisMintarsihNatamihardja, SH. Data Pengislaman, PITI 1965-1978. Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Intruksi Presiden No. 15 tahun 1967, tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina. Keputusan Presiden No. 240 tahun 1967, tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut Warga Negara Keturunan Asing. Keputusan Presidium 127/U/Kep/12/1966, tentang Peraturan Ganti Nama. SK. Menteri Perdagangan dan Koperasi No.286/KP/XII/78, tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan Dalam Bahasa dan Aksara Cina. Undang-Undang No. 4 tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga. Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia. Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri Penanaman Modal Dalam Negeri.
82
tahun 1968 tentang
2. Surat Kabar Sezaman Antara, “Pengusiran WNA Tjina adalah Wajar dan Tepat”, Sabtu 29 Maret 1967 Harian Kompas, “Nama dan Peristiwa”, Selasa 28 November 1995. Republika, “Orang Cina yang muslim dianggap pribumi”, Jum’at 3 mei 1996. Sinar Harapan, “Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Raya”, Rabu 24 Mei 1967. B. Sumber Skunder 1. Buku A Muhaimin, Yahya. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 19501980, Jakarta: LP3ES, 1990. Abdurahman, Dudung. Metode Penitian Sejarah, Logos. Jakarta 1999. Afif, Afthonul. Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Depok: Kepik, 2012. Ali Aziz, Moh. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009. Al-Qurtubbi, Sumanto. Arus Cina Islam Jawa, Yogyakarta, Inspeal Press, 2003. Ananta Toer, Pramoedya. Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad ke-16, Jakarta, Hasta Mitra, 2002. Batubara, Cosmas. Sejarah Lahirnya Orde BaruHasil dan Tantangannya, Jakarta: Prahita,1986. Budiman, Amin. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, Semarang: Tanjung Sari, 1979. Castles, Lance. Profil etnik Indonesia, Jakarta: Masup Jakarta, 2007.
83
Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994. Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Graaf, H. J. De. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Gautama, Prof. Mr. Dr.s. Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, Bandung: Alumni,1975. Grief,Stuart W. WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1991. Gottschalk,Louis. Mengerti Sejarah, UI Pres: 1975. Ham, Ong Hok. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Depok: Komunitas Bambu, 2008. _________. Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa (Cet ke-2), Depok: Komunitas Bambu, 2009. Hoon, Chang Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media, Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012. Jahja, Junus. 10 Tahun Masid Lautze, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 2001. __________. Islam Di Mata WNI, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei. __________. Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, Jakarta: LPMB, 1999. __________. Muslim Tionghoa, Kumpulan Karangan. Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 1996.
84
__________. Non Pri Di Mata Pribumi, Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991. __________. Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia,2002. Karim, Abdul. Islam di Asia Tengah, Yogyakarta: Bagaskara, 2006. Liem, Yusiu. Prasangka Terhadap Etnis Cina, Jakarta: Djambatan, 2000 Mulyana, Selamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2008. Ma, Ibrahim Ying. Perkembangan Islam di Tiongkok, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Murata, Sachiko. Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, Jakarta: Pusaka Sufi, 2003 Muriah, Siti. Medodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000. Oei, H. Abdul Karim. Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Jakarta: Gunung Agung, 1982. Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Setiawan, Teguh. Tionghoa Indonesia : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis. Jakarta: Republika, 2012. Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Trans Media Pustaka, 2008. Skiner, G.W. Golongan Minoritas Tionghoa, Jakarta: Gramedia, 1981. Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa,Jakarta: Grafiti Pers. 1984. ____________. Etnis Tionghoa dan Pembanguan Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1999.
85
____________. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia,1988. ____________. Mencari Identitas Nasional Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien, Jakarta: LP3ES, 1990. ____________.
Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES,
2002. ____________. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986. Sofwan, Riddin. Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Tan, Mely G. Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1981. Tailor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur, Jakarta: Masup Jakarta, 2006. Wijayakusuma, Hembing. Pembantaian Masal 1740 : Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005. Zaidallah, Alwisral Imam. Strategi Dakwah dalam Membentuk Dai dan Khatib Profesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Zhi, Kong Yuan. Muslim Tionghoa Ceng Ho, Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000. Wibowo, I. Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia, 1999.
86
2. Tesis Mustopa.Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, Tesis, UI: 2006. Widiastuti, Nurarni. Penggunaan dan Pengakuan Indentitas Islam pada Masyarakat Cina Muslim, Tesis, UI: 2009. 3. Makalah Efendi, Wahyu. “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam Rancangan KUHP”, Makalah,Focus Grup Discussion, Jakarta: 23 November 2006. Skober, Tanti Restiasih.“Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina”, Makalah,Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta: 14-17 November 2006. 4. Sumber Elektronik Al-Qurtubbi, Sumanto. Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda, Dalam http://jurnal.elsaonline.com/?p=97.Diakses pada 21 Mei 2016.
87
LAMPIRAN Lampiran 1:
Foto Penulis dengan narasumber H.M. Ali Karim, SH (anak Haji Abdul Karim Oei dan Ketua Yayasan Haji Karim Oei) saat wawancara mengenai latar belakang berdirinya Yayasan Haji Karim Oei. Lampiran 2:
Foto yang diambil penulis saat sholat Jum’at berjamaah di Masjid Lautze (Lantai satu Yayasan Haji Karim Oei).
88
Lampiran 3:
Foto tampak depan Yayasan Haji Karim Oei, terlihat terdapat ornamen etnis Tionghoa mulai dari pemilihan warna cat gedung yang di dominasi warna merah dan kuning, bentuk pintu yang menyerupai pintu klenteng pada umumnya, serta adanya lampion-lampion yang di gantung yang menambah kental nuansa Tionghoa pada yayasan ini. Lampiran 4:
Foto bagian dalam lantai 1 gedung Yayasan Haji Karim Oei yang juga merupakan Masjid Lautze. Pada bagian dalam lantai 1 Masjid Lautze terdapat banyak sekali kaligrafi bertuliskan huruf Arab dengan percampuran seni antara Arab dan Cina yang menghiasi setiap sudut masjid ini. 89
Lampiran 5:
Foto data pengislaman yang tercatat dan telah dilakukan Yayasan Haji Karim Oei sejak 1997 hingga Oktober 2016.
90
Lampiran 6:
Data pengislaman yang dilakukan PITI sejak 1965 hingga 1978. 91
Lampiran 7:
Surat kabar Sinar Harapan dengan judul artikel Peraturan Ganti Nama di DCI Djakarta Raya yang terbit pada rabu 24 Mei 1967 yang memuat berita tentang kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pergantian nama untuk etnis Tionghoa di Indonesia.
92
Lampiran 8: Undang-Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga
93
94
Lampiran 9: Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama.
95
Lampiran 10: Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
96
Lampiran 11: Intruksi Presiden No.15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina.
97
98
Lampiran 12: Keputusan Presiden No.240/1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut warga negara keturunan asing.
99
Lampiran 13: Undang-Undang tentang penanaman modal asing.
100
101
102
Lampiran 14: Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri
103
104
Lampiran 15: SK. Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978 tentang pelarangan Impor, penjualan, dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
105
Lampiran 16: Arsip Yayasan Haji Karim Oei Akta No. 49, Notaris H. Azhar Alia, SH. 9 Maret 1991.
106
107
108
109
Lampiran 17: Arsip Yayasan Haji Karim Oei Akta No. 4 Notaris Mintarsih Natamihardja, SH. 15 Oktober 1993.
110
111
DAFTAR WAWANCARA
Nama : Firdaus Alansyah Nim
: 1111022000003
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Narasumber
: HM. Ali Karim, SH.
Hari/Tanggal : Sabtu, 2 Juli 2016 Tempat
: Yayasan Haji Karim Oei Jl. Laotze no. 88-89, Kelurahan Karang Anyar,
Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Pokok Pembicaraan Penulis
: Apakah alasan ataupun tujuan awal berdirinya Yayasan Haji Karim Oei?
H.M. Ali Karim, SH
: Alasan kita yang paling utama sih untuk ngasih informasi tentang Islam yang sebenar-benarnya karena sudah sangat lama salah dipresepsikan oleh orang-orang cina di Indonesia. Ini kan gara-gara Belanda dulu bikin kita di adu domba sama pribumi supaya ga akur terus dia bisa monopoli dagang disini. Zaman Belanda kan pribumi dibikin citra yang jelek, miskin, kumuh, bodoh, dll, jadi berpengaruh juga kan ke citra Islam karena Islam agama mayoritas pribumi. Nah, karena itu orang Tionghoa enggan buat kenal sama yang namanya Islam. Sebaliknya juga, pribumi kan memandang orang Tionghoa itu antek Belanda, pelit, serakah, dsb. Makin ga akurlah Tionghoa ama pribumi yang berimbas juga Tionghoa memandang jelek Islam dan ga mau kenal Islam karena ga ada yang ngasih tau tentang Islam ke mereka. Orang-orang Tionghoa tuh kesukuannya tinggi, kadang mereka ga mau dengerin omongan orang selain orang Tionghoa juga, makanya kita yang Tionghoa tapi udah Islam yang jadi ujung tombaknya
buat
ngasih
(Tionghoa). 112
Informasi
tentang
Islam
kemereka
Penulis
: Mengapa nama yayasan ini diberi nama Yayasan Haji Karim Oei?
H.M. Ali Karim, SH
: Pertama, biar orang-orang Tionghoa Tau kalau ini yayasan buat mereka. Kalau ada kata Oei nya kan mereka jadi ga segan untuk datang kesini, karena Oei itu kan salah satu nama marga Tionghoa. Yang kedua, karena beliau yang kebetulan juga adalah ayahanda saya itu seorang tokoh keturunan Tionghoa yang pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu, juga pengusaha sukses punya peranan penting karena aktif waktu perjuangan kemerdekaan. Beliau itu sahabat karibnya Bung Karno, Buya Hamka, dan pejuang-pejuang lain. Jelas beliau adalah seorang nasionalis sejati, muslim yang taat, dan juga pengusaha sukses yang berarti “3 in1”. Misi yayasan ini juga untuk menyebar luaskan cita-cita Haji Karim Oei dikalangan WNI keturunan Tionghoa yang seorang seorang nasionalis sejati, muslim yang taat, dan juga pengusaha sukses (3 in 1).
Penulis
: Apakah para pendiri Yayasan Haji Karim Oei didominasi oleh etnis Tionghoa?
H.M. Ali Karim, SH
: Engga, yayasan ini didirikan dari berbagai elemen masyarakat ga cuma Tionghoa aja. awalnya yayasan ini berdiri dari ide alm. Junus Jahja yang didukung oleh orang-orang dari Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Al-Wasliyah, KAHMI, HMI dan ICMI. Jadi bukan cuma orang cina aja. Bahkan untuk membeli gedung yang kita tempatin sekarang itu uangnya dari Pak Harto yang dititipkan ke Pak Habibi yang waktu itu jadi ketua ICMI.
Penulis
: Mengapa memilih salah satu ruko di jalan Lautze sebagai tempat yayasan ini berdiri?
H.M. Ali Karim, SH
: Disinikan mayoritas penduduknya orang Tionghoa, bisa diliat kan daerah sini lebih banyak Vihara dibandingkan Masjid karena ini memang daerah pecinan, daerahnya orang Tionghoa tapi ada juga orang pribumi tapi sedikit. Karena fokus sasaran dan tujuan utama kita ngasih informasi ke etnis Tionghoa, jadi tempat ini kita nilai sangat cocok untuk tujuan kita. 113
Penulis
: Apakah yayasan ini menggunakan metode dakwah khusus untuk upaya dakwah kekalangan etnis Tionghoa?
H.M. Ali Karim, SH
: engga ada metode khusus dalam dakwah kita ke orang Tionghoa. Karena kesukuan Tionghoa itu tinggi makanya kita coba bangun gedung dengan ornamen-ornamen khas Cina biar mereka nyaman, ga asing dan ga segan buat masuk ke yayasan ini. Sejauh dan selama ini Alhamdulillah efektif buat menarik minat etnis Tionghoa untuk kesini dan mengenal Islam lebih dalam. Salah satu buktinya sampe saat ini sudah lebih dari 1000 orang yang dimuallafkan dan mayoritas yang dimuallafkan disini etnis Tionghoa.
Penulis
: Apa saja kegiatan yang ada di Yayasan Haji Karim Oei?
H.M. Ali Karim, SH
: Kegiatannya untuk yang belum jadi muallaf dan mau tau tentang Islam kita kasih konsultasi intensif mengenai informasi ke Islaman. Bagi yang sudah jadi muallaf ada bimbingan shalat, bimbingan baca Al-Qur’an, Pengajian Mingguan. Bimbingan shalat sama baca AlQur’an kita adakan setiap hari, jadi kapan pun para muallaf atau yang ingin jadi muallaf bisa kapan saja belajar shalat dan baca Al-Qur’an. Tapi di pengajian mingguan yang kita adakan setiap hari minggu, setalah Tausiyah keagamaan juga kita adakan bimbingan shalat bagi yang baru jd muallaf dan baca Al-Qur’an bersama.
Penulis
: Selain kegiatan keagamaan, adakah kegiatan yang bersifat sosial?
H.M. Ali Karim, SH
: Kita berkerjasama dengan BAZNAS (Badan Zakat Nasional) mengadakan pengobatan gratis untuk kaum duafa yang dilaksanakan setiap hari selasa jam 10 pagi sampai dzuhur. Untuk mendapatkan pelayanan pengobatan gratis, cukup bawa surat keterangan tidak mampu dari RT(jika warga sekitar), fotocpy KTP, dan fotocopy KK. Kalau ada orang yang kebetulan lewat dan dia ga mampu mau berobat kita layani juga. Pengobatan gratis ini bukan Cuma untuk muallaf, orang Islam atau orang Tiongghoa saja, tapi untuk semua masyarakat yang tidak mampu dan tidak memandang suku, ras, dan agama orang tersebut. Jika dia tidak mampu Insyaallah kita akan selalu layani. 114