RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 “Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara”
I. PEMOHON Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE., Ph.D. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 2. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”.
1
2. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebelumnya telah mengabdi sebagai pengajar di Universitas Indonesia selama 37 tahun yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 1/2004: Pasal 40 ayat (1): “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 23: a. Ayat (1): “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” b. Ayat (2): “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.” c. Ayat (3): “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.” 2. Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” 3. Pasal 23B: “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.”
2
4. Pasal 23C “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.” ’’’ 5. Pasal 23D “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.” 6. Pasal 23E a. Ayat (1): “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” b. Ayat (2): “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.” c. Ayat (3): “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.” 7. Pasal 23F a. Ayat (1): “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.” b. Ayat (2): “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.” 8. Pasal 23G a. Ayat (1): “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.” b. Ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.” 9. Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 10. Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” 3
11. Pasal 28D ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” 12. Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 13. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” 14. Pasal 28H ayat (2): “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. 15. Pasal 33 ayat (1): “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” 16. Pasal 34: a. Ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” b. Ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” c. Ayat (3): “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” d. Ayat (5): “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.”
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhitung mulai bulan Juli 2010 berdasarkan surat keputusan pensiun; 4
2. Bahwa pada bulan Desember 2010 Pemohon menyampaikan beberapa dokumen kepada PT. Taspen agar hak pensiunnya dapat diproses, namun PT.
Taspen
memerlukan
dokumen
Surat
Keterangan
Penghentian
Pemberian Gaji (SKPP) yang mana pada saat itu SKPP tersebut tidak dimiliki oleh Pemohon; 3. Bahwa Pemohon menjelaskan, pada tanggal 6 Oktober 2016 menyerahkan SKPP ke PT. Taspen dan diperoleh perhitungan ada kekurangan 16 bulan dari 76 bulan pensiun yang seharusnya diterima Pemohon; 4. Bahwa atas penerapan Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004 maka berlaku maksimum pembayaran pensiun yang bisa dibayar kepada Pemohon adalah 60 bulan, hal ini mengakibatkan Pemohon menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun yang seharusnya dapat diterima Pemohon; 5. Bahwa Pemohon mendalilkan, hak tagih terhadap pembayaran pensiun harus bersifat penuh tidak mengenal arti kadaluwarsa karena jasa yang diberikan oleh PNS yang pensiun sudah seluruhnya dipenuhi oleh PNS tersebut; 6. Bahwa menurut dalil Pemohon, frasa “jatuh tempo” adalah istilah yang biasa dipakai manakala batas waktu yang diwajibkan perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis, sedangkan tidak ada perjanjian apapun yang dibuat antara PNS dengan pemerintah, maka seharusnya frasa “jatuh tempo” Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004 bertentangan dengan UUD 1945; 7. Bahwa menurut dalil Pemohon, dalam sebuah perjanjian, hak tagih berupa pelanggaran atas batas waktu pembayaran utang atau piutang yang jatuh tempo bisa dikenakan “hukuman” berupa denda yang mana dalam Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004 diterapkan secara multi tafsir; 8. Bahwa
menurut
Pemohon,
pengenaan
denda
dengan
pembatasan
pembayaran untuk 5 tahun dengan alasan “hak tagih yang terlambat atau daluwarsa”, hal ini mengurangi hak atas penghidupan yang layak dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945; 5
9. Bahwa Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004 juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 dimana UUD 1945 telah memberi apresiasi yang tinggi kepada PNS maupun pegawai swasta yang bekerja di bidang pendidikan; 10. Bahwa Pasal 40 ayat (1) UU 1/2004 bertentangan dengan Pasal 33 dan 34 UUD
1945,
karena
telah
memperlakukan
pensiunan
PNS
dengan
memberikan “hukuman” yang mengurangi sumber penghidupan mereka dan mengakibatkan pensiunan PNS akan jatuh miskin. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 40 ayat (1) tidak berlaku untuk hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran uang pensiun mantan Pegawai Negeri; 3. Menyatakan bahwa tidak berlakunya Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap pembayaran uang pensiun mantan Pegawai Negeri tersebut berlaku surut; 4. Menyatakan bahwa mantan Pegawai Negeri yang dimaksud dalam butir 2 dan 3 Petitum ini adalah, baik yang berada pada jajaran sipil maupun Angkatan Bersenjata; serta baik yang ada dalam jajaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; 5. Menyatakan bahwa hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran utang pensiun tidak mengenal istilah kadaluwarsa; sehingga dengan demikian tidak pula dikenal istilah hukuman dalam bentuk apa pun yang mengurangi besarnya pembayaran pensiun, semisal batas maksimal pembayaran senilai 5 (lima) tahun; 6. Jika Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya.
6