Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 PENANGKAPAN ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA1 Oleh: Joice H. Hontong2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara penangkapan anak dalam perkara pidana menurut sistem peradilan pidana anak dan bagaimana perlindungan anak dalam proses penyidikan menurut sistem peradilan pidana anak. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Penangkapan anak dalam perkara pidana menurut sistem peradilan pidana anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya dan biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 2. Perlindungan anak dalam proses penyidikan menurut sistem peradilan pidana anak dilakukan dengan memperhatikan anak secara manusiawi dan kebutuhannya sesuai dengan umur anak. Anak perlu dipisahkan dari orang dewasa dan memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Anak tidak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat dan dalam sidang yang tertutup untuk umum dan tidak dipublikasikan identitasnya serta memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak. Kata kunci: Penangkapan, anak. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 64 ayat (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.4 Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke 3
1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Rodrigo F. Elias, SH, MH; Rudy Regah, SH, MH; Max Sepang, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711507
154
Moch Faisal Salam, Peradilan HAM di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002, hal. 53. 4 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. I. Umum.
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Perkara pidana itu ada jika diketahui ada tindak pidana atau peristiwa pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Berbeda dengan perkara perdata, di mana inisiatif untuk mengajukan perkara diambil oleh orang-orang yang merasa dirugikan, maka dalam perkara pidana, inisiatif untuk mengajukan perkara pidana diambil oleh negara. Mengajukan perkara pidana di pengadilan karena adanya tindak pidana atau kejahatan. Diketahuinya terjadinya tindak pidana dari empat kemungkinan, yaitu: 1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP); 2. Karena Laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP); 3. Karena Pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP); 4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik, seperti baca di surat kabar, dengar di radio, dengar orang bercerita dan lain-lain.5 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAPidana.6 B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah cara penangkapan anak dalam perkara pidana menurut sistem peradilan pidana anak ? 2. Bagaimanakah perlindungan anak dalam proses penyidikan menurut sistem peradilan pidana anak ? METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini, yaitu metode penelitian hukum normatif. 5
Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 11. 6 Rocky Marbun, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta. 2012, hal. 227.
PEMBAHASAN A. Penangkapan Anak Dalam Perkara Pidana Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur mengenai Penangkapan dan Penahanan Pasal 30: (1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. (2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. (3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS. (4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. (5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Penghitungan 24 (dua puluh empat) jam masa penangkapan oleh Penyidik dihitung berdasarkan waktu kerja. Pasal 1 angka 22: Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.7 Pasal 32: (1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. (2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
155
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 (3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. (5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS. Penjelasan Pasal 32 Ayat (1) Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus pula memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat. Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di bidang kesejahteraan sosial Anak, antara lain panti asuhan, dan panti rehabilitasi. Ayat (4) Kebutuhan rohani Anak termasuk kebutuhan intelektual Anak. Pasal 33: (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS. (5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.8 Pasal 1 angka 21: Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Pasal 34: (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh
Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 35: (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 36 Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam perkara Anak harus ditetapkan paling lama 2 (dua) hari. Pasal 37: (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari.9 (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 38: (1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
8
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
156
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 Pasal 39 Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum. Pasal 40: (1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. (2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum. Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali apabila Anak dan orang tua/Wali tidak dapat membaca, pemberitahuan dilakukan secara lisan. B. Perlindungan Anak Dalam Proses Penyelidikan Dan Penyidikan Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan dalam Pasal 2 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. pelindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur mengenai hak anak dalam proses peradilan. Pasal 3: Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 ayat: (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. (3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Pasal 6 Diversi bertujuan:
157
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pasal 7 ayat: (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pasal 8 ayat: (1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. (3) Proses Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pasal 9 (1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan: a. kategori tindak pidana; b. umur Anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
158
Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.10 Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak, namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.11 Ada asumsi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma restoratif, bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah diretorisasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja 10
Penjelasan I. Umum Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 11 Penjelasan I. Umum Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentukbentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.12 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 angka 15: Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 16 ayat: (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 ayat: (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
12
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Huruf b: Yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa. Pasal 18: Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur mengenai Perlindungan Khusus, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 59: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 64 ayat: (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
Setya Wahyudi, Op.Cit, hal. 39.
159
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.13 PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Penangkapan anak dalam perkara pidana menurut sistem peradilan pidana anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya dan biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 2. Perlindungan anak dalam proses penyidikan menurut sistem peradilan pidana anak dilakukan dengan memperhatikan anak secara manusiawi dan kebutuhannya sesuai dengan umur anak. Anak perlu dipisahkan dari orang dewasa dan memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Anak tidak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat dan dalam sidang yang tertutup untuk umum dan tidak dipublikasikan identitasnya serta memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak. B. SARAN 1. Penangkapan anak untuk kepentingan penyidikan memerlukan dukungan pemerintah untuk segera menyediakan ruang pelayanan khusus untuk kepentingan anak dan penangkapan untuk penyidikan, Penyidik perlu meningkatkan klerjasama dan koordinasi dengan Penuntut dalam waktu paling lama 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan. 13
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. I. Umum.
160
Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 2. Perlindungan anak dalam proses penyidikan menurut sistem peradilan pidana anak perlu didukung oleh tersedianya Penyidik perkara anak yang telah berpengalaman sebagai penyidik dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak sertatelah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Hal ini merupakan kebutuhan mendesak yang harus disediakan oleh pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2008. Aristiarini Agnes dan Maria Hartiningsih, Seandainya Aku Bukan Anakmu, (Makalah) Dalam St. Sularto (Editor) Seandainya Aku Bukan Anakmu (Potret Kehidupan Anak Indonesia). PT. Kompas Media Nusantara (Penerbit Buku Kompas) Jakarta, 2000. Abdussalam. H.R., Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung. Jakarta. 2007. Hamzah Andi, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Kamil Ahmad dan H.M., Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Penangkatan Anak Di Indonesia, Edisi. 1. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008. Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Makarao Taufik Mohammad, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Marbun Rocky, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & PerundangUndangan Terbaru, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta. 2012. Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika. Cetakan Kedua, Jakarta, 2005. Masriani Tiena Yulies, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Sinar Garfika, 2009. Mauna Boer, Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-3, PT. Alumni. Bandung. 2001.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Panjaitan Irwan Petrus & Chairijah, Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegak Hukum Masyarakat dan Narapidana, CV. Indhili. Co, Jakarta, 2009. Salam Faisal Moch, Peradilan HAM di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002. -----------------------, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, CV. Mandar Maju. Cetakan l. Bandung, 2005. Supramono Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000. Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, (Editor) Tarmizi, Ed. 1. Cet.1, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Wahyono Agung dan Siti Rahayu, Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. Wahyudi Setya. Iplementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yoyakarta, 2011. Wisnubroto Al. dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Cetakan Ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Suryasaputra Ruswiati, Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus Terhadap Diskriminasi dan Kekerasan, Restu Agung, Jakarta. 2006. Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
161