RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS I.
PEMOHON 1. Kahar Winardi sebagai Pemohon I; 2. Wandy Gunawan Abdilah sebagai Pemohon II; 3. Chuzairin Pasaribu sebagai Pemohon III; 4. Lanny Tjahjadi sebagai Pemohon IV; 5. Henry Kurniawan Muktiwijaya sebagai Pemohon V; 6. Pan Esther sebagai Pemohon VI; 7. Liana Atmadibrata sebagai Pemohon VII; KUASA HUKUM Didi Supriyanto, SH., M.Hum, RA Shanti Dewi, SH, MH, dan M. Imam Nasef, SH berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 07 Januari 2015.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU 20/2011) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
4. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Permohonan pengujian Undang-Undang meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil; 5. Bahwa sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal dalam suatu undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Oleh karenanya terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam sejumlah perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali menyatakan sebuah bagian pasal dari undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsir yang diberikan Mahkamah Konstitusi; atau sebaliknya inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), jika tidak diartikan sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi; 6. Bahwa objek (objectum litis) permohonan a quo adalah pengujian materiil ketentuan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 7. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, oleh karena permohonan a quo adalah pengujian materiil Undang-Undang a quo terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo. IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai para pemilik rumah susun. Para Pemohon merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 75 ayat (1), dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Kerugian konstitusional yang dimaksud oleh para Pemohon adalah sebagai berikut: - Adanya norma yang diberlakukan dalam Undang-Undang a quo, dimana pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang wajib difasilitasi oleh pelaku pembangunan tidak
-
V.
memberikan jaminan kepastian hukum dan melemahkan pemilik satuan rumah susun (SARUSUN); Adanya norma yang diberlakukan dalam Undang-Undang a quo, yaitu alasan pemberian sanksi administratif kepada pemilik SARUSUN akibat tidak dilaksanakannya kewajiban membentuk PPPSRS tidak memberikan kepastian hukum.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: − Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 (1) Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir. − Pasal 107 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : − Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. − Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. − Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
VI.
ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 1. Bahwa norma dalam Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 karena frasa “pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PPPSRS”, melemahkan dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon; Bahwa norma dalam Pasal 107 UU 20/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pemberian sanksi administratif kepada pemiliki SARUSUN, apabila PPPSRS belum terbentuk, menurut para Pemohon sangat tidak tepat, sebab yang seharusnya dikenakan sanksi administratif adalah pelaku pembangunan dan bukan pemilik SARUSUN; Bahwa norma dalam UU 20/2011 tentang pembentukan PPPSRS, menurut para Pemohon lebih tepat difasilitasi oleh Pemerintah dibandingkan oleh pelaku pembangunan; Bahwa norma dalam Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 mengenai frasa “Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS” menurut para Pemohon frasa tersebut bersifat imperatif yang artinya pembentukan ini hanya dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan, dan menurut para Pemohon hal ini memungkinkan terjadinya monopoli pembentukan PPPSRS; Bahwa norma dalam Pasal 75 ayat (1) mengenai frasa “masa transisi”, masa transisi yang dimaksud adalah sebagaimana yang ditetapkan Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 yaitu paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali SARUSUN kepada pemilik. Menurut para Pemohon frasa “masa transisi” sering disalahgunakan pelaku pembangunan untuk mengulur waktu pembentukan PPPSRS, sehingga para pelaku pembangunan memiliki waktu lebih lama sebagai pengelola rumah susun; Bahwa norma dalam Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 menurut para Pemohon berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), karena pelaku pembangunan seringkali juga berstatus sebagai pemilik SARUSUN dengan memiliki beberapa SARUSUN; Bahwa berdasarkan norma Pasal 75 ayat (3), Pasal 56 ayat (1) UU 20/2011 dan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, menurut para Pemohon pembentukan PPPSRS memiliki peran yang sangat strategis dalam pengelolaan rumah susun; Bahwa berdasarkan norma Pasal 57 ayat (1) UU 20/2011 pengelolaan PPPSRS, berhak mendapatkan sejumlah biaya pengelolaan, biaya yang dimaksud oleh para Pemohon disini adalah: 1. Biaya pemeliharaan, 2. Biaya utilitas umum, dan 3. Biaya penyusutan.
VII. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas serta alat-alat bukti yang terlampir, maka para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini sebagai berikut: 1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 75 ayat (1) sepanjang frasa “Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS” Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pemerintah wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS”; 3. Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 107 sepanjang frasa “Pasal 74 ayat (1)” Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan ketentuan Pasal 107 sepanjang frasa “Pasal 74 ayat (1)” Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 5. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dimuat dalam Berita Negara; Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).