NILAI BUDAYA DALAM FOTO JURNALISTIK (Analisis Semiotik Foto Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Faradilla Nurul Rahma NIM: 1110051100032
KONSENTRASI JURNALISTIK PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
ABSTRAK FARADILLA NURUL RAHMA Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semotik Foto Headline Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.) Foto Jurnalistik atau foto berita merupakan salah satu media penyampai pesan melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi surat kabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan surat kabar pada hari itu. Karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca. Apa makna denotatif, konotatif dan mitos pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013? Nilai budaya apa yang terkandung dari tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013? Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun subjek penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada harian Kompas bertemakan Ramadan, mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7 Agustus 2013). Selama edisi Ramadan 2013, terdapat 8 foto headline yang bertemakan Ramadan, namun dari 8 foto tersebut memiliki kesamaan topik; 1 foto tentang shalat tarawih, 1 foto tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian, guna memperkecil jumlah foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang mewakili untuk penulis teliti. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) kemudian menghasilkan mitos agar bisa memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline pada harian Kompas edisi Ramadan 2013. Kehadiran bulan Ramadan mampu mengubah seluruh aspek kehidupan manusia. Di antara aspek yang terpengaruh oleh kehadiran bulan Ramadan adalah media massa atau sarana informasi publik. Media massa begitu kentara sekali dalam menyambut bulan Ramadan. Berbagai informasi dan program acara baru yang dibuat khusus di bulan ini selalu bermunculan. Dalam perubahan tersebut, media massa khususnya surat kabar juga ikut andil dalam menyuguhkan berita seputar Ramadan. Foto jurnalistik sebagai penguat pesan dalam surat kabar di bulan Ramadan seringkali juga memuat nilai budaya. Oleh karena itu, pentingnya mengkaji nilai budaya dalam foto jurnalistik selama bulan Ramadan merupakan hal yang perlu menurut penulis. Harian Kompas merupakan salah satu media cetak yang terbit setiap harinya. Dalam penerbitannya, harian Kompas hampir selalu menyertakan foto berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbeda-beda. Foto-foto berita pada harian Kompas, terlebih foto headline seringkali ditampilkan secara menarik, kuat dan memiliki relevansi dengan berita yang ditulis. Dari tiga foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki keenam prosedur semiotika konotasi Roland Barthes, tetapi ada 6 prosedur yang lebih ditonjolkan seperti Pose, Object, Photogenia dan Aestheticism. Hal ini terlihat pada objek utama yang ditonjolkan, cara fotografer mengambil gambar, serta keterangan foto yang bersifat mengarahkan pembaca. Sedangkan dari segi nilai budaya, memberikan gambaran bahwa foto headline edisi Ramadan 1434 H./2013 M. memuat 3 nilai budaya yaitu; nilai agama, nilai ekonomi, dan nilai solidaritas. Terdapat 3 tema besar mengenai Ramadan pada harian Kompas edisi 10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013, yakni tentang shalat tarawih, kenaikan harga, dan mudik. Kata Kunci: Nilai Budaya, Foto Jurnalistik, Kompas, Semiotik, dan Ramadan.
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang diberikan
kepada
seluruh
makhluk.
Salam
kemuliaan
bagi
kekasih-
Nya, Rasulullah SAW pembimbing bagi siapa yang mencari-Nya, pemegang kunci gerbang menuju-Nya. Alhamdulillahi rabbil’alamin penulis ucapkan, akhirnya skripsi yang berjudul “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).” ini dapat terselesaikan. Adapun skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Dr. Sunandar, M.A selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
iv
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Rubiyanah, M.A dan Sekertaris Konsentrasi Jurnalistik, Ade Rina Farida, M.Si. atas ilmu dan kebaikan hatinya sehingga mempermudah penulis selama proses perkuliahan. 3. Prof. Andi Faisal Bakti, M. A., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, pengetahuan, dan nasihatnya bahwa “Menulis itu harus jujur, harus dari hati,” sehingga sangat memengaruhi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. 4. Seluruh Dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah banyak memberikan ilmu mulai dari semester awal sampai saat ini. 5. Secara khusus kepada Siti Saadah dan Hary Priyatna, selaku orangtua terbaik dan motivasi tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan dengan doa, perhatian, dan kasih sayang. Terimakasih Ibu, Ayah! 6. Risti Kurnia Ainannur, Faisal Azkar Ghifari, Rahadian Arkan Maulana, dan Arif Nur Rahman selaku kakak dan adik yang selalu memberi semangat dalam menggapai cita-cita. 7. Almh. Nek dan Mbah Uti beserta seluruh keluarga besar. 8. Para penjaga persahabatan; Geeas Prisila, Aulia Rahmi, Husna Khalida, dan Urnia Yumalita. 9. Seluruh pihak harian Kompas, khususnya Johnny T.G dan Lasti Kurnia, selaku narasumber. 10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 khususnya prodi Jurnalistik. Ummul, Septinia, Cucu, Ruli, Tezar, Mustaqiim dan seluruh Najua yang
v
tak bisa disebutkan satu persatu, senang bisa kenal kalian. Semoga kita jadi sarjana yang berguna. 11. Keluarga besar Klise Fotografi; Kak Arga, Kak Chris, Kak Faqih, Kak Jali, Kak Aldi, Tyo, dan seluruh saudaraku yang berdarah Klise Fotografi. Teman-teman KKN Merdika yang telah bersama-sama menyelesaikan program KKN selama satu bulan di Desa Klunggen, Slogohimo, Wonogiri. 12. Seluruh staf pimpinan dan karyawan Kantor Akuntan Publik Rama Wendra, terutama Mba Anna, Bu Nia, Mba Novi, Mba Luki, Mba Erni, Dewi dan Mas Bhakti, yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar dan mendapat pengalaman di dunia kerja selama dua tahun lebih. 13. Serta semua pihak yang turut membantu, baik terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih sebesar-besarnya. Semoga Allah Subhanahu wata’alaa berkenan menggantinya dengan rahmat dan karunia kepada kita semua. Akhirnya teriring salam dan doa, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca pada umumnya. Amiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 15 Juli 2014
Faradilla Nurul Rahma
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR/BAGAN ......................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ..................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................
8
D. Metodologi Penelitian .....................................................
9
E. Pedoman Penulisan .........................................................
19
F. Tinjauan Pustaka .............................................................
19
G. Sistematika Penulisan .....................................................
22
LANDASAN TEORI A. Fotografi Jurnalistik .......................................................
25
B. Headline .........................................................................
36
C. Semiotik Model Roland Barthes ....................................
38
D. Konsep Nilai Budaya .....................................................
46
vii
BAB III
BAB IV
BAB V
GAMBARAN UMUM PROFIL HARIAN KOMPAS A. Riwayat Singkat Harian Kompas ....................................
58
B. Visi & Misi Harian Kompas ............................................
60
C. Sasaran Operasional Harian Kompas ..............................
64
D. Motto Harian Kompas .....................................................
65
E. Kebijakan & Susunan Redaksi Harian Kompas ..............
66
TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Data Foto 1 ......................................................................
71
B. Analisis Data Foto 1 ........................................................
72
C. Data Foto 2 ......................................................................
83
D. Analisis Data Foto 2 ........................................................
84
E. Data Foto 3 ......................................................................
94
F. Analisis Data Foto 3 ........................................................
95
PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................... 103 B. Saran ................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 108 LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 115
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1 ...................................................................................
18
Tabel 2 ...................................................................................
34
Tabel 3 ...................................................................................
39
Tabel 4 ...................................................................................
41
Tabel 5 ...................................................................................
43
DAFTAR GAMBAR/BAGAN Gambar/Bagan 1 ...................................................................
11
Gambar/Bagan 2 ...................................................................
16
Gambar/Bagan 3 ...................................................................
24
Gambar/Bagan 4 ...................................................................
40
Gambar/Bagan 5 ...................................................................
47
Gambar/Bagan 6 ...................................................................
69
ix
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Kehadiran foto dalam media massa memiliki 'suara' tersendiri dalam mengonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan bahasa verbal. Foto dianggap sebuah cara yang efektif untuk mentransmisikan pesan bagi khalayak untuk mengetahui permasalahan apa saja yang masih belum terselesaikan. Foto dalam hal ini mengandalkan aspek visual yang memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi daripada komunikasi suara, teks, dan komunikasi verbal. Hal tersebut didukung oleh penemuan penelitian yang dilakukan oleh profesor berkebangsaan Amerika yakni Profesor Mehrabian, bahwa aspek visual ditempatkan dalam urutan tertinggi sebanyak 55% untuk tingkat kepercayaan terhadap pesan visual. Di posisi kedua dan ketiga adalah vokal sebanyak 38% dan verbal yaitu hanya 7%.1 Adanya pergeseran produk dari tulisan ke gambar sudah dilihat oleh Barthes sejak tahun 1960-an. Meski Barthes sempat meragukan masa depan pergeseran itu, namun pada tahun 1980-an, Barthes merasa yakin bahwa budaya gambar tidak dapat dielakkan.2 Hal ini terjadi terhadap pers di Indonesia, khususnya surat kabar. Surat kabar yang dulunya sarat akan tulisan, kini berubah menjadi dominasi gambar (foto). Positioning, kompetisi, dan
1
Albert Mehrabian dan James Russell, An Approach to Environmental Psychology, Cambridge (Massachusetts: The MIT Press, 1996), h. 11. 2 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 156.
1
2
tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih „memikat‟.3 Jika fungsi bahasa adalah representatif (menghadirkan) yang terbatas, munculnya foto harus mendapatkan perhatian yang serius karena foto mempunyai kemampuan representatif yang lebih sempurna. Secara karakteristik, media surat kabar merupakan salah satu media yang memiliki jangkauan luas dalam penyebaran informasi sehingga memudahkan pembaca memperoleh berita. Cerita dan foto yang ditampilkan dalam surat kabar dapat dibaca dan dinikmati berulang-ulang tanpa adanya batasan waktu. Foto jurnalistik pada surat kabar ditampilkan dengan tujuan memperkuat dan memvisualkan isi berita, karena itu, foto jurnalistik pada surat kabar memiliki peranan dalam melibatkan perasaan dan menggugah emosi pembaca.4
Dalam tampilannya, foto jurnalistik tidak hanya berdiri sendiri, tetapi mencakup isi berita dan caption. Secara singkat, yang dimaksud isi berita adalah tulisan pada media surat kabar yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.5 Pada awal berita pasti terdapat judul dan kadang kala diperkuat dengan subjudul. Sedangkan yang dimaksud dengan caption adalah kalimat pendek yang memberi penjelasan sekilas tentang kejadian pada foto tersebut.6 Selembar foto tidak akan dapat dikatakan sebuah foto berita bila tidak dilengkapi dengan caption/keterangan gambar, meskipun sebuah foto mengandung foto jurnalistik. Keterangan foto memegang peran penting dalam foto berita dan telah menjadi kesatuan dalam foto berita, sebab dari keterangan foto inilah pembaca akan mendapat informasi yang lengkap. 7
3
Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, h. 156. Hermanus Prihatna R., Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (Jakarta: LPJA, 2003), h. 1. 5 A. Siregar, dkk., Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 41. 6 Eddy Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik,” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.kompasimages.com 7 Dahlan Dani, “Fotografi Jurnalistik,” Majalah Cakram, 2 Juli 2002, h. 52. 4
3
Penempatan foto pada isi berita di surat kabar tidak hanya memperhatikan tata letak penulisan, tetapi juga hal-hal yang berhubungan dengan desain halaman (lay out), grafis dan ukuran foto. Karena itu, foto-foto yang dipilih sesuai kebutuhan dan pemakaian. Kecenderungan pembaca melihat surat kabar lebih dulu dari halaman paling atas, menjadi alasan mengapa foto harus diletakkan di atas lipatan surat kabar. Ini biasa dilakukan untuk halaman satu, karena „kompetisi‟ penjualan dimulai dari sini. Pembeli pun punya kecenderungan untuk melihat setengah halaman muka (headline) surat kabar lebih dahulu sebelum memutuskan untuk membelinya.
8
Maka dari itu, foto
headline disajikan berbeda dari yang lain, aktual, dan informatif. Hanya dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, di mana terjadinya peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu. Setidaknya, itu yang ada dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline. Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami, karena melibatkan unsur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca.
Dalam
suatu
berita,
foto
mempunyai
kedudukan
untuk
membuktikan atau fungsi dokumenter bagi teks (khususnya) artikel yang dibuat untuk memberikan informasi pada para pembacanya.9 Itulah yang membuat foto headline memiliki peran besar.
8 9
Hasby, “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.” St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 184.
4
Sebagai salah satu bentuk media massa, foto-foto headline harian Kompas dapat difungsikan sebagai media cetak dalam wujud hasil kerja jurnalistik yang juga berperan untuk mempresentasikan suatu budaya atau gambaran realitas dari suatu masyarakat. Kompas merupakan salah satu harian nasional yang menempatkan berita foto dan tulis setara dan berimbang. Kompas juga selalu merespon fenomena apa saja yang sedang terjadi sebagai produk yang harus disajikan kepada masyarakat. Melalui foto-foto yang ada di harian ini, dapat dipahami lebih jernih tentang apa yang disebut sebagai fotografi jurnalistik. Kompas mempunyai susunan redaksi foto yang disebut desk photo yang begitu menaruh perhatian terhadap perkembangan dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik di Indonesia, terbukti dengan seringnya bagian redaksi foto Kompas memberikan seminar dan pelatihan jurnalistik terhadap para mahasiswa.10 Faktor utama dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu nilai pada foto jurnalistik, terutama foto headline dapat diketahui pemaknaannya secara menyeluruh, karena menurut pendapat penulis, tidak semua nilai yang ingin disampaikan melalui foto dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak awam. Maka penulis akan mencoba meneliti sekaligus menginterpretasikan nilai dalam suatu foto jurnalistik agar dapat membuka wacana kita tentang apresiasi fotografi, khususnya fotografi jurnalistik. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui nilai budaya yang terkandung dalam foto-foto headline harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M. (10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013), baik secara tersurat maupun 10
2014.
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas), Jakarta, 19 Mei
5
tersirat. Pemaknaan dilakukan dari tanda-tanda yang muncul dari foto menggunakan pendekatan semiotika. Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambanglambang yang terdapat pada suatu lambang-lambang pesan atau teks.11 Dengan kata lain pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotika. Tanda-tanda yang terdapat dalam foto-foto jurnalistik dalam harian Kompas tersebut akan dikaji lebih dalam lagi sehingga didapat pemaknaan yang menyeluruh. Kajian mengenai semiotika ini akan dikaji melalui teori Roland Barthes. Dalam penelitian ini, proses pemaknaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam foto-foto jurnalistik dalam harian Kompas akan dilakukan dengan cara memberi perhatian pada makna denotatif dan konotatif. Penulis memilih foto-foto jurnalistik tentang aktivitas pada bulan Ramadan karena, di media massa, baik radio, televisi ataupun surat kabar biasanya ikut mendukung momen tersebut. Di antaranya mereka mengganti acara tayangan sinetron dengan mengganti program yang lebih religius. Hal ini bertujuan agar khalayak merasakan dukungan yang bersifat religius sehingga memberikan kenyamanan bagi khalayak. Di samping itu, masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam yang biasanya suasana Ramadan begitu terasa, karena pada bulan ini semua media massa menyuguhkan info-info seputar Ramadan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan jam tayang melebihi biasanya dikarenakan ada tambahan program atau acara-acara khusus dalam memeriahkan bulan Ramadan.
11
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku baik, 2003), h. 3.
6
Tidak terlepas dari itu semua, tentunya harian Kompas selaku media cetak juga menjalankan peranan yang penting selama bulan Ramadan. Maka terlihatlah “warna” yang berbeda dari sajian di luar bulan Ramadan. Namun yang terpenting, apakah harian Kompas tetap menjalankan fungsinya dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca? Setidaknya, apakah harian Kompas menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat dan mendukung dalam ritual puasa? Dan nilai budaya apa yang ditampilkan Kompas dalam headline fotonya selama bulan Ramadan 2013? Berdasarkan dari penegasan di atas, maka penulis akan membahas mengenai “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika Foto Headline Surat Kabar Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).”
B.
Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah a.
Identifikasi Masalah Sebelum membatasi masalah, penulis akan terlebih dahulu memberikan
identifikasi masalah seputar judul yang diangkat. Masalah yang ditemukan penulis untuk judul ini adalah seputar analisis Semiotika dalam perspektif nilai budaya pada foto headline di surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M. Penulis menemukan bahwa teori yang kiranya tepat untuk dijadikan rujukan adalah salah satu teori nilai budaya dari buku Rusmin Tumanggor, dkk.12 Dalam buku tersebut disebutkan enam nilai budaya yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas.
12
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 142.
7
b. Batasan Masalah Agar permasalahan lebih terfokus, maka penulisan ini dibatasi pada fotofoto headline di surat kabar harian Kompas yang terfokus pada tema Ramadan mulai dari awal bulan Ramadan (10 Juli 2013) hingga akhir bulan Ramadan (7 Agustus 2013). Selama edisi Ramadan 2013 tersebut, terdapat 8 foto headline bertema Ramadan yang memiliki kesamaan topik, yakni 1 foto tentang shalat tarawih, 1 foto tentang kenaikan harga, dan 6 foto mengenai mudik. Kemudian guna memperkecil jumlah foto yang diteliti, maka terpilih 3 foto yang mewakili untuk penulis teliti. c.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara
terinci, permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana nilai budaya dalam foto jurnalistik berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes pada foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013? a.
Apa makna denotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
b.
Apa makna konotasi pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
c.
Apa mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
8
d. Nilai budaya apa yang terdapat dalam tiga foto headline bertemakan Ramadan di surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian a.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan yang ingin
dicapai adalah sebagai berikut: a.
Untuk mengetahui makna denotatif pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.
b.
Untuk mengetahui makna konotatif pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.
c.
Untuk mengetahui mitos yang terdapat pada tiga foto headline bertemakan Ramadan di Surat Kabar Harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.
d.
Untuk mengetahui nilai budaya dalam tiga foto headline bertemakan Ramadan pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013.
9
b. Manfaat Penelitian a.
Manfaat Akademis Penulisan ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan sebagai
sumbangan pemikiran di Surat Kabar Harian Kompas dalam bidang foto jurnalistik. b.
Manfaat Praktis Bagi penulis, penelitian ini menambah informasi dan wawasan penulis
mengenai bidang kajian media cetak yang menyangkut pemaknaan foto. Sedangkan bagi pembaca, diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para praktisi, fotografer dan sebagai pedoman untuk para jurnalis media massa khususnya surat kabar yang tentunya berhubungan dengan foto jurnalistik sehingga foto yang dihasilkan dan yang didapat dapat memberikan informasi dan sarat akan nilai budaya.
D.
Metodologi Penelitian a. Paradigma Penelitian Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar dari jalur cara berpikir penelitiannya.13 Paradigma yang digunakan pada penulisan ini adalah paradigma konstruksivisme.
13
14
Paradigma ini memandang bahwa kenyataan itu hasil
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2009),
h.5. 14
Zainal Arifin, Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2012), h. 140.
10
konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruksivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek.15 Hal ini berarti, bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran. b. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah cara pandang penulis dalam melakukan penelitiannya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif dengan jenis kualitatif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi dan samplingnya sangat terbatas.16 Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.17 Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif
15
Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, h. 141. Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2006), h. 56. 17 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), h. 23. 16
11
memusatkan
perhatian
pada
gejala-gejala
sosial
yang
ada
dalam
masyarakat.18 Secara umum, teknik analisis data dengan alur yang lazim digunakan dalam metode penulisan kualitatif adalah mengidentifikasi objek yang diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan maknanya.19 Alur prosedur yang berpola melingkar (siklis) ini dimulai dari pemilihan topik dan atau masalah penelitian (biasanya bersifat deskriptif), melacak gejala-gejala dengan
pokok
pertanyaan
“bagaimana”.
Dari
sini
peneliti
merumuskan/menyusun pertanyan-pertanyaan yang terarah kepada penemuan jawaban atau masalah. Dengan bekal pertanyaan-pertanyaan ini peneliti mengumpulkan data, tegasnya melakukan pengamatan. Gambar 1: Alur Penelitian Kualitatif untuk Gambar/Foto (Isi Media) 20
Data yang dimaksud terutama adalah bersifat kualitatif (berupa kategorikategori substantif) tetapi bukan berarti mengabaikan data kualitatif yang 18
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theory and Methods (Boston: Allyn and Bacon. Inc, 1982), h. 11. 19 HB Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif (Surakarta: Pusat Penelitian UNS, 1988), h. 20. 20 Firman Eka Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 48.
12
dinilai penting untuk dicatat dan dianalisis. Peran informasi dari sumber kepustakaan sangat menentukan, oleh karena itu dari sinilah acuan, rujukan dan referensi dihadirkan untuk „mengomentari‟ data yang ada. c. Metode Penelitian Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk menganalisis suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam menelaah masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan secara lebih gamblang. Metode penulisan merupakan cara teknis yang dilakukan dalam proses penulisan untuk memperoleh fakta dan prinsip secara sistematis.21 Penulis menggunakan metode semiotik Roland Barthes yang menganggap makna tidaklah berada dalam teks itu sendiri. Produksi makna merupakan tindakan dinamis yang setiap unsur didalamnya sama-sama memberikan kontribusi.22 Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto berita yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai budaya. Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.
21 22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. 119. Budiman, Semiotika Visual, h.25.
13
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir.23 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tandatanda dari sistem denotasi. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.24 Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.25 Mitos, menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos adalah naratif yang dikonstruksikan dengan wacana dialektis dan eksposisi, mitos bersifat orasional dan intuitif, bukan uraian filosof yang sistematis.26 Makna konotasi mengacu pada enam prosedur, yaitu:27 1.
Rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas itu sendiri, terdiri dari:
23
Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h.
39. 24
Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 155. 26 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 27 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosda, 2012), h. 128. 25
14
a. Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil. c. Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto. 2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah ―estetis, terdiri dari: a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya. b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi. c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Penelitian ini tidak hanya mencari makna atas tanda yang ada dalam foto, melainkan juga untuk menjabarkan mitos ke arah nilai budaya dengan menggunakan enam nilai budaya, yaitu:28
28
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 142.
15
a. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas bendabenda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar b. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspel progresif dari kebudayaan. c. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Mahagaib, maka manusia mengenal nilai agama. d. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan. e. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa. f. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.
16
Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun. Gambar 2: Bagan Metodologis29
d. Subjek dan Objek Penulisan Subjek penulisan bisa diartikan sebagai penentu sumber data, artinya darimana data itu diperoleh. Subjek penulisan ini bisa berarti orang, atau apa saja yang menjadi sumber penulisan.30 Adapun yang menjadi sumber dalam penulisan ini meliputi: 1.
Sejumlah orang yaitu wartawan foto jurnalistik atau fotografer di Surat Kabar Harian Kompas
2.
Redaktur foto jurnalistik atau editor foto jurnalistik di Surat Kabar Harian Kompas 29
Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi,” h. 48. (Diolah lagi oleh
Penulis). 30
Suharsimi Ari Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Binika Cipta, 1991), h. 32.
17
Objek penulisan adalah masalah yang akan diteliti atau yang akan dijadikan objek penulisan.31 Dalam penelitian ini, penulis mengambil objek foto headline harian Kompas edisi Ramadan, yaitu tanggal 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. e. Tempat dan Waktu Penulisan Penulisan ini dilakukan di kantor redaksi surat kabar harian Kompas yang beralamat di Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37 dalam waktu selama empat bulan, mulai dari bulan Februari-Juni 2014. f. Teknik Pengumpulan Data Penulis mengumpulkan data dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Dokumentasi Berupa data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual.32 Dalam hal ini berupa foto, dokumen, arsip, atau catatan-catatan yang terdapat di harian Kompas. b. Wawancara Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seorang atau beberapa orang yang diwawancarai.33 Dalam wawancara ini penulisakan mewawancarai redaktur foto dan fotografer yang mempunyai peran aktif dalam pengambilan foto ataupun yang berurusan dengan foto jurnalistik.
31
Tatang M Anirin, Menyusun Rencana Penulisan (Jakarta: PT Raja Grafika Persada, 1995), h. 15. 32 Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, h. 77. 33 Wardi Bachtiar, Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah (Jakarta: logos, 1997), h. 71.
18
Wawancara dilakukan kepada dua bagian yang berkepentingan dalam skripsi ini, yaitu: Tabel 1: Daftar Narasumber yang diwawancarai Nama Johnny T.G Lasti Kurnia
Jabatan Ketua Desk Foto Harian Kompas Fotografer Kompas
Tujuan Perihal kebijakan redaksional Perihal pengambilan foto beserta maknanya.
c. Studi Kepustakaan (Library Research) Penulis mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber bacaan, seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dan mendukung penulisan g. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, maka hasil pengumpulan data kemudian dianalisis berdasarkan analisis Semiotika. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah Semiotika Roland Barthes. Studi Semiotika mengambil fokus penulisan pada seputar tanda.34 Sedangkan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam mencari jawaban dari rumusan masalah yang penulis teliti, meliputi: a. Mengidentifikasi foto headline di harian Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Dalam proses identifikasi diperlukan pendataan terhadap
semua
permasalahan
di
lapangan
untuk
permasalahan yang melebar supaya penulisan dapat terjawab.
34
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 18.
menghindari
19
b. Penyajian data, yaitu hasil dari analisa dan interpretasi tersebut di atas, selanjutnya penulis sajikan dengan menggunakan metode deskriptif, yakni menggambarkan atau memaparkan apa adanya. c. Menganalisis
dan
menginterpretasi
data,
analisa
adalah
proses
memisahkan mengelompokkan permasalahan pokok yang mengarah kepada jawaban rumusan masalah dengan penulisan ini, untuk kemudian diinterpretasikan. Interpretasi adalah proses pemberian makna terhadap data dari peristiwa atau situasi problematis, yang telah ditemukan guna memberikan jawaban dari peristiwa yang terdapat dalam foto.
E.
Pedoman Penulisan Pedoman penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.35
F.
Tinjauan Pustaka Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum penulis menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu penulis melakukan literatur dalam penulisan ini di beberapa perpustakaan. Maksud pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.
35
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) (Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
20
Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku serta artikel-artikel yang membahas tentang analisis Semiotika maupun nilai budaya. Pada penelitian ini akan disampaikan analisis Semiotika dalam perspektif nilai budaya pada foto headline surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 1434 H./2013 M. Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, seperti penelitian mengenai: Skripsi yang disusun oleh Firman Eka Fitriadi dengan judul “Foto
a.
Jurnalistik Bencana Alam gempa Bumi,” Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2010.36 Skripsi “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
b.
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” karya Ali Abdul Rodzik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008.37 Skripsi oleh Arga Sumantri berjudul “Citra Buruh Perempuan dalam
c.
Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013).” UIN Syarif Hudayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Jurusan Jurnalistik tahun 2014.38
36
Fitriadi, “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi.” Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 38 Arga Sumantri, “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004). 37
21
Skripsi berjudul “Analisis Semiotika Headline Harian Tempo” oleh
d.
Angga Rizal Nur Huda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi tahun 2009.39 Skripsi dengan judul “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun
e.
Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri” oleh Hihmatun Hayu Pusporini dari Universitas Negeri Yogyakarta jurusan pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni tahun 2012.40 Tesis Robi Irsyad berjudul “Representasi tentara Amerika Serikat dalam
f.
foto berita surat kabar nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama perang Irak di halaman satu surat kabar Republika.” Universitas Indonesia, tahun 2005.41 Jurnal Mahrus Ali berjudul “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat
g.
Madura
mengenai
Penyelesaian
Carok
dalam
Hukum
Pidana”
Universitas Islam Indonesia fakultas Hukum tahun 2010.42 Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2005 berjudul “Sosialisasi
h.
dan Akulturasi Nilai-nilai Budaya Lokal (Kasus pada Keluarga Inti Orang Menes di Banten)” oleh Achmad Hufad.43
39
Angga Rizal Nurhuda, “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). 40 Hihmatun Hayu Pusporini, “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri,” (Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012). 41 Roby Irsyad, “Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar nasional: Analisis Semiotika foto berita tentang tentara Amerika Serikat selama 21 hari pertama perang Irak di halaman satu surat kabar Republika,” (Tesis Universitas Indonesia, 2005). 42 Mahrus Ali, “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana,” (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010). 43 Achmad Hufad, “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-niali Budaya Lokal: Kasus pada Keluarga Inti Orang Menes di Banten,” (Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2005).
22
Jurnal berjudul “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya
i.
Pembangunan Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo)” oleh Rasid Yunus dari Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2012.44 Beberapa contoh skripsi dan satu tesis di atas memiliki kesamaan membahas mengenai makna dan simbol pada foto jurnalistik dengan menggunakan analisis Semiotika dan nilai budaya. Tetapi foto yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda.
G.
Sistematika Penulisan Guna membuat penulisan skripsi ini semakin terarah, penulis membuat sistematika penulisan yang disesuaikan dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab yang masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut: Penulis memulai dengan Pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Latar Belakang masalah, yaitu menjelaskan mengenai fotografi, foto jurnalistik, foto headline, alasan mengapa mengambil surat kabar harian Kompas, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penulisan, Pedoman Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika penulisan. Selanjutnya, penulis elaborasi dengan Landasan teori. Dalam bab dua ini, penulis menguraikan tentang teori-teori yang digunakan yang sesuai dengan 44
Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo,” (Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2012).
23
permasalahan. Seputar fotografi, sejarah dan perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, sejarah fotografi di Indonesia, tinjauan umum tentang semiotik, pandangan Saussure dan Peirce, juga semiotik foto Roland Barthes, serta menambahkan penjelasan tentang nilai budaya. Khususnya untuk Profil, penulis menguraikan tentang Surat kabar harian Kompas, tentang riwayat singkat Kompas, perkembangannya, visi misi, serta susunan redaksional Kompas, ditempatkan pada BAB III. Sebagai inti skripsi, maka BAB IV merupakan analisis penelitian, yang membahas hasil penelitian yang berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto headline dalam Surat kabar harian Kompas edisi Ramadan 2013 dengan menggunakan teori Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan mitos. Akhirnya, penulis tutup dengan Kesimpulan dari hasil penelitian serta Saran untuk penggiat fotografi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya Program Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik dari foto jurnalistik.
24
Gambar 3: Bagan Teoritis
Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto headline yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai budaya yang terdiri dari enam unsur, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Penulis membaca nilai budaya yang timbul dari hasil pembacaan semiotik foto, itulah mengapa penulis memposisikan nilai budaya setelah melihat pesan yang timbul lewat metode semiotiknya, karena nilai budaya itu muncul setelah mitos. Konotasi dan mitos adalah dua inti semiotika Barthes yang penulis pakai di skripsi ini, dan mitos merupakan puncak pembacaan pesan dalam foto. Jadi setelah mitos terbaca, saat itulah penulis mengkorelasikannya dengan nilai budaya. Skripsi ini adalah skripsi semiotik, dan nilai budaya jadi satu tambahan wacana yang ingin penulis angkat. Hal ini guna memperkaya dan memperdalam hasil bedah foto agar tidak sebatas menemukan makna yang terbangun.
BAB II LANDASAN TEORI
Fotografi Jurnalistik
A. 1.
Pengertian Fotografi Jurnalistik Fotografi dalam dunia jurnalistik dikenal dengan istilah foto jurnalistik
atau foto berita. Dikatakan sebagai foto berita, sebab unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu: What, Who, When, Where, Way + How, asupan informasi yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.1 Foto jurnalistik merupakan sajian gambar atau foto yang dapat berdiri sendiri sebagai visualisasi suatu peristiwa. Foto jurnalistik pun dapat menjadi pelengkap dan penguat pesan yang disampaikan dalam berita.2 Sehingga dapat diasumsikan bahwasanya foto jurnalistik atau foto berita dapat memiliki peran ganda, yang pertama sebagai pendamping atau pelengkap berita, selanjutnya disisi lain dapat menjadi berita itu sendiri. Sejarah mencatat, surat kabar harian The Daily Graphic, pada hari Senin tanggal 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu yang disebut taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik, merupakan embrio foto jurnalistik.3
1
Frank P. Hoy, Photo Journalism The Visual Approach (New Jersey America: Practice – Hall, 1986), h. 5. 2 Syafrudin Yunus, Jurnalistik Terapan (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010), h. 91. 3 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh (Jakarta: CV Sahabat, 2011), h.1.
25
26
Kemudian pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, majalah tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajian beritanya. Wilson Hicks merupakan pelopor foto jurnalis yang juga adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini, foto jurnalistik telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.4 Dalam buku Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern yang ditulis oleh Atok Sugiarto, dikatakan bahwa seiring perjalananya, keberadaan foto memang bisa sejajar dengan berita tulis, bahkan sering dikatakan bahwa sebuah foto dapat lebih hebat dari ribuan kata-kata karena mampu menggambarkan atau menceritakan suatu kejadian dengan amat baik.5 Foto jurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan. Pesan dalam foto jurnalistik bisa sekadar bagian penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sengaja diciptakan fotografer dari cerita dibalik sebuah peristiwa.6 Esensi pesan menjadi hal yang seolah mutlak lekat dalam praktik foto jurnalistik. Karena secara sederhana dapat dipahami bahwasanya foto jurnalistik adalah foto yang sifatnya informatif dan menarik bagi pembaca. Seiring berjalannya waktu, ketika foto telah mengisi setiap halaman pada surat kabar, kehadiran foto jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak 4
Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 38. 5 Atok Sugiarto, Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), h. 89. 6 Yunus, Jurnalistik Terapan, h. 19.
27
pakar Ilmu Komunikasi. Selain karena foto mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan merekam peristiwa yang berdurasi hanya sekejap, sifatnya yang statis juga membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti video yang sifatnya lebih dinamis atau sepintas lalu, yang pada akhirnya sebuah foto dapat menampilkan gambar lebih detail dari suatu peristiwa.7 Oleh karenanya foto dapat lebih mudah dicerna berbagai kalangan dan dapat menimbulkan efek psikologis secara langsung terhadap pembaca surat kabar. 2.
Jenis Foto Jurnalistik World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para
fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain:8 Spot Photo atau Foto Berita Yang dimaksud dengan foto berita adalah foto tunggal yang menyajikan satu peristiwa yang berdiri sendiri.9 Artinya, tanpa keterangan yang berbelitbelit dan panjang lebar, pembaca surat kabar dapat atau mudah menangkap kesan adanya peristiwa yang bernilai berita. Misalnya foto tentang pejabat menggunting pita, akan menimbulkan kesan adanya peresmian suatu tempat. Walaupun foto seperti itu dapat dikatakan sebagai foto berita, tetapi nilai beritanya (news value) sangat rendah. Kadangkala bahkan foto seperti iu tidak dimasukkan dalam foto jurnalistik. Hal itu disebabkan oleh faktor seringnya atau mudah diperolehnya foto seperti itu. Nilai berita pada foto jurnalistik itu terletak pada keanehan atau ketepatan perekaman suatu peristiwa. Sebagai contoh tentang tabrakan. Apabila foto tersebut hanya menyajikan peristiwa sesudah tabrakan ada 7
Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77-79. Alwi, Foto Jurnalistik, h.5. 9 Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77. 8
28
mobil penyok, disampingmya beberapa orang terkapar dan telah banyak orang mengerumuninya, foto tersebut tidak terlalu banyak berkata-kata. Apalagi bila dalam gambar itu tidak ada identitas yang dapat menyatakan tempat kejadian, pembaca akan langsung mengatakan, itu tabrakan. Tanpa keterangan lebih lanjut yang ditulis, hanya kesan tabrakan itu yang dapat ditangkap. Tetapi seandainya ada identitas yang dapat menjelaskan peristiwa itu, akan banyak menolong pembaca untuk memahaminya. Identitas yang dimaksudkan misalnya, nomor plat mobil yang menunjukkan asal mula mobil tersebut, rambu-rambu lalu lintas atau tempat kejadian misalnya pagar jalan atau gedung yang menjadi latarbelakang kejadian dan seterusnya yang dengan mudah dapat diketahui oleh pembaca. Identitas-identitas
yang ditonjolkan
membuat
berita
yang akan
disampaikan kepada pembaca melalui foto itu semakin banyak. Itu seperti didalam menyajikan foto, harus diusahakan sesedikit mungkin memberikan penjelasan bersifat tulisan. Melalui foto tersebut, pembaca disodori sebanyak mungkin fakta.10 Foto jurnalistik yang paling tinggi atau bobot beritanya selalu menyangkut suatu kejadian dan tepat waktu.11 Misalnya tentang tabrakan. Di Saat tabrakan itu terjadi ada faktor lain yang memperkuat atau menambah nilai berita. Faktor-faktor penunjangnya adalah ekspresi orang yang melihatnya, yang ada disekitar tempat itu. Foto jenis ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date. Ketepatan itu yang seringkali tidak dapat direncanakan dan lebih banyak ditentukan oleh faktor kebetulan dan keberuntungan. Faktor itu yang 10 11
Alwi, Foto Jurnalistik, h. 3. Alwi, Foto Jurnalistik, h. 4.
29
membuat nilai foto itu menjadi tinggi. Adegannya tidak dapat diulang dan tidak dilakukan dengan pura-pura ia ada sebagaimana adanya.12 General News Photo Adalah foto yang yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi dan humor. People in The News Photo Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu. Daily Life Photo atau Human Interset Adalah foto jurnalistik yang dapat digolongkan pada jenis ini berkaitan erat dengan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ia tidak terlalu asing bagi masyarakat. Hidup ditengah-tengah masyarakat dan dapat dilihat setiap saat. Tetapi foto ini menyajikan fakta yang menggugah emosi kemanusiaan, yang menyadarkan masyarakat akan harkat dan martabat manusia. Ada pesan kuat yang ingin disampaikan melaui foto jenis ini, yaitu pesan kemanusiaan.13 Misalnya foto tentang kegiatan pagi hari ditepi kali. Dalam foto itu digambarkan keadaan kali yang sangat kotor tetapi ada yang mandi, gosok gigi, mencuci dan buang hajat. Dengan foto seperti itu kesadaran masyarakat akan kebersihan digugah, agar masalah tersebut menjadi pemikiran semua orang. Dengan demikian, foto jurnalistik jenis ini tidak harus memperhitungkan nilai berita atau kehangatan sebagaimana foto-foto berita. Walau pun 12 13
Alwi, Foto Jurnalistik, h. 8. Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 77.
30
kadang-kadang ia harus mampu berdiri sendiri tanpa harus bersandar pada penjelasan tertulis yang barangkali perlu ditambahkan adalah keterangan mengenai lokasi dan waktu pengambilan gambar. Tetapi hal itu pun tidak perlu dilakukan apabila kita dapat merekam keterangan-keterangan itu dalam foto. Misalnya dengan latar belakang gedung-gedung atau tulisan tertentu. Yang penting dalam foto jenis ini adalah kedekatan masalah yang ingin disajikan dengan masyarakat. Sangat banyak permasalahan yang dapat kita sajikan tanpa harus mengada-ada. Sering pula masyarakat menyaksikan kejadian yang kita rekam dalam foto itu sehingga dianggap biasa. Tetapi dengan foto jenis human interest itu kita justru menyajikan hal yang biasa itu menjadi tidak biasa. Ada pesan lain yang akan kita sampaikan dari hal yang biasa itu.14 Portrait Adalah foto yang menampilkan seseorang secara personal sesuai karakter ketokohannya. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya. Sport Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga. Science and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14
Soelarko, Pengantar Foto Jurnalisitk, h. 78.
31
Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya. Social and Environment Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya. Feature Foto feature bukan sekedar snapshot, tapi usaha wartawan untuk memilih sudut pandang yang khas dan bukan sekedar didikte oleh peristiwa itu sendiri, sehingga memberi makna lebih dalam terhadap sebuah peristiwa. Sebagai contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api, tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih kehilangan tempat tinggal.15 Essay Foto Yang dimaksud dengan foto essay adalah serangkaian gambar atau foto yang merupakan essay. Kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang menyertainya. Foto kategori ini sering dianggap “otaknya” foto jurnalistik. Foto-foto ini menyajikan beerbagai aspek dari suatu masalah yang ingin dibahas.16 Misalnya rangkaian foto terdiri dari : - Anak-anak sekolahan (dengan seragam sekolah) bergerombol di depan kios persewaan buku. 15 16
Yuniadhi Agung, Pengantar Fotografi Jurnalistik (Jakarta: T.pn., 2004), h. 23. Fotomedia, “Foto Jurnalistik Gabungan Gambar dan Kata,” April 2003, h. 24.
32
- Segerombolan anak sekolah yang secara sembunyi-sembunyimembaca buku porno. - Anak-anak sekolahan berada dikomplek pelacuran. Dari tiga foto itu pembaca diajak untuk merenungkan kejadian-kejadian tersebut. Hal yang ingin kita sajikan dengan essay foto itu menyangkut kerawanan buku porno dikalangan pelajar. Bisa juga essay foto itu dibuat tanpa harus merupakan rentetan peristiwa dengan tokoh yang sama. Tetapi pesan yang ingin disampaikan utuh. Misalnya foto: - Tawar-menawar antara dua orang di suatu tempat yang tersembunyi - Foto poster tentang bahaya narkotika - Foto seorang remaja sedang menghisap rokok dan teler. Dari rangkaian foto yang tidak ada hubungannya antara satu dengan yang lain, kita dapat menyampaikan pesan tentang bahaya narkotika. Apabila kita dapat menyajikan rangkaian foto secara menarik, pesan yang akan kita sampaikan melalui essay foto itu akan lebih mudah ditangkap pembaca daripada kita menyampaikannya dalam tulisan. Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita terbagi menjadi dua, yaitu:17 1. Foto Tunggal (single photo): Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto lainnya.
17
Wawancara Pribadi dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas), Jakarta, 6 Juni 2014.
33
2. Foto Seri (Foto Story): Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa. Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of message), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat.18 Dalam hal ini, isi pesan yang dimaksud adalah isi (content) dari foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks yang menyertainya. 3.
Proses Teknik Foto Jurnalistik Seorang fotografer jurnalistik harus mengetahui beberapa proses teknik
foto jurnalistik yang baik. Yang dimaksud dengan proses teknik foto jurnalistik yaitu urutan atau tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi pembaca. Foto jurnalistik yang baik tidak hanya sekedar fokus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus dengan teknis adalah gambar yang mengandung tajam dan kekaburan yang beralasan.19 Ini dalam artian memenuhi syarat secara teknis fotografi. Fokus secara cerita, kesan, pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti dan dipahami. Sementara dari konsep pemaknaan sudut
18
Onong Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 38. SK Patmono, Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996), h. 109. 19
34
pengambilan gambar yang dikutip dari konvensi menurut Berger,20 sebagai berikut: Tabel 2 Signifier (Penanda) Sudut Pengambilan foto Close-up (CU) Medium shot (MS) Long shot (LS)
Definisi
Signified( Petanda)
Hanya wajah Hampir seluruh tubuh Setting dan karakter
Full shot (FS) Low Angle (LA)
Keseluruhan Kamera melihat ke Bawah Kamera melihat ke atas
Keintiman Hubungan personal Konteks, skope, jarak publik Hubungan sosial Kekuasaan, kekuatan
High Angle (HA) Eye Level
Kelemahan, Ketidakberdayaan Kamera sejajar dengan Kesejajaran mata objek
a. Close Up (CU) Shot yang menampilkan objek pada gambar lebih dekat. Misalnya dari batas bahu sampai atas kepala. Pengambilan gambar close up ini, biasanya menampilkan
identifikasi
psikologi
sebuah
karakter
yang
memerlukan perkuatan rincian detail berbagai aksi. Pengambilan gambar secara close up berguna juga untuk menekankan detil. b. Medium Shot (MS) Medium Shot, dapat dikategorikan sebagai komposisi “Potret setengah badan”, dengan background yang masih dapat dinikmati. Pengambilan gambar ini memperdalam gambar dengan lebih menunjukkan profil dari obyek yang diambil. Tampilan background menjadi hal kedua yang diperhatikan, yang
20
Arthur Asa Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 33.
35
terpenting adalah profil, bahasa tubuh dan ekspresi tokoh utama dalam bingkai gambar ini dapat terlihat dengan jelas. c. Long Shot (LS) Untuk mengikuti area yang lebar dan menunjukkan dimana objek berada/menujukkan tempat. Long shot menunjukkan progres bagaimana posisi subjek memiliki hubungan dengan yang lain. d. Full Shoot (FS) Pengambilan gambar penuh dari
kepala hingga kaki. Fungsinya
memperlihatkan objek beserta lingkungannya. e. Low Angle (LA) Pengambilan gambar teknik ini yakni mengambil gambar dari bawah objek. Kesan yang ditimbulkan yaitu keagungan atau kejayaan. Biasanya teknik ini sering di gunakan untuk membuat sebuah karakater monster atau manusia raksasa. f. High Angle Teknik pengambilan gambar dengan sudut tepat diatas objek. Sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari low angle. Pengambilan gambar yang seperti ini memilki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil. g. Eye Level Angle Teknik pengambilan gambar ini dilakukan dengan posisi kamera berada sejajar dengan obyek dalam pandangan mata secara horizontal, dimana dalam praktek pengambilannya bisa berada di kiri, kanan, depan maupun dibelakang obyek tergantung dari fotografer. Fungsi dari teknik ini cocok dipakai untuk menerangkan kegiatan apa saja dalam dari obyek yang dibidiknya.
36
B.
Headline Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau lebih populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang di halaman depan, dengan judul yang menarik perhatian dan menggunakan tipe huruf yang relative besar. Pendeknya, berita yang istimewa.21 Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan, Headline News atau berita utama adalah berita suratkabar, majalah, radio, atau televise, yang dinilai terpenting untuk suatu masa penyiaran.22 Menurut A.M. Hoeta Soehoet, pengertian berita utama adalah: Berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri. Headline biasanya terdiri dari 3, 4, atau 5 kolom.23
Sebuah foto headline harus mudah diingat dan punya kesan mendalam sehingga pertama kali melihat orang tersebut langsung tahu apa yang terjadi dan mengetahui kejadian yang ditampilkan foto tersebut. Foto headline harus menarik berbeda dari yang lain, aktual, informatif dan lain sebagainya. Hanya dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanyatanya apa sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, dimana terjadinya peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu.24 Setidaknya itu yang ada dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline. Jika tidak muncul rasa seperti itu, 21
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 257. 22 Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi (Bandung: Mandar Maju, 1981), h. 160. 23 A. M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003), h. 78. 24 Moeljadi Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu? (Surabaya: Fakultas Seni dan Desain UK Petra, 2000), h. 76-79.
37
maka gambar yang tepampang di headline tidak memenuhi kriteria sebuah foto. Sebab, foto yang baik adalah foto yang menarik. Apabila kita membuat foto yang sama dengan yang lain maka foto tersebut akan terlihat biasa saja dan dianggap tidak menarik. Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami karena melibatkan usnur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca. Berdasarkan isinya, headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional. Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan–diri audience. Daya tarik rasional menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.25 Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai ekonomis, manfaat, atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis, tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap headline ini. Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau negatif yang akan memotivasi pembelian.26 Dalam hal ini headline memiliki asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu 25 26
Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, h. 75. Pranata, Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, h. 76-79.
38
dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.
C.
Semiotik Model Roland Barthes Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya berhenti pada
pemaknaan
penanda
dan
petanda
saja
(denotasi).
Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.27 Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.28 Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
27
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261. 28 Piliang, Hipersemiotika, h. 261.
39
Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes29 1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGN (PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.
29
Paul Cobley & Litza Janz, Introducing Semiotics (NY: Totem Books, 1999), h. 51.
40
Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.30 Teori
tentang
mitos
tersebut
kemudian
diterangkannya
dengan
mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.31 Seperti pada gambar di bawah: Gambar 4: Tatanan Penandaan Barthes32
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.33
Denotasi dan Konotasi Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek. 30
John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), h. 121. Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: PT Serambi Ilmu, 2008), h. 14. 32 Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22. 33 Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70. 31
41
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.34 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.35 Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut: Tabel 4: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif36 KONOTASI Pemakaian figur Petanda Kesimpulan Memberi kesan tentang makna Dunia Mitos
DENOTASI Literatur Penanda Jelas Menjabarkan Dunia keberadaan/eksistensi
Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:37
34
Fiske, Cultural and communication Studies, h. 122. Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 36 Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 55. 37 Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h. 35
77-78.
42
a.
Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
b.
Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedurprosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:38
Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.
Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.
38
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 173.
43
Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.39
Tabel 5: Pemaknaan Photogenia dalam menganalisis foto40 TANDA MAKNA KONOTASI Photogenia Teknis Fotografi Normal Normalitas keseharian Dramatis Pemilihan lensa Lebar
Shot size
Tele
Tidak personal, voyeuritis
Close up Medium up Full shot
Intimate, dekat Hubungan personal dengan subjek Hubungan tidak personal Menghubungkan subjek dengan konteks, tidak personal Membuat subjek tampak tidak berdaya, didominasi, dikuasai, kurang otoritas Khalayak tampil sejajar dengan subjek, memberi kesan sejajar, kesamaan, sederajat. Menambah kesan subjek berkuasa, mendominasi, dan memperlihatkan otoritas Kebahagiaan, cerah Suram, muram Keseharian, realistis Memberi kesan subjek berkuasa Subjek penting Subjek tidak penting Subjek tidak penting
Long shot High angle
Sudut pandang
Eye level
Low angle High Key Pencahayaan Low key Datar Atas Penempatan Tengah subjek/objek pada Bawah bidang foto Pinggir
39 40
43.
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 174. M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
44
Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption ialah: Fungsi Penambat/ Pembatasa (anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya Fungsi Pemancar/Percepatan (relay) agar langsung dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.41
John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan „ini foto apa‟, sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto? Atau menitikberatkan pertanyaan „mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?.‟42 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.43 Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika 41
Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. Fiske, Cultural and Communication Studies, h. 48. 43 Sobur, Analisis Teks Media, h. 127. 42
45
segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah mengatakan “Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.44 Menurut Barthes, mitos memiliki empat ciri, yaitu:45 1.
Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.
2.
Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3.
Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
4.
Mitos
44
diciptakan
dengan
melakukan
seleksi
terhadap
berbagai
Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, h. 4. 45
46
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya. Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan nilai budaya dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam foto headline koran Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Selanjutnya, untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek), photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).
D.
Konsep Nilai Budaya 1. Nilai Nilai (value) berasal dari bahasa latin “valere” yang berarti berguna, berdaya, dan berlaku. Dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, bahwa nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang disukai, diinginkan, dimanfaatkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.46 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Misalnya dalam konteks keagamaan, ini merupakan konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.47 Seperti yang dikutip Andreas A. Danandjaja berpendapat bahwa nilai adalah pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai 46
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Golo Riwu, 2000), h. 721. 47 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 713.
47
apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.48 Masih dalam buku yang sama, J. M Soebijanta menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis: Gambar 5: Model Metodologis Nilai
Nilai
Sikap
Tingkah Laku
Sebuah nilai dapat dikategorikan sebagai:49 a. Nilai Subjektif Sesuatu yang oleh seseorang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya pada suatu waktu dan oleh karena itu (seseorang tadi) berkepentingan atasnya (sesuatu itu), disebut bernilai atau mengandung nilai bagi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu ia dicari, diburu, dan dikejar dengan menggunakan berbagai cara dan alat. Dalam hal ini nilai dianggap subjektif dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik sesuatu atau suatu barang berbeda menurut seseorang dibanding orang lain. b. Nilai Objektif Nilai yang didasarkan pada standar dan kriteria tertentu, yang objektif, yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh lembaga berwenang. Dalam hal ini nilai dianggap intrinsik. Dari beberapa definisi nilai yang telah disebutkan di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang 48 49
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 18. Bagus, Kamus Filsafat, h. 716.
48
membuat sesuatu itu dihargai dan nilai tinggi sebagai suatu kebaikan dan dapat dijadikan pedoman oleh seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku.50 2. Budaya Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.51 Menurut Tylor, “culture is the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities acquired by man as a member of society.”52 Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan samua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.53 Menurut Elvio, “Culture is a set of learned adaptive techniques.”54 Jika bicara masalah budaya, bukan hal yang secara singkat dapat dipahami, ini menyangkut masalah bagaimana budaya berangsur-angsur secara pasti terbentuk melalui proses interaksi manusia dengan alam atau manusia dengan manusia itu sendiri.
50 51
Bagus, Kamus Filsafat, h. 713. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.
181. 52
Fri Suhara, Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan Untuk Mahasiswa (Bogor: Maharani Press, 1998), h. 72. 53 Yan Mujianto, dkk., Pengantar Ilmu Budaya (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), h. 1. 54 Elvio Angeloni dan Clyde Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology (Pasadena: Mc Graw Hill, 2008), h. 4.
49
Selanjutnya, Elvio juga memiliki persepsi tentang budaya itu sendiri, “Culture is a way of thinking, feeling, believing. It is the group’s knowledge stored up (in memories of men; in books and aobjects) for future use.”55 Bagaimana cara seseorang berfikir, merasakan dan memercayai sangatlah berbeda dari manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ini terbentuk karena adanya ideologi yang dilahirkan dari karakteristik budaya yang ia anut. Budaya juga bisa dikatakan sebagai sistem pengetahuan, nilai, adar istiadat, tatakrama dan ritual keagamaan yang menjadi identitas masingmasing individu. Judy C. Pearson pun ikut andil memberikan persepsi lain tentang budaya yang ia rumuskan. “Culture can be defined as a system of shared beliefs, values, customs, behaviors, and rituals that the member of society use to cope with one another and with their world.”56 Lebih jauh
ia menjelaskan pengertian sub-budaya, “a group that is
similar to and part of the larger culture but is distinguished by beliefs and behaviors that differ from the larger culture. And number of co-culture exist based on language, race, religion, economics, age, gender, and sexual orientation.”57 Inti penting dari budaya adalah mempunyai pandangan bagaimana cara beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Budaya juga memiliki fungsi yang sangat
55 56
berarti
dalam
kehidupan
makhluk
sosial,
budaya
Angeloni dan Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology, h. 5. Judy C. Pearson, dkk., Human Communication (New York: McGraw-Hill, 2003), h.
212. 57
sebagai
Pearson, Human Communication, h. 212.
50
dilambangkan sebagai aturan atau sistem sosial yang menjadi penunjuk dalam menjalani hidup dan meneruskannya pada kehidupan selanjutnya. Budaya terakhir guna memberikan gambaran terhadap pengalaman empiris dan membagikannya pada generasi selanjutnya. Menjadikan pelajaran dalam berbagai hal dalam menjalani kehidupan sosial. Budaya juga memiliki banyak elemen-elemen, seperti makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pertahanan, control sosial, perlindungan, psikologis, tujuan hidup dan lain-lain. Namun budaya juga memiliki komponenkomponen umum seperti sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan bahasa. Karakteristik-karakteristik budaya adalah sebagai berikut:58
Budaya itu dipelajari
Budaya itu dibagikan
Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi
Budaya itu didasarkan pada simbol
Budaya itu dinamis
Budaya itu sistem yang terintegrasi
3. Nilai Budaya Dalam kehidupan bermasyarakat, semua wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan dengan manusia yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu kelakuan yang berpola dalam masyarakat. 58
Pearson, Human Communication, h. 218.
51
Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan manusia modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berupa konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual manusia kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak inilah yang diapresiasikan manusia kemudian membentuk
sebuah
aktivitas
komunikasi
non-verbal
yang
akhirnya
memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut.59 Dalam studi ilmu komunikasi, artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu.60 Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai budaya visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern, foto merupakan hasil kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang arti dan makna dalam sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta kecerdasan manusia yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera manusia. Oleh karena itu foto merupakan fenomena visual yang mengalami perkembangan teknologi cukup pesat. Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut mempunyai kepekaan 59
Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1957), h. 88. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 380. 60
52
dalam merekam detail yang membuat manusia modern mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada, baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif. Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling handal.61 Dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan besar pada pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer seni dalam dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan bertanggung jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal, berlawanan dengan mereka yang mengagungkan obyektivitas dalam fotografi, yang akhirnya menggunakan fotografi untuk memanipulatif.62 Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masingmasing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka 61 62
Barthes, Mythologies, h. 93. Barthes, Mythologies, h. 60.
53
berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan,
dengan
keterangan
mereka
dibantai
para
pejuang
revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.63 Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam se buah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat ketika pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi setiap orang yang melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang diambil Roland Barthes merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka malu dan mereka melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu. Kebebasan dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut.64
63 64
Barthes, Mythologies, h. 99. Barthes, Mythologies, h. 70.
54
Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan banyaknya konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil foto tidak dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin melihat hasil yang diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang menjadikan media komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat timeless. Foto merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu, karena tidak membutuhkan perawatan khusus untuk menyimpan dokumen-dokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat media ini banyak digunakan untuk kepentingankepentingan tertentu di media massa.65 Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap panca indra kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut mata sebagai kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya yang jatuh di atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu: Kebanyakan percaya bahwa apa yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh citra retina mata dan terutama kondisi pikiran pengamat.66 Oleh karena itu gambar-gambar dalam media visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan kreatif yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku kita.67 Pada akhirnya kebudayaan visual
65
Barthes, Mythologies, h. 177. Estelle Zannes, Communication: The Widening Circle (Massachusetts: AddisonWesley, 1982), h. 27. 67 Robert A. Baron & Paul B. Paulus, Understanding Human Relations: A Practical Guide to people at Work (2nd ed.) (A Division of Simon, 1991), h. 34. 66
55
melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan kebuadayaan visual manusia.68 Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan budaya dalam mengelompokkan nilai menurut Rusmin Tumanggor dkk. Sekurangkurangnya, ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas.69 a. Nilai teori Rusmin menjelaskan, pengertian dari nilai teori ini adalah ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar. b. Nilai ekonomi Adalah ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Lebih lanjut Rusmin menjelaskan, kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspel progresif dari kebudayaan. c. Nilai agama Terjadi ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia mengenal nilai agama. 68 69
Barthes, Mythologies, h. 137-142. Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi, h. 142.
56
d. Nilai seni Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan. e. Nilai kuasa Saat manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, normanormanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa. f. Nilai solidaritas Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas. Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau kelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya.70 Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memerhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok yang materialis, seniman, dan pekerja sosial. Bisa juga adailmuwan yang mengabdi kepada
70
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi, h. 102.
57
materi, politisi yang pejuan, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan sebagainya.71 Budaya progresif akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.72 Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya, yaitu :73 1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas) 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut 3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
71
Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 143. Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 144. 73 “Nilai-nilai Budaya,” diakses pada 4 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nilainilai_budaya 72
BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL SURAT KABAR HARIAN KOMPAS
A. Riwayat Singkat Harian Kompas Kompas Gramedia Grup merupakan salah satu perusahaan besar hingga saat ini, namun perkembangan Kompas Gramedia Grup hingga saat ini bukanlah dengan waktu yang singkat, terdapat beberapa peristiwa penting dalam lingkungan Kompas Gramedia Grup hingga sampai saat ini. Ide awal penerbitan harian ini datang dari Menteri/Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani, untuk mengadang dominasi pemberitaan pers komunis. Gagasan diutarakan kepada Menteri Perkebunan saat itu Drs Frans Seda, yang kemudian menggandeng Drs Jakob Oetama dan Mr Auwjong Peng Koen—dua tokoh yang memiliki pengalaman menerbitkan media cetak.1 Untuk mewujudkan gagasan tersebut, dibentuklah Yayasan Bentara Rakyat pada 16 Januari 1965. Nama semula diusulkan Bentara Rakyat. Atas usul Presiden Sukarno, namanya diubah menjadi Kompas, yang berarti pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba. Kompas terbit pertama kali pada 28 Juni 1965 dengan tiras sebanyak 4.828 eksemplar.2 Kompas sempat dua kali dilarang terbit. Pertama, pada 2 Oktober 1965 ketika Penguasa Pelaksana Perang Daerah Jakarta Raya mengeluarkan larangan terbit untuk semua surat kabar, termasuk Kompas, sebagai upaya agar pemberitaan tidak menambah rasa bingung masyarakat terkait peristiwa
1
Blenzinky, “Perjalanan Sejarah Kompas,” artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari www.Kompas.com 2 Blenzinky, “Perjalanan Sejarah Kompas.”
58
59
Gerakan 30 September yang tengah berkecamuk. Kompas terbit kembali pada 6 Oktober 1965.3 Pada 21 Januari 1978, Kompas untuk kedua kalinya dilarang terbit bersama enam surat kabar lainnya. Pelarangan terkait pemberitaan seputar aksi mahasiswa menentang kepemimpinan Presiden Soeharto menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1978. Pelarangan bersifat sementara dan pada 5 Februari 1978, Kompas terbit kembali.4 Pada edisi perdana, Kompas terbit empat halaman dengan 11 berita pada halaman pertama. Terdapat enam buah Iklan yang mengisi kurang dari separuh halaman. Pada masa-masa awal berdirinya, Kompas terbit sebagai surat kabar mingguan dengan delapan halaman, lalu terbit empat kali seminggu, dan dalam waktu dua tahun berkembang menjadi surat kabar harian nasional dengan tiras 30.650 eksemplar.5 Sejak 1969, Kompas merajai penjualan surat kabar secara nasional. Pada 2004, tiras harian mencapai 530.000 eksemplar, sedangkan edisi Minggu mencapai 610.000 eksemplar. Kompas diperkirakan dibaca 2,25 juta orang di seluruh Indonesia. Dengan tiras sebesar itu, Kompas menjadi surat kabar terbesar di Indonesia. Untuk memastikan akuntabilitas jumlah tiras, sejak 1976, Kompas menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk melakukan audit.
3
“Sejarah Kompas,” diakses pada 4 Juli 2014 dari http://print.Kompas.com/about/sejarahKompas.html 4 Frans Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob (Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001), h. 59. 5 “Sejarah Kompas.”
60
Saat ini, Kompas Cetak (bukan versi digital) memiliki tiras rata-rata 500.000 eksemplar per hari, dengan rata-rata jumlah pembaca mencapai 1.850.000 orang per hari yang terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia.6
B. Visi & Misi Harian Kompas Visi Harian Kompas
a.
Setiap media memiliki visi yaitu pandangan media dalam menilai suatu masalah yang terjadi dalam masyarakat. Seperangkat visi inilah yang nantinya akan dijabarkan dalam kebijakan editorial dan sekaligus menjadi acuan bagi surat kabar yang bersangkutan. Visi sebuah surat kabar adalah dasar untuk menguraikan sejumlah nilai dalam menentukan kriteria dalam menyeleksi dan mengolah beritanya. Selain itu visi juga menjdi nilai dasar dan acuan yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja di penerbitan tersebut. Aktualisasinya diterjemahkan oleh wartawan melalui pergulatan dan pemikiran serta pengolahan realitas sosial menjadi realitas media baik dalam bentuk berita maupun komentar.7 Kelahiran Kompas pada saat itu diatur oleh perundangan yang mengharuskan surat kabar yang terbit berafilisai dengan Partai Katholik. Namun sejak semula para pendiri dan perintis Kompas selalu menekankan bahwa visi kemasyarakatan koran haruslah terbuka. Visi Kompas adalah “Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan bermartabat serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan.” Visi pokok yang dijabarkan menjadi 6
“Sejarah Kompas.” St. Sularto, Kompas Meluncurkan Tim Ombusman (Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001), h. 77. 7
61
kebijakan redaksional, selain menjadi kerangka acuan serta kriteria dalam menyeleksi dan mengolahnya menjadi berita, juga menjadi visi serta seuntai nilai dasar yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja dalam media tersebut. Visi ini sekaligus diperkaya dan diaktualkan oleh para wartawan melalui pekerjaan dan pergulatannya dengan realitas serta pemikiran yang mereka olah menjadi bahan berita, laporan, maupun komentar.8 Kompas mengakomodir setiap kepentingan masyarakat. Kompas inigin berkembang sebagai suatu institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengotak-kotakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Kompas juga berusaha menjadi juru bicara kemanusiaan, mengedepankan persoalan yang berkaitan dengan nasib orang banyak terutama yang terpinggir dan tertinggal. Maka, independensi Kompas adalah ketika Kompas mengambil jarak terhadap pemerintah dan terhadap setiap lembaga
kekuasaan.9
Motto
tersebut
menunjukkan
bahwa
Kompas
berkomitmen juga menyuarakan hati nurani rakyat. Jargon manusia dan kemanusiaan yang diusung Kompas akan memberikan warna, makna, kekayaan, serta jiwa dalam pemberitaan, laporan maupun realitas sosial secara lebih peka. Karena peka terhadap penderitaan sesama manusia adalah sifat khusus humanisme.10 b.
Misi Harian Kompas
8
Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 59. 9 Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 60. 10 Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas), Jakarta, 19 Mei 2014.
62
Sementara itu, Misi Kompas adalah sebagai berikut: “Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara professional, sekaligus memberi arah dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi terpercaya.” Dalam kiprahnya dalam institusi pers, misi Kompas “Berpartisipasi membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip “humanism transedental” (persatuan dalam perbedaan) deangan menghormati individu dan masyarakat adil dan makmur.11 Secara spesifik, bisa diuraikan sebagai berikut: a.
Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka.
b.
Kompas tidak melibatkan diri dalam kelompok-kelompok politik tertentu baik politik, agama, sosial, atau golongan ekonomi.
c.
Kompas seacra aktif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan segala kelompok.
d.
Kompas adalah Koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa.
e.
Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu memperhatiakan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintah yang menjadi lingkungan. Menurut Jacob Oetama, surat kabar tidak lebih dari sekedar suatu
informasi dan peliputan perihal peristiwa, surat kabar adalah juga interaksi. Karena itu, surat kabar mempunyai policy, kebijakan editorial dan juga kebijakan perusahaan. Interaksi antara kebijakan dan liputan lapangan itulah dinamika yang menhasilkan berita, komentar, dan opini.12 Kompas tidak 11 12
B. Nugraha, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: ISAI, 1999), h. 62. Nugraha, Politik Media Mengemas Berita, h. 60.
63
hanya sekedar media cetak yang menyampaikan informasi kepada pembaca, tapi lebih dari itu, ia mengemban sebuah misi yaitu untuk mendidik dan mencerdaskan hati nurani anak bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita Kompas untuk menjadi sebuah Monumen Nasional Dari Hati Nurani Rakyat.13 Sesuai dengan misinya tersebut, Kompas berusaha untuk membuat pembacanya tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi pembaca Kompas diharapkan dapat memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Kompas juga mengajak pembacanya untuk berfikir dan memberikan interpretasi terhadap sajian teks berita. Tugas redaksi hanya sampai pada proses memberikan informasi yang seimbang antara dua belah pihak. Dengan cara yang tidak memberikan justfikasi atas permasalahan tertentu, pembaca Kompas diharapkan memiliki ruang tersendiri untuk lebih berkontemplasi terhadap suatu realistas. Atas dasar itu, Kompas tidak pernah membuat berita yang sensasional.14 Artinya, tidak ada fakta yang dikemas secara hiperbolik dalam rangka mengejar oplah. Meskipun humanis, namun hal ini tidak menjadikan bahasa Kompas menjadi kenes. Kompas juga jarang sekali atau bahkan tidak menggunakan bahasa-bahasa yang kenes, vulgar, dan adhiaporis belaka. Karena keprihatinan humanisnya, Kompas tidak ingin menghibur pembacanya, tapi ingin ikut bertanggungjawab untuk mendidik pembacanya menjadi humanis.
C. Sasaran Operasional Harian Kompas 13 14
Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 61. Seda, Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob, h. 62.
64
Kompas berperan serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor satu dalam semua usaha di antara usaha-usaha lain yang sejenis dan dalam kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha bersih dengan melakukan kerja sama dengan peusahaan-perusahaan lain. Hal ini dijabarkan dalam lima sasaran operasional:15 1.
Kompas memberikan informasi yang berkualitas dengan ciri: cepat, cermat, utuh, dan selalu mengandung makna. Kompas memiliki bobot jurnalistik yang tinggi dan terus dikembangkan
2.
untuk mewujudkan aspirasi dan selera terhormat yang dicerminkan dalam gaya kompak, komunikatif, dan kaya nuansa kehidupan dan kemanusiaan. 3.
Kualitas informasi dan bobot jurnalistik dapat dicapai melalui upaya intelektual yang penuh empati dengan pendekatan rasional, memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain, selalu berusaha menundukan persoalan dengan penuh pertimbangan tetapi tetap kritis dan tetap teguh pada prinsip.
4.
Berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya demi meningkatkan tiras.
5.
Untuk dapat merealisasikan Visi dan Misi, Kompas harus berusaha memperoleh keuntungan dari usaha. Namun keuntungan yang dicari bukan sekedar demi keuntungan itu sendiri tetapi menunjang kehidupan layak bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagi perusahaan.
15
Wawancara Pribadi dengan Johnny TG.
65
D. Moto Harian Kompas Harian Kompas berusaha menyajikan nilai-nilai humanis kepada pembacanya melalui artikel-artikel, cerita kehidupan rakyat biasa yang disajikan Kompas dalam liputan setiap harinya. Keberpihakkan pada rakyat tergambar jelas pada motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang terdapat di bawah kata Kompas. Judul tambahan ini mencerminkan bahwa Kompas lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Kompas mengedepankan kepentingan rakyat.16 Motto ini menggambarkan visi dan missi Kompas bagi disuarakanya hati nurani rakyat. Kompas ingin berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Kompas ingin berkembang sebagai “ Indonesia Mini” karena Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka dan kolektif. Kompas ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa. Kompas ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai transenden atau mengatasi kepntingan kelompok. Rumusan bukunya adalah “humanisme transedental”. Pepatah yang kemudian ditemukan dan menegaskan empati dan compassion Kompas adalah “Kata Hati Mata Hati”.17
16 17
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014. Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.
66
E. Kebijakan & Susunan Redaksi Harian Kompas Kebijakan Redaksional Harian Kompas
a.
Kebijakan
redaksional
menjadi
pedoman
dan
ukuran
dalam
menentukan peristiwa apa yang menentukan nilai berita oleh surat kabar yang bersangkutan. Kompas menerapkan prinsip jurnalistik: liput dua belah pihak yang lain, jangan-jangan masih ada kemungkinan yang lain. Suatu persoalan besar maupun kecil ditinjau dari berbagai segi, sehingga jelas duduk perkaranya, semakin lengkap seluruh dimensinya dan semaki tercapai proporsisinya.18 Kebijakan redaksional (editorial policy) suatu media merupakan penjabaran dari tujuan media yang mendasari langkah media dalam menyaksikan informasi. Selain tujuan media, kondisi objektif pembaca juga menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan redaksional. Kebijakan redaksional ini menjadi tolak ukur dari standar kelayakan suatu informasi yang akan ditampilkan dalam media.19 Melihat dari motto yang dimiliki, Kompas mengidentifikasi dirinya sebagai pembawa kepentingan dan suara hati rakyat, maka seluruh kegiatan dan keputusan Kompas berdasarkan pada nilai-nilai dasar yaitu:20 1) menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya, 2) mengutamakan watak baik, 3) profesionalisme, 4) semangat kerja tim, 5) berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca,
18
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 116. 19 Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009), h. 65. 20 Wawancara Pribadi dengan Johnny TG.
67
pengiklan, mitra kerja penerima proses selanjutnya), dan 6) tanggung jawab sosial.21 b.
Susunan Redaksi Harian Kompas Posisi tertinggi pada struktur organisasi Kompas dipegang oleh
Pemimpin Umum yang dibantu Wakil Pemimpin Umum yang bertugas sebagai koordinator. Di bawahnya terdapat pemimpin redaksi dibantu wakil pemimpin redaksi I dan wakil pemimpin redaksi II. Wakil pemimpin redaksi I khusus membidangi berita opini yang meliput artikel, tajuk, serta karikatur. Di bawah ini Wakil Pemimpin redaksi adalah redaktur pelaksana. Susunan redaksi Harian Kompas periode 2014 adalah sebagai berikut:22 a.
Pemimpin Umum: Jakob Oetama
b.
Wakil Pemimpin Umum: Agung Adiprasetyo, St. Sularto
c.
Pemimpin Redaksi: Rikard Bangun
d.
Wakil Pemimpin Redaksi: Trias Kuncahyono, Budiman Tanuredjo, Ninuk Mardiana Pambudy
e.
Redaktur Pelaksana: James Luhulima
f.
Wakil Redaktur Pelaksana: Mohammad Bakir, Bambang Sigap Sumantri, Rusdi Amral
g.
21
Sekretaris Redaksi: Retno Bintarti, M. Nasir
J. Oetama dan Suryapratomo, Kompas Menulis dari Dalam (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), 65-66. 22 Surat Kabar Harian Kompas Edisi 24 Juni 2014.
68
Struktur Redaksi Foto:23 Ketua Desk Foto
: Johnny TG
Wakil
: Agus Susanto
Desk Politik dan Hukum
:
Mohammad
Subhan,
Anton
Wisnu
Nugroho, Alif
Ichwan,
Totok
Wijayanto
dan
Yuniadhi Agung Desk Olah Raga
: Agus Susanto
Desk Ekonomi
: Lucky Pransiska dan Riza Fathoni
Desk Humaniora
: Lasti Kurnia
Desk Meotropolitan
: Danu Kusworo dan Wisnu Widiantoro
Desk Non Berita
: Arbain Rambey dan Priyombodo
Desk Kompas Minggu
: Myrna Ratna
Desk Nusantara
:
Atika Walujani Moedjiono Bahana Patria Gupta, Hendra A. Setyawan, Heru Sri Kumoro, Iwan Setiyawan, Raditya Helabumi, Rony Ariyanto Nugroho, Wawan H. Prabowo, Arum Tresnaningtyas Dayu Putri, Fergananta Indra Riatmoko dan P. Raditya Mahendra Yasa
23
Wawncara pribadi dengan Johnny TG.
69
Gambar 6: Struktur Organisasi Redaksi Harian Kompas24
Pimpinan Umum&Wakil
Badan Penelitian & Pengembangan
Pemimpin Sirkulasi
Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin Redaksi
Iklan Perpustakaan & Dokumentasi
Sek. Redaksi
Rumah Tangga
Redaktur
Tim Penulis
Administrasi
Pelaksana Sekretaris
Halaman Opini Karikatur & Ilustrasi
Waredpel I
Bid. Polkam
Waredpel
Waredpel III
II Metropolitan
Hukum & Kriminalitas
Red. Feature
Luar Negeri
Red. Daerah
Ekonomi
Pendidikan & Kebudayaan
IPTEK Red. Fotografi
Olahraga Redaktur Kompas Minggu
Penyunting Red/Wakil Bid. Produksi Tata Wajah
24
Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini, penulis menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul penelitian “Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.).” Berkaitan dengan foto berita yang penulis jadikan sampel pada penelitian ini, Barthes memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabungan dari ketiganya. Adapun arti dari caption adalah mengulangi saja denotasi, oleh karena itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam headline atau artikel. Menurutnya, foto berita umumnya bersifat not arbitrary, unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan suatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran sepersis mungkin) tanpa manipulasi maupun manipulasi subjek dan peristiwa menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi sebagai sebatas penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.1 Penulis menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes yang merujuk pada makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dalam foto berita yang diteliti. Guna mengembangkan hasil temuan, selanjutnya penulis melihat hasil pemaknaan foto dan mengarahkannya pada kajian tentang nilai budaya. 1
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang : Yayasan Indonesiatera, 2001), h.
41.
70
71
A. Data Foto 1 Harian Kompas Edisi Rabu, 10 Juli 2013 Tarawih Pertama
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/ Caption : Pengungsi korban gempa melaksanakan shalat Tarawih pertama sebelum memulai puasa di mushala darurat berupa tenda di posko terpadu di Desa Kute Glime, Ketol, Aceh Tengah, Selasa (9/7). Sebanyak 52.113 pengungsi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terpaksa melaksanakan ibadah puasa Ramadan di pengungsian yang tersebar di lebih dari 70 lokasi, baik posko terpadu maupun pengungsian mandiri di pekarangan rumah. Fotografer : Lasti Kurnia
72
B. Analisis Data Foto 1 1.
Makna Denotasi Denotasi yaitu relasi antara penanda dengan petanda dalam sebuah
tanda, serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Untuk mengungkap makna denotatif dalam sebuah foto dapat diketahui pada tahap perseptif, yaitu melakukan transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar.2 Pada ranah denotasi, foto mentransmisikan sebuah realistis yang terekam. Ada imaji fotografi atau analogon yang merupakan turunan atau salinan dari realitas yang terjadi dari sebuah peristiwa yang tertangkap. Analogon inilah yang diterima sebagai kekuatan foto tersebut. Analogon yang hadir dari foto adalah juga bentuk pesan yang disampaikan pada ranah denotasi. Denotasi terhadap karya fotografi hanya menyatakan apa yang ada dan terlihat dalam gambar, tanpa memberi pemaknaan subjektif.3 Sebagai contoh: secara denotatif, babi adalah nama jenis binatang, namun secara konotatif, “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, denotasi dapat merupakan sebagai kata yang memiliki arti sesuai dengan apa yang ada didalam
kamus
bahasa
indonesia,
yang
dapat
merupakan
makna
sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari apa yang tertulis dan dilihat. Artinya, denotasi dalam foto hanya akan membicarakan tentang apa yang difoto, tidak lebih dari itu. Menambahkan atau mengurangi baik secara objektif maupun anggapan subjektif terhadap apa yang tampak dalam foto 2 3
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 157.
73
adalah hal yang dilarang ketika menjelaskan tentang makna denotasi pada foto. Dalam data foto pertama, objek (analogon) apa saja yang didapat, antara lain: a.
Beberapa wanita memakai mukena sedang melaksanakan ibadah shalat.
b.
Cahaya yang hanya tampak di dalam tenda dan di belakang tenda.
c.
Latar belakang yang dibuat blur (samar).
d.
Foto tercetak dalam bentuk berwarna, dengan warna hitam sebagai
warna dominan. Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa analogon yang ada mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam gambar ini terdapat tampilan beberapa perempuan yang dibingkai oleh sebuah jendela tenda, sedang melaksanakan ibadah shalat pada malam hari. Makna Konotasi
2.
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan mengamati beberapa perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar sebagai analogon.4 Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara lain:
4
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 159.
74
2.1
Trick Effect Trick Effect ialah memanipulasi gambar secara artifisial, dengan
maksud membuat foto menjadi lebih baik lagi sehingga mengubah isi foto yang sebenarnya.5 Menyangkut
istilah
“manipulasi”,
umumnya
orang
masih
berpedoman bahwa sebuah foto hasil manipulasi adalah foto yang diutakatik dengan sebuah perangkat. Selama ini istilah foto manipulasi semata mengacu pada sebuah tindakan pada foto yang sudah jadi. Dengan begitu, wajar pula kalau umumnya orang sering menyalahkan keberadaan perangkat lunak yangdisebut Photoshop. “Bolehkah
foto
jurnalistik
diolah
dengan
Photoshop?”
Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan publik dalam seminar foto jurnalistik di mana pun. Dalam kacamata umum, manipulasi foto memang mengutak-atik foto yang sudah jadi. Sesungguhnya, manipulasi foto itu banyak sekali jenis dan maksudnya. Manipulasi foto bisa terjadi tanpa olahan sama sekali pada fotonya, juga manipulasi foto bahkan bisa terjadi hanya semata dengan ucapan. Salah satu contoh, adalah foto-foto korban tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak yang sudah bertaburan di internet padahal, saat tim SAR pun belum bisa mencapai lokasi kecelakaan. Itu adalah foto manipulasi. Foto-foto yang beredar cepat itu adalah foto dari kecelakaan pesawat di Afrika, tapi dikatakan sebagai foto di Gunung Salak. Manipulasi jenis ini adalah mengubah informasi sebuah foto,
5
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 162.
75
sehingga foto kejadian A bisa menjadi foto kejadian B. Tanpa Photoshop, sebuah manipulasi bisa terjadi. Dalam sampel foto 1, tidak terlihat adanya indikasi trick effect. Proses edit hanya sebatas pemotongan sebagian gambar atau cropping dengan menggunakan sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar, seperti Photoshop dan aplikasi sejenisnya yang dilakukan untuk membuang gambar yang dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto sampel ini. Selain itu, sentuhan editing dalam batas yang normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga dilakukan pada foto 1, namun tanpa mengubah foto atau gambar yang sebenarnya. 2.2
Pose Pose, sebagaimana dijabarkan penulis dalam bab 2, dipahami
sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisang fotografer. Pose seringkali mudah ditemukan dalam foto yang berisi objek manusia atau hewan. Sedangkan dalam foto dengan objek pemandangan alam misalnya, kita tidak akan menemukan pose didalamnya. Sebab, pemandangan alam yang menjadi objek foto tidak terdapat unsur gaya, ekspresi apalagi sikap. Pada data foto 1, terlihat beberapa wanita yang sedang shalat dengan ekspresi khusyu‟ dan khidmat. Mereka menunduk dan memejamkan mata. Posisang fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di samping subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi yang sejajar dengan subjek foto.
76
Dalam gambar data foto 1 merupakan jenis foto human interest, dengan format gambar horizontal. Human interest merupakan foto yang menggambarkan suka dan duka perjalanan hidup manusia. Nilai-nilai keseharian manusia dapat terekam melalui aliran fotografi ini. Foto Human interest juga merupakan komentar sosial, dan karakter fotonya dapat menimbulkan emosi, tawa, atau sedih.6 2.3
Object Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebenarnya
bisa dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan object dalam membaca foto di sini, sebagaimana yang penulis jabarkan dalam bab 2, object dipahami sebagai benda-benda atau yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu juga merupakan point of interest (POI) atau pusat perhatian dalam foto. Penempatan beberapa wanita itu sebagai POI sangat menarik untk dilihat. Terlebih warna putih yang dikenakan wanita tersebut menjadi sangat kontras, dengan dominan warna hitam yang memenuhi frame sehigga mata yang melihat gambar ini akan langsung tertuju pada wanita yang memakai mukena warna putih itu. 2.4
Photogenia Dalam Photogenia, kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek
6
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 170.
77
gerak), freeze (efek beku), maupun angle (sudut pandang pengambilan objek). Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di luar ruangan (outdoor) pada malam hari dengan kondisi minim cahaya, sehingga sang fotografer menggunakan bantuan flash (lampu kilat) internal kamera dan memanfaatkan sedkit cahaya lampu di dalam dan di belakang tenda. Hal ini dapat diamati dari bayangan (shadow) wajah sejumlah wanita tersebut. Perlu juga diketahui, terdapat beberapa pilihan penggunaan cahaya bantuan
(flash)
dalam
pengoperasian
kamera.
Pertama
dapat
menggunakan flash internal kamera, flash eksternal (lampu kilat tambahan), atau dengan menggunakan seperangkat alat lighting yang biasa dipakai di studio-studio foto.7 Di sini penulis meyakini fotografer memotret foto dalam data foto 1 menggunakan flash internal kamera karena melihat beberapa indikator, pertama atas shadow yang nampak di bagian wajah. Kedua, atas hasil foto yang berada pada tingkat pencahayaan rendah (under exposure). Keyakinan penulis juga diperkuat oleh keterangan Lasti Kurnia sebagai fotografer foto tersebut. Adanya perbedaan ketajaman objek pada latar depan (foreground) dan
latar
belakang
(background)
mengindikasikan
foto
diambil
menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang berarti pengaturan diafragma berada antara f/2,8 sampai f/5,1. Dengan posisi diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan
7
Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata Fotogafi (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 55.
78
yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/30 sampai 1/60. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800. Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan jendela (di dalam tenda) ini dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan fokus pesan yang ingin disampaikan, dalam hal ini pesan tentang kegiatan ibadah para pengungsi. Melihat POI yang ada dalam foto memberi indikasi foto diambil dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau dalam istilah angle fotografi disebut dengan eye level. Sudut pengambilan ini memberi kesan yang sama dengan cara mata kita melihat terhadap objek. Posisi dan arah kamera memandang objek yang akan diambil layaknya mata kita melihat objek
secara
biasa.
Kamera
dan
lensa
sejajar
dengan
objek.
Pengambilan angle eye view biasanya digunakan untuk mengambil foto potret terhadap manusia, dimana posisi kamera layaknya posisi mata kita sendiri, memberi kesan sejajar, kesamaan dan sederajat.Dengan penggunaan angle ini, secara teknik tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu. Perlu juga diketahui, pemilihan angle dalam fotografi sedikit banyak juga dapat memberi pesan tertentu, dan juga biasanya dari angle yang digunakan fotografer, kita dapat melihat bagaimana sudut pandang seorang fotografer dalam menampilkan sebuah foto. Contohnya, ketika seorang fotografer memotret Jokowi dengan menggunakan low angle (memotret dengan kamera yang berada lebih rendah dari objek), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi adalah akan dapat terlihat sebagai sosok yang berwibawa. Akan menjadi berbeda pesan ketika seorang
79
fotografer memotret Jokowi dengan posisi kamera yang berada lebih tinggi (high angle), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi akan dapat terlihat kerdil dan tidak berwibawa. 2.5
Aestheticism Aestheticism atau komposisi merupakan susunan dari berbagai objek
atau gambar yang mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa “membangun” gambar namun juga bisa mengacaukan gambar. Gambar pada foto ini terlihat menarik dan eye catching karena penempatan wanta yang sedang shalat ini dibingkai oleh sebuah jendela. Dalam dunia fotografi, hal ini juga disebut sebagai framing. Jika dilihat dari komposisinya, foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan POI di 1/3 bagian kiri foto. Ukuran POI yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. 2.6
Syntax Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat atau
satu makna tertentu.8 Syntax tidak harus dibangun dengan lebih dari satu foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax. Pembentukan syntax seperti ini biasanya dibantu dengan caption. Foto ini menceritakan bahwa pengungsi korban gempa melaksanakan shalat Tarawih pertama sebelum memulai puasa di mushala darurat berupa tenda di posko terpadu di Desa Kute Glime, Ketol, Aceh Tengah, Selasa (9/7). Sebanyak 52.113 pengungsi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terpaksa
8
Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
80
melaksanakan ibadah puasa Ramadan di pengungsian yang tersebar di lebih dari 70 lokasi, baik posko terpadu maupun pengungsian mandiri di pekarangan rumah. Dari berbagai aspek teramati yang telah dijabarkan di atas, didapati makna konotasi dari data foto 1 yang menggambarkan bahwa dalam keadaan darurat dan berduka pun tidak menyurutkan niat para pengungsi untuk beribadah. Para pengungsi korban gempa tetap melaksanakan shalat Tarawih pertama di mushala darurat berupa tenda. 3.
Mitos Makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah sebuah keteguhan hati
masyarakat Aceh yang menjalankan ajaran Islam dalam kondisi apapun. Masyarakat Aceh yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam dan dijuluki dengan Serambi Mekkah ini memang sudah menerapkan hukum Islam
dalam
kehidupan
sehari-hari,
bahkan
di
kondisi
apapun.
Diberlakukannya hukum Islam dengan benar, menimbulkan efek kepada masyarakatnya sadar akan pentingnya mengikuti aturan Islam. Islam sangat berperan penting sebagai sarana pemersatu dan menjadi rujukan masyarakat. Islam juga memiliki daya konstruktif, regulatif dan formatif dalam membangun tatanan hidup. Bagi masyarakat, terutama yang berdomisili di desa-desa, agama telah dijadikan indikator yang mampu membentuk satu kesatuan sosial yang kuat. Mereka umumnya selalu patuh pada perintahperintah Allah dan Rasul-nya, meyakini bahwa ajaran Islam akan menyejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Adat dan agama tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakatnya. Ini terlihat dari
81
masyarakat Aceh yang hampir tidak mampu membedakan antara hukum dan adat. 4.
Nilai Budaya Setelah melalui proses pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos, maka
dapat disimpulkan bahwa nilai budaya yang didapat pada data foto 1 adalah nilai agama. Dalam data foto 1, tersirat masyarakat Aceh sangat memegang teguh nilai agama. Para pengungsi korban gempa tetap melaksanakan ibadah shalat tarawih sebelum memulai puasa Ramadan meskipun di dalam mushala darurat berupa tenda. Perlu diketahui, shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilaksanakan khusus pada malam bulan Ramadan. Adapun yang dimaksud dengan hukum sunnah adalah apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Waktu pelaksanaannya adalah selepas isya‟ dan biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid sebanyak 11 rakaat (8 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat witir). 5.
Interpretasi Lasti Kurnia, selaku fotografer, mengungkapkan bahwa pesan dari foto ini
adalah saat orang lain bisa tarawih di rumah dengan keluarga, suka cita pergi ke masjid bersama, sedangkan saudara kita yang lain sedang menyambut Ramadan dengan kondisi tertimpa musibah. Dalam hal ini, Lasti ingin menggugah empati dan mengajak pembacanya untuk lebih peduli terhadap musibah yang terjadi melalui fotonya. Ia ingin memberi perspektif agar orang lain peduli sesama dan ikut merasakannya. Bagi seorang jurnalis seperti Lasti, suatu bencana tidak hanya selalu dimaknai dengan kacamata sempit yang hanya sebatas meliput bagaimana kronologis bencana terjadi,
82
berapa jumlah korban, bagaimana penanganan bencana, pencarian korban, dan sebagainya, tetapi juga mencari dampak-dampak lain di luar lokasi yang menderita bencana. Karena menurutnya, tidak ada peristiwa yang tidak memberi dampak pada orang lain.
83
C. Data Foto 2 Harian Kompas Edisi Kamis, 11 Juli 2013 Harga Masih Meroket
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/ Caption : Warga berbelanja sayur-mayur di Pasar senen, Jakarta Pusat, Rabu (10/7). Memasuki bulan puasa, harga kebutuhan pokok terus naik dan diperkirakan makin melambung hingga Lebaran. Pemerintah sebaiknya segera menstabilkan harga kebutuhan pokok. Fotografer : Priyombodo
84
D. Analisis Data Foto 2 1.
Makna Denotasi Dalam gambar data foto kedua kita dapat amati beberapa analogon
yang berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain: a.
Dua orang laki-laki sedang melakukan proses jual beli.
b.
Beberapa sayur-mayur tersusun dan tergantung rapi.
c.
Ekspresi sumringah menghiasi wajah penjual dan pembeli.
e.
Latar belakang pasar tradisional.
f.
Warna-warna bahan pangan seperti merah, hijau, kuning, oren, dan ungu menjadi warna dominan. Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat
dalam data foto 2 dapat mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam foto terdapat peristiwa dengan menampilkan proses jual beli sayurmayur antara pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional. 2.
Makna konotasi 2.1.
Trick Effect Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan
suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan sehingga mengubah makna suatu foto. Dalam fotografi jurnalistik, sang pewarta foto seringkali mengatur subyek atau narasumber agar tampil sesuai dengan yang diharapkan. Pada kamera diatur bokeh, white balance, dibuat black and white dan sebagainya. Seringkali fotografer memotret tidak apa adanya. Hal ini sudah biasa dilakukan. Secara umum pengaturan pada tingkat sederhana
85
seperti perbaikan cahaya, pengubahan menjadi black and white, dan cropping masih dianggap wajar. Walaupun ini juga sudah masuk dalam ranah manipulasi digital. Bagian inilah yang kadang membingungkan karena batasan-batasan yang kurang tegas.9 NPPA (National Press Photographers Association) pada halaman kode etik menyebutkan editing harus mempertahankan integritas konten gambar foto dan konteks. Kemudian jangan memanipulasi gambar atau menambahkan atau mengubah suara dengan cara apapun yang dapat menyesatkan pemirsa atau tidak menggambarkan subyek. Tergantung dari sudut mana menafsirkannya, jika masuk golongan garis keras, maka segala macam manipulasi digital apapun bentuknya tidak dihalalkan.10 Salah satu kasus tahun 2001 ada di koran Los Angeles Times di mana fotografer menggunakan Adobe Photoshop untuk menggabungkan dua foto. Sang fotografer itu kemudian dipecat. Lalu ada kasus fotografer Adnan Hajj, seorang fotografer lepas Lebanon yang “menambah” asap dari foto perang yang ia ambil. Reuters kemudian berhenti bekerjasama dengan Adnan Hajj dan editor foto Reuters dipecat.11 Tersedianya software digital editing membuat semua orang bisa mengedit foto sehingga batas baik dan buruk menjadi kabur. Banyak jurnalis foto menggunakan aturan "ruang gelap" di mana hanya
9
Frank P. Hoy, Photo Journalism the Visual Approach (New Jersey : PrenticeHall, 1986), h. 51. 10 Martin Keene, Practical Photojournalismn a Proffesional Guide (Inggris: Focal Press, 1993), h. 77. 11 Bambang Dwi Atmoko, “Polemik Manipulasi Foto di Dunia Jurnalistik,” artikel diakses pada 6 Juli 2014 dari http://ruangkamera.com/mrbambang/2012/02/07/polemikmanipulasi-foto-di-dunia-jurnalistik/
86
menggunakan Photoshop untuk hal-hal yang masih bisa dilakukan secara tradisional. Dari beberapa kasus di atas, terlihat bahwa manipulasi foto jurnalistik memancing pro dan kontra. Pihak yang berkepentingan demi pencitraan, estetika atau hal lainnya akan melakukan manipulasi atau manipulasi foto. Ada juga pihak yang kontra atau tidak setuju dengan manipulasi digital pada jurnalistik. Terkait dengan data foto 2, tidak terlihat indikasi trick effect. Proses edit yang dilakukan hanya sebatas pemotongan sebagian gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto 2. Sementara dari segi kontras warna, penulis tidak menemukan sentuhan editing dengan menggunakan aplikasi pengolahan foto atau gambar, seperti Photoshop dan aplikasi sejenisnya, jadi tidak merubah kontras warna yang sebenarnya. 2.2.
Pose Pose adalah gesture, sikap atau ekspresi objek yang berdasarkan
stock of sign masyarakat yang memiliki arti tertentu, seperti arah pandang mata atau gerak-gerik yang hanya dapat dilihat pada objek foto yang menampilkan objek manusia, ataupun hewan. Foto dalam data foto 2 adalah foto yang menampilkan kegiatan manusia, maka penulis menemukan unsur yang bisa dikatakan sebagai pose. Adapun pose yang terdapat pada data foto 1 adalah penjual dan pembeli yang sedang
87
melakukan proses jual beli. Terlihat dari gerak gerik penjual dan pembeli yang sedang berinteraksi. 2.3.
Object Berbeda dengan foto 1, penempatan POI pada foto 2 berada di
tengah gambar. Objek utama berupa kedua lelaki yang ditempatkan pada bagian tengah komposisi tampak stabil dan secara jelas menunjukkan maksud sang fotografer. Warna putih yang merupakan baju dari salah satu lelaki yang menjadi POI tersebut menjadi tanda bahwa itu adalah pusat perhatian pada foto 2. Sebab, kedua lelaki yang menjadi POI terlihat sebagai objek yang paling menonjol dan menarik mata, sementara sayurmayur yang dalam foto berperan sebagai background dan foreground terlihat blur atau tidak fokus. 2.4.
Photogenia Photogenia ialah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan
telah menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti teknik lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun moving. Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma atau bukaan lensa sempit sekitar f/2,8 hingga f/5,1. Dengan posisi diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan yang nampak dalam data foto2 berkisar antara S: 1/30 sampai 1/60. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800., hal itu membuat hanya bagian tengah yang terlihat tajam dan fokus, sementara foreground dan background terlihat blur.
88
Objek dalam keseluruhan bingkai berada di tempat yang sejajar dengan
fotografer,
sehingga
fotografer
menggunakan
eye
level.
Penggunaan jenis angle yang dipakai oleh seorang fotografer dalam memotret suatu objek dapat terjadi atas beberapa kemungkinan, bisa karena keinginan sang fotografer guna menimbulkan kesan tertentu ataupun karena keadaan (situasi) lokasi di mana ia memotret. Pada data foto 2, penulis tidak menemukan kesan lain terhadap penggunaan eye level yang dilakukan oleh fotografer dalam memotret keseluruhan objek dalam satu bingkai foto. Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di luar ruangan (outdoor) dengan kondisi cahaya yang cukup terang, maka sang fotografer tidak perlu menggunakan bantuan flash (lampu kilat) internal kamera. Hal ini dapat diamati dari keseluruhan objek yang mendapat porsi cahaya yang sama, baik di bagian si penjual, si pembeli, maupun sayuran yang dijajakan. 2.5.
Aestheticism Pada sampel foto 2, format gambar dalam bentuk berwarna-warni,
memberi kesan suasana yang hidup. Dari segi estetika, foto 2 menggunakan metode framing. Framing merupakan suatu tahapan dimana fotografer membingkai suatu detil peristiwa yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang foto jurnalis mengenal arti suatu komposisi, pola, tekstur, dan bentuk subjek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini. Inilah yang makin membuat foto ini terlihat menarik.
89
Sang fotografer mengambil komposisi dengan timing yang tepat, yaitu saat penjual dan pembeli sedang berinteraksi. Timing merupakan salah satu metode dalam fotografi yang yang tergabung dalam EDFAT (Entire, Detail, Framming, Angle, dan Timing). Time merupakan tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan atas empat tingkat yang telah disebutkan sebelumnya. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan. 2.6.
Syntax Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks
yang ada pada judul atau caption foto. Dalam foto 2, caption yang tertulis adalah warga yang sedang berbelanja sayur-mayur di Pasar Senen, Jakarta Pusat pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Lebih lanjut, caption tersebut menerangkan bahwa pemerintah sebaiknya menstabilkan harga kebutuhan pokok. Jika dilihat dari tampilan
layout pada headline, data foto 2
meupakan sebuah foto ilustrasi dari sebuah berita yang mengiringinya. Perlu diketahui, sebuah foto ilustrasi pada hakikatnya merupakan hasil visualisasi dari suatu tulisan dengan teknik fotografi yang lebih menekankan hubungan subjek dengan tulisan daripada bentuk, dengan tujuan untuk menerangkan atau menghiasi suatu cerita, tulisan, puisi, atau informasi tertulis lainnya. Dengan foto ilustrasi, diharapkan tulisan yang mengiringinya lebih mudah dicerna. Oleh karena itu, fotografer harus bekerja sama dengan reporter, fotografer harus tahu apa yang reporter
90
tulis, reporter dan fotografer melakukan liputan secara bersamaan, dan foto-foto yang diambil juga harus sesuai dengan tulisan reporter. Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, makna konotasi dari foto tersebut merupakan foto ilustrasi dari sebuah berita kenaikan harga. Warga yang sedang melakukan proses jual beli meupakan salah satu objek yang dipilih oleh fotografer untuk mengilustrasikan berita tentang naiknya harga kebutuhan pokok. Selanjutnya, elemen lain berupa ekspresi pembeli yang sumringah dan bersemangat secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai sikap konsumtif masyarakat yang gemar memborong berbagai bahan makanan meskipun harga cenderung naik, terutama saat Ramadan . 3.
Makna Mitos Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah kultur
konsumerisme masyarakat menjelang dan saat bulan Ramadan. Sudah menjadi tradisi tahunan bila memasuki bulan Ramadan harga sejumlah kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan terus melambung sampai mendekati Hari Raya. Hal ini dipicu dari tingginya permintaan pasar sehingga harga otomatis akan naik karena stok yang menipis. Bahkan tak sedikit para penjual mengemas paket khusus guna menarik konsumen yang royal saat momentum ini sehingga angka penjualan retail biasanya akan mengalami peningkatan yang cukup besar. Secara umum, pada bulan Ramadan masyarakat berbelanja dengan porsi berbeda daripada hari biasa, hal ini dilihat dari salah satu sisi yang menganggap ketersediaan makanan hanya untuk menumbuhkan semangat saat berbuka dan sahur. Bila menyimak fenomena ini, bahkan terkesan tak
91
bisa dihindari, seolah tradisi belanja adalah bagian dari tradisi Ramadan itu sendiri. Sebuah trend yang berevolusi menjadi budaya. Bila awalnya kita tidak ada niat untuk membeli, namun melihat tetangga yang berbelanja kebutuhan Ramadan hingga Lebaran dari membeli makanan yang lebih banyak dari biasanya, merombak penampilan rumah, kendaraan, dan sebagainya, mau tak mau akan mengelitik keinginan kita untuk melakukan hal yang sama, padahal kocek setiap orang berlainan dan tentu saja harus diperhitungkan berdasarkan kebutuhan. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia masih tergolong kurang mampu. Kesenjangan sosial yang semakin membentang
akan
membuka
peluang-peluang
kejahatan
untuk
menyamakannya. Dalam Islam, memang diperbolehkan menyambut dan merayakan Ramadan dengan suka cita sebagai wujud rasa syukur datangnya bulan yang ditunggu-tunggu, bulan yang penuh berkah. Namun akulturasi budaya hedeonis semakin menyatu dengan tradisi Ramadan bukan hal yang baik. Sungguh menyedihkan, tamu agung yang begitu dinantikan itu, dicederai oleh sikap konsumtif. Padahal dalam al-Quran diindikasikan bahwa puasa adalah untuk memantapkan ketakwaan yang menganjurkan bersikap sederhana dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi barang-barang kapanpun, apalagi di bulan penuh berkah ini. Allah SWT melarang bersikap berlebih-lebihan dalam harta: “... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra [17]:26-27).
92
Ibadah puasa jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar tentu akan menghasilkan pribadi yang bertakwa. Artinya, di bulan Ramadan ini seharusnya perilaku konsumtif dapat dihindari. Sebab, manifestasi dari takwa adalah tidak mengumbar hawa nafsu, mampu mengendalikan semua keinginan, termasuk keinginan berbelanja yang tidak perlu (berlebihan). 4.
Nilai Budaya Dari mitos yang didapat, sudah jelas bahwa nilai budaya yang terkandung
pada data foto 2 adalah nilai ekonomi. Ada pemahaman yang kemudian timbul dalam pemikiran penulis tentang esensi dari nilai ekonomi itu sendiri, yaitu suatu hal yang diasumsikan memiliki nilai ekonomi adalah hal-hal yang berpotensi memberikan keuntungan secara ekonomi (komersil). Jika merujuk pada penjelasan nilai ekonomi sebagai sebuah nilai budaya dalam foto ini, adalah
terdapatnya
pola
konsumtif
yang
merupakan
efek
dari
berkembangnya nilai ekonomi di masyarakat. Dari penjelasan di atas, data foto 2 kemudian penulis asumsikan tidak memiliki nilai budaya lainnya seperti nilai teori, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas, melainkan nilai ekonomi. 5.
Interpretasi Jika dibandingkan dengan pernyataan Priyombodo, selaku fotografer
dari foto 2, ia justru melihat fenomena Ramadan yang terjadi di Indonesia malah
justru
menguak
kesenjangan.
Tak
sedikit
kaum
muslim
meramaikannya dengan “pengamalan shalih bergengsi”. Seperti puasa sambil umroh di tanah suci, atau menggelar paket buka bersama di hotel-hotel berbintang. Sungguh bertolak belakang dengan “keprihatinan” pelaku ibadah
93
puasa sejati yang berbuka bersama di surau-surau kecil di pojok kampung. Sakralitas Ramadan pupus oleh sifat matrealistik-konsumtif. Tradisi masih membudaya di mana-mana, dengan makanan yang lezat, baju baru, mengecat rumah, dan pengalokasian anggaran belanja yang berlipat dari hari biasa. Terlebih menjelang idul fitri, pembicaraan seputar THR (Tunjangan Hari Raya), baju baru, mobil baru, sofa baru, dan segala yang dianggap perlu baru atas nama momentum silaturahmi, telah menjadikan Ramadan, bulan yang seharusnya berhias khusyu„ dalam beribadah, menjadi masa riuh rendahnya berbelanja. Priyombodo juga menambahkan selayaknya kita mengevaluasi diri sejauh mana keberhasilan pelaksanaan ibadah puasa. Mampukah ia menjadi sarana pembentukan pribadi yang mampu mengekang hawa nafsu, mampu menghindari dari sikap konsumtif, dan bertahan dari segala gempuran kapitalisme. Kemenangan di akhir bulan Ramadan sama sekali tidak dinilai dari berapa baju baru yang Anda miliki.
94
E. Data Foto 3 Harian Kompas Edisi 5 Agustus 2013 Puluhan Triliyun Mengalir
Sumber: http://epaper1.kompas.com/kompas/ Caption : Pemudik menunggu giliran naik kapal feri di Pelabuhan Merak Banten, Minggu (4/8). Melonjaknya jumlah pemudik membuat setiap kendaraan mobil atau bus harus menempuh waktu sedikitnya lima jam perjalanan dari Gerbang Tol Merak hingga antre naik kapal. Fotografer : Ferganata Indra Hatmoko
95
F. Analisis Data Foto 3 1.
Makna Denotasi Dalam gambar data foto 3 kita dapat amati beberapa analogon yang
berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain: a.
Bus pariwisata yang sedang berhenti.
b.
Seorang laki-laki berada di bagasi bus sedang berbaring sambil mengenakan earphone.
c.
Di dalam bus, beberapa orang sedang duduk, ada juga yang berdiri.
d.
Foto diambil pada malam hari. Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat
dalam data foto 3 adalah, beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing sembari menunggu bus yang sedang dalam keadaan diam. Tulisan “bus pariwisata” yang terdapat di foto mengindikasikan bahwa penumpang tersebut adalah para pemudik. 2.
Makna konotasi 2.1
Trick Effect Trick effect dipahami sebagai upaya memanipulasi gambar sampai
tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. Dalam foto 3, penulis tidak menemukan manipulasi foto. Adapun pemotongan sebagian gambar atau cropping yang dilakukan, bukan merupakan bagian dari trick effect yang dimaksud. Proses mengatur kontras warna dan brightness menjadi lebih baik pun bukan hasil dari olah digital tambahan, melainkan sudah diatur sejak dalam kamera, hal ini ditegaskan oleh Lasti Kurnia saat diwawancarai penulis pada 6 Juni 2014.
96
Dalam buku serial Photojournalism yang diterbitkan oleh Time Life12 diungkapkan bahwa: Sementara foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto (foto berita) yang penekanannya pada perekaman fakta otentik. Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dll. Foto berita, foto advertensi dan sebagainya itu semua sebenarnya juga ingin menceritakan sesuatu yang pada gilirannya akan membuat orang tersebut bertindak (feedback) dan melakukan sesuatu atas peristiwa yang terjadi. Dari uraian di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya pers foto adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa. Untuk mencapai ini tentunya kita harus menguasai dua dasar yang berbeda, yaitu pendekatan teknis serta pendekatan konseptual. 2.2
Pose Pose dapat dikatakan sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisi
objek dalam foto. Pada foto 3 terlihat beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang berbaring, duduk, dan beridiri, yang tentu saja itu bisa disebut pose. Posisi fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di depan subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi sejajar dengan subjek foto atau biasa disebut eye level. 2.3
Object POI pada foto 3 berada pada seorang lelaki yang berada di dalam
bagasi bus sedang berbaring sambil memakai earphone di telinganya dan
12
William Cahn, Photojournalism (New York: Time-Life Book, 1972), h. 34.
97
menatap ke suatu barang yang ia pegang. Hal ini terlihat karena porsi pencahayaan yang didapat pada objek lelaki tersebut lebih terang dan memiliki perbedaan warna dengan objek lain di sekelilingnya. Objek pendukung lainnya adalah beberapa orang dari berbagai gender dan usia berada di dalam bus sedang melakukan aktivitas. Ada yang berdiri, duduk, menunduk, dan lain-lain. Bus yang memenuhi frame terlihat tidak moving atau paning, dapat memberi tafsiran bahwa bus sedang dalam posisi berhenti. Tulisan bertuliskan “bus pariwisata” yang ada pada badan bus menunjukkan bahwa mereka sedang atau akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. 2.4
Photogenia Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek). Secara photogenia, foto 3 memiliki kekuatan pada pengambilan sudut pandang (angle) yang dilakukan oleh fotografer. Posisi bus yang tidak terlihat secara keseluruhan menunjukkan bahwa sang fotografer hanya ingin fokus pada kegiatan yang sedang terjadi di dalam bus. Cara pengambilannya berada pada posisi yang sejajar dengan objek (eye level) dan menggunakan lensa standar atau lensa normal. Di dunia fotografi, lensa normal atau lensa standar adalah lensa yang memiliki cakupan pandang mirip dengan mata manusia dalam kondisi normal, oleh karena itu disebut lensa normal. Ferganata Indra Hatmoko, selaku fotografer juga
98
menambahkan, lensa normal adalah lensa dengan field of view (sudut pandang) yang kurang lebih sama dengan sudut pandang mata manusia dalam kondisi normal. Pada konteks pencahayaan, sebagaimana layaknya foto yang diambil pada malam hari atau saat kondisi gelap, foto diambil dengan bantuan lampu kilat (flash) dari segi ketajaman foto, tingkat ketajaman keseluruhan objek foto terlihat sama. Dalam tehnik memotret dikenal dengan istilah ruang tajam luas dengan mengatur kamera pada diafragma berkisar f/45, sampai f/11. Dengan posisi diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan pencahayaan yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/15 sampai 1/800. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800. 2.5
Aestheticism Estetika komposisi gambar pada foto 3 juga memiliki kekuatan
pesan yang menarik. Penempatan framing pada masing-masing objek menjadikan foto ini terlihat. Masuknya bagian belakang bus bertuliskan “Bus Pariwisata” merupakan suatu informasi bahwa yang menaiki bus tersebut merupakan para pemudik. Tedapatnya objek pria yang sedang berada dalam bagasi bus, secara tidak langsung memberi informasi bahwa bus tersebut berhenti dalam waktu yang tidak sebentar. Penempatan objek utamanya pun memakai komposisi rule of third atau 1/3 sehingga membuat foto ini semakin enak dilihat.
99
2.6
Sintaxis Berdasarkan caption, foto 3 menampilkan para pemudik yang
sedang menunggu giliran untuk naik kapal feri di Pelabuhan Merak, Banten, Minggu (4/8). Melonjaknya jumlah pemudik membuat setiap kendaraan mobil atau bus harus menempuh waktu sedikitnya lima jam perjalanan dari Gerbang Tol Nerak hingga antre naik kapal. Perlu
diketahui,
mudik
merupakan
sebuah
tradisi
yang
dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun menjelang akhir bulan Ramadan dan Lebaran untuk silahturrahmi bersama sanak saudara keluarga untuk berkumpul di kampung halaman. Orang atau keluarga yang merantau serasa belum sempurna Ramadannya dan berIdhul Fitri jika belum pulang kampung. Mudik sendiri berasal dari sandi kata bahasa Jawa ngoko yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Dalam konteks mudik di sini, tentu kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi
menjelang
hari
raya
besar
keagamaan
misalnya
menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik muncul pada beberapa negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Bangladesh.13
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik (diakses pada tanggal 14 Juni 2014 pukul 11.58).
100
Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (19661977), berhasil disulap menjadi kota Metropolitan. Bagi penduduk kotakota lain, Jakarta menjelma menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta “seolah-olah” akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.14 Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari Lebaran, ada dimensi keagamaan dan waktu yang tepat untuk kembali bersilaturrahmi ke kampung halaman. Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Dari foto 3, dapat ditafsirkan secara sintakasis, ada sebuah fenomena mudik yang terjadi di Indonesia dilihat dari jumlah masif pemudiknya dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan makna konotasinya adalah warga yang senantiasa antusias untuk melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing, tak peduli harus membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang Lebaran, harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum Lebaran, bahkan banyak yang harus menempuh waktu dan jarak lebih lama.
14
Hyk, “Mudik dan Idul Fitri” artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari http://nasional.sindonews.com/read/769918/16/mudik-dan-idul-fitri
101
3. Makna Mitos Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah fenomena mudik sebagai gambaran masyarakat Indonesia masih peduli dengan keluarga meski harus dilalui dengan bersusah payah. Teknologi komunikasi yang sudah demikian canggih pun, tampaknya tidak sepenuhnya dapat menggantikan tradisi mudik di negeri ini. Bagi sebagian orang, berlebaran mungkin tidak hanya cukup dengan mengirim SMS atau bertelepon, ada motivasi lain yang mengharuskannya pulang mudik. Jika ditelusuri, fenomena mudik di Indonesia terjadi karena begitu banyak rakyat yang mencari penghidupan di tanah rantau. Mengapa harus merantau, karena pada umumnya mereka mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan di daerah sebagai sumber penghidupan yang layak bagi keluarganya. Mengapa mereka kesulitan mencari pekerjaan yang layak di daerah, karena sejauh ini program pembangunan nasional memang masih dikonsentrasikan di kota, pembangunan belum semerata seperti yang diharapkan. Namun dibalik semua persoalan yang melatarbelakangi, mudik memang sudah menjadi fenomena sosio-kultural di negeri ini. 4.
Nilai Budaya Berdasarkan temuan mitos di atas, mudik memiliki sisi budaya positif dari
segi nilai solidaritas. Dengan mudik, berarti masyarakat masih menjunjung nilai silaturahmi antara keluarga. Acara mudik, khususnya menjelang Lebaran bukan hanya menjadi milik umat muslim yang akan merayakan Idul Fitri bersama keluarga, namun telah menjadi milik “masyarakat Indonesia.” Karena, meskipun manusia adalah makhluk individu yang berhak menetukan
102
tujuan hidupnya sendiri, pada dasarnya bersilaturahmi juga hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Selain untuk bersilaturahmi, mudik juga digunakan sebagai momen untuk menunjukkan sebuah eksistensi para pemudik kepada orang lain. Dengan bertemu sanak keluarga, mereka bisa menunjukkan sampai sejauh mana hasil jerih payah mencapai taraf hidup di perantauan. Meskipun para perantau rela menghamburkan tabungannya, jerih payahnya selama di rantau untuk menunjukkan “keberhasilan” kepada keluarga dan tetangga, tetapi ketika hal itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka, maka mudik akan membuat manusia mempunyai nilai solidaritas. Orang yang mencintai kampung halamannya adalah orang yang tidak lupa darimana dia berasal, lebih filosofis adalah ibarat kacang yang tak lupa akan kulitnya, atau menurut pepatah “Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali ke sarangnya.” Oleh karena itu, mudik juga dapat digunakan untuk sebuah refleksi diri kembali ke asal, kembali ke belakang, bahkan sampai di masa kecil kita.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Setelah mendeskripsikan dan menganalisis hasil temuan data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan menarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Denotasi Dari penelitian ketiga foto melalui tahap denotasi, disimpulkan bahwa data
foto pertama merupakan foto single atau foto berita yang berdiri sendiri tanpa sebuah berita yang mengiringinya. Sedangkan data foto 2 dan 3 adalah foto ilustrasi dari sebuah headline berita yang mengiringinya. Pada foto pertama, makna denotasi yang diapat adalah beberapa perempuan yang dibingkai oleh sebuah jendela tenda, sedang melaksanakan ibadah shalat pada malam hari. Foto kedua, adalah peristiwa dengan menampilkan proses jual beli sayur-mayur antara pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional. Dan foto terakhir adalah beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing sembari menunggu bus yang sedang dalam keadaan diam. 2.
Konotasi Melalui tahap ini, tidak ditemukan makna konotasi trick effect (manipulasi
foto pada tingkat yang berlebihan). Proses edit yang dilakukan dari ketiga foto tersebut hanya sebatas cropping dan color balancing. Selain itu, dari ketiga foto yang diteliti terdapat Point of Interest pada setiap fotonya dan, semuanya terdapat subjek foto. Aliran foto human interest adalah yang termasuk dalam
103
104
ketiga foto tersebut karena masing-masing foto terdapat unsur manusia di dalamnya. Photogenia yang digunakan dalam ketiga foto ini berbeda-beda. Dari segi pencahayaan, foto 1 dan 3 diambil menggunakan flash, baik internal maupun eksternal guna membantu pencahayaan foto. Sedangkan pada foto 2, fotografer lebih memilih menggunakan available light atau cahaya alami matahari karena foto tersebut diambil pada pagi hingga siang hari. Secara umum, ketiga foto menggunakan bukaan diafragma sedang hingga kecil. Hal ini dimaksudkan agar ruang fokus atau tajam dapat diperluas. Karena minim cahaya dan sempitnya bukaan inilah, foto 1 dan 3 menggunakan ISO yang sedang hingga tinggi. Sedangkan pada foto 2 menggunakan ISO rendah. Pada keseluruhan foto yang diteliti, hampir tidak terdapat efek shaking, moving, atau pergerakan dari objek atau subjek. Hal ini dikarenakan fotografer menggunakan shutter speed sedang hingga cepat. Selain itu pada semua foto sampel subjek atau objek terlihat tidak melakukan gerak-gerik yang cepat sehingga membantu fotografer dalam pengambilan gambar. Fungsi caption pada ketiga foto tersebut ada yang sebagai penjelas tambahan, ada juga sekaligus sebagai berita foto yang berdiri sendiri. 3.
Mitos Mitos yang didapat dari ketiga foto tersebut berbeda-beda. Pada foto 1
dapat disimpulkan bahwa keteguhan hati masyarakat Aceh yang menjalankan ajaran Islam dalam kondisi apapun. Mereka umumnya selalu patuh pada perintah-perintah Allah dan Rasul-nya, meyakini bahwa ajaran Islam akan menyejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Bahkan terkesan adat dan agama tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakatnya.
105
Pada foto 2, dapat diketahui bahwasanya bila memasuki bulan Ramadan harga sejumlah kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan terus melambung sampai mendekati Hari Raya. Hal ini dipicu dari tingginya permintaan pasar sehingga harga otomatis akan naik karena stok yang menipis. Bila menyimak fenomena ini, bahkan terkesan tak bisa dihindari, seolah tradisi belanja adalah bagian dari tradisi Ramadan itu sendiri. Sebuah trend yang berevolusi menjadi budaya. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 tema besar mengenai Ramadan pada harian Kompas edisi 10 Juli 2013 - 7 Agustus 2013, yakni tentang shalat tarawih, kenaikan harga, dan mudik. 4.
Nilai Budaya Pada foto 1, telah didapat makna mitos tentang masyarakat aceh yang
religius, sehingga secara otomatis nilai agama adalah unsur nilai budaya yang terkandung. Selanjutnya pada data foto 2, mitos kultur konsumerisme masyarakat
menjelang
dan
saat
bulan
Ramadan
yang
ditemukan
mengungkapkan bahwa unsur nilai budaya yang tersirat adalah nilai ekonomi. Sedangkan pada foto 3, dari foto yang ditampilkan sehingga menghasilkan mitos tentang fenomena mudik sebagai gambaran masyarakat Indonesia masih peduli dengan keluarga meski harus dilalui dengan bersusah payah mengandung nilai budaya dengan unsur nilai solidaritas.
106
B.
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran bagi beberapa pihak, antara lain: 1. Bagi Harian Kompas dalam menampilkan pemberitaan terkait bulan Ramadan. Disamping menjalankan fungsinya sebagai harian nomor 1 di Indonesia dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat, sebaiknya lebih banyak menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat yang mendukung dalam ritual puasa. 2. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah keilmuan khususnya ilmu komunikasi. 3. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang fotografer dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu pesan, khususnya dalam medium visual. 4. Bagi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dan peminat karya-karya fotografi khususnya foto jurnalistik, metode ini juga berfungsi untuk mengungkap
107
makna lain yang terdapat dalam sebuah foto jurnalistik, baik secara objektif maupun subjektik. 5. Kajian semiotika dapat mengasah paradigma konstruktifis, bahkan wacana kritis dalam menilai makna di balik sebuah karya seni visual. Sehingga dengan semiotika, kita dapat menelaah arah perkembangan karya seni visual, khususnya di Indonesia. 6. Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak lagi hanya mendebatkan foto dari segi teknis bagaimana foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar pengulangan agar dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih kaya informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Yuniadhi. Pengantar Fotografi Jurnalistik. Jakarta: 2004. Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata Fotogafi. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Angeloni, Elvio dan Kluckhohn, Clyde. Classic Edition Sources Antropology. Pasadena: Mc Graw Hill, 2008. Anirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penulisan. Jakarta: PT Raja Grafika Persada, 1995. Arifin, Zainal. Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya: 2012. Bactiar, Wardi. Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1957. Berger, Arthur. Tehnik-tehnik Analisis Media Second Edition. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2000. Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010. Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia, 2001. Birowo, Antonius. Metodologi Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali, 2004. Bogdan dan Biklen. Qualitative Research For Education, an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc., 1982. Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku baik, 2003. Budyatna, M. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.
108
109
Cahn, William. Photojournalism. New York: Time-Life Book, 1972. Cobley, Paul dan Janz, Litza. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, 1999. Dani, Dahlan. “Fotografi Jurnalistik.” Majalah Cakram, 2 Juli 2002: h. 52. Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung: Mandar Maju, 1981. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, 2009. Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Bandung; Jakarta, 1990. Fitriadi, Firman Eka. “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI Depok, 2008. Hoy, Frank P. Photo Journalism the Visual Approach. New Jersey : Prentice-Hall, 1986. Hufad, Achmad. “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-niali Budaya Lokal: Kasus pada Keluarga Inti Orang Menes di Banten.” Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2005. Indriyanti, Amilia. Belajar Jurnalistik dari Nilai-nilai Al-Quran. Solo: Samudra, 2006. Irsyad, Roby. “Representasi tentara Amerika Serikat dalam Foto Berita Surat Kabar Nasional: Analisis Semiotika Foto Berita tentang Tentara Amerika Serikat selama 21 Hari Pertama Perang Irak di Halaman Satu Surat Kabar Republika.” Tesis Universitas Indonesia, 2005. Junaedhie, Kurniawan. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Keene, Martin. Practical Photojournalismn a Proffesional Guide. Inggris: Focal Press, 1993. Kiyanto, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2006.
110
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Kroeber, A.L. dan Kluckhohn, Clyde. Culture: A Critical Review Of Concept and Definitions. New York: Vintage Books, 1952. Kunto, Suharsimi Ari. Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bineka Cipta, 1991. Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Yayasan Indonesiatera, 2001. Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Golo Riwu, 2000. McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1995. Mehrabian, Albert dan Russel, James. An Approach to Environmental Psychology, Cambridge. Massachusetts: The MIT Press, 1996. Mujianto, Yan. dkk. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010. Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997. Nugraha, B. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI, 1999. Nurhuda, Angga Rizal. “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Oetama, Jakoeb. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001. Oetama, Jakoeb dan Suryapratomo. Kompas Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.
111
Panuti, Sudjiman dan Aart, Van Zoest. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: PT Karya Nusantara, 1996. Patmono, SK. Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996. Pearson, Judy C. dkk. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 2003. Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra, 2003. Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?. Surabaya: Fakultas Seni dan Desain UK Petra, 2000. Prihatana, Hermanus. Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Jakarta: LPJA, 2003. Pusporini, Hihmatun Hayu. “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012. Ratna Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Rodzik, Ali Abdul. “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Seda, Frans. Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001. Siregar, A. dkk. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Soehoet, A. M. Hoeta. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003.
112
Sugiarto, Atok. Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011. Suhara, Fri. Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan untuk Mahasiswa. Bogor: Maharani Press, 1998. Sularto, St. Kompas Meluncurkan Tim Ombusman. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001. Sumaatmadja, Nursid. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alumni, 1984. Sumantri, Arga. “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Sutrisno, Edy. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana, 2009. Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda, 2012. Soelarko, R. M. Pengantar Foto Jurnalisitk. Jakarta: PT. Karya Nusantara, 1985. Tumanggor, Rusmin. dkk. Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh. Jakarta: CV Sahabat, 2011. Yunus, Rasid. “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo.” Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2012. Yunus, Syafrudin. Jurnalistik Terapan. Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010. Yuwono, Untung dan T., Christomy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004.
113
Non Buku Ali, Mahrus. “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana.” Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010. Atmoko, Bambang Dwi. “Polemik Manipulasi Foto di Dunia Jurnalistik.” Artikel diakses pada 6 Juli 2014 dari http://ruangkamera.com/mrbambang/2012/02/07/polemikmanipulasi-foto-di-dunia-jurnalistik/ “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes).” Media Indonesia, 25 maret 2007. Blenzinky. “Perjalanan Sejarah Kompas.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari www.Kompas.com Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014. “Foto jurnalisitik Gabungan Gambar dan Kata.” Fotomedia, April 2003: h. 24-25. Hasby, Eddy. “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.kompasimages.com Hyk.
“Mudik
dan
Idul
Fitri.”
Artikel
diakses
pada
26
Juni
2014
dari
http://nasional.sindonews.com/read/769918/16/mudik-dan-idul-fitri “Mudik.” Artikel diakses pada tanggal 14 Juni 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik “Nilai-nilai Budaya.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nilainilai_budaya “Salat Witir.” Artikel diakses pada 26 Juni 2013 dari Id.m.wikipedia.org/wiki/Salat_Tarawih “Sejarah
Kompas.”
Artikel
diakses
pada
4
Juli
2014
dari
http://print.Kompas.com/about/sejarahKompas.html Sonesson, Goran. “The Interne Semiotics Encyclopedia.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.arthist.lu.se
114
Surat Kabar Harian Kompas Edisi 24 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas). Jakarta, 19 Mei 2014. Wawancara Pribadi dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas). Jakarta, 6 Juni 2014. “Warna-warni: Memahami Arti Komposisi.” Fotomedia, Juni 1996: h. 13-15.
Naskah Wawancara 1 Nama
: Johnny T.G
Pekerjaan
: Ketua Desk Foto Harian Kompas
Tempat
: Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37
Tanggal
: Senin 19 Mei 2014
Pukul
: 13.30 WIB
Keterangan
: Wawancara untuk data penelitian Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline Harian Kompas Edisi Ramadan 2013M./1434 H.)
1. Bisa dijelaskan tentang tugas Bapak sebagai ketua desk foto Kompas seperti apa? Kurang lebih job desknya sama kayak redaktur foto, kalo di Kompas sebutannya aja yang beda. Kalo di Kompas sebutannya ketua desk foto. Saya ertanggung
jawab terhadap setiap
rubrikasi
yang
ada
di
bidangnya
dan berkoordinasio dengan Redaksi Pelaksana dan Koordinator Wartawan. Kalo untuk foto, secara langsung atau tidak langsung, harus lewat saya. Jadi kalau toh itu yang menseleksi orang lain, itu biasanya udah atas persetujuan saya. Biasanya wakil saya. Kalau wakil sekarang dua orang. Saat seleksi foto, saya juga harus melihat dengan hati-hati. Jangan sampai ada sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan dan kriteria yang sudah ditetapkan. 2. Masuk ke cara kerja redaksional ya, Pak. Bisa dijelaskan sedikit? Kita selalu ngikutin siklus prosedur. Seminggu sekali diadakan rapat setiap hari rabu, sebutannya rapat pagi, yaitu membicarakan fenomena apa yang sedang hangat, sharing ide, kemudian menentukan konsep berita atau foto apa yang akan
115
116
diambil. Setelah itu ketemu lagi pada Rapat sore, yaitu menyampaikan hasil laporan dari data yang sudah diliput. Baru lanjut pada proses penulisan besoknya. 3. Dalam peliputan berita, SOP dari Kompas sendiri seperti apa? Kalau untuk liputan foto, hampir sama dengan berita. Yang pasti tidak boleh cloning. Kloning itu ada yang copy-paste. Kalau untuk fotografer, misalnya saya gak motret nih, trus ada temen yang motret 5 frame, lalu saya minta 1 frame, nanti saya akuin ini punya saya. Itu gak boleh. Kompas gak boleh lah, kalau tempat lain saya gak tahu. 4. Apabila sudah mendapat izin dari yang orang bersangkutan, tetap tidak boleh? Tidak boleh, kecuali, ada yang namanya pool. Pool itu artinya, di dalam suatu peristiwa, yang diizinkan meliput itu media atau orang tertentu, yang memang diakreditasi sama yang punya hajat. Lalu setelah diakreditasi, media yang diperbolehkan meliput itu, diwajibkan memberi ke media lain. Tapi nanti kreditnya pool. Misalnya dari Antara, karena yang hanya boleh meliput itu dari Antara. Itu beda sama yang cloning tadi. Kita dikasih memang kita gak boleh masuk. Kalau digital kan gampang transfernya, gak seperti dulu. 5. Selain kloning, apakah ada lagi aturan yang tidak tertulis? Untuk aturan yang gak tertulis itu setting. Setting dalam arti, misalnya acara kan udah selesai, trus bilang “diulang lagi dong Pak” nah itu gak boleh. Tapi kalau “Pak agak geser sedikit, biar bagus” itu gapapa, selama gak mengubah peristiwa yang terjadi dan maknanya. “Pak senyum sedikit” itu gapapa. Jadi sebenarnya kalau temen-temen sih berusaha senatural mungkin, makanya harus datang lebih awal. Jadi artinya, ketika media lain mensetting, ke kiri, ke kanan, senyum, segala macam, temen-temen Kompas akan mengambil terus, siapa tau akan ada yang lebih menarik. Karena kalau orang disuruh kan jatohnya maksa atau kurang alami. Nanti ketauan,
117
apalagi sekarang kalau digital itu kan kita bisa buka metadatanya, jadi ketauan. Misalnya yang lain rata-rata jam 3, kok foto dia jam 5 tapi hasilnya sama. Trus kayak tadi, gak boleh menghasut. Misalnya, orang siding di tipikor. Begitu sidang, trus dia kucek-kucek mata, lalu kita kasih judul “menangis”, padahal faktanya dia gak nangis, matanya ngantuk atau apa kan. Kompas harus lebih teliti. Sama juga, ya mungkin ini bisa dibilang jadi background Kompas, yaitu penempatan porsi berita yang harus kita tahu secara etika. Misalnya kalau RI 2 di depan, RI 1 harus ada di dalam. Kalau RI 1 di atas, RI 2 di bawah. Begitu juga sebaliknya. Bahkan dulu zamannya Pak Harto, gak boleh dia di dalem, foto beliau harus di depan. Kita pernah taro foto Pak Harto di dalem, itu ditelfon sama pihaknya. Gak ada aturannya, pokoknya gak boleh aja. Kalau yang sekarang sih SBY engga, tapi pernah kita buat Pak Sby, Ibunya nanya, “kok saya gak pernah dimuat?”. Akhirnya pernah satu edisi itu, Ibunya ada, tapi di dalem. 6. Kita langsung ke headline. Kriteria untuk foto headline di harian Kompas itu apa saja? Kalau untuk kriteria tertulis ya kita patokannya kode etik jurnalistik. Kayak misalnya foto gak boleh menghasut, mengandung sara, rasis, dan lain-lain. Kalau di Kompas sendiri sih yang pasti harus mempunyai efek kepada masyarakat, entah itu menimbulkan kepekaan, simpati maupun empati. Sifanya harus informatif, memberikan jalan keluar, dan seimbang. 7. Proses apa saja yang dilakukan sebelum foto berita dimuat di halaman surat kabar harian Kompas? Jadi di meja saya itu, saya punya fasilitas untuk membuka layout. Cuma dikasih kotak aja. Jadi kalau foto warnanya biru, kalau grafis warnanya merah. Mereka membedakan dari kotak-kotak berwarna itu. Jadi kalau warnanya merah,
118
saya gausah mikir, karena itu sudah pasti design grafis. Tapi kalau kotaknya warna biru, saya bertanggung jawab pada foto. Lalu kotak itu, apakah terkait dengan tulisan atau engga saya baca dulu. Fotonya cocok gak dengan tulisan. Nanti saya pilih foto, kalau harus dicropping nanti saya akan kasih tanda cropping berarti saya nanti pindah ke pengolah foto. Adjuster namanya, pengolah gambar supaya lebih menarik. Dari situ nanti foto dikirim ke bagian layout. Layout itu nanti masang lalu ditempel di kotak yang kosong tadi yang berwana biru itu, kemudian nanti saya lihat lagi, sudah benar atau belum. Jangan-jangan begitu dipasang ga sesuai. Karena kan, foto itu ada cara memotongnya sendiri. Kalau cropping harus tau prosedurnya. Mungkin aja setelah kita kirim sesuai kotak-kotaknya tadi, nanti ternyata begitu dipasang, itu tulisannya jadi panjang, atau tadinya dua kolom di layout jadi tiga kolom. Kalo udah mendapat persetujuan dari saya, baru naik cetak. 8. Apakah angle dalam sebuah foto berita atau ideologi Kompas memengaruhi foto tersebut? Tentu. Karena kan tiap media punya karakter yang berbeda-beda. Kompas itu sangat strick. Dalam arti, tiap produk yang dihasilkan, baik foto maupun tulisan harus sangat diperhatikan. Hemm... ingat saat Gusdur meninggal gak? Gusdur kan meninggal tgl 30 atau 31 Desember, saya lupa pokoknya menjelang akhir tahun, waktu itu kebetulan saya jaga. saya juga bingung gitu kan foto apa yang mau kita pasang. Kalo foto jenazah Gusdur kan itu pasti orang juga gamau lihat. Orang kan pengen tahu wajahnya. Tapi kalau wajah orang mati dikasih lihat kan juga serem. Akhirnya kita diskusi, terus kita mencoba mengabstraksikan Gusdur itu seperti apa. Kalau dipasang wajahnya aja yang ketawa, ga sopan juga. Lalu kita terfikir bagaimana image Gusdur sebagai Bapak bangsa, pokoknya kan orang melihat dia itu sosok yang dihormati, berkharisma. Trus kita cari-cari, itu kalau dikasihliat
119
depannya, matanya merem, aneh juga. Akhirnya kita dapet foto yang dia acara pembacaan pusisi atau apa gitu. Dia mau berorasi tapi dia duduk dulu. Itu kita punya pernah ngambil itu. satu badan, artinya dia dalam kondisi duduk, satu badan agak dari samping. Yaudah kita pasang itu dan backgroundnya item. Bunyi. Dapet emas kita. Se-asia, untuk layout. Layoutnya bagus, fotonya bagus vertical, jadi dia fotonya dari perut ke atas. Trus kalo ga salah cuma dua item. Dan kita dapet emas. Tapi itu kan gak gampang ya, coba sekarang kamu mau menggambarkan orang yang sudah mati. 9. Sejauh mana proses editing foto dalam harian Kompas? Kalau mengedit itu ada 2 pengertiannya. Artinya mengedit di saya sendiri, sama mengedit di bagian pengolah foto atau adjuster. Kalau saya mengedit itu saya gak boleh ganti-ganti nih background segalanya gak boleh. Saya hanya memotong. Misalnya fotonya horizontal tapi tempatnya vertical. Kalau sejauh masih bisa dibuat vertical, dari foto yang horizontal, dan tidak mengubah makna. Nah kalau nanti di pengolah foto itu, di adjuster, dia hanya mengedit terang gelap, tidak lebih. Dia gak boleh merubah suatu foto menjadi makna berbeda. Dia hanya boleh ngasih terang atau gelap. Itu aja. Sama dia menyesuaikan dengan ukuran yang sudah memang jadi patokan dipercetakan. Misalnya untuk warna merah, harus berapa persen. Itu mereka sudah tau, kita sesuaikan itu. Di luar negeri pernah ada kejadian, fotografernya itu dikeluarin. Jadi dia mengirim foto, lalu diedit sendiri. Foto perang kalau ga salah. Jadi dia ngirim beberapa sequence foto ke koran itu, terus ada yang dia hilangin background. Saat ditelusuri, baru ketauan. Sayangnya itu, medianya kecolongan disitu. Jadi kalau menghilangkan atau menambah, itu tidak boleh.
120
10. Perbedaan pada Harian Kompas saat bulan Ramadan dengan bulan lain? Karena yang namanya koran, apalagi harian, kita harus menyediakan data apa yang terjadi sesuai dengan fenomena. Setiap fenomena yang terjadi harus kita respon sebagai produk yang disajikan ke masyarakat. Jadi, kalau saat Ramadan ya sudah pasti hampir semua rubrikasi berkaitan dengan Ramadan. Tak hanya foto, tulisan juga. Pola-polanya pasti terbaca. Event-event tahunan seperti Natal, bulan puasa, tahun baru, itu semua termasuk event berpola. 11. Bagaimana tekhnisnya? Ada pembentukan tim untuk kordinator liputan. Bagian redaksi membentuk tim liputan khusus hari raya. Jadi, setiap event yang berulang, misalnya Ramadan, Lebaran dan tahun baru dijadikan satu rangkaian waktu. Istilahnya, mereka dapat SK (Surat Keputusan) sekali jalan. Kalau Ramadan, tim dibentuk biasanya terdiri dari satu fotografer dan beberapa reporter, durasinya dari sebelum Ramadan sampai Lebaran. Tapi kalau Natal dan tahun baru, mulainya sebelum Natal sampai selesai tahun baru, karena waktunya berdekatan. Nanti setelah itu ya bubar, masuk lagi ke desk masing-masing. Kalo waktu itu saya tidak termasuk ke dalam tim Ramadan karena urusannya berbeda. Saya urusannya bencana alam, jadi masuknya ke hardnews. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau foto atau berita yang naik berasal dari luar tim Ramadan. Nah ini maksud saya bahwa, Kompas itu ga terpaku harus begini-begini. Hanya, tim Ramadan ini, dia punya tugas, bahwa saat bulan Ramadan itu harus ada foto tema Ramadan yang menarik dan berpengaruh bagi banyak orang. Misalnya foto serial atau foto single. Jadi, isu yang sedang terjadi sebisa mungkin dikaitkan dengan Ramadan. Namun Kompas akan tetap menampilkan berita atau foto di luar konteks Ramadan, dengan asumsi bahwa berita atau foto itu sangat penting untuk naik pada hari itu. supaya kita punya variasi.
121
12. Langsung ke foto pertama yang penulis jadikan objek penelitian, sebagai redaktur foto, apa yang membuat foto tersebut terpilih menjadi foto headline? Kebetulan ini saat ada gempa, lalu ada pengungsi, dan ketika ini masuk saat bulan Ramadan, yaudah itu kita pakai. Kalau misalnya foto ini terjadi di tempat pengungsi yang mayoritas non muslim, yaudah pasti foto ini ga bakal bunyi, foto ini hanya sekedar foto pengungsi aja, sudah. Tapi karena ini kejadiannya di lokasi muslim, jadi foto ini lebih kuat, apalagi kalau dinaikan saat Ramadan. Sebenarnya ini faktor kebetulan juga. Kita cek dari temen-temen yang ditugaskan di lokasi bencana, kebetulan ada momen ini. Dan ini kan, tarawih pertama, biasanya akan orang tunggu. 13. Menurut Bapak, pesan apa yang kira-kira ingin disampaikan fotografer dalam foto ini? Kalau saya lihat sih lebih ke kesederhanaan. Inikan orang lagi tertimpa musibah di bulan yang harusnya disambut dengan suka cita. Ini juga termasuk tentang ketegaran yang bisa membuat orang terenyuh dan membuat orang lebih berkaca pada dirinya kan, bahwa apa yang tadinya dipikir itu bahwa bulan Ramadan adalah bulan suci yang kita bisa seneng-seneng, bisa kita sambut dengan suka cita, tapi saudara kita mengalami musibah. Terlihat juga dari ekspresinya. Makanya ada framing itu. Karena akan beda kalau pengambilannya tidak memperlihatkan subjek lain di sekelilingnya. Gak akan bunyi. Dan ini juga sudah telfon kepada yang bersangkutan, si Lasti ini. Supaya dapat gambaran. Bisa aja kan ini bukan di tenda, bisa aja ini alam terbuka. Ngambilnya mungkin detail mukanya, tapi karena harus ada sesuatu yang membingkai, alam terbuka kan berarti akan banyak fokus yang terlalu banya, misalnya ada pohon kelapa, anak kecil lari-lari, dan sebagainya. Tapi kalau ini kan orang fokus kesini bahwa ini ada di dalam sebuah tenda, bukan alam
122
terbuka. Jadi ada banyak hal yang harus diperhatikan. Kenapa dikasih lampu, kan kalau gelap malah aneh gitu ya kayak gaada kehidupan. Saya juga menghubungi si fotografer. Kamu lihat apa disitu. Karena kan beda sama orang yang tawarihnya di alam terbuka tapi 5 orang misalnya, meskipun orangnya hanya kelihatan 2 atau 3. Tolong saya dikasih informasi disitu ada apa aja. Untuk saya bisa menggambarkan malah nanti saya bisa ngasih masukan. Karena ini kan kebetulan, fotografernya non muslim, jadi kan dia gak tau titiknya. Kalau orang lagi solat kan pas lagi sujud pas nungging kan malah jadi aneh. Karena kan kita harus tau, titik mana yang masih baik untuk disampaikan. Kalau pas edisi shalat tarawih di istiqlal ini kan orang udah biasa lah. Kita kan nyarinya yang berbeda. Itu yang selalu saya pesankan sama temen-temen. Jangan sampai mengulang. Entah gimana caranya. Harus beda, trus jangan sampe salah juga. Ini kan sebuah peristiwa yang gak boleh dimain-mainin. 14. Selanjutnya untuk foto kedua? Ini termasuk foto serial. Ini kan foto yang terkait sama tulisan. Ini kan namanya serial. Adanya di bawah, kalau ini di atas kan jadi kurang menarik. Jadi boleh aja serial mau ada di sebelah mana. Yaudah, kita naikin. Kalau misalnya ada seseuatu pemberitaan yang kuat berkaitan dengan Ramadan, bisa jadi dia naik. Yang pasti kan tema harga naik kan pasti ada saat Ramadan. Pada saat itu kita juga melihat dalam pergerakan harga perhari itu apa yang paling berpengaruh pada kebanyakan orang, misalnya kan 9 bahan pokok. Saat Ramadan itu ada apa aja sih, ya kayak gini, harga barang naik, ada mudik, yaudah itu yang kita pake. Soal angle nya itu kita harus cari yang menarik. Jadi kadang-kadang kan pasar itu kan ga harus digambarkan dengan kondisi yang kumuh. Orang-orang yang berkeringat, atau dekil, pake singlet, tapi dengan seperti ini malah lebih menarik.
123
15. Dan foto terakhir? Ini bus antar kota ya. Kan biasanya kita juga ada yang pesawat.harusnya kita lebih banyak transportasi. Mulai dari bus, kereta, pesawat. Nah untuk kali ini kita ambil dari transportasi bus. Atau juga kita selang seling, kalau bus itu kan hampir setiap orang bisa naik atau mampu. Ini kan juga kita harus tau dan yakin betul bahwa ini orang mau mudik. Jangan-jangan ini ga ada hubungannya dengan arus mudik. Dia juga harus tau bahwa bus yang lagi antre memang ada hubungannya sama orang mudik. Makanya tulisan “bus pariwisata” dimasukkan. Terlihat juga di dalam bus terisi oleh banyak orang dan tas-tas. Jadi dia ga boleh mengada-ada. Itu merupakan tanggung jawab si fotografer. Kerika dia menawarkan ini, dan saya sampaikan pada editor foto, saya juga harus yakin bahwa ini sesuai dengan caption. Dari cropping juga bisa memadatkan sebuah pesan. kalau misalnya dia memperlihatkan bus secara penuh, kan foreground akan mengganggu, walaupun ada pemudik disitu. Tapi kan pemudik ga bisa kita atur, dan yang tadi saya bilang, tidak boleh ada setting yang mengubah makna, misalnya fotografer mengatur para pemudik untuk berdiri di depan bus agar terlihat lebih ramai. Makanya kita melakukan cropping. Nah itu tadi, jadi ketika si fotografer ngambil, dia harus tau bahwa itu bus yang sedang menunggu antrean. Kalau fotografer bohong berarti kan saya juga dibohongi, itu bahaya, kita bisa kasih punishment. Jadi dia ga hanya motret, tapi juga harus mengenali medan. Nah kalau hanya menampilkan bus yang berhenti itu orang juga ga akan tertarik, jadi juga harus diperhatikan aktivitas orang, ekspresi, dan pengambilannya. Banyak hal yang harus diperhatikan. Jadi ketika itu kan kita udah kasihtau ke fotografer, “ini tuh lagi musim mudik” coba cari suasana baru. Dia juga ga boleh mengada-ada, kan kita bisa cek juga lewat tulisan reporter. Misalnya fotografer bilang ini bus sedang menunggu antrean, ternyata kata reporternya engga. Jadi harus sesuai.
124
Naskah Wawancara 2 Nama
: Lasti Kurnia
Pekerjaan
: Fotografer Kompas
Tempat
: Gedung KOMPAS Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37
Tanggal
: Jumat, 6 Juni 2014
Pukul
: 19.00 WIB
Keterangan
: Wawancara untuk data penelitian Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline Harian Kompas Edisi Ramadan 2013 M./1434 H.)
1. Langsung ke fotonya Mba Lasti yang saya jadikan subjek penelitian, untuk foto tentang tarawih pertama ini, bisa diceritakan? Kenapa ini kemudian menjadi “Tarawih Pertama”. Jadi pada saat itu memang sedang terjadi gempa Aceh, di Gayo tepatnya, kejadiannya sebelum Ramadan. Saya ditugaskan untuk meliput bencana tersebut. Itu juga sebenarnya walaupun sifatnya kita (fotografer) responsif terhadap apa yang terjadi di lapangan dan kalau kita meliput bencana itu sudah pasti akan meliput bagaimana masyarakat yang tertimpa bencana, bagaimana penanganan bencana, pencarian korban, bagaimana yang di pengungsian, perkembangan pencarian korban dari hari ke hari. Hari pertama, kita kerahkan pasukan TNI, Kopasus, kemudian biasanya nanti sudah hari berikutnya muncul anjing pelacak atau mungkin pemakaian alat berat. Tapi di luar itu, kalau kita di Kompas sebagai fotografer, biasanya saat ditugaskan untuk liputan bencana tidak hanya memakai “kacamata yang sempit” yang sebatas meliput bencana. Dalam arti, kami sebagai fotografer juga mencari dampak-dampak di luar lokasi yang menderita bencana, karena tidak ada suatu peristiwa yang tidak memberi
125
dampak pada yang lain. Saya mencoba melihat dampak dari perekonomian dan mencari feature. Salah satu angle yang saya ambil adalah perkebunan kopi -karena Gayo terkenal dengan kopinya- yang ternyata mengakibatkan penggilingan kopinya rubuh. Hari berikutnya, kalau tidak salah hari keempat saya di Gayo, akan memasuki bulan Ramadan, kami sesama tim Kompas sudah bersiap, artinya, kita harus melihat bagaimana mereka (para pengungsi) akan memulai Ramadan pertama. Kita sudah mulai cari tahu. Ternyata ada tradisi “meugang” yang kebetulan saya bikin foto story tentang itu. Kalau tidak salah satu pekan setelah foto ini, foto story saya tersebut terbit di Kompas. Jadi, sudah pasti peristiwa yang uptodate terjadi disana harus saya ambil, karena kita akan terus kasih informasi kepada pembaca, bagaimana kondisi gempa di sana. Dan terutama ketika sudah mau Ramadan, waktu itu kondisi mereka tarawih pertama adalah penting untuk saya ambil. Sudah seperti tradisi, saat kita memasuki Ramadan kita pasti akan dapat permintaan dari editor foto untuk kita yang di Jakarta pergi ke Istiqlal, atau masjid mana yang unik. Termasuk saya saat sedang liputan bencana, dititipkan (oleh editor foto) bagaimana Ramadan pertama di sana. Begitu juga dengan teman-teman lain di luar Jakarta. Kebetulan karena waktu itu saya di Gayo, saya berfikir kondisi yang tidak normal adalah ketika harus melewati puasa pertama di tenda pengungsian. Otomatis saya langsung konsentrasi ke tenda pengungsian. Target saya sore itu, saya cari pengungsian yang terbesar, karena ada banyak kantong pengungsian, dan beberapa dari mereka ada yang ngungsi di depan reruntuhan rumahnya, jadi cuma pakai tenda kecil untuk sesama keluarga. Posko pengungsian besar ada di Kute Glime, jadi saya ke sana.
126
Saat liputan, saya tidak hanya mengambil foto yang beda dari yang lain, tetapi juga mencari objek yang value-nya lebih dibanding yang sudah biasa ditampilkan. Kita ajak orang berfikir, bagaimana yang lain bisa tarawih di rumah dengan keluarga, suka cita pergi ke masjid, bagaimana dengan saudara kita di pengungsian. Kita mau memberi perspektif untuk orang lain peduli dengan sesama, ikut merasakannya. Dan jadilah foto ini. 2. Proses terpilihnya foto Mba Lasti ini menjadi foto headline? Setelah selesai liputan, semua fotografer pasti menyetor, saya di Gayo, yang lain di Yogyakarta, ada yang dari Surabaya dan sebagainya. Nah yang menentukan ini kemudian dipilih menjadi foto headline di bulan pertama Ramadan adalah editor foto. Keputusan itu kenapa dipilih karena ada dua hal, yaitu dilihat dari konten dan visualnya. Mungkin karena kontennya lebih “dalem” dan secara visual, namanya foto jurnalistik, walaupun dia news, buat saya tetap sebuah karya seni. Kalau foto jelek juga orang ga akan mau lihat. 3. Jadi momennya pun berdekatan ya Mba, terjadinya gempa, kemudian bulan Ramadan? Ya, dan setelah ini, besok paginya ada ritual “meugang” yang tadi saya cerita. Jadi kalau di sana itu mereka ada seperti potong kerbau atau sapi. Saya bikin foto story dan video juga. Dan itu naik di akhir pekannya. Kita tidak mau terlalu lambat dalam menampilkan sebuah foto, jangan sampai kehilangan momennya, karena ini kan momennya juga masih Ramadan, jadi beritanya harus fresh. Saya juga membuat foto story tentang Desa Serempah yang ada di Gayo. Jadi Desa Serempah itu adalah Desa yang sudah hancur karena gempa. Bener-bener sudah tidak ada desanya, sudah habis rata. Saya mengambil angle hanya jejakjejaknya saja. Saya ingin mengambil begitu, karena tidak selamanya foto jurnalistik
127
harus ada orangnya. Yang penting kan kamu bicara. Tersampaikan. Gimana caranya menyampaikan, kamu bisa mencari caramu. Artinya, cara berbicara itu hampir sama dengan cara menulis. Cara menulis kan banyak ya, misalnya kamu mau menulis feature yang bagaimana, yang sangat keras, yang sangat fantasi, memasukkan ada banyak kalimat-kalimat yang kemudian membuat kamu bisa berfantasi, mau kamu soft, mau nakal sedikit pakai sentilan-sentilan. Sama, foto juga bisa seperti itu. Kamu bisa jail, kamu bisa sangat reflektif. 4. Foto simbolik seperti itu apakah bisa masuk koran? Bukanya hanya cocok untuk pameran foto? Bisa. Biasanya tidak hanya fotografernya, tapi editornya juga harus punya visi. Makanya seorang editor tidak mungkin pengalamannya baru, setidaknya, seorang editor harus memiliki jam terbang yang lumayan. Dan sebaiknya harus tetap motret, bergaul melihat perkembangan di luar. Tetapi tidak juga hanya editor fotonya, karena kalau kita bicara koran adalah hasil kerja banyak orang. Saya sampai sekarang masih berada di Kompas karena dari awal saya memang sepakat, tidak terima amplop, tidak menerima gratifikasi apapun. Kenapa, karena kita tidak pernah bisa menjamin apakah berita itu akan naik atau tidak. Sekarang gini, kamu terima amplop, kalau kamu udah terima amplop, narasumber sudah berharap beritanya naik dong, sudah bayar nih wartawan, tapi kan sekarang yang punya koran siapa, disini ada Jacob Utama kemudian ada komisaris-komisaris segala macam, di bawahnya lagi ada Pemred, Redpel, editor-editor, dan banyak lagi, yang menentukan Kompas sampai terbit bukan hanya wartawannya, sehingga kalau misalnya saya terima, itu akan jadi boomerang, selain itu menyalahi kode etik jurnalistik. Yang bisa dilakukan sebagai foto jurnalis adalah kamu mengcover semaksimal mungkin di lapangan, apa yang kamu lihat, peristiwa yang kamu lihat, peristiwa yang menurut
128
kamu, masyarakat perlu untuk mnegtahui, nah setelah itu kamu mengirimkan ke kantor, lalu ada banyak proses di sini, mulai dari memilih foto, memilih tulisan, mengedit tulisan, semuanya sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan dari media itu sendiri. 5. Kebijakan di Kompas sendiri seperti apa? Kebijakan di setiap media hampir sama. Untuk Kompas sendiri, tidak akan mungkin menampilkan misalnya, alat vital, kita ga akan vulgar, darah-darah tidak akan muncul. Jadi saya dapet pelajaran banget waktu meliput bom bali satu. Waktu itu saya belum diangkat. Saat itu agak kecelakaan juga, harusnya saya gak dikirim kali ya. Tapi ya, waktu itu Anton Triadi, editor foto Kompas. Saat itu saya sedang tugas di Surabaya, mungkin karena saya yang paling dekat dari Bali, jadi saya disuruh ke Bali. Masih pakai film, masih pakai FM 2, yang jadul. Itu pertama kalinya saya meliput bencana dan bertarung dengan media-media asing. Jadi malam itu juga saya langsung ke rumah sakit. Saat itu mayat-mayat masih berjejeran, terus besoknya ada yang dimasuk-masukin peti, saya waktu motret masih polos, ya meskipun saya ga akan motret yang berdarah-darah gitu lah, saya sudah tahu Kompas ga boleh. Saya motret tuh, saya pikir sudah aman lah karena saya motret cuma kaki-kakinya doang, saya pikir sudah cukup simbolis, mayatnya juga sudah tertutup sama kain, ternyata foto saya tidak kepilih. Foto saya kalah sama fotonya Bea Wiharta Reuters. Jadi dia itu simbolis banget, fotonya hanya kakakinya yang tidak begitu kelihatan sementara di depannya ada karangan bunga. Fotonya fokus sama karangan bunga, dan latar belakangnya itu orang tau, jajaran mayat yang hanya kelihatan kakinya yang tertutup kain, jadi blur gitu yang di belakang. Saya kalah tuh sama foto dia. Saya saja sudah tidak memperlihatkan gitu ya. Jadi kayak gitu. Sudah menjadi kebijakan di sini, bahwa Kompas tidak akan menampillkan darah, tidak menampilkan alat vital, tidak
129
akan menampilkan hal-hal yang sara. Itu yang bukan aturan dari saya, walaupun saya sepakat, itu aturan dari sini, yang memformulasikan itu jajaran pemred, redpel, dan sebagainya. Sudah dari awal nilai-nilai tersebut kemudian diturun-temurunkan. Style menulis juga ditentukan, tidak seperti koran kuning yang bisa seenaknya menggunakan bahasa lebay. 6. Kalo dari segi angle, mengapa memilih foto dengan angle seperti ini? Apa ada makna tertentu? Kalau saya sih setiap memotret, selalu mengambil semua angle. Setelah itu, pilihlah yang terbaik. Saya selalu berusaha seperti itu. Cobalah semua angle, coba angle yang tidak lazim, berfikir out of the box. Setiap angle tentu memiliki makna tertentu, foto dengan versi tenda kelihatan banyak orang sudah pasti saya punya, versi ibu-ibu ini tanpa ada bocoran sedikit di belakang tenda pengungsian, ada juga. Jadi, bikinlah semua angle. Apalagi kalau baru awal-awal motret. Dari atas, dari bawah, dari samping, dari depan, dari belakang. Semuanya aja. Kalau kamu bisa jungkir balik, ya jungkir balik, kalau kamu bisa tiduran ya tiduran. Nah baru nanti kamu juga akan tahu, yang terbaik itu yang mana. Nanti juga akan terasa kok. Kalau misalnya udah editing, kamu nanti akan milih, yang mana yang oke dan tidak. Itu kadang-kadang experience juga sih. dan saya juga sudah tau, koran saya maunya apa.
130
Foto Dokumentasi Wawancara
Wawancara Tahap 1 dengan Johnny T.G (Ketua Desk Foto Kompas)
131
Wawancara Tahap 2 dengan Johnny T.G (Ketua Desk Foto Kompas)
Wawancara dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas)