MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON SERTA PEMERINTAH (VI)
JAKARTA RABU, 19 DESEMBER 2012
PERIHAL
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1), Pasal 102 huruf d, huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1), huruf a, huruf b, dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5)] dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 65 ayat (3), ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (4) huruf a, ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (3), Pasal 70 ayat (1), ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: Dewan Perwakilan Daerah PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: Syamsudin Haris, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Saks/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (VI) Rabu, 19 Desember 2012, Pukul 11.17 – 13.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Moh. Mahfud MD. Achmad sodiki Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Maria Farida Indrati Harjono Muhammad Alim
Luthfi W. Eddyono, Rizki Amalia, & Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Intsiawati Ayus 2. Ferry F.X. Tinggogoy
3. Rahmat Shah 4. La Ode Ida
B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Todung Mulya Lubis 2. Toto Sugiarto K.
3. Muspani
C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Refly Harun 2. Saldi Isra
3. Maruarar Siahaan 4. Maswadi Rauf
D. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Wahyu Chandra 3. Tri Rahmanto
4. Candra 5. Rulita 6. Budijono
E. Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. Yurist Oloan 2. Sulastio 3. King Faisal Sulaiman F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. Veri Junaidi 2. Wahyudi Djafar G. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012:
1. Isran Noor 2. I Wayan Sudirta H. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-x/2012: 1. Shidarta
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.17 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan saksi dan ahli dalam Perkara Nomor 92 dan Nomor 104/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara sekalian, di meja Majelis ini sudah ada 7 nama untuk menjadi ahli maupun saksi. Tadi Majelis Hakim mempertimbangkan halhal sebagai berikut. Satu, Saudara Refly Harun yang diajukan sebagai ahli dalam Perkara Nomor 92, ini Majelis mempertimbangkan tidak diperlukan karena beliau ini adalah Pemohon dalam perkara yang substansinya sama dalam Perkara Nomor 104. Oleh sebab itu, itu supaya dituangkan pendapat itu di situ saja. Begitu juga saksi Pak I Wayan Sudirta karena bagian … dianggap sebagai bagian dari Pemohon Prinsipal dari DPD, maka lebih baik apa yang akan disampaikan itu langsung saja ditulis nanti di dalam kesimpulan atau di dalam pandangan-pandangan yang akan diberikan. Bisa juga kalau sangat diperlukan ya bicara saja, nanti tapi tanpa harus menjadi saksi yang disumpah, gitu. Kan bagian dari Prinsipal juga, tidak diperlukan. Nah, untuk itu dimohon maju ke depan untuk mengambil sumpah ahli. Satu, Saudara Saldi Isra. Dua, Saudara Dr. Maruarar Sirait. Tiga, Saudara … Maruarar Siahaan. Ya, ingat PDIP, ingat politik … Maruarar Siahaan. Kemudian, Prof. Maswadi Rauf. Kemudian, berikutnya Bapak Shidarta, ahli Heremeneutika Hukum. Silakan maju, Bapak.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Saksi fakta tidak (…)
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, sesudah itu saksi fakta.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Oke, terima kasih.
1
5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ini ahli dulu akan diambil sumpah oleh Bapak Hamdan Zoelva.
6.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Yang muslim dulu, ya. Ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
7.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih.
9.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Pak. Silakan duduk. Untuk yang Pak Sidharta ya … Pak Maruarar ya, oleh Bu Maria.
10.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
11.
AHLI BERAGAMA KRISTEN DISUMPAH: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
13.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Kemudian, Saksi Pak Isran Noor. Silakan Pak, maju Pak. Pak Fadlil akan mengambil sumpah ini sebagai saksi. 2
14.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan mengikuti ucapan sumpahnya. Dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
15.
SAKSI BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
16.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, Terima kasih.
17.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sudah, ya. Saudara Pemohon, silakan ini Pak Isran Noor dulu didengar dulu saksi fakta, dipandu. Beliau ini disuruh menerangkan apa?
18.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Di podium Yang Mulia atau … Silakan Pak Isran Noor. Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Saksi, kami dari Pemohon ingin meminta Saudara Saksi untuk menjelaskan kepada kita semua perihal kerugian-kerugian yang diderita oleh daerah dalam hal DPD sebagai lembaga yang disebut dewan perwakilan daerah, tidak dapat atau tidak bisa menggunakan hak konstitusionalnya mengajukan rancangan undang-undang dan juga ikut membahas rancangan undang-undang yang menyangkut kepentingan-kepentingan daerah. Kami mohon Saudara menjelaskan itu kepada Majelis Yang Mulia. Silakan.
19.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: ISRAN NOOR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera, om swastiastu. Yang Mulia Ketua dan Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, yang saya hormati para Pengacara, Pemerintah dan DPD, dan yang saya muliakan, saya banggakan para Ahli semua pihak.
3
Pertama-tama, perkenankanlah saya merasa terhormat dan bangga, dan bahagia menyampaikan informasi penting ini pada Majelis Yang Mulia sebagai saksi fakta terkait dengan masalah uji UndangUndang Nomor 92 Tahun 2012. Pertama bahwa permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPD RI, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan DPD RI yang kini tengah disidangkan di Mahkamah Konstitusi adalah langkah hukum dan langkah konstitusional yang harus didukung oleh pemerintah daerah. DPD RI dengan karakter kelembagaan perwakilan daerah-daerah, pada dasarnya memiliki representasi lebih kuat dan luas, sementara ruang lingkup kewenangan legal DPD RI tidak sesuai dengan tujuan reformasi struktural ketatanegaraan dengan sistem perwakilan bikameral yang mengharuskan adanya kewenangan legislasi lebih jelas, tegas, dan rinci. Kedua, asosiasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia sepakat dengan tujuan pengajuan undang-undang tersebut di atas bahwa undang-undang yang dimaksud telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan tidak melibatkan lembaga negara ini dengan pengajuan maupun persetujuan rancangan undang-undang di tengah proses legislasi sekarang yang mengharuskan adanya peran DPD RI. Antara lain, rancangan undang-undang tentang pemerintah daerah, rancangan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah, rancangan undang-undang tentang desa dan lainlainnya dalam proses legislasi. Ketiga, asosiasi pemerintah kabupaten seluruh Indonesia yang terus memperjuangkan realisasi otonomi daerah seluas-luasnya secara utuh dan bertanggung jawab, sangat berkepentingan untuk menyalurkan aspirasi daerah melalui DPD RI dalam proses legislasi yang menyangkut, antara lain: 1. Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi kabupaten/kota atau antara provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah. 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, antara lain pemerintah pusat ... mohon maaf, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan selaras. Keempat, sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 224 ayat (1) menegaskan fungsi DPD RI antara lain; a. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah 4
b. Ikut membahas bersama DPR dan pemerintah, dalam hal ini presiden, rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden atau DPR yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a, akan tetapi fungsi dan kewenangan DPD RI tersebut di atas, sejauh ini diperlakukan tidak setara dengan rancangan undang-undang, rancangan undang-undang inisiatif presiden atau DPR-RI. Dengan diskriminatif (suara tidak terdengar jelas) tersebut di atas, sulit bagi DPD RI untuk mengakomodasi aspirasi daerah ke dalam rancangan undang-undang yang mempunyai prospek sama untuk disahkan oleh DPR-RI. Kelima, anggota DPD RI dipilih secara langsung oleh rakyat dengan perolehan suara yang secara umum jauh di atas perolehan suara rata-rata anggota DPR-RI. Dengan begitu, anggota DPD RI memiliki dukungan dan legitimasi politik yang kuat di daerah masingmasing atau di provinsi yang diwakilinya, sehingga sebagai bentuk tanggung jawab politik kepada konstituen, berkewajiban untuk memperjuangkan aspirasi daerah. Undang-undang serta mekanisme dan prosedur yang menyangkut kewenangan legislasi DPD RI seperti sekarang ini, jelas menjadi kendala bagi perwujudan tanggung jawab terhadap konstituen tersebut di atas. Yang Mulia Ketua dan Anggota, mohon maaf di luar teks ini, saya tadi pagi mendapatkan pesan dari kawan-kawan saya dari para walikota dan gubernur bahwa tolong sampaikan pada Majelis Yang Mulia ini, dalam hal ini DPD RI bukan menginginkan kewenangan dan mengharapkan kekuasaan di luar ketentuan aturan yang sudah mereka miliki. Itu yang pertama. Yang menginginkan ini, kewenangan dan peran ini adalah para bupati, para walikota, para gubernur, dan seluruh rakyat di seluruh nusantara ini menginginkan adanya peran daripada DPD RI, jauh lebih banyak sesuai dengan representasi perwakilannya dan kepercayaannya yang diberikan oleh seluruh bangsa dan negara ini. Saya kira itu, tambahan. Mohon maaf. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 20.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Silakan duduk, Bapak. Pemohon, apakah ada yang perlu diperdalam atau cukup kita langsung masuk ke giliran ahli?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Saya masih ingin sedikit lagi, Yang Mulia, kalau boleh.
22.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan.
5
23.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Saudara Saksi, tadi Saudara mengatakan bahwa ada discriminative treatment, ya dan aspirasi-aspirasi daerah, dalam hal ini tidak bisa terwakili oleh peranan DPD yang didiskriminasi semacam itu. Nah, mungkin akan lebih baik kalau Saudara Saksi menjelaskan kerugian-kerugian yang betul-betul konkret. Apa sih, yang dialami oleh pemerintah kabupaten, pemerintah kota karena DPD gagal dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang mewakili kepentingan semua daerah. Nah, ini mungkin akan membuat kita punya gambaran yang lebih lengkap, lebih jelas mengenai lost yang ada pada daerah ini. Kalau boleh, Saudara jelaskan sekarang.
24.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: ISRAN NOOR Baik. Yang pertama, kerugiannya banyak, terutama dalam pembuatan Undang-Undang Sektor. Saya sudah dua kali dengan kawan-kawan mengadakan judicial review terhadap undang-undang, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 mengenai Kehutanan. Kemudian, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dan alhamdulillah dua-duanya gugatan itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya apa? Ini undang-undang … banyak undang-undang yang dibuat antara pemerintah dan DPR yang tidak sinkron dan tidak diwakili atau tidak tergambar di dalam perwakilan yang dimana DPD RI adalah keterkaitan yang secara emosional dan konstitusional tidak ada di dalamnya. Ini antara lain yang dialami. Oleh sebab itu, kalau kita melihat kenyataan-kenyataan yang ada dan saya lihat banyak undang-undang yang sedang dibuat, ini bisa saja terjadi hal yang sama, dimana aspirasi, keinginan, dan kenyataan di antardaerah ini tidak tergambar di dalam hasil undang-undang yang dibuat itu. Jadi, itu mungkin antara lain yang bisa saya sampaikan. Banyak daftarnya. Nanti saya sampaikan ke Bapak-lah. Terima kasih.
25.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Nanti disampaikan ke sidang saja ya, jangan sampai ke Bapak. Nanti ndak sampai ke sini, malah. Baik. Masih ada, Pak?
26.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Masih ada, masih ada satu lagi. Pak La Ode Ida ingin menyampaikan sesuatu. 6
27.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan, Pak La Ode!
28.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Terima kasih.
29.
PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: LA ODE IDA Terima kasih, Yang Mulia. Kerugian bagi daerah sebetulnya nyata sekali. Saya memberi ilustrasi atau contoh pada minggu-minggu terakhir di Jakarta. Di Senayan itu, ratusan bahkan ribuan orang (…)
30.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sebentar dulu, Pak. Bapak mau bertanya ke Saksi atau mau menyampaikan statement?
31.
PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: LA ODE IDA Sebetulnya, mau (…)
32.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Kalau menyampaikan, nanti, Pak, diberi waktu, Pak. Ini Saksi dulu, biar selesai dulu tugas Saksi. Masih ada? Cukup?
33.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup? Baik. Pemerintah mau tanya?
34.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Pak.
35.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup? Baik. Kalau begitu kita teruskan ke Ahli, tapi ini saya tanya dahulu ke Pemohon. Ini ada satu naskah di sini, DPD dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta dalam Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang P3 oleh Zain Badjeber, ini disampaikan ke sini sebagai apa, Bapak?
7
36.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Sebagai ad informandum, Yang Mulia. Seperti yang dimintakan oleh Majelis kemarin.
37.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ad informandum, ya (...)
38.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Ketua Majelis kemarin pada sidang sebelumnya.
39.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Oke, baik.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Terima kasih.
41.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, berikutnya Bapak Saldi Isra.
42.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: SALDI ISRA Terima kasih, Ketua Majelis yang saya muliakan. Assalamualaikum wr. wb, selamat pagi menjelang siang untuk kita semua, om swastiastu. Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Pemerintah, dan Kuasa DPR yang saya hormati, Para Ahli yang saya hormati, Hadirin sekalian yang berbahagia. Saya diminta menjelaskan isu-isu yang terkait dengan permohonan ini, yang di dalam makalah, atau keterangan yang sudah Ahli sampaikan kepada Panitera itu sudah ditulis sampai delapan halaman, tetapi Ahli hanya akan menyebut beberapa poin supaya Ahli yang lain bisa mendapat waktu karena hari ini adalah sidang terakhir. Majelis yang saya muliakan, dari beberapa literatur yang Ahli telusuri, itu yang diantara yang paling menarik itu adalah apa yang dikemukakan oleh [Sic!], dia mengatakan mengapa second chamber itu penting di dalam lembaga perwakilan? Dalam pandangan [Sic!], sebetulnya ada empat fungsi dari kamar kedua. 8
Pertama adalah revision of legislation. Yang kedua, initiation of non controversial bills dan yang ketiganya adalah delayed legislation of fundamental constitutional important. Yang keempat adalah public debate. Ahli melihat dari penjelasan yang ada di halaman 1 sampai di halaman 2, empat poin ini sebetulnya adalah poin yang bisa dibicarakan atau diperdebatkan lagi. Makanya, Ahli mengemukakan dalam pertemuan ini, menjadi bagian yang mungkin bisa menjadi pertimbangan penting bagi Majelis dalam memutus permohonan ini. Mengapa Ahli mengemukakan pendapat ini? Dari konstruksi konstitusi yang kita miliki, sebetulnya hampir tidak ada satu pun dari empat fungsi utama second chamber seperti yang dikemukakan oleh [Sic!]. Ahli berpendapat, mengapa hal itu terjadi, di halaman 3, pada sebagian negara unitarist, masalah yang seringkali dikemukakan sebagai penolakan atas sistem bikameral atau lembaga perwakilan berkamar jamak karena model ini lebih merupakan bawaan negara berbentuk federal. Namun demikian, pandangan ini amat lemah karena banyak negara yang berpola hubungan unitary memilih model lembaga perwakilan bikameral. Merujuk hasil penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistant adalah benar semua negara federal memilih sistem bikameral. Tetapi, setengah dari seluruh negara yang berbentuk unitary, terutama yang diteliti oleh institusi ini, ternyata menganut sistem bikameral. Misalnya negara kesatuan seperti Jepang, Filipina, dan Inggris lebih memilih model atau pola lembaga perwakilan dua kamar. Selain soal teknis legislasi, dikemukakan pula bahwa model bikameral kurang efisien dalam proses legislasi karena harus melalui dua kamar, banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya sistem dua kamar tersebut di atas, dibandingkan dengan ongkos yang harus dibayar dalam bentuk kecepatan proses legislasi, apalagi gejala ini bukan merupakan masalah yang aneh dalam proses legislasi. Contohnya dalam hubungan antarkamar di negara Amerika Serikat, praktik yang kerap terjadi atau yang disebut dengan filibuster. Sehubungan dengan ini, [Sic!] mengatakan bahwa filibuster itu adalah upaya ... sebetulnya ... yang digunakan oleh sebagian anggota senat atau pun anggota DPR untuk memblok, untuk me-delayed ... apa ... macam tindakan anggota senat lainnya dan kadang-kadang sengaja melakukan perdebatan berkepanjangan, bahkan kemudian mempersoalkan hal-hal yang sangat prosedural dan sengaja menghalang-halangi penyelesaian sebuah rancangan undang-undang. Untuk mengatasi persoalan-persoalan ini, negara-negara yang menerapkan sistem kamar ganda atau bikameral memilih caranya masing-masing. Misalnya, memberi batas waktu maksimal untuk menyelesaikan sebuah rancangan undang-undang. Di Inggris misalnya, 9
House of Lords diberi batas waktu maksimal untuk menunda sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of Commons sebelum mendapat pengesahan ratu. Batas waktu tersebut maksimal satu bulan untuk menunda rancangan Undang-Undang APBN dan maksimal satu tahun untuk rancangan undang-undang yang lain. Secara teknis, bisa juga dengan membuat semacam conference committee guna menyelesaikan perbedaan yang terjadi di antara dua kamar. Yang pasti sekira dikelola dengan baik, model dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dilakukan kedua kamar, sehingga fungsi-fungsi konstitusional kedua kamar dapat dioptimalkan. Karenanya seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dengan adanya dua kamar akan sangat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif se ... dan tindakantindakan pengawasan dapat diperiksa dengan prinsip double check (pengecekan ganda). Keunggulan dari sistem double check ini semakin terasa apabila majelis tinggi (upper house) yang memeriksa dan merevisi sebuah rancangan undang-undang memiliki keanggotaan yang berbeda dengan komposisi dari majelis rendah (lower house). Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Pemerintah, Kuasa DPR yang saya hormati, Para Ahli yang saya hormati, hadirin sekalian yang berbahagia. Masa perdebatan yang terjadi dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terutama terkait dengan kehadiran DPD, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengubahan konstitusi secara nyata menghendaki adanya kamar kedua selain DPR. Penolakan bahwa model yang dihasilkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bukan merupakan lembaga legislatif bercorak bikameral lebih banyak hadir sebagai argumentasi yang muncul paska perubahan. Bahkan apabila dilacak secara cermat risalah perubahan UndangUndang Dasar 1945, sejumlah kekuatan politik di MPR saat itu hadir dengan gagasan model legislasi yang dipraktikkan di Amerika Serikat. Saya menuliskan ini karena saya berkesempatan membaca risalah perubahan konstitusi, terutama terkait dengan fungsi legislasi secara lebih komprehensif. Menawarkan model bikameral bahkan dengan menyodorkan agar presiden memiliki hak veto, namun apa pun basis argumentasi perbedaan itu menjadi tidak terbantahkan bahwa lembaga legislatif yang dihasilkan selama perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bukan lagi lembaga legislatif berkamar tunggal (unicameral). Ini penting dikemukakan menurut Ahli, karena apa? Karena soal debat apakah hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu bikameral atau tidak, itu menjadi perdebatan yang ber ... tidak berkesudahan. Dari penelurusan Ahli, kalangan yang mengatakan bahwa ini bukan bikameral atau lembaga perwakilan berkamar ganda, itu lebih merujuk pada artikel satu, session satu konstitusi Amerika Serikat, soal kata bahwa kongres terdiri dari senat dan DPR, sementara dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan MPR terdiri Anggota DPR dan Anggota DPD. 10
Tapi kalau kita lihat misalnya, beberapa teori yang Ahli ambil diawal, sebetulnya melihat dia bikameral atau tidak juga bisa dilihat dari cara bagaimana proses kehadiran anggota kamar kedua (second chamber), yang di dalam pendapat [Sic!] disebutkan salah satu karakteristik second chamber itu adalah bahwa dia dipilih dengan cara yang sama sulitnya dengan kamar yang lain. Merujuk hasil perubahan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 memberikan wewenang yang jauh lebih terbatas kepada DPD apabila dibandingkan dengan wewenang DPR karena desain itu hubungan DPR dan DPD tidak mungkin menciptakan pola relasi antarkamar yang dapat saling mengecek satu sama lainnya, apalagi Pasal 20A ayat ... 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki DPR dengan tidak adanya pengaturan yang menyatakan DPD memiliki fungsi legislasi. Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memunculkan DPR (suara tidak terdengar jelas) atas DPD dalam pembentukan undang-undang. Karenanya banyak pendapat mengatakan bahwa kehadiran Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan garis demarkasi yang amat tegas bahwa kekuasaan membuat undangundang menjadi monopoli DPR. Berdasarkan norma Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 dan ditambah dengan sulitnya menjadi Anggota DPD, seorang peneliti dari Australian National University, Steven Sherlock, memberikan penilaian menarik. Menurutnya, DPD merupakan contoh tidak lazim dalam praktik Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi politik yang sangat tinggi. Kombinasi ini tambah Sherlock, merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik sistem bikameral di mana pun di dunia. Secara historis, Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan ketentuan lain yang terkait dengan fungsi legislasi DPR hadir lebih dulu dibandingkan Pasal 22D. Artinya Pasal 20A ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 telah disepakati dan disahkan lebih dulu sebelum pembahasan, persetujuan, dan pengesahan Pasal 22D. Dengan rentang waktu itu, menjadi tidak mungkin lagi menambahkan rumusan baru bahwa DPD juga memiliki fungsi-fungsi sebagaimana termaktub dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi selama pembahasan menjadi kesepakatan “Bersama antara anggota MPR untuk tidak lagi mengubah atau merevisi substansi yang telah dihasilkan pada perubahan-perubahan sebelumnya.” Namun, apabila dibaca dengan cermat ketentuan Pasal 22D, memberikan fungsi yang sama juga kepada DPD. Paling tidak fungsi tersebut dapat ditelusuri dari frasa: 1. DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang. 2. DPD ikut membahas rancangan undang-undang. 3. DPD dapat melakukan pengawasan, dan 4. DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN. 11
Artinya, sekira ada keinginan politik atau political will yang memberikan peran untuk membangun checksense balances dengan DPR, Pasal 22D memberi ruang yang cukup bagi DPD, sehingga peran lembaga ini benar-benar hadir sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Sebetulnya, berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antarkamar di lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru. Namun, ketimpangan itu selalu diupayakan dengan memberikan kompensasi kepada kamar lain yang lemah. Pada model lembaga perwakilan rakyat bikameral, jika tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi diberi hak konstitusional guna mengubah, mempertimbangkan, atau menolak sebuah rancangan undang-undang yang berasal dari Majelis rendah. Jika hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan rancangan undangundang yang berasal dari Majelis rendah. Terkait yang lain dengan hal ini, menurut Kevin Evans. Jika konstitusi tidak memberi hak untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang, dalam fungsi legislasi, menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan Majelis Tinggi. Sebagai bentuk mekanisme checksense balances, penundaan itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Majelis Tinggi untuk mengoreksi rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Majelis Rendah. Praktik fungsi legislasi yang berlangsung selama ini, menempatkan DPD benar-benar menjadi subordinat DPR. Misalnya, dengan mengemukakan salah satu contoh saja. Wewenang konstitusional DPD dalam mengajukan rancangan undang-undang. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kerap diposisikan sejajar. Bahkan dalam berbagai kasus lebih rendah jika dibandingkan dengan usul rancangan undangundang yang disampaikan anggota DPR. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 memberikan konstruksi yang berbeda. Bagi DPD, rancangan undang-undang, sementara bagi anggota DPR … maaf, di sana tertulis DPD ... adalah usul rancangan undang-undang. Lalu, alas konstitusional apakah yang dipakai untuk mempersamakan, bahkan dalam banyak kasus merendahkan antara rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dengan usul rancangan undang-undang yang berasal dari anggota DPR. Sebetulnya masih banyak contoh lain yang dapat dikemukakan betapa di tingkat pengaturan di bawah undang-undang terdapat pengebirian secara sistematis terhadap fungsi legislasi DPD. Pengebirian tersebut terasa makin parah apabila ditambah dengan praktik legislasi yang terjadi dalam hubungan DPR dan DPD. Penyebab mendasar dan utama hal tersebut tidak adanya penafsiran yang objektif terhadap fungsi legislasi DPD. Kalaupun diturunkan ke tingkat undang-undang, sejumlah undang-undang yang pernah ada, baik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, begitu juga Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan Undang-Undang 12
Nomor 12 Tahun 2011, tidak memiliki keinginan untuk menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif. Terutama memberikan fungsi legislasi sebagai salah satu kamar di lembaga legislatif yang dihasilkan dari perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketua dan Anggota Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Konstruksi hukum Pasal 22D Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah fakta, fakta konstitusional yang tidak terbantahkan. Begitu pula hadirnya DPD sebagai salah satu kamar di lembaga perwakilan rakyat Indonesia menjadi fakta yang tidak terbantahkan pula. Pokok soal sekarang, bagaimana memberikan pemaknaan yang tepat atas kewenangan DPD, sehingga kehadirannya tidak menjadi sebuah lembaga yang berada pada posisi antara ada dan tiada. Setidaknya dapat dirasakan, terutama dalam fungsi legislasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), yaitu peran signifikan dalam rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah dan selanjutnya. Karena design Pasal 22D Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah tidak mungkin pula memberikan kewenangan lebih luas kepada DPD untuk kategori rancangan undang-undang yang lain. Barangkali perluasan untuk semua kategori hanya dapat dilakukan dengan me … melanjutkan atau mengadakan perubahan kelima Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan batasan yang dipandu dalam Pasal 22D tersebut, design legislasi ke depan harusnya diupayakan memberikan tafsir yang tepat dengan wewenang legislasi DPD. Dengan memberikan tafsiran yang tepat, wewenang DPD tidak hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas, sebagaimana peran yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Bahkan apabila MK mau memberikan tafsir yang lebih progresif, apabila makna persetujuan dinilai sebagai konsekuensi dari pembahasan bersama, tidak keliru pula apabila DPD dilibatkan dalam proses pembentukan undang-undang sampai tahap persetujuan bersama. Secara teoritik dan praktik, pemaknaan baru seperti yang dikemukakan oleh K.C. Wheare adalah bentuk perubahan konstitusi tanpa mengubah teks. Namun, aplikasinya yang berubah. Dimungkinkan lebih jauh oleh Wheare, perubahan melalui penafsiran hakim, di mana hakim tidak melakukan perubahan secara textual pada original intent suatu konstitusi, melainkan melalui tafsiran yang mengubah makna pasal-pasal atau textual meaning dari konstitusi tersebut. Pola ini terinspirasi dari apa yang dilakukan dalam kasus Marbury versus Madison pada … apa namanya … Mahkamah Agung Amerika Serikat. Bahkan sejauh ini, dalam pengamatan Ahli di … pada praktik yang berkembang di Mahkamah Konstitusi pun telah acap kali memberikan tafsir baru terhadap Norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945, misalnya sesuatu yang Ahli anggap tafsir baru itu adalah soal presidential threshold dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam pemahaman Ahli secara textual, sebetulnya 13
presidential threshold tidak diperbolehkan, tapi kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir lain sehingga presidential threshold menjadi bagian dalam sistem rekrutmen calon presiden dan wakil presiden dalam dua kali pemilihan terakhir. Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam proses legislasi sangat berpotensi menjawab kekhawatiran kita terhadap produk legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas, secara kuantitas jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah juga kian menurun, misalnya selama Tahun 2010 hanya mampu menghasilkan 13 undang-undang, 2011 sebanyak 24 undang-undang, secara kuantitas jumlah itu jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan Tahun 2008 dan 2009 misalnya. Dengan fakta itu, memberikan kewenangan legislasi lebih dari apa yang dilakukan saat ini kepada DPD, berpotensi menghasilkan jumlah undang-undang yang lebih banyak. Apalagi fakta lain yang terbentang di hadapan kita semua, anggota DPR lebih banyak menghasilkan waktu mereka pada fungsi-fungsi lain di luar fungsi legislasi, terutama pengawasan dan fungsi rekrutmen pejabat publik. Sementara itu, jika ada keraguan bahwa proses legislasi yang melibatkan dua kamar, DPR dan DPD, serta ditambah dengan pemerintah akan menjadikan proses tidak efisien, tidak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan. Selain bisa dirancang desain yang menghentikan upaya menunda-nunda seperti Filibuster di Amerika Serikat, proses pembahasan yang dipraktikkan di DPR saat ini harus diperbaiki. Proses yang dimaksudkan di sini lebih pada pengalaman tidak terintegrasinya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) DPR. Selama ini, dalam pembahasan dengan pemerintah, DPR selalu datang dengan DIM setiap fraksi, dengan pola itu posisi pemerintah dalam pembahasan DIM bahkan diperhadapkan … bukan diperhadapkan dengan DPR sebagai institusi, tapi lebih diperhadapkan dengan fraksi-fraksi di DPR. Padahal merujuk konstruksi Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pembahasan bersama dilakukan oleh DPR dan pemerintah, bukan antara pemerintah dan fraksi-fraksi. Sejauh ini perlambatan proses legislasi lebih pada ketidakadaan mekanisme pembahasan yang efisien. Dalam pandangan Ahli, hanya Mahkamah Konstitusi yang dapat memberi pemaknaan baru lebih progresif terhadap fungsi legislasi DPR ... DPD agar kamar kedua ini lebih berfungsi dan bermakna dalam penyelenggaraan negara. Dalam situasi seperti sekarang, berharap terhadap perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hampir pasti menunggu waktu yang panjang dan melelahkan. Karenanya tanpa tafsir baru yang progresif dari Mahkamah Konstitusi, DPD tidak akan pernah … tidak ubahnya seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun tidak mau. Ketua Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum Pemerintah, Kuasa DPR yang saya hormati, para ahli yang saya hormati, hadirin sekalian yang 14
berbahagia. Demikianlah keterangan ini disampaikan, semoga dapat memberikan harapan baru menuju fungsi legislasi yang lebih optimal. Assalamualaikum wr.wb. 43.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Kita dengar dulu semuanya, Pak Maruarar.
44.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: MARUARAR SIAHAAN Pak Ketua dan Bapak-Bapak dan Ibu Anggota Majelis Pleno Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, serta seluruh partisipan dalam persidangan ini, Pemohon dan pemerintah. Saya berdiri di sini sepertinya dalam proses demokrasi ikut ngomong gitu, Pak. Tapi karena memang judicial review saya kira begitulah intinya, perseorangan pun bisa ngomong untuk mempengaruhi. Kalau saya analogikan dengan DPD, saya ini ikut membahas, tapi … seperti DPD ikut membahas undang-undang, tapi tidak ikut memutuskan, begitu. Analoginya kirakira begitulah, hanya mencoba mempengaruhi. Berulang-ulang saya dalam melihat uji materi ini, sering mengutip apa yang disebutkan, “boaventura de sousa santos,” itu sebenarnya krisis banyak terjadi karena pembuat kebijakan, pembuat undang-undang sering kali tidak mengacu pada perubahan paradigma. Sudah berubah tapi dia ... sudah, kita capek-capek amat gitu, terus saja dipakai konsep yang sudah disusun barangkali dulu itu yang dipergunakan lagi, sering tapi saya tidak mengatakan selalu. Nah, di dalam satu hal, tadi sudah disinggung juga oleh Pak Saldi itu, meskipun sebenarnya pembuat undang-undang harus … ya, haruslah menafsir konstitusi untuk menjabarkan norma-norma itu lebih jauh. Tetapi ketika ada perbedaan paham, satu-satunya yang bisa menafsir terakhir yang mengikat ya, MK saya kira. Oleh karena itulah di dalam perjalanan panjang suatu konstitusi yang sukar mengubahnya, perubahannya itu melalui interpretasi tentulah tergantung pada MK sebagai the ultimate interpreter. Perubahan yang terjadi saya kira di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini, bertahap dia, meskipun perdebatan bisa … saya minta maaf kepada pelaku sejarah dari MPR yang juga sekarang menjadi anggota MK, perbedaan kita selalu menganggap bahwa baru 1 kali amandemen, tetapi 4 tahap. Tapi kalau di dalam pemahaman masyarakat, sesuai juga dalam buku yang diterbitkan MK, perubahan itu … perubahan pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga, dan perubahan keempat. Oleh karena itu, kalau ada suatu perubahan konstitusi, dimana dia terjadi secara bertahap, maka dalam tahap-tahap itu perubahan satu … perubahan itu masuk ke dalam struktur konstitusi yang utuh dalam doktrin the integrity of the constitution, maka dia … selalu dia akan mengubah makna. 15
Barangkali ada baiknya saya akan mencoba melihat ini apa yang dikatakan doctrine of eclipse itu. Kalau misalnya kita perhatikan fungsi legislasi DPR yang berubah dalam perubahan pertama itu, itu perbedaan atau jangkanya 2 tahun dengan perubahan atau terbentuknya DPD melalui perubahan ketiga. Tetapi perubahan itu tentu harus masuk ke dalam struktur konstitusi dan pasti dia akan mempengaruhi sebenarnya secara konseptual isi daripada yang … pasal yang semula itu. Kalau kita lihat itu dampak sederhananya kira-kira begini, ya pasti itu terhadap kecenderungan peraturan perundangundangan, dia memiliki suatu … suatu dampak perubahan yang dikatakan tadi karena pasal-pasal yang sudah diputuskan MPR tidak boleh lagi dipermasalahkan, maka akan terjadi ada sedikit keganjilan. Karena ketika perubahan itu terjadi belakangan, impact assessment itu atau dampak peni … apa … analisis dampaknya tidak dilakukan, apakah ada dampak daripada Pasal 22D terhadap Pasal 20 dan selanjutnya tentang Kewenangan Legislasi DPR? Menurut saya harus … harus ada perubahan, harus ada pengaruh. Tetapi, yang terjadi sebenarnya di dalam tafsir yang dilakukan, maka pembuat undang-undang di dalam seluruh ketentuan legislasi yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 27 tentang Susduk dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tugas daripada penafsir itu harus selalu mengacu bahwa konstitusi itu adalah merupakan norma hukum tertinggi. Kalau saya kembali kepada istilahnya Alexander Hamilton, dia merupakan yang tertinggi, dia merupakan master, tuan, dan seluruh pejabat yang di bawah itu, dia merupakan pelayan. Tetapi kalau pelayan-pelayan itu menafsir konstitusi tidak cocok dengan itu, dia lebih besar daripada tuannya, will be greater than his master katanya begitu. Dan dalam hal ini kalau penglihatan saya, bunyi Pasal 22D yang ditafsirkan hanya secara gramatikal dan kemudian tidak ditelusuri dengan baik, telah menyebabkan seluruh kewenangan DPD yang disebutkan dalam konstitusi justru dibatasi di dalam UndangUndang MD maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Oleh karena itu, penafsiran yang dipakai sebenarnya di dalam teori konstitusi sekarang itu, interpretasi norma konstitusi tidak bisa lagi hanya dengan menggunakan satu jenis interpretasi. Malahan muncul apa yang disebutkan dengan suatu pendekatan hermeneutik terhadap norma-norma konstitusi itu yang melihat dari seluruh segi, dari segi sejarahkah, dari segi cita-cita, aspirasi, maupun dari tujuan. Dan barangkali apa yang disebutkan Hans Gadamer tentang itu menjadi sangat jelas bagi kita untuk menemukan sebenarnya makna yang lebih tepat, objektif, maupun lebih luas suatu norma konstitusi itu ada proses dialektik yang terjadi. Tapi saya kira juga dalam pembentukan UndangUndang MD maupun undang-undang yang lain tentang kewenangan DPD, saya agak ragu pernahkah mereka ikut membahas itu? Saya kira enggak pernah ikut, termasuk semua Undang-Undang Pemekaran secara mencengangkan mereka tidak ikut. Padahal konstitusi 16
menjelaskan di bidang itu mereka ikut serta. Bagaimana tafsir ikut membahas kalau seperti tadi dalam keadaan tidak setara saya mengatakan, “Saya tidak ikut untuk memutuskan, ya karena saya rakyat biasa.” Tetapi DPD di dalam konstruksi yang disusun sendiri oleh DPR, dia adalah setara, ini merupakan konsep struktur organisasi yang dari konstitusi dimunculkan di DPR atau MPR, dan kalau kita sederhanakan kira-kira begini, setara dia. Kalau dia setara, tentu membahas pasti ikut dari sudut tujuan check and balance, dari sudut apa yang dikatakan kesetaraan itu, membahas itu, tentu dalam rangka memutus, tapi kalau misalnya seperti Saksi/Ahli hanya sekedar memberikan suatu instrumen daripada Pemohon untuk meyakinkan Hakim apakah ini benar. Saya kira dari sudut check and balance juga istilah check atau mengawasi, istilah balance untuk mengimbangi, juga merupakan suatu hal yang harus menjadi acuan karena di dalam kesepakatan MPR ketika mau mengadakan perubahan 5 kesepakatan itu, salah satunya adalah check and balance. Kalau check and balance ternyata tidak ditemukan berarti sebenarnya DPD yang dimaksudkan itu lepas apakah yang dimaksud tidak mau ada bikameral, tetapi yang muncul sekarang trikameral, tidak menjadi soal, tetapi apa kata konstitusi sebagai hukum tertinggi? Itulah yang harus ditafsir dan dijabarkan. Setiap tafsiran yang mencoba mengesampingkan norma konstitusi seperti itu yang ditemukan dengan pemaknaan yang hermeneutik tadi, menurut saya itu bertentangan dengan konstitusi. Kalau saya ringkaskan tentu apa yang dimaksud oleh Pemohon dan juga permohonan ini keseluruhan, maka norma-norma yang diuji itu menurut saya memang bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak memberi peran kepada DPD untuk membahas bidang yang oleh konstitusi ditentukan itu turut menjadi bagian yang harus menjadi wewenangnya. Mungkin ada yang berpendapat atau saya sering juga mendengar ketika saya masih menjadi Hakim Konstitusi, kalau ikut DPD membuat undang-undang jadi 3 lembaga yang membuat undangundang, sedang membuat konstitusi hanya 2, MPR, yaitu DPD dengan DPR. Tetapi barang kali kita bicara tentang suatu konsep kuantitatif di sini, tetapi kita bicara tentang konsep kualitatif, dan menurut saya itu merujuk bahwa perlunya untuk menyempurnakan perubahan undangundang dasar itu. Tetapi meskipun demikian karena itu sulit implikasinya juga jauh, dan bisa jadi liar, saya kira kita berserah kepada Mahkamah Konstitusi, semua orang bisa menafsiran konstitusi tetapi the ultimate interpreter adalah Mahkamah Konstitusi. Kita bisa meninggalkan sudah tradisi Kelsen karena sudah tidak dipraktikkan, tadi sudah disinggung Pak Saldi. MK kita juga tidak lagi hanya negative legislator tapi juga sedikit banyak seperti yang diakui atau menjadi praktik juga, meskipun di Amerika tidak terlalu diterima
17
apa yang disebutkan Martin Wolf, “The rise of modern judicial review” putusan hakim itu sebenarnya menjadi sumber. Oleh karena itu kami percayakan saja aspirasi daripada rakyat kepada Mahkamah Konstitusi. Terima kasih, Pak. 45.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, berikutnya Prof. Maswadi Rauf.
46.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: MASWADI RAUF Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, Ketua Mahkamah Konstitusi dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Pemohon, Ketua DPD, dan Anggota DPD, Kuasa Hukum Pemohon, Pihak Pemerintah, dan Para Saksi yang kami hormati. Izinkanlah kami membacakan keterangan Saksi/Ahli dari kami dalam Sidang Pengujian Undang-Undang tentang Kewenangan DPD yang sedang berlangsung sekarang ini. Dasar pemikiran yang akan kami sampaikan adalah perlunya sebuah badan yang merupakan perwakilan daerah, dalam hal ini adalah provinsi yang kemudian disebut Dewan Perwakilan Daerah. Dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berperan nyata dalam fungsi legislatif sehingga dapat menyuarakan kepentingan-kepentingan daerah dalam rangka menyelenggarakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami merasakan bahwa sejak bergulirnya reformasi di Indonesia pada Tahun 1998, sudah berkembang pandangan yang menuntut adanya badan seperti itu yang disuarakan oleh berbagai kelompok di dalam masyarakat yang mencakup berbagai daerah di seluruh Indonesia. Badan tersebut kemudian memang terbentuk, namun fungsinya tidak seperti yang diharapkan oleh sebagian besar mereka karena DPD yang terbentuk adalah sebuah lembaga negara yang tidak menjalankan fungsi legislatif secara penuh. Peranan DPD dalam bidang legislatif, ternyata sangat sedikit sehingga boleh dikatakan tidak terlihat peranan yang nyata dari lembaga itu dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini juga sudah banyak diprotes oleh sejumlah kelompok dalam masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi, izinkanlah saya menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan … dengan perkembangan ide tentang pembentukan DPD ini. Reformasi politik yang terjadi setelah tumbangnya orde baru telah membuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk melakukan demokratisasi, yakni usaha-usaha untuk menegakkan demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha-usaha itu berlangsung dengan cepat dan tanpa kendala yang berarti. Sehingga
18
dalam waktu enam atau tujuh tahun dasar-dasar hukum untuk menegakkan demokrasi sudah terbentuk di Indonesia. Salah satu bentuk demokratisasi tersebut adalah pembentukan DPD sebagai lembaga legislatif yang berfungsi membentuk undangundang. Kebetulan kami sedikit terlibat dalam proses demokrasi tersebut. Pada tahun 2000, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri membentuk tiga tim yang masing-masing bertugas untuk merevisi Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Susduk. Kami ditugaskan memimpin tim revisi UndangUndang Susduk. Ketiga tim tersebut adalah tim antardepartemen karena anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil sejumlah departemen. Sekarang kementerian, yang terkait dengan topik yang dibahas. Setelah pelantikan ketiga tim tersebut oleh Menteri Dalam Negeri, kami berkesempatan bertanya kepada Menteri Dalam Negeri, pada waktu itu Suryadi Sudirja, tentang rambu-rambu yang diberikan oleh pemerintah dalam proses revisi ketiga undang-undang tersebut. Jawaban beliau adalah bahwa semua anggota tim bebas memasukkan ketentuan yang dianggap penting dan layak dijalankan di Indonesia dalam rangka melakukan demokratisasi. Berdasarkan pandangan hukum tersebut, tim revisi UndangUndang Susduk melakukan sidang-sidangannya. Ketiga tim tadi juga melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk menjaring pendapat dari berbagai lapisan masyarakat dalam rangka menyempurnakan isi ketiga undang-undang tersebut. Tim tidak berdebat lama dalam memutuskan perlunya DPD dengan fungsi legislatifnya dicantumkan dalam Undang-Undang Susduk yang baru untuk menghadapi pemilu 2004. Dengan kata lain, tim revisi Undang-Undang Susduk bersepakat bahwa DPD yang diusulkan dalam draft RUU Susduk itu adalah DPD dalam sistem become realism yang kuat (strong become realism). Pada bulan Maret 2001, draft RUU Susduk tersebut diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri untuk diproses sebagaimana layaknya, sebagaimana lazimnya draft RUU yang berasal dari pemerintah. Beberapa bulan kemudian kami mendapat informasi dari salah seorang pejabat Departemen Dalam Negeri, bahwa draft RUU Susduk sudah disetujui oleh pemerintah. Pemerintah tidak mengubah ketentuan-ketentuan tentang DPD sehingga masukan yang diberikan oleh tim revisi Susduk tidak mengalami perubahan yang berarti. Ini berarti bahwa draft RUU Susduk siap untuk disampaikan ke DPR. Dalam proses pembahasan RUU Susduk di DPR, ternyata terjadi perdebatan yang hebat tentang keberadaan DPD dan fungsi yang akan diberikan kepada lembaga tersebut. Pada akhirnya, DPR dan pemerintah menyepakati pembentukan DPD sebagai lembaga yang tidak menjalankan fungsi legislatif sepenuhnya seperti yang kita kenal saat ini (weak become realism).
19
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman ini adalah. Pertama, masyarakat berpendapat bahwa perlu dibentuk DPD dengan fungsi legislatif. Hal ini memperkuat keyakinan tim revisi UndangUndang Susduk untuk memasukkan ketentuan tentang DPD dengan fungsi seperti itu. Kedua, pemerintah ternyata menyetujui … pemerintah ternyata secara utuh berpendapat bahwa DPD yang merupakan lembaga legislatif perlu dicantumkan ke dalam draft RUU Susduk yang akan disampaikan ke DPR untuk pembahasan lebih lanjut. Perkembangan selanjutnya menunjukan bahwa RUU Susduk itu kemudian mengalami perubahan yang berarti, termasuk dalam kedudukan dan fungsi DPD. Pak Ketua Yang Mulia, saya akan lanjutkan ini dengan membahas amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sekitar awal 2002, panitia ad hoc satu atau PAH 1 MPR RI membetuk Staf Ahli PAH 1 MPR dalam rangka pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi tugas badan tersebut. Kami termasuk yang direkrut sebagai Staf Ahli PAH 1 MPR yang termasuk ke dalam staf ahli bidang politik dan dipilih sebagai ketuanya. Ada 30 orang akademisi dan pakar dari berbagai universitas di Indonesia yang menjadi anggota badan tersebut yang terbagi dalam beberapa bidang, seperti hukum, ekonomi, politik, agama, dan sosial. Yang menjadi ketua tim ahli PAH 1 MPR adalah Prof. Dr. Ismail Suny, sekarang sudah almarhum. Salah satu masalah yang dibahas dalam rapat-rapat Tim Ahli PAH 1 MPR adalah masalah DPD. Staf ahli bidang politik ditugaskan bersama staf ahli bidang hukum yang diketuai oleh Prof. Dr. Jimly Assidiqie untuk merumuskan pandangan Staf Ahli PAH 1 MPR tentang DPD. Gabungan kedua tim tersebut sepakat untuk memasukkan ketentuan tentang DPD ke dalam revisi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai bagian dari lembaga legislatif (strong become realism). Usulan kedua tim ini kemudian dibahas dalam rapat Pleno Staf Ahli PAH 1 MPR. Rapat Pleno juga menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga usulan tersebut dapat segera diajukan ke Rapat Pleno PAH 1 MPR sebagai masukan dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam Rapat Pleno PAH 1 MPR, yang mendengar usulan dari Staf Ahli PAH 1 MPR terjadi perdebatan yang seru. Antara lain, mengenai keberadaan dan peran DPD. Tidak saja antara … tidak saja antara Anggota PAH 1 MPR dengan Staf Ahli PAH 1 MPR, tetapi juga antara Anggota-Anggota PAH 1 itu sendiri. Sebagian Anggota PAH 1 MPR tidak setuju bila peranan legislatif penuh diserahkan kepada DPD. Staf Ahli PAH 1 MPR juga memberikan argumentasinya tentang perlunya hal tersebut sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Keputusan berada di tangan PAH 1 MPR, staf ahli ... Staf Ahli PAH 1 MPR memang menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada PAH 1 MPR. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman di atas adalah bahwa gagasan DPD sebagai bagian dari badan legislatif yang 20
menjalanlan fungsi legislatif telah coba disampaikan oleh Staf Ahli PAH 1 MPR ke PAH 1 MPR sebagai bahan yang akan diputuskan oleh Sidang Pleno MPR dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Para Anggota dari Staf Ahli PAH 1 MPR yang berasal dari berbagai disiplin ilmu yang bergerak di dunia akademis telah sepakat untuk membentuk DPD sebagai lembaga legislatif penuh. Pendapat para Anggota Staf Ahli PAH 1 MPR didasarkan ... didasarkan atas pandangan-pandangan yang berkembang di dalam masyarakat yang berhasil dijaring oleh mereka. Bapak Ketua MK Yang Mulia, saya akan lanjutkan dengan alasan perlunya DPD dilihat dari ... dari perkembangan sosial politik di Indonesia. Pandangan yang berkembang di dalam masyarakat tentang perlunya DPD sebagai lembaga legislatif telah disampaikan secara ... telah disampaikan setelah bergulirnya reformasi di Indonesia, Peraturan Tahun 1998. Ada beberapa alasan dari perlunya DPD yang berperan sebagai lembaga legislatif penuh. Pertama. Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan bahwa pemerintah pusat terlalu dominan, sehingga kepentingan daerah terabaikan. Memang negara kesatuan memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat. Namun, kewenangan tersebut sudah terlalu besar, sehingga terjadi sentralisme yang berlebihan. Saya menyebut itu sebagai excessive centralism. Oleh karena itu, demokratisasi menuntut adanya otonomi daerah sebagai penyeimbang dari sentralisme yang dimainkan oleh pemerintah pusat dalam negara kesatuan. Pengalaman menunjukkan bahwa sentralisme yang berlebihan itu telah menimbulkan dampak buruk bagi negara dan bangsa Indonesia. Terjadi eksploitasi kekayaan alam di daerah secara berlebihan yang digunakan untuk kepentingan pribadi elit politik. Suarasuara daerah tidak didengarkan sama sekali, sehingga daerah tidak bisa berbuat banyak. Akibatnya adalah munculnya kekecewaan di sejumlah daerah yang sebagian berkembang menjadi separatisme. Dalam rangka menciptakan penyeimbang itu pulalah, DPD dianggap perlu dibentuk. Masyarakat merasakan perlu adanya lembaga pembuat keputusan di tingkat nasional yang berperan dalam pembuatan keputusan secara nyata. Dengan demikian, kepentingankepentingan dari berbagai daerah dapat disampaikan dan disalurkan sampai ke tingkat nasional oleh sebuah lembaga yang khusus untuk itu. Dengan adanya DPD, pemerintah pusat dapat diingatkan mengenai berbagai kepentingan daerah yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa DPD yang berperan besar adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang sama juga berlaku bagi otonomi daerah. Otonomi daerah ... otonomi daerah diperlukan untuk memberikan kesempatan 21
kepada setiap daerah untuk ... untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. Dengan demikian, frustasi daerah karena dominasi pemerintah pusat dapat dikurangi. Kedua ... alasan kedua. Alasan kedua adalah karakteristik bangsa Indonesia yang heterogen atau majemuk. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin majemuk sebuah bangsa, semakin diperlukan kepekaan dari pemerintah pusat terhadap suara-suara yang berkembang di ... di daerah. Oleh karena itu, semakin majemuk sebuah negara bangsa, semakin besar kebutuhan akan adanya kepekaan pemerintah pusat terhadap aspirasi daerah. Di beberapa negara, hal tersebut ditanggapi dengan membentuk negara federal. Indonesia mempunyai kasus yang berbeda karena negara federal mempunyai konotasi buruk di dalam masyarakat kita, maka negara federal bukanlah pilihan yang tepat. Oleh karena itu, pilihan jatuh pada negara kesatuan dengan kepekaan yang besar terhadap suara-suara daerah. Kepekaan ini akan semakin besar dengan adanya DPD yang menjalankan fungsi legislatif secara penuh. Inilah yang bisa kami sampaikan, Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat. Atas perhatian hadirin semuanya, kami mengucapkan terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 47.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, sekaligus kita dengar Ahli dari Pemohon Nomor 104, Bapak Sidharta.
48.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: SIDHARTA Yang Mulia, Majelis Hakim Konstitusi. Pemerintah, Kuasa DPR, rekan-rekan ahli (…)
49.
Pemohon,
Kuasa
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sebentar Saudara Ahli, saya mau tanya ke Pemerintah. untuk Perkara Nomor 104 ini Pemerintah belum menyerahkan tanggapannya. Apakah tanggapan itu dianggap sama dengan sebelumnya karena toh substansinya sama, ataukah Anda mau menyampaikan keterangan lebih dulu?
22
50.
PEMERINTAH: CANDRA Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan menyampaikan tanggapan keterangan Pemerintah untuk selanjutnya, namun sekarang masih berada di Bapak Menteri Dalam Negeri. Terima kasih.
51.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, tidak apa-apa. Silakan keterangan Ahli. Silakan, Pak Sidharta.
52.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: SHIDARTA Baik, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, om swastiastu. Berbeda dengan para ahli yang telah dihadirkan sebelumnya, dalam pemeriksaan perkara permohonan ini, saya memang dimintai pandangannya dari perspektif yang berbeda. Sekalipun demikian, tidak tertutup kemungkinan nanti akan ditemukan sejumlah kesamaan pandangan dengan beberapa ahli yang telah mengungkapkan pemikirannya. Ahli ingin menyampaikan pandangan seputar Pengujian UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini dengan menggunakan topik … dengan menggunakan optik hermeneutika hukum. Hermeneutika berkaitan dengan teori tafsir-menafsir. Istilah tafsir biasanya dipakai dalam arti yang lebih sempit oleh para ahli hukum, yaitu sebagai salah satu metode penemuan hukum (suara tidak terdengar jelas). Mereka biasanya membedakan antara penafsiran dan konstruksi. beberapa ahli yang lain ada yang menambahkannya dengan metode ekposisi. Ahli tentu tidak bermaksud untuk menjelaskan secara detail metode-metode penemuan hukum itu, lagipula sebelumnya sudah ada ahli yang menyinggung berbagai penafsiran itu seperti penafsiran gramatikal, historis, dan telologis. Pada kesempatan ini, Ahli justru ingin melengkapinya dengan memetakannya secara filosofis berkaitan dengan jenis-jenis penafsiran itu serta mencoba menyoroti penafsiran-penafsiran itu pada perihal permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Majelis Hukum yang kami muliakan, peraturan perundangundangan adalah format hukum positif yang paling eksplisit di dalam mengejawantahkan hukum. Istilah hukum positif atau ius costitutum pada hakikatnya berarti ius yang sudah dibentuk atau dikonsotasi oleh manusia, dalam hal ini tentunya oleh penguasa. Namun, tatkala gerakan kodifikasi muncul di bawah kekuasaan imperium romawi, ius yang dimaksud di sini sebenarnya tidak datang atau dicari dari manamana, melainkan langsung di abstraksikan dari pola-pola perilaku yang 23
memang sudah berlangsung lama dan berkelanjutan di dalam masyarakat. Hasil abstraksi ini lalu diformulasikan secara rasional menjadi klausula-klausula peraturan. Peraturan tertulis ini dengan demikian tidak hanya memiliki kekuatan keberlakuan yuridis, tetapi juga sekaligus keberlakuan sosiologis dan filosofis. Pasa masa ini, berarti belum ada pertentangan atas pertanyaan, apakah law is created atau law is discovered. Sebab hukum yang dibentuk adalah hukum yang ditemukan. Itulah sebabnya kodifikasi hukum romawi misalnya berhasil bertahan sampai ratusan tahun tanpa mengalami gugatan berarti dari segi pemaknaan. Barulah setelah masyarakat berkembang makin kompleks, kesenjangan antara apa yang tertulis dan apa yang dipraktikkan mulai menjadi persoalan. Untuk itu, kelahiran hermeneutika hukum sebagai teori atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai ilmu dalam tafsir-menafsir tadi menjadi alat bantu yang penting dalam memberi makna terhadap hukum. Sekalipun hasil dari pemaknaan itu selalu diupayakan untuk bisa disebut objektif, ternyata tidak bisa dihindari bahwa posisi berdiri atau sudut pandang subjektif penafsir atau interpretator atau interpreter akan selalu ikut bermain dalam memaknai teks atau interpretandum. Tokoh hermeneutika seperti (suara tidak terdengar jelas) misalnya berbeda posisi berdirinya dengan [Sic!]. Penganut legisme atau yang lebih populer disebut positif hukum, biasanya menghindari diskusi tentang penafsiran di luar penafsiran gramatikal. Harus diakui secara klasikal bahwa penafsiran gramatikal memang mendasari siapa pun yang akan membaca sebuah teks undang-undang. Biasanya langkah awal penafsiran ini sejalan dengan asas umum di dalam penemuan hukum yang disebut asas sens-clair. Menurut asas ini, apa yang sudah jelas-jelas tertulis tidak bisa dimaknai berbeda. Kalau misalnya sudah tertulis bahwa Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia maka tidak bisa ditafsirkan berbeda, misalnya menjadi Mahkamah Konstitusi Malaysia atau Singapura. Persoalannya adalah bagaimana jika apa yang ditulis itu tidak cukup jelas maknanya karena ada ambiguitas makna di situ. Dalam konteks demikian, maka para pengemuka doktrin penemuan hukum memberi kesempatan untuk dilakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode penafsiran atau metode konstruksi. Kendati demikian, tidak ada satu model atau jenis metode penafsiran yang secara memaksa wajib untuk dipakai lebih dulu atau diprioritaskan daripada model atau jenis lainnya. Hanya saja, jika kita ingin mencermati doktrin-doktrin dalam hermeneutika hukum, sebenarnya ada panduan yang bisa diambil dari domain hukum perjanjian dalam lapangan keperdataan. Doktrin ini menarik karena bisa memandu kita juga di dalam konteks pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Asas sens-clair dapat kita temukan di dalam Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 24
Seperti kita utarakan di atas, asas ini memberi landasan bagi penafsiran gramatikal, namun bagaimana kalau penafsiran gramatikal tidak mencukupi. Pasal selanjutnya dari titik berangkat asas sens-clair itu yaitu Pasal 1343 menyatakan bahwa jika kata-kata dalam perjanjian dapat ditafsirkan secara beragam, maka harus diutamakan penafsiran mengikuti maksud kedua belah pihak daripada mengikuti bunyi teks perjanjian itu. Di sini terlihat bahwa metode yang disebut penafsiran historis diletakkan pada tempat kedua setelah penafsiran gramatikal. Apakah ini dapat diartikan bahwa penafsiran historis harus diposisikan pada tempat kedua setelah penafsiran gramatikal. Dalam banyak buku teks yang membahas tentang metode penafsiran konstitusi misalnya yang ditulis oleh Hary Wellington, oleh Jack Rakuf misalnya, di situ dikatakan, “Masalah penafsiran historis memang mendominasi discursus terkait penafsiran konstitusi.” Sebagaimana dicontohkan terjadi di Amerika Serikat. Original intent ditampilkan sebagai tema penting dalam konstitusi. Sebenarnya bisa dimengerti karena konstitusi dianggap derivasi ter … terdekat dari pokok-pokok pikiran para pembentuk negara tatkala sebuah negara didirikan. Untuk memahami apa yang dimaksud oleh … oleh para pembentuk negara kita, maka diperlukan perspektif historis untuk menjelaskannya. Pada saat Undang-Undang Dasar 1945 versi paling awal muncul, posisi bahkan terminologi dewan perwakilan daerah jelas belum ada. Oleh sebab itu, mencari original intent tentang DPD berikut dengan fungsi-fungsinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada konteks tahun 1945, akan sia-sia. Jelas tidak tepat untuk mengidentikan DPD dengan unsur utusan daerah pada saat itu, walaupun unsur ini pun sama-sama masuk … masuk di dalam majelis permusyawaratan rakyat. Dengan demikian, perspektif historis di dalam pemaknaan posisi DPD di dalam teks-teks konstitusi harus ditempatkan pada konteks ketika rumusan DPD itu muncul pertama kali dalam pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Di sini terlihat bahwa di luar yang tertulis secara tekstual gramatikal dan kontekstual historikal itu, harus ada pemaknaan ketiga yang tidak kalah pentingnya untuk mengisi ruang penafsiran kita dalam memahami keberadaan DPD ini. Pemaknaan ketiga ini adalah penafsiran secara fungsional teologikal. Level ini secara kebetulan memang direkomendasikan oleh pembentuk undang-undang sebagaimana dapat dicermati dalam Pasal 1344 KUH Perdata. Setelah itu doktrin tentang penafsiran ini masih bisa dilanjutkan ke pasal-pasal selanjutnya sampai Pasal 1350 KUH Perdata. Jadi, para penafsir di bidang hukum mana pun dapat mencermati panduan dalam ranah hukum perjanjian tadi sebab pada dasarnya semua norma hukum positif dapat dilihat sebagai hasil perjanjian kolektif sebagaimana diajarkan oleh teori kontrak sosial. Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan, Ahli ingin mencoba mengaitkan pandangan di atas dengan konteks pengujian Undang25
Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terkait dengan pemosisian DPD. Apabila kita menggunakan level penafsiran yang pertama, yaitu penafsiran gramatikal, maka kita harus membaca kaca mata yang sinkronik bukan diakronik. Pendekatan sinkronik itu bersifat ahistoris. Melalui pendekatan sinkronik dapat dilihat bahwa sehubungan dengan pembahasan rancangan undangundang, lembaga DPD tidak dimunculkan di dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, tetapi ia muncul dalam formulasi dalam Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang 1945. Bagaimana kita harus memberi makna terhadap kedua teks ini. Bagi para penafsir tekstual gramatikal, mereka akan lari ke asumsi tentang sifat-sifat norma hukum yang ekslusi, subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi. Artinya jika kedua teks ini diasumsikan menawarkan makna berbeda, maka harus ada yang ditempatkan pada hierarki yang lebih tinggi dari pada yang lain karena Pasal 22D ayat (2) diletakkan lebih akhir atau posterior daripada Pasal 20 ayat (2), maka pasal ini harus diberi artikulasi lebih kuat secara maknawi. Saya ingat sebuah wawancara yang dilakukan oleh media hukum online dengan Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., yang sekarang menjadi guru besar ilmu perundang-undangan dan Hakim Konstitusi di depan, wawancara ini dimuat pada tanggal 24 April 2003. Dalam transkrip wawancarai yang diberi judul “Tanpa pengesahan presiden, undang-undang tidak berlaku” beliau menyebut tentang kekuatan lebih tinggi dari Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dibandingkan dengan 20 ayat (4) karena rumusan ayat (5) ini ditempatkan lebih belakangan dibandingkan dengan ayat (4). Oleh karena itu pula, penafsir tekstual gramatikal akan mengatakan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undangnya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, dan seterusnya itu sebagai sebuah lembaga ketiga yang sederajat dengan dua lembaga negara lainnya yang menjalankan proses pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Memang benar bahwa pada Pasal 22C ayat (4) juncto Pasal 22D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, ada disebut-sebut tentang Undang-Undang Organik yang mengatur perihal susunan dan kedudukan DPD dan pemberhentian anggota DPD, harus dihindari di sini untuk menerapkan kesesatan penalaran atau policy yang disebut petitio principii yang mengajak kita berputar-putar. Artinya, jangan sampai terjadi ada undang-undang dimintakan pengujiannya terhadap Undang-Undang Dasar, tetapi justru undang-undang mengembalikannya atau menunjuk lagi kepada rumusan undangundang. Apabila kita menganggap level penafsiran tekstual gramatikal demikian belum cukup meyakinkan, maka penafsiran kontekstual historikal mungkin dapat membantu. Jika menggunakan pendekatan diakronis, harus diakui ada pembelajar yang pahit … pembelajaran yang 26
pahit diperoleh selama kurun waktu lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, ketika aspirasi kedaerahan tidak mendapat akses yang cukup dalam pengambilan kebijakan publik yang notabene berpengaruh terhadap mereka. Dimasukkannya Bab VIIA tentang DPD dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, harus dibaca sebagai penguatan posisi tawar daerah yang telah terpinggirkan selama ini. Kehendak inilah yang demikian kuat muncul dalam benak para anggota MPR ketika itu. Semangat dan intensi ini, menurut teorisasi hukum John Austin, merupakan sebuah unity of will dan perlu diingat bahwa unity of inforcement in tales unity of will. Kesatuan kehendak (unity of will) dari rakyat Indonesia terhadap wakil-wakil mereka di DPD, sepanjang yang dapat saya amati, sama sekali tidak dalam rangka menuju ke format federalisme. Pokok pikiran pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menuntun kita untuk tidak sampai terlalu jauh ke arah sana. Koridornya tetap di dalam pokok pikiran negara persatuan. Ujung dari koridor itu disebutkan di dalam pokok pikiran kedua yaitu hendak menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nah, proses membawa negara persatuan, mencapai tujuan mulia keadilan sosial itu tadi, dilaksanakan melalui lembaga-lembaga perwakilan, inilah pesan dari pokok pikiran ketiga. Ditutup kemudian dengan pokok pikiran keempat yang memberi landasan aksiologis dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rambu-rambu ini jelas sudah dipersiapkan oleh para founding parents kita. Saya ingin melanjutkan pada level penafsiran ketiga, yaitu penafsiran secara fungsional teleologikal. Penafsiran ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap lembaga negara yang kita bentuk, memiliki fungsi-fungsi yang jelas dan signifikan. Kita pasti sepakat untuk mengatakan bahwa pembentukan undang-undang sampai pada tahap pengawasan atau pelaksanaannya adalah kegiatan yang serius dan DPD sebagai lembaga negara diberi amanat untuk menjalankan fungsi-fungsi itu. Inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh segenap rakyat Indonesia ketika mereka memilih representasi mereka di lembaga DPD. Mereka berharap agar wakil-wakil kedaerahan ini difungsikan seoptimal mungkin. Mereka tidak ingin representasi mereka hanya menjadi simbol semata, sebagaimana pernah terjadi dengan label utusan daerah selama 50 tahun dan berlanjut pada sekian tahun terakhir ini pascareformasi. Sangat berdosa rasanya kita membiarkan ekspektasi ini kandas begitu saja dan membuat mereka skeptis pada setiap kali diadakan pemilihan umum dengan dana miliaran terbuang. Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan, dengan meminjam kembali panduan doktrinal yang ada dalam ranah hukum perjanjian, maka pasal berikutnya yaitu Pasal 1345 KUH Perdata, meminta kita untuk memilih mode penafsiran yang paling selaras dengan sifat dalam ranah hukum. Mahkamah Konstitusi adalah penafsir resmi konstitusi, 27
maka tentu dengan segala kebijaksanaannya akan mampu menetapkan mana posisi DPD dalam kedua undang-undang yang diujikan yang paling proporsional dihubungkan dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 secara tekstual-gramatikal, kontekstual-historikal, dan fungsional-teleologikal. Ahli sendiri menyimpulkan bahwa dari ketiga level penafsiran itu, pada hakikatnya tidak ada keraguan untuk menyatakan bahwa kedudukan dan fungsi DPD harus lebih diperkuat daripada yang selama ini berjalan. Demikian pandangan saya sebagai Ahli, semoga ada manfaatnya untuk membantu pemahaman kita bersama. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 53.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Terima kasih, Pak Shidarta. Saudara sekalian, sidang akan segera diakhiri karena pukul 13.00 kami harus ada sidang lagi. Meski begitu, tadi dari Pemohon Prinsipal mau menyampaikan statement, saya kira bisa diwakili oleh Pak Wayan Sudirta dalam lima menit saja. Bukan sebagai kesaksian tapi sebagai bagian dari … apa … pernyataanpernyataan permohonan.
54.
PEMOHON SUDIRTA
PERKARA
NOMOR
92/PUU-X/2012:
I
WAYAN
Baik. Terima kasih, Majelis yang Kami Muliakan. Para hadirin yang saya hormati, saya akan memberikan kesaksian fakta, berupa apa yang saya alami, saya lihat sendiri, saya ketahui sendiri, selama 8 tahun menjadi anggota DPD. Itu saja, dengan pertimbangan mudah-mudahan fakta kesaksian ini bisa melengkapi bahan bagi Majelis Hakim untuk membuat keputusan yang sempurna dan seadil-adilnya. 55.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, singkat saja, Pak.
56.
PEMOHON SUDIRTA
PERKARA
NOMOR
92/PUU-X/2012:
I
WAYAN
Dalam rangka penyampaian kesaksian kami, sebagai Saksi Pemohon Nomor 92/PUU-X/2012, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Satu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur hubungan kerja antara DPR dan DPD pada periode awal keanggotaan DPD tahun 20042009. Dalam undang-undang tersebut, belum sepenuhnya mengatur sejauh mana pelaksanaan tugas DPD sebagaimana amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang 28
tersebut, belum merinci hubungan kerja antara DPR dan DPD. Untuk itu, diperlukan mekanisme kerja DPR dan DPD, dilakukan pembicaraan DPR dan DPD mengenai mekanisme hubungan kerja DPR-RI dengan DPD-RI. Pada periode keanggotaan tahun 2004-2009, pembicaraan formal terkait mekanisme legislasi DPR/DPD telah diupayakan. Pada tanggal 15 Desember 2006, Ketua DPD-RI telah berkirim surat pada Wakil Ketua DPR-RI untuk menjawab surat DPR tentang Usulan Materi Legislasi antara DPR/DPD yang perlu diatur lebih lanjut. Dalam pembicaraan antara pimpinan DPR dan DPD-RI saat itu sebenarnya telah disepakati untuk membentuk satu tim kerja bersama yang disebut dengan tim 25. Keanggotan tim 25 ini terdiri dari 14 orang Anggota DPR-RI, dan 11 orang Anggota DPR-RI yang diketuai oleh Ketua DPR, Bapak Sutardjo Suryoguritno alm. Tim 11 DPD sementara itu dipimpin oleh Wakil Ketua DPD Irman Gusman … Bapak Irman Gusman pada saat itu. Sebenarnya telah menghasilkan suatu konsep yang disebut konsep membangun hubungan kerja yang harmonis antara DPD-RI dan DPRRI. Konsep tersebut berisi usul DPD dalam rangka menyinergikan dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas kedua lembaga. Namun hingga berakhir periode keanggotaan tahun 2004-2009, tim 25 tidak pernah bertemu guna membicarakan mekanisme kerja kedua lembaga, meskipun telah didorong terus oleh DPD, tetapi tidak ada tanggapan dari DPR-RI. Kedua, hubungan kerja DPR dan DPD pada periode 2004-2009 mempunyai dinamika tersendiri, antara lain sebagai berikut. Pertama, 20 RUU yang telah disampaikan DPD kepada DPR tidak pernah ada tindak lanjut, bahkan tidak ada keterangan dari DPR terkait dengan RUU dari DPD, padahal ketentuan mengatur bahwa setiap RUU yang disampaikan oleh DPD melalui sidang paripurnanya ke DPR, haruslah dibahas di paripurna DPR-RI. Kedua, dalam pembahasan dengan DPR, perlu kami sampaikan bahwa interaksi DPD dengan DPR sangat minim, semisal dalam pembahasan Perpu Nomor 03 Tahun 2005 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah misalnya. DPD diundang untuk memberikan pandangannya, setelah DPD menyampaikan pandangannya, rapat kemudian diskors sekedar untuk mempersilakan DPD meninggalkan ruang rapat. Sebagai satu contoh lain yang lebih menarik adalah DPR mengirimkan surat kepada DPD, agar DPD menyampaikan pandangan dan pendapat tentang perfilman … tentang RUU Perfilman pada tanggal 10 September 2009. Selanjutnya, DPD melalui keputusan DPD-RI Nomor 30 DPD Tahun 2009 tentang Perfilman menyampaikan secara tertulis kepada DPR, yaitu pada tanggal 15 September 2009, akan tetapi RUU-nya sendiri justru telah disahkan oleh DPR pada tanggal 8 September 2009. Jadi, RUU sudah disahkan pada tanggal 8 September tetapi DPR baru minta pandangan DPD pada tanggal 10 September, ini sengaja 29
kami sampaikan agar Majelis Hakim dapat memahami situasi yang demikian itu. Ketiga, beberapa pembahasan RUU pada periode 2004-2009 sama sekali tidak melibatkan DPD. Ambil contoh seperti pembahasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Suatu materi yang sangat lekat dengan kepentingan daerah. Keempat, constrain waktu penyampaian pemberitahuan DPR kepada DPD, rata-rata pemberitahuan yang kami terima antara satu sampai tiga hari, bahkan kadang-kadang hanya beberapa jam sebelum acara dimulai pembahasan. Majelis Hakim yang kami muliakan, Hadirin yang kami hormati. Bergantinya Undang-Undang Susduk ke Undang-Undang MD3 sebetulnya membawa harapan bagi DPD untuk melakukan penataan hubungan kerja dengan DPR, tidak kurang-kurangnya komunikasi intensif dilakukan DPD dalam rangka memberikan pemahaman kepada DPR untuk ada pengaturan mekanisme kerja antara DPR dengan DPD. Diatur rinci dalam undang-undang, tidak diatur dalam mekanisme tata tertib DPR karena menyangkut hubungan antarlembaga. Sebagaimana kita ketahui dan perlu kami pertanyakan, apakah mungkin sebuah tata tertib, sebuah lembaga mengikat lembaga lain ketika lembaga lain tidak dimintakan persetujuan? Kalau itu diatur dalam tata tertib dan bukan dalam undang-undang. Keempat, sejak kehadiran Undang-Undang MD3, hubungan antara DPR dan DPD, berlangsung secara evolutif, refleksi interaksi kelembagaan dalam sidang bersama, DPR dan DPD dalam rangka mendengarkan pidato kenegaraan presiden setiap tanggal 16 Agustus merupakan ciri yang positif. Pada tahun 2010, sidang bersama DPR, DPD dipimpin oleh Ketua DPR, kemudian tahun 2011 dipimpin oleh Ketua DPD, dan pada tahun 2012 kembali dipimpin oleh Ketua DPR. Kelima, konvensi yang juga sangat positif menyangkut pelaksanaan sidang Paripurna DPR dengan agenda penyampaian RUU APBN, beserta nota keuangan dan dokumen-dokumennya telah dimulai pada tahun 2010 yang lalu, dalam sidang Paripurna DPR yang dihadiri juga oleh seluruh anggota DPD. Berlangsung pula prosesi penyerahan dokumen nota keuangan dari presiden kepada DPR yang disaksikan oleh Ketua DPD. Lalu kemudian Ketua DPR menyerahkan dokumen tersebut kepada Ketua DPD yang disaksikan oleh presiden. Prosesi ini dilakukan terkait dengan tugas dan wewenang DPD dalam memberikan pertimbangan atas RUU APBN sebagaimana dimaksud oleh Pasal 154 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Keenam, namun hubungan kerja DPR dan DPD di bidang legislasi yang meliputi keikutsertaan DPD dalam perencanaan, pengajuan, penyusunan, dan pembahasan RUU tindak lanjut, pandangan, dan pertimbangan atas RUU, serta pengawasan atas pelaksanaan undangundang yang terkait dengan bidang tugas DPD masih belum terlaksana 30
sebagaimana mestinya untuk memenuhi harapan daerah. Hingga saat ini, belum terbangun mekanisme kerja bersama DPR dan DPD di bidang legislasi. Tujuh, upaya membahas mekanisme kerja antara DPR dan DPD terus berjalan walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kalau disingkat menjadi Undang-Undang MD3. Pada tanggal 3 Mei 2010 dilaksanakan pertemuan konsultasi Pimpinan DPD dan Pimpinan DPR. Pokok-pokok materi DPD dalam pertemuan tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan proyeknas, prioritas tahunan, pembahasan RUU tahun kerja DPR-RI dengan Pemerintah Wakil DPD-RI dalam pembahasan RUU di DPR-RI, juga pembahasan RUU APBN, sidang bersama DPR-RI dan DPD-RI, lalu RUU yang telah disampaikan oleh DPD-RI, juga undang-undang yang terkait dengan DPD-RI, pencantuman Keputusan DPD-RI dan konsideran Keputusan DPR-RI, pencantuman Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam konsideran RUU terkait DPD. Delapan, dalam pertemuan tersebut disepakati, dibahas dalam tim kecil yang beranggotakan dari Anggota DPR dan Anggota DPD. Sembilan, pada tanggal 3 Juni 2010 Pimpinan DPR mengundang Pimpinan DPD dalam pertemuan konsultasi pimpinan kedua lembaga. Hal-hal yang dibahas adalah amanat Undang-Undang MD3 dalam kaitannya dengan sidang bersama DPR dan DPD. Sebelumnya DPR dan DPD memiliki konvensi dalam penyelenggaraan sidang dalam rangka pidato kenegaraan di mana sidang DPR dilaksanakan tiap tanggal 16 Agustus dan sidang DPD dilaksanakan setiap tanggal 23 Agustus yang dikemas dalam pidato Presiden terkait dengan pembangunan daerah. Dalam pertemuan konsultasi tanggal 7 Juni, akhirnya disepakati mekanisme penyelenggaraan sidang bersama antara DPR dan DPD, yang kemudian dituangkan kedalam sebuah peraturan tata tertib bersama. Mungkin hal ini merupakan satu-satunya langkah yang maju, yang konkret, dan formal dalam mekanisme hubungan kelembagaan antara DPR dan DPD. Sepuluh, namun sesungguhnya masih ada hal-hal mendasar serta menjadi persoalan besar dalam hubungan antara kedua lembaga. Hal-hal yang paling mendasar yaitu terkait dengan mekanisme legislasi dan tindak lanjut Keputusan DPD di DPR belum tersentuh sama sekali oleh DPR. Untuk itu kembali DPD menyampaikan permintaan pertemuan konsultasi melalui Surat Nomor HM310/526/DPD/IX/2010 bertanggal 29 September 2010. Pokok-pokok pembicaraan yang diusulkan terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang MD3 terutama Pasal 71 tentang Tugas dan Wewenang DPR dalam kaitannya dengan DPD. Kemudian, Pasal 96 tentang Tugas Komisi di DPR. Pasal 102 tentang Badan Legislasi. Pasal 142 tentang Pembentukan Undang-Undang di DPR. Pasal 146 tentang RUU yang Berasal dari DPD. Pasal 147 tentang Tindak Lanjut RUU yang Berasal dari DPD. Pasal 150 tentang 31
Pembicaraan Tingkat 1 di DPR. Pasal 154 dan 156 tentang Penerimaan Pertimbangan DPD terhadap RUU. Pasal 170 tentang Pemilihan Anggota BPK. Pasal 69 tentang Persidangan dan Pengambilan Keputusan di DPR. Pasal 223, Pasal 224, dan 227 tentang Tugas dan Wewenang DPD, serta Pasal 256 sampai dengan 260 tentang Pemberian Pertimbangan Terhadap RUU. Sebelas, terhadap Surat Pimpinan DPD tersebut, Pimpinan DPR tidak memberikan respons sebagaimana diharapkan. Untuk itu Pimpinan DPD kemudian kembali menyampaikan surat terkait dengan mekanisme legislasi DPR-RI, DPD-RI pada tanggal 12 Januari 2011. Namun demikian, respons terkait dengan permintaan pembahasan mekanisme legislasi DPR dan DPD belum dapat dilangsungkan. Untuk itu Pimpinan DPD kembali menginisiasi pertemuan konsultasi Pimpinan DPR dan DPD. Baru pada tanggal 13 Oktober 2011, pertemuan konsultasi DPR dan DPD dapat terealisasi. Dalam pertemuan konsultasi tersebut dihasilkan kesepakatan beberapa hal, yaitu membentuk tim bersama khusus membahas mekanisme legislasi serta menugaskan Sekretariat Jenderal DPR dan Sekretariat Jenderal DPD untuk menyusun konsep awal mekanisme legislasi antara DPR dan DPD. Dua belas, sebagai tindak lanjut, maka pada tanggal 2, 9, dan 10 November 2011 dilaksanakan pertemuan antara Sekretariat Jenderal DPR dan Sekretariat Jenderal DPD untuk menyusun draf awal mekanisme legislasi DPR dan DPD. Namun, posisi dokumen tersebut mentah kembali karena DPR tetap berpegang pada konstruksi UndangUndang MD3 dan Undang-Undang P3. Sekali lagi, konsep menjadi macet dan deadlock kembali DPD seperti menemui jalan buntu untuk melakukan komunikasi. Majelis Hakim yang kami muliakan, yang ke 13. Di dalam keterbatasan kewenangan legislasi yang kami miliki, DPD berhasil mengeluarkan sejumlah produk, mulai dari usulan RUU, pandangan dan pendapat terhadap RUU, serta pertimbangan atas suatu RUU baik yang diprakarsai oleh DPR maupun Pemerintah. Ada dua masalah besar dalam mekanisme legislasi yang sampai saat ini dihadapi oleh DPD. Masalah ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang belum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertama, terkait dengan prolegnas, keterlibatan DPD dalam pembahasan prolegnas hanya sampai pada pembahasan awal dengan badan legislasi, tidak ada tindak lanjut dari usulan DPD, dan DPD juga tidak pernah diberikan peran sesuai dengan pembahasan RUU di Prolegnas. Terakhir, pembahasan Prolegnas, 2013, DPD diminta DPR untuk membahas pada tingkat Panja. Namun, Panja yang dijadwalkan tanggal 7 Desember 2012 diberitahukan kepada DPD tanggal yang sama. Pukul 15.30 beberapa saat, beberapa jam sebelum acara dimulai. Sementara DPD … pas seperti waktu itu melakukan Kunker ke daerah, sesuai 32
dengan tata tertib. Sehingga DPD tidak mungkin mengikuti acara tersebut. Dalam waktu demikian sempit dan dalam keadaan kita berada di daerah. Kedua, DPD sampai Sidang Paripurna tanggal 14 November 2012 yang lalu. DPD telah menghasilkan sebanyak 38 RUU, 18 RUU dihasilkan DPD periode yang sekarang ini. Dan 20 RUU pada periode 2004-2009 yang lalu. Dan tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti oleh DPR, tidak pernah ada penjelasan atau jawaban penjelasan tertulis dari DPR kepada DPD tentang ke-38 RUU yang telah dikirim oleh DPD kepada DPR sebagai usul inisiatif tersebut. Menariknya, beberapa sekedar contoh RUU tentang Yogyakarta, DIY Yogyakarta, misalnya. Itu beberapa hasil yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah … kalau kami menyebut 90% adalah materi yang dibawakan dalam RUU yang diajukan oleh DPD ke DPR, mungkin kelihatannya berlebihan. Tapi, mari kita saksikan sama-sama bahwa sesungguhnya materi-materi yang diajukan DPD, yang semula ditentang oleh pemerintah dan beberapa fraksi, itulah yang di golkan dan itulah yang diajukan oleh DPD. Tetapi RUU DPD tidak dibahas, isinya sudah masuk ke undang-undang yang disahkan sekarang ini. Tukar baju, tapi tidak disebut tukar baju. Ketiga adalah keterlibatan DPD pada pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya sampai saat ini masih belum sepenuhnya bulat. Beberapa pembahasan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD tidak melibatkan DPD, seperti pembahasan RUU tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang telah diundang menjadi … diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Keempat, dalam kaitan pembahasan RUU di DPR. Pada praktiknya terdapat dua mekanisme keterlibatan DPD yang berlaku pada waktu pembahasan RUU di DPR. Menyangkut DIM, DPD sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan DIM. Pada pembahasan RUU tentang keistimewahan DIY, Komisi II menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang MD3 yang tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada DPD menyampaikan DIM. Namun, menyampaikan pendapat ini dalam Tahapan Tingkat I. Kami terus terang kesulitan menyusun pendapat minim … tersebut karena tidak mengikuti pembahasan dan perdebatan dalam pembahasan DIM. Memang ini ironis. Menyampaikan pendapat minim, tapi kami tidak punya bahan apa yang terjadi dalam perdebatan ketika DIM itu dibahas. Untuk pembahasan RUU tentang Pemerintah daerah, RUU tentang Pemilu kepala daerah, dan RUU tentang Desa. Komisi II menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang P3. Dalam hal ini, Pasal 68 ayat (3) huruf b, setelah kami menyampaikan … semata-mata setelah kami menyampaikan bahwa DPD dapat menyampaikan DIM, dan DIM tersebut menjadi bahan bagi DPR. Namun, sekali lagi, untuk pembahasan daerah otonomi baru, DPD 33
hanya dilibatkan pada awal, bukan pada pembahasan berikutnya. Seperti praktik yang ada dalam Susduk, waktu Susduk memang kami tidak diberikan peran, waktu … eh, MD3 juga tidak diberikan peran. Bagaimana mungkin DPD tak dilibatkan dalam pembahasan RUU daerah otonomi baru? Jelas ini melanggar konstitusi, jelas pembahasan DPD yang tidak diikutkan seperti itu dirasakan keberadaan DPD dipertanyakan. Masih perlukah DPD diadakan? Andaikata dalam pembahasan daerah otonomi baru, mereka tidak disertakan. Pertanyaan retorik, untuk apa DPD diadakan kalau dalam daerah otonomi baru pemekarannya saja mereka tidak dilibatkan? Majelis Hakim yang kami muliakan, hal-hal di atas kami sampaikan merupakan fakta yang kami dengar, kami lihat, dan kami alami dalam kedudukan sehari-hari sebagai ketua panitia perancang undang-undang DPD RI dalam proses hubungan dengan DPR. Demikianlah kesaksian kami, terkait dengan masalah hubungan kerja antara DPR dan DPD. Semoga gambaran di atas dapat memberikan perspektif bagi Mahkamah untuk memutuskan permohonan DPD ini. Semata-mata judicial review ini diajukan karena memang jalan lain tidak kami temukan lagi. Konsultasi berkali-kali sudah tidak ditemukan. Maka di sinilah kami mohon keadilan, mohon tafsir bagi Majelis Hakim Yang Terhormat. Mudah-mudahan ada gunanya apa yang kami sampaikan. Fakta-fakta ini sejujurnya tidak satu pun yang dibohongi. Terima kasih. 57.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, ini dianggap sebagai kesaksian dari seluruh anggota DPD karena ini pengalaman bersama. Jadi, menjadi lampiran dari itu ya … nanti dari permohonannya sebagai bahan pertimbangan. Baik, waktu kita sudah habis. Untuk Saudara Refly Harun yang dijadwalkan menjadi Ahli atau Saksi, sekaligus nanti digabung dengan pernyataan Saudara (suara tidak terdengar jelas), untuk perkara Saudara sendiri pada sidang berikutnya. Artinya kan substansinya sama, jadi Saudara akan diberi kesempatan seperti Pak Wayan tadi untuk bicara perkara itu, yang penting kan substansinya, tidak pada kuotanya, apa sebagai saksi. Nanti saling pinjam Saksi/Ahli ke situ, ndak selesai-selesai sidang ini. Baik, sidang berikutnya akan dibuka … masih agak lama. Dan mungkin akan merupakan sidang terakhir. Pada Rabu tanggal 23 Januari 2013, jam 11.00 di Gedung Mahkamah Konstitusi.
34
Dan kepada Pemerintah, Anda dipersilakan apakah mau menanggapi khusus permohonan 104/PUU-X/2012 ataukah apa … menganggap yang kemarin sama, silakan saja. Tetapi yang jelas sudah kami beri kesempatan seluas-luasnya. Sidang ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.00 WIB
Jakarta, 19 Desember 2012 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
35