MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA RABU, 27 JUNI 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-X/2012
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran [Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON H. Hamdani Prayogo ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (IV) Rabu, 27 Juni 2012, Pukul 11.03 – 12.34 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5)
Harjono Hamdan Zoelva Anwar Usman M. Akil Mochtar Muhammad Alim
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. H. Hamdani Prayogo B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
M. Sholeh Amin A.H. Wakil Kamal Ahmad Wirawan Adnan Iim Abdul Halim Rini Ariyani
C. Ahli dari Pemohon: 1. Siti Chamamah Soeratno 2. Muhammad Arief Setiawan D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dedi Kuswenda Netty Pakpahan Sudono Tuti Ria Ningrum Arizal Azwar Paulus Anwar
(Direktur bina Upaya Kesehatan Dasar) (Kementerian Kesehatan) (Kementerian Kesehatan) (Kementerian Hukum dan HAM)
E. Ahli dari Pemerintah: 1. 2. 3. 4.
Bimo Rintoko Bambang Kusnandir Andreas Adyatmaka Suroto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.03 WIB
1.
KETUA: HARJONO Sidang pemeriksaan perkara No.40/PUU-X/2012, dengan ini dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik, sebelum sidang dilanjutkan, seharusnya undangan adalah sidang Pleno, tapi karena beberapa hakim masih berhalangan untuk hadir, maka diselenggarakan sidang Panel yang diperluas yang nilai legalitasnya sama, artinya tidak usah diulang lagi kalau toh sekarang dilakukan sidang Panel yang diperluas. Jadi, kita berlima melakukan sidang Panel yang diperluas. Baik, persilakan dulu, Pemohon siapa yang datang?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SHOLEH AMIN Baik, Yang Mulia. Kami menghadirkan dua Ahli, yang pertama Prof. Chamamah, yang kedua, Dr. Arief Setiawan yang kedua-duanya … Prof. Chamamah dari Universitas Gajah Mada dan Saudara Arief dari Universitas Indonesia. Terima kasih.
3.
KETUA: HARJONO Jadi, ada dua Ahli yang dihadirkan, ya? Sekarang pada Pemerintah, silakan! Perkenalkan diri dulu, siapa yang hadir?
4.
PEMERINTAH: DEDI KUSWENDA Baik, terima kasih, Pak. Yang hadir dari Pemerintah untuk unsur KKI, dr. Arizal Azwar, Sp.BM. Kemudian, Dr. drg. Paulus Anwar. Kemudian, Tuti Ria Ningrum dari Kemenhukham. Kemudian, Netty Pakpahan dari Kementerian Kesehatan. Saya sendiri, Dedi Kuswenda dari Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Pak drg. Sudono dari Kemenkes. Kemudian dari Ahli, kami perkenalkan, drg. Bambang Kusnandir, drg. Bimo Ritoko, drg. Andreas Adyatmaka, dan Bapak Suroto. Terima kasih.
5.
KETUA: HARJONO Jadi, Pemerintah hadir, dihadirkan juga empat Ahli dari Pemerintah. DPR, silakan, yang hadir! DPR tidak ada? Ya, tidak hadir.
1
Baik, sebelum kita dengar nanti, acaranya adalah mendengarkan Ahli. Kita perjanjikan dulu karena Mahkamah Konstitusi juga ada sidangsidang berikutnya, pukul 12.30 WIB, sidang ini kita akhiri. Oleh karena itu, kalau bisa Ahli menyampaikan yang relevan. Jadi kalau poin-poin, kalau bisa dibagi seluruh Ahli memberikan keterangan, kalau tidak, nanti barangkali Ahli yang dari Pemerintah terpaksa ditunda kalau belum bisa didengar pada kesempatan ini. Kita sumpah dulu Ahli-Ahli ini. Silakan ke depan, masing-masing Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, maju. Lalu, dr. Muhammad Arief Setiawan, silakan Pak, maju! Drg. Bimo Rintoko, maju. Drg. Bambang Kusnandir, drg. Andreas Adyatmaka, dan Suroto, M.Ag., S.Pd. Silakan. Seluruhnya beragama Islam? Ada yang beragama lain? Islam Pak, ya? Bapak yang berdua juga, Islam juga? Bapak? Oh, Kristen. Kristen, silakan! Agak jauh ini, Pak. Agak pisah. Nanti Bapak disumpah dengan tata cara sendiri. Kita mulai dengan yang beragama Islam. Silakan, Pak Alim! 6.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Bapak-Ibu, silakan mengikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
7.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
9.
KETUA: HARJONO Bapak, Kristen Pak, ya? Protestan? Bukan Katolik? Oke. Tata cara bersumpahnya, Pak.
10.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ikuti lafal janji yang saya ucapkan. “Saya berjanji, sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
2
11.
AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN: Saya berjanji, sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
12.
KETUA: HARJONO Pada Pemohon, dari dua Ahli, siapa yang dipersilakan memberikan keterangan terlebih dahulu? Apakah diserahkan seluruh ataukah … seluruhnya ataukah Anda akan memberi guiding?
13.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SOLEH AMIN Baik. Sudah ada alat yang akan diperagakan, pertama, oleh Prof. Chamamah, baru yang kedua oleh Dr. Arief Setiawan. Dengan teknis beliau akan mempresentasikan pemikiran-pemikirannya terkait dengan permohonan yang kami ajukan. Terima kasih.
14.
KETUA: HARJONO Sudah dibantu oleh tenaga IT? Siap? Oke. Silakan naik! Atau kalau ndak perlu, di bawah saja. Silakan!
15.
AHLI DARI PEMOHON: SITI CHAMAMAH SOERATNO Yang Mulia Majelis Hakim, saya di sini berdiri untuk memberikan tinjauan kebahasaan dari pertanyaan yang diajukan kepada saya, yaitu tinjauan Pasal 73 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Permintaan ini datang dari LBH Mandiri. Tinjauan kebahasaan pasal dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 73 ayat (2) dengan kata khususnya berarti itu ada membuka kemungkinan untuk nanti dilihat pasal yang lain. Perlu kita cermati bersama bahwa kata-kata yang tertulis di situ terdapat atau diangkat dari undang-undang sendiri yang dokumennya sudah tersedia. Kata-kata di situ, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin praktik.” Pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah bagaimana Ahli memahami larangan yang dirumuskan dalam Pasal 73 ayat (2) tadi? Yang kedua, apakah berdasarkan bahasa yang dipergunakan oleh pasal tersebut, Ahli dapat mengetahui pekerjaan yang bagaimana atau siapa yang dituju oleh pasal tersebut? Yang ketiga, apakah rumusan tersebut bersifat multitafsir? Yang keempat, jika yang menjadi larangan itu ditujukan kepada dokter palsu atau dokter gigi palsu, bagaimana menurut pendapat Ahli? 3
Apakah tepat kalau teks dalam kalimat tersebut ditujukan untuk profesi dokter? Yang berikutnya, seharusnya menurut Ahli bagaimana merumuskan larangan tersebut? Atau dengan kata lain, kata apa dalam rumusan pasal tersebut yang membuat rancu? Tanggapan saya sampaikan dari keahlian saya, yaitu keahlian bahasa. Pengujian kebahasaan suatu pasal dalam suatu undang-undang perlu memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, bahasa dan bahasa hukum. Bahasa itu merupakan sarana komunikasi, sarana komunikasi yang mengkomunikasikan apa yang akan disampaikan kepada orang lain. Bahasa merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan komunikasi. Dan kalau komunikasi dengan bahasa, bahasa itu menjadi lambang apa yang akan disampaikan. Jadi lambang dari sesuatu, sesuatu itu materi yang dikomunikasikan yang berupa buah pikiran, perasaan, dan kehendak Si Pengirim, itu bahasa. Yang dijangkau oleh Si Penerima melalui teks yang berwujud bahasa. Kesadaran peran bahasa sebagai sarana komunikasi sekarang ini pada bangsa kita itu masih sangat kurang karena memandang bahwa bahasa ... orang tidak belajar bahasa sudah tahu, tapi akibatnya sering terjadi adanya kesulitan dalam memahami bahasa karena adanya anggapan ini. Bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia dipakai dalam berbagai macam-macam ragam. Nah, dalam kaitannya dengan bentuk kebahasaannya bahasa hukum tergolong pada wacana teknis. Dalam kaitannya dengan keresmian pemakaian dapat disebutkan adanya dua ragam, yaitu ragam resmi dan ragam tidak resmi. Ragam resmi menggunakan bentuk baku yang selanjutnya dipakai istilah ragam baku atau ragam standar. Ragam baku bercirikan penggunaan kaidah bahasa yang lengkap. Kaidah ini dapat dilihat pada buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ragam resmi dipakai untuk kepentingan resmi, formal. Di antaranya kepentingan membuat undang-undang. Jadi Bahasa Hukum termasuk undang-undang adalah wacana teknis dan ragamnya ragam resmi, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam baku. Hukum sebagai alat penegak ketentuan bagi setiap orang dapat dijangkau, dapat diketahui, dapat dipahami, dan dapat diterima oleh pihak-pihak penerima ketentuan hukum dengan jelas, tegas, lugas, tidak menimbulkan interpretasi ganda melalui wujud bahasanya. Jadi bagi pemakai hukum, bahasa merupakan media memahami hukum. Tanpa bahasa tidak ada hukum. Tidak ada hukum yang dibatin, tidak ada. Dengan demikian, hukum tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Hukum dan bahasa merupakan satu kesatuan, maka hukum merupakan sarana untuk menciptakan ketentuan hukum bagi setiap orang,
4
ketentuan yang menjamin kepastian, keteraturan, dan ketertiban ketentuan yang berupa peraturan dalam kehidupan di masyarakat. Untuk menjaga kepastian hukumnya, bahasa sebagai media penyampai hukum, harus berpotensi memberi kejelasan, memberi kepastian, dan tidak membuka penerimaan yang ganda. Maka ciri-ciri bahasa hukum adalah jelas. Arti jelas, dapat dipahami sesuai dengan pesan yang dimaksudkan. Yang kedua, padat. Semua kata yang dipakai berfungsi tidak ada kata yang mubazir. Artinya, kalau kata itu dibuang tidak mengubah makna, itu kata mubazir. Yang ketiga, netral. Tidak memihak, tidak terbuka untuk diterima sebagai memihak. Yang keempat, lugas. Artinya tidak menggunakan kata-kata yang berbunga-bunga dan tidak menggunakan kata yang maknanya tak terukur. Misalnya yang terdapat pada kata-kata yang disampaikan dengan rasa sangat luar biasa sekali, amat, itu. Apabila media ekspresi bahasa dapat berupa lisan dan tulisan, maka karakteristik kebahasaan bahasa hukum tersebut memerlukan media yang secara konkret terbaca. Artinya bahwa bahasa hukum menggunakan media tulisan. Sebagai bentuk ekspresi dalam media tulisan, bahasa hukum harus memenuhi ketentuan sebagai bahasa tertulis. Jadi sarana penyampai fungsi bahasa lengkap dipakai, diterima dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam bentuk penggunaan ragam baku sebagaimana penggunaan bahasa pada kepentingan-kepentingan yang lain, bahasa hukum sering mengalami kesalahan. Saya menjumpai beberapa banyak kesalahan dari undang-undang itu yang dilihat dari segi kaidah bahasa tidak benar dan ini menimbulkan interpretasi yang tidak cocok dengan maksud yang akan disampaikan melalui bahasa hukum itu. Saya ambil satu contoh. Kesalahan pemakaian bahasa demikian di antaranya disebabkan oleh ketidaktaatan dalam menerapkan kaidah dan oleh pengaruh bahasa lisan. Ini kenyataan pada pemakaian bahasa di mana saja kesalahan terjadi seperti itu. Gejala bahasa yang terjadi adalah rancu. Rancu itu campur, percampuran yang membuat kacau, makna tidak jelas, dan menimbulkan hasil pembacaan yang tidak sesuai dengan maksud pengirimnya. Di antara contohnya saya mengambil pada Pasal 79 Undang-Undang Praktik Kedokteran itu sendiri kalau kita lihat di halaman undang-undang itu, halaman nomor 23. Saya sudah saya kutipkan, yang terbaca pada kutipan berikut. Pasal 79, Pasal 79, mulai dengan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 … Rp50.000.000,00 setiap dokter atau dokter gigi yaitu dan seterusnya. Saya hanya mengutip sedikit bagian yang salah. Kutipan tersebut tidak baku karena tidak mempunyai subjek. Subjek itu 5
tentang apa? Siapa? Itu subjek, jadi tidak jelas. Unsur kalimat yang harus ada dalam kalimat, itu subjek. Kalau kalimat tidak ada subjek, bukan kalimat. Itu tuturan, bukan kalimat. Pasal tersebut memunculkan pertanyaan, siapakah yang dipidana? Bahasa undang-undang menggunakan ragam baku, ragam yang bagi suatu kalimat harus mempunyai subjek. Sekarang konteks dalam keseluruhan teks Undang-Undang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 73 ayat (2) tersebut berada dalam keseluruhan bab-bab, pasal-pasal, dan perundangundangan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Pertama, bunyi Undang-Undang Praktik Kedokteran yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi Pasal 73 ayat (2) adalah Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin praktik. Pasal 73 ayat (2) tersebut perlu dicermati dengan memperhatikan keberadaannya. Pertama, sebagai ayat dalam Pasal 73 yang merupakan ayat sesudah ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Sebagai satu pasal dalam bab IX yang berjudul ... judul pasalnya “Pembinaan dan Pengawasan.” Dalam judul bab tersebut, pasal yang mendahului Pasal 73 adalah Pasal 72 yang berbunyi, “Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.” Yang kedua, “Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi.” Yang ketiga, “Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dokter dan dokter gigi.” Pasal 72 didahului oleh Pasal 71 yang berbunyi, “Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi, membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsinya masing-masing.” Alur atau urutan penempatan pasal-pasal itu tidak tanpa makna. Jadi, pasti ada maknanya, urut-urutannya itu. Peletakan Pasal 71, diikuti Pasal 72, diikuti Pasal 73, secara berturut-turut itu menunjukkan alur berpikir yang berikutan. Dengan ... dari urutan pasal itu, dapat diketahui bahwa bab IX itu mengatur praktik kedokteran sesuai dengan isi Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 tersebut.
6
Dalam hal ini, yang perlu mendapat kejelasan adalah kata-kata praktik kedokteran itu apa? Penjelasannya terbaca pada bab I Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan uoaya kesehatan.” Jadi, itu kuncinya bahwa praktik kedokteran itu adalah itu termaktub di dalam bab I Pasal 1 ayat (1). Jadi, kalau mau diketahui apa yang disebut dengan praktik kedokteran yang mendasari semuanya itu. Jadi, pasal itu menunjukkan bahwa undang-undang ini mengatur dokter dan dokter gigi dalam melakukan serangkaian kegiatannya. Ini dibaca dari bahasa yang dipakai di situ. Menurut tataran bahasa, dapat diketahui bahwa undang-undang ini yang terbaca pada bab-bab, pasal-pasal, dan ayat-ayat, mengatur dokter dan dokter gigi di dalam mereka melakukan serangkaian kegiatannya. Hal ini terbaca secara eksplisit. Undang-undang yang secara eksplisit disebutkan untuk mengatur dokter dan dokter gigi, tiba-tiba pada pada Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal ikutannya yaitu Pasal 77, dan Pasal 78, mengatur bukan dokter, tetapi setiap orang. Objek aturan ini menjadi tidak sinkron dengan materi undang-undang yang kejelasannya sebagai ketentuan umum di ... umumnya yang pada bab I Pasal 1 tidak sesuai. Nah, yang ketiga sekarang persoalan interpretasi, interpretasi Pasal 73. Sekali lagi dibaca. Nomor 1, “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Yang kedua, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda rergistrasi dan/atau izin praktik.” Ayat-ayat tersebut mengandung kata-kata yang tidak jelas maknanya. Ketidakjelasan dapat menimbulkan interpretasi ganda, yaitu kata-kata kesan. Kesan, kata ini lahir dari penerimaan seseorang terhadap fenomena yang dihadapi. Penerimaan yang menggunakan berbagai pengetahuan dan perasaan yang ada pada diri seseorang, istilahnya dalam teori, yaitu teori storage. Kalau kita menghadapi apa saja, fenomena apa saja di depan kita, kita pasti menggunakan apa yang ada pada diri kita. Diri kita itu mempunyai gudang yang namanya storage. Di dalam storage itu menghuni sejumlah hal yang kita miliki. Nah, penerimaan ini cenderung bersifat subjektif, sehingga tidak akan menghasilkan informasi yang netral, yang terukur, yang tidak bertafsir ganda, kesan.
7
Yang kedua, kata seolah-olah. Seolah-olah adalah kata-kata yang tidak memberi kepastian, yang rentan munculnya perbedaan pemahaman antara seorang pembaca dengan pembaca yang lain. Seolah-olah, bisa kita rasakan semua. Kata seolah-olah itu tidak bisa menimbulkan sesuatu yang pasti. Yang ketiga, kata bentuk lain yang ditambah … yang menimbulkan kesan. Dipertegas lagi kekaburan maknanya dengan kata bagi masyarakat, artinya individu yang banyak. Seolah-olah kata ini membuat makna yang dilahirkannya tidak pasti, tergantung penafsirnya. Persoalan yang muncul adalah mengapa Pasal 73 ini yang diikuti oleh Pasal 77 dan Pasal 78, objek yang diatur bergeser bukan lagi dokter dan dokter gigi yang melakukan kegiatan dengan kegiatannya itu, tetapi setiap orang? Tidak sesuai dengan materi yang tentu saja yang materinya yang (suara tidak terdengar jelas). Kesan pembuat undang-undang ini yang objeknya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan serangkaian kerjanya sebagai pemangku profesi dokter dan dokter gigi yang jiwa undang-undang ini akan membina, mengaturnya, dan melindungi masyarakatnya dari tindakan kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi. Yang kedua, mengapa undang-undang yang mengatur ketentuan hukum tidak disusun dalam rumusan redaksi dan tataran kebahasaan yang tepat, yang jelas, tidak multitafsir, tidak membuka kerentanan munculnya dampak dari pelaksanaan undang-undang tersebut? Apabila dinyatakan bahwa undang-undang ini ada penjelasannya, dalam penjelasannya pun telah menyebutkan bahwa Pasal 73 itu dinyatakan cukup jelas. Di manakah letak kejelasannya? Ayat kedua cukup jelas, Pasal ikutannya pun Pasal 77 cukup jelas, dan Pasal 78 cukup jelas. Apakah tidak terbongkar, tidak diketahui, tidak terungkap hal-hal yang menimbulkan ketidakjelasan itu? Bahkan Pasal 79, Pasal yang tidak bersubjek tadi salah sebagai bahasa ragam resmi, ragam baku, tidak jelas yang mendapat pidana, itupun dinyatakan cukup jelas. Kesimpulan. Dari segi tataran bahasa, Undang-Undang Praktik Kedokteran ini kurang mempertimbangkan … kalau saya mengatakan tidak mempertimbangkan, ya memang sudah ada yang dipertimbangkan sudah ada. tapi masih kurang, dan kekurangan itu merupakan satu situasi yang fatal. Mempertimbangkan tatanan kebahasaan, kaidah bahasa, ragam resmi, ragam baku yang semuanya itu harus jelas. Dua, sebagai akibat dari satu tersebut, dari yang pertama tadi … tataran bahasa tadi, undang-undang ini khusunya Pasal 73 ayat (2) melahirkan ketidakjelasan makna, penerimaan yang ganda yang kesemuanya itu akan berdampak pada ikutan-ikutan dari undangundang tersebut dalam rumusan penjelasan dan pelaksanaan realisasinya. Apakah peraturan-peraturan yang mengikutinya secara tidak tepat.
8
Saran. Membuat undang-undang perlu memperhatikan hal-hal berikut. Kesadaran bahwa ekspresi hukum terbaca pada medianya yang berupa bahasa. Itu jelas, ini saya kira menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa ekspresi hukum, bagaimana ekspresi hukum itu terbaca pada medianya yang berupa bahasa. Apabila dalam pemakaian bahasa dapat muncul beberapa ragam bahasa hukum sesuai dengan fungsinya menggunakan ragam resmi, ragam yang menggunakan kaidah bahasa secara konsisten dan lengkap. Itu kekurangan yang sangat besar, yang disarankan kelak kalau menyusun atau memperbaiki atau apa pun silakan mempertimbangkan ini. Kemudian sebagai sarana komunikasi, substansi materi, bahasa untuk undang-undang perlu memperhatikan karakteristik substansi. Dalam hal ini materi hukum dengan karakteristiknya jelas, tegas, netral, tidak multiinterpretasi, tidak tak terukur, komunikasi pikiran, bukan komunikasi perasaan. Selanjutnya bahwa bahasa untuk undang-undang yang berlaku bagi masyarakat Indonesia mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Yang terakhir, alur logika menjadi kunci mengatur dan selanjutnya menerima dan memahaminya. Sekian materi yang disampaikan untuk tinjauan kebahasaan. Cukup sekian. Assalamualaikum wr. wb. 16.
KETUA: HARJONO Baik. Terima kasih. Berikutnya, Ahli berikutnya silakan.
17.
AHLI DARI PEMOHON: MUHAMMAD ARIEF SETIAWAN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Kepada saya ditanyakan beberapa persoalan yang sesuai dengan bidang keahlian saya adalah ilmu hukum dan sistem peradilan pidana. Kepada saya oleh LBH Mandiri ditanyakan beberapa hal yang nanti akan saya sampaikan secara singkat mengenai persoalan bagaimana pengancaman sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 73 dan juncto Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran? Yang kedua adalah bagaimana karakteristik sebenarnya norma hukum pidana itu? Dan yang ketiga adalah bagaimana ancaman sanksi pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran dilihat dari aspek politik hukum pidana sebagai bagian dari … dan di dalamnya ada bagian dari politik criminal? Nah, saya akan sampaikan dengan satu materi mengenai kebijakan formulatif hukum pidana administrasi di dalam UndangUndang Praktik Kedokteran.
9
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana secara ringkas saya sampaikan ada dua hal. Yang pertama, berkaitan dengan persoalan perubahan sosial yang sangat cepat, yang menuntut adanya penyesuaian di bidang hukum pidana. Dimana hukum pidana yang terkodifikasi, yang peninggalan sejak zaman Belanda tidak mampu lagi untuk mengikuti perkembangan itu, sehingga memunculkan tuntutan adanya perubahan. Dan juga memicu perkembangan hukum pidana yang bersifat temporer. Munculnya hukum-hukum pidana yang sebenarnya berada di dalam pengaturan norma bukan hukum pidana. Perkembangan perundang-undangan di luar hukum pidana seperti perdata, tata negara, dan administrasi negara seringkali mencantumkan ancaman norma sanksi pidana untuk memperkuat berlakunya perundang-undangan tersebut. Dari ini maka ada masalah kajian yang perlu dilakukan karena ini terdapat kecenderungan yang terus meningkat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, saya akan menyampaikan yang berkaitan dengan persoalan politik kriminal yang diartikan sebagai satu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Berkaitan dengan persoalan ini, masalah sentral kebijakan hukum pidana itu sebenarnya ada dua hal. Yang pertama, menyangkut kebijakan yang dinamakan sebagai kebijakan kriminalisasi, yaitu kebijakan untuk merumuskan perbuatan apa saja yang seharusnya akan dijadikan sebagai perbuatan pidana. Dan di sisi yang lain sebenarnya adalah kalau ada perbuatan yang sudah dirumuskan sebagai perbuatan pidana adalah yang sebaliknya, yaitu proses dekriminalisasi. Kalau ada yang … perbuatan yang tidak perlu diatur di dalam hukum pidana, maka yang harus dilakukan adalah proses dekriminalisasi, dihilangkan dari tatanan norma hukum pidana. Yang kedua adalah kebijakan finalisasinya, yang menyangkut tentang ancaman sanksi pidana apa yang sebaiknya dikenakan kepada pelaku pelanggaran? Oleh karena itu kalau nanti ada proses yang sebaliknya yaitu kriminalisasi, maka yang berikutnya adalah prosesnya adalah definalisasi bagaimana ancaman yang ada di dalam hukum pidana itu ditiadakan, yang disebut sebagai proses definalisasi. Nah, proses kebijakan tersebut ada di tiga tingkatan, baik di tingkat legislatif, di tingkat yudikatif, maupun di dalam tingkatan eksekutifnya. Di tingkat formulatif itu menyangkut tentang kebijakan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang akan dijadikan sebagai tindak pidana, ya. Yang di tingkat yudikatif adalah kebijakan hukum pidana di tingkat yudikatif adalah aplikasinya. Dan yang di tingkat eksekutif adalah di tingkat pelaksanaan terhadap putusan pidana itu. Nah, kebijakan penanggulangan kejahatan sebenarnya tidak hanya dilakukan dengan pendekatan-pendekatan pidana. Karena dari 10
sisi ilmu hukum pidana ada dua pendekatan, yaitu menggunakan sarana penal yaitu menggunakan hukum pidana untuk menangani kejahatan dan dimasukkan di dalam sistem peradilan pidana atau criminal justice system. Dan yang kedua adalah sarana-sarana nonpenal yang bisa juga dikembangkan sebagai satu bentuk kebijakan untuk menangani masalah (prevention without punishment). Jadi, tidak harus menggunakan sarana-sarana penal. Kebijakan formulatif merupakan bagian dari politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana yang diawali dengan proses kriminalisasi, yaitu penetapan satu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dan di sisi yang sebaliknya adalah tadi seperti yang saya jelaskan adalah dekriminalisasi, kalau dianggap tidak baik ya dikeluarkan dari proses itu. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut. Berkaitan dengan persoalan itu, maka dari sisi ilmu hukum pidana, prinsip-prinsip kriminalisasi yang saya himpun dari berbagai pendapat terutama dari Alm. Prof. Sudarto, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana yang sangat berwibawa dari Universitas Diponegoro, itu ada tujuh prinsip yang perlu mendapatkan perhatian. Yang pertama bahwa dilakukannya kriminalisasi harus mendukung tercapainya tujuan nasional. Yang kedua bahwa perbuatan yang dikriminalisasi tersebut memang mengakibatkan kerugian atau mendatangkan korban. Yang ketiga, memperhatikan prinsip biaya dan hasil. Harus dapat ditegakkan (enforceable). Kemudian yang kelima, memperhatikan prinsip hukum pidana sebagai sarana terakhir atau ultimum remedium. Dan di sini terkandung asas subsidiaritas dimana sebenarnya hukum pidana itu hanya disarankan, dipergunakan apabila norma-norma sosial kemasyarakatan dan/atau norma-norma hukum yang lain di luar hukum pidana, tidak cukup efektif untuk mengatasi persoalan. Sehingga kalau tidak bisa, baru hukum pidana itu dipakai untuk menangani hukum pidana tersebut. Yang keenam, menghindari perumusan yang bersifat samar atau umum. Dan yang ketujuh, perbuatan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana. Berkaitan dengan persoalan prinsip-prinsip kriminalisasi tersebut yang ada tujuh poin tadi, saya akan sampaikan yang berkaitan dengan persoalan doktrin subsidiaritas. Bahwa kemampuan hukum pidana itu terbatas karena sebenarnya hukum pidana sendiri hanya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kejahatan secara simtomatisnya, tapi tidak bisa menyelesaikan sampai kepada akar penyebabnya. Yang kedua, norma ancaman sanksi hukum pidana paling berat dibandingkan norma ancaman sanksi hukum yang lain. Oleh karena 11
itulah di situ, ajaran yang diterapkan mestinya adalah ajaran subsidiaritas. Hendaknya hukum pidana hanya dipakai manakala norma hukum yang lain memang tidak mampu dipakai untuk mengatasi persoalan. Penggunaan norma hukum pidana bisa menimbulkan stigmanisasi sosial. Nah oleh karena itulah, maka ajaran subsidiaritas itu harus menjadi perhatian para pembuat kebijakan dalam hukum pidana, terutama sekali adalah di tingkat proses legislasinya. Perkembangan hukum pidana administratif. Sebagaimana tadi kami kemukakan di awal, perkembangan masyarakat, perkembangan sosial, itu akan memicu lahirnya beberapa kebutuhan hukum dalam masyarakat. Nah, salah satu yang terpengaruh dari persoalan itu adalah berkembangnya hukum pidana yang dikatan sebagai hukum pidana adminstratif. Perluasan fungsi hukum pidana yang dipergunakan tidak saja sebagai sarana memaksa berlakunya norma hukum pidana yang murni pidana karena hukum pidana digunakan juga sebagai sarana pemaksa agar masyarakat taat kepada norma di luar hukum pidana itu. Inilah yang dikenal dengan istilah administrative penal law atau ordening strafrecht atau hukum pidana administratif menurut Prof. Barda Nawawi Arief. Nah, masalah hukum pidana administratif ini bisa muncul karena pertama adalah latah. Setiap pembuatan peraturan perundangundangan itu hobi sekali mencantumkan norma ancaman sanksi pidana meskipun sebenarnya tidak perlu. Kita bisa bayangkan kalau nanti dengan prinsip apakah cost and benefit principal, apakah penerapan … penerapan norma hukum pidana di dalam norma-norma hukum yang sebenarnya bukan hukum pidana itu bisa ditegakkan atau tidak? Kalau bisa ditegakkan, berapa biaya yang harus diperlukan? Karena sebenarnya tingkatan hukum pidana administratif itu tidak hanya di tingkat undang-undang, tapi sampai semua tingkatan peraturan perundang-undangan sampai di tingkatan Perda. Berapa Perda yang dihasilkan oleh di tingkat kabupaten, di tingkat kota, di tingkat provinsi seluruh Indonesia? Dan hobi mencantumkan norma sanksi pidana di dalam pengaturan administratif itu menjadi gejala yang sulit untuk dibendung. Nah, oleh karena itulah ini ada persoalan kelatahan. Terdapat kecenderungan meningkatnya berbagai perumusan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya masuk dalam lingkup hukum administrasi mencantumkan ketentuan pidana. Dan dalam hal ini, sering dijumpai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kriminalisasi yang sebagaimana tadi saya kemukakan. Dan yang berikutnya adalah tidak memberhentikan prinsip subsidiaritas. Seharusnya kalau masih dimungkinkan memakai norma hukum yang lain, hukum pidana itu hendaknya jangan dipergunakan. 12
Ini adalah salah satu persoalan penting di dalam kebijakan hukum pidana yang menjadi persoalan di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Nah, dikaitkan dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ya, dilihat secara dari substansinya, sebenarnya undang-undang ini bisa dimasukkan di dalam kategori pengaturan bidang hukum adminsitratif yang mengatur mengenai penyelenggaraan, praktik pelayanan kesehatan atau kedokteran yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan, terutama dokter dan dokter gigi. Jadi, ini jelas tidak termasuk pengaturan norma hukum pidana yang murni. Meskipun kemudian di bagian akhir dari pengaturan itu muncul norma ancaman sanksi hukuman pidana. Nah, salah satu masalah yang muncul dari undang-undang tersebut adalah adanya muatan ancaman sanksi pidana sebagaimana dilihat dalam Pasal 78. Berkaitan dengan itu untuk melihat, apakah pencantuman norma ancaman sanksi pidana di situ adalah penting atau tidak, benar atau tidak, saya kira harus dilihat dari prinsip-prinsip kriminalisasi yang sebagaimana telah kami kemukakan, dan yang terkahir saya kira juga harus melihat berbagai hal yang berkaitan dengan asasa-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2001 yang di sana memberikan pedomanpedoman bagaimana asas pembentukan peraturan perundangundangan yang menekankan adanya prinsip-prinsip kejelasan tujuan kelembagaan, atau pejabat pembentuknya yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Nah, itu saya kira adalah prinsip-prinisip yang harus menjadi pertimbangan, apakah Pasal 78 itu memang perlu untuk diajukan sebagai satu norma hukum pidana. Karena kalau saya melihat dengan asas subsidiaritas pengaturannya di situ sebenarnya adalah pengaturan tentang pembinaan dan pengawasan kedokteran. Oleh karena itulah Pasal 78 menjadi satu persoalan ketika perumusanya bisa menjadi multitafsir karena kalau kita lihat dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, menjadi adanya ketidakjelasaan di dalam rumusannya, sebagaimana tadi semua telah kita dengar dari pengungkapan ahli bahasa bahwa di dalam hukum pidana, norma-norma hukum pidana ada tiga hal yang menjadi perhatian. Yang pertama adalah sifat hukum pidana sebagai lex certa, yang menuntut adanya keharusan tertulis. Kemudian lex stricta bahwa penafsiran mengenai hal itu, tidak bsia dilakukan dengan proses analogi, dan lex certa menghindari multitafsir di dalam pembacaan dan perumusannya. Oleh karena itulah maka prinsip-prinsip di dalam perumusan norma hukum pidana harus memperhatikan dari sisi politik hukum 13
pidana dan prinsip-prinsip kriminalisasi sebagaimana telah kami kemukakan. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan sebagaimana yang telah diberikan oleh Mahkamah. Lebih kurangnya mohon maaf, terima kasih. Wasalamualaikum wr. wb. 18.
KETUA: HARJONO Baik, dua Ahli dari Pemohon sudah menerangkan keterangan ahlinya. Sekarang pada Pemerintah, mana dulu yang ingin dipersilakan untuk memberikan keterangan? Silakan.
19.
AHLI DARI PEMERINTAH: BAMBANG KUSNANDIR Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera buat kita semua. Om swastiastu. Yang Terhormat Hakim Mahkamah Konstitusi dan Anggota. Saya sebagai dokter gigi spesialis prostodonsia akan menyampaikan sesuai dengan keahlian saya kepada Yang Terhormat. Sebenarnya pada seorang dokter gigi itu diminta untuk menjadi dokter dengan adanya standar kompetensi. Yang mana standar kompetensi atau standar kewenangan itu ada pada setiap dokter gigi yang berpraktik. Demikian pula pada dokter gigi yang melakukan praktik sebagai seorang dokter gigi spesialis. Mohon izin, saya selaku seorang spesialis prostodonsia atau yang bisa disebutkan pemalsu yang dilegalisir karena membikin gigi palsu. Di sini seorang dokter gigi spesialis prostodonsia atau gigi palsu, harus juga mempunyai kompetensi sebagai dokter gigi spesialis prostodonsia. Hal itu pun tidak terkecualikan, baik yang sudah profesor ataupun yang masih baru lulus. Hal ini dapat kami sebutkan sedikit mengenai yang pertama terhadap dokter gigi awal. Jadi bukan disebut dokter gigi umum, tetapi dokter gigi sebelum mendapatkan spesialis. Mereka itu harus memiliki beberapa kompetensi yang ada di bidang pendidikan, artinya di institusi pendidikan. Yaitu kompetensi penunjang dan kompetensi utama. Di samping kompetensi penunjang dan utama, sebetulnya dalam profesionalismenya pun harus juga dia memiliki beberapa yang akan kami sampaikan di sini, Yang Mulia. Yaitu penguasaan ilmu pengetahuan kedokteran dan kedokteran gigi, yang mana sebagai ilmu kedokteran gigi dasar itu seorang dokter harus bisa mengintegrasikan pengetahuan biomedik yang relevan sebagai sumber keilmuan dan berbagai data penunjang untuk mendiagnosa suatu penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan. Kemudian juga, Yang Mulia. Dia juga harus memahami ilmu kedokteran. Di sini ilmu kedokteran gigi klinik yang relevan sebagai pertimbangan dalam melakukan perawatan gigi dan mulut pada pasien medik yang kompromis yang bisa disesuaikan. Kemudian ilmu kedokteran gigi dasar tersebut juga harus memahami prinsip ilmu 14
kedokteran gigi dasar yang menyangkut biologi oral, biologi material, dan teknologi kedokteran gigi untuk menunjang keterampilanketerampilan preclinic, klinik, serta penelitian-penelitian apabila dibutuhkan. Kami sampaikan, Yang Mulia, untuk memahami prinsip ilmu kedokteran gigi klinik sebagai dasar untuk melakukan pelayanan klinis kesehatan gigi dan mulut, jelas hal itu harus dimiliki oleh seorang dokter, tetapi harus yang efektif dan efisien. Kemudian dalam praktiknya nanti, dalam pemeriksaan terhadap pasien pun, seorang dokter gigi tidak boleh juga lepas pada pemeriksaan fisik secara umum dan sistem stomatognathic atau dalam ilmu ... dalam mulut dengan mencatat informasi klinis laboratoris, radiologis, psikologis, dan sosial guna mengevaluasi kondisi medik pasien tersebut. Yang Mulia, kita harus juga mengetahui atau mengenal, mengelola perilaku daripada seorang pasien secara profesional. Kemudian seorang dokter gigi juga harus seperti tadi dikatakan di dalam UUPK harus menggunakan rekam medik yang bisa menjadi suatu alat bukti sebagai acuan dasar melaksanakan perawatan gigi dan mulut. Kemudian juga harus bisa mendiagnosa terhadap suatu penyakit, menetapkan prognosa penyakit, kelainan gigi, dan mulut melalui intepretasi analisis dan sintesis hasil pemeriksaan yang bersangkutan. Kemudian yang terakhir, sebetulnya, Yang Mulia. Seorang dokter gigi juga harus dapat mengembangkan rencana perawatan terhadap pasien tersebut. Jadi bisa mengembangkan, mempresentasikan, dan mendiskusikan rencana perawatan yang didasarkan pada kondisi kepentingan dan kemampuan daripada pasien. Kemudian, apabila hal itu dokter gigi tersebut tidak bisa melakukan, sudah barang tentu harus bisa menentukan rujukan sesuai daripada yang diperlukan. Untuk itu, Yang Mulia. Saya kira dari spesialisasi prostodonsia yang kami ketahui di bidang ini, kami bisa menyampaikan sebatas ini. Apabila ada kekurangan dan kesalahannya kami mohon maaf. Wabillahi Taufik Walhidayah Wassalamualaikum wr. wb. 20.
KETUA: HARJONO Waalaikumsalam wr. wb. Saya lanjutkan dengan Ahli yang berikutnya, silakan.
21.
AHLI DARI PEMERINTAH: BIMO RINTOKO Baik. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Kepada Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, saya akan memberikan … dan keterangan sebagai saksi fakta dari kasus yang pernah saya temukan. Di sini kasus saya, saya berikan judul kehilangan gigi sebagian pada rahang atas dan (…) 15
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: A. H. WAKIL KAMAL Yang … Yang Mulia. Tadi, disumpah sebagai Ahli, Yang Mulia. Mohon diklarifikasi, Yang Mulia. Karena tadi disumpah sebagai Ahli. Hal ini, saat ini menyalahkan fakta, mana? Apakah saksi atau Ahli, Yang Mulia.
23.
KETUA: HARJONO Ya. Karena keahliannya melakukan sesuatu ya silakan saja apa yang berhubungan dengan keahlian Anda, silakan.
24.
AHLI DARI PEMOHON: BIMO RINTOKO Baik.
25.
KETUA: HARJONO Kita dengar saja.
26.
AHLI DARI PEMOHON: BIMO RINTOKO Kehilangan gigi sebagian pada rahang atas dan kehilangan seluruh gigi pada rahang bawah. Identitas wanita, umur 74 tahun, pekerjaan wiraswasta, berdomisili di Surabaya. Riwayat medis; penderita datang ke klinik gigi dengan keluhan gigi tiruan lengkap rahang bawah tidak enak dan suka goyang ke kanan dan ke kiri, sehingga tidak nyaman untuk mengunyah makanan. Penderita menceritakan membuat gigi rahang atas dan rahang bawah pada tukang gigi, tetapi menyebutkan kapan. Kira-kira 1 tahun sebelumnya. Penderita ingin dibuatkan gigi tiruan yang baru pada dokter gigi. Selanjutnya, gambaran intraoral; Pada rahang atas, secara klinis ditemukan gigi penyangga keropos karena digunakan sebagai retensi (klamer) GTSL. Pada rahang bawah, bagian posterior kanan dan kiri secara klinis terjadi resorpsi tulang alveolar karena bentuk prosthesis pada rahang bawah tidak sesuai dengan bentuk anatomis. Sehingga tulang alveolar posisi tulang rahang bawah mengalami flat atau resorpsi. Selanjutnya adalah gambar tiruan gigi, gigi tiruan rahang atas pada rahang atas. Selanjutnya gigi tiruan pada rahang bawah. Pada kasus yang saya temukan pada rahang bawah ini prosthesis pada … bentuknya tidak sesuai dengan kaidah ilmu prostodonsia. Pada daerah lingkaran yang saya lingkari dengan lingkaran hitam, sayap gigi tiruan rahang bawah pada bagian lingual posterior tidak terletak pada retromylohyoid fossa dan yang sebelah kanan, sayap gigi tiruan tidak terletak pada mukobukal fold dan terlalu pendek. Sehingga gigi tiruan pada rahang bawah ini goyang ke kanan dan ke kiri dan pasien merasa tidak nyaman. 16
Selanjutnya, berikut adalah gambaran intraoral pemakai … waktu memakai gigi tiruan lama. Dapat dilihat pada sebelah kiri, gigi tiruan penuh tidak berkontak adu kuat. Sehingga untuk mengunyah dan sistem stomatognatik untuk mengunyah makanan tidak baik. Selanjutnya adalah kajian radiography. Pada kajian radiography ini dapat dilihat terdapat resorpsi pada bagian posterior rahang bawah akibat pembuatan GTP rahang bawah yang tidak baik. Dan pada bagian anterior terdapat tulang yang menonjol atau prominen. Berikut adalah model diagnostik penderita setelah cetak awal. Selanjutnya model diagnostik tampak depan, kanan, dan kiri. Selanjutnya adalah kesimpulan. Pembuatan suatu prosthesis atau gigi tiruan, baik gigi tiruan penuh maupun gigi tiruan sebagian lepasan harus memahami: 1. Struktur anatomi rongga mulut. 2. Bentuk prosthesis yang sesuai dengan rongga mulut. 3. Metode pencentakan yang sesuai dengan kasus. 4. Pemilihan bahan cetak yang sesuai dan terstruktur. 5. Memahami sifat bahan-bahan yang akan digunakan ke pasien. Perawatan kedokteran gigi harus dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten, yaitu dokter gigi yang telah melalui tahapan pendidikan formal yang terstruktur dan harus lulus uji kompetensi dokter gigi untuk teregister di Konsil Kedokteran Indonesia dan untuk berpraktik harus mempunyai STR dan SIP. Sedangkan pada tukang gigi tidak melalui tahapan pendidikan formal yang terstruktur, sedangkan pekerjaan yang dilakukan oleh tukang gigi dilakukan ke struktur rongga mulut pada manusia. Sekian keterangan yang dapat saya berikan, lebihnya kalau ada kesalahan, saya mohon maaf. Wabillahi Taufik Walhidayah Wassalamualaikum wr. wb. 27.
KETUA: HARJONO Ketiga, silakan Pak.
28.
AHLI DARI PEMERINTAH: ANDREAS ADYATMAKA Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, saya adalah seorang praktisi, jadi dokter gigi praktik, bukan spesialis, Pak. Kepada saya dimintakan yaitu untuk mempresentasikan tentang pekerjaan menyimpang yang dilakukan oleh tukang gigi terhadap pasien. Ini sayang tidak tertulis tetapi di dalam tayangannya itu menyebutkan memasang ortho, memasang fixed crown dan sebagainya, yang menurut saya itu juga sudah menyimpang dari ketentuan yang seharusnya.
17
Ya, berikutnya! ini seperti ini, pasang gigi palsu ortho fixed, bracket (behel), crown dan sebagainya ini, menurut saya juga sudah menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Ya, berikutnya! Maksud saya yaitu untuk menegaskan bahwa Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29, ini merupakan ketentuan yang melarang kegiatan di bidang kesehatan yang tidak dilakukan secara benar. Kemudian juga kegiatan di bidang kesehatan yang tidak dilakukan secara benar, merupakan pelanggaran terhadap hak hidup sejahtera dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Ini kasus yang saya hadapi, pasien datang dalam keadaan sakit luar biasa. Dia mengatakan sakit semua tapi tidak tahu di mana sakitnya. Kemudian saya mencoba untuk melihat, ternyata ada gigi … anu … gigi tiruan cekat, ya, yang dipasang dengan bahan self-curing acrylic dan bocor. Dan seperti harusnya bahwa gigi tiruan cekat itu adalah bidang kesehatan yang hanya boleh dipasang oleh dokter gigi terkait dengan anatomi dan fisiologi. Jadi bukan hanya sekedar anatomi atau mekanis … mekanis pasang gigi, tetapi harus memperhatikan fisiologi daripada mulut tersebut. Ya, berikutnya! Ternyata setelah dilihat ada kebocoran. Ya, berikutnya lagi! Kemudian ketika kita lakukan foto rontgen, ini kelihatannya luar biasa sekali ya. Gigi-gigi itu disambung dengan kawat, kemudian di atas kawat itu ditaruh acrylic, di atas acrylic diberikan gigi. Di sini satu orang itu dipasang ada tiga jembatan, gitu ya (suara tidak terdengar jelas). Ya, berikutnya! Setalah diamati, ternyata terjadi kebocoran yang menyebabkan pulpitis, jadi itu pulpitis itu suatu radang ya, sangat sakit. Ya, berikutnya! Dan di tempat lain juga terjadi suatu resorpsi sehingga terjadi pocket. Ya, berikutnya lagi! Yang luar biasa, sayang tidak begitu kelihatan, terjadi resorpsi akar yang harusnya dua itu tinggal satu. Ya, berikutnya! Diagnosisnya yaitu campur aduk ini ya, jadi ya pulpitis totalis acuta yang sakit sekali tadi, gangren, granuloma, gingivitis ya. Dan saya biasanya tidak langsung saya tangani ya, saya tawarkan dulu kenapa Anda kembali kepada yang memasang dulu? Kemudian kalau perlu minta pertanggung jawab atau apa? Tapi pasien itu merasa, “ah, tidak perlulah. Setujui saja sekarang dibongkar.” Begitu. Ya, berikutnya! Setelah saya bongkar ini demikian ya, gigi tiruannya itu ada potongan yang dikeluarkan dari bahan selfcuring acrylic, ada kawatnya, ada gigi, banyak karang giginya, kotoran giginya dan bau busuk. Ya, berikutnya! Ini contoh yang lain lagi. Ya, berikutnya! Ini sesudah dibongkar, tampaklah bahwa gigi itu sudah berlubang karena bocor tadi. Kemudian juga ada karies dan juga ada gingivitis. Ya, berikutnya! Ini dari sisi lain. Ya, berikutnya!
18
Nah, dari keterangan pasien itu, dia mengatakan, “Wah, sebetulnya waktu dipasang itu langsung bagus, langsung enak. Bahkan saya kemudian minta istri saya juga dipasang, begitu. Tapi setelah dua tahun, wah mulai itu terasa gangguan sakit luar biasa,” termasuk istrinya juga gitu, jadi datang, datang itu saya bongkar baik suami maupun istri. Kesimpulannya pembuatan gigi tiruan cekat ya, yang tidak sesuai kaidah ilmu kedokteran gigi itu seperti bom waktu yang akan sakit pada suatu saat. Untung pasien itu sakit langsung bisa dating. Kalau seandainya dia sedang di pesawat terbang kemudian sakit begitu? Kalau dia sedang di laur negeri? Kalau dia sedang mengikuti sidang seperti ini kemdian sakit seperti itu? Ya, bagaimana gitu ya? Dan itu jelas merugikan pasien. Ya, berikutnya lagi! Berikutnya! Ya … pemasangan yang awal, sebelumnya ini! Pemasangan awal yang dinilai bagus dan enak, itu akan menjadi derita dikemudian dan perlu perlindungan untuk pasien agar tidak dilakukan oleh sembarang orang. Ya, berikutnya lagi! Kegiatan bidang kesehatan yang tidak dilakukan secara benar, merupakan pelanggaran terhadap hak hidup sejahtera dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Maksudnya mendapatkan pelayanan kesehatan tapi ternyata yang mendapat adalah kesengsaraan. Saya rasa demikan, terima kasih dan mohon maaf kalau sekiranya ada hal-hal yang kurang berkenan dalam presentasi saya. 29.
KETUA: HARJONO saya.
30.
Baik. Terakhir ini, Saksi terakhir dari pemerintah, Ahli maksud
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita sekalian. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, saya teknisi gigi, Suroto, Mtg, selaku Ketua Persatuan Teknik Gigi Indonesia juga Sekertaris Jurusan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II. Pada kesempatan ini kami akan menyampaikan keterangan terdiri dari 2 bagian. Yang pertama adalah terkait dengan teknik pergigian dan yang kedua adalah terkait dengan argumentasi hukum tentang keberadaan teknik gigi. Apabila diperkenankan kami akan membacakan uraian tersebut dan untuk memudahkan kita dalam memberikan pemahaman akan pula kami tampilkan slide atau gambar yang menunjang keterangan kami. Untuk sampai pada penjelasan yang komprehensif, sebelumnya kepada 19
Majelis Hakim yang terhormat akan kami sampaikan suatu pertanyaan akademis sebagai berikut. Mengapa negara menyelenggarakan pendidikan teknik gigi padahal pekerjaan yang dilakukan oleh tukang gigi sudah menjamur? Pertanyaan ini akan dilanjutkan lagi, mengapa pendidikan teknik gigi tidak disatukan saja dengan pendidikan kedokteran gigi? Dan mengapa lulusan teknik gigi diwujudkan dalam profesi tersendiri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas kami akan uraikan di bawah ini. Pertama, kewajiban negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H dan Pasal 37 yang pada intinya bahwa pelayanan kesehatan harus diwujudkan dalam bentuk pemberian kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, pemberian sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan. Maksud dan tujuan ini agar pelayanan kesehatan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Kedua, turunan dari pendidikan kesehatan meliputi pendidikan kedokteran, termasuk di dalamnya pendidikan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sebagaimana kita ketahui bersama saat ini terdapat 2 fakultas kedokteran, yaitu kedokteran umum dan kedokteran gigi. Dalam wilayah kedokteran gigi saat ini dikenal dengan adanya politeknik kesehatan suatu program diplomatika yang bermaksud melahirkan tenaga kesehatan yang terampil dan memiliki kompetensi di bidang teknik gigi yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang teknik gigi yang maju pesat seiring dengan penemuan teknologi di berbagai negara maju. Kini kita telah menyaksikan teknologi kesehatan gigi yang meningkat luar biasa sebagai hasil rekayasa engineering yang dikembangkan oleh pabrikan luar negeri dan mampu memberikan kenyamanan bagi konsumen yang membutuhkan. Kemajuan teknologi tinggi tersebut diantisipasi dengan penyediaan tenaga terampil dan memiliki pengetahuan dasar yang kuat sehingga mampu mengoperasionalkan alat-alat yang dimaksud. Guna memberikan gambaran kami mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal yang terkait dengan keteknisan gigi sebagai berikut. Gambar 1 adalah laboratorium yang merupakan tempat pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan acrylic, gigi tiruan sebagian lepasan dental anatomi, crown and bricket, mahkota, cekat keramik, dan mahkota cekat acrylic. Kemudian gambar 2, laboratorium gigi dimaksud adalah sarana pelayanan kesehatan gigi yang tidak dapat menunjang berlangsungnya pelayanan pembuatan protesa gigi. Pada gambar tersebut terlihat mahasiswa melakukan pembuatan protesa lengkap-lengkap lepasan. 20
Kemudian kepada gambar 3, pesawat ortodonti lepasan dan protesa maksilofasial yang dimaksud adalah suatu protesa yang akan dilakukan pada keadaan dimana pasien pascaoperasi terutama operasi kanker dan lain sebagainya. Protesa gigi adalah alat bantu yang dipasang dalam mulut pasien untuk mengembalikan fungsi estetis, pengunyahan, dan alat bicara. Sedangkan protesa pesawat ortodonti lepasan adalah suatu alat yang digunakan untuk memperbaiki geligi yang maloklusi atau posisinya tidak normal, sehingga susunan antara gigi geligi pada rahang atas dan rahang bawah menjadi lebih baik. Dan protesa maksilofasial adalah alat yang berkaitan rehabilitas rahang atas dan rahang bawah pada pascaoperasi kanker atau operasi lainnya. Pada gambar 5 adalah alat-alat kecil dari pembuatan gigi tiruan yang dapat diperoleh dari dental supply dan toko alat kedokteran gigi. Gambar 6 adalah macam-macam bor yang digunakan untuk pembuatan suatu protesa gigi. Sedangkan gambar 7 adalah mesin Milling yang dipergunakan untuk teknologi yang lebih tinggi dalam pembuatan protesa gigi. Gambar 8 adalah Oven Preheating Furnish dimana logam akan dicairkan dalam temperatur yang tertentu. Dan gambar 9 adalah untuk pembuatan gigi keramik, dalam hal ini tentunya dengan salah satu di antaranya adalah mesin keramik mesin. Gambar 10 adalah mesin Casting Induction, dimana pengecoran itu dilakukan dengan menggunakan induksi yang mana merupakan suatu teknologi di bidang teknologi teknik gigi. Dari gambar tersebut, dapat dikatakan bahwa profesi teknik gigi lulusan D3 Teknik Gigi adalah sebagai berikut. a. Profesi teknik gigi bila akan melakukan praktik secara mandiri, paling tidak memerlukan peralatan sebagaimana disebutkan. b. Alat yang … dan peralatan teknik gigi sama sekali tidak menggunakan peralatan lazimnya seorang dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, termasuk dokter gigi. c. Profesi teknik gigi adalah mitra yang merupakan komplementer dari tugas dokter gigi. Sepanjang terkait dengan pembuatan gigi palsu, alat orthodonsi, dan maksilofasial yang sama sekali tidak berhubungan dengan soal-soal yang menyangkut penyakit maupun kesehatan yang menjadi domain seorang dokter gigi. d. Oleh karena pemisahan tersebut telah disepakati bahwa seorang dokter gigi tidak akan melakukan pembuatan yang menjadi domain profesi teknik gigi dan demikian pula, praktik dokter gigi juga tidak diperbolehkan mengelola laboratorium yang menjadi domain profesi teknik gigi. e. Walaupun profesi teknik gigi dinyatakan oleh peraturan perundangundangan sebagai tenaga kesehatan, tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan tidak menggunakan alat-alat, metode, atau cara lain yang
21
lazim digunakan oleh dokter atau dokter gigi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran. Selain daripada itu, di bawah ini disampaikan rincian kegiatan teknik gigi yang dibagi dalam tingkatan pelaksana, lanjutan, dan penyelia sebagai berikut. Kami tidak akan membacakan keseluruhannya, namun diuraikan dalam tulisan ini, agar dimaksudkan kita semua memahami bahwa praktik profesi teknik gigi memiliki tahapan yang wajib dilalui oleh sesuai tingkatan pendidikan, keahlian, dan masa kerjanya. Tingkatan pelaksana meliputi menyiapkan peralatan dan bahan pembuat gigi tiruan dengan tingkat kesulitan satu. Membuat gigi tiruan sebagian lepasan cengkram dengan kehilangan gigi satu sampai tiga elemen atau (suara tidak terdengar jelas). Membuat gigi tiruan sebagian lepasan cengkram dengan kehilangan satu, dua, atau tiga. Kemudian, membuat cetak … sendok cetak perseorangan, membuat galangan gigit dengan malam, membuat single crown acrylic, membuatkan (suara tidak terdengar jelas) acrylic, membuat bricket acrylic dengan jumlah elemen tiga atau lebih, membuat inlay, uplay, dari bahan acrylic, membuat (suara tidak terdengar jelas), membuat spring oklusal, membuat bionator, mereparasi gigi tiruan cetak acrylic, mereparasi gigi tiruan patah, dsb. Kemudian, (suara tidak terdengar jelas), mereparasi gigi acrylic dan menambah cengkeram. Mereparasi orthodonsi. Untuk tingkat lanjutan meliputi menyiapkan alat-alat dan bahan, tingkat kesulitan satu dan dua. Kemudian, membuat protesa kombinasi kerangka logam pada dua sisi rahang, bilateral. Membuat gigi tiruan (suara tidak terdengar jelas) kerangka logam lengkap lepasan atas dan bawah. Membuat single crown dari bahan logam, membuat bricket dari bahan logam, membuat inlay, uplay dari bahan logam. Membuat pasak pin, membuat copying metal, membuat retensi plat sederhana, labial bow, dan retensi screen komprehensial, membuat retensi plat, labial bow (suara tidak terdengar jelas) dan arrow head. Membuat aktivator dengan penambahan spring. Kemudian, mereparasi actiivator dan lainnya. Kemudian, pada tingkat penyelia, menyiapkan alat-alat untuk pembuatan gigi tiruan dengan tingkat kesulitan satu, dua, dan tiga. Kemudian, ditambahkan di sini adalah membuat membuat implant crown, membuat (suara tidak terdengar jelas) attachment, membuat … dua sisi, kemudian membuat copying porcelain, membuat single crown (…) 31.
KETUA: HARJONO Uraian itu tidak usah dibaca semua, Pak. Toh yang tertulis nanti, Hakim bisa mendapatkan. 22
32.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Terima kasih. Ya. Tingkatan sebagaimana dimaksud di atas semata-mata adalah permintaan dokter gigi yang bersangkutan setelah berkomunikasi dengan pasien. Tingkat intelektual seorang dokter gigi dan demikian kemapanan seorang pasien, menjadikan teknik gigi perlu memperoleh perhatian, perluasan, wawasan di bidang ilmu pengetahuan teknologi. Ketiga, atas dasar itulah maka lulusan D3 Teknisi Gigi dapat dibedakan secara tegas dan jelas dengan mereka yang mengaku ahli gigi sebenarnya adalah tukang gigi. Apabila dirunut dari sejarah keberadaan tukang gigi, memang diakui keberadaannya di Indonesia sebagaimana telah diuraikan Pemohon maupun penjelasan dari menteri pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Menteri Hukum dan HAM. Namun demikian, dari perspektif ilmu, para tukang gigi sama sekali tidak memiliki dasar pengetahuan teknik gigi yang berdasarkan daripada kurikulum pendidikan D3 Teknisi Gigi yang berlaku. Dari sebab itu, tidak ada alasan sama sekali mengklaim yang memiliki pengetahuan secara otodidak mengklaim mengaku melakukan pekerjaan yang dilandasi ilmu pengetahuan, apabila pekerjaan ini sangat terkait dengan persoalan kesehatan manusia sehingga sangat sulit diakui secara ilmu pengetahuan klaim yang mengaku mampu menjadi salah satu tenaga kesehatan sangat sulit dipertanggungjawabkan. Persoalan kesehatan sangat terkait dengan tanggung jawab yang menyangkut jiwa seorang, sehingga sulit ... persoalan ini diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki landasan ilmu pengetahuan. Kegagalan dalam menangani permasalahan gigi mempunyai dampak terhadap jiwa manusia secara fisik maupun kejiwaan. Sebagai contoh, kelalaian memperhatikan kebersihan dapat mengakibatkan terjadinya infeksi ataupun kelalaian membersihkan alat-alat bisa menularkan penyakit kepada pihak lain. Kekeliruan menciptakan gigi tiruan akan berakibat pada estetika wajah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kami sebagai pihak selama ini berada dalam lingkungan kesehatan sangat berkepentingan untuk menjaga martabat profesi ini karena sebagai profesi, selain akan menjadikan setiap orang yang bergelut dalam keprofesian ini dan memperoleh manfaat juga akan menjaga keprofesionalannya. Demikian uraian kami sebagaimana disebutkan di atas dan dengan demikian kami telah memberikan gambaran secara utuh tentang beberapa pertanyaan yang kami sebutkan di atas, yaitu tentang. a. Mengapa negara harus menyelenggarakan pendidikan Tehnik Gigi? b. Mengapa pendidikan tehnik gigi tidak disatukan dengan pendidikan Dokter Gigi?
23
c. Mengapa seorang yang lulus pendidikan kedokteran gigi disebut dengan dokter gigi dan kami DIII Tehnik Gigi disebut dengan Ahli Madya Tehnik Gigi? d. Mengapa perbedaan di antara Tehnik Gigi dengan Tukang Gigi? Apa risiko apabila tidak ada Pendidikan Tehnik Gigi? Untuk sampai pada penjelasan yang lengkap sebelumnya kepada Majelis Hakim Yang Terhormat, akan kami sampaikan satu perkembangan baru dalam penanganan kesehatan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, yaitu paradigma kesehatan, semula pada awal pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, kini cara pandang itu telah bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan menyeluruh dengan menekankan kepada upaya kesehatan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan dengan sebutan paradigma sehat, konsekuensi dari diterimanya paradigma sehat tersebut maka kegiatan apapun yang berorientasi pada kawasan kesehatan, yaitu dilakukan pemeliharaan dan peningkatan kualitas seseorang, keluarga, dan masyarakat. Sebagaimana penjabaran dari paradigma ini segala peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan mengacu kepada kawasan itu, seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan peraturan-peraturan turunannya. (suara tidak terdengar jelas) dari berbagai peraturan perundangundangannya lahir setelah terbitnya kedua undang-undang dimaksud ternyata satu sama lain memiliki suatu jalinan yang apabila boleh disebut sebagai suatu sistem walaupun dikalangan kesehatan belum muncul istilah sistem kesehatan nasional, tetapi kenyataan peraturan yang terkait tersebut dapat dikatakan antar peraturan satu sama lain memiliki jalinan. Secara sederhana antara peraturan ini merupakan tatanan yang menegaskan posisi masing-masing entitas dan terbangun dalam suatu kaitan serta saling ketergantungan antara sejumlah elemen yang memiliki struktur atau susunan tertentu karena mereka berada dalam suatu sistem maka setiap proses yang terjadi di masing-masing entitas itu mampu mengubah setiap masukan, tetapi menjadi keluaran yang dilakukan oleh metode tertentu dan dikendalikan, sehingga tercapai sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kesehatan. Berangkat dari hal tersebut kami ingin menyebutkan tujuan (...). 33.
KETUA: HARJONO Masih banyak itu Bapak? Karena enggak ada di makalahnya.
24
34.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Terima kasih, atas segalanya (...)
35.
KETUA: HARJONO Nanti disampaikan seutuhnya, ya. Supaya kita bisa (...)
36.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Terima kasih, Pak. Demikian kami sampaikan. Wabilahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.
37.
KETUA: HARJONO Waalaikumsalam. Pemohon ada yang ditanyakan pada kesaksiannya. Baik pada Ahlinya, maupun kepada Ahli Pemerintah, silakan saja. Ya, jangan banyak-banyak ya. Berapa? 2, 3?
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SOLEH AMIN Ada tiga.
39.
KETUA: HARJONO Ya, tiga saja.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SOLEH AMIN Kepada Prof. Chamamah, yang ingin kami tanyakan adalah menurut pandangan Ahli apakah norma hukum yang tertera dalam Pasal 73 itu telah sesuai dengan ciri-ciri bahasa hukum sebagaimana yang dikemukakan di dalam persidangan tadi? Itu yang pertama. Kepada Saudara Dr. Arief, pertanyaan kami adalah ketika Saudara menjelaskan tentang ada norma hukum administrasi negara yang berujung kepada adanya sanksi pidana dan juga Saudara tadi menjelaskan tentang karakteristik dari norma hukum pidana, terkait dengan ketentuan hukum administrasi negara ada istilah yang disebut dengan ultimum remedium, apakah ketentuan Pasal 73 Undang-Undang atau Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 itu telah memenuhi apa yang Saudara disampaikan tadi, dihubungkan dengan asas-asas subsidiaritas. Yang ketiga, kami ingin menanyakan kepada Ahli yang terakhir karena namanya tidak disebutkan, jadi kami tidak tahu, yang terakhir dari pemerintah tadi. Saudara tadi mengatakan bahwa tukang gigi itu menjamur di mana-mana, sebelum ada profesi Saudara sebagai teknik gigi ya. Yang Saudara katakan tadi, perlunya adanya pembinaan yang tertata, yang berkelanjutan, dan semacamnya. 25
Apakah Saudara pernah mendengar adanya upaya Pemerintah dalam rangka melakukan upaya pembinaan terhadap tukang gigi yang menjamur yang seperti yang dikatakan oleh Saudara, yang keberadaannya adalah menurut Saudara terlebih dahulu, terima kasih. 41.
KETUA: HARJONO Untuk pertanyaan pertama saya kira enggak usah dijawab ya. Jelas tadi, sudah banyak dijelaskan dari awal sampai akhir mengkritik persoalan bagaimana merumuskan pasal itu. Jadi itu semua sudah jelas bagi kita. Jadi kedua saja mengenai ultimum remedium dan pernah dengar enggak itu tadi yang terakhir Pak Suroto tadi, pembinaan Pemerintah?
42.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Terima kasih.
43.
KETUA: HARJONO Sebentar, Bapak terakhir saja nanti. Masih saksi.
44.
AHLI DARI PEMOHON: MUHAMMAD ARIEF SETIAWAN Terima kasih, Yang Mulia. Untuk mejawab pertanyaan yang berkaitan dengan ajaran atau doktrin tentang ultimum remedium sebagai doktrin tentang asas subsidiaritas. Bahwa hendaknya hukum pidana hanya dipakai manakala norma-norma lain di luar hukum pidana memang tidak sanggup lagi mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan. Nah, termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan pengaturan persoalan yang dibahas pada siang hari ini yang menyangkut tentang Pasal 73 dan 78. Apakah ketentuan hukum pidana yang ada di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran itu sudah mengenai unsur … eh apa, doktrin ultimum remedium atau bukan? Menurut pendapat saya sebagai Ahli hukum pidana dan juga saya sebagai seorang yang aktif di dalam Organisasi Kelompok Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI). Saya sebagai Wakil Ketua MHKI Jogjakarta saya menyatakan bahwa Pasal 73 dan 78 Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Praktik Kedokteran ini tidak memenuhi asas subsidiaritas karena bisa dilaksanakan demikian saja tanpa melalui tahapan-tahapan pembinaan di dalam hukum administrasinya. Jadi muncul dan tadi seperti yang dijelaskan oleh Ahli Bahasa tadi, itu bisa meluas bahkan kalau saya tadi mendengarkan pejelasan dari Ahli yang terakhir tadi mengenai profesi dari teknik gigi, itu pun teknik gigi tidak termasuk sebenarnya di dalam Pasal 73 karena Pasal 73 itu hanya untuk mengatur tentang dokter, dokter gigi, dan tenaga
26
kesehatan yang lainnya itu hanya dikecualikan, itu hanya bidan dan perawat. Oleh karena itu pun sebenarnya teknik gigi tidak termasuk. Padahal sebenarnya itu di kalau di dalam administratif tadi itu bisa diatur terlebih dahulu, baru nanti hukum pidananya itu bisa diterapkan kalau memang secara administratif belum dilaksanakan. Nah, oleh karena itulah maka kembali pada ajaran subsidiaritas tadi karena tadi multitafsir tadi itu bisa terkena siapa saja, tidak hanya kepada tukang gigi, Bong Supit yang sudah … yang sunat untuk sunat sirkumsisi itu juga bisa terkena karena dia juga menjalankan pekerjaan yang seperti itu yang seolah-olah, seakan-akan, dan seterusnya yang tadi sudah dijelaskan oleh Ahli Bahasa. Oleh karena itu kembali kepada pengaturan Undang-Undang Praktik Kesehatan yang … eh, Praktik Kedokteran yang sebenarnya dimaksudkan sebagai pengaturan administratif, hendaknya hukum pidananya dipergunakan dengan sangat hati-hati. Sehingga mesti harus ada tahapan kapan hukum pidananya itu bisa dilaksanakan. Saya kira demikian, terima kasih Majelis. 45.
KETUA: HARJONO Ya, jelas pendapatnya. Terakhir ini pada Pak Suroto, silakan.
46.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Terima kasih, kepada Ketua Majelis Hakim. Dalam masalah kami, kami adalah profesi teknisi gigi. Tentunya kami … domain kami adalah pekerjaan teknisi gigi dilakukan di laboratorium teknisi gigi (…)
47.
KETUA: HARJONO Enggak, yang ditanyakan tadi adalah persoalan pernah dengar enggak ada pembinaan itu? Kalau teknisi giginya tadi sudah diuraikan (…)
48.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Baik, Pak.
49.
KETUA: HARJONO Yang menjadi kompetensinya.
50.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Betul, baik Pak. Karena kami dalam domain teknisi gigi kami tidak pernah mendengar atau kami tidak pernah melihat dalam konten kami
27
sebagai teknisi, maka kami persilakan kepada … masalah ini kepada Pemerintah untuk menjawabnya. Terima kasih, Pak. 51.
KETUA: HARJONO Enggak usah dialihkan, biar sana tanya sama Anda. Pernah dengar atau tidak tahu itu beda ya. Tidak tahu?
52.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUROTO Mohon maaf, Pak. Kalau dengar, saya pada waktu pendidikan tahun … saya lulus tahun 1971, jadi pada tahun 1978 saya mendengar dari Bapak-Bapak guru kami bahwa para tukang gigi itu sudah dibina melalui suatu pendidikan secara kursus waktu itu diketuai oleh Bapak Dr. Herman Susila Alm. Demikian.
53.
KETUA: HARJONO Sudah mendengar ada usaha itu. Pemerintah, ada pertanyaan di sini atau cukup? Cukup ya? Ya, ini sudah lewat 15 menit yang saya janjikan. Jadi begini, apakah masih ada keinginan dari Pemohon atau Pemerintah untuk menghadirkan saksi atau ahlinya dalam persidangan berikutnya?
54.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SOLEH AMIN Kami merasa cukup. Dan untuk itu, kami akan menyampaikan kesimpulan (...)
55.
KETUA: HARJONO Kesimpulan?
56.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. SOLEH AMIN Jika diperkenankan. Terima kasih.
57.
KETUA: HARJONO Ya. Pemerintah? Cukup? Ya, cukup ya? Jadi, kalau sudah merasa cukup persidangan ini, maka kami tunggu kesimpulan itu untuk diserahkan pada Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu paling terakhir, 11 Juli 2012 pada Kepaniteraan ya. Jelas ini, Pemohon? Pemerintah juga kita harapkan untuk menyampaikan kesimpulannya dari hasil pemeriksaan. Terakhir kita tunggu tanggal 11 Juli.
28
Dengan demikian, maka persidangan ini bisa kita akhiri dan nanti sidang berikutnya pembacaan putusan. Persidangan saya nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.34 WIB
Jakarta, 27 Juni 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d Paiyo NIP. 19601210 1985021001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
29