MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (VI) DAN (V)
JAKARTA RABU, 23 JANUARI 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d, huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1), dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5)] dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan [Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), Pasal 65 ayat (3), ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (3), Pasal 70 ayat (1), ayat (2)] dan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a, huruf b, dan Pasal 154 ayat (5)] serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan [Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: 1. Dewan Perwakilan Daerah PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: 1. Syamsudin Haris, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon dan Pemerintah (VI) dan (V) Rabu, 23 Januari 2013, Pukul 11.17 – 11.45 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD. Achmad Sodiki Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Hamdan Zoelva Harjono M. Akil Mochtar Maria Farida Indrati Muhammad Alim
Luthfi Widagdo Eddyono Rizki Amalia Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
ii
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. 2. 3. 4. 5.
I Wayan Sudirta John Pieris Alirman Sori Intsiawati Ayus Bambang Susilo
6. Ferry F. X. Tinggogoy 7. Juniwati T. Masjchun S. 8. Jacob Jack Ospara 9. Hardi Selamat 10. Zulbahri
B. Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Toto Sugiarto Yurist Oloan Hermawan Estu Refly Harun Yuda Kusumaningsih Sulastio
C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Alexander Lay 2. Aan Eko Widiarto 3. Najmu Laila D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. Veri Juniadi E. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Santoso 3. Agus Haryadi F. DPR: 1. Rahardi Zakaria 2. Okky Asokawati 3. Arif Budimanta
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.17 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan Nomor perkara judicial review Nomor 92 dan Nomor 104/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon siapa-siapa yang hadir hari ini.
2.
Nomor
92
perkenalkan
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: ALEXANDER LAY Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Dari Prinsipal, hadir, Bapak Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah) dan Bapak Wayan Sudirta (Ketua Tim Litigasi DPD). Bapak John Pieris dan Fery Tinggogoy juga dari Ketua Tim Litigasi DPD. Dan hadir juga hari ini sejumlah anggota DPD yang tidak dapat kami sebutkan namanya dan saya sendiri dari Kuasa Hukum DPD, Alexander Lay, dan Saudara Aan Eko Widiarto, dan Najmu Laila. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Perkara Nomor 104?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: VERI JUNAIDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Hadir Pemohon 104 Prinsipal ada Refly Harun paling ujung kanan, ada Sulastio, Yurist Oloan, Dr. Hermawan, Ibu Yuda Kusumaningsih, dan Bapak Toto Sugiarto. Dan saya sendiri, Veri Juniadi sebagai Kuasa Hukum. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Pemerintah?
6.
PEMERINTAH: AGUS HARYADI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Dari Pemerintah, hadir, di sebelah kiri saya, Bapak Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan 1
HAM. Di sebelah kirinya lagi, Saudara Santoso dari Kementerian Dalam Negeri. Dan saya sendiri, Agus Haryadi dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia. 7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, DPR?
8.
DPR: ARIF BUDIMANTA Terima kasih, Yang Mulia. Selamat pagi. Hadir dari Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, sebelah kiri saya, Saudara Rahardi Zakaria. Yang paling cantik, Ibu Okky Asokawati, dan kami, Arif Budimanta. Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Terima kasih, lengkap. Saudara, sebenarnya sidang ini sudah cukup panjang dan sudah mendengarkan, memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berbicara dan menghadirkan saksi maupun ahli di ruangan ini. Hari ini kita buka sidang karena kemarin Pemohon Nomor 104, Saudara Refly Harun mau dihadirkan sebagai saksi ya. Menurut MK, pada waktu itu Pemohon menjadi saksi Pemohon yang satunya, nanti saling mengajukan saksi enggak selesai-selesai sidang ini, maka Mahkamah kemudian mengambil kebijakan sudahlah Refly Harun bicara saja sebagai Pemohon menerangkan permohonannya sendiri. Sehingga nanti kan substansinya kira-kira sama, untuk itu dipersilakan kepada Saudara Refly Harun.
10.
PRINSIPAL PEMOHON: REFLY HARUN Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi, juga saya ucapkan terima kasih kepada hadirin yang datang dan mungkin mendengarkan keterangan atau … apa … dari permohonan 104 ini. Karena pada awalnya, ini dimaksudkan untuk keterangan ahli saya untuk permohonan DPD, maka mohon maaf, Yang Mulia, barangkali dalam banyak hal ada juga tumpang-tindihnya, tetapi intinya adalah kami dari koalisi masyarakat sangat mendukung permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah karena kami menganggap kami adalah organisasi-organisasi yang concern selama ini bergerak di bidang pemilu dan juga ada di bidang pengawasan parlemen dan lain sebagainya. Baiklah akan saya bacakan keterangan tertulis ini, nanti akan saya sampaikan secara tertulis berikut dengan notasi-notasi yang sudah saya buat. 2
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi. Sepanjang yang dapat saya baca, permohonan Dewan Perwakilan Daerah dan Koalisi Masyarakat kurang lebih mencakup 5 hal. Pertama, agar DPD terlibat secara setara dalam penyusunan program legislasi nasional. Kedua, rancangan undang-undang yang dihasilkan diperlakukan sama dengan RUU dari presiden dan DPR. Ketiga, terlibat dalam pembahasan RUU tertentu dari awal hingga akhir. Keempat, pembahasan RUU tertentu bersifat 3 pihak (tripartit), yaitu DPR, DPD, dan presiden. Dan kelima, sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembahasan RUU tertentu, DPD terlibat pula dalam proses persetujuan sebuah RUU yang dibahas secara tripartit. Dari sisi moralitas konstitusional dan konstitusionalisme, saya menilai tidak ada yang salah dengan permohonan DPD dan koalisi masyarakat tersebut. Terlebih yang meminta adalah lembaga yang anggota-anggotanya dipilih secara langsung melalui pemilu. Persoalannya adalah hal yang klasik yang sering disampaikan di Mahkamah Konstitusi, penafsiran konstitusi apa yang dapat digunakan untuk membenarkan permohonan tersebut. Penafsiran konstitusi adalah the specific way, the judge that the judge understand the text of constitution. Dalam khazanah penafsiran konstitusi, ada banyak metode yang dapat dipakai untuk menguji konstitusionalitas suatu norma. Dari khazanah penafsiran konstitusi di Amerika Serikat misalnya, yang dapat saya pahami, kita mengenal setidaknya 7 metode penafsiran: ada textual, historical, functional, doctrinal, prudential, ecotable, dan natural. Dari khazanah penafsiran konstitusi di Australia misalnya, Sir Anthony Mason menyebut metode penafsiran originalism, intentionalism, literalism, dan progressive interpretation. Hal yang terakhir ini sangat suka juga dipakai oleh Mahkamah Konstitusi. Dari khazanah penafsiran di Jerman menurut Donald P. Kommers, 4 metode klasik berikut sering digunakan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman, yaitu tekstual, kontekstual atau sistemik, historical dan teleological. Sepanjang penyimakan saya terhadap putusanputusan Mahkamah Konstitusi selama ini, 4 metode ini pulalah yang kerap digunakan. Dikaitkan dengan permohonan DPD, saya akan mengurai kewenangan konstitusional DPD yang tercantum dalam Pasal 22D Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan menggunakan metode penafsiran sistematis sebagai batu uji. Mengapa penafsiran sistematis? Karena melalui metode penafsiran inilah saya menemukan dasar konstitusional untuk menyatakan dan membenarkan bahwa dalam konteks Pasal 22D Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, DPD memiliki kewenangan yang setara dengan DPR dan presiden. Sekali lagi, DPD memiliki kewenangan yang setara dengan DPR dan presiden. Hal yang akan dibahas terutama terkait dengan kewenangan DPD untuk membahas RUU yang tercantum dalam
3
Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dari awal hingga akhir termasuk tahap persetujuan. Metode sistematis sering disebut juga functional method atau structuralism adalah metode penafsiran yang mendasarkan pada analisis terhadap struktur konstitusi dan bagaimana ia diarahkan untuk berfungsi sebagai suatu sistem yang koheren dan harmonis. Sebagai sebuah metode interpretasi, structuralism percaya bahwa arti dari sebuah ketentuan konstitusi hanya dapat dilihat dengan menyimak keseluruhan konstitusi. Dalam khazanah penafsiran konstitusi, metode sistematis termasuk paling sering digunakan. Sekali lagi, termasuk paling sering digunakan, termasuk di MK karena masih bertitik tolak dari teks tertulis dan sepanjang pengetahuan saya, metode ini belum pernah dikesampingkan dalam putusan-putusan MK. Lain halnya dengan metode penafsiran tekstual dan metode penafsiran sejarah (original intent) yang saya lihat dari putusan-putusan MK terdahulu kadangkadang tidak juga dipakai bahkan dikritisi oleh Para Hakim Mahkamah Konstitusi. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Pada Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Tahun 1945/1999 telah dirumuskan Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap rancangan undang-undang dibahas DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Namun, pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Tahun 2001, dirumuskan pula Ketentuan Pasal 22D ayat (2) yang berbunyi, “DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, dan seterusnya.” Dengan dirumuskannya Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga, makna Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama tidak lagi abslout. Sekali lagi, tidak lagi absolut. Tidak semua rancangan undang-undang dibahas bersama hanya oleh DPR dan presiden, melainkan ada pula RUU yang pembahasannya mengikutsertakan DPD. Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga dengan demikian bagi kami Pemohon, merupakan pengecualian (lex specialis) terhadap Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama. Pengecualian tersebut dapat dipahami karena Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama disepakati lebih dahulu tahun 1999, sedangkan Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga disepakati belakangan. Dengan pengecualian tersebut, maka Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama harus dibaca dengan mengaitkannya, sekali lagi dengan mengaitkannya, sistematis dengan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga menjadi sebagai berikut. Setiap rancangan undang-undang dibahas DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama, kecuali rancangan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Persetujuan RUU yang 4
disebut dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga dengan demikian dilakukan oleh 3 institusi, yaitu DPR, DPD, dan presiden atau tripartit. Lalu, di mana dasar pembenaran bahwa DPD ikut hingga tahap persetujuan karena yang kami pahami adalah permohonan, baik koalisi masyarakat maupun DPD, meminta pada sampai tahap persetujuan. Hakim Konstitusi Yang Mulia. Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama secara tegas menyatakan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Artinya, pembahasan yang dilakukan presiden dan DPR bertujuan untuk dicapainya persetujuan bersama. Dengan demikian, pembahasan dan persetujuan undang-undang bukanlah kegiatan yang … menurut yang terpisah, menurut Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama. Persetujuan tidak lain adalah produk dari proses pembahasan yang dilakukan DPR dan presiden. Oleh karena itu, terkait dengan Ketentuan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga yang menyertakan DPD dalam pembahasan RUU, maka secara sistematis, ketentuan pasal tersebut harus dibaca sebagai berikut. Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, dan seterusnya dibahas bersama oleh DPR, presiden, dan DPD untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam pada itu, Yang Mulia, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundangundangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan. Dari lima tahapan tersebut tidak disebut secara spesifik tahap persetujuan. Karena secara logika, sudah pasti termasuk atau bagian dari tahapan pembahasan dan tidak mungkin bagian dari empat tahapan lainnya. Dari kelima tahapan tersebut, DPD sesungguhnya berhak untuk mengikuti setidaknya tiga tahapan pertama, yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan, sama seperti kewenangan DPR saat ini. Akan tetapi, DPD hanya terbatas pada mandat yang termaktub dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Sementara presiden justru berhak mengikuti atau menjalankan kelima tahapan tersebut, termasuk tahapan pengesahan dan pengundangan yang tidak dimiliki baik oleh DPR maupun DPD. Ini menjadi objek studi dari Prof. Saldi Isra yang mengatakan bahwa ada anasir sistem parlementer dalam legislasi di Indonesia pascaperubahan konstitusi. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan RUU, DPD harus diperlakukan sama dengan DPR dan persiden … presiden, sepanjang terkait Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga. DPD dengan demikian mengikuti semua tingkat pembahasan RUU yang diatur dalam undangundang, termasuk kegiatan-kegiatan dalam tingkat pembahasan
5
tersebut. Karena dalam pembahasan tingkat I DPD tidak diikutkan dalam membahas daftar inventarisasi masalah. Bahwa memang benar, Yang Mulia, Pasal 22A Perubahan Kedua menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang, akan tetapi undangundang tersebut tidak boleh mereduksi ketentuan dalam UndangUndang Dasar 1945, termasuk kewenangan DPD untuk mengusulkan RUU dan membahas RUU dalam konteks Pasal 22D Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.” Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Berikutnya, izinkanlah saya melakukan penafsiran sistematis terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama yang menyatakan, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Ketentuan dalam pasal ini sering dijadikan dasar pembenar untuk mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan hanya DPR yang memiliki kekuasaan legislatif, tidak lembaga lain, tidak juga dewan perwakilan daerah. Pasal tersebut memang akan bermakna demikian, bila dibaca secara berdi … berdiri sendiri, penafsiran tekstual, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan lain dalam Undang-Undang Dasar 1945, termasuk mengaitkannya dengan sejarah dirumuskannya pasal tersebut original intent. Munculnya pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama, harus dikaitkan dengan suasana kebatinan saat perubahan pertama dilakukan tahun 1999. Yaitu semangat untuk melucuti kekuasaan eksekutif yang sebelumnya dinilai executive heavy dan memperkuat lembaga legislatif (legislative heavy). Pasal tersebut adalah respons terhadap perubahan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.” Akan tetapi ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama tidaklah menyebabkan DPR memonopoli kekuasaaan membentuk undang-undang karena nyatanya setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya, bila presiden tidak bersetuju terhadap rancangan undang-undang, maka suatu rancangan undangundang tidak bisa menjadi undang-undang. Bahkan dalam konteks Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga harus mendapatkan persetujuan tiga pihak (tripartit). Terkait relasi DPR, presiden dalam membentuk undang-undang, saya berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada perubahan antara Undang-Undang 1945 sebelum dan sesudah amandemen. Ini hasil observasi saya. Sebelum amandemen, meskipun sudah disetujui DPR, sebuah rancangan undang-undang tidak dapat menjadi undang-undang bila tidak disahkan presiden. Setelah amandemen, suatu rancangan baru bisa menjadi undang-undang bila disetujui bersama presiden dan DPR. Bahkan, terkait dengan rancangan undang-undang dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga, suatu rancangan bisa menjadi undang6
undang bila disetujui oleh tiga institusi, yaitu DPR, DPD, dan presiden sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dua halaman terakhir. Maka konstruksi kekuasaan membentuk undang-undang dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen adalah DPR dan presiden memiliki kekuasaan seimbang dalam pembahasan rancangan undang-undang di luar konteks Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga. Sedangkan untuk RUU yang terkait dengan Pasal 22D ayat (2) Perubahan Ketiga, DPR, presiden, dan DPD memiliki kekuasaan yang seharusnya seimbang pula. Artinya, sebuah rancangan undang-undang tidak bisa disetujui bila salah satu dari ketiga institusi tidak menyetujui. Itulah implementasi check and balances terkait proses pembentukan undang-undang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hakim Konstitusi Yang Mulia, terkait dengan prinsip check and balances dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam salah satu putusannya, MK menyatakan bahwa DPD adalah salah satu lembaga negara utama. Sekali lagi, MK menyatakan bahwa DPD adalah salah satu lembaga negara utama (main state organ) karena mencerminkan kelembagaan ... perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state function) dimana lembaga-lembaga negara utama tersebut diikat oleh prinsip check and balances. Kutipan MK nya demikian, “Menurut Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi MPR, DPR, dan DPD, presiden dan wakil presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principle state organ).” Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan kelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state function, principle state function). Sehingga, oleh karenanya lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organ, principle state organ), atau (main state intitution) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip check and balances, Putusan MK Tahun 2006. Dengan kewenangan sebagaimana kita saksikan hari ini, akibat amputasi di tingkat Undang-Undang Dasar ... eh, di tingkat UndangUndang MD3 dan Undang-Undang P3, menjadi pertanyaan bagi kita semua apakah memang benar DPD adalah lembaga negara utama yang mencerminkan kelembagaan fungsi kekuasaan negara yang utama. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Dari uraian di atas saya mengambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, frasa ikut membahas dalam Pasal 22D ayat (2) Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 bermakna bahwa DPD mengikuti semua tahap pembahasan suatu rancangan undang-undang yang terkait dengan pasal tersebut sesuai dengan tingkat pembahasan atau tahap-tahap pembicaraan 7
yang diatur dalam undang-undang. Kedua, Pembahasan dalam konteks Pasal 22D ayat (2) Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 harus ditafsirkan hingga level persetujuan karena persetujuan tidak lain adalah produk dari pembahasan. Ketiga, pembahasan rancangan undang-undang dapat bersifat bipartit dan bersifat tripartit untuk konteks Pasal 22D ayat (2) Perubahan ketiga. Pembahasan oleh fraksi di DPR atau fraksi di DPD adalah proses internal kelembagaan yang juga harus diselesaikan secara internal sebelum masuk pada pembahasan antarlembaga baik bipartit maupun tripartit. Terakhir, keempat, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Undang-Undang MD3, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang tidak sesuai dengan kesimpulan satu hingga ketiga dengan sendirinya kami menganggap pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Penutup. Yang Mulia, Majelis Hakim Konstitusi. Mengakhiri keterangan ini izinkanlah kami mengajukan gugatan etis kepada kita semua terkait nasib DPD yang saat ini antara ada dan tiada. Apakah memang kehendak pembentuk Undang-Undang Tahun 1945 untuk menghadirkan kamar kedua (the second chamber) dalam sistem perwakilan kita hanya sebatas aksesori demokrasi. Apakah DPD sang kamar kedua memang dihadirkan oleh pengubah konstitusi dengan sebuah paradox. Lahir dari rahim reformasi sama seperti Mahkamah Konstitusi mendapat mandat langsung dari rakyat melalui pemilu bernilai triliunan rupiah, bahkan ada yang mendapatkan suara lebih dari parliamentary threshold, 2,5% pada Pemilu 2009, tetapi ... lalu kemudian menghabiskan anggaran triliunan rupiah pula dalam satu periode keanggotaan, tetapi diberikan kewenangan yang membuatnya menjadi antara penting dan tidak penting, antara perlu dan tidak perlu, dan akhirnya antara ada dan tiada, nyaris tak terdengar. Bila memang demikian kehendak pembentuk Undang-Undang Dasar (the second founding parents), maka pastilah kehendak tersebut suatu kekeliruan yang sangat nyata, sebuah pemborosan atas keuangan negara yang tidak bertanggung jawab, paling tidak itu anggapan kami koalisi masyarakat. Lebih dari itu, sebuah penistaan terhadap institusi demokrasi yang dihadirkan melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kita semua yang berada di ruangan ini menanggung dosa kolektif bila hanya berdiam diri terhadap kondisi tersebut. Namun, Yang Mulia Hakim Konstitusi. Saya meyakini tidak begitu kehendak the second founding parents yang telah melakukan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu 1999-2002. Terlebih sebagian dari mereka kini adalah negarawan-negarawan yang duduk sebagai pemutus perkara ini. Terima kasih, wabillahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.
8
11.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, sudah cukup saya kira. Persidangan ini sudah mendengar hampir semuanya dan menurut saya secara substansi, baik Pemerintah maupun DPR sudah menyampaikan jawaban karena substansinya sebenarnya sama dengan ini, sehingga Mahkamah berkesimpulan tidak perlu dibuka sidang lagi untuk khusus mendengar keterangan Pemerintah, tanggapan (suara tidak terdengar jelas) DPR untuk ini. Tetapi di dalam kesimpulan nanti kalau ada hal yang dianggap baru, supaya disampaikan di dalam kesimpulan yang tertulis itu. Itu untuk sidang, untuk jadwal sidang, tetapi untuk jadwal materi saya beri kesempatan kepada Pemerintah maupun DPR, kalau ada yang ingin didalami dari keterangan … dari penyampaian permohonan tadi. Apakah Pemerintah ada yang mau ditanyakan?
12.
PEMERINTAH: Cukup, Yang Mulia.
13.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup, DPR?
14.
DPR: NUDIRMAN MUNIR Sementara cukup, Yang Mulia.
15.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup, Para Hakim? Cukup ya. Baik, kalau begitu maka menganggap sudah jelas dan cukup bahan untuk dipertimbangkan, untuk pada akhirnya nanti pada saatnya akan diucapkan putusan dan untuk itu selambat-lambatnya hari Rabu tanggal 30 Januari tahun 2013, pukul 16.00 di luar sidang resmi harap diserahkan langsung ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, kesimpulan masing-masing pihak, Pemohon 92, Pemohon 104, Pemerintah, dan DPR. Rabu, 30 Januari 2013, pukul 16.00, penyerahan kesimpulan langsung ke lantai empat yaitu kantor Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sesudah itu baru Mahkamah nanti akan membahas perkara ini untuk kalau sudah siap akan disampaikan undangan untuk pengucapan vonis.
9
Sidang sekarang atau hari ini dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.45 WIB
Jakarta, 23 Januari 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
10