MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN FORUM KONSTITUSI DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON, SERTA PEMERINTAH (V DAN III)
JAKARTA KAMIS, 22 NOVEMBER 20
PERIHAL
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1), Pasal 102 huruf d, huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1), huruf a, huruf b, dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5)] dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal Pasal 43 ayat (1), ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 65 ayat (3), ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c, huruf d, ayat (3), ayat (4), ayat (4) huruf a, ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (3), Pasal 70 ayat (1), ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: Dewan Perwakilan Daerah PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: Syamsudin Haris, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Forum Konstitusi Saksi/Ahli dari Pemohon, Serta Pemerintah (V dan III) Kamis, 22 November 2012, Pukul 11.25 – 12.20 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Moh. Mahfud MD. 2) Achmad sodiki 3) Hamdan Zoelva 4) Ahmad Fadlil Sumadi 5) M. Akil Mochtar 6) Anwar Usman 7) Maria Farida Indrati 8) Harjono 9) Muhammad Alim Luthfi W. Eddyono, Rizki Amalia, & Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. 2. 3. 4. 5.
Irman Gusman Alirman Sori Jacob Jack Ospara Rahmat Shah Ferry F.X. Tinggogoy
6. 7. 8. 9.
I Wayan Sudirta Istibsjaroh Aida Nasution Ismeth
B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Todung Mulya Lubis 2. Alexander Lay
3. Aan Eko Widiarto 4. Najmu Laila
C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012: 1. Irman Putra Sidin D. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Wahyu Chandra
(Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) (Kementerian Dalam Negeri)
E. Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. Yurist Oloan 2. Sulastio 3. King Faisal Sulaiman F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012: 1. Veri Junaidi 2. Wahyudi Djafar 3. Jamil Burhan
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.25 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan ahli dalam Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 dan Nomor 104/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ingin kami sampaikan lebih dulu bahwa di dalam perkara ini bergabung satu perkara baru karena objeknya sama, dalil-dalil yang diajukan juga substansinya sama, maka perkara ini disatukan dan pemeriksaannya dilanjutkan. Sehingga perkara yang satunya Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 itu tidak perlu diulangi lagi tetapi nanti akan diberi kesempatan kalau misalnya sidang hari ini dianggap tidak cukup perlu mengajukan saksi atau ahli baru di dalam sidang tersendiri, maka sidang akan dibuka lagi pada kesempatan berikutnya, tetapi tidak mengulangi memeriksa dari awal karena jawaban pemerintah sudah ada, diskusi antar pihak-pihak juga sudah berlangsung dalam beberapa kali sidang. Untuk ini dimohon Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 memperkenalkan diri dulu.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Terima kasih, Yang Mulia. Dari pihak kami selain saya sendiri Mulya Lubis, hadir Kuasa Hukum Alexander Lay, kemudian Saudara Aan Eko Widiarto, dan Najmu Laila, dan juga Pemohon, di sini ada Ketua DPD Saudara Irman Gusman, kemudian sejumlah Tim Litigasi dari DPD Pak Wayan Sudirta, Pak Alirman Sori, dan Saudara Rahmat Shah, dan yang lain-lain. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Nomor 104/PUU-X/2012.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: VERI JUNAIDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Kami Pemohon Perkara 104/PUU-X/2012 hadir, saya Veri Junaidi sebagai Kuasa Hukum. Sebelah kanan saya ada Wahyudi Djafar sebagai Kuasa Hukum, dan Jamil Burhan sebagai Kuasa Hukum. Hadir juga Pemohon Prinsipal King Faisal Sulaiman, Sulastio, sebelah … di belakang, dan
1
Yurist Oloan. Untuk hari ini kami belum menghadirkan ahli, Yang Mulia, Terima kasih. 5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Pemerintah?
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian didampingi oleh Saudara Chandra dari Kementerian Dalam Negeri, Yang Mulia. Terima kasih.
7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Saudara ini ada … kemarin itu ada permintaan dari DPD agar Forum Konstitusi dihadirkan sebagai ahli yang juga diminta berbicara, pun beberapa Hakim juga menyetujui sebenarnya permintaan itu agar Forum Konstitusi dihadirkan sebagai ahli di sini. Tetapi di sini Forum Konstitusi berkirim surat yang ditandatangi oleh Harun Kamil dan Ahmad Zaki yang pada intinya menyatakan bahwa karena ini menyangkut original intent makna pasal Undang-Undang Dasar 1945 (suara tidak terdengar jelas) pendapat kolektif seharusnya menjadi kekuatan bersama padahal ini tidak ada kesamaan pendapat juga diantara mereka, maka mereka tidak mengirimkan ahli ke sini. Jadi diantara mereka pun tafsirnya pun berbeda-beda. Sehingga tidak berani ada yang mewakili atas nama forum. Oleh sebab itu, kalau Bapak-Bapak ada yang menginginkan menghadirkan itu diundang saja secara pribadi siapa yang akan didatangkan tapi tidak mewakili forum, nanti akan didengar keahliannya saja. Pemerintah juga bisa mengundang dari Forum Konstitusi siapa yang mewakili suara sama dengan suara pemerintah juga bisa. Sehingga Forum Konstitusi ini demi soliditas tidak akan dihadirkan atas nama forum. Nah pada hari ini hadir seorang ahli (…)
8.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Yang Mulia.
9.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, silakan.
2
10. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Kalau saya boleh, Yang Mulia, kami sebetulnya menginginkan Forum Konstitusi untuk dihadirkan walaupun kelihatannnya surat yang menyatakan tidak bisa hadir. Nah seandainya memang tidak bisa dihadirkan, apakah kami bisa meminta semacam ad informandum -nya dengan tertulis atau affidavit dari (…) 11. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Boleh, forum. 12. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Pihak Forum Konstitusi. 13. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya boleh saja kalau Bapak bisa mendapatkan itu kalau mereka mau, nanti kami ambil sebagai bahan. Ya perorangan, perorangan, kalau forumnya sudah jelas enggak mau, Pak. 14. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Oke. 15. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sudah ada suratnya tidak mau dia … makanya perorangan. 16. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Oke. Terima kasih, Yang Mulia. 17. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Baik hari ini Pemohon menghadirkan Saudara Dr. Irman Putra Sidin sebagai Ahli yang diajukan oleh Pemohon, beragama Islam … sudah disumpah Pak Irman, belum ya? Belum? Belum, silakan maju untuk mengambil sumpah dalam Agama Islam. Akan diambil sumpah oleh Bapak Hamdan Zoelva.
3
18. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ya, ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” Ya, terima kasih. 19. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: IRMAN PUTRA SIDIN Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 20. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Langsung saja ke podium Pak Irman. Dan Anda dipersilakan untuk menyampaikan keterangan karena hari ini yang hadir hanya satu, Saudara diberi kebebasan untuk berbicara sampai paling lama setengah jam. 21. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: IRMAN PUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb., dan selamat siang. Yang Mulia Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, Pemohon Pimpinan DPD serta Anggota DPD, Kuasa Hukum Pemohon, Pihak Pemerintah, Teman-Teman Pemohon lainnya, serta Hadirin semua. Hari ini kami akan membacakan keterangan Ahli Pengujian Undang-Undang tentang Kewenangan DPD. Keterangan yang akan saya sampaikan ini, dimulai dengan pertanyaan bahwa apakah terdapat dasar teori ketatanegaraan tentang permohonan DPD secara konstitusional di MK ini agar bisa distrukturkan bahwa DPD itu merupakan bagian dari kekuatan tiga pihak yang sama derajat dan proporsionalitasnya antara presiden, DPR, DPD, dalam mengeluarkan produk yang bernama kebijakan negara? Hal ini telah kami renungkan bahwa dalam basic ketatanegaraan ilmu negara, ada teori yang disebut tentang teori terbentuknya sebuah negara. Teori ini menyebutkan bahwa negara itu terbentuk karena tiga unsur utama atau tiga subjek utama, yaitu ada rakyat, ada wilayah, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Teori ini sangat dasar dipelajari dalam mata kuliah ilmu negara di setiap fakultas hukum. Teori ini sesungguhnya bisa menjadi grand theory konstitusi untuk menyimpulkan bahwa keinginan daerah dalam permohonan ini, sesungguhnya memiliki dasar teoretis dalam ilmu ketatanegaraan yang bisa diterima secara universal 4
antara wilayah, rakyat, dan pemerintahan ini sesungguhnya adalah unsur, tiga unsur atau subjek kohesif yang tidak bisa saling meniadakan satu sama lainnya. Tidak terjadi sebuah negara ketika, misalnya pemerintahannya saja ada tanpa rakyat atau tanpa wilayah, begitu pula sebaliknya, tidak mungkin ada negara kalau hanya ada wilayahnya, rakyat dan pemerintahannya tidak ada, atau rakyatnya saja yang ada, wilayahnya tidak ada, dan pemerintahannya tidak ada, atau dua diantara salah satunya tidak lengkap. Teori ini sampai saat ini masih bisa diterima bahwa tiga unsur ini sesungguhnya adalah syarat utama terbentuknya sebuah negara, ada wilayah, ada rakyat, dan ada pemerintahan. Membentuk negara filosofinya adalah untuk mengatur dan mengurus … untuk mengatur dan mengurus urusan kehidupan kenegaraan guna mencapai tujuan Negara. Antara mengatur dan mengurus punya awal sejarah yang sama, namun perjalanan sejarahnya kemudian mengalami diferensiasi, siapa yang memiliki kewenangan mengatur? Sesungguhnya basis teoretisnya itu berasal dari tiga unsur ini, yaitu pemerintahan yang mengurus, rakyat yang mengatur, plus kemudian wilayah itu sendiri juga kemudian dianggap sebagai “pranata hidup” bagian yang tidak terlepas dari kepengaturan itu. Oleh karenanya kalau kebijakan negara dibedah dalam dua peta kekuasaan yaitu mengatur dan mengurus, maka tiga unsur atau subjek negara ini memiliki sejarahnya masing-masing dalam peradaban negara. Subjek pemerintahan memiliki sejarah dan metamorfosanya sendiri, mulai dari kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, hingga monarki absolut, dan konstitusional, sampai kepada pemerintahan presidensial dan parlementer. Subjek rakyat, yang kemudian punya sejarahnya sendiri ketika umat manusia berjuang memperjuangkan hakhak kodratinya, mulai konsep maradek atau Wajo di Sulawesi Selatan bahwa orang Wajo sudah bebas sejak dia dalam kandungan, hingga life, liberty, and property milik John Locke bahwa HAM itu sejak manusia itu lahir, melahirkan Revolusi Perancis, Inggris hingga Amerika. Terakhir adalah unsur atau subjek wilayah itu sendiri, juga memiliki sejarahnya sendiri yang kemudian difiksikan sebagai sebuah pranata hidup, yang juga harus memiliki representasi dalam kepengaturan, akhirnya melahirkan konsepsi federalisme, kesatuan, hingga perdebatan sistem bikameral, trikameral dan sebagainya. Nampaknya, antara presiden, DPR, dan DPD, sesungguhnya adalah bagian dari warisan subjek atau unsur terbentuknya negara itu, yang merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. presiden itu sesungguhnya adalah ahli waris dari unsur pemerintahan yang berdaulat dalam terbentuknya suatu negara. presiden memegang kekuasaan pemerintahan, DPR sendiri lahir dari hak-hak rakyat itu sendiri untuk mengatur dirinya guna melahirkan demos dan cratein. Di mana DPD itu asal muasalnya? Asal muasal DPD itu berasal dari subjek atau unsur wilayah yang kemudian dalam sejarahnya
5
mengalami fragmentasi dengan organisasi-organisasi mandiri, bahkan otonom guna mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Hal inilah kemudian, menjadikan wilayah berubah menjadi cluster yang disebut daerah sebagai fiksi yang hidup, yang kemudian melahirkan entita perwakilan yang punya aspirasi yang harus didengar dan diakomodasi. Oleh karenanya kalau berangkat dari teori ini, maka perdebatan sesungguhnya permohonan ini bukan sekedar perdebatan bikameral kuat atau lemah, namun perdebatan eksistensi subjek-subjek terbentuknya negara dalam mengarungi sejarahnya masing-masing. Jadi kalau memang negara itu hadir untuk mengatur dan mengurus, maka tiga unsur atas subjek, yaitu wilayah, pemerintah, dan rakyat ini sesungguhnya memiliki kekuasaan yang masing-masing memiliki derajat yang sama pentingnya akan perjalanan negara. Jadi wajar ketika DPR menjadi pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang, wajar kemudian ketika presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, dan wajar pula kemudian jikalau DPD mengatakan bahwa republik ini tidak bisa menafikan eksistensi daerah-daerah di Indonesia sebagai aktor utama dalam mengatur dan mengurus negara ini. Universal memang wilayah melahirkan daerah yang kemudian syarat mutlak terbentuknya sebuah negara. Tidak mungkin ada NKRI kalau tidak ada Maluku, kalau tidak ada Papua, Kalimantan, Jawa, hingga Sulawesi. Oleh karenanya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah guna mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD, gubernur, bupati, dan walikota. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat, berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dari konstitusi ini memperlihatkan bagaimana wilayah atau daerah yang sesungguhnya memiliki organ-organ hidup yang memiliki kemandirian gerak, sehingga memang harus juga menjadi aktor utama yang tidak sekedar figuran dalam proses pengambilan kebijakan nasional. Pasal-pasal konstitusi inilah yang menjadi basis perjuangan bagi Dewan Perwakilan Daerah yang tentunya juga sangat beririsan dengan hak-hak rakyat. Sebagai catatan dalam sejarahnya di Indonesia, daerah memiliki peran historisnya sendiri guna membentuk NKRI, daerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proklamasi konstitusi pertama di Indonesia, sumpah pemuda. Esensinya selain pemuda dan rakyat, maka daerah-daerah wilayah sedang menyatukan diri dalam pactum unionis 6
bahwa kita akan membuat konstitusi bernama Indonesia, satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kesemua dasar inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa DPD sama proporsionalnya, sama kedudukannya meski kewenangannya kemudian berbeda, tapi derajat pentingnya sama dengan presiden dan DPR, ketika kita berbicara siapa yang berhak mengatur dan bagaimana mengurus negara ini secara tepat. Ketika subjek ini harus kumpul duduk bersama dengan kesetaraan kehormatan, tidak bisa dipostulatkan bahwa karena DPR juga punya wilayah, maka peran daerah sesungguhnya sudah terakomodasi dalam tugas dan wewenang DPR, seperti pendapat DPR, yang pasti kalau DPR adalah warisan dari subjek unsur rakyat sebagai syarat terbentuknya negara, maka basis perjuangan DPR adalah pasal-pasal konstitusi yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Siapa rakyat menurut konstitusi? Sesungguhnya adalah bisa disebut penduduk, orang, dan warga negara yang kesemuanya dijamin hak-hak konstitusionalnya seperti yang diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Inilah basis konstitusional perjuangan DPR yang berbeda dengan DPD pada konstruksi ke wilayahan dan daerah. Oleh karenanya, daerah tidak bisa di tempatkan sebagai figuran yang kemudian hanya DPR dan presiden saja yang menjadi aktor utama dalam kebijakan nasional ini. Wilayah atau daerah juga sesungguhnya berhak untuk menyatakan dirinya adalah aktor utama yang bukan untuk menggeser kekuasaan presiden dan/atau DPR, namun bersama-sama sebagai tiga unsur dasar negara untuk duduk bersama memikirkan kebijakan nasib negara ini dalam perjalanan kenegaraannya di masa datang. Dari uraian ini, wajar ketika DPD dikonstruksikan bahwa kata dapat dalam mengajukan RUU dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak semata dapat dalam arti semantik, tapi dimaknakan bahwa dapat mengajukan rancangan undang-undang adalah sebuah hak subjektif DPD sebagai representasi wilayah tentunya dengan muatan objektif, maka RUU DPD layak menjadi acuan utama atau didahulukan bagi presiden dan DPR dalam mengajukan usulan RUU yang sama. Bagaimanapun juga setelah perubahan konstitusi, pusat gravitasi, denyut nadi kenegaraan kita ternyata yang dulunya berada pada pusat, kini beralih pada daerah. Dengan dasar ini pula maka wajar ketika DPD mengatakan bahwa ikut membahas sebuah rancangan undang-undang, tidak hanya ikut berdasarkan kemurahan hati presiden dan DPR, tapi ikut membahas adalah sesungguhnya syarat formil sahnya sebuah rancangan undangundang itu menjadi undang-undang. Dengan kata lain, misalnya DPD tidak ikut membahas, maka produk undang-undang tanpa dihadiri tiga pihak ini bisa dinyatakan sebagai undang-undang yang cacat secara formil, batal secara keseluruhan meski syarat persetujuan itu sudah terpenuhi oleh presiden bersama DPR. Dan wajar tidaknya pula berdasarkan teori ini bahwa DPD bisa memberikan pertimbangan 7
terhadap sebuah rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh presiden dan DPR, maupun bakal yang disetujui oleh presiden dan DPR untuk kemudian harus menjadi fokus perhatian presiden dan DPR. Bahkan seandainya dalam hal ihwal penting atau genting menurut daerah yang sifatnya mendesak, maka DPD sesungguhnya bisa memberikan sifat memberikan pertimbangan yang sifatnya aktif, yaitu menghentikan sementara proses akhir persetujuan DPR dan presiden, misalnya diberikan jangka waktu maksimal 60 hari akan sebuah RUU … misalnya, APBN atau APBN perubahan, atau RUU terkait lainnya dengan catatan waktu misalnya paling lama 60 hari, maka persetujuan menjadi milik kembali berdua, presiden dan DPR. Hal ini pun masih memiliki basis teoretis konstitusional adanya, misalnya kasus RUU Pornografi atau kasus RUU APBN perubahan kemarin, ketika dan … ketika DPR dan presiden lewat tengah malam seolah meninggalkan daerah dalam membahas pasal kenaikan harga BBM, yang pasti pelakunya di daerah. Inilah yang bisa dikatakan bahwa peran secara proporsional itu penting bagi kehadiran DPR, presiden, dan DPD. Tidak harus sama kewenangan itu, tapi sama proporsionalnya, sama derajat kehormatannya karena sama derajat pentingnya dalam terbentuknya suatu negara. Tapi, sekali lagi bahwa permohonan ini kami baca, kami tafsirkan, bukan permohonan ingin mereduksi kewenangan DPR atau ingin mengurangi kewenangan presiden. Tapi permohonan ini sesungguhnya terbaca bahwa DPD ingin menjadi kawan bagi DPR dan ingin menjadi kawan bagi presiden dalam mengatur negara ini, agar negara ini bisa terurus secara tepat dalam rangka terakselerasinya pencapaian tujuan negara seperti termaktub dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945 kita. Sekian, assalamualaikum wr. wb. 22. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, silakan duduk. Sebelum saya tawarkan ke Majelis Hakim, apakah Pemohon atau Pemerintah, atau Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012 mau mendalami apa yang disampaikan oleh Saudara Ahli tadi? Dr. Irman Putra Sidin. Kita masih punya waktu kira-kira 15 menit kalau diperlukan untuk tanya jawab. Pemohon tidak ada, cukup ya? 23. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: WAHYUDI DJAFAR Saya, Yang Mulia. 24. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Ya, ini dari Pemohon (…)
8
25. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: WAHYUDI DJAFAR Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012. 26. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-X/2012, silakan. 27. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: WAHYUDI DJAFAR Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan mencoba membuat suatu komparasi tentang evolusi ketatanegaraan kita berbasis pada bagaimana proses (…) 28. KETUA: MOH. MAHFUD MD. tadi?
Sebentar dulu, sebentar dulu. Ini menanggapi yang keterangan
29. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: WAHYUDI DJAFAR Ya. 30. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, boleh. 31. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: WAHYUDI DJAFAR Saya mencoba membuat sebuah komparasi ketika dulu naskah asli Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di dalam pengambilan kebijakan negara atau lebih tepatnya dalam pengambilan kebijakan legislasi, itu ada dominasi atau pemusatan di tangan pemerintah atau di tangan presiden. Seperti tadi diutarakan oleh Saudara Ahli bahwa berangkat dari 3 unsur negara. Pemerintah, wilayah, dan kemudian juga rakyat. Di sana juga terlihat, ketika pemusatan ada di pemerintah, ada di presiden, ketika naskah asli Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itu memunculkan suatu tirani eksekutif yang kemudian berakibat pada distorsi atau kemudian pengurangan atas hak-hak rakyat maupun waktu itu hak-hak dari daerah itu sendiri, di mana kemudian … kemudian ada sentralisasi pada pemerintah. Yang terjadi kemudian, ketika amandemen konstitusi dan kemudian pemusatan itu ber … ber … berpindah dari yang semula ada di 9
presiden atau ada di pemerintah, dominasi berubah di legislasi. Yang kemudian kita melihat bagaimana tirani legislatif itu terjadi di dalam proses pembuatan kebijakan negara. Pemerintah seringkali tidak bisa memiliki cukup kapasitas untuk menjadi penyeimbang yang baik di dalam proses pengambilan kebijakan daerah apalagi DPD dalam situasi saat ini, kalau kita melihat konstitusi kita. Yang saya ingin dalami dari Saudara Ahli adalah bagaimana kemudian implikasi ketika saat ini tirani legislasi … tirani legislatif itu terjadi karena kemudian ada pemusatan di dalam proses pengambilan kebijakan negara yang ada di DPR? Sementara unsur yang lain, meskipun dia ada, tetapi antara ada dan tiada. Kalau bisa dikatakan seperti itu. Kita bisa melihat bagaimana di satu sisi kita punya kepentingan untuk memperkuat otonomi daerah. Tetapi di sisi lain kalau berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Ahli tadi, ternyata tidak ada keberimbangan di dalam pengambilan-pengambilan kebijakan negara di dalam proses legislasi antara 3 unsur negara itu tadi (DPR, presiden, dan juga DPD). Itu saja, Yang Mulia. Terima kasih. 32. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Ada lagi? Silakan, Pak Alex. 33. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: ALEXANDER LAY Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan saya kepada Saudara Ahli. Bagaimana pendapat Saudara Ahli dengan argument yang mengatakan bahwa anggota DPR pun di samping mewakili penduduk, juga mewakili wilayah karena mereka juga dicalonkan dari daerah-daerah atau dari wilayah-wilayah tersebut? Demikian, Yang Mulia. 34. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Ada? Silakan, Pak. 35. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: AAN EKO WIDIARTO Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin bertanya kepada Saudara Ahli. Tadi, Saudara menyatakan bahwa ketika undang-undang itu dibahas, tetapi tidak mengikutsertakan DPD. Maka, itu berarti bahwa syarat sahnya undang-undang itu bisa batal. Pertanyaannya adalah semenjak Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diubah, sudah banyak produk dari pemerintah dan DPR yang menyangkut undang-undang yang sebenarnya itu menjadi kewenangan DPD untuk ikut membahas. Status dari undang-undang ini seperti apa? Apakah ini menjadi tidak punya legitimasi karena melanggar Pasal 22D ayat (2)? Terima kasih. 10
36. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pemerintah mau tanya? 37. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup, Yang Mulia. 38. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup. Baik Saudara … ada dari Majelis Hakim? 39. PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012:KING FAISAL SULAIMAN Yang Mulia. 40. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pemohon dulu ya, Pemohon tambahan, Pemohon 104. 41. PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012:KING FAISAL SULAIMAN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan untuk Ahli juga, kalau melihat historical background soal … apa … perubahan ketatanegaraan pemisahan kelembagaan yang ada saat ini, DPD, DPR, dan eksekutif di satu sisi. Proses legislasi yang dijelaskan oleh Ahli tadi, apakah eksistensi DPD ini memang sejatinya formulasi kewenangan yang sudah … apa … didesain saat ini pascaamandemen itu, sejatinya demikian mengingat historical background-nya ini masih ada juga yang berpendapat bahwa DPD merupakan reinkarnasi dari utusan-utusan golongan dan sebagainya? Itu yang pertama. Kemudian poin yang kedua, Ahli mungkin berkaitan dengan ini di sisi lain konsistensi komitmen ketika terjadi amandemen itu dari suatu rangkaian tahap I, II, III, dan IV itu komitmen yang dibangun kesepakatan kolektif dari pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah penguatan sistem presidensial. Nah, bagaimana korelasi sampai kepada level itu? Terima kasih. 42. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, sekalian ditampung dari Hakim Hamdan Zoelva.
11
43. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ya, tadi apa yang sudah dijelaskan oleh Ahli yang berdasarkan pandangan pada teori. Saya ingin memperjelas apakah yang Saudara hendak katakan bahwa posisi DPD yang sekarang ini bertentangan dengan teori atau bertentangan dengan konstitusi kita? Karena kalau sekedar mencari basis teori terhadap suatu pendapat, semua ada teorinya. Ini yang saya ingin mendapatkan kejelasan dari Saudara bahwa apakah hanya sekedar tidak sesuai dengan teori atau memang dengan konstitusinya yang bertentangan? Kira-kira itu. Terima kasih. 44. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pak Hakim Akil. 45. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Ya, saya ingin pandangan Ahli terhadap Pasal 20 ayat (2) itu. Sebuah rancangan undang-undang ya dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, walaupun kemudian bahwa itu adalah sebuah pasal yang lahir setelah amandemen, tetapi sejatinya bahwa dari background histories pun kekuasaan legislasi itu ketika belum terjadi perubahan konstitusi itu dilaksanakan oleh DPR dan presiden. Nah, dalam konteks Pasal 20 ayat (2) itu dikaitkan dengan historis, dimana kewenangan DPD kemudian lahir ikut membahas, itu dalam konteks Pasal 20 ayat (2) itu apakah menurut Saudara Ahli itu setara (equal) atau tidak? Dalam pengertian makna dari Pasal 20 ayat (2). Karena itu ada pembahasan dan ada persetujuan bersama, kalau melihat itu maka yang namanya teori atau pendapat yang mengatakan ada dominasi salah satu lembaga itu atau katakanlah dominasi dari DPR untuk melakukan kekuatan yang lebih dalam mendikte salah satu lembaga negara dalam melakukan politik perundang-undangan tidak begitu tepat, kenapa? Karena sebuah undang-undang tidak akan lahir tanpa persetujuan bersama, kan begitu? Itu konstitusi. Nah, pandangan yang ingin saya tanya itu adalah bagaimana tafsir Saudara pada Pasal 20 ayat (2) dalam konteks DPD baik dari historis kewenangan ya, historis itu, background histories mengenai legislasi … kewenangan legislasi itu sebelum ada juga DPD, gitu? Itu saja. Terima kasih. 46. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Masih ada Hakim lain? Pak Hakim Fadlil Sumadi.
12
47. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Kalau tadi soal tafsir konstitusional yang diminta oleh Yang Mulia Hakim Akil Mochtar. Saya ingin agak lebih konkret begitu, sebab pasal yang diminta untuk ditafsirkan itu adalah pasal mengenai kewenangan konstitusional DPD yang rumusannya ikut membahas rancangan. Itu satu hal. Kemudian, di sini kan diajukan pengujian undang-undang terhadap pasal yang antara lain, sebenarnya secara substantif itu terarah pada Pasal 22D ayat (2) itu. Persoalan yang konkret yang ingin saya tanyakan, apakah secara konkret benar bahwa pembentukan Undang-Undang MD3 yang diajukan pengujian sejauh menyangkut kewenangan DPD itu ada yang sesungguhnya direduksi? Kalau direduksi memang salah satu di antara … apa namanya … cara yang pertama kali kita lakukan adalah mengelaborasi secara lebih luas soal pengertian ikut membahas dan seterusnya itu. Tapi kemudian kewenangan legislasi yang diberikan oleh Undang-Undang MD3 kepada DPD itu seberapa menyimpangnya? Seberapa reduksinya? Seluruhnya? Separuh? Kalau seluruhnya misalnya, ikut membahas itu kan proses, proses … ini membahas rancangan itu setelah jadi rancangan, yang lain juga ada kewenangan mengajukan rancangan, kan begitu, lalu membahas, membahas itu ada beberapa tingkat. Lalu yang terakhir yang ditanyakan oleh Yang Mulia Akil Mochtar tadi adalah soal persetujuan. Apakah memberikan persetujuan itu termasuk … ini konkret, pertanyaan saya konkret, termasuk pengertian ikut membahas? Terima kasih. 48. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Bu Maria, Hakim Maria Farida Indrati. 49. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya mau bertanya, kalau seandainya permohonan DPD ini dikabulkan atau Pemohon dikabulkan dua-duanya, kemudian kalau kita melihat dari segi hierarki peraturan, maka kita bisa melihat bahwa dalam hierarki peraturan perundang-undangan selalu dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu selalu lebih tinggi daripada Tap MPR dan undang-undang. Seandainya permohonan ini dikabulkan, maka suatu undang-undang akan dibentuk oleh DPR dan DPD dengan persetujuan bersama presiden. Saya akan melihat, apakah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lebih mudah dibuatnya karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu ditetapkan dan diubah oleh MPR yang anggotanya adalah anggota DPR dan anggota DPD. Jadi, hanya dua anggota lembaga negara itu atau oleh MPR, sementara undang-undang dibentuk oleh DPR, DPD, dan presiden? Itu saja.
13
50. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Masih ada? Cukup, ya. Pak Irman, Anda diberi tambahan waktu sampai jam 12.15 karena yang tanya banyak. Silakan. 51. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: IRMAN PUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia. Sebenarnya sidang ini saya sangat menghindarinya, Yang Mulia, karena saya dengar saya sendiri katanya yang jadi Ahli. Dan yang saya khawatirkan situasi ini seperti ujian disertasi saya nanti di sini. Jadi, saya memulai pertanyaan, Yang Mulia Hakim Konstitusi karena sesungguhnya pertanyaan yang memiliki legal standing itu Para Hakim Konstitusilah. Jadi kira-kira seperti ini, mungkin saya bisa merangkum dalam imajinasi saya tentang terbentuknya negara ini sampai kondisi kekinian saat ini. Jadi, di setiap konstitusi sebuah negara sebagai sebuah kesepakatan rakyat, tujuan dari setiap kesepakatan rakyat itu dia pasti memiliki tujuan di situ. Kenapa kita bernegara? Dia pasti memiliki tujuan. Di Indonesia tujuannya kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dan seterusnya. Kemudian guna mencapai tujuan itu, maka di setiap konstitusi disiapkan instrumen-instrumen pencapaian tujuan itu. Diciptakanlah lembaga negara namanya presiden, ada namanya DPR, ada namanya DPD, ada namanya otonomi daerah, ada namanya tentara, Polri, dan lain sebagainya. Semua instrumen ini adalah sesungguhnya titik fokusnya adalah pencapaian tujuan negara itu. Namun, pada kenyataannya juga bahwa di setiap instrumen-instrumen ini, setiap konstitusi itu punya penekanannya sendiri-sendiri. Bagaimana … instrumen mana yang kira-kira akan dijadikan titik gravitasi akselerasi pencapaian tujuan itu? Waktu proklamasi tahun 1945, imajinasi saya bahwa ketika mau terbentuknya NKRI itu, kesepakatan yang timbul di antara para pendiri bangsa ini mereka percaya bahwa kita letakkan satu titik tolak instrumen yang kira-kira bisa mengakselerasi Indonesia tercapainya segera tujuan negara itu. Titik tolak apa … manajemen bernegara itu kita serahkan kepada lembaga negara bernama presiden. Di presiden inilah nantinya akan bisa diharapkan, bisa mengakselerasi pencapaian tujuan negara, ini kira-kira yang terjadi dalam perdebatanperdebatan yang tak tertulis bagi para founding fathers di BPUPKI, makanya pusat gravitasi pengelolaan negara menurut UUD 1945, BPUPKI itu diserahkan kepada presiden. Makanya presiden selain dilekatkan kekuasaan untuk mengurus, dia juga dilekatkan kekuasaan untuk mengatur, cuma takut saja untuk diserahkan juga kekuasaan mengadili dan memutus karena itu sama dengan monarki, kalau mungkin dia menciptakan seperti itu. Tapi intinya seperti itu. Strategi pencapaian tujuan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang dulu adalah presiden dilekatkan pusat gravitasi kekuasaan itu. Tapi nampaknya dalam sejarahnya, perjalanan sejarahnya 14
40 tahun Indonesia merdeka sampai 50 tahun, nampaknya para pemilik bangsa ini mulai sadar bahwa strategi yang kita terapkan dulu menempatkan pusat instrumen pencapaian tujuan negara pada presiden itu nampaknya tidak efektif guna mengakselerasi pencapaian tujuan negara. Contohnya, nampaknya adalah ternyata yang maju adalah tempat di mana presiden berkedudukan, yang maju hanya Jakarta saja di situ. Mulailah gelisah daerah di sini, Kalimantan, Sulawesi, Papua gelisah dia. Enggak bisa begini terus, ini republik ini. Enggak bisa kita serahkan pada satu kekuasaan terus namanya presiden, dia yang mengurus, dia yang mengatur. Daerah mulai termemori tahun 1928, kita yang membentuk ini, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes. Kenapa kita menjadi seolah terpinggirkan? Isu reformasi, kemudian apa … mengangkat isu daerah ini yang sudah mulai gelisah untuk kemudian mengatakan bahwa enggak bisa begini lagi. Pusat gravitasi pengelolaan … pengelolaan negara ini kalau mau terakselerasi lebih cepat pencapaian tujuan negara, maka pusat gravitasi itu harus dikembalikan kepada daerah. Presiden tidak bisa lagi semena-mena dengan istilah teman tadi ada tirani otoritas, tidak bisa lagi seperti itu karena ternyata yang kita harapkan presiden bisa memerhatikan nasib daerah karena daerah tidak diperhatikan. Daerah kembali bangkit, kami yang mau menjadi aktor di sini. Tidak bisa lagi presiden dan DPR berdua saja di situ. Atas nama demokrasi, atas nama pemegang kekuasaan pemerintahan, pranata daerah-daerah menjadi seolah-olah tidak dipikirkan. Daerah berjuang, lahirlah Undang-Undang 1999 yang kemudian melahirkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B. Daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Daerah me … guna mengatur dan mengurus itu harus ada instrumennya, diciptakanlah gubernur, bupati, walikota langsung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dahulu tidak dikenal istilah itu dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahkan DPRD provinsi sebagai perwakilan rakyat juga dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan yang namanya peraturan daerah juga dimasukkan dalam UndangUndang Dasar 1945. Daerah menginginkan itu, tidak bisa lagi seperti ini. Pokoknya semua kewenangan adalah milik kami, kami otonomi seluas-luasnya. Kewenangan pusat adalah sisa dari yang kami inginkan, daerah menginginkan itu. Presiden dan DPR tidak bisa lagi berdua saja datang ke puncak mengurus undang-undang, besok tiba-tiba ia ketuk, enggak bisa. Kami akan ikut di mana pun presiden dan DPR itu pergi membahas rancangan undang-undang. Kalau dia ke Papua membahas rancangan undang-undang, kami akan ikut ke sana. Kalau dia ke Kalimantan, kami akan ikuti ke sana, tidak akan kami lepaskan di situ. Ndak bisa berdua ini saja. Kami ak … kami sudah cukup deh ditinggalkan selama ini, kami akan mengikuti proses legislasi guna mengatur dan apa … guna mengatur kebijakan negara ini. Inilah yang kemudian mungkin 15
ditafsirkan, dituliskan ikut membahas. Yang kemudian dalam posisi ikut membahas ini kemudian di … bagaimana posisi ikut membahas, apakah dia ikut membahas sekedar anak bawang atau sebagai aktor utama dalam hal menurut Pasal 22D RUU yang berkaitan dengan Pasal 22D kedudukan presiden, DPR, dan DPD memiliki porsi derajat yang sama. Satu tidak ada, maka cacat formil undang-undang itu, meski kemudian mereka bertemu di belakangan dengan persetujuan. Pada konteks inilah di sinilah sesungguhnya bahwa kekuatan ikut membahas itu adalah kekuatan yang sesungguhnya bisa menganulir persetujuan yang dilakukan oleh presiden dan DPR terhadap sebuah rancangan undang-undang. Presiden, DPR, DPD adalah dua pilar-pilar yang sama berdasarkan teori yang tadi saya sebutkan itu, tidak bisa dihilangkan satu sama lain. Ikut membahas antara presiden, DPR, dan DPD ini memiliki porsi yang sama. Perjuangan daerah nampaknya memang kehilangan stamina ketika daerah mengatakan bahwa pada saat persetujuan nanti kami pun mau ikut bersama nanti di situ, nampaknya daerah kehilangan stamina sehingga tidak muncullah DPD ketika ketuk palu persetujuan itu. Inilah mungkin realitas politik yang menyebabkan bahwa DPD tidak bisa berbuat apa dalam forum formal persetujuan, tetapi sesungguhnya ikut membahas itu sudah mengunci kata persetujuan itu. Bahwa meski kemudian presiden dan DPR belakangan melakukan persetujuan, namun jikalau ikut membahas itu tidak dilibatkan DPD, maka undang-undang itu tidak memenuhi syarat konstitusional. Di sektor lain DPD daerah pun sebenarnya menginginkan bahwa selain ikut membahas kami juga bisa memberikan pertimbanganpertimbangan, baik aktif maupun pasif, bahkan mungkin kalau pun kami tidak bisa melakukan persetujuan, bahkan mungkin suatu saat ada RUU yang mau disetujui oleh presiden dan DPR di tengah malam yang seolaholah menganggap bahwa daerah sedang tidur semua. Maka daerah sesungguhnya bisa mengeluarkan pertimbangan secara aktif. Bahwa hentikan itu rapat persetujuan malam-malam itu, daerah belum siap menerima itu. Saya membayangkan ini bisa disebut sebagai sebuah pertimbangan aktif yang bisa mensuspensi proses persetujuan itu, walaupun mungkin pada daluarsa tertentu misalnya 30 hari setelah atau 60 hari setelah pertimbangan itu, maka hak persetujuan itu kembali menjadi milik eksklusif presiden dan DPR. Karena bagaimanapun tidak bisa juga dibenarkan ada lembaga yang memboikot proses persetujuan DPR dan DPD yang kemudian membuat apa ... proses itu menjadi terkunci tanpa bisa dibuka kembali. Nah, ini yang kemudian menjadi apa ... menjadi alasan bahwa eksistensi daerah ketika memberikan pertimbangan tentunya tidaklah seperti yang dibayangkan dengan pertimbangan seorang konsultan kepada perusahaan yang mau dipakai atau tidak mau dipakai terserah, ya mungkin kenyataannya seperti itu.
16
Saya membayangkan bahwa saya pun hadir di Mahkamah Konstitusi ini memberikan pendapat adalah sesungguhnya pertimbangan, tapi disetiap Putusan Mahkamah Konstitusi meski dia tidak setuju pendapat saya tetapi ada nama saya ditulis disitu, telah memberikan pertimbangan di situ. Tapi kenyataannya DPD memberikan pertimbangan dalam presiden dan DPR bisa jadi tidak ada namanya ditulis dalam RUU itu. Coba lihat Putusan MK ketika saya memberikan keterangan, pasti ada nama saya di dalam putusan itu, sejarah tidak akan pernah menghilangkan nama saya di situ, meski kemudian Para Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi tidak setuju dengan pendapat saya. Inilah yang saya pikirkan bahwa DPD ke depan ketika dia memberi pertimbangan terhadap sebuah RUU harus tetap dimasukkan dalam undang-undang yang dibuat oleh presiden dan DPR. Di sini lah kita bisa melakukan resakayasa … rekayasa konstitusional bahwa memang daerah itu adalah aktor yang tidak bisa dinafikkan karena bisa jadi daerah juga suatu saat lelah untuk kemudian mengatakan, “Sudahlah kita ber-Indonesia, kita bubar saja nanti suatu saat.” Nah, kira-kira seperti itu. Jadi, Yang Mulia apakah posisi DPD saat ini bertentangan sama konstitusi apa tidak, saya selalu menghindari, Yang Mulia, untuk mengatakan suatu persoalan itu bertentangan sama konstitusi. Tapi yang setiap saya muncul memberikan keterangan Ahli saya hanya berusaha memberikan inspirasi kepada Yang Mulia bahwa mungkin ini bisa Yang Mulia apa ... dapatkan inspirasi bahwa ini bertentangan atau tidak, karena kewenangan bertentangan itu ada pada kewenangan Yang Mulia. Mungkin kalau di luar sana, di luar forum Mahkamah Konstitusi itu saya punya energi yang kuat dan percaya diri untuk mengatakan bertentangan, tapi kalau dalam ruangan ini nampaknya saya tidak punya energi yang kuat untuk mengatakan itu bertentangan dengan konstitusi. Tentang Yang Mulia Ibu Maria Farida bahwa Undang-Undang Dasar 1945 saya kira bukan soal banyak atau tidaknya sebuah lembaga negara itu membuatnya, di situ. Sama dengan perdebatan, mungkin, kalau perdebatan itu dibawa bahwa Undang-Undang Dasar 1945 cukup dibuat oleh satu lembaga, Undang-Undang Dasar 1945 apa ... undangundang dibuat oleh 3 lembaga mungkin analog dengan perdebatan yang DPR suka protes, undang-undang yang dibuat 500 anggota DPR plus presiden dibatalkan oleh cukup 5 orang Hakim Konstitusi. Saya kira bukan … saya kira … Yang Mulia, mohon maaf, perdebatannya adalah bukan dibanyak atau tidaknya lembaga, tapi tergantung pada pilihan kebijakan kita mengambil keputusan dalam mengelola negara ini. Bahwa teori yang saya sebutkan tadi bahwa memang tiga unsur di situ, daerah wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang memiliki kedudukan yang setara tentang itu. Apakah anggota DPR juga memperjuangkan wilayah seperti tadi disebutkan, tadi saya sudah jelaskan bahwa basis teoretis keberadaan eksistensi DPR ini adalah rakyat, dimana rakyat punya sejarahnya sendiri yaitu perjuangan hak-haknya, sehingga anggota DPR itu sebenarnya titik 17
berangkatnya atau DPR titik berangkatnya dari Pasal 26 sampai Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam memperjuangkan kewenangannya. Sementara DPD itu berangkat dari Pasal 1 dan Pasal 18A, 18B, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di situ perbedaan karakter antara DPR dan DPD dalam menjalankan fungsi-fungsi legislasinya. Terakhir bahwa sesungguhnya tidak ada tirani legislasi selama ini, yang ada adalah tirani oligarki politik yang kemudian menggunakan jubah pranata-pranata konstitusional yang seolah-olah … DPR menjadi seolah-olah tokoh antagonis dalam proses ketatanegaraan kita. Tapi yang terjadi sesungguhnya adalah DPR sedang dibajak oleh kekuatan oligarki politik dan itulah mungkin letak persoalannya di situ. Nah, saya kira DPD, sekali lagi, hadir untuk mungkin bisa menjadi … apa … tempat untuk menetralisir semua kontraksi-kontraksi politik yang terjadi di antara presiden dan DPR. Saya kira untuk sementara itu, Yang Mulia. Sekian, assalamualaikum wr. wb. 52. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Saudara. Sidang berikutnya akan ditawarkan kepada forum, Pemohon, maupun Termohon 104, apakah Anda sudah merasa cukup menyampaikan semua dalil-dalil yang diharapkan diterima oleh Majelis, sehingga sidang ini bisa diakhiri sampai hari ini. Selanjutnya Majelis akan melakukan sidang-sidang tertutup pada vonis ataukah Anda menginginkan sidang dibuka lagi? 53. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Yang Mulia, Yang Mulia, kami mohon Yang Mulia, diberikan waktu sekali lagi untuk menghadirkan ahli yang hari ini belum sempat ditampilkan. 54. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. 55. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 92/PUU-X/2012: TODUNG MULYA LUBIS Terima kasih. 56. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Pemohon 104?
18
57. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 104/PUU-X/2012: VERI JUNAIDI Ya, Yang Mulia. Pemohon 104 belum sempat menghadirkan ahli, jadi kami memohonkan dibuka satu kali sidang menghadirkan ahli. 58. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Baik, oleh karena sidang-sidang amat padat dan diharapkan ini akan menjadi sidang yang terakhir. Sidang akan dibuka kembali pada hari Rabu, tanggal 19 Desember tahun 2012 dan sebelum itu dimohon agar ahli-ahli atau saksi yang akan dihadirkan di persidangan supaya disampaikan kepada … kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan, pun kalau ada keterangan tertulis ad informandum seperti dikatakan oleh Pak Todung Mulya Lubis tadi, bisa disampaikan juga pada selambatlambatnya hari itu. Sehingga nanti bisa diambil putusan dalam waktu yang cukup. Dengan demikian sidang hari ini ditutup dan akan dibuka kembali Rabu 19 Desember 2012, pukul 11.00. Sidang hari ini ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.20 WIB Jakarta, 22 November 2012 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
19