Volume 8
• No. 4 • October - December 2014
ISSN 1978 - 3744
Published every 3 month
Trust Board : Board of Direction :
President : Finance : Secretary : Artistic : Production Manager : Chief Editor : Editor-in-Chief : Editor :
Editorial Coordinator : Peer-Reviewer :
Vice President of “Dharmais” Cancer Hospital HRD and Education Director Medical and Treatment Director General and Operational Director Finance Director Dr. dr. M. Soemanadi, Sp.OG dr. Sariasih Arumdati, MARS dr. Kardinah, Sp. Rad dr. Edy Soeratman, Sp.P dr. Zakifman Jack, Sp.PD, KHOM dr. Nasdaldy, Sp.OG dr. Chairil Anwar, Sp.An (Anesthesiologist) dr. Bambang Dwipoyono, Sp.OG (Gynecologist) 1. Dr. dr. Fielda Djuita, Sp.Rad (K) Onk Rad (Radiation Oncologist) 2. dr. Kardinah, Sp. Rad (Diagnostic Radiology) 3. Dr. dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD, KHOM (Medical Oncologist) 4. dr. Ajoedi, Sp.B, KBD (Digestive Surgery) 5. dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A, MHA (Pediatric Oncologist) dr. Edy Soeratman, Sp.P (Pulmonologist) 1. Prof. dr. Sjamsu Hidajat,SpB KBD 2. Prof. dr. Errol Untung Hutagalung, SpB , SpOT 3. Prof. dr. Siti Boedina Kresno, SpPK (K) 4. Prof. Dr. dr. Andrijono, SpOG (K) 5. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK 6. Prof. dr. Djajadiman Gatot, SpA (K) 7. Prof. dr. Sofia Mubarika Haryana, M.Med.Sc, Ph.D 8. Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed., Apt 9. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH 10. Prof. dr. Rainy Umbas, SpU (K), PhD 11. Prof. Dr. Endang Hanani, M.Si 12. Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, SpS (K), M.S 13. Prof. Dr. dr. Nasrin Kodim, MPH 14. Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, SpF (K) 15. Dr. dr. Aru Sudoyo, SpPD KHOM 16. dr. Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K) 17. Dr. dr. Sutoto, M.Kes 18. dr. Nuryati Chairani Siregar, MS, Ph.D, SpPA (K) 19. dr. Triono Soendoro, PhD 20. Dr. dr. Dimyati Achmad, SpB Onk (K) 21. Dr. dr. Noorwati S, SpPD KHOM 22. Dr. dr. Jacub Pandelaki, SpRad (K) 23. Dr. dr. Sri Sukmaniah, M.Sc, SpGK 24. Dr. dr. Slamet Iman Santoso, SpKJ, MARS 25. Dr. dr. Fielda Djuita, SpRad (K) Onk Rad 26. Dr. Monty P. Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, DCH 27. dr. Ario Djatmiko, SpB Onk (K), 28. dr. Siti Annisa Nuhoni, SpRM (K) 29. dr. Marlinda A. Yudharto, SpTHT-KL (K) 30. dr. Joedo Prihartono, MPH 31. Dr. Bens Pardamean
Accredited No.: 422/AU/P2MI-LIPI/04/2012 Secretariat:
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” (Pusat Kanker Nasional) Ruang Indonesian Journal of Cancer Gedung Litbang Lt. 3 Jl. Letjen S. Parman Kav. 84-86, Slipi, Jakarta 11420 Tel. (021)5681570 (ext. 2372) Fax. (021)56958965 E-mail:
[email protected] Website: www.indonesianjournalofcancer.org
Published by:
Pedoman bagi Penulis Ruang Lingkup
Majalah ilmiah Indonesian Journal of Cancer memuat publikasi naskah ilmiah yang dapat memenuhi tujuan penerbitan jurnal ini, yaitu menyebarkan teori, konsep, konsensus, petunjuk praktis untuk praktek sehari-hari, serta kemajuan di bidang onkologi kepada dokter yang berkecimpung di bidang onkologi di seluruh Indonesia. Tulisan hekdaknya memberi informasi baru, menarik minat dan dapat memperluas wawasan praktisi onkologi, serta member alternatif pemecahan masalah, diagnosis, terapi, dan pencegahan.
2. Organisasi sebagai pengarang utama Direktorat Jenderal PPm & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan malaria. Medika 1993; 34-23-8. 3. Tanpa nama pengarang Imaging of sinusitis [editorial]. Ped Infect J 1999; 18:1019-20. 4. Suplemen Solomkim JS, Hemsel DL, Sweet R, dkk. Evaluation of new infective drugs for the treatment of intrabdominal infections. Clin Infect Dis 1992, 15 Suppl 1:S33-42. Buku dan Monograf
Bentuk Naskah
Naskah disusun menggunakan bahasa Indoensia, diketik spasi ganda dengan garis tepi minimum 2,5 cm. Panjang naskah tidak melebihi 10 halaman yang dicetak pada kertas A4 (21 x 30 cm). Kirimkan 2 (dua) kopi naskah beserta CD-nya atau melalui e-mail. Naskah dikirim ke: RS. Kanker Dharmais, Ruang Instalasi Gizi, Lt. 1 Jl. S. Parman Kav. 84-86, Slipi, Jakarta 11420 Telp.: 021 581570-71 Ext. 2115 atau 021 5695 8965 Fax.: 021 5695 8965 E-mail:
[email protected]
Judul dan Nama Pengarang
Judul ditulis lengkap dan jelas, tanpa singkatan. Nama pengarang (atau pengarang-pengarang) ditulis lengkap disertai gelar akdemiknya, institusi tempat pengarang bekerja, dan alamat pengarang serta nomor telepon, faksimili, atau e-mail untuk memudahkan korespondensi.
Abstrak
Naskah tinjauan pustaka dan artikel asli hendaknya disertai abstrak berbahasa Indonesia dan Inggris, ditulis pada halaman pertama di bawah nama dan institusi. Panjang abstrak 100-150 kata untuk naskah panjang atau 50-100 kata untuk naskah pendek.
Tabel dan Gambar
Tabel harus singkat dan jelas. Judul table hendaknya ditulis di atasnya dan catatan di bawahnya. Jelaskan semua singkatan yang dipergunakan. Gambar hendaknya jelas dan lebih disukai bila telah siap untuk dicetak. Judul gambar ditulis di bawahnya. Asal rujukan table atau gambar dituliskan di bawahnya. Tabel dan gambar hendaknya dibuat dengan program Power Point, Free Hand, atau Photoshop, (menggunakan format jpeg).
Daftar Pustaka
Rujukan di dalam nas (teks) harus disusun menurut angka sesuai dengan urutan pemanpilannya di dalam nas, dan ditulis menurut sistem Vancouver. Untuk singkatan nama majalah ikutilah List of Journal Indexed in Index Medicus. Tuliskan sebua nama pengarang bila kurang dari tujuh. Bila tujuh atau lebih, tuliskan hanya 3 pengarang pertama dan tambahkan dkk. Tuliskan judul artikel dan halaman awal-akhir. Akurasi data dan kepustakaan menjadi tanggung jawab pengarang. Jurnal
1. Naskah dalam majalah/jurnal Gracey M. The contaminated small-bowel syndrome: pathogenesis, diagnosis, and treatment. Am J Clin Nutr 1979; 32:234-43.
ii
1. Penulis pribadi Banister BA, Begg NT, Gillespie SH. Infectious Disease. Edisi pertama. Oxford: Blackwell Science; 1996. 2. Penulis sebagai penyunting Galvani DW, Cawley JC, Penyunting. Cytokine therapy. New York: Press Syndicate of University of Cambridge; 1992. 3. Organisasi sebagai penulis dan penerbit World Bank. World development report 1993; investing in health. New York: World Bank; 1993. 4. Bab dalam buku Loveday C. Virogoly of AIDS. Dalam: Mindel A, Miller R, penyunting. AIDS, a pocket book of diagnosis and management. Edisi kedua. London: Arnold Holder Headline Group; 1996. H. 19-41. 5. Attention: konferensi Kimura j, Shibasaki H, penyunting. Recent advanced in clinical neurophysiology. Presiding dari the 10th International 15-19 Oktober 1995. 6. Naskah konferensi Begston S, Solheim BG, Enforcement of data protection, privacy and security in medical informatics. Dalam : Lun KC, Degoultet P, Piemme TE, Reinhoff o, penyunting MEDINFO 92. Presiding the 7th World Congress on Medical Informatics: Sep 6-10, 1992; Genewa, Swiss. Amsterdam: North Holland; 1993. H. 1561-5. 7. Laporan ilmiah Akutsu T. Total heart replacement device. Bethesda: National Institute of Health, Nation Heart and Lung Institute; 1974 Apr. Report No: NHH-NHL1-69-2185-4. 8. Disertasi Suyitno RH. Pengamatan vaksinasi dalam hubungannya dengan berbagai tingkat gizi [disertasi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1983. Publikasi lain
1. Naskah dalam Koran Bellamy C. Gizi bayi adalah investasi masa depan. Kompas 26 Januari 2000; hal 8 kolom 7-8. 2. Naskah dari audiovisual AIDS epidemic: the physician’s role [rekaman video]. Cleveland: Academy of Medicine of Cleveland, 1987. 3. Naskah belum dipublikasi (sedang dicetak) Connellv KK. Febrile neutrDpenia. J Infect Dis. In press. 4. Naskah Jurnal dalam bentuk elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] Jan-Mar 1995 [cited 5 Jan 1996] 1910: [24 screen]. Didapat dari URL: http\\www.cdc. gov/ncidod/EID/eid.htm. 5. Monograf dalam format elektronik CDI. LliniGiil dermatology illustrated [monograph pada enROM]. Reeves JRT, Maibach H, CMEAMultimedia Lnnip, produser, edisi ke-2. Versi 2.0. San Diego: CMEA; 1995. 6. Naskah dari file computer Hemodynamics III: the ups and down of hemodynamics [program computer]. Versi 2.2. Orlando (F-L); Computerized Educational System; 1993.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
Volume 8
• No. 4 • October - December 2014
Published every 3 month
Daftar Isi 145 � 151 Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy (RESTI MULYA SARI, DODY RANUHARDY, SOEMANADI) 153 � 160 Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi Pada Karsinoma Sel Skuamosa Serviks (CUT ADEYA ADELLA, ANDRIJONO, BAMBANG SUTRISNA) 161 � 167 Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker dan Karsinoma Sel Skuamosa Serviks (WITA SARASWATI, HERU SANTOSO, ENDANG RETNOWATI K, FAROEK HOESIN, I KETUT SUDIANA) 169 � 172 Batasan Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Kanker Prostat untuk Memprediksi Metastasis ke Tulang di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta (AHMAD SULAIMAN LUBIS, DANARTO) 173 � 177 Pati Resistan serta Perannya dalam Penghambatan Proliferasi dan Induksi Apoptosis Sel Kanker Kolon (ENDANG YULI PURWANI, M.T. SUHARTONO) 179 � 184 Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor (AZIZA G. ICKSAN, MIRA FITRININGSIH)
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
iii
DAFTAR ABSTRAK
Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy RESTI MULYA SARI1, DODY RANUHARDY1, SOEMANADI2 1 Staf Medik Fungsional Hematologi Onkologi Medik, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, Indonesia 3 Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT Ovarian cancer was the leading cause of death in gynecologic cancer which had the two years recurrence rate of 50%. We used retrospective cohort design with survival analysis technique to examine the role of post-surgery residual tumor size, cancer cell histological subtype and cancer cell grading on epithelial ovarian cancer recurrence. We also want to know the prevalence of HER-2 (Human Epidermal Receptor-2) overexpression in epithelial ovarian cancer patients. Sixty-five epithelial ovarian cancer patient (1998-2012) who had achieved remission were observed for 24 months. We reported median age of 50 years with recurrence rate of 36.9% and mean time of first recurrence was 19.15 months. Size of post-surgery residual tumor more than 1 cm increase Hazard Ratio (HR) of two years recurrence of epithelial ovarian cancer with p value 0.02 and HR of 3.31 (95% CI 1.46-7.49) but papillary serous histology subtype and poor differentiated cancer cell grading did not influence the recurrence. One of 38 patients showed cytoplasmic staining in HER2 overexpression examination by immunohistochemistry methods. Conclusion: Size of post-surgery residual tumor more than 1 cm increase Hazard Ratio of two years recurrence of epithelial ovarian cancer while papillary serous histology subtype and poor differentiated cancer cell grading did not influence the recurrence. One sample showed cytoplasmic staining on HER-2 overexpression examination. Keyword: epithelial ovarian cancer, recurrence
ABSTRAK Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok kanker ginekologik, dengan angka kekambuhan dua tahun sebesar 50%. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan teknik analisis kesintasan yang bertujuan melihat peran faktor ukuran residu tumor post-operasi, jenis subtipe sel kanker, dan tingkat diferensiasi sel kanker terhadap kekambuhan dua tahun pasien kanker ovarium epitelial. Penelitian ini juga ingin melihat besarnya prevalensi overekspresi Human Epidermal Receptor-2 (HER-2) pada pasien kanker ovarium epitelial. Sebanyak 65 pasien kanker ovarium epitelial (tahun 1998-2012) yang telah remisi diamati selama 24 bulan. Terlihat bahwa median usia pasien 50 tahun dengan proporsi kekambuhan sebesar 36,9% dengan mean waktu kekambuhan
iv
pertama 19,15 bulan. Ukuran residu tumor post-operasi lebih dari 1 cm meningkatkan rasio hazard kekambuhan dua tahun kanker ovarium epitelial dengan nilai p: 0,02 dan HR 3,31 (IK95% 1,46-7,49). Sementara, jenis subtipe histologi papillary serosa dan tingkat diferensiasi buruk sel kanker tidak berhubungan dengan terjadinya kekambuhan. Pada pemeriksaan overekspresi HER-2 menggunakan teknik imunohistokimia dilaporkan satu dari 38 pasien memperlihatkan adanya cytoplasmic staining. Disimpulkan bahwa ukuran residu tumor post-operasi yang berukuran lebih dari 1 cm meningkatkan rasio hazard kekambuhan dua tahun pasien kanker ovarium epitelial, sementara jenis subtipe histologi papillary serous dan tingkat diferensiasi buruk sel kanker tidak berhubungan dengan terjadinya kekambuhan. Pada pemeriksaan overekspresi HER-2 menggunakan teknik imunohistokimia, dilaporkan satu sampel memperlihatkan adanya cytoplasmic staining. Kata Kunci: kanker ovarium epitelial, kekambuhan
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi Pada Karsinoma Sel Skuamosa Serviks CUT ADEYA ADELLA1, ANDRIJONO1, BAMBANG SUTRISNA2 1 Divisi Onkologi Ginekologi Departemen Obsgin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /RSCM, Jakarta
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
2
ABSTRACT The importance of human papilloma virus (HPV) infection in the outcome of cervical cancer after radiotherapy remains unknown. Our study explored whether the HPV status of tumors is associated with the outcome of radiotherapy in patients with cervical cancer. The biopsy cervix samples taken from 31 patients with squamous cell carcinoma cervix (Stage IIB-IIIB) that met in the inclusion criteria. The HPV were genotyping examination was conducted twice before and 3 month after radiation therapy. The subjects treated by radiation therapy according to standard procedures. After undergone complete radiation, response of radiation therapy was conducted by clinical assessment and repeat HPV genotyping test. A total of 31 patients had HPV-positive tumors in 83.37% (27 cases) of patients, with the details of a single infection of 75% and 9:37% multiple infections. Based on the type of HPV type 16 was obtained (43.74%), type 18 (18.64%). Persistent infection with HPV after radiation encountered by 34.61%. Complete clinical response observed in the single infection group number of 100%, while in the group of multiple infections by 33.3% (p = 0.115). While HPV infection settled with a complete clinical response by 32% (p = 0.346).
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
There were no statistically relationships between clinical complete response with single or multiple HPV infection (p = 0.115). There were no statistically relationship between persistent HPV infection with complete clinical response. (p = 0.346)
Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker dan Karsinoma Sel Skuamosa Serviks
Keyword: Cervical cancer, Genotyping HPV DNA, persistent infection, clinical response
WITA SARASWATI1, HERU SANTOSO1, ENDANG RETNOWATI K2, FAROEK HOESIN3, I KETUT SUDIANA4
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe DNA HPV dengan terjadinya infeksi HPV menetap dan hubungan antara infeksi HPV dengan respons klinis terapi radiasi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah infeksi HPV menetap merupakan faktor prognosis respons klinis radiasi penderita karsinoma sel skuamosa serviks. Sebanyak 31 penderita kanker serviks stadium IIB-IIIB dengan hasil histopatologi karsinoma sel skuamosa sesuai dengan kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan genotipe HPV DNA yang berasal dari biopsi serviks. Sampel penelitian ditata laksana dengan terapi radiasi sesuai prosedur standar. Tiga bulan setelah dinyatakan selesai radiasi, dilakukan penilaian terhadap respons klinis radiasi dan pemeriksaan genotipe DNA HPV ulang. Dari 31 sampel penelitian didapatkan infeksi HPV sebelum radiasi sebanyak 27 sampel (83,37%) dengan rincian infeksi tunggal 75% dan multipel 9,37%. Berdasarkan tipe HPV, diperoleh tipe 16 (43,74%) dan tipe 18 (18,64%). Infeksi menetap HPV setelah radiasi ditemukan sebesar 34,61%. Respons klinis komplit ditemukan pada kelompok infeksi tunggal sebanyak 100%, sedangkan pada kelompok infeksi multipel 33,3% (p=0,115). Sedangkan infeksi HPV menetap dengan respons klinis komplit sebesar 32% (p=0,346). Disimpulkan bahwa tipe HPV DNA yang terbanyak dijumpai pada penderita karsinoma sel skuamosa serviks adalah tipe 16, yaitu 45,16%. Infeksi HPV menetap setelah radiasi ditemukan sebanyak 34,61%. Infeksi multipel lebih banyak mengalami infeksi HPV menetap dibandingkan infeksi tunggal. Tidak terdapat perbedaan respons klinis antara infeksi tunggal dengan infeksi multipel HPV (p=0,115). Infeksi menetap HPV tidak berhubungan dengan respons terapi (p=0,346). Kata Kunci: Kanker serviks, tipe DNA HPV, infeksi HPV menetap, respons terapi.
Departemen/SMF Obsteri dan Ginekologi Divisi Onkologi Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 2 Departemen/SMF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 3 Departemen/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 4 Unit Mikroskopi Elektron dan Lab Medis Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 1
ABSTRACT This research was performed to investigate the profile of Natural Killer (NK) cells in peripheral blood and tumor tissues of cervical pre cancerous lesion and squamous cell carcinoma of cervix patients. This research was an observational analysis study with crosssectional design of 47 subjects which comprises of 17 cervical pre cancerous lesion patients, 8 early stage squamous cell carcinoma of cervix patients and 22 late stage squamous cell carcinoma of cervix patients in Dr. Soetomo Hospital-Airlangga University teaching hospital, Surabaya. After clinical and histopatologic diagnosis was established, NK cell count was perfomed on the biopsies, and both NK cell count and percentage of activated NK cells was performed on the peripheral blood of those three groups. From this research, it was found that the average number and percentage of activated NK cells within peripheral blood of cervical pre cancerous lesion patients were lower (349.65 cell/µL; 15.13%) compared with early stage carcinoma (552 cell/µL; 18,40%) and late stage carcinoma (590.32 sel/µL; 23.29%). NK cell expression of cervical tumor tissues on three groups are very low, 0.29% on cervical pre cancerous lesion patients; 0.45% on early stage cervical cancer patients; and 0.04% on late stage cervical cancer patients. Significant differences was found in the number of NK cells (p=0.016) and percentage of activated NK cells (p=0.041) within peripheral blood between pre cancerous lesion patients and late stage squamous cell cervical cancer patients, no significant difference was found in the number of NK cells within tumor tissue (p=0.278). Keyword: NK cell, pre cancerous lesion of the cervix, early stage squamous cell carcinoma of cervix, late stage squamous cell carcinoma of cervix
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
v
DAFTAR ABSTRAK
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil sel Natural Killer (NK) dalam darah perifer dan jaringan tumor pada penderita lesi prakanker dan karsinoma sel skuamosa serviks. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan rancangan cross-sectional terhadap 47 subjek yang terdiri atas 17 penderita lesi prakanker serviks, 8 penderita karsinoma sel skuamosa serviks baik stadium awal, dan 22 penderita karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Setelah diagnosis klinik dan histopatologik ditegakkan maka terhadap ketiga kelompok tersebut dilakukan pemeriksaan jumlah sel NK dan prosentase sel NK teraktivasi dari darah tepi serta pemeriksaan jumlah sel NK dari biopsi jaringan tumor. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah dan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer penderita lesi prakanker serviks lebih rendah (349,65 sel/µL; 15,13%) dibandingkan dengan penderita karsinoma stadium awal (552 sel/µL; 18,40%) dan penderita karsinoma stadium lanjut (590,32 sel/µL; 23,29%). Ekspresi sel NK pada jaringan tumor serviks pada ketiga kelompok sangat rendah, yaitu 0,29% pada penderita lesi prakanker serviks; 0,45% pada penderita kanker serviks stadium awal; dan 0,04% pada penderita kanker serviks stadium lanjut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna jumlah sel NK (p=0,016) dan sel NK teraktivasi (p=0,041) dalam darah perifer antara penderita lesi prakanker dan karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut. Namun, tidak demikian halnya dengan infiltrasi sel NK dalam jaringan tumor (p=0,278). Kata Kunci: Sel NK, lesi prakanker serviks, karsinoma sel skuamosa serviks stadium awal, karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut
Batasan Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Kanker Prostat untuk Memprediksi Metastasis ke Tulang di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta
and had their PSA concentration measured. The proper cut-off value was established based on statistical analysis in order to predict the possibility of bone metastasis among them. Results: eighty-three consecutive patients with prostate cancer were enrolled, and 55 patients (66%) with bone metastasis confirmed by scintigraphic findings. A serum PSA concentration of 17.65 ng/ml gave the best sensitivity (78.33%) and specificity (65.21%). The PPV and NPV were 85.45% and 53.57%, respectively (p<0.05) Conclusion: a cut-off value of 17.65 ng/ml appears to be an appropriate benchmark for stratifying metastatic bone disease in prostate cancer patientssuch that if a patient with newly diagnosed prostate cancer and without any skeletal symptoms has a serum PSA concentration of less than 17.65 ng/ml,we suggest that they would not need to undergo bone scintigraphy. Keyword: Prostate Cancer,Prostate Specific Antigen, Bone scintigraphy
ABSTRAK Tujuan penelitian adalah menentukan batasan nilai PSA untuk memprediksi adanya metastasis tulang pada pasien kanker prostat. Pasien dengan kanker prostat, telah melakukan pemeriksaan sidik tulang, dan terdapat nilai PSA awal dianalisis secara retrospektif. Batasan nilai yang sesuai kemudian ditetapkan berdasarkan kemungkinan adanya metastasis tulang pada pasien kanker prostat. Pada penelitian ini, terdapat 83 pasien kanker prostat yang ikut dalam penelitian dan 55 pasien (66%) dengan metastasis tulang yang dikonfirmasi dengan sidik tulang. Nilai serum PSA 17,65 ng/ml memiliki sensitivitas (78,3%) dan spesifisitas (65,21%) terbaik. Nilai PPV dan NPV adalah 85,45% dan 53,57% (p<0,05). Kesimpulannya, nilai PSA 17,65 ng/ml tampaknya merupakan patokan yang sesuai untuk stratifikasi metastasis tulang pada pasien kanker prostat sehingga jika terdapat pasien baru didiagnosis kanker prostat tanpa gejala nyeri tulang, sebaiknya tidak dilakukan pemeriksaan sidik tulang. Kata Kunci: Kanker prostat, prostate Specific Antigen, sidik tulang
AHMAD SULAIMAN LUBIS1, DANARTO2 1 Residen Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Sardjito, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2 Divisi Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Sardjito, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT The object of this study to establish a serum PSA cut-off value to predict the presence of bone metastasis in prostate cancer. Methods: Consecutive patients diagnosedwith prostate cancer were retrospectively analyzed. Patients had received bone scintigraphy
vi
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
Pati Resistan serta Perannya dalam Penghambatan Proliferasi dan Induksi Apoptosis Sel Kanker Kolon ENDANG YULI PURWANI1 DAN M.T. SUHARTONO2 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian 2 Departmen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT Resistant starch (RS) is starch fraction which is not digested by human starch degrading enzyme, and it will thus undergo bacterial fermentation in the colon. The main fermentation products are Short Chain Fatty Acid (SCFA): acetate, propionate and butyrate. The Fermentation products were able to inhibit the proliferation and to induce apoptosis of colon cancer cell. The apoptosis occured through mitochondrial pathway by changing the expression of pro-apoptosis related gene of Bax toward antiapoptosis related gene of Bcl-2. Keyword: resistant starch, fermentation, short chain fatty acid, colon cancer
ABSTRAK Pati resistan (Resistant starch: RS) merupakan fraksi pati yang tidak dicerna oleh enzim pencerna pati pada individu sehat dan ini akan difermentasi oleh bakteri di dalam kolon. Hasil fermentasi utama berupa asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid: asetat, propionate, dan butirat). Produk fermentasi RS mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon dan menginduksi apoptosis. Induksi apoptosis berlangsung melalui jalur mitokondria yang ditandai meningkatnya rasio ekspresi gen proapoptosis Bax terhadap gen antiapoptosis Bcl-2. Kata Kunci: pati resistan, fermentasi, asam lemak rantai pendek, kanker kolon
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor
imaging play important role in diagnosing bronchial carcinoid tumor. This case presentation reported A 35 years old woman with chief complaint of hemoptysis. Acid fast bacilli smear was negative and mantoux test positive. From chest X ray there is a right paracardial consolidation. Chest CT Scan has been done and there was consolidation in right middle lobe with endobronchial mass in intermedius of right bronchial lung. The multidiscipline team diagnosis were endobronchial mass and pulmonary TB. Anti TB treatment had been given. The follow up CT scan after 1 month Anti TB treatment was improvement in consolidation, but the endobronchial mass was stable. She got PET CT Scan and the result was non metabolic nodule. Surgical treatment was done to remove endobronchial mass. The histopathology finding from specimen was typical bronchial carcinoid tumor. Keyword: endobronchial carcinoid tumor, chest x ray, chest CT.
ABSTRAK Tumor bronkial karsinoid merupakan neoplasma neuroendokrin yang jarang, sekitar 1−2% dari neoplasma paru dan 12−15% dari tumor karsinoid di Amerika Serikat. Sampai saat ini, belum ada data di Indonesia. Radiologi berperan penting dalam mendiagnosis tumor bronkial karsinoid. Laporan kasus ini membahas seorang wanita 35 tahun yang datang dengan keluhan utama hemoptisis. Dari hasil pemeriksaan BTA, didapatkan hasil negatif, tetapi test mantoux positif. Hasil foto toraks pasien didapatkan konsolidasi di parakardial kanan. Pasien juga dilakukan CT scan toraks. Didapatkan hasil konsolidasi di lobus tengah dengan massa endobronkial di bronkus intermedius paru kanan. Pasien ini didiagnosis oleh tim multidisiplin sebagai massa endobronkial dan tuberkulosis paru. Pasien diberikan pengobatan OAT. Hasil CT scan setelah 1 bulan terapi OAT menunjukkan ada perbaikan dalam konsolidasi, tetapi massa endobronkial menetap. Pasien menjalani PET CT Scan dengan hasil nodul non-metabolik mendukung suatu proses inflamasi. Dilakukan terapi bedah untuk mengangkat tumor endobronkial. Hasil histopatologi dari spesimen bedah sesuai dengan tumor bronkial karsinoid tipe tipikal. Kata Kunci: tumor endobronkial karsinoid, foto toraks, CT scan toraks
AZIZA G. ICKSAN1, MIRA FITRININGSIH2 1 SMF Radiologi RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia 2 Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia JakartaIndonesia
ABSTRACT Bronchial carcinoid tumors are rare neuroendocrine neoplasma consist of 1−2% of all pulmonary neoplasms and 12−15% of carcinoid tumors in United States. Recently, there is no data in Indonesia. The
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
vii
ARTIKEL PENELITIAN
Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy RESTI MULYA SARI1, DODY RANUHARDY1, SOEMANADI2 Staf Medik Fungsional Hematologi Onkologi Medik, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, Indonesia Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi, Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Jakarta, Indonesia
1 3
Diterima: 7 Agustus 2014; Direview : 11 Agustus 2014; Disetujui: 12 September 2014
ABSTRACT Ovarian cancer was the leading cause of death in gynecologic cancer which had the two years recurrence rate of 50%. We used retrospective cohort design with survival analysis technique to examine the role of post-surgery residual tumor size, cancer cell histological subtype and cancer cell grading on epithelial ovarian cancer recurrence. We also want to know the prevalence of HER-2 (Human Epidermal Receptor-2) overexpression in epithelial ovarian cancer patients. Sixty-five epithelial ovarian cancer patient (1998-2012) who had achieved remission were observed for 24 months. We reported median age of 50 years with recurrence rate of 36.9% and mean time of first recurrence was 19.15 months. Size of post-surgery residual tumor more than 1 cm increase Hazard Ratio (HR) of two years recurrence of epithelial ovarian cancer with p value 0.02 and HR of 3.31 (95% CI 1.46-7.49) but papillary serous histology subtype and poor differentiated cancer cell grading did not influence the recurrence. One of 38 patients showed cytoplasmic staining in HER-2 overexpression examination by immunohistochemistry methods. Conclusion: Size of post-surgery residual tumor more than 1 cm increase Hazard Ratio of two years recurrence of epithelial ovarian cancer while papillary serous histology subtype and poor differentiated cancer cell grading did not influence the recurrence. One sample showed cytoplasmic staining on HER-2 overexpression examination. Keyword: epithelial ovarian cancer, recurrence
ABSTRAK
KORESPONDENSI: dr. Resti Mulyasari, SpPD. SMF Hematologi-Onkologi Medik RS. Kanker "Dharmais" Jl. S. Parman Kav. 84-84 Slipi Jakarta Barat. Email:
[email protected]
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok kanker ginekologik, dengan angka kekambuhan dua tahun sebesar 50%. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan teknik analisis kesintasan yang bertujuan melihat peran faktor ukuran residu tumor post-operasi, jenis subtipe sel kanker, dan tingkat diferensiasi sel kanker terhadap kekambuhan dua tahun pasien kanker ovarium epitelial. Penelitian ini juga ingin melihat besarnya prevalensi overekspresi Human Epidermal Receptor-2 (HER-2) pada pasien kanker ovarium epitelial. Sebanyak 65 pasien kanker ovarium epitelial (tahun 1998-2012) yang telah remisi diamati selama 24 bulan. Terlihat bahwa median usia pasien 50 tahun dengan proporsi kekambuhan sebesar 36,9% dengan mean waktu kekambuhan pertama 19,15 bulan. Ukuran residu tumor post-operasi lebih dari 1 cm meningkatkan rasio hazard kekambuhan dua tahun kanker ovarium epitelial dengan nilai p: 0,02 dan HR 3,31 (IK95% 1,46-7,49). Sementara, jenis subtipe histologi papillary serous dan tingkat diferensiasi buruk sel kanker tidak berhubungan dengan terjadinya kekambuhan. Pada pemeriksaan overekspresi HER-2 menggunakan teknik imunohistokimia dilaporkan satu dari 38 pasien memperlihatkan adanya cytoplasmic staining. Disimpulkan bahwa ukuran residu tumor post-operasi yang berukuran lebih dari 1 cm meningkatkan rasio hazard kekambuhan dua tahun pasien kanker ovarium epitelial, sementara jenis subtipe histologi papillary serosa dan tingkat diferensiasi buruk sel kanker tidak berhubungan dengan terjadinya kekambuhan. Pada pemeriksaan overekspresi HER2 menggunakan teknik imunohistokimia, dilaporkan satu sampel memperlihatkan adanya cytoplasmic staining. Kata Kunci: kanker ovarium epitelial, kekambuhan
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
145
Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy 145-151
INTRODUCTION
O
varian cancer was the leading cause of death in gynecological cancer with 14.300 deaths in United States (2003).1-2 Korea reported 3991 new cases of ovarian cancer between 1999-2001.3 “Dharmais” Cancer Centre Hospital reported of 105 new cases in 2009, increase to 113 cases in 2010. Ranuhardy reported that most of the patients were already in advanced disease (65%).4 The two years recurrence rate of ovarian cancer was 50% with the five year mortality rate was 75%.5 Surgery followed by platinum based chemotherapy was the basic management of epithelial ovarian cancer. Although almost eighty percent of patients had a good response to chemotherapy at the beginning most of the patients will get recurrent and die due to resistency.6 Some factors which influenced on epithelial ovarian cancer recurrence include: age at diagnosis, stage of disease, cancer cell subtype, cancer cell grading, size of post-surgery residual tumor, type of surgery and resistance to platinum based chemotherapy.7-10 Patients who had size of post-surgery residual tumor less than 1 cm have a longer Progression Free Survival (PFS) time than patients who had size of post-surgery residual tumor more than 1 cm.7,8 Older age, more than 60 years old and advanced stage also correlate with a higher risk of recurrency.7 Vergote reported that cancer cell grading was the indicator of recurrence for stage I-IIA epithelial ovarian cancer with Hazard Ratio of 3.31. 9 Resistance to platinum based chemotherapy also play a role in the epithelial ovarian cancer recurrence, including overexpression of Human Epidermal Receptor 2 (HER-2).11-12 Some studies reported of 5-66% overexpression of HER-2 in ovarian cancer patients. HER-2 overexpression will promote transduction signal which control proliferation, differentiation, migration and apoptosis process.13-16 Angiogenesis process also play a role in the carcinogenesis process of ovarian cancer. There was increase of proangiogenic growth factor production in ovarian cancer.17-23 Some gene/protein that play a role in the carcinogenesis of ovarian cancer include: EGFR (HER-1), HER-2, IGF, K-RAS, BRAF, PIP-3/AKT, p53, BRCA-1, BRCA-2, VEGF/VEGFR, TGF-β, C-MYC, MMPs and others, through some process: growth promotion, insensitivity to antigrowth signals, inhibition of apoptosis process and immune surveillance, limitless of replicative potential, enhanced angiogenesis and promotion of invasion and metastasis.17
146
Figure 1: Carcinogenesis process of ovarian cancer
There were two kind of platinum resistance mechanism, including classical mechanism and molecular mechanism. HER-2 overexpression was one of the molecular platinum resistance mechanism. HER-2 belongs to Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR) which involved in growth and survival cell controlling also involved in adhesion, migration, differentiation and other cellular cell process. Some studies reported 5-66% of HER-2 overexpression in ovarian cancer.13-15,26-38 HER-2 signal increase cell proliferation through the RAS-MAPK (Mitogen Activated Kinase) pathway and also inhibit cell apoptosis process through the phosphatidylinositol 3’-kinase–AKT–mTOR (mammalian target of rapamycin).13-15 The mechanism how HER-2 overexpression correlate with platinum resistance in ovarian cancer still unclear. Julien reported that the main mechanism of platinum resistance was due to inhibition of intra-strand cross links that establish by platinum as cytotoxic agent.39 Macleod reported there was an extracellular signal transduction alteration that followed by an alteration of gene expression in cisplatin resistance ovarian cancer cell lines.40 Coquard which study was done in advanced cisplatin resistance ovarian cancer patients, reported 3 of 7 patients who had HER-2 overexpression achieved remission after addition of trastuzumab to the conventional chemotherapy.41 Aim of this study was to know the role of post-surgery residual tumor
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
RESTI MULYA SARI, DODY RANUHARDY, SOEMANADI 145-151
size, cancer cell histological subtype and cancer cell grading to epithelial ovarian cancer recurrence. We also want to know the prevalence of HER-2 overexpression in epithelial ovarian cancer. MATERIAL AND METHODS
We used retrospective cohort design with survival analysis technique to show the role post-surgery residual tumor size, cancer cell histological subtype and cancer cell grading on time of epithelial ovarian cancer recurrence. The study was done in “Dharmais” Cancer Centre Hospital, Jakarta, Indonesia. Inclusion criteria were: patients > 18 years old with histopathology result of epithelial ovarian cancer who had done surgery by a gynecologist then followed by 6 cycles of adjuvant platinum based chemotherapy. Patients who had achieved remission after chemotherapy were followed maximal for 24 months with time of first recurrence as end point. Recurrence criteria was fixed base on NCCN 2013 and RECIST 1.1 version and time of first recurrence was counted from time of the last chemotherapy.42 Immunohistochemistry examination for HER-2 overexpression was done by anti HER-2 (4B5) rabbit monoclonal primary antibody, VIEW DAB and ultraView universal DAB detection kit with Ventana automated slide stainer machine. This technique already approved by FDA for HER-2 examination for patients with trastuzumab indication.43 In this study we use Dako Herceptest Manual Interpretation histo criterion and HER-2 3+ expression (immuno chemistry) of breast cancer as a positive control. The data collected were processed by statistic programmed SPSS 17.0 version. Bivariate analysis by log rank test were done to examine the role of independent variable to time of recurrence. Kaplan Meier curve were done to see the survival analysis of every group with significancy level of p<0.05. This study already approved for ethical clearance by ethical committee of Medical Faculty Indonesia University.
RESULTS
We reported of 192 new cases of epithelial ovarian cancer patients who had done surgery at “Dharmais” Cancer Centre Hospital (1998-2012). Among of these, 100 patients should followed surgery by 6 cycles of adjuvant platinum base chemotherapy, 87 patients then finished the chemotherapy and only 65 patients achieved remission after treatment. Table 1: Patient’s characteristics Characteristic
N (%)
Age, Median
50.0 (42-56)
Stage of disease Stage I
4 (6.2)
Stage II
9 (13.8)
Stage III
48 (73.8)
Stage IV
4 (6.2)
Cancer cell histology subtype Endometrioid
21 (32,3)
Papillary serosa
28 (43,1)
Muscinous
7 (10,8)
Clear cell
6 (9,2)
Others
3 (4,6)
Cancer cell grading Well differentiated
18 (27.7)
Mild differentiated
30 (46.2)
Poor differentiated
17 (26.1)
Post-surgery residual tumor size Residual tumor ≤ 1 cm
42 (64.6)
Residual tumor > 1 cm
23 (35.4)
Between 24 months of observation, we reported of 36.9 percent of recurrence with mean time of first recurrence was 19.15 months. We continue HER-2 immunohistochemistry examination for 38 samples. We use anti HER-2 (4B5) rabbit monoclonal primary antibody, VIEW DAB and ultra-View universal DAB detection kit with Ventana automated slide stainer machine with 8 minutes of antigen retrieval process with no samples showed positive results. One sample showed cytoplasmic staining when we used 30 minutes of antigen retrieval process.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
147
Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy 145-151
Table 2: Factors which influenced on ovarian cancer recurrence Characteristics 1
2
3
4
Recurence No
HR (CI 95%)
p
Stage (n=65) Stage I-II
11 (84.6
2 (15.4)
2.96
Stage III-IV
30 (54.5)
22 (45.5)
(0.7-12.6)
Residual tumor 1 cm
32 (76.2)
10 (23.8)
21.3 (19.10-23.45)
3.31
Residual tumor > 1 cm
9 (39.1)
14 (60.9)
15.2 (11.49-18.89)
(1.46 -7.49)
Non papillary serosa
23 (62.2)
14 (37.8)
18.7 (15.9-21.52)
0.92
Papillary serosa
18 (64.3)
10 (35.7)
19.7 (16.79-22.67)
(0.41-0.85)
Well-mild differentiated
32 (66.7)
16 (33.3)
19.87 (17.61-22.12)
1,62
Poor differentiated
9 (52.9)
8 (47.1)
17.04 (12.62-21.45)
(0.69-3.79)
0.119
Post-surgery residual tumor size (n=65) 0.002
Cancer cell histology subtype (n=65) 0.849
Cancer cell grading (n=65)
Figure 2: Kaplan Meier Curve time of epithelial ovarian cancer recurrence base on post-surgery residual tumor size
Based on figure 2, at the end of observation, 75% patients which had post residual tumor size maximal 1 cm were not suffer for recurrence, while in other group (residual tumor size more than 1 cm) 35% patients were not suffer for recurrence.
148
Mean Recurence Time (Months)
Yes
0.253
Figure 3: Kaplan Meier Curve time of epithelial ovarian cancer recurrence base on cancer cell histology subtype
Based on figure 3, at the end of observation, we reported of 62% patients which had non papillary serous histology subtype were not suffer for recurrence, while in other group (papillary histology subtype) 61% patients were not suffer for recurrence.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
RESTI MULYA SARI, DODY RANUHARDY, SOEMANADI 145-151
Figure 4: Kaplan Meier Curve time of epithelial ovarian cancer recurrence base on cancer cell grading
Based on figure 4, at the end of observation, we reported of 60% patients which had well-mild differentiated cell grading were not suffer for recurrence, while in other group, 50% patients were not suffer for recurrence. DISCUSSION
We reported of 15.2 months of mean time recurrence in the group of post-surgery residual tumor size more than 1 cm while in the other group which had post-surgery residual tumor size maximal 1 cm, we reported a longer mean time of recurrence, 21.3 months (table 2), with p value of 0.002 and HR 3.31 (95% CI 1.46-7.49). Tuefferd reported that post-surgery residual tumor size more than 1 cm correlate with shorter Progression Free Survival (PFS) time, p value <0.00001 and Hazard Ratio of 2.31 and also Broet reported that post-surgery residual tumor more than 2 cm correlate with shorter Progression Free Survival (PFS) time, p value 0.05 and RR 1.31.14, 44 We can see in table 2 that mean recurrence time was longer in the group of papillary histology subtype than non-papillary histology subtype group (19.7 months vs 18.7 months) with p value of 0.84 and Hazard Ratio 0.92 (95% CI 0.41-0.85). Although papillary structure of cancer cell was a predictor of invasion but clear cell subtype also known as the most chemoresistance subtype so the histology subtype was not the only factor that correlate with epithelial ovarian cancer recurrence.7,8 We also found
the longer of mean recurrence time in the group of well-mild differentiated cancer cell grading than in the group of poor differentiated cancer cell grading (19.87 months vs 17.04 months) with p value of 0,253 but it was not significant statistically. One of the platinum resistance molecular mechanism was Human Epidermal Receptor (HER2) overexpression. Some previous studies reported of 5-66% of HER-2 overexpression in ovarian cancer. In this study we reported one of thirty-eight samples showed cytoplasmic staining by immunohistochemistry examination with 30 minutes of antigen retrieval process. There was a difference on HER-2 examination result in this study compare with some studies before. Landen showed two ovarian cancer carcinogenesis pathway, including high grade pathway and low grade pathway, that Epidermal Growth Factors Receptor (EGFR) and Human Epidermal Receptor (HER-2) expression play a role in the high grade pathway. In this study we reported that 73% patients had well-mild differentiated cancer cell grading (low grade pathway) so it is clear that we can only found one sample showed cytoplasmic staining. We also thought that the difference was due to antigen retrieval process duration that was used in previous study. LIMITATIONS
This study was the first study in Indonesia which research HER-2 expression in epithelial ovarian cancer so the author had difficulty to establish the positive control and standard procedure of HER-2 overexpression examination in the ovarian cancer cases. Besides, the samples for HER-2 examination were not enough because the paraffin block should not be saved more than five years. CONCLUSION
Size of post-surgery residual tumor more than 1 cm increase Hazard Ratio of two years recurrence of epithelial ovarian cancer with Hazard Ratio 3.31 while papillary serous histology subtype and poor differentiated cancer cell grading did not influence the recurrence. One sample showed cytoplasmic staining on HER-2 examination by immunohisto chemistry.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
149
Factors Which Influenced on Two Years Recurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and Platinum Based Chemotherapy 145-151
REFFERENCE
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
10. 11. 12. 13.
14.
15. 16.
17.
18. 19.
Canistra SA, Gershenson DM, Recht A. Ovarian cancer, fallopian tube carcinoma and peritoneal acarcinoma. In: Devita VT, Vincent T, editors. Cancer principle and practice of oncology 8th edition.Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins.2008.p.674-5. Jemal A, Murray T, Samuel A. Cancer Statistics. Ca J Clin. 2003;53: 5-26. Shin HR. Nationwide cancer incidence in Korea, 1999-2001. First result using the national cancer incidence data base. Cancer Res Treat. 2005;37: 325-31. Ranuhardy D. Karakteristik dan penatalaksanaan kanker ovarium periode Juli-Desember 2009.Analisis data rekam medik RSKD (tidak dipublikasi). Colombo N, Parma G, Bocciolone L. Role of chemotherapy in relapsed ovarian cancer. Crit Rev Oncol Haematol. 1993;32: 221-8. NCCN. Clinical Practice in Oncology Guidelines Ovarian Cancer. [cited 2013 Dec 24]. Available from: http//www.nccn. com.2013. Agrawal V. Prognostic factor of ovarian cancer [cited 2012 April 24]. Available from: http//www.obgyn.net. Canistra SA. Cancer of the Ovary. N Engl J Med. 2004;351: 2519-29. Vergote J, De Brabanter, Fyles A. Prognostic importance of degree of differentiation and cyst rupture in stage I invasive epithelial ovarian carcinoma. Lancet 2001;357: 176-82. Lonley DB, Johnson PG. Molecular mechanism of drug resistance. J Pathol. 2005;205: 272-92. Stewart DJ. Mechanism of resistance to cisplatin and carboplatin. Clin Rev in Oncol Haematol. 2007;63: 12-31. Surowiak P. Prediction of the response to chemotherapy in ovarian cancer. Folia morphol. 2006;65: 285-94. Amler LC, Wang Y, Hampton G. HER-2 as therapeutic target in ovarian cancer.[cited 2013 March 3]. Available from: http// www.intechopen.com. Tuefferd M, Couturier J, Llorca FP, et al. HER-2 status in ovarian cancer: a multicenter GINECO study of 320 patients. PLoS One. 2007;2: 1138. Hudis CA. Trastuzumab mechanism of action and clinical use. N Engl J Med. 2007;357:39-51. Ibrahim MA, Srivenugopal KS, Rasul KI. Platinum resistance: the role of molecular, genetic and epigenetic factors. J Med Sci. 2013;13: 160-8. Landen CN, Birrer MJ, Anil K Sood. Early events in the pathogenesis of epithelial ovarian cancer. J Clin Oncol. 2008;26: 995-1005. Jain RK, Booth MF. What bring pericytes to tumor vessels. J Clin Invest. 2003;112: 1134-6. Martin L, Schilder R. Novel approach in advancing the treatment of epithelial ovarian cancer: the role of angiogenesis inhibition. J Clin Oncol. 2007;25: 2894-901.
20. Hilberg F, Roth GJ, Krsak M. Triple angiokinase inhibitor with sustained receptor blockade and good antitumor efficacy. Cancer Res. 2008;68: 4774-82. 21. Cao Y, Cao R. Hendlund EM. Regulation of tumor angiogenesis and metastasis by FGF and PDGF signaling pathway. J Mol Med. 2008;86: 785-9. 22. Presta M, Dell Era, Mitola S, et al. Fibroblast growth factor/ fibroblast growth factor system in angiogenesis. Cytokine Growth Factor Rev. 2005;16: 159-78. 23. Memarzadeh S, Berek JS. Gynecologic Cancer. In: Casciato DA, editor. Manual of clinical oncology 6th edition. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins,2004.p.265-97. 24. Skeel RT. Antineoplastic drugs and biologic response modifiers: classification, use, and toxicity of clinically useful agents. In: Skeel RT, editor. Handbook of cancer chemotherapy 7th edition. Philadelpia: Lippincot William & Wilkins.2003.p.53-7. 25. Casciato DA. Cancer Chemotherapeutic agents. In: Casciato DA, editor. Manual of clinical oncology 6th edition. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins, 2004.p.46-56. 26. Gottesman MM, Fijo T, Bates SE. Multidrug resistance in cancer: Role of ATP dependent transporters. Macmilan Magazine. 2002;2: 48-58. 27. Brennan PJ, Kumogai T, Berezov A, Murali R, Grene M. HER2/Neu: mechanisms of dimerization/oligomerization. Oncogene. 2000;19: 6093-101. 28. Scholl S, Beuzeboc P, Pouillart P. Targetting HER-2 in other tumor types. Ann Oncol. 2001;12: S81-7. 29. Rubin SC, Finstad CL, Wong GY, et al. Prognostic significance of HER-2/neu expression in advanced epithelial ovarian cancer: a multivariate analysis. Am J Obstet Gynecol. 1993;168: 162-9. 30. Bookman MA, Darcy KM, Pearson C. Evaluation of monoclonal humanized anti HER-2 antibody, trastuzumab, in patients with recurrent or refractory ovarian or primary peritoneal carcinoma with overexpression of HER-2: a phase II trial of the Gynecologic oncology Group. J Clin Oncol. 2003;21: 28390. 31. Hogdall EV, Christensen L, Kjaer SK, et al. Distribution of HER-2 overexpression in ovarian carcinoma tissue and its prognostic value in patients with carcinoma: from the Danish MALOVA ovarian cancer study. Cancer. 2003;98: 66–73. 32. Lassus H, Leminen A, Vayrynen A, et al. ERBB2 amplification is superior to protein expression status in predicting patient outcome in serous ovarian carcinoma. Gynecol Oncol. 2004;92: 31–9. 33. Kupryjanczyk J, Madry R, Halasa PJ, et al. TP53 status determines clinical significance of ERBB2 expression in ovarian cancer. Br J Cancer. 2004;91: 1916-23. 34. Nielsen JS, Jakobsen E, Holund B, Bertelsen K, Jakobsen A. Prognostic significance of p53, Her-2, and EGFR overexpression in borderline and epithelial ovarian cancer. Int J Gynecol Cancer. 2004;14: 1086-96.
RESTI MULYA SARI, DODY RANUHARDY, SOEMANADI 145-151
35. Verri E, Guglielmini P, Puntoni M, et al. HER2/neu oncoprotein overexpression in epithelial ovarian cancer: evaluation of its prevalence and prognostic significance clinical study. Oncology 2005;68: 154-61. 36. Steffensen KD, Waldstrom M, Jeppesen U, et al. The prognostic importance of cyclooxygenase 2 and HER2 expression in epithelial ovarian cancer. Int J Gynecol Cancer 2007;17: 798807. 37. Lee CH, Huntsman DG, Cheang MC, et al. Assestment of HER-1, HER-2, and HER-3 expression and HER-2 amplification in advanced stages ovarian carcinoma. Int J Gynecol Pathol. 2005;24: 147-52. 38. Cloven NG, Kyshtoobayeva A, Burger RA, et al. In vitro chemoresistance and biomarker profiles are unique for histologic subtypes of epithelial ovarian cancer. Gynecol Oncol. 2004;92: 160-6. 39. Julien JMB, Bhosis J, Tiby MJ, Hartley JA, Hochhauser D. Involvement of HER-2 pathway in repair of DNA damaged produced by chemotherapeutic agents. Mol Cancer Ther. 2009;8: 3015-23.
40. Macleod K, Mullen P, Sewell J, et al. Altered ErbB receptor signaling and gene expression in cisplatin resistant ovarian cancer. Cancer Res. 2005;65: 6789-800. 41. Coquard RI, Guastala JP, Allouache D, et al. HER-2 overexpression/amplification and trastuzumab treatment in advanced ovarian cancer: a GINECO study phase II study. Clinical Ovarian Cancer 2008;1: 54-9. 42. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, Schwartz LH, Sargen D, Ford R. New response evaluation criteria in solid tumors: Revised RECIST guideline (version 1.1). Eur J Cancer 2009;45: 228-47. 43. Seidenfeld J, Samson DJ, Rothenberg BM, et al. HER-2 testing to manage patients with breast cancer or other solid tumors evidence report/technology. [cited 2014 May 31].Available from: http//www.ncbi.nlm.nih.gov. 44. Broet SC, Bessard ACH, Tourneau AL, et al. HER-2 overexpression is an independent marker of poor prognosis of advanced primary ovarian carcinoma: a multicenter study of GINECO group. Ann Oncol. 2004;15: 104-12.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
151
Kini, website Indonesian Journal of Cancer dengan tampilan baru menggunakan Open Journal System dapat diakses dimanapun dan kapan saja. Bagi penulis yang akan mensubmit naskah silahkan mengklik:
http://www.indonesianjournalofcancer.or.id.
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) terhadap Respons Terapi Radiasi pada Karsinoma Sel Skuamosa Serviks CUT ADEYA ADELLA1, ANDRIJONO1, BAMBANG SUTRISNA2 Divisi Onkologi Ginekologi Departemen Obsgin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /RSCM, Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta
1 2
Diterima: 8 Agustus 2014; Direview : 12 Agustus 2014; Disetujui: 12 September 2014
ABSTRACT The importance of human papilloma virus (HPV) infection in the outcome of cervical cancer after radiotherapy remains unknown. Our study explored whether the HPV status of tumors is associated with the outcome of radiotherapy in patients with cervical cancer. The biopsy cervix samples taken from 31 patients with squamous cell carcinoma cervix (Stage IIB-IIIB) that met in the inclusion criteria. The HPV were genotyping examination was conducted twice before and 3 month after radiation therapy. The subjects treated by radiation therapy according to standard procedures. After undergone complete radiation, response of radiation therapy was conducted by clinical assessment and repeat HPV genotyping test. A total of 31 patients had HPV-positive tumors in 83.37% (27 cases) of patients, with the details of a single infection of 75% and 9:37% multiple infections. Based on the type of HPV type 16 was obtained (43.74%), type 18 (18.64%). Persistent infection with HPV after radiation encountered by 34.61%. Complete clinical response observed in the single infection group number of 100%, while in the group of multiple infections by 33.3% (p = 0.115). While HPV infection settled with a complete clinical response by 32% (p = 0.346). There were no statistically relationships between clinical complete response with single or multiple HPV infection (p = 0.115). There were no statistically relationship between persistent HPV infection with complete clinical response. (p = 0.346) Keyword: Cervical cancer, Genotyping HPV DNA, persistent infection, clinical response
ABSTRAK
KORESPONDENSI: dr. Cut Adeya Adella. Divisi Onkologi Ginekologi Departemen Obsgin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSCM, Jakarta. Email: cut adeya.adella @gmail.com
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe DNA HPV dengan terjadinya infeksi HPV menetap dan hubungan antara infeksi HPV dengan respons klinis terapi radiasi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah infeksi HPV menetap merupakan faktor prognosis respons klinis radiasi penderita karsinoma sel skuamosa serviks. Sebanyak 31 penderita kanker serviks stadium IIB-IIIB dengan hasil histopatologi karsinoma sel skuamosa sesuai dengan kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan genotipe HPV DNA yang berasal dari biopsi serviks. Sampel penelitian ditata laksana dengan terapi radiasi sesuai prosedur standar. Tiga bulan setelah dinyatakan selesai radiasi, dilakukan penilaian terhadap respons klinis radiasi dan pemeriksaan genotipe DNA HPV ulang. Dari 31 sampel penelitian didapatkan infeksi HPV sebelum radiasi sebanyak 27 sampel (83,37%) dengan rincian infeksi tunggal 75% dan multipel 9,37%. Berdasarkan tipe HPV, diperoleh tipe 16 (43,74%) dan tipe 18 (18,64%). Infeksi menetap HPV setelah radiasi ditemukan sebesar 34,61%. Respons klinis komplit ditemukan pada kelompok infeksi tunggal sebanyak 100%, sedangkan pada kelompok infeksi multipel 33,3% (p=0,115). Sedangkan infeksi HPV menetap dengan respons klinis komplit sebesar 32% (p=0,346). Disimpulkan bahwa tipe HPV DNA yang terbanyak dijumpai pada penderita karsinoma sel skuamosa serviks adalah tipe 16, yaitu 45,16%. Infeksi HPV menetap setelah radiasi ditemukan sebanyak 34,61%. Infeksi multipel lebih banyak
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
153
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi ... 153-160
mengalami infeksi HPV menetap dibandingkan infeksi tunggal. Tidak terdapat perbedaan respons klinis antara infeksi tunggal dengan infeksi multipel HPV (p=0,115). Infeksi menetap HPV tidak berhubungan dengan respons terapi (p=0,346). Kata Kunci: Kanker serviks, tipe DNA HPV, infeksi HPV menetap, respons terapi.
PENDAHULUAN
K
anker serviks (KS) merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada wanita dan merupakan penyakit kanker kedua terbanyak di antara wanita di seluruh dunia. Menurut GLOBOCAN 2002, diperkirakan angka kejadian KS di seluruh dunia mencapai 493.000 kasus baru dan 274.000 kasus kematian, di mana 265.885 kasus (54%) di antaranya terjadi di Asia.1,2 Di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ditemukan sekitar 76,2% penderita KS dari 1.717 penderita kanker ginekologi pada 1982-1992. Dari jumlah yang ditemukan tersebut, angka probabilitas kesintasan 5 tahun secara keseluruhan sekitar 30%. Bila dibagi berdasarkan stadium maka stadium I sebanyak 48%, stadium II sebanyak 42%, stadium III sebanyak 19%, dan stadium IV sebanyak 0%. Data 2007 mendapati jumlah KS sebanyak 3.112 kasus atau 75% dari seluruh kasus kanker ginekologi. Bila kasus KS tersebut dipilah berdasarkan stadium maka stadium I sebanyak 439 kasus (14,1%); stadium II sebanyak 1.104 kasus (35,4%); stadium III sebanyak 1.392 kasus (44,7%); dan stadium IV sebanyak 117 kasus (5,7%) dengan angka probabilitas kesintasan 5 tahun berdasarkan stadium I, II, III, dan IV masingmasing 50%, 40%, 20%, dan 0%.3 Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2005-2010 memperoleh 2.163 kasus kanker serviks di RSCM. Dari jumlah tersebut, didapatkan stadium IIB 375 kasus (17,3%); stadium IIIA 36 kasus (1,7%); dan stadium IIIB 1.085 (50,2%). Berdasarkan histopatologi, didapatkan kasus karsinoma sel skuamosa (KSS) 1.322 kasus (70,2%); adenokarsinoma (ADK) 285 kasus (15,1%); dan adenoskuamosa (ADS) 192 kasus (10,2%).4 Dari data tersebut, didapati bahwa insiden KS belum menurun dengan angka harapan hidup yang masih rendah. Sedangkan kegagalan terapi radiasi sebagai terapi utama pada KS stadium lanjut lokal berjumlah 16% pada stadium IIB dan 23-65% pada stadium III. Penelitian International Agency for Research on Cancer (IARC) (2002) mendapatkan bahwa delapan
154
tipe HPV yang paling sering terdeteksi yaitu HPV 16, 18, 31, 33, 35, 45, 52, dan 58. Tipe-tipe ini bertanggung jawab terhadap sekitar 90% dari seluruh kasus KS di dunia.1 HPV tipe 16 dan 18 merupakan tipe tersering dijumpai pada KS. Beberapa hasil penelitian masih berbeda pendapat antara hubungan tipe HPV dengan keparahan penyakit dan prognosis. HPV tipe 18 berdiferensiasi lebih rendah, namun sering dijumpai dengan keterlibatan kelenjar lymph, lebih agresif, dengan angka kematian lebih tinggi dibandingkan penderita terinfeksi HPV tipe 16.5 Namun, beberapa penelitian lain tidak dapat menemukan adanya hubungan antara tipe HPV dengan hasil pengobatan.6 Infeksi menetap HPV pada lesi KS berkaitan dengan terjadinya rekurensi. Penelitian yang dilaku kan oleh Nagai menunjukkan bahwa HPV menetap pada kanker serviks setelah pengobatan ternyata mempunyai angka kejadian kekambuhan lebih tinggi (34%) dibandingkan kelompok dengan HPV negatif setelah terapi radiasi (7,1%).5 Hasil radiasi memuaskan hanya dapat dicapai oleh sebagian pasien, dan resisten terhadap radio terapi merupakan penyebab gagalnya pengobatan. Keterlibatan langsung onkoprotein HPV dengan respons terhadap radiasi pengion masih kurang dieksplorasi meskipun temuan terbaru menunjukkan HPV positif dapat menjadi faktor prognosis yang baik dibandingkan non-HPV-tumor.7 Sementara itu, penelitian mengenai infeksi HPV menetap setelah terapi radiasi ditemukan bervariasi, dari 33% stadium IB, 50% stadium II, sampai 43% stadium IIIB. Hasil penelitian ini menunjukkan me ningkatnya kasus HPV menetap berhubungan dengan menurunnya angka ketahanan hidup penderita. Dalam studi ini, infeksi HPV sebelum radiasi di temukan sebanyak 83,3%; sedangkan HPV menetap setelah pengobatan 37,5%.8 Penelitian tentang infeksi HPV berhubungan dengan faktor prognosis buruk menemukan bahwa HPV negatif pada penderita KS stadium lanjut se belum dilakukan tindakan radiasi memberikan respons terapi lebih buruk dibandingkan penderita KS dengan HPV positif dalam hal overall survival (p=0,007) dan disease-free survival (p=0,005).9 Sedangkan penelitian Barbara, dkk., terhadap 148 pasien KS stadium 1B dan IIA menyimpulkan bahwa HPV tipe 18 berisiko lebih tinggi dibandingkan HPV tipe 16 (p=0,03) dalam hal kejadian kekambuhan.10 Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM diperoleh 76,9% eliminasi HPV pada penderita KSS
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
CUT ADEYA ADELLA, ANDRIJONO, BAMBANG SUTRISNA 153-160
serviks, dan 59,1% pada adenoskuamosa serviks. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan respons terapi terhadap kemoradiasi, di mana penderita dengan respons komplit menunjukkan eliminasi HPV lebih besar dibandingkan dengan KS respons tidak komplit (p=0,031). Namun, pada pen derita respons komplit ternyata masih terjadi infeksi menetap HPV pada sekitar 21,2% kasus.11 Oleh karena itu, masih dibutuhkan karakteristik dari hubungan antara HPV dengan sensitivitas radiasi sehingga dapat meningkatkan hasil pengobatan.
dan 68). Berdasarkan prinsip hibridisasi dari DNA rantai ganda, teknologi hibridisasi bekerja secara langsung mengarahkan aliran dari target molekul pada membran DNA probe spesifik sehingga memungkinkan terjadinya proses hibridisasi cepat dan memperoleh hasil hibridisasi tertentu. Terhdap hasil pemeriksaan dilakukan analisis secara statistik dengan program STATA versi 12 (Stata Corporation LP,. Texas, USA). HASIL
MATERI DAN METODA
Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif (one group pretest-post test design) yang bertujuan mengetahui hubungan antara tipe DNA HPV dengan respons klinis radiasi penderita KSS serviks. Penelitian ini dilakukan di Divisi Onkologi Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama 10 bulan. Populasi penelitian adalah penderita KS stadium IIB dan IIIB dengan hasil biopsi serviks menunjukkan tipe KSS di RSCM sejak Oktober 2012. Kriteria inklusi: penderita karsinoma serviks jenis stadium lokoregional lanjut (IIB sampai IIIB) sesuai klasifikasi FIGO; hasil pemeriksaan ahli patologi bagian Patologi Anatomi RSCM menunjukkan jenis KSS; penderita bersedia ikut dalam penelitian dan menjalani penatalaksaan radiasi di RSCM. Kriteria eksklusi: penderita pernah mendapat terapi kanker sebelumnya, baik pembedahan, radiasi, ataupun kemoradiasi; penderita mengidap penyakit sistemik (penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, gangguan psikosis berat) atau imunodefisiensi/HIV; penderita menderita kanker primer di organ lain (double primer); penderita tidak lengkap menjalani terapi radiasi; penderita tidak melakukan kontrol setelah menjalani terapi radiasi sesuai jadwal yang ditentukan; dan penderita meninggal dunia pada saat menjalani terapi radiasi. Pemeriksaan genotipe DNA HPV dilakukan sebelum dan 3 bulan setelah menjalani terapi radiasi. Pemeriksaan genotipe DNA HPV menggunakan HPV Xpress Matrix Test Kit dengan amplifikasi PCR dan teknologi hibridisasi untuk genotipe dengan spesifik HPV DNA probe. Teknologi yang dapat membedakan subtipe HPV menggunakan probe spesifik DNA HPV. Ada 21 subtipe HPV, terdiri dari 6 tipe risiko rendah (6, 11, 42, 43, dan 81); serta 15 tipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66,
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap 32 penderita yang menjalani tindakan radiasi sampai selesai. Dalam pengamatan, satu penderita drop out karena tidak menjalani terapi radiasi dengan lengkap. Penilaian respons klinis dilakukan 3 bulan setelah tindakan radiasi, disertai pemeriksaan genotipe DNA HPV setelah radiasi. Karakteristik demografi pada penelitian ini meliputi umur, jumlah pernikahan, usia menikah, dan paritas. Dari seluruh sampel yang berjumlah 32, diperoleh usia pasien terbanyak pada kelompok usia di bawah 50 tahun (59,37%) dengan sebaran kasus seperti tercantum di bawah ini. Pada penelitian ini, yang termasuk karakteristik klinik adalah ukuran tumor dan stadium kanker serviks menurut FIGO 2009. Dari karakteristik klinik diperoleh sebagian besar penderita masuk ke dalam stadium IIIB (90,65%) dengan Indeks Massa Tubuh normal sebanyak 78,12%. Dari jumlah tersebut, diperoleh karakteristik histopatologi terbanyak diferensiasi sedang (65,62%) dan tanpa invasi limfovaskuler 8125% Sebelum dilakukan tindakan radiasi, seluruh penderita menjalani pemeriksaan genotipe DNA HPV. Hasil pemeriksaan menunjukkan infeksi HPV sebesar 84,37%, sedangkan tanpa infeksi HPV 15,63%. Tabel 1: Distribusi genotipe HPV sebelum radiasi Tipe infeksi HPV
N
%
Negatif
5
15,63
Positif
27
84,37
Dari keseluruhan infeksi HPV yang berjumlah 84,37% diperoleh hasil infeksi tunggal pada 75% dan infeksi multipel 9,37%. Pada infeksi tunggal, tipe 16 yang terbanyak dijumpai (43,74%); diikuti tipe 18 (18,74%) dan tipe 52 (6,24%).
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
155
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi ... 153-160
Tabel 2: Distribusi eliminasi HPV pada seluruh penderita Infeksi HPV
N
%
Tanpa infeksi
5
15,63
16
14
43,74
18
6
18,74
52
2
6,24
58
1
3,13
81
1
3,13
24
75
Infeksi tunggal
Total infeksi tunggal Infeksi multipel 16;18
1
3,13
18;39
1
3,13
16;58
1
3,13
3
9,37
Total infeksi multipel Ket.: Drop out 1 orang
Diagram 2: Profil infeksi HPV menetap
Pengamatan selanjutnya hanya dilakukan terhadap sampel penelitian dengan hasil pemeriksaan genotipe DNA menunjukkan adanya infeksi HPV. Pemeriksaan genotipe DNA HPV sesudah terapi radiasi menunjukkan infeksi menetap pada kelompok infeksi tunggal sejumlah 25,81% kasus; sedangkan kelompok infeksi multipel sebesar 33,33% kasus. Pada kelompok infeksi tunggal diperoleh tipe 58 merupakan tipe HPV terbanyak yang mengalami infeksi menetap, yakni 100%; sedangkan tipe 18 sebesar 80%, diikuti tipe 16 sebesar 21,43%. Sedangkan kelompok infeksi multipel hanya tipe 16 dan tipe 18 mengalami infeksi menetap. Tabel 3: Distribusi infeksi HPV menetap berdasarkan tipe HPV Sebelum radiasi
Sesudah radiasi
%
16
14
3
21,43
18
5
4
80
52
2
0
0
58
1
1
100
81
1
0
0
Total infeksi tunggal menetap
23
8
25,81
16;18
1
1
100
18;39
1
0
0
16;58
1
0
0
Total infeksi multipel menetap
3
1
33,33
Infeksi HPV Infeksi tunggal
Diagram 1: Distribusi genotipe HPV sebelum radiasi
Pada penelitian ini, pemeriksaan DNA HPV setelah radiasi menunjukkan eliminasi HPV terjadi pada 65,39% penderita dan infeksi HPV menetap dijumpai pada 34,61%.
156
Infeksi multipel
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
CUT ADEYA ADELLA, ANDRIJONO, BAMBANG SUTRISNA 153-160
menetap dengan respons klinis nonkomplit hanya 1 kasus. Tabel 5: Analisis respons klinis terhadap status HPV menetap setelah radiasi pada kelompok HPV positif Status HPV setelah radiasi Respons klinis
Jumlah Subjek
Menetap
Hilang
p*
N
%
n
%
Komplit
25
8
32
17
68
Non-komplit
1
1
100
0
0
0,346
*Fisher’s exact Test
Diagram 3: HPV menetap setelah radiasi
Pengamatan terhadap kelompok infeksi HPV, baik tunggal maupun multipel, terhadap respons klinis menunjukkan bahwa kelompok infeksi tunggal mengalami respons klinis komplit sebesar 100%; sedangkan pada kelompok infeksi multipel mengalami respons klinis komplit sebesar 66,7% dengan nilai p = 0,115. Tabel 4: Analisis status infeksi HPV tunggal/multipel terhadap respons klinis Infeksi HPV
Jumlah Subjek
Infeksi Tunggal Infeksi Multipel
Respons klinis
p*
Komplit
%
Non Komplit
23
23
100
0
0
3
2
66.7
1
33.3
% 0,115
*Fisher’s exact test
Eliminasi DNA HPV pada kelompok respons klinis komplit dan respons klinis nonkomplit secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p=0,346). Infeksi HPV menetap sebanyak 32% pada kelompok respons klinis komplit. Sedangkan infeksi HPV
Diagram 4: HPV setelah radiasi pada kelompok respons klinis komplit
DISKUSI
Pada penelitian ini terdapat 32 penderita kanker serviks stadium lanjut dengan tipe histopatologi karsinoma sel skuamosa yang menjalani terapi radiasi. Terhadap penderita tersebut dilakukan penilaian respons klinis 3 bulan setelah selesai menjalani radiasi. Respons klinis dikatakn komplit jika diperoleh hasil terapi radiasi sesuai dengan kriteria respons komplit, sedangkan respons klinis non komplit jika diperoleh hasil diluar kriteria respons komplit. Sebanyak 32 penderita dilakukan pemeriksaan genotipe DNA HPV, di mana 26 penderita (84,61%) menunjukkan hasil positif dan 5 penderita menunjukkan hasil DNA HPV negatif. Dari 32 penderita, hanya 1 orang yang tidak lengkap menjalani pengobatan radiasi sehingga jumlah keseluruhan yang diikuti sampai selesai radiasi 31 orang. Total infeksi HPV pada penelitian ini sebesar 84,61% dengan infeksi tunggal 75% dan infeksi multipel 9,39%. Infeksi HPV tunggal terdiri dari tipe
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
157
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi ... 153-160
16 (43,74%); tipe 18 (18,74%); tipe 52 (6,24%); diikuti tipe 58 dan 81 (3,13%). Sedangkan infeksi multipel terdiri dari tipe 16;18 (3,22%); tipe 18;39 (3,22%); dan tipe 16;58 (3,22%). Angka infeksi HPV pada penelitian ini kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya. Ferdousi dkk., menemukan infeksi HPV pada KSS serviks pada 84,1% dengan tipe terbanyak adalah tipe 16, yaitu 34,7%.12 Penelitian lain yang dilakukan oleh IBSCC menemukan kasus HPV pada 93% dari seluruh penderita kanker serviks. Angka kejadian infeksi HPV ini kurang lebih sama dengan penelitian yang dilakukan oleh IARC, di mana didapatkan angka infeksi HPV padan karsinoma serviks sebesar 90,7%.13,14 Bila dikaitkan dengan tipe HPV maka secara urutan kejadian infeksi HPV pada karsinoma serviks menurut penelitian multisenter yang dilakukan oleh IBSCC adalah HPV 16 (50%), HPV 18 (14%), HPV 45 (8%), dan HPV 31 (5%).13,14 Penelitian Ramdas C., di India mengenai infeksi HPV pada penderita KS memperoleh hasil infeksi HPV terdeteksi pada 83,3% penderita dengan rincian tipe terbanyak adalah tipe 16 (30%); diikuti tipe 18 (5%); tipe 16;18 (30%); dan HPV tipe lain sebanyak 30%.8 Chun C. dkk., mendeteksi 38 tipe HPV terhadap 1.010 pasien dengan kanker serviks setelah radioterapi antara tahun 1993 dan 2000. Sebanyak 25 genotipe HPV terdeteksi pada 992 spesimen (98,2%), dengan 8 jenis utama adalah HPV tipe 16 (36%); tipe 58 (26,2%); tipe 18 (18,9%); tipe 33 (13,4%); tipe 52 (8,2%); tipe 39 (5,4%); tipe 31 (3,4%); dan tipe 45 (2,6%). Pada penelitian ini, diperoleh tipe 16 (38,1%) dan tipe 58 (23,1%) terbanyak dijumpai pada jenis histopatologi KSS, sedangkan tipe adenokarsinoma/ adenoskuamosa dan small cell carcinoma paling banyak dijumpai tipe 18.15 Pada penelitian ini, diperoleh infeksi HPV menetap sebesar 34,61% (9 sampel), sedangkan eliminasi HPV terjadi pada 65,39% (26 sampel). Hal ini menunjukkan bahwa setelah selesai radiasi ternyata DNA HPV tidak hilang secara langsung, namun masih menetap pada 34,61% kasus. Distribusi infeksi HPV menetap berdasarkan tipe infeksi diperoleh pada infeksi tunggal. Jumlah infeksi menetap HPV sebesar 25,81% (8 sampel), sedangkan jumlah infeksi menetap pada infeksi multipel 33,33% (1 sampel). Infeksi menetap HPV tunggal pada penelitian ini menunjukkan bahwa untuk tipe 58 infeksi menetap terjadi pada seluruh kasus (100%), diikuti tipe 18
158
sebanyak 80%, dan tipe 16 sebanyak 21,43%. Sedangkan untuk tipe 52 dan 81 tidak dijumpai infeksi menetap. Infeksi menetap pada HPV multipel hanya dijumpai pada tipe 16;18 (100%), sedangkan tipe 18;39 dan tipe 16;58 tereliminasi. Penelitian Ramdas C. di India mengenai infeksi HPV menetap setelah terapi radiasi ditemukan bervariasi, dari 33% stadium IB, 50% stadium II, dan 43% stadium IIIB. Hasil penelitian ini menunjukkan meningkatnya kasus HPV menetap berhubungan dengan menurunnya angka ketahanan hidup penderita. Dalam studi ini, infeksi HPV sebelum radiasi dijumpai sebanyak 83,3%; sedangkan HPV menetap setelah pengobatan 37,5%.8 Penelitian Brahmana di RSCM memperoleh eliminasi HPV terjadi pada 68,8% penderita, sedangkan 31,2% penderita masih menunjukkan infeksi HPV menetap. Monica M. dkk., juga memperoleh hasil yang hampir sama, yakni eliminasi HPV dijumpai pada 65,4% penderita, sedangkan 34,6% masih menunjukkan infeksi menetap.16 Sedangkan penelitian Barbara B. terhadap 106 penderita KS yang menjalani terapi radiasi diperoleh hasil DNA HPV terdeteksi pada 90,6% penderita dengan rincian infeksi tunggal sebanyak 56,3% dan infeksi multipel 43,7%. Kemuadian, setelah menjalani terapi radiasi diperoleh 8,3% infeksi HPV menetap, di mana infeksi HPV multipel menetap pada 7,29% penderita; sedangkan infeksi HPV tunggal menetap pada 1,04% penderita.17 Penilaian respons klinis dilakukan 3 bulan setelah tindakan radiasi. Sebagian besar penderita dalam penelitian ini mengalami respons positif setelah pemberian terapi radiasi di mana pada kelompok HPV positif respons klinis mencapai 96,15%. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa pada kelompok infeksi tunggal mempunyai respons klinis positif sebesar 100%, sedangkan untuk infeksi multipel diperoleh respons klinis komplit sebesar 66,7% dengan nilai p=0,0115. Penelitian lain dilakukan terhadap 106 penderita KS yang telah menjalani terapi radiasi. Pasien diikuti selama 50 bulan dan diperoleh hasil infeksi multipel berhubungan dengan respons buruk serta memperpendek angka PFS dan OS dibandingkan dengan infeksi tunggal (24,8%; 34,9% vs. 64%; 60,8%).17 Peneliti melakukan penelitian terhadap 148 KS stadium 1B serta IIA dan menyimpulkan bahwa HPV tipe 18 berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan HPV tipe 16 (p=0,03) dalam hal kejadian kekambuhan.10
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
CUT ADEYA ADELLA, ANDRIJONO, BAMBANG SUTRISNA 153-160
Infeksi HPV pada KSS serviks dijumpai pada 84,1% dengan tipe terbanyak tipe 16, yaitu 34,7%. Setelah menjalani terapi radiasi HPV, tipe 16 mengalami respons pengobatan yang buruk (21,2%) dibandingkan tipe-tipe lain. Untuk angka ketahanan hidup 5 tahun pada penelitian ini diperoleh tipe 58 (90%); tipe 31 (80%); tipe 16 (69,4%); dan tipe 33 (39%).12 Sedangkan penelitian yang dilakukan Brahmana di RSCM diperoleh 76,9% eliminasi HPV pada penderita KSS serviks dan 59,1% pada adenoskuamosa serviks. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan respons terapi terhadap kemoradiasi, di mana penderita dengan respons komplit menunjukkan eliminasi HPV lebih besar dibandingkan dengan KS respons tidak komplit (p=0,031). Namun, pada penderita respons komplit ternyata masih terjadi infeksi menetap HPV pada sekitar 21,2% kasus.11 Chun C. Dkk., melakukan pengamatan selama 70 bulan terhadap penderita KS setelah menjalani terapi radiasi. Jenis ini berasal dari dua spesies HPV berisiko tinggi: alpha - 7 (HPV18, 39, 45) dan alpha - 9 (HPV16, 31, 33, 52, 58) . Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kelompok berisiko tinggi terdiri dari pasien tanpa infeksi HPV atau yang terinfeksi dengan alpha-7 spesies saja. Pasien koinfeksi dengan alpha-7 dan alpha-9 sebagai kelompok risiko menengah dan yang lain, termasuk dalam kelompok risiko rendah.15 Pengamatan yang dilakukan oleh Joo-Young Kim dkk., terhadap 181 penderita KS menyimpulkan bahwa HPV tipe 18 merupakan faktor prognosis terhadap luaran terapi radiasi. Namun, harus digarisbawahi adanya hubungan erat dengan histologi adeno-carcinoma/adeno-skuamous carcinoma dalam hal kekambuhan setelah radiasi.18 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eliminasi HPV dijumpai 68% pada respons klinis komplit, sedangkan pada kelompok respons klinis non komplit dijumpai infeksi persisten 100%. Namun, secara statistik tidak dijumpai hubungan antara eliminasi HPV dengan respons klinis positif (p=0,346). Hal ini menunjukkan bahwa bila tumor menghilang maka HPV ikut tereliminasi. Namun, pada kasus dengan respons klinis positif yang secara klinis sudah tidak terdapat massa, ternyata masih terjadi infeksi menetap sebanyak 32%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Brahmana di RSCM memperoleh hasil bahwa pada penderita respons komplit ternyata masih terjadi infeksi menetap HPV pada sekitar 21,2% kasus.11
Sing RK menilai hubungan antara HPV DNA dengan kekambuhan KS dan memperoleh hubungan antara viral load tinggi pada sel exfoliatif serviks dan plasma terhadap terjadinya kekambuhan sehingga viral load tinggi pada sel exfoliatif serviks dan plasma dapat digunakan sebagai deteksi awal untuk terjadinya kekambuhan.19 Penelitian yang dilakukan Nagai menunjukkan bahwa HPV menetap pada kanker serviks setelah pengobatan ternyata mempunyai angka kejadian kekambuhan lebih tinggi (34%) jika dibandingkan dengan kelompok dengan HPV negatif setelah terapi radiasi (7,1%). Penelitian ini menunjukkan masih terdapat infeksi HPV menetap setelah radiasi pada penderita KS dengan respons komplit, namun secara statistik infeksi menetap ini tidak berhubungan bermakna dengan respons radiasi.5 KESIMPULAN
Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan antara respons klinis komplit dengan infeksi HPV menetap (p=0,346). Perbedaan ini kemungkinan terjadi karena terdapat perbedaan metode evaluasi setelah pengobatan, di mana penelitian yang dilakukan Nagai menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomografi (CT Scan) sebagai modalitas respons terapi terhadap radasi yang diberikan. Sedangkan pada penelitian ini, metode pemeriksaan setelah menjalani terapi hanya menggunakan pemeriksaan klinis untuk menentukan respons terapi. Mungkin saja pada penderita yang secrara klinis berdasarkan pemeriksaan visualisasi serviks luar tidak ditemukan lagi tumor, namun sebenarnya masih mungkin terdapat residu di bagian sentral yang hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan menggunakan MRI atau CT Scan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa persistensi HPV pada kanker serviks setelah menjalani radiasi mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya rekurensi.5,11,12,16,17 Namun, pada penelitian ini infeksi HPV menetap tidak dapat digunakan sebagai faktor prognosis terjadinya kekambuhan. Hal ini disebabkan keterbatasan waktu pengamatan, di mana penelitian ini hanya mengamati sampai 3 bulan setelah terapi radiasi. Dengan adanya infeksi HPV menetap pada 32% kasus dengan respons klinis positif, berarti terdapat risiko kekambuhan sebesar 32% pada penderita respons klinis positif.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
159
Hubungan Genotipe DNA Human Papillomavirus (HPV) Terhadap Respons Terapi Radiasi ... 153-160
DAFTAR PUSTAKA
1.
Parkin DM, Bray F, Ferlay J, et al. Global Cancer Statistics, 2002. CA Cancer J. Clin 2005; 55:74-108. 2. Ferlay J, Bray F, Pisani P, et al. GLOBOCAN 2002: Cancer incidance, mortality and prevalence world wide. IARC Cancer Base No.5, Version 2.0 Lyon: IARC Press, 2004. 3. M. Farid Aziz. Gynecological cancer in Indonesia. J Gynecol Oncol March 2009; 20(1): 8-10. 4. Laila N, Chaterine, et,al. Distribution of Age, Stage, and Histopathology of Cervical Cancer: A Retrospective study on Patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia, 2006-2010. Indones J Obstet Gynecol. 2011;35:2124 5. Nagai Y, Maehama T, Asato T, Kanazawa K . Persistence of human papillomavirus infection after therapeutic conization for cin 3: is it alarm for disease recurrence? Gynecology Oncology 2000;79:294-9. 6. Nagai Y , Toma T, Moromizato H. Persistence of human papillomavirus infection as a predictor for recurrence in carcinoma of the cervix after radiotherapy. American Journal of Obstetric and Gynecology 2004; 191:1907-13. 7. Licitra L, Perrone F, Bossi P, et al. High-risk human papillomavirus affects prognosis in patients with surgically treated oropharyngeal squamous cell carcinoma. J Clin Oncol. 2006;24(36):5630–6. 8. Ramdas C, Biblap Mandal, Sarmistha B, Detection of HPV DNA in Cervical Carcinomas after Treatment in India. Int J Hum Genet. 2005; 5(1): 27-31 9. Yoko H, Satoshi S, Kenji N et al. Human Papilloma Virus (HPV) assosiated with prognosis of cervical cancer after radiotherapy. Int J. Radiation Oncology Biol.Phys. 2002;52,13451351. 10. Barbara B, Andreas O, Bettina D. Impact of multiple HPV infection on response to treatment and survival in patient reciving radical radiotherapy for cervical cancer. 11. Brahmana AT. Eliminasi HPV dan Respons Terapi Pada Karsinoma Serviks dan Karsinoma Sel Skuamosa Serviks yang Mendapat Pengobatan Kemoradiasi. Laporan Penelitian Konsultan Onkologi FKUI/RSCM 2006.
160
12. Jannatul F, Yatuka Nagai, Tsuyoshi Asato et al. Impact of Human Papillomavirus genotype on response to treatment and survival in patients receiving radiotherapy for squamous cell carcinoma of cervix. Experimental and Therapeutic medicine 2010;1:525-539. 13. Basemen JG. The Epidemiology of Human Papiloma virus Infection. Journal Clin Virology 2005;32:16-24. 14. Villa LL. Biology of Genital Human Papilloma Viruses. Int J Gynaecol Obstet 2006;96:S3-S7. 15. Chun CW, Chyong HL, Huei JH et al. Clinical Effect of Human Papillomavirus genotypes in patients with cervical cancer undergoing primary radiotherapy. Int. J. Radiation Oncology Biol. Phys. 2010;78: 1111-1120. 16. Monica Molano, Pablo Moreno Acosta, Maria Mercedes Bravo. Types and variants of Human Papillomavirus in patients with cervical cancer submitted to radiotherapy. Biosalud 2007;6:45-57. 17. Barbara Bachtiary, Andreas Obemair, Bettina Dreier. Impact of multiple HPV infection on respons to treatment and survival in patients receiving radical radiotherapy for cervical cancer. International Journal Cancer 2002; 102:237-243. 18. Joo Young Kim, Byung Ho Nam, Jin Ah Lee. Is Human papillomavirus genotype an influencing factor on radiotherapy outcome? Ambiguity caused by an association of HPV 18 genotype and adenocarcinama histology? J. Gynecol Oncol 2010; 22:32-38. 19. Singh RK, Maulik Sm, Mondal RK et al. Human Papillomavirus prevalance in post radiotherapy uterine cervical cancer patients. Correlation with recurrent of the disease. Int. J. Gynecol Cancer 2006; 16:1048-54
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
ARTIKEL PENELITIAN
Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker dan Karsinoma Sel Skuamosa Serviks WITA SARASWATI1, HERU SANTOSO1, ENDANG RETNOWATI K2, FAROEK HOESIN3, I KETUT SUDIANA4
Departemen/SMF Obsteri dan Ginekologi Divisi Onkologi Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Departemen/SMF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 3 Departemen/SMF Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 4 Unit Mikroskopi Elektron dan Lab Medis Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 1 2
Diterima: 7 Agustus 2014; Direview : 12 Agustus 2014; Disetujui: 18 September 2014
ABSTRACT This research was performed to investigate the profile of Natural Killer (NK) cells in peripheral blood and tumor tissues of cervical pre cancerous lesion and squamous cell carcinoma of cervix patients. This research was an observational analysis study with cross-sectional design of 47 subjects which comprises of 17 cervical pre cancerous lesion patients, 8 early stage squamous cell carcinoma of cervix patients and 22 late stage squamous cell carcinoma of cervix patients in Dr. Soetomo Hospital-Airlangga University teaching hospital, Surabaya. After clinical and histopatologic diagnosis was established, NK cell count was perfomed on the biopsies, and both NK cell count and percentage of activated NK cells was performed on the peripheral blood of those three groups. From this research, it was found that the average number and percentage of activated NK cells within peripheral blood of cervical pre cancerous lesion patients were lower (349.65 cell/µL; 15.13%) compared with early stage carcinoma (552 cell/µL; 18,40%) and late stage carcinoma (590.32 sel/µL; 23.29%). NK cell expression of cervical tumor tissues on three groups are very low, 0.29% on cervical pre cancerous lesion patients; 0.45% on early stage cervical cancer patients; and 0.04% on late stage cervical cancer patients. Significant differences was found in the number of NK cells (p=0.016) and percentage of activated NK cells (p=0.041) within peripheral blood between pre cancerous lesion patients and late stage squamous cell cervical cancer patients, no significant difference was found in the number of NK cells within tumor tissue (p=0.278). Keyword: NK cell, pre cancerous lesion of the cervix, early stage squamous cell carcinoma of cervix, late stage squamous cell carcinoma of cervix
ABSTRAK
KORESPONDENSI: dr. Wita Saraswati, SpOG. Departemen/SMF Obsteri dan Ginekologi Divisi Onkologi Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Email: witaoesman @gmail.com
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil sel Natural Killer (NK) dalam darah perifer dan jaringan tumor pada penderita lesi prakanker dan karsinoma sel skuamosa serviks. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan rancangan cross-sectional terhadap 47 subjek yang terdiri atas 17 penderita lesi prakanker serviks, 8 penderita karsinoma sel skuamosa serviks baik stadium awal, dan 22 penderita karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Setelah diagnosis klinik dan histopatologik ditegakkan maka terhadap ketiga kelompok tersebut dilakukan pemeriksaan jumlah sel NK dan prosentase sel NK teraktivasi dari darah tepi serta pemeriksaan jumlah sel NK dari biopsi jaringan tumor. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah dan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer penderita lesi prakanker serviks lebih rendah (349,65 sel/µL; 15,13%) dibandingkan dengan penderita karsinoma stadium awal (552 sel/µL; 18,40%) dan penderita karsinoma stadium lanjut (590,32 sel/µL; 23,29%). Ekspresi sel NK pada jaringan tumor serviks pada ketiga kelompok sangat rendah, yaitu 0,29% pada penderita lesi prakanker serviks; 0,45% pada penderita kanker serviks stadium awal; dan 0,04% pada penderita kanker serviks stadium lanjut.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
161
Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker ... 161-167
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna jumlah sel NK (p=0,016) dan sel NK teraktivasi (p=0,041) dalam darah perifer antara penderita lesi prakanker dan karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut. Namun, tidak demikian halnya dengan infiltrasi sel NK dalam jaringan tumor (p=0,278). Kata Kunci: Sel NK, lesi prakanker serviks, karsinoma sel skuamosa serviks stadium awal, karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut
PENDAHULUAN
M
enurut survei yang dilakukan oleh GLOBOCAN pada 2008, kanker serviks merupakan kanker tersering kedua pada wanita di negara-negara sedang berkembang (setelah kanker payudara), yaitu 13%. Negara-negara ini berkontribusi terhadap 80% kasus. Kanker serviks merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita di negara sedang berkembang, yaitu sekitar 190.000 kematian setiap tahun. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks. Sekitar 8000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks tertinggi di dunia, dengan setiap hari 40-45 terdiagnosis kanker serviks dan 20-25 di antaranya meninggal dunia.1 Hingga saat ini, Human Papilloma Virus (HPV) merupakan penyebab 99,7% kanker serviks. Virus papilloma ini berukuran kecil, diameter virus kurang lebih 55 nm.Terdapat lebih dari 100 tipe HPV. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56, dan 58 sering ditemukan pada kanker maupun lesi prakanker serviks. HPV tipe 16 dan 18 merupakan 70% penyebab kanker serviks.2 Sifat onkogenik HPV dikaitkan dengan protein virus E6 dan E7 yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga terjadi lesi prakanker yang kemudian berkembang menjadi kanker.3 Sel NK merupakan satu jenis sel limfosit sitotoksik yang penting dalam sistem imun alamiah. Peran sel NK analog dengan sel T sitotoksik terdapat dalam respons imun adaptif pada vertebrata. Sel NK memberikan respons yang cepat pada sel-sel yang terinfeksi virus, juga memberikan respons pada pembentukan tumor. Pada umumnya, sel-sel imun akan mendeteksi MHC yang dipresentasikan pada permukaan sel terinfeksi. Hal ini akan memicu pelepasan sitokin yang menyebabkan lisis atau apoptosis. Sel NK bersifat unik karena memiliki kemampuan untuk mengenali sel-sel yang mengalami stres tanpa adanya antibodi dan MHC. Hal ini
162
memungkinkan reaksi imun yang jauh lebih cepat. Mereka dinamakan ‘Natural Killer’ karena dalam membunuh sel yang kehilangan petanda self (yaitu MHC) tanpa memerlukan akivasi terlebih dahulu.4Ciri permukaan CD16 dan CD56 secara simultan tanpa ekspresi CD3 (CD3-CD56+/CD16+) saat ini digunakan untuk mengidentifikasi sel NK dan mencakup > 90% populasi sel NK pada orang dewasa normal.5,6 Peran sel NK yang jelas sebagai antitumor secara in vivo dan peran MHC klas I dalam pengenalan sel NK pertama kali ditunjukkan oleh Klas Kärre dkk., pada 1986. Sel NK memiliki kemampuan untuk melisis target tumor tertentu secara spontan, baik secara in vivo maupun in vitro, tanpa mengalami sensitisasi sebelumnya. Sel NK juga mampu mengeliminasi sel-sel metastatik dalam sirkulasi. Interaksi fisik antara sel NK dengan sel target adalah kunci utama dalam fisiologi sel NK. Sel NK dikenal sebagai sel yang mampu mengenali dan merusak target yang telah kehilangan ekspresi molekul MHC klas I. Bagaimana pun, saat ini mekanisme yang mengendalikan karakter sel NK terhadap sel lain sangatlah rumit. Reseptor pengaktif pada sel NK dapat mengenali berbagai ligan yang heterogen, yang beberapa di antaranya diekspresikan oleh sel normal dan beberapa yang lain diekspresikan terutama oleh sel yang mengalami stres, yaitu yang terinfeksi oleh mikroba atau yang mengalami transformasi. Hampir semua reseptor pengaktif sel NK memiliki kesamaan umum, yaitu adanya struktur ITAM (immunoreceptor tyrosine-based activation motif) dalam sitoplasma yang akan berikatan dalam penyaluran sinyal yang memicu pembunuhan sel target dan sekresi sitokin.5 Setelah teraktivasi, sel NK akan melepaskan berbagai substansi, seperti perforin dan granzyme. Sel target akan mengalami apoptosis dan hancur akibat sekresi sel NK dari granulasitoplasmik yang mengandung protein jenis perforin dan granzyme ini. Perforin menyebabkan membran sel target berlubang, selanjutnya granzyme masuk ke dalam sel target dan memacu apoptosis sel target.5,7 Karsinoma serviks yang disebabkan oleh HPV seringkali menunjukkan ekspresi MHC klas I yang rendah. Hal ini membuat sel tumor tidak dapat mempresentasikan peptida virus secara langsung kepada limfosit T sitotoksik. Hilangnya ekspresi MHC klas I disertai dengan ekspresi ligan reseptor pengaktif sel NK membuat sel tumor peka terhadap serangan sel NK. Sebuah studi telah menganalisis ekspresi ligan reseptor pengaktif sel NK, akumulasi dan aktivasi
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
WITA SARASWATI, HERU SANTOSO, ENDANG RETNOWATI K, FAROEK HOESIN, I KETUT SUDIANA 161-167
sel NK in situ pada jaringan ektoserviks normal, cervical intraepithelial neoplasia (CIN), dan karsinoma sel skuamosa serviks. Peningkatan jumlah sel NK dijumpai lebih banyak pada CIN dibandingkan dengan jaringan ektoserviks normal dan karsinoma sel skuamosa serviks.7-9 Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan jumlah dan aktivitas sel NK antara penderita lesi prakanker serviks, kanker serviks stadium awal, dan kanker serviks stadium lanjut. Dengan demikian, dapat diketahui potensi sistem imun dalam mengendalikan kanker dan mengembang kan berbagai cara untuk meningkatkan potensi sistem imun penderita kanker. MATERI DAN METODA
Penelitian ini merupakan studi analitik observa sional dengan rancangan cross-sectional yang dilakukan pada Oktober 2012 hingga April 2013 terhadap 47 subjek yang terdiri atas 17 penderita lesi prakanker serviks, 8 penderita karsinoma sel skuamosa serviks baik stadium awal (stadium Ia-IIa), dan 22 penderita karsinoma sel skuamosa serviks stadium lanjut (stadium IIb-IVb) di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Setelah diagnosis klinik dan histopatologik ditegakkan maka terhadap ketiga kelompok tersebut dilakukan pemeriksaan jumlah sel NK (diambil 3 ml darah vena, dimasukkan dalam tabung vakum K3EDTA) dan prosentase sel NK teraktivasi (diambil 4 ml darah vena dimasukkan dalam tabung vakum Li-Heparin), serta pemeriksaan jumlah sel NK pada jaringan tumor (dari biopsi serviks yang dimasukkan dalam larutan 10% buffer formalin). Identifikasi sel menggunakan instrumen otomatis yang disebut dengan flow-cytometry dan cell sorting (Fluorescence Activated Cell Sorter, FACS). Sel NK diidentifikasi melalui ekspresi CD56+ dan/atau CD16+ tanpa ekspresi CD3 (CD3-). CD56+ dan CD16+ secara bersamaan mengidentifikasi jumlah sel NK. Perhitungan jumlah sel NK (CD3-CD56+/CD16+) menggunakan TruCOUNT bead concentration secara manual: Prosentase sel NK teraktivasi adalah prosentase sel NK teraktivasi (CD56+CD69+) yang beredar dalam darah tanpa diaktivasi secara in vitro. Sel NK teraktivasi dapat diidentifikasi melalui ekspresi CD56+
dan CD69+. CD56+ mengidentifikasikan populasi sel NK teraktivasi dan yang resting. CD56+ dapat mengenali extracellular imunoglobulin-like domain pada neural cell adhesion molecule (NCAM). CD69+ mempresentasikan sel NK yang teraktivasi oleh berbagai stimulus dan mencapai ekspresi maksimal dalam waktu 18 jam. CD69+ tidak diekspresikan oleh sek NK yang resting. Pemeriksaan prosentase sel NK teraktivasi (CD56+CD69+) menggunakan program Cell Quest Flow Cytometer.10,11 Studi imunohistokimia pada spesimen pembedahan dilakukan dengan antibodi monoklonal CD57 untuk menilai infiltrasi sel NK. Pemeriksaan jumlah sel NK (CD3-CD57+) pada jaringan tumor serviks dilakukan dengan Multivision Polymer Detection System, yaitu sistem deteksi polimer satu tahap yang mudah (sederhana) dan sempurna untuk menvisualisikan dua antigen secara simultan dalam warna biru dan merah. Perhitungan statistik dalam penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 (5%) sehingga apabila dalam uji statistik didapatkan p < 0,05 diartikan sebagai bermakna dan apabila p > 0,05 diartikan sebagai tidak bermakna. HASIL
Penelitian ini memperoleh gambaran hasil flowsitometri sebagai berikut. Tabel 1: Jumlah sel NK darah perifer Stadium Tumor
n
Prakanker
17
Awal Lanjut
Jumlah Sel NK darah (Sel/µL) x
SD
Min
Maks
349,65a
161,82
107
711
8
552,00
ab
276,65
59
836
22
590,32b
300,06
167
1345
p
0,016*
Keterangan: *signifikan pada α=0,05 superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan antarkelompok a,b
Didapatkan perbedaan jumlah sel NK dalam darah perifer yang bermakna antara penderita lesi prakanker serviks dengan penderita kanker serviks stadium lanjut (p<0,05). Penderita lesi prakanker
Jumlah event area CD3-CD56+/CD16+ Jumlah sel NK =
Jumlah bead per tes x
Jumlah event area bead
Volume pemeriksaan
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
163
Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker ... 161-167
serviks memiliki jumlah sel NK darah yang lebih rendah dibandingkan penderita kanker serviks stadium lanjut. Tabel 2: Prosentase sel NK teraktivasi darah perifer Stadium Tumor
n
Prakanker
Jumlah Sel NK darah (Sel/µL) x
SD
Min
Maks
17
15,13a
6,56
5,01
29,09
Awal
8
18,40ab
9,07
3,76
28,72
Lanjut
22
23,29b
11.78
8,11
50,11
p
0,041*
Keterangan: *signifikan pada α=0,05 superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan antarkelompok. a,b
Terdapat perbedaan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer yang bermakna antara penderita lesi prakanker serviks dengan penderita kanker serviks stadium lanjut (p<0,05). Penderita lesi prakanker serviks memiliki prosentase sel NK teraktivasi darah perifer yang lebih rendah dibandingkan penderita kanker serviks stadium lanjut.
Jumlah sel NK dalam jaringan tumor dinyatakan dengan ekspresi CD3- CD57+ dengan cara manual menghitung prosentase sel NK (yang dinyatakan dengan stain tunggal) dari seluruh sel yang terbaca pada 10 lapangan pandang per slide (625 mikron2). Tabel 3: Prosentase sel NK dalam jaringan tumor Stadium Tumor
n
Prakanker
Ekspresi Sel NK jaringan tumor (%) x
SD
Medium
Min
Maks
17
0,29
0,52
0,00
0,00
1,82
Awal
8
0,45
1,07
0,04
0,00
3,08
Lanjut
22
0.04
0,10
0,00
0,00
0,35
0,278*
Keterangan: *signifikan pada α=0,05
Terdapat perbedaan prosentase sel NK dalam spesimen jaringan tumor yang tidak bermakna antara penderita lesi prakanker serviks dengan penderita kanker serviks, baik stadium awal maupun lanjut (p>0,05). Pada pemeriksaan tersebut diperoleh gambaran imunohistokimia, baik infiltrasi sel NK (dengan stain tunggal) maupun sel T limfosit (dengan stain ganda) yang sangat rendah pada ketiga kelompok penderita.
Gambar 1: Contoh hasil pemeriksaan jumlah sel NK dalam darah perifer
Gambar 2: Contoh hasil pemeriksaan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer.
164
p
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
WITA SARASWATI, HERU SANTOSO, ENDANG RETNOWATI K, FAROEK HOESIN, I KETUT SUDIANA 161-167
a.
b.
(SS) (DS)
c.
d.
(SS) Gambar 3.a.b.c.d: Ekspresi imunohistokimia sel NK dalam jaringan tumor (pembesaran 400x) Pos SS= single stain (warna merah saja pada sitoplasma) menunjukkan sel NK (CD3-CD57+) Pos DS = double stain (warna merah dan biru pada sitoplasma) menunjukkan sel limfosit T (CD3+CD57+) Neg = tidak menunjukkan baik warna biru maupun merah pada sitoplasma merupakan sel yang lain.
DISKUSI
Pada penelitian ini, didapatkan rata-rata jumlah dan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer penderita lesi prakanker serviks lebih rendah (349,65 sel/µL; 15,13%) dibandingkan dengan penderita kanker serviks stadium awal (552 sel/µL; 18,40%) dan penderita kanker serviks stadium lanjut (590,32 sel/µL; 23,29%). Bila dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel NK dalam darah perifer pada orang dewasa normal (250 sel/µL) maka pada penelitian ini didapatkan data bahwa baik penderita lesi prakanker serviks, kanker serviks stadium awal maupun lanjut memiliki jumlah sel NK yang lebih tinggi. Demikian pula dengan rata-rata prosentase sel NK teraktivasi dalam darah perifer pada ketiga kelompok penelitian yang juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada orang dewasa normal (3,51%). Tingginya jumlah dan prosentase sel NK teraktivasi dalam darah tepi ini dapat terjadi karena infiltrasi sel-sel tumor ke dalam peredaran darah, mikrometastasis dalam kelenjar getah bening, bahkan mungkin disebabkan oleh infeksi sekunder (terutama
infeksi virus) yang mungkin terjadi pada penderita kanker stadium lanjut. Ekspresi sel NK pada jaringan tumor serviks (dinyatakan dalam prosentase) pada ketiga kelompok sangat rendah, yaitu 0,29% pada penderita lesi prakanker serviks; 0,45% pada penderita kanker serviks stadium awal; dan 0,04% pada penderita kanker serviks stadium lanjut. Perbedaan pada ketiga kelompok tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,278). Sel Natural Killer merupakan bagian kecil dari tumor infiltrating lymphocytes yang memiliki aktivitas sitotoksik spontan melawan sel-sel tumor dan merupakan lini pertama dalam perondaan tumor (tumor surveilance). Telah dilaporkan bahwa sel NK memainkan peran yang penting dalam regulasi proliferasi tumor dan dapat digunakan sebagai petanda yang berguna dalam menentukan ketahanan hidup penderita kanker serviks stadium awal. Pada kanker serviks, distribusi subpopulasi limfosit pada daerah tumor, khususnya CD8, memiliki implikasi dalam progresivitas penyakit dan faktor prognosis. Bagaimana pun, kepentingan klinis infitrasi sel NK intratumoral masih tetap belum dapat dimengerti
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
165
Profil Sel Natural Killer (NK) dalam Darah Perifer dan Jaringan Tumor Penderita Lesi Prakanker ... 161-167
dengan baik. Fungsi sel NK yang sangat penting yang bertanggung jawab terhadap perondaan adalah kemampuannya untuk ekstravasasi dan melokalisir tumor (dalam jaringan). Dalam penelitian ini didapatkan jumlah dan aktivitas sel NK dalam darah perifer yang lebih tinggi pada penderita kanker serviks stadium lanjut dibandingkan dengan penderita lesi prakanker maupun kanker serviks stadium awal, namun infiltrasi sel NK pada spesimen tumor sangat rendah pada ketiga kelompok di atas. Hal ini sesuai dengan beberapa studi sebelumnya bahwa hanya sedikit sel NK yang menginfiltrasi jaringan tumor sehingga perannya dalam mengeliminasi sel-sel tumor sangat kecil. Sel NK tampaknya tidak mampu berfungsi dan menginfiltrasi jaringan tumor pada penderita kanker tersebut. Perkembangan lesi prakanker serviks dan kanker serviks sangat berkaitan dengan berubahnya respons sitokin tipe Th1 menjadi tipe Th2 yang ditandai dengan meningkatnya kadar IL-4 dan IL-10 dan menurunnya jumlah IL-12 serta IFN-γ. Lagi pula, telah diketahui bahwa IL-10 menurunkan respons imun spefisik tumor dengan menekan secara langsung produksi IFN-γ dan IL-12. Hal ini mencegah migrasi dan aktifasi sel NK dan CTL. Dalam penelitian ini, infiltrasi sel NK pada lesi prakanker serviks dan kanker stadium awal memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kanker serviks stadium lanjut, walaupun perbedaan tersebut tidak bermakna karena infiltrasi sel NK pada ketiga kelompok tersebut sangat rendah. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa walaupun populasi sel NK dalam darah perifer menunjukkan peningkatan (tinggi pada penderita kanker serviks stadium lanjut), peningkatan ini tidak direfleksikan pada jaringan/spesimen biopsi serviks (infiltrasi sel NK pada spesimen biopsi serviks penderita kanker serviks stadium lanjut paling rendah bila dibandingkan dengan dua kelompok yang lain). Migrasi sel NK ke dalam jaringan tumor yang tidak efisien mungkin terkait dengan ekspresi sitokin imunosupresif, khususnya IL-10.
Hasil penelitian ini menunjukkan walaupun populasi sel NK dalam darah perifer pada ketiga kelompok meningkat, peningkatan ini tidak ditampak kan dalam infiltrasinya di jaringan tumor. Migrasi sel NK yang tidak efisien mungkin berkaitan dengan ekspresi sitokin imunosupresi, khususnya IL-10. Bagaimana pun penelitian mengenai jumlah sel NK dan prosentase sel NK yang teraktivasi, baik dalam darah perifer maupun jaringan tumor, seringkali menunjukkan hasil yang berbeda antara kanker serviks dan tumor solid yang lain (misalnya paru, lambung, kolorektal). Dalam penelitian kami, hasil yang kami peroleh konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Cespedes, dkk., yaitu pada kanker serviks stadium lanjut didapatkan jumlah sel NK dan prosentasi sel NK teraktivasi dalam darah perifer yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pada penderita lesi prakanker atau kanker stadium awal.12 Tidak demikian halnya dengan kanker/tumor solid lain yang memberikan hasil sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan perkembangan kanker serviks memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tumor solid lain, yaitu infeksi virus HPV yang tidak pernah menjadi fase viremia dan hanya menginfeksi permukaan/epitel serviks. Proses transformasi pada awalnya terbatas pada lapisan epitel sehingga tidak membangkitkan migrasi dan aktivasi sel NK dalam darah, kecuali pada stadium lanjut di mana telah terjadi infiltrasi sel-sel kanker ke dalam aliran darah dan kelenjar limfe sehingga dapat dikenali oleh sel NK dan mengaktifkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan bermakna rata-rata jumlah (p = 0,016) dan prosentase sel NK teraktivasi (p = 0,041) dalam darah perifer antara penderita lesi prakanker serviks dan penderita kanker serviks stadium lanjut.
166
6. 7.
Aziz M. Gynecological cancer in Indonesia. J Gynecol Oncol. 2009;20(1):8-10. Sherris J, Herdman C, Elias C. Cervical cancer in the developing world. West J Med. 2001;175(4):231-3. Hakim L. Biologi dan Patogenesis Human Papiloma Virus. Surabaya: 2010. Vivier ER, D. H. et al. Innate or adaptive immunity? The example of natural killer cells. Science 2011;331(6013):44-9. Abbas AK, Lichtman AHH, Pillai S. Innate Immunity. Cellular and Molecular Immunology: with Student Consult Online Access. 7 ed: Elsevier Health Sciences; 2012. p. 68-75. I Waldhauer ea. NK cells and cancer immunosurveillance. Oncogene. 2008;27:5932–43. Zamai LP, C. et al. NK cells and cancer. J Immunol. 2007;178(7):4011-6.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
WITA SARASWATI, HERU SANTOSO, ENDANG RETNOWATI K, FAROEK HOESIN, I KETUT SUDIANA 161-167
8.
Lanier. LL. Evolutionary struggles between NK cells and viruses. Nat Rev Immunol. 2008;8(4):259–68. 9. Garcia A NDea. Augmented serum level of major histocompatibility complex class I-related chain A (MICA) protein and reduced NKG2D expression on NK and T cells in patients with cervical cancer and precursor lesions. BMC Cancer. 2008;8:16. 10. Vitale MZ, L. et al. Natural killer function in flow cytometry: identification of human lymphoid subsets able to bind to the NK sensitive target K562. Cytometry 1991;12(8):717-22.
11. Misha R WJ. Introduction to Flow Cytometry. First Paperback Edition. 2004: Cambridge University Press. 12. Céspedes MA RgJ, Medina M, Bravo MM, Cómbita AL. Analysis of NK cells in peripheral blood and tumor infiltrating lymphocytes in cervical cancer patients. Rev Colomb Cancerol. 2012;16(1):16-26
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
167
ARTIKEL PENELITIAN
Batasan Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Kanker Prostat untuk Memprediksi Metastasis ke Tulang di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta AHMAD SULAIMAN LUBIS1, DANARTO2
Residen Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Sardjito, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Divisi Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Sardjito, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1 2
Diterima: 12 Juni 2014; Direview : 27 Juni 2014; Disetujui: 18 Desember 2014
ABSTRACT The object of this study to establish a serum PSA cut-off value to predict the presence of bone metastasis in prostate cancer. Methods: Consecutive patients diagnosedwith prostate cancer were retrospectively analyzed. Patients had received bone scintigraphy and had their PSA concentration measured. The proper cut-off value was established based on statistical analysis in order to predict the possibility of bone metastasis among them. Results: eighty-three consecutive patients with prostate cancer were enrolled, and 55 patients (66%) with bone metastasis confirmed by scintigraphic findings. A serum PSA concentration of 17.65 ng/ml gave the best sensitivity (78.33%) and specificity (65.21%). The PPV and NPV were 85.45% and 53.57%, respectively (p<0.05) Conclusion: a cut-off value of 17.65 ng/ml appears to be an appropriate benchmark for stratifying metastatic bone disease in prostate cancer patientssuch that if a patient with newly diagnosed prostate cancer and without any skeletal symptoms has a serum PSA concentration of less than 17.65 ng/ml,we suggest that they would not need to undergo bone scintigraphy. Keyword: Prostate Cancer,Prostate Specific Antigen, Bone scintigraphy
ABSTRAK Tujuan penelitian adalah menentukan batasan nilai PSA untuk memprediksi adanya metastasis tulang pada pasien kanker prostat. Pasien dengan kanker prostat, telah melakukan pemeriksaan sidik tulang, dan terdapat nilai PSA awal dianalisis secara retrospektif. Batasan nilai yang sesuai kemudian ditetapkan berdasarkan kemungkinan adanya metastasis tulang pada pasien kanker prostat. Pada penelitian ini, terdapat 83 pasien kanker prostat yang ikut dalam penelitian dan 55 pasien (66%) dengan metastasis tulang yang dikonfirmasi dengan sidik tulang. Nilai serum PSA 17,65 ng/ml memiliki sensitivitas (78,3%) dan spesifisitas (65,21%) terbaik. Nilai PPV dan NPV adalah 85,45% dan 53,57% (p<0,05). Kesimpulannya, nilai PSA 17,65 ng/ml tampaknya merupakan patokan yang sesuai untuk stratifikasi metastasis tulang pada pasien kanker prostat sehingga jika terdapat pasien baru didiagnosis kanker prostat tanpa gejala nyeri tulang, sebaiknya tidak dilakukan pemeriksaan sidik tulang. KORESPONDENSI: dr. Ahmad Sulaiman Lubis. Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Sardjito, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Email:
[email protected]
Kata Kunci: Kanker prostat, prostate Specific Antigen, sidik tulang
PENDAHULUAN
K
anker prostat merupakan jenis keganasan non-kulit yang terbanyak di negara barat atau keganasan tersering ke-4 pada pria di seluruh dunia setelah kanker kulit, paru, dan usus besar. Di seluruh dunia, lebih dari 670.000 pria per tahun didiagnosis kanker prostat. Insiden terendah di Asia (Shanghai) sebesar 1,9 per
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
169
Batasan Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Kanker Prostat untuk Memprediksi Metastasis ke Tulang di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta 169-172
100.000 penduduk dan tertinggi di Amerika Utara dan Skandinavia, terutama keturunan Afro-Amerika sebesar 272 per 100.000 penduduk.1,2,3 Di Indonesia, terdapat 971 penderita kanker prostat pada 2006−2010. Usia rerata 68,3 tahun, terbanyak pada selang usia 70−79 tahun sebesar 37,6%. Di RSCM dan RS Kanker “Dharmais”, terdapat peningkatan jumlah penderita pada 2001−2006 sebanyak dua kali dibandingkan tahun 1995−2000, dengan jumlah penderita rata-rata per tahun 70−80 kasus baru/tahun.3 Beberapa faktor yang dicurigai sebagai faktor risiko adalah peningkatan usia, etnik, dan keturunan.4 Penegakan diagnosis kanker prostat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa colok dubur, pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA), serta pemeriksaan ultrasonografi transrektal. Diagnosis pasti diperoleh dari hasil histopatologis pada sediaan prostat, baik dari biopsi prostat maupun kerokan prostat.2,3,5 Penyebaran kanker prostat terbanyak adalah ke tulang. Sekitar 70% pasien kanker prostat stadium lanjut mengalami metastasis ke tulang. Metastasis kanker prostat ke tulang akan menimbulkan masalah baru, seperti nyeri tulang yang hebat, keterbatasan aktivitas, hiperkalsemia, masa rawat inap di rumah sakit yang semakin lama, fraktur patologis, serta kompresi spinal cord yang bisa menimbulkan hemiparese atau parese.6,7,11 Metastasis kanker prostat ke tulang secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 tahap. Pertama, pertumbuhan sel kanker itu sendiri dalam kelenjar prostat, kemudian sel kanker menginvasi jaringan di sekitar prostat, dan selanjutnya mengadakan intravasasi (masuk ke aliran darah). Kedua, sel kanker akan migrasi melalui aliran darah dan selanjutnya sampai ke tulang. Ketiga, di tulang sel kanker akan masuk ke dalam sumsum tulang. Keempat, sel akan mengadakan kolonisasi dan berinteraksi dengan sel osteoclast serta osteoblast. Metastasis kanker prostat ke tulang pada umumnya bersifat osteoblastik. Patogenesis metastasis kanker prostat ke tulang karena adanya pleksus pembuluh darah vena yang dinamakan pleksus Batson. Aliran darah vena dari prostat akan mengalir ke colum vertebra dan pelvis melalui pleksus Batson sehingga penyebaran kanker prostat banyak ditemukan di tulang vertebra, terutama lumbal dan tulang pelvis.7,8 Untuk mendiagnosis adanya metastasis kanker prostat ke tulang dilakukan pemeriksaan bone scintigraphy. Selain bone scintigraphy, dilakukan juga pemeriksaan marker, seperti total Alkaline Phosphatase
170
(tALP), Bone-Specific Alkaline Phosphatase (BAP), Carboxy Terminal Pyridinoline Cross-linked Telopeptide Parts Of Type-1 Collagen (1CTP), dan Tartrate-Resistant Acid Phosphatase Type 5 b (TRAP 5b).1,9 Pemeriksaan bone scintigraphy mulai dikenal luas sejak 1960 dengan menggunakan radiofarmaka, yaitu Technetium-99.9,10 Metastasis kanker prostat ke organ lain lebih sering terjadi pada penderita advanced local disease dan high grade. Pemeriksaan bone scintigraphy dapat dilakukan pada pasien dengan Gleason Score 8 atau lebih dan dengan staging T3 atau lebih walaupun nilai PSA kurang dari 10 ng/ml. Sedangkan menurut European Association of Urology, pemeriksaan bone scintigraphy dapat dilakukan pada PSA lebih dari 20 ng/ml, PSA velocity lebih dari 20 ng/ml/yr, atau jika terdapat gejala metastasis ke tulang seperti nyeri tulang.12,13,14 Peneliti ingin menilai batasan nilai PSA untuk memprediksi adanya metastasis tulang pada pasien kanker prostat di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Dengan demikian, diperoleh batasan nilai PSA pasien kanker prostat yang dianjurkan untuk pemeriksaan bone scintigraphy. MATERI DAN METODE
Penelitian yang dilakukan ini bersifat retrospektik. Data diperoleh dari rekam medis pasien penderita kanker prostat di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, mulai 2006−2011. Pasien yang terdiagnosis kanker prostat dengan hasil Patologi Anatomi Adenocarcinoma Prostat dilakukan pencatatan nilai PSA pertama kali dan data pemeriksaan bone scintigraphy. Bone scintigraphy menggunakan radiofarmaka Technetium99m methylene diphosphate (Tc—99m MDP). Pasien kanker prostat tahun 2006−2011 yang tidak menjalani pemeriksaan bone scintigraphy tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini. Data PSA dan bone scintigraphy diolah menggunakan Receiver Operating Characteristic (ROC) Curve. HASIL
Pada penelitian ini, terdapat 137 pasien yang terdiagnosis kanker prostat. Terdapat 83 pasien yang menjalani pemeriksaan bone scintigraphy dan dilakukan pencatatan nilai PSA awal. Data ini diperoleh dari rekam medis bagian radioterapi. Rata-rata usia 83 pasien adalah 69,30 tahun (29−87 tahun). PSA terkecil pada 83 pasien ini adalah 0,04 ng/ml dengan PSA terbesar 1.789 ng/ml. Dari 83
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
AHMAD SULAIMAN LUBIS, DANARTO 169-172
pasien ini, 4 pasien (4,82%) di antaranya memiliki PSA kurang dari 4,0 ng/ml. PSA 4,0−10 ng/ml sebanyak 6 pasien (7,23 %). PSA 10−20 ng/ml sebanyak 17 pasien (20,48%), dan pasien dengan PSA > 20 ng/ml sebanyak 56 pasien (67,47 %). Lihat tabel 1. Tabel 1: Sebaran pasien berdasarkan nilai PSA Parameter yang Dinilai < 4 ng/ml PSA
Jumlah Pasien 4 (4.82%)
4–10 ng/ml
6 (7.23%)
10–30 ng/ml
17 (20.48%)
>30 ng/ml
56 (67.47%)
Tabel 3: Uji Chi-Square antara nilai PSA 17,65 ng/ml dengan kejadian metastasis ke tulang
Sebanyak 55 (66%) pasien memiliki metastasis ke tulang (bone scintigraphy positif), sedangkan 28 pasien (34%) tidak bermetastasis ke tulang. Di antara pasien yang memiliki bone scintigraphy positif, 3 (5,45%) di antaranya memiliki PSA < 4,0 ng/ml; 3 (5,45%) memiliki PSA 4,0−10 ng/ml; 5 (9,10%) dengan PSA 10−20 ng/ml; dan 44 (80%) memiliki PSA > 20 ng/ml. Jadi, 11 (20%) dari 55 pasien memiliki bone scintigraphy positif dengan nilai PSA kurang dari 20 ng/ml. Tabel 2: Sebaran pasien berdasarkan nilai PSA dengan hasil bone metastasis positif Parameter yang Dinilai
PSA
Metastasis Tulang Positif
< 4 ng/ml
3 (5.45%)
4–10 ng/ml
3 (5.45%)
10–20 ng/ml
5 (9.10%)
>20 ng/ml
44 (80%)
Berdasarkan grafik 1, kita bisa menentukan bahwa pada cut-off point PSA 17,65 ng/ml memiliki sensitivitas terbesar, yaitu 85,5% dan spesifisitas 53,6%, dengan Area Under Curve (AUC) 0,612. Dari nilai cut-off point PSA 17,65 ng/ml dilakukan uji chisquare untuk nilai PSA < 17,65 ng/ml dan PSA > 17,65 ng/ml terhadap kejadian metastasis ke tulang. Didapatkan nilai sensitivitas 78,33%; spesifisitas 65,21%; nilai PPV 85,45%; serta nilai NPV 53,57% dengan nilai p= 0,000 (tabel 3).
Parameter yang Dinilai Nilai PSA
> 17.65 ng/ml < 17.65 ng/ml Total
Metastasis ke Tulang Positif
Negatif
Total
47
13
60
8
15
23
55
28
83
Nilai p
p = 0.000
PEMBAHASAN
Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan jumlah pasien kanker prostat dengan stadium terbatas di kelenjar prostat (organ-confined). Peningkatan ini tidak terlepas dari peran Prostate Spesific Antigen (PSA) sebagai alat deteksi dini kanker prostat sehingga ditemukan pasien dalam stadium dini. Namun demikian, masih terdapat pasien dengan metastasis ke tulang pada awal pemeriksaan. Pasien yang sudah metastasis ke tulang ini memiliki rata-rata angka harapan hidup sekitar 2 sampai 3 tahun. Oleh karena itu, pemeriksaan untuk melihat ada tidaknya metastasis ke tulang sangatlah penting. Hal ini akan berpengaruh terhadap prognosis dan pengobatan kanker prostat itu sendiri. Bone scintigraphy menggunakan Tc-99 merupakan alat yang lebih sensitif untuk menentukan metastasis ke tulang dibandingkan pemeriksaan alkalin phospatase atau bone survey. Walaupun bone scintigraphy lebih sensitif, ia merupakan pemeriksaan yang mahal dan menghabiskan waktu.15 Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat nilai batasan PSA (cut-off value) yang mungkin terjadi metastasis tulang pada kanker prostat. Dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) didapatkan nilai cut-off point PSA 17,65 ng/ ml. Nilai PSA 17,65 ng/ml ini memiliki sensitivitas terbesar, yaitu 85,5%, dan spesifisitas 53,6% dengan Area Under Curve (AUC) 0,612. Sedangkan penelitian Ling-Huei Wei, et al., di Taiwan mendapatkan nilai PSA 13 ng/ml sebagai cut-off point untuk memprediksi metastasis ke tulang.9 Penelitian Ishizuka, et al., di
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
171
Batasan Prostate Specific Antigen (PSA) pada Pasien Kanker Prostat untuk Memprediksi Metastasis ke Tulang di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta 169-172
Jepang mendapatkan nilai 15 ng/ml sebagai cut-off point.16 Adapun Chybowski, et al., dan Oesterling, et al., menyimpulkan tidak perlu dilakukan bone scintigraphy pada PSA kurang dari 10 ng/ml, kecuali jika ada keluhan pada tulang seperti nyeri tulang.17,18 Sedangkan Rhoden, et al., membandingkan nilai PSA 10 ng/ml dan 20 ng/ml sebagai cut-off point untuk memprediksi terjadinya metastasis ke tulang, dan didapatkan nilai PSA 20 ng/ml sebagai nilai yang akurat untuk dilakukan bone scintigraphy.19 Bagaimanapun juga, penelitian ini masih banyak kekurangan, seperti sampel yang sedikit, pemeriksaan PSA dan bone scintigraphy tidak dilakukan pada hari yang sama, serta tidak dilakukan penilaian hubungan antara bone scintigraphy dengan PSA, stadium klinis, Gleason score, dan pemeriksaan colok dubur. Pada masa yang akan datang diharapkan bisa dilakukan penelitian prospektif dengan sampel yang besar dan dihubungkan antara bone scintigraphy dengan stadium klinis, Gleason score, dan temuan colok dubur.
4. 5.
6.
7. 8.
KESIMPULAN
Pemeriksaan bone scintigraphy pada pasien kanker prostat di Rumah Sakit Sardjito sebaiknya dilakukan pada nilai Prostate Spesific Antigen (PSA) lebih dari 17,65 ng/ml. Pemeriksaan bone scintigraphy pada nilai PSA kurang dari 17,65 ng/ml dapat dilakukan jika terdapat gejala klinis seperti nyeri pada tulang. SARAN
9.
10.
11.
Penelitian prospektif dengan sampel yang besar bisa dilakukan untuk menilai cut-off point PSA untuk memprediksi metastasis ke tulang. Pemeriksaan PSA dan bone scintigraphy sebaiknya dilakukan dalam waktu yang sama. Diharapkan ada kelanjutan penelitian ini untuk menghubungkan nilai PSA, bone scintigraphy, stadium klinis, Gleason Score, dan pemeriksaan colok dubur.
12.
13.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
172
L.F.A .Wymenga, J.H.B Boomsma, K.Groenier. April 18,2001. Routine Bone Scans In Patients With Prostate Cancer Related To Serum Prostate-Specific Antigen And Alkaline Phosphatase. British Journal Urology International 2001;88:226-230 Abouassaly R, Thompson M, Elizabeth A, Eric A. Epidemiology, Etiology, And Prevention Of Prostate Cancer. Campbell-Walsh Urology, Tenth Edition, 2012. Umbas R, et al. Panduan Penanganan Kanker Prostat. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Jakarta, 2011
14.
15.
Heidenreich A, et al. Guidelines On Prostate Cancer. European Association of Urology. 2013 Monique J. Roobol, Ewout W. Steyerberg, RiesKranse. A-Risk Based Strategy Improves Prostate-Specific Antigen-Driven Detection Of Prostate Cancer. Official Journal of the European Association of Urology 2010;57: 79-85 Naoto Kamiya, Hiroyoshi Suzuki, Masashi Yano. Implications Of Serum Bone Turnover Markers In Prostate Cancer Patients With Bone Metastasis. Medical Oncology Urology Journal 2010;75: 1446-1451 Pavlos Msaouel, Nikos Pissimissis, Antonios Halapas. Mechanisms Of Bone Metastasis In Prostate Cancer: Clinical Implications. Best Practice And Research Clinical Endocrinology And Metabolism 2008; 22(2):341−355Cynthia T, James M. Metastatic Prostate Cancer: Complications And Treatment. American Geriatrics Society 2003;51:1136-1142LingHuei Wei, Jainn-Shiun Chiu, Shiou-Ying Chang. Predicting Bone Metastasis In Prostate Cancer Patients: Value Of Prostate Specific Antigen. Tzu Chi Medical Journal 2008;20(4): 291-295 Kirby S, Timothy J, Michael K. Prostate Cancer. 1996;8:86 Evan T. Keller, Julie Brown. Prostate Cancer Bone Metastases Promote Both Osteolytic And Osteoblastic Activity. Journal of Cellular Biochemistry 2004;91:718-729 Ljiljana Jaukovic, Boris Ajdinovic, Snezana Cerovic. Is Bone Scintigraphy Necessary In Initial Staging of Prostate Cancer Patients? Hellenic Journal of Nuclear Medicine 2011; 14(2) Kirsten L. Greene, Peter C. Albertsen, Richard J. Babaian. Prostate Specific Antigen Best Practice Statement: 2009 Update. The Journal of Urology 2009; 182:2232-2241 Bob Djavan. New Tools For The Urologist In The Management of Patients With Bone Metastases. European Urology Supplements 2007;6:689-694 Alberto Briganti, Niccolo Passoni, Matteo Ferrari. When to Perform Bone Scan in Patients With Newly Diagnosed Prostate Cancer: External Validation of The Currently Available Guidelines and Proposal of A Novel Risk Stratification Tool. European Urology Journal 2010;57: 551-558 Ishizuka O, Tanabe T, Nakayama T, Kawakami M, Kinebuchi Y, Nishizawa O. Prostate-Specific Antigen, Gleason Sum And Clinical T Stage For Predicting The Need For Radionuclide Bone Scan For Prostate Cancer Patients In Japan. Int J Urol 2005;12;728-32 Chybowski FM, Keller JJ, Bergstraih EJ, Oesterling JE. Predicting Radionuclide Bone Scan Findings In Patients With Newly Diagnosed, Untreated Prostate Cancer: Prostate Specific Antigen Is Superior To All Other Clinical Parameters. J Urol 1991;145;313-8 Oesterling JE, Martin SK, Bergstraih EJ, Lower FC. The Use Of Prostate-Specific Antigen In Staging Patients With Newly Diagnosed Prostate Cancer. JAMA 1993;269;57-60 Rhoden EL, Torres O, Ramos GZ, Lemos RR, Souto CA. Value Of Prostate Specific Antigen In Predicting The Existence Of Bone Metastasis In Scintigraphy. Int Braz J Urol 2003;29:121-5
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
ARTIKEL KONSEP
Pati Resistan serta Perannya dalam Penghambatan Proliferasi dan Induksi Apoptosis Sel Kanker Kolon ENDANG YULI PURWANI1, M.T. SUHARTONO2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian Departmen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
1 2
Diterima: 24 Juli 2014; Direview : 30 Juli 2014; Disetujui: 18 September 2014
ABSTRACT Resistant starch (RS) is starch fraction which is not digested by human starch degrading enzyme, and it will thus undergo bacterial fermentation in the colon. The main fermentation products are Short Chain Fatty Acid (SCFA): acetate, propionate and butyrate. The Fermentation products were able to inhibit the proliferation and to induce apoptosis of colon cancer cell. The apoptosis occured through mitochondrial pathway by changing the expression of pro-apoptosis related gene of Bax toward antiapoptosis related gene of Bcl-2. Keyword: resistant starch, fermentation, short chain fatty acid, colon cancer
ABSTRAK Pati resistan (Resistant starch: RS) merupakan fraksi pati yang tidak dicerna oleh enzim pencerna pati pada individu sehat dan ini akan difermentasi oleh bakteri di dalam kolon. Hasil fermentasi utama berupa asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid: asetat, propionate, dan butirat). Produk fermentasi RS mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon dan menginduksi apoptosis. Induksi apoptosis berlangsung melalui jalur mitokondria yang ditandai meningkatnya rasio ekspresi gen proapoptosis Bax terhadap gen antiapoptosis Bcl-2. Kata Kunci: pati resistan, fermentasi, asam lemak rantai pendek, kanker kolon
PENDAHULUAN
A
KORESPONDENSI: Endang Yuli Purwani. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Email:
[email protected]
da sekitar 1,2 juta kasus kanker kolon dan rektum baru pada 2008 atau sekitar 10% di seluruh dunia. Secara global, kanker kolon menempati urutan ketiga setelah kanker paru-paru dan payudara.1 Di Indonesia, kanker kolon dan rektum termasuk sepuluh jenis kanker tersering.2 Mayoritas pasien didiagnosis menderita kanker kolon dan rektum pada usia 45-50 tahun.3 Meskipun demikian, tidak ada perbedaan karakter klinikopatologi kanker kolon dan rektum bagi penderita berusia muda dan tua.4 Sekitar 80% dari kasus tersebut berkaitan dengan diet dan hanya 15% disebabkan oleh faktor keturunan, sedangkan sisanya berasal dari faktor lain, termasuk lingkungan.5 Tingginya persentase CRC yang diakibatkan oleh faktor makanan menunjukkan bahwa CRC sebenarnya dapat dihindari. Salah satu komponen bahan pangan yang mampu mencegah kanker kolon adalah pati resistan (RS: Resistant Starch). RS lolos dari sistem pencernaan yang sehat dan langsung memasuki usus besar (kolon), selanjutnya difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnya. Fermentasi RS merupakan aspek
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
173
Pati Resistan serta Perannya dalam Penghambatan Proliferasi dan Induksi Apoptosis Sel Kanker Kolon 173-177
penting untuk menjaga kesehatan usus besar. Beberapa penelitian, baik in vivo maupun in vitro, menunjukkan bahwa RS memiliki kontribusi dalam mengurangi risiko terhadap penyakit kanker kolon.6,7,8,9,10,11 PATI RESISTAN
Pati resistan (resistant starch, RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak tercerna oleh sistem enzim pencernaan individu yang sehat. RS terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan segar maupun produk olahannya. RS diklasifikasikan menjadi RS1, RS2, RS3, dan RS4.12 RS1 adalah pati yang berada dalam jaringan tanaman sehingga tidak dapat diakses oleh enzim-enzim pencernaan. Contohnya pati yang terdapat dalam buah apel dan pisang. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. Contohnya pati hasil ekstraksi batang sagu, ubi jalar, jagung, dan sebagainya. RS3 adalah pati retrogradasi yang terbentuk selama proses pengolahan pangan atau yang direkayasa sehingga menjadi daya tarik tersendiri di bidang teknologi pangan. RS3 telah dikembangkan dari pati garut, pisang, beras, dan sagu.13,14,15 RS4 adalah pati modifikasi yang diperoleh melalui proses eterisasi, esterifikasi, atau ikatan silang. Oleh karena itu, jenis pati ini memiliki ikatan selain ikatan glikosidik α-(1,4) atau α-(1,6), di antaranya ikatan ester. Jane et al., sebagaimana dikutip oleh Li menyatakan bahwa kompleks pati-asam lemak telah dikembangkan, kemudian diklasifikasikan sebagai RS5.16
menghasilkan butirat. Fermentasi pada substrat RS menghasilkan rasio molar asam butirat lebih tinggi (asetat : propionat : butirat = 50:22:29) dibanding fermentasi serupa dengan substrat pektin (asetat : propionat : butirat = 84:14:2), arabinogalaktosa (asetat : propionat : butirat = 50:42:8), maupun xylan (asetat : propionat : butirat = 82:15:3).20 Rasio molar butirat tinggi juga dihasilkan oleh kultur murni Clostridium butyricum BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 pada substrat RS, dengan rasio molar asetat : propionat : butirat masing-masing 84 : 48 : 46 dan 66 : 38 : 46.15 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian in vivo yang menunjukkan bahwa konsentrasi butirat lebih tinggi diperoleh pada kolon babi yang diberi ransum RS.21 Bakteri butirogenik menarik perhatian para ahli mikrobiologi karena kontribusinya sangat signifikan dalam proses fermentasi RS. Hasil analisis sekuen gen 16S rRNA menunjukkan bahwa 80% bakteri butirogenik berada dalam klaster XIV, di mana sebagian besar (42%) ada hubungannya dengan Eubacterium rectale, Eubacterium ramulus, dan Roseburia cecicola.22 Kelompok/klaster bakteri penghasil butirat yang banyak ditemukan di saluran pencernaan manusia sehat dicantumkan dalam tabel 1. Sementara itu, Ze et al., melaporkan bahwa Ruminococcus bromii merupakan bakteri penting pada fermentasi RS untuk menghasilkan butirat.23 Tabel 1: Bakteri penghasil butirat yang terdapat di dalam saluran pencernaan manusia24 Cluster
Strain
Cluster XIVa
Eubacterium sp.L2-7, Eu. haii, Eu. hadrum, Anaerostipescaccae L1-92, Butyrivibrio crossotus, B. fibrisolvens NCDO 2223, Coprococcus sp. L250, Co. eutacuts, Cosp. A2-175, Co. catus., Cl. symbiosum, Eu. cellulocolvens, Eu. saburreum, Ru. hansenii, Ru. productus, Eu. ventriosum, Eu. sp.A2231, Eu. oxidoreducens, Eu. rectale A1-86, Eu.rectale, Roseburiacecicoia, Ro.sp.A2-183, Ro. intestinalis L1-82, Eu. ramulus, Eu. sp.A2-194
Cluster XVI
Cl. innocuum, Eu. dolichum, Eu. tortuosum, Eu. biforme, Eu. cyclindroides
Cluster XIb
Cl. Glycolicum
Cluster I
Cl. beijenrinckii, Cl. butyricum, Cl. tertium, Eu. moniiforme, Cl. aurantibutyricum, Cl. acetobutyricum, Cl. tyrobutyrisum
Cluster IV
Faecalibacterium prausnitzii, F. prausnitzii A2-165, F. prausnitzii l2-6, Cl. sporosphaeroides, Eu. sp. A2 207
Cluster XV
Eu. barkeri, Eu. limosum
FERMENTASI PATI RESISTAN
RS terhindar dari sistem pencernaan sehingga material ini langsung memasuki kolon (usus besar) untuk dijadikan substrat fermentasi oleh bakteri di dalamnya. Fermentasi berlangsung secara anaerob dengan hasil utama asam lemak rantai pendek (SCFA: short chain fatty acid), yakni asam asetat, asam propionat, dan asam butirat serta sejumlah gas CH4, H2 dan CO2 .17 Bakteri yang berperan penting dalam fermentasi di atas adalah kelompok bakteri amilolitik (pemecah pati) dan bakteri penghasil butirat (butirogenik). SCFA, terutama butirat, diketahui merupakan sumber energi utama bagi sel kolon dan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker.18,19 Oleh karena itu, fermentasi RS merupakan aspek penting dalam menjaga kesehatan kolon. Hasil studi in vitro menunjukkan bahwa RS merupakan substrat ideal bagi bakteri untuk
174
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
ENDANG YULI PURWANI, M.T. SUHARTONO 173-177
HAMBATAN PROLIFERASI DAN INDUKSI APOPTOSIS OLEH PRODUK FERMENTASI PATI RESISTAN Kanker kolon berawal ketika ada akumulasi mutasi pada protooncogenes dan tumor suppressor genes. Karsinogenesis pada kanker kolon terjadi melalui jalur supresor atau instabilitas kromosom dan jalur mutator serta jalur inflamasi.3, 25 Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker berlangsung secara bertahap, meliputi tahap inisiasi, promosi, dan progresi.26 Tahap inisiasi dimulai ketika ada mutasi DNA yang diinduksi oleh karsinogen. Tahap promosi merupakan tahap perkembangan klon sel menjadi sel tumor/pre-maglignant. Sel kemudian memasuki tahap progresi, yakni sel kanker berkembang tanpa kendali. Pencegahan atau terapi kanker diarahkan untuk mencegah sel kanker berproliferasi atau menginduksi agar sel kanker mati bunuh diri (apoptosis). Apoptosis ialah suatu bentuk kematian sel terprogram yang mempunyai ciri-ciri morfologi dan biokimia spesifik. Butirat sebagai salah satu produk fermentasi RS dilaporkan mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon serta menginduksi apoptosis pada penelitian in vitro dan in vivo. Penghambatan proliferasi terjadi pada kultur sel kanker Caco2 yang mendapatkan paparan butirat pada konsentrasi 0,1 Mm.27 Hal serupa terjadi pada kultur sel kanker LS 174T yang diberi paparan butirat 1-2 mM.28 Hambatan proliferasi dan induksi apoptosis terjadi pada kultur sel kanker HCT-116 yang diberi paparan cairan fermentasi RS, di mana cairan tersebut mengandung butirat 2,6 mM. Apoptosis ini terjadi melalui jalur mitokondria dengan mengubah ekspresi gen proapoptosis (Bax) dan antiapoptosis (Bcl2) sehingga rasio ekspresinya meningkat menjadi lebih dari 3,5 kali lipat. Perubahan ekspresi gen berkaitan dengan kemampuan SCFA (terutama butirat) dalam cairan fermentasi dalam menghambat aktivitas enzim Histone Deacetylase (HDAC). Pada sel kanker, butirat menghambat aktivitas HDAC sehingga protein histon mengalami hiperasetilasi sedemikian rupa sehingga interaksi ionik antara protein histon dengan DNA terganggu. Akibatnya, kromatin atau eukromatin menjadi kurang kompak dan ekspresi sejumlah gen penyandi apoptosis berubah. Apoptosis diikuti oleh perubahan fungsi fisiologis sel antara berupa peningkatan enzim caspase-3 yang berperan sebagai eksekutor apoptosis.10 Model induksi apoptosis pada sel kanker HCT116 yang mendapatkan paparan cairan fermentasi RS dilaporkan oleh Purwani seperti dicantumkan dalam gambar 1.29 Komposisi SCFA pada cairan
fermentasi diduga berkontribusi terhadap eskpresi gen pro apoptosis Bax dan antiapoptosis Bcl-2. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan hasil fermentasi RS oleh C. butyricum BCC B2571 meningkatkan ekspresi gen Bax maupun Bcl-2, namun ekspresi Bax jauh lebih besar dibanding ekspresi Bcl-2. Di lain pihak, ekspresi Bax relatif konstan, namun ekspresi Bcl-2 justru direpresi ketika sel HCT-116 mendapatkan paparan supernatan serupa hasil fermentasi E. rectale DSM 17629. Kondisi ini mengindikasikan bahwa porsi protein Bax lebih besar dibanding porsi protein Bcl-2.
Gambar 1: Perkiraan model apoptosis sel HCT-116 dengan paparan produk fermentasi RS yang difermentasi oleh C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629.
Protein Bax dapat berpindah dari sitosol ke membran mitokondria. Interaksi protein Bax dan protein Bcl-2 mengakibatkan fungsinya sebagai
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
175
Pati Resistan serta Perannya dalam Penghambatan Proliferasi dan Induksi Apoptosis Sel Kanker Kolon 173-177
penstabil integritas membran rusak. Makin banyak protein Bax berarti makin besar peluangnya dalam berinteraksi dengan protein Bcl-2 sehingga sel makin mudah berapoptosis. Demikian pula makin sedikit protein Bcl-2, berarti makin kurang stabil integritas membran mitokondria. Oleh karena itu, dapat dipahami jika peningkatan rasio Bax/Bcl-2 pada akhirnya menstimulasi sel untuk berapoptosis. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan adanya peningkatan konsentrasi enzim caspase-3. Informasi tersebut sejalan dengan hasil studi lain. Avivi-Green et al., menyatakan bahwa butirat pada konsentrasi 2-10 mM mampu menginduksi apoptosis pada sel Caco2 atau RSB.30 Studi in vivo menunjukkan bahwa kadar SCFA dan butirat pada feses tikus berkorelasi positif dengan respons apoptosis akut pada kolon bagian bawah.6 Dari uraian di atas tampak bahwa RS memiliki kontribusi sangat signifikan dalam menghambat perkembangan sel kanker kolon. Oleh karena itu, intervensi diet yang mengandung RS dapat dikembangkan sebagai strategi dalam mencegah penyakit kanker kolon.
7.
8.
9.
10.
11.
12. DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
176
WCRF (World Cancer Research Fund)/American Institute for Cancer Research. Update project report summary, food, nutrition, physical activity, and the prevention of colorectal cancer. England: World Cancer Research Fund. 2011. RS Kanker Dharmais, 2010. 10 Kanker tersering 2010. Jakarta. http://www.dharmais.co.id/index.php/kanker-kolon.html diakses 25 Juli 2014 Abdullah M, Sudoyo AW, Utomo AR, Fauzi A, Rani AA. Molecular profile of colorectal cancer in Indonesia: is there another pathway? Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2012; 5(2):71-78 Sudoyo AW, Hernowo B, Krisnuhoni E, Reksodiputro AH., Hardjodisastro D, Sinuraya ESColorectal cancer among young native Indonesians: A clinicopathological and molecular assessment on microsatellite instability. Med J Indones. 2010;19:245-51 Le-Leu RK, Hu Y, Young GP. Effects of resistant starch and nonstarch polysaccharides on colonic luminal environment and genotoxin-induced apoptosis in the rat. Carcinogenesis 2002;23(5):713-719. Le-Leu RK, Hu Y, Young GP. Effects of resistant starch and nonstarch polysaccharides on colonic luminal environment and genotoxin-induced apoptosis in the rat. Carcinogenesis 2002;23(5):713-719.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Bauer-Marinovic M, Florian S, Muller-Schmehl K, Glatt H, Jacobasch G. Dietary resistant starch type 3 prevents tumor induction by 1,2-dimethylhydrazine and alters proliferation, apoptosis and dedifferentiation in rat colon. Carcinogenesis 2006;27(29):1849–1859 Winter J, Nyskohus L, Young GP, Hu Y, Conlon MA, Bird AR, Topping DL, Richard K. Le Leu. Inhibition by Resistant Starch of Red Meat–Induced Promutagenic Adducts in Mouse Colon. Cancer Prev Res. 2011;4(11):1920–1928. Conlon MA, Kerr CA, McSweeney CS, Dunne RA, Shaw JM, Kang S, Bird AR, Morell MK, Lockett TJ, Molloy PL, Regina A, Toden S, Clarke JM, Topping DL. Resistant Starches Protect against Colonic DNA Damage and Alter Microbiota and Gene Expression in Rats Fed a Western Diet1. J. Nutr. 2012;142:832– 840. Purwani EY, Iskandriati D, Suhartono MT. Fermentation product of RS3 inhibited proliferation and induced apoptosis in colon cancer cell HCT-116. Advances in Biosci Biotech. 2012;3:1189-1198. Chang PV, Hao L, Offermanns S, Medzhitov R. The microbial metabolite butyrate regulates intestinal macrophage function via histone deacetylase inhibition. This article contains supporting information. 2013.[diakses 10 April 2014] dari www.pnas.org/lookup/suppl/doi:10.1073/pnas.1322269111/-/ DCSupplemental Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. Resistant starch - A review. Comp Rev Food Sci Food Safety 2006;5:1-17. Sugiyono, Pratiwi R, Faridah DN. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (Autoclaving-Cooling Cycling). J Teknol Indi Pangan. 2009;20:17-24. Jenie BSL, Putra RP, Kusnandar F. Fermentasi Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat Dan Pemanasan Otoklaf Dalam Meningkatkan Kadar Pati Resistan Dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca formatypica). J. Pascapanen 2012;9(1):18–26 Purwani EY, Purwadaria T, Suhartono MT. Fermentation RS3 derived from sago and rice starch with Clostridium butyricum BCC B2571 or Eubacterium rectale DSM 17629. Anaerob 2012;18(1): 55-61. Li Li. Assessing prebiotic effects of resistant starch on modulating gut microbiota with an in vivo animal model and an in vitro semi-continuous fermentation model [PhD Thesis]. Iowa: Iowa State University 2010. [diakses 24 Maret 2014]. dari http://lib.dr.iastate.edu/etd Topping DL, Clifton PM. Short-Chain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides. Physiol Rev 2001; 81(3):1031-1064. Augenlicht LH, Mariadason JM, Wilson A, Arongo D, Yang W, Heerdt BG, Velcich A. Short chain fatty acid and colon cancer. Am Soc Nutr Sci. Supplement 2002: 3804S-3808S
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
ENDANG YULI PURWANI, M.T. SUHARTONO 173-177
19. Hinnebusch BF, Meng S, Wu JT, Archer SY, Hodin RA. The effects of short-chain fatty acids on human colon cancer cell phenotype are associated with histone hyperacetylation. J Nutr. 2002;132:1012-1017. 20. Macfarlane GT, Macfarlane S. Factors affecting fermentation reactions in the large bowel. Proceedings of the Nutrition Society 1993;52:361-313. 21. Haenen D, Zhang J, Souza da Silva C, Bosch G, van der Meer IM, van Arkel J, van den Borne JJGC, Gutierrez OP, Smidt H, Kemp B, Muller M, Hooiveld GJEJ. SCFA Concentrations, and Gene Expression in Pig Intestine. J. Nutr. 2012. doi: 10.3945/ jn.112.169672. 22. Barcenilla A, Pryde SE, Martin JC, Duncan SH, Stewart CS, Henderson C, Flint HJPhylogenetic Relationships of ButyrateProducingBacteria from the Human Gut. Appl. Environ. Microbiol. 2000;66(4):1654–1661 23. Ze X, Duncan SH, Louis P, Flint HJ. Ruminococcus bromii is a keystone species for the degradation of resistant starch in the human colon. The ISME Journal 2012;6:1535–1543 24. Pryde SE, Duncan SH, Hold GL, Stewart CS, HJ Flint. The microbiology of butyrate formation in the human colon. Fems Microbiology Letters 2002;217: 133-139. 25. Moran A, Ortega P, Juan C, Fernandez-Marcelo T, Frias C, Pernaute AS, Torres AJ, Diaz-Rubio E, Iniesta P, Benito M. Differential colorectal carcinogenesis: molecular basis and clinical relevance. World J Gastrointes Oncol. 2010;2(3):151158.
26. Barrett JC. Mechanisms of multistep carcinogenesis and carcinogen risk assessment. Environ. Health Perspectives. 1993;100:9-20. 27. Ruemmele FM, Dionne S, Qureshi I, Sarma DSR, Levy E, Seidman EG. Butyrate mediates Caco-2 cell apoptosis via up-regulation of pro-apoptotic BAK and inducing caspase-3 mediated cleavage of poly- (ADP-ribose) polymerase (PARP). Cell Death Different 1999;6:729-735. 28. Hatayama H, Iwashita J, Kuwajima A, Abe T. The short-chain fatty acid, butyrate, stimulates MUC2 mucin production in the human colon cancer cell line, LS174T. Biochem. Biophy. Res. Comm. 2007;356(3):599-603. 29. Purwani EY. Penghambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 oleh Produk Fermentasi Pati Resistan Tipe 3 Sagu Dan Beras. [Desertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2012. 30. Avivi-Green C, Polak-Charcon S, Madar Z, Schwartz B. Different molecular events account for butyrate-induced apoptosis in two human colon cancer cell lines. J Nutr 2002;132:1812-1818.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
177
LAPORAN KASUS
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor AZIZA G. ICKSAN1, MIRA FITRININGSIH2
SMF Radiologi RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta-Indonesia
1 2
Diterima: 25 November 2014; Direview: 27 November 2014; Disetujui: 18 Desember 2014
ABSTRACT Bronchial carcinoid tumors are rare neuroendocrine neoplasma consist of 1−2% of all pulmonary neoplasms and 12−15% of carcinoid tumors in United States. Recently, there is no data in Indonesia. The imaging play important role in diagnosing bronchial carcinoid tumor. This case presentation reported A 35 years old woman with chief complaint of hemoptysis. Acid fast bacilli smear was negative and mantoux test positive. From chest X ray there is a right paracardial consolidation. Chest CT Scan has been done and there was consolidation in right middle lobe with endobronchial mass in intermedius of right bronchial lung. The multidiscipline team diagnosis were endobronchial mass and pulmonary TB. Anti TB treatment had been given. The follow up CT scan after 1 month Anti TB treatment was improvement in consolidation, but the endobronchial mass was stable. She got PET CT Scan and the result was non metabolic nodule. Surgical treatment was done to remove endobronchial mass. The histopathology finding from specimen was typical bronchial carcinoid tumor. Keyword: endobronchial carcinoid tumor, chest x ray, chest CT.
ABSTRAK Tumor bronkial karsinoid merupakan neoplasma neuroendokrin yang jarang, sekitar 1−2% dari neoplasma paru dan 12−15% dari tumor karsinoid di Amerika Serikat. Sampai saat ini, belum ada data di Indonesia. Radiologi berperan penting dalam mendiagnosis tumor bronkial karsinoid. Laporan kasus ini membahas seorang wanita 35 tahun yang datang dengan keluhan utama hemoptisis. Dari hasil pemeriksaan BTA, didapatkan hasil negatif, tetapi test mantoux positif. Hasil foto toraks pasien didapatkan konsolidasi di parakardial kanan. Pasien juga dilakukan CT scan toraks. Didapatkan hasil konsolidasi di lobus tengah dengan massa endobronkial di bronkus intermedius paru kanan. Pasien ini didiagnosis oleh tim multidisiplin sebagai massa endobronkial dan tuberkulosis paru. Pasien diberikan pengobatan OAT. Hasil CT scan setelah 1 bulan terapi OAT menunjukkan ada perbaikan dalam konsolidasi, tetapi massa endobronkial menetap. Pasien menjalani PET CT Scan dengan hasil nodul non-metabolik mendukung suatu proses inflamasi. Dilakukan terapi bedah untuk mengangkat tumor endobronkial. Hasil histopatologi dari spesimen bedah sesuai dengan tumor bronkial karsinoid tipe tipikal. KORESPONDENSI: Dr. dr. Aziza Icksan, SpRad (K) Departemen Radiologi RS. Persahabatan Jl. Persahabatan Raya No.1 Jakarta Timur Email:
[email protected]
Kata Kunci: tumor endobronkial karsinoid, foto toraks, CT scan toraks
PENDAHULUAN
T
umor bronkial karsinoid adalah suatu tumor neuroendokrin pada paru yang berasal bisa dari sel kulchitsky, neuroendocrine bodies, atau pluripotential bronchial epithelial stem cell. Karsinoid biasanya terdapat dalam saluran cerna,
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
179
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor 179-184
kurang lebih 90% kasus. Tetapi, tumor ini bisa juga terdapat pada paru-paru, timus, saluran biliar, dan ovarium. Tumor bronkial karsinoid merupakan tumor yang jarang sekitar 1−2% dari neoplasma paru dan 12−15% dari tumor karsinoid di Amerika Serikat.1 Di Indonesia belum ada data mengenai hal ini. Secara histologis, tumor bronkial karsinoid dibedakan menjadi tumor bronkial karsinoid tipe tipikal dan atipikal. Tumor bronkial karsinoid tipe tipikal mempunyai prognosis yang lebih baik dari yang atipikal.1.2 Secara radiologi, tumor bronkial karsinoid tipe tipikal dan atipikal mempunyai gam baran radiologi yang sama. Berdasarkan lokasinya, tumor bronkial karsinoid dibedakan menjadi tumor bronkial karsinoid sentral dan perifer.1 Pada kebanyakan kasus, klinisi membuat diagnosis tumor karsinoid pada paru berdasarkan temuan radiologi, dikombinasikan dengan temuan bronkoskopi. Diagnosis pasti tumor bronkial karsinoid ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan radiologi cukup memberikan peranan dalam diagnosis tumor bronkial karsinoid, terutama untuk persiapan operasi menentukan letak tumor, ekstensi tumor, dan membantu ahli bedah dalam menentukan level reseksi.1,3 LAPORAN KASUS
Seorang wanita, 35 tahun, datang ke RS Per sahabatan pada 5 Juli 2013 dengan keluhan utama batuk darah kurang lebih 1 sendok makan 8 hari sebelum masuk ke rumah sakit (SMRS). Tujuh hari SMRS, pasien berobat ke RSU Salatiga, difoto toraks, dan CT scan toraks dengan hasil konsolidasi parakardial kanan dan curiga massa endobronkial. Pasien juga sering kali batuk hilang timbul sejak 1 tahun SMRS. Kemudian, pasien dirujuk ke RS persahabatan. Demam, penurunan berat badan, dan kesulitan makan disangkal pasien. Riwayat penyakit hipertensi, alergi, dan penyakit jantung disangkal pasien. Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dan status generalis dalam batas normal. Pasien juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain sputum BTA 3 kali dengan hasil negatif dan tes mantoux dengan hasil positif (>3cm). Pemeriksaan radiologi yang dilakukan yaitu foto toraks dan CT scan toraks. Pada foto toraks, 29 Juni 2012, didapatkan hasil konsolidasi di parakardial kanan (gambar 1). Pada CT scan toraks 29 Juni 2012, didapatkan hasil konsolidasi lobus tengah paru kanan dan massa endobronkial di bronkus intermedius paru kanan (gambar 2 a.b.c)
180
Gambar 1: Foto toraks sebelum operasi pada tgl 31 oktober 2012. Tampak konsolidasi parakardial kanan.
Pada 10 Juli 2012, dilakukan bronkoskopi diagnosis dengan hasil massa menonjol pada bronkus utama kanan. Pasien tidak dilakukan biopsi karena massa mudah berdarah. Hasil konferensi onkologi menyatakan pasien didiagnosis TB paru dan massa endobronkial. Pasien diberi OAT 1 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan CT scan toraks ulang. Pasca OAT 1 bulan dilakukan CT scan toraks kembali. Dari hasil CT scan toraks ulang 27 Agustus 2012, ada perbaikan konsolidasi paru, tetapi massa endobronkial menetap (gambar 2 d, e, f), kemudian OAT dilanjutkan selama 3 bulan. Setelah mendapat terapi OAT 3 bulan, keluhan batuk dan hemoptisis tidak ada lagi. Pasien diputuskan untuk CT scan ulang pada 31 Oktober 2012, dengan hasil konsolidasi dan massa endobronkial stqa (gambar 3 a. b. c. d.). Dilakukan pemeriksaan PET CT Scan pada 5 November 2012 dengan hasil nodul subsentimeter ametabolik di dinding lumen bronkus intermedius paru kanan mendukung suatu proses inflamasi/ infeksi (gambar 4). Dari hasil konferensi onkologi diputuskan terapi OAT dilanjutkan dan pasien dirujuk ke bedah toraks untuk direncanakan operasi. Pada 29 Januari 2013 dilakukan lobektomi. Hasil histopatologi dari spesimen sesuai dengan radang kronik tidak spesifik dan emfisema, dengan tumor carcinoid tipikal intrabronkus (well-differentieted neuroendocrine carcinoma, grade I). (gambar 5)
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
AZIZA G. ICKSAN, MIRA FITRININGSIH 179-184
Gambar 2: Perbandingan CT scan toraks 29 Juni (gambar 2a,2b,2c) dengan 27 Agustus (gambar 2d,2e,2f). Setelah terapi OAT 1 bulan menunjukkan berkurangnya konsolidasi parakardial kanan dengan massa endobronkial relatif sama (panah).
3a
3b Gambar 3a: Konsolidasi parakardial kanan gambar 3b masa endobronkial kanan
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
181
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor 179-184
3c
3d Gambar 3c dan 3d: CT scan toraks tgl 31 oktober 2012
Gambar 4: PET CT scan pasien 5 November 2013 menunjukkan nodul subsentimeter ametabolik di dinding lumen bronkus intermedius paru kanan
Gambar 5: Hasil histo patologi menunjukkan massa tumor yang tersusun organoid, berinti kecil-kecil oval/spindle, kromatin halus, dan tampak struktur “Rosette”. Mitosis sulit ditemukan sesuai dengan gambaran tumor carcinoid tipikal.
182
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
AZIZA G. ICKSAN, MIRA FITRININGSIH 179-184
Pasca-operasi, dilakukan foto toraks ulang pada 27 Februari 2013 dengan hasil perbaikan konsolidasi parakardial kanan, tampak fibrosis di lapangan tengah paru kanan (gambar 6).
CT scan ulang 2 bulan pasca-operasi pada 1 April 2013 menunjukkan fibrosis di paru kanan dan tidak didapatkan lagi massa intrabronkial (gambar 7b).
Gambar 6: Foto toraks pasca-lobektomi diafragma kanan letak tinggi, fibrosis paru kanan tengah.
a.
b. Gambar 7: 7.a.CT scan sebelum operasi tampak massa pada intralumen bronkus intermedius kanan (panah). 7.b CT scan pasca-operasi tidak tampak lagi massa intralumen bronkus (panah)
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
183
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor 179-184
DISKUSI
Pasien wanita, berumur 35 tahun, keluhan hemoptisis 8 hari SMRS, dan batuk hilang timbul sejak 1 tahun SMRS. Hal ini sesuai dengan ke pustakaan yang menyatakan angka kejadian tumor bronkial karsinoid sama pada wanita dan pria, serta meliputi rentang usia yang luas dengan usia ratarata 39 tahun dan 45 tahun.1,4,5 Gejala klinis pada pasien ini juga sesuai dengan kepustakaan, yaitu hemoptisis yang terjadi pada lebih dari 50% kasus tumor bronkial karsinoid.1 Pada foto toraks 29 Juni 2012 dikatakan konsolidasi parakardial kanan. Hal ini sesuai dengan kepustakaan pada foto toraks konvensional. Gambarannya bisa berupa temuan tidak langsung yang diobservasi sebagai perubahan parenkimal yang berkaitan dengan obstruksi bronkus karena massa. Perubahan yang berhubungan dengan obstruksi bronkus dapat berupa: persisten ateletaksis, konsolidasi sekunder , bronkiektasis, dan hiperinflasi. Tetapi, pada pasien ini dianggap menderita TB paru BTA negatif sehingga diberikan terapi OAT berdasarkan keputusan multidisiplin dan ada perbaikan klinis serta radiologi pasca-OAT selama 1 bulan. Beberapa kepustakaan menemukan kasus serupa.6.7 Pada CT scan, baik 29 Juni, 27 Agustus, maupun 31 Oktober 2012 didapatkan nodul intrabronkial batas tegas, bulat, dan ukurannya relatif stqa. Konsolidasi 27 Agustus 2012 dan 31 Oktober 2012
relatif stqa. Hal ini sesuai temuan radiologi pada tumor bronkial karsinoid, yaitu dapat berupa nodul endobronkial dan temuan yang berhubungan dengan obstruksi bronkus. Dari kepustakaan dikatakan bahwa kebanyakan tumor endobronkial akan menyebabkan obstruksi bronkus sehingga dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonitis.8 Dari kepustakaan juga dikatakan bahwa karakteristik massanya mempunyai batas tegas, berlobulasi, bulat atau oval, dan berdiameter kurang lebih 2−5cm.1 Hal ini juga sesuai dengan pasien ini. Pemeriksaan CT scan toraks pada kasus seperti ini idealnya menggunakan kontras, tetapi pada pasien ini tidak dilakukan karena ada riwayat alergi kontras yang menyebabkan syok anafilaktik. Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan PET CT scan pada 5 November 2012 dengan hasil nodul subsentimeter ametabolik di dinding lumen bronkus intermedius paru kanan mendukung suatu proses infeksi/inflamasi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa sebagian besar tumor bronkial karsinoid tidak menunjukkan peningkatan aktivitas dan biasanya menunjukkan uptake yang rendah dari yang diekspektasikan untuk tumor ganas.9.10 Terapi pada pasien ini adalah operasi (lobektomi). Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa terapi yang efektif pada tumor bronkial karsinoid adalah eksisi bedah yang luas dari tumor primer. Hal ini juga sesuai dengan alogaritma dari Cancer Treatment Review 2013, seperti tergambar pada gambar 8.11
Gambar 8: Terapi Pulmonary Neuroendocrine Tumor11
184
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
AZIZA G. ICKSAN, MIRA FITRININGSIH 179-184
Pasien ini didiagnosis sebagai TB paru berdasarkan tes mantoux yang positif dan perbaikan klinis serta radiologis setelah pengobatan OAT. Perbaikan radiologi dapat dilihat pada CT scan 27 Agustus dibandingkan 29 Juni 2012. Dari kepustakaan dikatakan bahwa ketika dua penyakit ini terletak di lokasi yang sama, diagnosis akan menjadi sangat sulit karena lesi yang satu akan menutupi yang lain dan dibedakan melalui pemeriksaan histopatologis.6.7.12 Pada pemeriksaan histopatologi saat operasi tidak didapatkan lagi proses radang spesifik. Hal ini dapat terjadi karena proses pengobatan TB paru sudah mencapai 6 bulan sehingga tidak didapatkan lagi proses peradangan yang spesifik. Diagnosis banding untuk tumor karsinoid endobronkial adalah hamartoma, leiomyoma, papiloma, dan lipoma. Sebesar 3% hamartoma terletak endobronkial. Pada tumor endobronkial jinak, hamartoma merupakan tumor tersering dengan kekerapan 70%. Baik hamartoma intrapulmonal maupun endobronkial mengandung tulang rawan, lemak, jaringan ikat, dan komponen epitel, sedangkan lesi endobronkial lebih banyak mengandung lemak.13 Dengan demikian, berdasarkan perbedaan kandungan lesi intrabronkial dan lesi intrapulmonal bisa dibedakan berdasarkan CT scan toraks. Leiomyoma primer paru sangat jarang, bisa berupa lesi di trakea dengan degenerasi kistik dan vaskularisasi yang jarang. Gambaran CT scan tidak khas, hanya membantu menentukan ektensi dan keterlibatan struktur yang berdekatan dengan trakea.13 Lipoma merupakan tumor yang sangat jarang terjadi di paru, hanya 0,1% dari seluruh tumor jinak di paru dan sebagian besar letaknya endobronkial. Gambaran Ct scan sangat khas, berupa lesi intrabronkus yang berdensitas lemak sehingga dapat ditegakkan secara definitif dengan CT scan toraks.13 Berdasarkan kepustakaan di atas, terlihat perbedaan antara endobronkial karsinoid tumor dengan lipoma, leiomyoma dan hamartoma, berdasarkan CTscan toraks dengan melihat koefisien atenuasi dan vaskularisasi massa.
tumor bronkial karsinoid berdasarkan temuan radiologi yang dilanjutkan dengan bronkoskopi. Temuan radiologi dapat berupa massa hilar dan perihiler, nodul endobronkial, dan temuan lain yang berkaitan dengan obstruksi bronkus serta nodul perifer. Gambaran karakteristiknya merupakan massa batas tegas, berlobulasi, bulat atau oval, dan berdiameter kurang lebih 2−5 cm.1,10 Pada foto polos konvensional didapatkan 75% gambarannya abnormal, bisa berupa kolaps paru, massa atau temuan lain yang berhubungan dengan obstruksi bronkus. CT scan berperan dalam persiapan operasi menentukan letak tumor, ekstensi tumor, dan membantu ahli bedah untuk dalam menentukan level reseksi. CT scan juga berperan untuk membantu klinisi dalam menentukan letak tumor pada bronkoskopi dan penilaian setelah operasi dari tumor serta memonitor pasien dari rekurensi.8,14 Selain itu, CT juga berguna dalam mendeteksi pasien dengan ektopik sekresi ACTH yang berlebihan.14 Laporan kasus ini merupakan tumor bronkial karsinoid tipe tipikal dengan koinfeksi TB paru yang merupakan kasus yang jarang terjadi. Pemeriksaan radiologi pada pasien ini membantu klinisi mulai dari klinikal diagnosis, menentukan terapi awal, mengarahkan tindakan bronkoskopi, serta membantu ahli bedah dalam menentukan letak tumor, ekstensi tumor, dan menentukan level reseksi. CT scan toraks juga berperan penting dalam follow up pascabedah untuk menilai ada tidaknya sisa tumor serta menilai kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
KESIMPULAN
Tumor bronkial karsinoid merupakan kasus yang jarang, kurang lebih 1−2% dari neoplasma paru. Diagnosis tumor bronkial karsinoid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan bronkoskopi. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologis. Pada kebanyakan kasus, klinisi membuat diagnosis
4.
5.
Jeung MY, Gasser B, Gangi A, Charneau D, Ducroq X, Kessler R, et al.Tumor bronkial karsinoids of the Thorax: Spectrum of Radiologic Findings. Radiographics 2002;22:351-365. Chong S, Lee KS, Chung MY, Han J, Kwon OJ, Kim TS. Neuroendocrine Tumors of The Lungs: Clinical, Pathologic, and ImagingFindings. Radiographics 2006;26:41-58. Park CM, Goo JM, Lee HY, Kim MA, Lee CH, Kang MY. Tumors in Tracheobronchial: CT and FDG PET Features. Radiographics 2009;29:55-71. Iglesias M, Belda J, Baldo X, Gimferrer JM, Catalan M, Rubia M ,et al. Bronchial Carcinoid Tumor: a Retrospective Analysis og 62 Surgically Treated cases. Arch Bronconeumol 2004;40(5):218-21 Karam MB, Zahirifard S, Tahbaz MO, Kaynama K, Tolou F, Darjani HB. Bronchial Carcinoid Tumor: Clinical and Radiological Findings in 21 Patients. Iran. J. Radiol., June 2005;2:111-16.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
185
Peran Radiologi Dalam Diagnosis Endobronchial Carcinoid Tumor 179-184
6.
Yilmaz A, Güngör S, Damadoğlu E, Aksoy F, Aybatli A, Düzgün S. Coexisting bronchial carcinoid tumor and pulmonary tuberculosis in the same lobe: a case report. Tuberk Toraks 2004;52:369-72. 7. Nakamura Y, Okada Y, Endo C, Aikawa H, Sakurada A, Sato M, Kondo T. Endobronchial carcinoid tumor combined with pulmonary non-tuberculous mycobacterial infection: report of two cases. Lung Cancer 2003 Feb;39(2):227-9. 8. Khan AN. Lung Carcinoid Imaging. Diunduh dari: http:// emedicine.medscape.com/article/357921-overview#a20 tanggal 1 Agustus 2013. 9. Thomas R, Christopher DJ, Balamugesh T, Shah A. Clinicopathologic study of pulmonary carcinoid tumours--a retrospective analysis and review of literature. Respir Med. 2008 Nov;102(11):1611-4. 10. Doppman JL, Pass HI, Nieman LK, Findling JW, Dwyer AJ,Feuerstein IM, et al. Detecting ACTH- Producing Bronchial Carcinoid Tumor: MR Imaging vs CT. AJR 1991;156:39-43.
186
11. Dixit R, Gupta R, Yadav A, Paramez AR, Sen G, Sharma S. A case of pulmonary carcinoid tumor with concomitant tuberculosis. Lung India 2009 oct-dec; 26(4):133-5. 12. Christenson MLR, Abbott GF, Kirejczyk WM, Galvin JR, Travis WD.Thoracic Carcinoid: Radiologic-Pathologic Correlation. RadioGraphics 1999; 19:707–736. 13. Ko JM, Jung JI, Park SH, Lee KY, Chung MH, Ahn MI et al. Benign Tumors of the tracheobronchial Tree: CT-Pathologic Correlation. AJR 2006; 186:1304-1313. 14. Gridelli C, Rossi A, Airoma G,Bianco R, Costanzo R, Daniele B et al. Treatment of pulmonary neuroendocrine tumours: State of the art and future development. Cancer Treatment Reviews 2013; 39:466-472.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 8, No. 4 October - December 2014
INDEKS PENULIS
A AHMAD SULAIMAN LUBIS
IJOC 8 ; 4 ; 169 � 172
ANDRIJONO
IJOC 8 ; 4 ; 153 � 160
AZIZA G. ICKSAN
IJOC 8 ; 4 ; 179 � 184
B BAMBANG SUTRISNA
IJOC 8 ; 4 ; 153 � 160
C CUT ADEYA ADELLA
IJOC 8 ; 4 ; 153 � 160
D DANARTO
IJOC 8 ; 4 ; 169 � 172
DODY RANUHARDY
IJOC 8 ; 4 ; 145 � 151
E ENDANG RETNOWATI K
IJOC 8 ; 4 ; 161 � 167
ENDANG YULI PURWANI
IJOC 8 ; 4 ; 173 � 177
F FAROEK HOESIN
IJOC 8 ; 4 ; 161 � 167
H HERU SANTOSO
IJOC 8 ; 4 ; 161 � 167
I I KETUT SUDIANA.
IJOC 8 ; 4 ; 161 � 167
M MIRA FITRININGSIH
IJOC 8 ; 4 ; 179 � 184
M.T. SUHARTONO
IJOC 8 ; 4 ; 173 � 177
R RESTI MULYA SARI
IJOC 8 ; 4 ; 145 � 151
S SOEMANADI
IJOC 8 ; 4 ; 145 � 151
W WITA SARASWATI
IJOC 8 ; 4 ; 161 � 167
Ucapan Terimakasih Mitra Bestari
Redaksi Indonesian Journal of Cancer menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para Mitra Bestari atas Konstribusinya pada penerbitan Indonesian Journal of Cancer Volume 8, edisi no. 4 tahun 2014.
Prof. Dr. dr. Andrijono, SpOG (K) Divisi Ginekologi-Onkologi Departemen Obstetri & Ginekologi FKUI-RSCM Dr. Nuryati Chairani Siregar, MS, PhD, SpPA (K) Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM Dr. dr. Noorwati Soetandyo, SpPD KHOM Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS. Kanker “Dharmais” Prof. dr. Rainy Umbas, SpU, PhD Departemen Urologi FKUI/RSCM Jakarta Dr. dr. Jacub Pandelaki, SpRad (K) Departemen Radiologi FKUI/RSCM Jakarta
Formulir Pemesanan Mohon dikirimkan kepada kami “Indonesian Journal of Cancer” secara teratur Nama Lengkap : .................................................................................................................... Alamat Rumah : .................................................................................................................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... Telepon : ................................................... HP ........................................................ Fax : .................................................................................................................... Email : .................................................................................................................... Alamat Kantor : ................................................................................................................... .................................................................................................................... .................................................................................................................... Telepon : ................................................... HP ........................................................ Fax : .................................................................................................................... Email : .................................................................................................................... Alamat Pengiriman : Rumah Kantor Hormat kami
( Harga Majalah. Harga 1 eks Rp. 25.000 (tambah ongkos kirim) Harga untuk 1 tahun Rp. 100.000 (tambah ongkos kirim) Pembayaran langsung ditansfer ke rekening: Bank Mandiri KK RS. Kanker “Dharmais” No. 116.0005076865 a/n: Dr. M. Soemanadi/ dr. Chairil Anwar Distribusi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” (Pusat Kanker Nasional) Ruang Indonesian Journal Gedung Litbang Lt. 3 Jl. Letjen S. Parman Kav. 84-86, Slipi, Jakarta 11420 Tel. (021)5681570 (ext. 2372) Fax. (021)56958965 E-mail:
[email protected]
)