BAB 6 PROSES MEMBURU RENTE “Mohon diceriterakan bagaimana bapak memperoleh SIM?”, tanya saya. “Saya belum pernah mempunyai SIM pak, meskipun sudah naik motor sejak tahun 1997”, jawabnya. “Lalu kalau tertangkap polisi, bagaimana? “Ya memang pernah ditangkap. Lalu saya nelpon saudara saya untuk menguruskannya”. Kemudian ia melanjutkan: “Kalau isteri saya punya SIM sejak tahun 1999”. “Bagaimana mengurusnya waktu itu? “Waktu itu kami menemui seorang polisi dan ngomong langsung tentang tujuan kami”, tuturnya. Polisi itu menanyai kami begini: “Membawa KTP?” “Ya pak”, jawab kami serentak. “Tinggal saja KTP nya di sini, nanti balik ke sini lagi jam 2 siang ya”, kata polisi itu. “Jam 2 siang kami kembali ke situ dan diminta duduk di ruang tunggu sebentar, lalu ternyata dipanggil lagsung untuk difoto. Setelah menunggu beberapa menit SIM sudah jadi”. “Lalu bapak mengapa mencari SIM dengan membeli seperti itu?”, tanya penulis. “Kami tidak membeli. Kami hanya minta tolong kepada seorang polisi untuk menguruskannya”, jawabnya polos. (Petikan wawancara dengan pak Budha, 12/3/2012)
Menindaklanjuti
temuan yang telah dijabarkan dalam bab 5 melalui diskusi kelompok terfokus (FGD – Focus Group Discussion) tentang pengetahuan, sikap, dan praktik masing-masing anggota diskusi dalam KKN, kemudian penelitian ini mendefinisikan ulang perilaku memburu rente sebagai: “Berbagai upaya yang dilakukan oleh seorang individu, kelompok orang, atau pun lembaga, baik secara legal maupun ilegal, untuk memperoleh keuntungan atau manfaat bagi dirinya sendiri, kelompoknya, atau pun lembaganya dengan merugikan
PARASIT PEMBANGUNAN
atau mengorbankan orang lain, kelompok lain, lembaga lain, atau kepentingan yang lebih luas atau lebih besar”.
Pendefinisian ulang ini dilakukan mengingat di aras mikro komunitas bentuk penerapan kebijakan publik pada perilaku individu lebih sulit dideteksi. Oleh karena itu, untuk menjaring semua perilaku anggota masyarakat yang, meskipun menguntungkan diri sendiri, tetapi menghasilkan kerugian sosial, pada tiga aras - mikro, meso, dan makro – itu perlu dilakukan pendefinisian ulang itu. Kemudian, uraian tentang proses memburu rente dalam bab ini dikelompokkan ke dalam 3 seksi berdasarkan ketiga aras itu. Pengelompokan ke dalam 3 aras ini, tentu saja tidak dimaksudkan sebagai adanya isolasi antara ketiga aras itu, tetapi semata-mata hanya untuk mengkonsistenkan cara memandang suatu perilaku memburu rente yang terjadi di ketiga aras yang berbeda itu.
PROSES MEMBURU RENTE DI ARAS MIKRO Suatu perilaku memburu rente dianggap terjadi di aras mikro ketika suatu peristiwa atau kasus atau proyek itu hanya melibatkan individu satu dengan (beberapa) individu lainnya di dalam suatu subkomunitas. Dua contoh kasus dikupas dalam seksi ini, yaitu pelepasliaran ternak ayam dan angsa dan pembuangan dan pembakaran sampah rumahtangga. Kedua kasus itu dipilih karena sangat kasat mata dan hal-hal itu menjadi kesan pertama yang dihadapi oleh setiap pendatang. Kecuali itu, kedua contoh perilaku itu, meskipun merugikan orang lain, juga menjadi sesuatu yang dianggap biasa oleh banyak orang, terutama oleh mereka yang melakukannya. Contoh ini sekaligus menjadi ilustrasi dari suatu istilah ‘salah kaprah’, yaitu suatu yang salah tetapi selalu dilakukan karena tidak dianggap salah.
Ternak Unggas Sebagian besar pekarangan warga tidak berpagar tertutup, sehingga siapa pun (orang) dan apa pun (binatang) bisa masuk keluar dari dan ke setiap pekarangan siapa pun dengan relatif bebas. Seperti 168
Proses Memburu Rente
menjadi salah satu ciri kampung, tidak sedikit rumahtangga yang memelihara unggas seperti ayam dan itik, terlepas dari mereka memiliki pekarangan atau tidak. Pada malam hari unggas piaraan itu biasanya dimasukkan ke dalam kandang yang diletakkan di pekarangan (bagi mereka yang memiliki), di atas parit (bagi rumahtangga yang berdekatan dengan parit), di pekarangan kosong di samping rumah tinggal (bagi mereka yang tidak punya pekarangan dan di dekatnya ada tanah kosong). Sebaliknya di siang hari unggas-unggas itu dilepas bebas. Semua binatang itu bisa masuk ke pekarangan dan atau bahkan rumah siapa pun yang terbuka untuk mencari makanan, baik itu berupa (sisa-sisa) makanan atau binatang kecil seperti rayap maupun daun-daunan, seperti rumput dan daun pisang di kebun. Berbagai pemilik warung yang tersebar di seantero kampung pun harus waspada terhadap semua jenis binatang yang dilepasliarkan seperti itu. Kalau tidak, keuntungan mereka bisa berkurang atau bahkan modal mereka bisa berkurang hanya karena dagangannya disatroni oleh berbagai binatang itu. Binatang-binatang yang dilepasliarkan itu tidak hanya mengancam dagangan di warung-warung itu, tetapi juga menyerbu rumpun pisang di kebun-kebun1. Tidak bisa diabaikan juga bahwa hewan itu meninggalkan kotoran di sembarang tempat, sehingga orang-orang harus berhati-hati supaya tidak menginjak kotoran unggas yang baunya sangat kuat itu. Perilaku pelepasliaran hewan piaraan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari pemilik dan dari non-pemilik. Dari sudut pandang pemilik, pelepasliaran hewan piaraan itu sangat menguntungkan. Tetapi sebaliknya dari sudut pandang non-pemilik, Saya memiliki kebun kosong di suatu kampung yang kondisinya mirip dengan Kampung Papringan. Di sekitar pekarangan itu ada beberapa keluarga yang berternak ayam dalam jumlah cukup banyak. Mereka tidak semuanya mempunyai pekarangan kosong untuk meletakkan kandang. Salah satu rumahtangga meletakkan kandangnya di depan rumahnya. Ketika malam hari ayam-ayam itu dimasukkan ke kandang, tetapi di siang hari dilepasliarkan dan salah satu area yang menjadi favorit ayam-ayam itu untuk mencari makan adalah pekarangan kosong milik saya yang dipenuhi pohon pisang. Ayam-ayam itu telah dan selalu menghabiskan daun-daun semua pohon pisang muda (yang masih rendah) dan meninggalkannya seperti sejenis pohon kaktus yang tidak tampak berdaun. 1
169
PARASIT PEMBANGUNAN
perilaku itu merugikan mereka, khususnya tetangga terdekat, yang harus menyediakan energi ekstra untuk mencegah hewan-hewan itu masuk ke rumah mereka, atau bagi pemilik warung, menjaga barang dagangan dari serbuan hewan-hewan itu. Kampung secara umum juga dirugikan karena praktik pelepasliaran hewan itu membuat kampung menjadi kumuh, kotor dan berbau dan tentu saja kurang sehat. Meskipun demikian, karena praktik pelepasliaran unggas piaraan itu sudah dilakukan oleh para pemiliknya sejak lama dan tidak ada keberatan terbuka dari non-pemilik, maka praktik itu tampaknya akan terus terjadi. Di dalam ungkapan Jawa perilaku ini dikatakan sebagai “gelem endhoke utawa daginge ning emoh teleke” (mau telornya atau dagingnya tetapi tidak mau kotorannya) untuk menggambarkan perilaku orang yang mau enaknya atau untungnya, tetapi tidak mau susahnya atau ruginya.
Sampah Kampung Papringan ini memiliki tempat pembuangan sampah sementara (TPS) di pinggir sungai dekat RT 01. Namun demikian, banyak warga kampung yang membuang sampah di dekat rumah masing-masing, baik di kebun sendiri, di tanah kosong dekat rumah, di selokan, di sungai, dan yang paling banyak dibakar. Dari kelima aksi ini, pembuangan sampah di kebun atau pekarangan sendiri lah yang tidak merugikan pihak lain. Sedangkan 4 tindakan lain – membuang ke pekarangan kosong milik orang lain (meskipun memiliki efek menyuburkan tanah), apalagi ke selokan, ke sungai dan dibakar – langsung atau tidak langsung, merugikan orang lain, baik di dekat lokasi itu atau di tempat yang jauh. Akan tetapi, meskipun merugikan orang lain, pembuangan dan pembakaran sampah di sembarang tempat itu merupakan praktik umum dan menjadi pemandangan sehari-hari, sehingga sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa.2 Oleh karena itu, setiap ada seseorang yang Di jalan-jalan besar pun pemandangan tentang seseorang membuang sampah bukan pada tempat yang tepat menjadi hal yang lumrah. Tidak sedikit anak-anak yang membuang bungkus permen, penganan, atau plastik minuman di sembarang tempat. Tidak jarang orang dewasa membuang tisu, kulit buah, bungkus rokok, puntung rokok 170 2
Proses Memburu Rente
sedang melakukannya (membuang sembarangan atau membakar) tidak pernah ada yang menegor atau menunjukkan bahwa penanganan sampah seperti itu adalah keliru. Seorang pensiunan PNS yang pernah menjadi staf administrasi Pusat Studi Lingkungan pun membakar sampahnya di halaman samping rumahnya. Para warga beranggapan bahwa “hal itu sudah biasa dilakukan sejak lama, dan tidak ada yang menegur atau keberatan” (tekanan diberikan oleh saya), sampai terjadinya suatu peristiwa pada suatu Kamis pagi, sekitar jam 06.00, pada bulan Mei 2012. Pagi itu, seperti biasa saya membuka jendela pemondokan supaya udara di dalam kamar bisa berganti dengan udara pagi yang segar. Namun, yang saya dapatkan bukanlah udara segar, tetapi serbuan asap bakaran sampah. Ternyata, sekitar tiga meter dari jendela kamar kos saya, seorang gadis siswa SMP sedang membakar sampah. Saya agak kaget juga melihatnya, lalu menegur: “Lho dik, kok sampahnya dibakar?”. “Ya pak, cuma sampah plastik kok”. Jawabnya. “Plastik itu justru mengeluarkan banyak racun yang membahayakan kesehatan kita dik. Sebaiknya tidak dibakar di sembarang tempat”, sambung saya. “Tapi, hal ini sudah biasa kami lakukan pak”. Kata ibu si gadis yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Mendengar jawaban itu, akhirnya saya berkata secara lebih otoritatif: “Kalau begitu, saya keberatan kalau ibu atau siapa pun membakar sampah di situ. Karena asapnya masuk ke kamar saya”.
Dengan pernyataan tegas saya itu akhirnya si ibu memerintahkan si gadis untuk mematikan pembakaran sampah dengan jengkel (kepada saya tentunya). Sisa sampah yang belum terbakar dimasukkan ke dalam ember plastik dan kemudian ternyata dibuang ke dari dalam mobil di jalan raya. Tidak sedikit jumlah sepeda motor atau mobil yang berhenti di jembatan, bukan untuk melihat sungai, tetapi untuk membuang bungkusan plastik ke sungai. Sering dijumpai di jalan ada bangkai tikus yang sengaja dibuang di tengah jalan supaya terlindas mobil yang lewat. Koran-koran yang dipakai alas untuk Sembahyang Idul Fitri 19 Agustus 2012 lalu ditinggalkan begitu saja di tempatnya. 171
PARASIT PEMBANGUNAN
selokan di tengah kampung. Sementara si anak membuang sampah itu, si ibu menunjukkan raut muka dan bahasa tubuh yang tidak menyukai (teguran) saya. Si ibu bahkan berpura-pura melihat ke arah lain ketika berpapasan dengan saya di sore hari yang sama. Tidak hanya penduduk Kampung Papringan, penghuni perumahan tempat tinggal Pak Kukuh di Kelurahan Kandangan pun sampai tahun 2010 masih berperilaku demikian. Menurut penuturannya, dulu setiap selesai kerja bakti, yang pernah dilakukan setiap hari Minggu pertama dalam setiap bulan, biasanya sampah hijau3 dikumpulkan di belakang pos ronda dan dibakar. Sampah secara umum masih basah, sehingga proses pembakarannya tidak lancar dan menghasilkan asap hitam yang tebal dan berlangsung lama. Ketika terhirup, nafas biasanya menjadi sesak, batuk-batuk dan kepala menjadi pusing sebagai indikasi terjadinya keracunan. Sementara itu, tidak jarang tercium aroma ‘sangit’ (bakaran) pada pakaian yang pak Kukuh kenakan. Seperti biasanya, asap bakaran sampah itu terbawa angin ke mana pun arahnya, termasuk masuk ke pekarangan pak Kukuh yang bersebelahan dengan Pos Ronda. Setiap arus utama (stream) selalu berhadapan dengan arus lain (contra stream), demikian pula dalam hal membakar sampah ini. Di perumahan itu, Pak Kukuh termasuk berani melawan arus utama itu. Pada suatu kerja bakti, pak Kukuh mengusulkan, atau tepatnya meminta kepada ketua RT, untuk membuang sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), bukannya dibakar. Dia pun meminjam gerobak dari seorang tukang sampah dan membuangnya ke TPS dengan dibantu oleh beberapa orang. Seperti umumnya dalam kerja bakti, kebanyakan yang datang sebenarnya hanya untuk menunjukkan diri, atau secara olok-olok disebut “setor muka”. Hanya sebagian kecil warga yang benar-benar serius melakukannya. Hal yang sama terjadi ketika pak Kukuh menarik dan mendorong gerobak sampah pada kerja bakti itu, hanya sedikit orang yang membantu.
Sampah hijau itu terdiri dari potongan dahan, ranting dan daun pohon penghijauan, yang mengganggu pandangan para pemakai jalan dalam berlalu-lintas atau sudah mengenai kabel, baik kabel telepon maupun listrik, dan rumput-rumputan. 3
172
Proses Memburu Rente
Peristiwa Minggu pagi itu ternyata belum membangunkan kesadaran para tetangga Pak Kukuh terhadap pentingnya mengelola sampah secara lebih ramah lingkungan. Pada kerja bakti bulan berikutnya, para tetangganya sedang membakar sampah di tempat seperti biasanya, ketika pak Kukuh baru datang dari suatu acara pada hari Minggu pagi itu. Dengan tampak tergopoh-gopoh pak Kukuh mengambil ember dan diisi air, lalu dengan raut muka serius tanpa tegur sapa dengan para bapak yang bergerombol di sekitar pos ronda, menyiram sampah yang sedang dibakar berulang-ulang sampai mati. Kemudian, pak Kukuh mengambil beberapa karung untuk dipakai mewadahi seluruh sampah yang masih tersisa dan membuang sampah itu ke TPS dengan sepeda motor tuanya sampai selesai sendirian. Orang-orang hanya melongo melihat keseriusan pak Kukuh dalam menolak sampah untuk dibakar itu. Peristiwa Minggu pagi itu rupanya menjadi semacam konfirmasi (penguatan) dari pak Kukuh dan membekas di benak warga, khususnya pengurus RT, di kompleks perumahan tempat tinggal mereka. Hal itu terbukti ketika setiap kerja bakti pada bulan-bulan berikutnya, baik ada pak Kukuh atau pun tidak, ketua RT hampir selalu meminjam mobil bak terbuka yang dimiliki oleh seorang warga untuk membuang sampah ke TPS. Hanya apabila tidak ada mobil, mereka masih membuang dan membakar sampah di samping makam di seberang jalan.
PROSES MEMBURU RENTE DI ARAS MESO Suatu perilaku memburu rente terjadi di aras meso apabila suatu peristiwa atau kasus atau proyek itu merugikan komunitas atau melibatkan banyak rumahtangga. Seksi ini menjabarkan enam contoh dari banyak kasus yang terjadi di Kampung Papringan. Enam kasus itu adalah Beras Murah, yang populer disebut Beras Miskin (Raskin), Bantuan Ternak dari Dinas Peternakan Kota Adikarta, Hidran Umum bantuan dari Pemerintah Kota melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Gedung Serbaguna, Perbaikan Jalan yang dibiayai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan Sengketa Tanah. Berikut adalah uraian singkatnya. 173
PARASIT PEMBANGUNAN
Beras Murah bagi Keluarga Miskin Di tengah masyarakat, pimpinan lokal khususnya Ketua RT seringkali kesulitan menentukan siapa itu keluarga miskin. Ada salah seorang ketua RT, yang juga menjadi narasumber penelitian ini, menceriterakan demikian. Ketika ada proses pendataan rumahtangga miskin, dia kala itu masih berstatus sebagai ketua Pokja. Sewaktu diminta oleh ketua RT untuk mengusulkan rumahtangga miskin penerima bantuan Beras Murah, dia mengelompokkan warga di lingkungannya ke dalam 4 kategori – Menengah Atas, Menengah, Miskin dan Miskin Sekali. Data itu kemudian diserahkan kepada ketua RT yang selanjutnya dikumpulkan di kelurahan. Ternyata yang disetujui untuk menerima Raskin adalah rumahtangga miskin kategori terakhir. Tetapi setelah bantuan beras itu datang, ketua RT itu mengumumkan ke warga bahwa beras bantuan (beras miskin) telah datang dan siapa pun yang merasa miskin dipersilahkan datang ke rumahnya untuk mengambil bantuan beras. Ternyata mereka yang datang adalah rumahtangga yang masuk dalam 2 kategori terakhir yaitu Miskin dan Miskin Sekali. Kemudian ketika Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibagikan kepada rumahtangga yang masuk kategori paling miskin, mereka, yang secara resmi berhak mendapatkannya, juga ditanya oleh ketua RT demikian: “Apakah bapak-bapak rela kalau uang BLT-nya dibagi rata dengan rumahtangga miskin yang tidak bisa masuk ke dalam daftar penerima?”4
Mereka, ternyata tidak keberatan dan uang BLT akhirnya dibagi rata seperti halnya pembagian Beras Miskin kepada rumahtangga miskin dan miskin sekali. Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai program kompensasi kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sarat dengan masalah. Salah satu yang paling sulit bagi petugas BPS (Badan Pusat Statistik) adalah menentukan target penerima. Tidak sedikit kasus petugas BPS mendapat tekanan dari beberapa pihak (aktivis parpol, preman) untuk memasukkan nama-nama tertentu ke dalam daftar penerima BLT ketika sedang memverifikasi daftar calon (Pembicaraan saya dengan salah seorang pegawai BPS Kota Adikarta) 4
174
Proses Memburu Rente
Modifikasi cara menyalurkan Bantuan Beras Miskin maupun Bantuan Langsung Tunai selalu bisa ditemukan di hampir semua tempat, baik di kota maupun di desa, untuk alasan yang benar (distribusi yang lebih merata) maupun alasan yang salah (korupsi). Demikian juga di Kampung Papringan ini. Di satu RT, rumahtangga di lingkungan itu relatif sama status sosial ekonominya, maka hampir semua rumahtangga menerima pembagian Beras Miskin, meskipun diterimakan secara bergantian secara periodik, setiap 3 bulan atau 4 bulan sekali. Tetapi, tentang BLT yang dibagi rata kepada mereka yang miskin sekali dan yang miskin hanya dilakukan di RT 07. Di kelima RT lainnya BLT dibagikan hanya kepada mereka yang memang disetujui oleh kelurahan. Uraian ini menyimpulkan bahwa perilaku memburu rente, dalam bentuk memodifikasi skenario distribusinya, dilakukan secara bersama-sama oleh semua warga RT dalam bentuk kesepakatan untuk membagi Beras Miskin dan atau Bantuan Langsung Tunai kepada pihak yang, menurut otoritas, tidak layak menerima. Dengan demikian, yang diuntungkan adalah mereka yang, menurut skema bantuan, tidak memenuhi persyaratan dan secara implisit para ketua RT (terutama yang menjadi penjual jasa). Sedangkan yang dirugikan ada dua pihak, yaitu mereka yang berhak menerima (karena menerima pembagian lebih kecil atau lebih sedikit daripada seharusnya) dan sistem pembagian bantuan sosial yang bisa disebut tidak tepat sasaran.
Bantuan Sapi Ceritera tentang bagaimana beberapa warga Kampung Papringan ini memperoleh bantuan sapi dari Dinas Peternakan Kota Adikarta beberapa tahun silam, ada dua versi yang menarik. Versi pertama mengatakan bahwa pemerintah melalui jajarannya mengumumkan adanya bantuan ternak berupa Program Penggemukan Sapi dan Ayam Arab, dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa Pak Pokil, sewaktu menjadi ketua salah satu RT di tahun 2006, sangat rajin untuk 175
PARASIT PEMBANGUNAN
mendatangi dinas-dinas pemerintahan Kota Adikarta untuk menanyakan apakah ada program yang bisa masuk ke masyarakat. Dinas Peternakan Kota Adikarta di tahun itu ternyata sedang melaksanakan Program Bantuan Sapi dan, bagi yang tidak mungkin memelihara sapi, berbentuk Ayam Arab. Terlepas dari ceritera mana yang benar, tetapi fakta menunjukkan bahwa Pak Pokil akhirnya ditunjuk menjadi koordinator Bantuan Ternak di kampung ini. Setelah proses visitasi dan eksaminasi, akhirnya kampung ini memperoleh pinjaman 22 ekor sapi indukan yang direalisasikan 2 tahap. Pinjaman itu bersifat bergulir. Tahun pertama dijanjikan bahwa sapi-sapi bantuan itu seharusnya beranak. Kemudian anak sapi menjadi milik penerima bantuan, lalu induknya digulirkan kepada rumahtangga lain yang layak menerima bantuan. Namun demikian, kegagalan progam ini di Kampung Papringan sebenarnya sudah ditebak oleh salah seorang ketua RT yang sepakat dengan warganya untuk tidak terlibat. Setelah berlangsung satu tahun, jumlah sapi peliharaan yang masih ada di tangan yang bersangkutan tinggal beberapa ekor. Sebagian besar sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga penerima bantuan, dan sebagian kecil yang lain dikembalikan ke Program melalui koordinator (Pak Pokil). Kecuali itu, sapi-sapi yang dijanjikan akan bunting dan beranak pada akhir tahun pertama ternyata tidak terjadi. Program ini gagal total tanpa bisa dipertanggungjawabkan sebagai akibat dari ketidak taat-asasan semua pihak terhadap persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan.
Hidran Umum Di kampung ini ada dua hidran umum, satu berlokasi di bagian Timur Laut kampung (Hidran Pertama), satunya lagi di bagian Barat Laut (Hidran Kedua). Hidran Pertama merupakan bagian dari Program Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, sekarang menjadi TNI – Tentara Nasional Indonesia) Masuk Desa (disingkat menjadi AMD) yang diadakan pada tahun 1990an, sedangkan Hidran Kedua diperoleh dari bantuan Pemerintah Kota Adikarta melalui Perusahaan Daerah Air Mimun (PDAM) yang disebut sebagai Proyek MCK (Mandi, Cuci, 176
Proses Memburu Rente
Kakus). Pengelolaan Hidran Pertama juga tidak lepas dari berbagai masalah, tetapi keributannya tidak seheboh pengelolaan Hidran Kedua. Salah seorang narasumber menceritakannya begini: “Di areal tanah bekas Tanah Bong itu banyak penduduknya, tetapi sumber air tanah (sumur) sangat sulit didapat. Lalu, masyarakat mengajukan proposal ke Pemerintah Kota Adikarta melalui PDAM dalam Program MCK. Proposal itu kemudian disetujui. PDAM sebenarnya tidak membolehkan warga untuk menyalurkan air dari hidran umum ke rumahtanggarumahtangga, tetapi kenyataannya ya begitulah yang terjadi, pengelola memfasilitasi permintaan semua rumahtangga yang menginginkan air dari hidran. Sedangkan rekeningnya disepakati untuk dihitung menurut jumlah orang dalam setiap rumahtangga, bukan berdasarkan volume air yang dikonsumsi. Mula-mula iurannya ya sedikit, tapi lambat laun meningkat menjadi Rp. 12.500,- per kepala di tahun 2012. Berhubung pengguna airnya semakin banyak, kebutuhan air per rumahtangga juga cenderung naik, sedangkan suplainya tetap atau bahkan berkurang, tergantung musimnya, maka air disalurkan secara bergilir. Sayangnya, kapan airnya mengalir tidak jelas, kadang-kadang pagi, kadang-kadang siang, kadangkadang malam, atau bahkan tidak mengalir sama sekali. Kecuali itu, seberapa banyak tiap rumahtangga boleh menggunakan air per hari juga tidak ditentukan. Keadaan seperti ini tidak bisa menghindari terjadinya ketidakadilan bahwa pemakai sedikit air dirugikan oleh pemakai banyak air. Akibatnya, banyak rumahtangga yang bersikap masa bodoh dengan membuka kran terus menerus, dengan harapan, ketika air mengalir langsung mengisi bak-bak yang disediakan sampai penuh, dan kalau sudah penuh ya meluber sampai airnya berhenti mengalir dengan sendirinya. Akibatnya, persoalan menjadi lebih buruk. Di satu sisi, tagihan dari PDAM semakin tinggi, dan di lain sisi pengguna air tidak semuanya mau tertib membayar rekening sesuai yang disepakati dengan berbagai alasan. Sebenarnya pernah diusulkan untuk pemasangan meteran di setiap rumahtangga pengguna air hidran. Tetapi dengan berbagai alasan, seperti mahal biayanya atau tidak punya uang oleh beberapa warga, jalan keluar yang sederhana dan adil itu tidak dilaksanakan oleh pengelola”. 177
PARASIT PEMBANGUNAN
Kasus ini saya tanyakan kepada 7 narasumber dan inti jawabannya sama, meskipun diungkapkan dengan caranya masing-masing. Kemudian, suatu sore saya mengantarkan isteri saya untuk mengunjungi pertanian jamur yang dimiliki oleh seorang warga. Mereka adalah keluarga wiraswasta. Kecuali bertani jamur, mereka membuat berbagai kue yang dijual ke pasar dan atau berdasarkan pesanan (semacam catering). Seperti bisa diduga, usaha keluarga ini, khususnya pertanian jamurnya, sangat membutuhkan banyak air, yang ternyata dulunya diperoleh dari hidran umum itu. Beberapa warga memang pernah mengatakan kepada saya bahwa dia itu dulu merupakan salah satu pengelola hidran, tetapi saya tidak tahu kalau keluarga ini yang memiliki rumah pertanian jamur itu. Temuan ini secara kebetulan menjawab pertanyaan saya, yaitu [1] mengapa pengelola hidran umum itu memfasilitasi pemasangan pipa ke rumah-rumah, dan [2] menentukan tarif airnya berdasarkan jumlah orang dalam rumahtangga pelanggan. Ternyata, keluarga itu menjadi salah satu pendulang keuntungan dari praktik pengelolaan hidran umum seperti itu. Mereka menjadi bebas menggunakan air untuk mengairi pertanian jamurnya tanpa harus membayar. Perilakunya telah membuahkan sabotase dari para warga dengan bentuk membuka keran airnya terus menerus, tetapi tidak mau membayar rekeningnya secara tertib. Akhirnya si pengurus hidran ini pun mengundurkan diri, baik sebagai pengurus maupun sebagai pemakai air Hidran Umum, dan memasang air leiding secara langsung dari PDAM. Sampai bulan terakhir penelitian (Mei 2012) cara pengelolaan air hidran ini masih berlangsung seperti biasanya, yaitu air tetap disalurkan ke rumah-rumah dan besarnya rekening tetap ditentukan berdasarkan banyaknya orang per rumahtangga.
Gedung Serbaguna Awalnya, tempat untuk mendirikan Balai Kampung itu adalah tanah bong (tanah negara yang disewa oleh Perhimpunan Masyarakat Tionghoa untuk mengubur anggota keluarga yang sudah meninggal), yang kemudian dirawat atau digarap oleh seorang warga di kampung 178
Proses Memburu Rente
ini. Sebagai penggarap, yang bersangkutan tentu saja merasa berhak untuk memiliki pekarangan itu kelak setelah makam itu tidak lagi dikunjungi dan dirawat keluarganya.5 Oleh karena itu, dia menolak rencana kampung untuk membagi pekarangan yang dia jaga menjadi dua, terutama kalau dia harus mendapat bagian belakang. Tetapi, setelah melalui proses negosiasi, persuasi dan tentu saja tekanan, akhirnya dia mengalah kepada tuntutan warga. Tanah dibagi menjadi dua, bagian belakang atas namanya, bagian depan untuk gedung pertemuan. Gedung pertemuan itu dirancang untuk keperluan warga eks RT 02 yang tahun 2006 dimekarkan menjadi empat (02, 05, 06 & 07), meskipun ketua RW menyebutnya Balai Kampung. RT 07 menolak bergabung ketika mau mulai membangun, karena lokasi gedung itu sekitar 500 meter jauhnya. Semua ketua RT (3 orang) adalah bagian dari anggota pengurus pembangunan gedung. Ide tentang gedung pertemuannya sendiri muncul bersamaan dengan proses pemekaran RT tahun 2006 itu. Dalam proses pemekaran, kekayaan RT juga dibagi menjadi 4, masing-masing mendapat bagiannya. 3 RT berpendapat bahwa kekayaan RT itu tidak usah dibagi, tetapi dipakai saja untuk memulai pembangunan gedung. Memang hal itu terjadi, kecuali satu RT yang menolak, ditambah dana tarikan dari warga @10.000 di ketiga RT yang setuju pembangunan. Kecuali itu, panitia juga mengajukan proposal ke berbagai lembaga, baik negara maupun swasta. Pembangunan Gedung itu, menurut perhitungan saya, sudah jadi sekitar 75% pada awal tahun 2010. Tetapi, sampai laporan ini ditulis akhir tahun 2012, gedung itu belum ada perubahan. Kemacetan itu kemudian saya tanyakan kepada beberapa narasumber dalam wawancara mendalam. Berikut adalah beberapa petikannya. Menurut Pak Sukra, klaim kepemilikan tanah di kampung ini sebenarnya sudah terjadi sejak tanah itu ditawarkan kepada siapapun untuk menggarapnya (menjadi tanah garapan). Setelah penggarap generasi pertama pensiun, tanah dipecah sebanyak jumlah generasi penggarap kedua, demikian seterusnya. Apabila tidak memiliki keturunan atau tidak ada keturunan yang mau mengolahnya, tanah itu bisa diserahkan kepada orang lain dengan memberi kompensasi, bisa dalam bentuk uang, barter, atau tukar guling. Mulai tahun 1990an petak-petak tanah garapan itu diajukan kepada pemerintah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk menjadi hak milik syah dalam bentuk Sertifikat Hak Milik. 5
179
PARASIT PEMBANGUNAN
“Menurut bapak, mengapa Gedung Serbaguna itu belum selesai sampai sekarang?, tanya saya. “Sampai tahun 2008/2009 semua anggota panitia masih semangat, tetapi ketika kami mendapat bantuan dari Pemerintah Kota Adikarta sebesar 25 juta rupiah dan tidak diwujudkan dalam bangunan, akhirnya kami semua menjadi tidak peduli lagi”, jawab narasumber-4 (pak Respati). “Bagaimana bisa pak, bantuan sekian besar kok tidak menambah pembangunan?”, tanya saya lebih lanjut. “Ya itu pak, saya juga penasaran. Maka suatu ketika saya tanya kepada ketua RT itu. Dia hanya menjawab ‘kalau uang itu dibawa lari pengembangnya. Ketika akhirnya ketemu dan diminta kembali uang itu, pengembang itu hanya bisa mengembalikan sedikit tanpa menyebutkan angka berapa’. Ya sudah pak, cuma begitu. Saya ya tidak mampu menekan kalau ‘kamu yang mestinya bertanggung-jawab, karena kamu yang memutuskan untuk menyerahkan pengerjaan gedung itu kepadanya’.
Pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada narasumber-2 (pak Anggara), dan dijawab begini: “Pembangunan Gedung Serbaguna itu sebenarnya atas nama RW 07, tetapi praktiknya yang mengerjakan itu hanya RT 05. Sebabnya, RT-RT yang lain kurang mendukung, khususnya RT 07, akhirnya ya RT 05 sendiri yang maju atas nama RW. Oleh karena itu, sesudah mengajukan proposal ke mana-mana dan dapat, ketua RW tidak berinisiatif untuk bermusyawarah tentang pemanfaatan uang bantuan itu. Karena tidak adanya keterbukaan Panitia Pembangunan, khususnya ketua RW dan ketua RT 05, maka kami semua ya jadi tidak peduli”.
Akhirnya pertanyaan yang sama harus saya tanyakan juga kepada narasumber-6 (pak Tumpak), yang menjadi penanggung-jawab utama pembangunan Gedung Serbaguna itu, dan jawabnya begini: “Tahun 2008/2009 proposal kami ke Balaikota disetujui 25 juta pak. Kemudian, saya berfikir untuk menyerahkan penyelesaikan gedung itu kepada ahlinya, maka saya serahkan kepada teman 180
Proses Memburu Rente
saya yang menjadi pemborong. Tapi, ternyata, entah karena persoalan apa, dia lari beberapa bulan. Setelah kembali dan ketemu, ya saya tagih. Katanya karena bangkrut dia jadi tidak punya apa-apa, sehingga hanya bisa mengembalikan uang itu sedikit sekali”. “Lha sedikit itu berapa?, tanya saya. “Ya tidak banyaklah pak. Pokoknya tidak cukup untuk meneruskan pekerjaan pembangunan gedung”, jawabnya tidak berterus terang.
Kasus mangkraknya pembangunan Gedung Serbaguna ini menunjukkan proses terjadinya memburu rente yang melibatkan para elit kampung, khususnya ketua RT 05. Yang mendapat untung tampaknya adalah orang-orang yang terlibat, khususnya ketua RT 05, meskipun dialah mungkin yang paling berjasa atas pembuatan proposal dan pengajuannya ke berbagai lembaga donor. Sebaliknya yang dirugikan adalah pertama, Kampung Papringan secara umum, karena berbagai program, seperti PAUD belum bisa dilaksanakan karena tempat yang diharapkan tidak jadi-jadi. Kedua, penanggung-jawab tanah yang, menurut praktik umum di sana, memiliki hak penuh untuk menjadi pemiliknya. Tetapi, warga kampung, secara bersamasama telah mengambil separuh dari pekarangan itu ‘secara paksa’ untuk pembangunan Gedung Serbaguna tanpa kompensasi. Ketiga, kecurigaan dan ketidakpercayaan anggota komunitas meningkat sebagai akibat kurangnya keterbukaan dari (sebagian) para elit kampung. Saudara kandung pun mencurigai adiknya sendiri sebagai penanggung-jawab atas ‘hilangnya’ uang 25 juta rupiah untuk menyelesaikan pembangunan Gedung Serbaguna itu. Perbaikan Infrastruktur Jalan melalui PNPM Mandiri Hal lain yang membuat para narasumber menjadi sedikit sensitif adalah ketika saya bertanya tentang PNPM Mandiri. Berikut adalah jawaban dari 3 ketua RT sebagai narasumber. “Di RT ini tidak ada yang terlibat dengan PNPM Mandiri. Tetapi RW pernah mendapat bantuan untuk perbaikan jalan (program infrastruktur) untuk memasang paving jalan di samping rumah 181
PARASIT PEMBANGUNAN
pak RW ke utara. Saya tidak tahu apa ada program ekonomi ataupun sosial dari PNPM, karena tidak ikut, ya jadi tidak tahu”, jawab pak Budha.
Seorang ketua RT lain menjawab begini: “Dulu pernah ada bantuan 15 juta rupiah dari PNPM Mandiri, begitu dilaporkan secara lisan dalam rapat RW. Dana itu untuk infrastruktur, tapi terimanya hanya 10,5 juta. Ketika proyek itu dilaksanakan, tiap-tiap RT sebenarnya dibebani kontribusi 900 ribu. Tetapi tidak ada RT yang mau membayar. Kemudian, karena tidak ada penjelasan ke warga, sebagian bertanya ke saya. Jawaban saya ya setahu saya saja, karena saya sebenarnya tidak tahu persis karena tidak terlibat. Uang yang keluar dan bentuk fisiknya ternyata tidak sesuai. Lalu saya minta datanya, tapi sampai sekarang tidak diberi laporannya”, ceritera pak Respati.
Selanjutnya, narasumber ketiga menuturkan begini: “Dalam suatu rapat RW, kami semua diberitahu kalau Kampung Papringan memperoleh bantuan dana untuk perbaikan jalan (infrastruktur) dari PNPM Mandiri sebesar 15 juta rupiah. Uang itu akan digunakan untuk memasang paving di jalan sebelah timur kediaman ketua RW, karena jalan itu memang dalam kondisi rusak. Itulah kabar pertama yang kami terima tentang dana PNPM Mandiri untuk perbaikan infrastruktur di kampung kami. Sesudah itu, kami hanya melihat kalau ternyata proyek itu sudah dikerjakan oleh seorang pengurus RW dan dalam pelaksanaannya melibatkan sanak-saudara pimpinan proyek itu. Kemudian, tiba-tiba kami mendapatkan pemberitahuan kedua secara resmi dari RW bahwa perbaikan infrastruktur dimaksud belum selesai karena kekurangan dana. Oleh karena itu, setiap RT dimohon kontribusinya sebesar 900 ribu rupiah untuk menyelesaikan proyek itu. Karena proses pelaksanaan proyek perbaikan jalan itu tidak jelas dari awal, apalagi kami tidak diajak berunding untuk melaksanakannya, maka saya menolak untuk membayar kepada RW sejumlah uang yang diminta itu. Seandainya proyek itu dilaksanakan secara terbuka atau katakanlah yang menjadi pimpinan proyek itu adalah saya, saya menjamin kualitas jalannya akan lebih baik dan uangnya tidak kurang, tetapi sisa. Soalnya, saya membayangkan kalau dana sebesar itu hanya akan kita digunakan untuk membeli paving, semen dan bahan-bahan lain, sedangkan tenagakerjanya kita 182
Proses Memburu Rente
peroleh secara gotong-royong dari masyarakat bukan membayar, seperti yang mereka lakukan itu”. Demikian penuturan pak Tumpak, salah seorang ketua RT ketiga.
Testimoni ketiga ketua RT itu mengindikasikan bahwa pemburu rentenya adalah ketua RW yang berkongkalikong dengan anggota pengurus RW lain yang menjadi pemborong. Kampung secara langsung dirugikan dalam dua bentuk. Pertama, kampung tidak memperoleh kualitas jalan yang diharapkan, dan kedua, hal ini lebih mendasar, kohesifitas kampung terkikis oleh keputusan pengerjaan perbaikan jalan yang bertentangan dengan kebiasaan kampung, yaitu bergotong-royong. Kerugian ketiga berbentuk kurangnya rasa percaya warga terhadap pejabat struktural, dalam hal ini kepada ketua RW. Sengketa Tanah Ada banyak bentuk sengketa tanah yang terjadi di kampung ini, tetapi hanya beberapa yang dipakai sebagai contoh dalam proses memburu rente. Beberapa jenis sengketa itu adalah pergeseran batas lahan, baik disengaja atau pun tidak, perebutan tanah negara yang sudah diklaim pribadi untuk kepentingan publik, berebut bagian dalam penjualan tanah, penyertifikatan tanah orang lain. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tanah atau wilayah kampung ini mulanya adalah tanah negara yang sebagian disewakan kepada Persekutuan Masyarakat Tionghoa untuk dijadikan makam. Tanah ini oleh masyarakat disebut sebagai Tanah Bong, meskipun ada juga yang menyebutnya Kerkof. Sebagian lainnya merupakan tanah yang digarap untuk pertanian. Baik tanah Bong maupun tanah garapan itu dirawat oleh beberapa orang yang kelak menjadi pengawas dan akhirnya menjadi pemilik. Bagi tanah yang proses sertifikasinya beres, seperti 80 unit yang diresmikan pada tahun 1999, tentu saja tidak menimbulkan masalah. Tetapi sebagian besar tanah yang diklaim oleh beberapa penggarap sebenarnya belum jelas kepemilikannya, dan tanah seperti inilah yang cenderung bermasalah. Kisah pertama saya dengar ketika tanah kosong di sebelah kamar kos saya, yang digunakan oleh tetangga untuk membakar 183
PARASIT PEMBANGUNAN
sampah pada seksi sebelumnya, mau dijual. Berikut adalah wawancara saya dengan pak Soma, salah seorang narasumber yang membantu menjualkan pekarangan itu. “Luasnya berapa ya pak?”, tanya saya. “82 meter persegi pak”, jawabnya. Saya sebenarnya hanya membatin: “bagaimana prosesnya sampai luas tanahnya seukuran itu”. Tetapi narasumber meneruskan beritanya: “batas tanah itu tidak jelas kok pak, karena sudah digeser-geser oleh pemilik tanah yang sudah ada bangunannya. Akibatnya, kami tidak tahu pasti berapa luasnya”. Karena logikanya janggal, saya kemudian bertanya: “Lha apa tanah ini belum ada sertifikatnya?” “Belum!”, jawabnya.
Kisah kedua dibawa sendiri oleh salah seorang, yang sedang terlibat sengketa, ke Warung Hijau di akhir April 2012. Alkisah, ada dua orang kakak-beradik. Sang kakak membeli sebidang tanah seluas 70an meter persegi beberapa tahun yang lalu, secara di bawah tangan (tahu sama tahu dan disaksikan oleh satu orang atau lebih saksi, tetapi belum disertifikasi oleh negara). Karena keduanya sudah menikah dan belum memiliki rumah, maka disepakati bahwa sang kakak mendirikan rumah di bagian utara, sedangkan si adik di sebelah selatan. Semua dikerjakan secara bergotongroyong. Kini, tahun 2012 pekarangan itu mau dijual, calon pembeli sudah setuju dengan harganya. Masalahnya adalah, sang kakak berpandangan bahwa jual-beli tanah itu biarkan dia yang mengurus, baru setelah terjadi transaksi si adik akan diberi uang ganti rugi untuk rumahnya. Tetapi, si adik berpendapat berbeda. Dia menginginkan harga jual yang ditawarkan, ditentukan berdasarkan tiga hal, tanah itu sendiri, rumah kakaknya, dan rumahnya sendiri, supaya nanti ada kejelasan dia akan memperoleh uang berapa.6
Persoalan itu diceriterakan oleh si adik pada suatu petang akhir April 2012 di Warung Hijau. Saya bersama 6 orang lain yang sedang nongkrong di situ terbawa untuk bercurah-gagasan mencari berbagai alternatif jalan keluar. Fenomena seperti ini menjadi cermin bahwa di Kampung Papringan (dan mungkin di kampung-kampung 184 6
Proses Memburu Rente
Sementara itu, calon pembeli sudah ada dan akan membeli 30 juta rupiah yang akan dilakukan dua kali, 15 juta rupiah dibayarkan di muka, sisanya dibayarkan ketika sertifikat tanah sudah jadi. Tetapi si adik keberatan dengan skenario seperti itu. Karena telah beberapa bulan tidak terjadi titik temu, si adik sampai mengusulkan suatu skenario ekstrim, yaitu kedua rumah dianggap tidak ada, atau apabila perlu, dirubuhkan saja, lalu jual-beli hanya diperhitungkan terhadap tanah. Tentu saja skenario ini kurang masuk akal, karena pertama, skenario itu hanya diucapkan oleh si adik yang sebenarnya kurang memiliki otoritas untuk mengatur proses jual beli, dan khawatir tidak akan mendapatkan bagian seperti yang dia harapkan. Kedua, si adik tahu, meskipun mungkin tidak sadar karena sedang emosi, bahwa pemilik tanah yang disengketakan itu adalah sang kakak, bukan dia. Ceritera tentang sengketa tanah berikut ini saya peroleh dari pak Sukra, seorang narasumber, yang menjadi korban perilaku memburu rente adiknya. Suatu ketika si Adik menemui sang Kakak untuk meminta pendapat tentang keinginannya untuk mempunyai rumah sendiri tetapi belum memiliki tanah. Sang kakak, karena memiliki banyak tanah, mengatakan begini: “Oke dik, kamu boleh mendirikan rumah di tanah yang itu. Besuk kalau sudah bisa membeli tanah sendiri, baru pindah”.
Tetapi, persetujuan sang kakak itu ternyata disalahgunakan oleh si adik. Setahun sesudah mendirikan rumah di situ, si adik ternyata menyertifikatkan tanah kakaknya itu atas namanya sendiri. Ketika mengetahui si adik berbuat demikian, sang kakak mencoba menegurnya: “Bagaimana ta dik, kok tanahku kamu sertifikatkan atas namamu?” “Lha kakak ini orang yang tidak jelas, tidak peka terhadap kesusahan adik. Sudah tahu adiknya tidak punya tanah, tidak
lainnya juga) masalah personal maupun familial sangat mudah terpapar ke ranah publik. 185
PARASIT PEMBANGUNAN
juga diberi. Tanah itu toh dulunya diperoleh bukan dari membeli”. Begitulah jawaban si adik, menantang.
Akhirnya sang kakak mundur, bukan mengalah dengan rela, tetapi dengan semacam sumpah: “Ya wis dik nek ngono, enggonona lemah kuwi sak patimu, aku ora arep ngambah lemah kuwi” (Ya sudah dik kalau begitu, tempatilah tanah itu sampai mati, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di tanah itu).
Rupanya pernyataan sang kakak itu menjadi semacam sumpah, yang diikuti oleh kematian si adik beberapa tahun kemudian. Si adik ipar sempat menikah ulang dan masih menempati tanah itu sampai akhirnya mereka meninggal. Apakah si adik ipar dan kedua isterinya itu meninggal akibat dari sumpah sang kakak ataukah karena penyebab lain, tidak bisa dibuktikan, dan studi ini juga tidak bertujuan untuk menelusuri kisah itu. Selanjutnya, dua kisah terakhir ini melibatkan satu orang warga bernama Pak Pokil dengan warga di lingkungan RT itu. Masalah pertama berhubungan dengan proses penyertifikatan tanah yang ditempatinya. Suatu hari Pak Pokil mempekerjakan tukang batu untuk memperkuat sisi jalan di samping rumahnya yang berbatasan dengan pekarangan tetangganya. Merasa janggal dengan perilaku itu, Pak Respati, seorang narasumber, yang adalah ketua RT di situ, bertanya ke Pak Pokil alasan penguatan sisi timur jalan samping rumahnya itu. Jawaban pak Pokil ternyata mengejutkan narasumber: “Tanah saya sudah saya sertifikatkan menjadi satu dengan jalan di samping rumah ini pak”. “Jadi Pak Pokil nanti mau menutup jalan di samping rumah bapak itu?”, tanya narasumber berikutnya. “Lha iya. Kan jalan itu sebenarnya tidak terlalu berguna. Yang lewat pun tidak cukup banyak”, argumentasinya. “Apakah Pak Pokil sudah berunding dengan warga di belakang rumah bapak? “Ya belum”.
186
Proses Memburu Rente
Jalan itu secara de facto sudah ada dan digunakan oleh warga sebelum Pak Pokil membeli pekarangan dan tinggal di situ. Oleh karena itu, warga di lingkungan itu memprotesnya dan, sebagai akibatnya, jalan itu tidak jadi ditutup sepihak oleh pak Pokil, meskipun secara legal formal bagian jalan itu sudah menjadi hak miliknya. Sengketa berikutnya berhubungan dengan kebutuhan warga untuk mendirikan pos ronda dan gudang penyimpanan inventaris RT 06 sebagai konsekuensi atas pemecahan RT 02 menjadi 4, yaitu RT 02 sendiri, RT 05, RT 06 dan RT 07. Lokasi yang diamati oleh warga adalah tanah yang terletak di tengah wilayah RT itu yang masih merupakan tanah negara. Akhirnya warga menemukan lokasi yang dianggap tepat, tetapi ternyata sudah diklaim oleh Pak Pokil sebagai miliknya. Di dalam suatu rapat RT Pak Pokil sudah menyetujui bahwa bangunan untuk Pos Ronda yang direncanakan seluas 3x6 meter akan didirikan di tanah ‘milik’ Pak Pokil. Tetapi setelah mau ditindaklanjuti dengan pengukuran dan pemasangan patok pembatas, yang bersangkutan berubah pikiran. Dia hanya mau melepaskan tanahnya seluas 3x3 meter saja. Karena warga merasa bahwa ukuran yang disetujui Pak Pokil itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan RT, maka warga RT itu akhirnya mendemo Pak Pokil dengan dua tuntutan. Pertama, menyerahkan jabatan ketua RT kepada sekretarisnya7, dan kedua merelakan tanah negara yang dia klaim kepada warga untuk dijadikan pos. Kini di tanah yang disengketakan itu sudah berdiri bangunan seluas 3x6 meter dengan 2 ruangan untuk keperluan seperti yang disebutkan semula.8 Inilah jawaban terhadap pertanyaan saya yang muncul ketika di lain hari seorang narasumber menceriterakan bahwa si Pokil itu dulu pernah menjadi ketua RT. Tetapi melalui demonstrasi warga, dia kemudian dilengserkan dan digantikan oleh sekretarisnya sampai sekarang. 7
Atas nama pembangunan, Indonesia memanen banyak sengketa tanah dari Aceh sampai Papua sampai sekarang. Banyak studi telah dilakukan untuk memotret dan memahami terjadinya sengketa tanah di negeri ini. Elizabeth Fuller Collins (2008), misalnya, menuliskan dalam bukunya “Indonesia Dikhianati” bahwa Pemerintah Orde Baru telah gagal untuk menerapkan Program Reformasi Agraria dan cenderung memihak kepada orang-orang berduit, baik lokal maupun internasional, dan mengorbankan atau membiarkan orang-orang kecil, bodoh dan tidak bermodal 187 8
PARASIT PEMBANGUNAN
Kasus tanah untuk Pos Ronda ini menunjukkan bahwa warga RT (komunitas) lah yang menjadi pemburu rentenya, sedangkan Pak Pokil justru menjadi pihak yang dirugikan. Tidak hanya tanahnya yang diambil paksa tanpa ada kompensasi apa pun, tapi juga jabatannya sebagai ketua RT pun diminta dengan paksa.
PROSES MEMBURU RENTE DI ARAS MAKRO Suatu perilaku memburu rente terjadi di aras makro jika suatu peristiwa atau kasus atau proyek itu merugikan wilayah (Kelurahan atau Desa, Kecamatan, Kabupaten atau Kota, Provinsi dan Negara) atau departemen atau lembaga. Kota Adikarta memang mendapat banyak pujian dari berbagai pihak, karena berbagai prestasi yang dicapainya, seperti penghijauan kota, pengaturan lalu lintas yang baik, dan lainlain. Tetapi kota ini juga masih menghadapi banyak kasus perilaku memburu rente di semua bidang kehidupan. Tiga kasus berikut dipilih dan dipakai sebagai ilustrasi betapa kompleksnya persoalan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dihadapi oleh semua warga negara, khususnya pemerintah yang harus menjadi pelayan dan sekaligus wasit bagi terselenggaranya kehidupan yang adil bagi semua. Tiga kasus itu adalah Dokumen Kependudukan dan Dokumen Kelalulintasan, khususnya SIM dan Lelang Properti. Berikut adalah jabarannya.
Pengurusan Dokumen Kependudukan Dokumen Kependudukan dalam seksi ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu Dokumen Dasar yang meliputi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) serta Dokumen Lanjut yang meliputi berbagai Akte (Kelahiran, Kematian, Perkawinan dan Perceraian). Untuk memperoleh Dokumen Dasar seorang warga harus meminta Surat Pengantar dari RT dan RW tempat ia tinggal (Tahap I). Surat pengantar RT & RW ini dipakai untuk memperoleh Surat berjuang sendiri menghadapi para pemilik modal untuk menguasai tanah garapan mereka. 188
Proses Memburu Rente
Pengantar dari Kelurahan atau Desa setempat (Tahap II) untuk memrosesnya secara lebih lanjut di Seksi Kependudukan Kantor Kecamatan setempat (Tahap III). Sedangkan disebut sebagai Dokumen Lanjut, seperti Akte, karena dokumen itu harus diurus seperti memroses Dokumen Dasar, tetapi dengan menggunakan Dokumen Dasar sebagai prasyarat untuk mengurus prosedur Tahap I dan Tahap II, kemudian diteruskan ke Tahap III di Kantor Kecamatan untuk diselesaikan di Kantor atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kota atau Kabupaten setempat. Praktik pengurusan berbagai Dokumen Kependudukan para warga di Kampung Papringan ini ada yang diurus sendiri, tetapi juga banyak yang diserahkan kepada penjual jasa. Berikut adalah wawancara saya dengan pak Anggara, seorang narasumber. “Dokumen apa saja yang biasa bapak uruskan?”, tanya saya. “Saya menguruskan berbagai Dokumen Kependudukan seperti KK, KTP, Akte Kelahiran, Surat Nikah selama 3 bulan terakhir. Awalnya hanya warga RT saya di sini (262 KK), tapi lama kelamaan warga RT lain pun meminta jasa saya”, jawabnya. “Bagaimana kalau persyaratan tidak lengkap?”, tanya saya berikutnya. “Kalau lengkap ya lancar, tapi kalau tidak lengkap saya tutup dengan surat pernyataan. Misalkan ada seorang manula yang perlu membarui Kartu Keluarganya, tetapi dia tidak memiliki Akte Kematian pasangannya (bagi mereka yang berstatus cerai mati), atau Akte Perceraian (bagi mereka yang berstatus cerai hidup). Oleh karena itu, trik yang saya gunakan adalah membuat surat pernyataan bahwa seorang tua yang sudah jompo ini tidak memiliki dokumen apa pun untuk membarui Kartu Keluarganya, maka surat pernyataan itu harus ditandatangani di atas meterai dan dicap jempol. Surat seperti itu telah mengompensasi kekurangan dokumen yang disyaratkan”. Jawabnya, kemudian melanjutkan: “Sering ada permintaan untuk membuatkan Akte secara tidak resmi, tapi saya tolak. Akte, menurut saya tidak ada yang namanya Akte Tembak. Kalau prosesnya butuh satu bulan, ya tidak ada yang bisa dipercepat. Kalau dipercepat, misalnya dua hari, itu bisa, tapi Akte itu sebenarnya palsu. Permintaan seperti ini sering, tapi saya tolak. Meskipun iming-imingnya 189
PARASIT PEMBANGUNAN
menggiurkan. Misalnya, apabila prosedur biasa cukup 50 ribu, tetapi orang ini mau membayar 250 ribu. Hal seperti ini saya tolak, karena takut akibatnya.”
Dengan versi yang berbeda, pak Budha, seorang narasumber lain menjawab pertanyaan saya dengan mengatakan begini: “Ketika masih terdiri dari 3 RT, urusan dokumen kependudukan biasa diserahkan kepada pegawai kelurahan. Karena warga di sini kebanyakan kaum buruh, yang lebih baik titip ke orang lain daripada libur kerja untuk mengurus sendiri. Buruh itu tidak hanya berhubungan dengan masyarakat tapi juga berurusan dengan bos kerjanya, jadi tidak bisa libur kerja sesuka hatinya. Kecuali itu, sebelum tahun 1986 ketua RT itu pasti orang-orang yang sudah tua, tapi sesudah tahun itu ketua RT diserahkan kepada yang muda-muda. Di wilayah RT lain urusan dokumen kependudukan diserahkan ke ketua RT-nya masing-masing, tetapi di sini saya tidak mau. Ada salah seorang ketua RT yang memang mengklaim diri sebagai penyedia jasa sampai dibilang sebagai calon camat, karena hampir tiap hari pergi ke kelurahan untuk mengurus berbagai macam hal”. Demikian paparnya, lalu melanjutkan: “Saya berprinsip bahwa warga harus bisa dan mau ngurus sendiri berbagai dokumen yang diperlukannya. Kalau menyuruh orang lain itu sebenarnya mahal, transpor saja sudah 20 ribu, belum biaya lainnya. Kalau diurus sendiri warga akan tahu prosedur dan kenal dengan orang-orang di kelurahan maupun kecamatan, juga bisa menekan biayanya. Tapi, semuanya terserah kepada warga sendiri”.
Narasumber ketiga, pak Respati, menceriterakan tentang pengurusan berbagai Dokumen Kependudukan warganya itu sebagai berikut: “Berbagai dokumen kependudukan seperti KTP, KK, Akte memang sering saya uruskan. Tetapi SIM umumnya datang sendiri ke Kantor Korlantas, paspor belum pernah ada. Sebagai ketua RT, yang sering dimintai tolong hanya KTP dan KK, Akte jarang sekali. Yang sering sulit dicari itu Akte sebagai syarat untuk ngurus surat-surat lain. Akte Lahir bagi yang berusia muda (< 40 tahun) umumnya punya, tapi bagi yang berusia tua 190
Proses Memburu Rente
(> 40 tahun) seringkali hilang atau tidak punya. Kalau syaratnya kurang, yang bersangkutan harus mengurusnya. Misalnya, KKnya hilang, mereka harus ngurus Surat Kehilangannya dulu. Sekarang, Surat Kehilangan KK cukup diurus di Kelurahan, dulu harus ke kepolisian. KTP juga begitu, kalau hilang ya harus ngurus surat kehilangan dulu. Dokumen kependudukan yang hilang bisa diurus ke Kantor Kelurahan dulu baru ke Kantor Kecamatan.” (Wawancara dengan pak Respati, seorang narasumber lainnya)
Dokumen Kendaraan Bermotor Jumlah dokumen yang berhubungan dengan kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun berbagai macam mobil sangat banyak dan masing-masing memiliki persyaratannya sendiri. Proses penerbitan dokumen yang diwajibkan oleh Undang Undang dan implementasinya di lapangan tergambar dengan gamblang di jalanjalan. Namun, karut-marutnya masalah lalu lintas secara makro bisa ditelusuri dari hulunya, yaitu proses pembuatan SIM di Kota Adikarta berikut ini. SIM C (untuk sepeda motor) dan A (untuk mobil) menurut UU Lalu-lintas Nomor 14 Tahun 1992 akan diterbitkan, apabila: 1. Pemohon telah berusia 16 tahun (untuk SIM C) dan 17 tahun (untuk SIM A); 2. Surat Keterangan Kependudukan dari Lurah/Camat dan KK bagi pemohon yang berusia di bawah 17 tahun dan KTP bagi pemohon yang sudah berusia 17 tahun; 3. Mengetahui peraturan lalu lintas dan teknik dasar kendaraan bermotor; 4. Memiliki keterampilan mengemudi; 5. Sehat jasmani dan rohani; dan 6. Lulus ujian teori dan praktik. Praktiknya sangat bervariasi, terbukti dengan fakta-fakta berikut:
191
PARASIT PEMBANGUNAN
1. Di jalan banyak anak seusia SLTP dengan seragam putihbiru pulang pergi sekolah mengendarai sepeda motor; 2. Keterangan tentang sehat jasmani dan rohani bukan ditentukan lewat pemeriksaan dokter yang berwenang; 9 3. Keterampilan mengemudi mobil yang harus ditunjukkan dengan Surat Keterangan Belajar Mengemudi dari suatu Sekolah Mengemudi; 10 4. Ujian teori dan praktik tidak dilakukan dengan sungguhsungguh, tetapi hanya formalitas. Proses penerbitan SIM, baik untuk sepeda motor (C) maupun mobil (A) atau pun kelas yang lebih tinggi (B) yang cenderung formalistis, tampaknya dengan sengaja didesain demikian, sehingga semua pemohon yang kelihatan sehat jasmani pasti memperolehnya. Berikut adalah contoh kesaksian dari seorang narasumber: “Saya tidak punya pengalaman ngurus SIM. Meskipun saya pegang sepeda motor sejak tahun 1997 tapi belum pernah memiliki SIM sampai sekarang. Kalau isteri dan anak sudah punya. Ketika ngurus dulu, ya datang ke kantor polisi, bawa KTP, bilang ke petugas di sana mau cari SIM-C. KTP ditinggal kemudian datang lagi jam 14.00 untuk foto dan menunggu sebentar SIMnya sudah jadi. Tentang biayanya, kalau tidak salah 225 ribu atau berapa gitu lho. Saya tidak ingat persis karena hal itu dilakukan tahun 2009.” (wawancara dengan pak Budha, seorang narasumber).
Sebagai perbandingan dalam cara memperoleh SIM di kota Adikarta11, bulan Agustus tahun 2010 saya menemani Pak Kukuh dari Di Kota Adikarta, bagian itu biasanya ditugaskan dua orang perawat untuk membagikan blangko kosong yang sudah ada tanda tangan dokter, yang harus diisi oleh pemohon. Setelah diisi blangko dicap oleh perawat dan dikembalikan kepada pemohon dengan membayar uang 15 ribu rupiah (tahun 2010) atau 25 ribu rupiah (tahun 2012). 9
Bagi mereka yang tidak memiliki Surat Keterangan Belajar Mengemudi, seperti pak Kukuh pada Maret 2010, bisa membeli surat dimaksud di depan kantor polisi sebesar 175 ribu rupiah. 10
Tahun 2000 dan 2005 kedua jenis SIM itu dia perpanjang tepat waktu sehingga tidak menemui adanya persoalan, meskipun di tahun 2005 perpanjangan SIM B1 harus menempuh Ujian Simulasi. 192 11
Proses Memburu Rente
Kelurahan Kandangan menurunkan kelas SIM dari B1 menjadi A. Karena tidak pernah ada preseden orang menurunkan status SIM dari kelas yang lebih tinggi ke kelas yang lebih rendah, maka Pak Kukuh diperlakukan sebagai pencari SIM baru. Konsekuensinya, dia harus mengikuti prosedur sebagai orang baru, dengan ujian tertulis maupun ujian praktik12. Di tahun 2010 ini ujian tulis dilakukan secara modern dengan menggunakan komputer. Di ruang ujian yang sudah disiapkan, pencari SIM diminta memilih jawaban A atau B dengan memencet tombol yang tersedia di masing-masing kursi. Yang dinyatakan lulus adalah mereka yang bisa menjawab benar 20 dari 30 soal yang ditayangkan dalam monitor. Dari proses itu, pak Kukuh melihat hal yang sangat menarik, yaitu pertama, teknologi yang digunakan aparat pembuat SIM sudah maju dan modern, tetapi praktik penyelenggaraan ujian masih sama antara tahun 1985 dengan 2010, yaitu pengawas (polisi)13 memberitahu jawaban yang benar atas semua soal ujian. Meskipun demikian, beberapa peserta sebenarnya tidak lulus. Lalu, bagi mereka yang kesalahannya lebih banyak daripada 10 (tidak lulus) diminta untuk tetap tinggal di dalam ruang ujian untuk membetulkan jawaban ujiannya. Setelah selesai ujian tertulis, para pemohon tidak diuji secara praktik, tetapi langsung diminta berkumpul di ruang tunggu untuk menanti giliran untuk difoto, yaitu tahap akhir proses untuk memperoleh SIM. Praktik seperti ini tampaknya menjadi standar Ada satu persyaratan baru, yang berbeda dari tahun 1990, yaitu pencari SIM A harus melampirkan Surat Keterangan Belajar Mengemudi dari suatu sekolah mengemudi. Karena tidak memiliki surat itu, pak Kukuh dirujuk ke suatu rumah di depan Kantor Polisi (tempat mengurus SIM). Teras rumah itu rupanya sudah ditata seperti kantor, yang waktu itu dijaga oleh dua orang, laki-laki dan perempuan, yang siap membuatkan Surat Keterangan Belajar Mengemudi itu dengan tarif Rp 175.000,- (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Surat Keterangan Belajar Mengemudi itu, menurut salah seorang informan, menjadi bukti atas keterampilan mengemudi pemohon SIM. 12
Bagi para pencari SIM, cara polisi memberitahu jawaban soal-soal dalam ujian teori dianggap ‘baik hati’ (sama seperti pengawas yang memberi tahu jawaban kepada peserta ujian), karena dengan cara demikian semua pencari SIM dijamin lulus. Tetapi dari sudut pandang pengetahuan berlalu-lintas, praktik itu justru memperburuk kondisi perlalu-lintasan yang sudah semrawut, sebagai akibat dari berbagai kombinasi sebab, seperti ruas jalan yang relatif tetap, jumlah pemakai jalan bertambah, perilaku pemakai jalan yang mau enaknya sendiri, tidak ada pendidikan berlalu-lintas yang baik dan benar, termasuk perilaku aparat juga tidak berubah. 13
193
PARASIT PEMBANGUNAN
proses pengurusan SIM bagi mereka yang telah menghubungi calo (baik swasta maupun polisi) SIM. Oleh karena itu menjadi sangat wajar kalau mayoritas pencari SIM menggunakan jasa para calo ini untuk mempercepat proses perolehan salah satu dokumen vital bagi para pengemudi kendaraan bermotor ini. Sebagai perbandingan, tahun 1996 saya mencari SIM kelas mobil (setara SIM A di Indonesia) ketika tinggal di Australia Selatan untuk beberapa tahun. Sama seperti di Indonesia, untuk memperolehnya masyarakat harus melalui dua tahap, yaitu ujian teori dan ujian praktik. Untuk ujian teori ada dua urutan ujian, yaitu ujian teori kategori A dan setelah lulus, ujian teori kategori B. Untuk ujian teori kategori A pemohon diminta untuk memilih 8 dari 20 soal yang disediakan dan harus menjawabnya dengan benar. Oleh karena itu ujian teori kategori A ini disebut sebagai ‘langsung gagal atau immediate fail’, karena begitu ada jawaban yang salah, meskipun hanya 1, ujian itu dinyatakan gagal dan harus diulang di lain hari. Dalam ujian kategori A ini saya lulus pada kesempatan ketiga. Pada kesempatan ketiga inilah saya langsung bisa menyelesaikan ujian teori, karena ujian teori kategori B lebih longgar dengan tingkat toleransi kesalahan sebanyak 20%14 seperti yang diterapkan di Indonesia maupun di Ohio, Amerika Serikat. Setelah lulus ujian teori kategori A ini setiap pencari SIM, seperti saya, memiliki kemungkinan untuk lulus ujian teori (Kategori B) mendekati 100%. Setelah lulus ujian teori, pencari SIM kemudian diberi SIM-L (Learner Permit), yaitu surat ijin untuk belajar mengendarai mobil. Syaratnya, setiap mengendarai mobil ia harus memasang plat L, baik dari depan maupun dari belakang, sehingga bisa dilihat oleh pemakai jalan lain. Kemudian ketika mengemudikan mobil ia harus didampingi oleh seseorang yang sudah memiliki SIM reguler, tanpa diatur apakah
Pada awal Desember 2011 Budi Winursito menempuh ujian teori untuk SIM mobil di Athens, Ohio, Amerika Serikat. Ujian teori di Ohio bersifat sama dengan ujian teori di Indonesia, yaitu hanya terdiri dari satu set soal (tidak seperti di Australia Selatan yang terdiri dari dua set) dengan batas kelulusan 80%. Hal ini tentu relatif mudah untuk lulus (Komunikasi langsung pada akhir Desember 2011). 14
194
Proses Memburu Rente
pendampingnya adalah seorang pelatih mengemudi dari sekolah mengemudi tertentu atau seorang awam. Setelah merasa cukup terampil mengemudi, pencari SIM bisa menempuh ujian praktik dengan penguji yang mempunyai lisensi untuk itu. Ujian praktik ini dilakukan di jalan biasa (bukan di tempat khusus). Pencari SIM harus mempraktikkan keterampilan mengemudinya sesuai dengan rambu-rambu (teori lalu lintas yang telah diujikan). Apabila pencari SIM menyalahi rambu lalu-lintas, yang masuk dalam soal kategori ‘langsung gagal’, maka ujian praktik dihentikan seketika dan ia dinyatakan gagal. Ia boleh membuat janji untuk ujian lagi setelah berselang beberapa hari kerja. Untuk ujian praktik ini, saya gagal pada kesempatan pertama, karena melanggar batas kecepatan di suatu titik jalan yang sedang diperbaiki. Saya harus melakukan dua kali ujian praktik, baru dinyatakan lulus. Setelah lulus ujian praktik ini si pencari SIM (termasuk saya) baru diterbitkan SIM-P (Probationary atau percobaan) yang berlaku selama satu tahun. Setelah satu tahun berlalu tanpa melanggar persyaratan yang ditentukan bagi pemegang SIM-P, maka seseorang baru diberikan SIM reguler yang berlaku selama lima tahun.15 Prosedur standar dalam pengurusan SIM di Australia Selatan ini telah menjadikan lalu lintas di sana sangat teratur. Hal ini terjadi karena mobil adalah moda transportasi yang paling dominan di jalan-jalan, sedangkan sepeda motor hanya beberapa. Masyarakatnya pun sudah berbudaya antri dan hal itu juga dipraktikkan setiap saat di jalan-jalan, sehingga main serobot antara moda transportasi di jalan sangat langka terjadi.
Mengikuti Lelang Pengalaman lain yang saya alami adalah mengikuti lelang. Desember 1999 saya mengikuti lelang untuk membeli rumah yang kemudian kami tinggali beserta keluarga sampai sekarang. Suatu hari Mayoritas mahasiswa Indonesia di Australia Selatan tahun 1993-1998 lebih memilih mengurus SIM Internasional di Jakarta daripada mengurus SIM Lokal di Australia. Karena SIM Internasional dari Indonesia bisa diurus dengan mudah melalui pos dengan melampirkan fotokopi SIM lokal, foto dan sejumlah uang yang sudah ditentukan. 15
195
PARASIT PEMBANGUNAN
yang sudah ditentukan, di ruang lelang suatu Bank Penyelenggara sudah dipenuhi oleh orang-orang yang akan mengikuti lelang, laki-laki maupun perempuan. Setelah mendapat tempat duduk, seorang laki-laki menegur saya: “Mau ikut lelang ya pak?” “Iya pak”, jawab saya dengan singkat. Memangnya ada yang datang ke sini hanya untuk menonton, pikir saya. “Untuk tempat tinggal atau untuk investasi pak?” pertanyaannya berlanjut. “Untuk tempat tinggal pak, kami belum mempunyai rumah”. Jawab saya polos. “Mau ikut lelang yang mana, pak?” Sambung si penanya. “Yang ini!” Saya menunjuk salah satu alamat dalam satu daftar properti yang akan dilelang. Di dalam hati saya sebenarnya mulai jengkel, tetapi pertanyaan orang itu ternyata masih disambung: “Bapak berani menawar sampai berapa?” Saya terdiam, sebagian karena menahan rasa jengkel, tapi sekaligus bingung apakah perlu untuk menjawab. Rupanya rekan bicara saya tahu kebingungan saya dengan mengatakan: “Saudara perempuan saya ini pak berani menawar Rp 11 juta”. Lalu, seorang laki-laki lain di sampingnya menyela: “Saya berani Rp 12 juta, pak”. Saya benar-benar terprovokasi (dan barangkali terjebak) obrolan di ruang tunggu itu dengan mengatakan: “Saya berani menawar Rp 13 juta”, dengan cukup ketus. Setelah hening sekitar satu menit, penanya pertama, kemudian, berkata lagi: “Begini pak. Biar properti ini untuk saudara perempuan saya ini saja, nanti bapak mendapat bagian meskipun tidak banyak”. Saya sebenarnya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan “mendapat bagian meskipun tidak banyak” dari orang itu. Tetapi karena keluarga saya sedang putus asa mencari rumah, maka saya lalu menjawab dengan sedikit emosional: “Saya tidak sedang mencari uang pak, tapi sedang mencari rumah”.
Obrolan di ruang tunggu tempat lelang itu ternyata bukan sembarang obrolan. Ia menjadi semacam “preset scenario’ bagi proses
196
Proses Memburu Rente
lelang yang sesungguhnya.16 Ketika lelang dibuka oleh juru lelang, penawaran dimulai dari angka 9 juta rupiah, kemudian naik terus dengan tambahan 50 ribu rupiah sampai akhirnya berhenti pada angka 13 juta rupiah – angka yang saya ucapkan di luar dan saya ulangi lagi di dalam ruang lelang itu. Rupanya nilai awal penawaran lelang, yaitu sebesar 9 juta rupiah, merupakan nilai properti yang nantinya dimasukkan ke kas negara, sedangkan beda atau selisihnya menjadi keuntungan bagi para pihak yang terlibat dalam lelang untuk setiap jenis properti yang dilelang, tentu saja setelah dikurangi dengan biaya administrasi. Setelah dihitung, saya telah memberikan “keuntungan” kepada para pihak yang terlibat lelang satu jenis properti yang saya menangkan itu sebesar kurang lebih 2,5 juta rupiah atau 36 persen dari harga properti. Apabila persentase “keuntungan”, yang sebesar kurang lebih 35 persen17, ini terjadi untuk setiap properti yang dilelang, maka betapa menariknya untuk terlibat atau menjadi anggota sindikat atau mafia lelang, karena hasilnya sudah bisa diprakirakan sebelumnya. Bagi para anggota mafia lelang, tentu saja harus bekerjasama dengan penyelenggara lelang, dalam kasus ini, aparat Bank yang sedang melelang properti, bisa memperoleh keuntungan yang sangat menggiurkan. Orang-orang seperti inilah kiranya yang oleh Jagdish Bhagwati (1982), yang juga diulangi oleh Angeletos & Kollintzas (2000) disebut sebagai ‘pengusaha tidak berproduksi’ (unproductive enterpreneurs).
Saya mendapatkan konfirmasi dari dua narasumber, yaitu seorang pimpinan proyek pembangunan gedung suatu instansi pemerintah dan seorang pengacara, yang pernah atau bahkan sering mengikuti lelang, bahwa proses lelang yang saya narasikan itu masih berlangsung hingga tahun 2012. Mafia Lelang memang berperan sangat menentukan bagi siapa yang akan memenangkan lelang dan berapa besar margin yang akan diperoleh oleh jaringan itu. 16
Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Pak Kukuh di tahun 2001. Seorang birokrat dari suatu kabupaten datang ke Pusat Studi menawarkan suatu kerjasama proyek penelitian, asalkan Pusat Studi menyetujui nilai riil proyek yang diserahkan hanya sebesar 60%. 17
197
PARASIT PEMBANGUNAN
RANGKUMAN Berdasarkan uraian yang diabstraksikan dari testimoni para narasumber, baik dari Kampung Papringan maupun kampung lain di Kota Adikarta, partisipan diskusi kelompok, pengamatan dan pengalaman saya, bab 6 ini bisa dirangkum ke dalam beberapa hal berikut. Pengertian (what) tentang perilaku memburu rente yang dipakai dalam studi ini adalah “berbagai upaya yang dilakukan oleh seorang individu, kelompok, atau pun lembaga untuk memperoleh keuntungan atau manfaat bagi dirinya sendiri, kelompoknya, atau pun lembaganya dengan merugikan orang lain, kelompok lain, atau lembaga lain maupun kepentingan yang lebih luas atau lebih besar”. Pengertian ini sudah diperluas dari definisi awal yang disampaikan oleh Krueger (1974) maupun Buchanan et al (1980). Kemudian, partisipan atau aktor (who) pemburu rente adalah perseorangan, dan atau kelompok, yang bertindak secara bersama (dalam sindikasi), dan atau organisasi, baik swasta maupun negeri. Sehingga para pemburu rente ini bisa dikatakan memanfaatkan modal sosial untuk keuntungan mereka sendiri, dengan merugikan pihak lain, maupun kepentingan yang lebih besar atau lebih luas. Selanjutnya, perilaku memburu rente bisa terjadi kapan saja (when), umumnya tergantung kepekaan dan kreatifitas para aktor untuk menangkap atau menciptakan peluang, baik di ranah privat maupun publik. Apabila suatu peluang (proyek), baik pribadi maupun lembaga sudah disepakati, maka mulailah muncul berbagai pihak yang ingin memperoleh rente. Penanggungjawab proyek akan mencari rekanan atau pelaksana, baik melalui penunjukan langsung atau pun tender, tergantung pada besarnya proyek. Tidak kalah penting dari semuanya itu, perilaku memburu rente terjadi (how) ketika satu pihak menyerahkan atau meminta kepada pihak lain untuk memperoleh barang dan atau jasa bagi dirinya (Pihak Pertama) yang tidak selalu sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi, Pihak Pertama itu meminta kepada calo, baik dari luar atau pun dari dalam (Pihak Kedua). Apabila Pihak Kedua adalah calo dari luar (swasta), maka ia kemudian mengontak rekanannya atau 198
Proses Memburu Rente
relasinya di dalam Lembaga Penyedia Barang & Jasa (Pihak Ketiga). Penyediaan barang dan atau jasa termaksud kemudian dilakukan oleh bagian lain atau rekanan lain (Pihak Keempat). Pihak Pertama dan Pihak Kedua masuk ke dalam kategori pemburu rente swasta dan Pihak Ketiga dan Pihak Keempat masuk ke dalam kategori pemburu rente birokrat. Mengapa perilaku memburu rente melibatkan begitu banyak orang, khususnya pada aras meso (komunitas) maupun aras makro (masyarakat luas)? Karena, perilaku memburu rente hanya terjadi di antara sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu pihak pencari barang dan atau jasa (demand) dan penyedia barang dan atau jasa itu (supply). Sehingga transaksi akan terjadi ketika kedua belah pihak telah menyepakati ‘harga’ atas barang dan atau jasa itu. Akhirnya, mengapa terjadi perilaku memburu rente? Bab 6 ini hanya menjawab lima pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana, perilaku itu terjadi. Sedangkan pertanyaan keenam tentang mengapa terjadi perilaku memburu rente dicoba-jawab dalam bab 7 pada halaman berikut.
*
199