Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEREDUKSI NATRIUM TIOSULFAT (Na 2S2O3) DAN KALIUM OKSALAT (K2C2O4) PADA ANALISA KADAR TOTAL BESI SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS Radityo Ari Hapsoro*, Drs. Djarot Sugiarso, K.S., M.S1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Abstrak Penentuan kadar total besi dapat dianalisa dengan spektrofotometer UV-Vis. Larutan Fe(III) harus direduksi menjadi Fe(II) lalu dikomplekskan dengan pengompleks o-fenantrolin sehingga memberikan warna merah jingga dengan warna komplementer hijau yang terbaca pada daerah UV-Vis, 500-600 nm. Pada penelitian sebelumnya terbukti bahwa natrium tiosulfat (Na2S2O3) memiliki kemampuan yang baik dalam mereduksi besi. Pada penelitian ini akan dibandingkan kemampuan pereduksi natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan kalium oksalat (K2C2O4) dengan parameter presisi dan akurasi. Presisi dapat dilihat dari nilai CV dan RSD, dimana CV yang diperoleh untuk pereduksi Na2S2O3 adalah 1,33% dengan RSD sebesar 13,3 ppt sedangkan harga CV untuk pereduksi K2C2O4 adalah 0,63% dengan RSD sebesar 6,3. Akurasi dilihat dari nilai % kesalahan metode dengan membandingkan jumLah kadar total besi yang diperoleh menggunakan metode AAS. Nilai % kesalahan pada pereduksi Na2S2O3 adalah 2,17% sedangkan pada K2C2O4 sebesar 4,79%. Selain itu, % Fe yang tereduksi dengan menggunakan pereduksi Na2S2O3 sebesar 77,95% sedangkan untuk K2C2O4 sebesar 72,77%. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan Na2S2O3 lebih baik digunakan sebagai pereduksi daripada K2C2O4. Kata kunci: Spektrofotometri UV-Vis, pereduksi Na2S2O3, pereduksi K2C2O4, pengompleks 1,10 fenantrolin. I. Pendahuluan Besi adalah logam yang beraneka ragam penggunaannya serta melimpah keberadaannya. Besi yang dapat dikonsumsi oleh manusia berada dalam bentuk ionnya yaitu Fe2+ dan Fe3+. Dalam tubuh, besi esensial memproduksi hemoglobin yang berfungsi dalam mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan tubuh, mengangkut elektron dalam sel dan mensistesis enzim yang mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan O2 selama memproduksi energi seluler. Pada tubuh manusia (yang memiliki berat sekitar 70 kg) hanya terkandung besi sebanyak 3,5 gr, 70% diantaranya dalam bentuk hemoglobin. Namun apabila jumLah kadar besi yang dikonsumsi terlalu berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hati, diabetes dan penyumbatan pembuluh jantung. Oleh karena itu diperlukan suatu analisa untuk menentukan besarnya kadar besi pada air maupun pada bahan makanan seperti bayam, gandum dan lain sebagainya (Alaerts, et al, 1987).
* Corresponding author Phone 085655162066 e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Penentuan kadar besi dapat menggunakan metode analisa spektrofotometri UV VIS. Metode ini dilakukan dengan mengomplekskan zat yang akan dianalisa dengan pengompleks besi yang membentuk suatu warna yang spesifik. Pengompleks yang biasanya digunakan adalah molybdenum, selenit, dan ortofenantrolin (Malik,2000). Pengompleksan besi dengan menggunakan fenantrolin akan menghasilkan pewarnaan merah jingga yang disebabkan oleh kation kompleks [Fe(C18H8N2)2]3+ dalam larutan sedikit asam. Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk pereduksi besi ferri menjadi ferro antara lain adalah Zn, Sn2+, NH3OCl, H2S, Na2S2O3, Na2SO3. Pemilihan reduktor ini tergantung suasana asam yang digunakan dan tergantung pada ada/tidaknya senyawa lain dalam cuplikan yang bersangkutan. Pada umumnya besi cenderung membentuk senyawa dalam bentuk ferri daripada ferro dan dapat membentuk kompleks stabil dalam senyawasenyawa tertentu (Othmer, 1978). Malik (1997) melakukan penelitian penentuan kadar besi dengan menggunakan pengompleks fenantrolin dan diperoleh absorptivitas molar sebesar 2,24 x 104 Lmol-1cm-1 dan dinyatakan bahwa metode ini sederhana karena tidak memerlukan waktu yang lama, namun apabila menggunakan pengadsorpsi naphtalen metode ini membutuhkan waktu yang lama. Pereduksi lain yang digunakan yaitu Natrium Tiosulfat (Na 2S2O3) untuk mereduksi Fe 3+ menjadi Fe 2+ sebelum besi 1
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
dikomplekskan. Alasan digunakan pereduksi Na 2S2O3 adalah natrium tiosulfat merupakan pereduksi yang kuat untuk besi dan mudah didapat. Amelia (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan pereduksi Na 2S 2O3 dan pengompleks 1,10-fenantrolin, dan didapatkan hasil bahwa pada konsentrasi 11 ppm Na 2S 2O3 dan kondisi pH optimum buffer asetat 4,5 mampu mereduksi larutan 5 ppm Fe(III) dengan harga prosen recovery paling tinggi yaitu 99,2438% Dita (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan pereduksi kalium oksalat (K2C2O4) untuk mereduksi besi (III) menjadi besi (II) secara efisien. Pemilihan kalium oksalat dikarenakan garam ini merupakan reduktor yang kuat, selain itu kalium oksalat merupakan reduktor yang mudah didapatkan dibanding zat pereduksi lain. Peneliti menggunakan pengompleks 1,10-fenantrolin (orto fenantrolin) dan reduktor kalium oksalat. pH optimum buffer asetat senyawa kompleks [Fe(C12H8N2)3]2+ adalah 4,5 dengan konsentrasi reduktor 3 ppm. Intan (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan pereduksi Na2S2O3 dan K2C2O4 pada analisa besi dalam multivitamin. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa kalium oksalat (K2C2O4) kurang baik digunakan sebagai pereduksi pada analisa besi dalam multivitamin. Hal ini berdasarkan hasil perolehan nilai ketepatan (akurasi). Hasil penelitian menunjukkan keakuratan yang tidak baik, terlihat dari nilai % recovery K2C2O4 pada adisi 0,2 mL larutan Fe standar 100 ppm, yaitu 66,8% sedangkan pada pereduksi Na2S2O3 yang digunakan sebagai pembanding menunjukkan keakuratan yang baik, yaitu sebesar 103,6%. Keakuratan Na2S2O3 lebih baik dalam mereduksi besi pada multivitamin sesuai dengan potensial elektroda standar yang dimiliki oleh masing-masing pereduksi, yaitu -0,08 V dan +0,49 V untuk Na2S2O3 dan K2C2O4 secara berurutan. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka dalam tugas akhir ini akan dilakukan analisa untuk mengetahui kemampuan pereduksi natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan kalium oksalat (K2C2O4) dalam analisa kadar total besi serta membandingkan pereduksi mana yang lebih baik dari dua pereduksi tersebut. Kemampuan kedua pereduksi dapat dilihat dari nilai % kesalahan yang diperoleh masing masing pereduksi pada analisa kadar total besi secara spektrofotometri UV Vis, serta % besi yang tereduksi oleh kedua pereduksi kemudian dibandingkan dengan menggunakan metode AAS. II. Bahan dan Metode 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-VIS, kuvet, labu ukur, neraca analitik, gelas ukur, pH meter digital ,
botol semprot, pipet tetes, pipet ukur, corong, beker glass dan propipet. 2.1.2 Bahan Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah FeCl3. 6H2O, 1,10ortofenantrolin, sodium asetat terhidrat (CH3COONa.3H2O), asam asetat glasial, kristal SnCl2, kristal Na2S2O3, aseton, aqua DM. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Pembuatan Larutan Stok Fe 100 ppm Larutan Fe 100 ppm diperoleh dengan melarutkan 0,0483 gr FeCl3. 6H2O dengan aqua DM hingga volumenya 100 mL. 2.2.2 Pembuatan Larutan Kerja Na2S2O3 100 ppm Larutan Na2S2O3 100 ppm dibuat dengan melarutkan kristal Na2S2O3 sebanyak 0,1 gr dengan aqua DM hingga volume 1L sehingga didapatkan larutan kerja Na2S2O3 100 ppm. 2.2.3 Pembuatan Larutan Kerja K 2C2O4 100 ppm Larutan K2C2O4 dibuat dengan melarutkan kristal K2C2O4 sebanyak 100 mg dengan aqua DM sampai volume 1000 mL sehingga didapatkan larutan kerja K2C2O4 100 ppm. 2.2.4 Pembuatan Larutan 1,10 - Fenantrolin 1000 ppm Larutan 1,10- fenantrolin 1000 ppm dibuat dengan melarutkan 0,1 gr fenantrolin dengan aqua DM hingga volume 100 mL. 2.2.5 Pembuatan Larutan Buffer Asetat Larutan buffer asetat pH 4,5 dibuat dengan melarutkan CH3COONa. 3 H2O 6,242 gr dengan 5 mL CH3COOH (ka =1,75 x 10 -5) dengan aqua DM hingga volume larutan mencapai 50 mL. Selanjutnya buffer asetat dibuat variasi pH nya yaitu pH 3 ; 3,5 ; 4 ; 4,5 ; 5. Komposisi CH3COONa.3H2O dan CH3COOH yang digunakan dapat dilihat dari lampiran. 2.2.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Dengan Pereduksi Natrium Tiosulfat Larutan standard Fe (III ) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL ditambah 1 mL larutan natrium tiosulfat 100 ppm sebagai pereduksi, 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm, 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500-600 nm. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan dibuat kurva 2
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
antara absorbansi dengan panjang gelombang. Dari kurva tersebut dapat diperoleh panjang gelombang maksimum. 2.2.7 Penentuan panjang gelombang maksimum dengan pereduksi K2C2O4 Larutan standard Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL, ditambah 0,3 mL larutan K2C2O4 100 ppm sebagai pereduksi, 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm, 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang nm. Percobaaan ini dilakukan 500-600 pengulangan sebanyak 3 kali dan dibuat kurva antara absorbansi dengan panjang gelombang. Dari kurva tersebut dapat diperoleh panjang gelombang maksimum. 2.2.8
Penentuan pH Optimum Larutan Buffer Asetat Dengan Pereduksi Na2S2O3 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambah larutan pereduksi Na2S2O3 10 ppm; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL buffer asetat dengan variasi pH 3; 3,5; 4; 4,5; 5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Selanjutnya dibuat kurva antara absorbansi dengan pH buffer asetat dan diperoleh pH optimum dari buffer asetat. 2.2.9 Penentuan pH Optimum Larutan Buffer Asetat Dengan Pereduksi K2C2O4 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan dalam labu ukur 10 mL ditambah larutan pereduksi K2C2O4 3 ppm; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL buffer asetat dengan variasi pH 3; 3,5; 4; 4,5; 5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Selanjutnya dibuat kurva antara absorbansi dengan pH buffer asetat dan diperoleh pH optimum dari buffer asetat. 2.2.10
Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi Na2S2O3 100 ppm. Larutan standard Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL, ditambah larutan kerja Natrium Tiosulfat 100 ppm sebanyak 0,5 ; 0,6 ; 0,7 ; 0,8 ; 0,9 mL sebagai pereduksi, 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum, 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM
hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Data absorbansi yang telah diperoleh digunakan untuk pembuatan kurva antara absorbansi dengan konsentrasi pereduksi Na2S2O3, sehingga dari kurva tersebut diperoleh konsentrasi optimum untuk reduktor Na2S2O3. 2.2.11 Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi K2C2O4 100 ppm. Larutan standard Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,5 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL, ditambah larutan kerja K2C2O4 100 ppm sebanyak 0,2 ; 0,25; 0,3; 0,35; 0,4 ; 0,45 mL sebagai pereduksi, 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum, 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Data absorbansi yang telah diperoleh digunakan untuk pembuatan kurva antara absorbansi dengan konsentrasi pereduksi K2C2O4, sehingga dari kurva tersebut diperoleh konsentrasi optimum untuk reduktor K2C2O4. 2.2.12
Penentuan Kurva Kalibrasi dengan Pereduksi Na2S2O3 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Masing-masing ditambah 0,8 mL larutan Na2S2O3 konsentrasi optimum; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi antara absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan standar Fe(III). 2.2.13
Penentuan Kurva Kalibrasi Dengan Pereduksi K2C2O4 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Masing-masing ditambah 0,3 mL larutan K2C2O4 konsentrasi optimum; 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Data yang diperoleh kemudian dibuat kurva kalibrasi antara absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan standar Fe(III).
3
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
2.2.14
Analisa Kadar Fe Tanpa Pereduksi (Fe3+) Dalam Larutan Pada Panjang Gelombang 510 nm Larutan standard Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,4 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL, ditambah 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm, 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 510 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang maksimum dari reduktor Na2S2O3. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali Dari data yang diperoleh dapat ditentukan kadar zat besi sebelum tereduksi. 2.2.15
Analisa Kadar Fe tanpa pereduksi (Fe3+) dalam larutan pada panjang gombang 520 nm Larutan standard Fe (III) 100 ppm sebanyak 0,4 mL dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL, ditambah 1,5 mL larutan fenantrolin 1000 ppm, 1,5 mL larutan buffer asetat pH 4,5 dan 5 mL aseton, kemudian ditambah dengan aqua DM hingga volume mencapai 10 mL. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang maksimum dari reduktor K2C2O4. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Dari data yang diperoleh dapat ditentukan kadar zat besi sebelum tereduksi. 2.2.16 Analisa Kadar Fe Total Dalam Larutan Dengan Reduktor Na2S2O3 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,4 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Masingmasing ditambah 0,8 mL larutan Na2S2O3 konsentrasi optimum; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 510 nm. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kadar Fe dalam larutan dan kadar besi yang tereduksi. 2.2.17 Analisa Kadar Fe Total Dalam Larutan Dengan Reduktor Sncl2 Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,4 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Masing-masing ditambah 0,3 mL larutan K2C2O4 konsentrasi optimum; 1,5 mL larutan 1,10fenantrolin 1000 ppm; 1,5 mL larutan buffer asetat pH optimum dan 5 mL aseton kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 10 mL. Campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit
kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kadar besi total dalam larutan dan kadar besi yang tereduksi. Cara perhitungan terdapat pada lampiran. 2.2.18 Analisa kadar Fe total dalam larutan dengan metode Spektroskopi Serapan Atom (AAS) Larutan standar Fe(III) 100 ppm sebanyak 0,4 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambah aqua DM hingga volume larutan 100 mL. Campuran dikocok dan didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom. Percobaaan ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kadar besi total dalam larutan. III. Pembahasan 3.1 Penentuan Panjang Gelombang (λ) Maksimum Pereduksi Kalium Oksalat (K2C2O4) Penentuan panjang gelombang maksimum larutan Fe2+ – 1,10 fenantrolin dalam reduktor kalium oksalat (K2C2O4) dengan spektrofotometri UV – Vis dilakukan pada rentang panjang gelombang 500–550 nm. Rentang panjang gelombang ini didasarkan pada panjang gelombang dimana larutan tersebut bereaksi. Secara fisik larutan Fe2+ – 1,10 fenantrolin ini berwarna merah jingga, panjang gelombang 500 – 560 nm. Sehingga pada panjang gelombang inilah akan diperoleh kepekaan analisis yang maksimum. Pembuatan larutan kompleks Fe2+ – 1,10 fenantrolin dilakukan dengan cara penambahan 1 mL larutan kalium oksalat (K2C2O4) 100 ppm ke dalam 0,5 mL larutan standard Fe3+ 100 ppm, larutan kalium oksalat ini berfungsi sebagai reduktor, yang mengalami oksidasi. Sedangkan larutan Fe3+ berfungsi sebagai agen yang mengalami reduksi menjadi Fe2+. Kemudian ditambahkan 1,5 mL larutan 1,10 fenantrolin 1000 ppm serta 1,5 mL larutan buffer asetat pada pH 4,5. Larutan fenantrolin berfungsi sebagai agen pengompleks (ligan) membentuk kompleks Fe2+ – fenantrolin.Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometri UV – Vis dilakukan secara duplo. Reaksi yang terjadi antara besi(II) dengan pengompleks 1,10 fenantrolin seperti pada gambar 3.1 Reaksi yang terjadi saat Fe3+ tereduksi menjadi Fe2+ setelah direduksi oleh K2C2O4 adalah sebagai berikut. 2Fe3+(aq) + C2O42-(aq)
2Fe2+(aq) + 2CO2(g)
Reaksi ini menghasilkan potensial elektrode standar (Eo) sebesar +1,261 yang 4
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
menunjukkan reaksi ini dapat Reaksinya adalah sebagai berikut. (Reduksi) : 2Fe3+(aq) + 2e 2Fe2+(aq) (Oksidasi): C2O42-(aq) 2CO2(g) + 2e
berlangsung. Eo = +0,771 Eo = +0,49
2Fe2+(aq) + 2CO2(aq) Eo = +1,261 (Skoog, 2004). Setelah itu, Fe2+ akan membentuk senyawa komplek merah jingga saat ditambahkan pengompleks 1,10-fenantrolin dengan reaksi sebagai berikut.
Absorbansi
2Fe3+(aq) + C2O42-(aq)
2Fe3+(aq) + 2S2O32-(aq)
2Fe2+(aq) + S4O62-(aq)
Reaksi ini menghasilkan potensial elektrode standar (Eo) sebesar +0,691 yang menunjukkan reaksi ini dapat berlangsung. Reaksinya adalah sebagai berikut : (Reduksi) : 2Fe3+(aq) + 2e (Oksidasi): 2S2O32-(aq)
0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
2Fe2+(aq)
Eo = +0,771
S4O62-(aq) + 2e
Eo = -0,08
2Fe2+(aq) + S4O62-(aq) Eo = +0,691 (Skoog, 2004). Setelah itu, Fe2+ akan membentuk senyawa komplek merah jingga saat ditambahkan pengompleks 1,10-fenantrolin dengan reaksi sebagai berikut. Fe2+(aq) + 3C12H8N2(aq) [Fe(C12H8N2)3]2+(aq) (Underwood, 1993). 2Fe3+(aq) + 2S2O32-(aq)
480
500
520
540
560
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.1 Kurva Panjang Gelombang Maksimum Pereduksi K2C2O4 rentang 10 nm 0,14 0,12 Absorbansi
elektronik yang terbaca pada spektrofotometer UVVis dalam rentang panjang gelombang 500-600 nm (Atkins, 1975). Larutan blanko yang digunakan adalah semua pereaksi kecuali zat yang ditentukan (besi) dalam volume akhir 10 mL. Fe3+ akan tereduksi menjadi Fe2+ setelah direduksi oleh Na2S2O3 dengan reaksi sebagai berikut:
0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 510
515
520
525
Panjang Gelombang (nm)
530
pH buffer asetat yang digunakan dalam membantu pembentukan ion kompleks Fe2+ – 1,10 fenantrolin yaitu 4,5. Adapun data yang diperoleh dapat dibuat kurva antara absorbansi (A) terhadap panjang gelombang (λ) sehingga diperoleh λ maksimum. Warna merah jingga dari kompleks Fe2+-1,10-fenantrolin akan menghasilkan λ maks disekitar 510 nm yang diperoleh dari penelitianpenelitian sebelumnya dimana pada sekitar λ maks tersebut akan menghasilkan absorbansi terbesar yang menunjukkan serapannya tinggi (Atkins, 1975).
Gambar 3.2 Kurva Panjang Gelombang Maksimum Pereduksi K2C2O4 rentang 1 nm Absorbansi
3.2 Penentuan Panjang Gelombang (λ) Maksimum Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) Penentuan λ maksimum Na2S2O3 ini dilakukan dengan cara mengukur absorbansi 0,5 mL larutan standar Fe 100 ppm dengan larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm dan pereduksi Na2S2O3 100 ppm pada rentang panjang gelombang 500-600 nm. Pemilihan panjang gelombang ini berdasarkan perkiraan terdeteksinya senyawa kompleks Fe2+ – 1,10 fenantrolin pada daerah UV-Vis, dimana pada literatur menunjukkan bahwa kompleks tersebut akan berwarna merah jingga dengan warna komplementer hijau akibat terjadinya transisi
0,2 0,15 0,1 0,05 0 490 500 510 520 530 540 550 560 570 Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.3 Kurva Panjang Gelombang Maksimum Pereduksi Na2S2O3 Range 10 nm
5
Absorbansi
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
adalah basa lemah yang bereaksi untuk membentuk ion phen H+ dalam media asam. Ion H+ juga akan berkompetisi dengan Fe2+ dalam pembentukan kompleks [Fe(C12H8N2)3]2+, sesuai dengan persamaan reaksi :
0,162 0,16 0,158 0,156 0,154 0,152 0,15 0,148 0,146 0,144
Fe2+ (aq) + 3PhenH+(aq) 3H+(aq)
500
505
510
515
520 Absorbansi
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 3.4 Kurva Panjang Gelombang Maksimum Pereduksi Na2S2O3 Range 1 nm 3.3 Penentuan pH Optimum Buffer Asetat dengan Pereduksi Na2S2O3 Reaksi Fe2+ dengan 1,10-fenantrolin yang membentuk warna kompleks jingga adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan kadar besi secara spektrofotometri UV-Vis. Larutan kompleks tersebut akan stabil pada rentang pH 2-9 dan hal ini menunjukkan kompleks [Fe (C12H8N2)3]2+ dapat bekerja pada pH asam maupun basa. Namun, analisa kadar total besi dalam penelitian ini hanya menggunakan buffer asetat sebagai buffer asam untuk menjaga kestabilan kompleks yang terbentuk. Penentuan pH optimum buffer asetat dilakukan pada variasi pH 3; 3,5 ; 4; 4,5 dan 5. Tujuan dari optimasi pH buffer asetat ini adalah untuk mengetahui pengaruh pH buffer asetat terhadap absorbansi dari Fe2+ - 1,10fenantrolin sehingga dapat ditemukan pH asam yang paling optimum untuk menjaga kestabilan kompleks [Fe (C12H8N2)3]2+. Penentuan pH optimum dari buffer ini dilakukan dengan menggunakan reduktor Na2S2O3 10 ppm. Reduktor ini yang akan mereduksi ion Fe3+ menjadi ion Fe2+ sesuai dengan persamaan berikut : 2Fe3+(aq) + 2S2O32-(aq)
2Fe2+(aq) + S4O62-(aq)
Fe2+ yang telah terbentuk direaksikan dengan 1,10-fenantrolin dan membentuk kompleks merah jingga [Fe(C12H8N2)3]2+. 1,10-fenantrolin adalah reagen organik dengan Mr (198,22 g/mol). Reagen ini digunakan untuk penentuan beberapa unsur secara fotometrik. Fe2+ yang direaksikan dengan 1,10-fenantrolin akan membentuk kompleks stabil berwarna jingga yang disebut ferrand (Alumina, 2010). Warna kompleks akan stabil pada pH 2-9 dan intensitas warna tidak akan berubah dalam waktu yang lama. Senyawa kompleks terdiri dari atom pusat disekitar dua ligan atau lebih yang mempunyai ikatan kovalen koordinasi, Jumlah ligan yang berikatan dengan ion pusat pada senyawa kompleks disebut sebagai bilangan koordinasi. Dalam hal ini 1,10-fenantrolin bertindak sebagai ligan. Ligan ini
Fe (Phen)32+(aq) +
0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
2
4
6
Konsentrasi
Gambar 3.5 Kurva pH Optimum Buffer Asetat Dengan Pereduksi Na2S2O3 3.4 Penentuan pH Optimum Buffer Asetat dengan Pereduksi K 2C2O4 Penentuan pH optimum pada kondisi asam ini menggunakan buffer asetat. Larutan buffer merupakan larutan yang bisa mempertahankan harga pH karena adanya pengenceran, penambahan sedikit asam kuat atau basa kuat. Penggunaan buffer asetat ini dimaksudkan untuk mengetahui pH optimum saat kompleks Fe2+ – 1,10 fenantrolin telah terbentuk (Dita, 2010). Prosedur penelitian ini yaitu penambahan 1 mL larutan kalium oksalat (K2C2O4) 100 ppm ke dalam 0,5 mL larutan standard Fe3+ 100 ppm, larutan kalium oksalat ini berfungsi sebagai reduktor, yang mengalami oksidasi. Sedangkan larutan Fe3+ berfungsi sebagai agen yang mengalami reduksi menjadi Fe2+. Kemudian ditambahkan 1,5 mL larutan 1,10 fenantrolin 1000 ppm serta 1,5 mL larutan buffer asetat pada berbagai variasi pH. Variasi pH buffer asetat ini bertujuan untuk mengetahui pH optimum, pada pH inilah kompleks dapat terbentuk secara optimum. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometri UV – Vis dilakukan secara triplo pada panjang gelombang maksimum 520 nm.
6
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
Absorbansi
0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
1,5
3
4,5
6
Konsentrasi
Gambar 3.6 Kurva pH Optimum Buffer Asetat dengan Pereduksi K2C2O4 Fe2+ bereaksi dengan pengompleks 1,10 fenantrolin membentuk senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang berwarna merah jingga (Rivai Harizul, 1995). Banyak tidaknya kompleks yang terbentuk dapat dilihat dari absorbansi larutannya (Didik P.). Gambar 3.6 menunjukkan plot antara absorbansi terhadap pH buffer asetat. Pada pH antara 3; 3,5; dan 4 terlihat absorbansi yang rendah, hal ini karena sedikitnya jumlah kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk. Dengan kata lain, tidak semua Fe2+ bereaksi dengan ligan orto fenantrolin membentuk kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada rentang pH ini bukan pH optimum karena sedikit jumlah kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ (Dian, 2004). Kurva pada gambar 3.6 menunjukkan penurunan nilai absorbansi yang drastis antara pH 4,5 ke pH 5. Sama halnya dengan penjelasan pada pH antara 3; 3,5; dan 4 yang memiliki absorbansi rendah, hal ini karena sedikitnya jumlah kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk. Dengan kata lain, tidak semua Fe2+ bereaksi dengan ligan orto fenantrolin membentuk kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+. Sehingga pada pH 5 ini bukan merupakan pH optimum karena sedikit jumlah kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ (Dian,2004). 3.5 Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi Kalium Oksalat (K2C2O4) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah kondisi optimum reduktor kalium oksalat untuk mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dengan pengompleks 1,10 fenantrolin pada suasana asam. Prosedur utama dalam penelitian penentuan konsentrasi optimum reduktor kalium oksalat dalam suasana asam ini adalah melakukan variasi konsentrasi reduktor, yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum reduktor kalium oksalat agar dapat mereduksi 5 ppm Fe3+ menjadi Fe2+. Penggunaan larutan kalium oksalat sebagai reduktor dengan alasan besarnya daya reduksi larutan tersebut.
Langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penambahan reduktor dengan variasi konsentrasi. 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; dan 0,4 mL larutan pereduksi kalium oksalat 100 ppm. Kemudian ditambahkan larutan 1,10 fenantrolin 1000 ppm sebagai agen pengompleks dengan larutan Fe2+, serta larutan buffer asetat pada pH optimum, yaitu pH 4,5. Penggunaan pH optimum ini karena pada pH inilah kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ dapat terbentuk. Setelah terbentuk larutan standard ini dilakukan pengukuran dengan spektrofotometri UV – Vis secara triplo pada panjang gelombang maksimum 520 nm.
Absorbansi
0,12
0,2 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Konsentrasi
Gambar 3.7 Kurva Konsentrasi Optimum Pereduksi K2C2O4 Gambar 3.7 menunjukkan kurva absorbansi terhadap konsentrasi reduktor kalium oksalat pada pH buffer asetat maksimum yang telah ditentukan pada penelitian sebelumnya. Pada konsentrasi reduktor [K2C2O4] kurang dari 3 ppm terlihat absorbansi yang rendah. Tetapi kemudian naik secara drastis pada [K2C2O4] 3 ppm. Rendahnya nilai absorbansi pada [K2C2O4] 2 ppm disebabkan kurangnya konsentrasi [K2C2O4] yang digunakan untuk mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sehingga terdapat sebagian Fe3+ yang belum mengalami reduksi menjadi Fe2+ dan menyebabkan sedikitnya senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+ yang terbentuk. Reaksi reduksi oksidasi (redoks) yang terjadi adalah: oksidasi 2Fe3+(aq) + C2O42-(aq) → 2Fe2+(aq) + 2CO2(g) reduksi
(Dita, 2010)
Berdasarkan perhitungan secara teoritis, absorbansi maksimum seharusnya terdapat pada [K2C2O4] 2,5 ppm. Tetapi secara eksperimen di laboratorium, konsentrasi reduktor optimum pada 3 ppm. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, 7
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
Absorbansi
3.6 Penentuan Konsentrasi Optimum Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) Penentuan konsentrasi optimum pereduksi bertujuan untuk mengetahui kemampuan terbaik pereduksi yang digunakan dalam mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Penentuan ini dilakukan dengan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dengan pereduksi Na2S2O3 lalu dikomplekskan dengan 1,10fenantrolin. Kompleks berwarna merah jingga yang terbentuk diukur pada panjang gelombang maksimum pereduksi Na2S2O3 yaitu 510 nm. Konsentrasi Na2S2O3 divariasi untuk mengetahui kemampuannya dalam mereduksi Fe3+. Konsentrasi Na2S2O3 ini akan sangat berpengaruh pada absorbansi yang dihasilkan. Data-data yang diperoleh dapat dibuat kurva antara konsentrasi dan absorbansi untuk melihat kemampuan masingmasing konsentrasi Na2S2O3 dalam mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga dapat diperoleh konsentrasi optimum pereduksi Na2S2O3. Penentuan ini menggunakan larutan standar Fe 5 ppm dan buffer asetat pH optimum 4,5. 0,145 0,14 0,135 0,13 0,125 0,12 0,115 0
2
4
6
8
10
Konsentrasi
Gambar 3.8 Kurva Konsentrasi Optimum Pereduksi Na2S2O3 3.7 Penentuan Kurva Kalibrasi Besi dengan Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) Kurva kalibrasi merupakan garis yang diperoleh dari gabungan titik-titik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi terhadap absorbansi yang diserap oleh senyawa kompleks setelah dianalisis regresi linier. Kurva kalibrasi diperoleh dengan cara membuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur kemudian
dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi (Setyowati, 2009). Pembuatan kurva kalibrasi besi dengan Na2S2O3 dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar Fe dengan konsentrasi 1 ppm hingga 5 ppm pada λ maksimum pereduksi Na2S2O3, yaitu 510 nm dengan kondisi yang sudah dioptimasi, yaitu buffer asetat pH 4,5 dan konsentrasi pereduksi Na2S2O3 10 ppm. Data-data yang diperoleh dapat dibuat kurva hubungan antara konsentrasi Fe standar dengan absorbansi.
Absorbansi
yaitu adanya pembentukan reaksi samping yang terjadi antara ion hidrogen dengan ligan 1,10 fenantrolin, berupa [phen]H+ (Dian,2004). Reaksi samping inilah yang menyebabkan pembentukan kompleks tidak stabil, sehingga diperlukan konsentrasi reduktor yang lebih besar untuk mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ secara keseluruhan. Jika Fe2+ telah terbentuk maka ligan fenantrolin akan membentuk senyawa kompleks [(Fe(C12H8N2)3]2+.
0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 -0,02 0
2
4
6
Konsentrasi
Gambar 3.9 Kurva Kalibrasi Fe2+ – 1,10 Fenantrolin dengan Pereduksi Na2S2O3 Linearitas merupakan parameter yang dipakai untuk melihat respon metode terhadap perubahan jumlah cuplikan. Pada parameter ini akan terlihat apakah dengan kenaikan jumlah cuplikan akan menaikkan respon (respon bisa dalam bentuk absorbansi, volume titran atau peak area). Pengolahan parameter ini adalah dengan membuat sejumlah cuplikan dengan variasi konsentrasi. Data kadar kemudian diolah dengan menggunakan regresi linier antara kadar terhitung dengan volume titran/absorbansi kemudian dihitung nilai r dan r2-nya (Setyowati,2009). Berdasarkan kurva diperoleh persamaan garis dengan r = 0,998 dan r2 = 0,9976 yang menyatakan bahwa 99,54% hubungan antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi mempunyai hubungan erat. Linearitas yang baik antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi ditandai dengan harga r 2 = 0,9976 yang menyatakan semua titik terletak pada garis lurus yang lerengnya positif sehingga layak digunakan sebagai kurva kalibrasi karena memenuhi kisaran nilai r sebesar -1 ≤ r ≤ 1 dan kisaran nilai r2 sebesar 0,9 ≤ r2 ≤ 1 (Butler,2005). 3.8 Penentuan Kurva Kalibrasi Besi dengan Pereduksi Kalium Oksalat (K2C2O4) Pembuatan kurva kalibrasi besi dengan K2C2O4 dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar Fe dengan konsentrasi 1 ppm hingga 5 ppm pada λ maksimum pereduksi K2C2O4, yaitu 520 nm dengan kondisi yang sudah dioptimasi, yaitu buffer asetat pH 4,5 dan 8
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
konsentrasi pereduksi K2C2O4 3 ppm. Data-data yang diperoleh dapat dibuat kurva hubungan tara konsentrasi Fe standar dengan absorbansi. Absorbansi
0,15 Absorbansi
0,8
0,1
0,6 0,4 0,2
0,05
0 0
0
-0,05
0
2
4 Konsentrasi
Kurva kalibrasi merupakan garis yang diperoleh dari gabungan titik-titik yang menyatakan hubungan antara konsentrasi terhadap absorbansi yang diserap oleh senyawa kompleks setelah dianalisis regresi linier. Berdasarkan kurva diperoleh persamaan garis dengan r = 0,999 dan r2 = 0,9962 yang menyatakan bahwa 99,9% hubungan antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi mempunyai hubungan erat dan linearitas yang baik antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi, yang ditandai dengan harga r2 = 0,998 yang menyatakan semua titik terletak pada garis lurus yang lerengnya positif sehingga layak digunakan sebagai kurva kalibrasi karena memenuhi kisaran nilai r sebesar -1 ≤ r ≤ 1 dan kisaran nilai r2 sebesar 0,9 ≤ r2 ≤ 1 (Butler,2005). 3.9 Penentuan Kadar Total Besi Dengan Metode Spektrofotometer Serapan Atom Metode AAS berprinsip pada absorbansi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap pada panjang gelombang tertentu tergantung pada sifat unsurnya. Pada penelitian ini, metode AAS yang berhubungan dengan atomisasi nyala digunakan untuk menentukan kadar besi dalam larutan dan panjang gelombang yang digunakan yaitu 248,3 nm. Penentuan kadar besi total dalam larutan dimulai dengan pengukuran absorbansi larutan standar besi dengan spektroskopi serapan atom (SSA). Konsentrasi larutan standar yang digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi yaitu 0; 1; 2; 5; 10; 20 ppm. Data-data yang diperoleh dapat dibuat kurva hubungan antara konsentrasi Fe standar dengan absorbansi.
Konsentrasi
20
30
Gambar 3.11 Kurva Kalibrasi Larutan Standar Besi Dengan Metode AAS
6
Gambar 3.10 Kurva Kalibrasi Larutan Kompleks Fe2+ – 1,10 Fenantrolin Dengan Pereduksi K2C2O4
10
Berdasarkan kurva kalibrasi diatas diperoleh persamaan garis regresi linear y = 0,029x + 0,001 dengan r2 = 0,998 yang menyatakan bahwa 99,9% hubungan antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi mempunyai hubungan erat dan linearitas yang baik antara konsentrasi larutan standar Fe dengan absorbansi, yang ditandai dengan harga r2 = 0,998 yang menyatakan semua titik terletak pada garis lurus yang lerengnya positif sehingga layak digunakan sebagai kurva kalibrasi karena memenuhi kisaran nilai r sebesar -1 ≤ r ≤ 1 dan kisaran nilai r2 sebesar 0,9 ≤ r2 ≤ 1 (Butler,2005). 3.10 Penentuan Kadar Besi Dalam Larutan Dengan Pereduksi Na2S2O3 Secara Spektrofotometri UV-Vis Penentuan kadar besi dalam larutan dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar Fe3+ yang direduksi dengan Na2S2O3 pada panjang gelombang 510 nm. Panjang gelombang ini dipilih untuk analisis karena memberikan penyerapan yang paling tinggi, sehingga data yang diperoleh semakin akurat atau kesalahan yang muncul semakin kecil. Kondisi optimasi juga digunakan untuk konsentrasi pereduksi Na2S2O3 dan pH buffer asetat. Konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan yaitu 8 ppm dan pH 4,5 untuk buffer asetat. Setelah Fe3+ direduksi menjadi Fe2, larutan dikomplekskan dengan larutan 1,10-fenantrolin. Dalam penentuan kadar besi dalam larutan, senyawa tricyclic nitrogen heterocyclic, 1,10fenantrolin digunakan sebagai ligan yang bereaksi dengan logam besi untuk membentuk kompleks berwarna. Absorbansi yang diperoleh ditunjukkan dalam tabel 4.1 Tabel 4.1. Nilai absorbansi Fe yang tereduksi oleh Na2S2O3 n
1
2
3
4
5
Abs
0,075
0,075
0,075
0,076
0,076
Data pengukuran 9
absorbansi larutan
yang diperoleh dari sampel kemudian
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
disubstitusikan ke dalam persamaan kurva kalibrasi Na2S2O3. Perhitungan kadar Fe2+ dalam larutan terdapat dalam lampiran. Kadar Fe2+ dalam larutan menggunakan pereduksi Na2S2O3 dalam larutan ini diperoleh sebesar 3,5 mg/L. Selain itu, kadar Fe3+ dalam larutan juga ditentukan untuk menghitung jumlah dari kadar Fe2+ dan Fe3+ dalam larutan. Penentuan kadar Fe3+ ini dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar besi(III) tanpa pereduksi dengan pengompleks o-fenantrolin dan pH buffer asetat 4,5. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang maksimum untuk pereduksi Na2S2O3 yaitu 510 nm dan dilakukan perulangan sebanyak 5 kali. Dari data absorbansi yang diperoleh kemudian disubstitusikan kedalam persamaan kurva kalibrasi dengan pereduksi Na2S2O3 sesuai dengan prinsip hukum lambert beer. Kadar besi(III) dalam larutan diperoleh sebesar 0,99 mb/L, dengan demikian kadar total besi dalam larutan adalah 4,49 mg/L Tabel 3.2 Nilai Pengukuran Absorbansi Fe3+ n
1
2
3
4
5
Abs
0,02
0,02
0,02
0,021
0,021
Kadar besi yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui nilai akurasi dan presisi metode. Nilai akurasi ditunjukkan dengan perhitungan % kesalahan dan presisi ditentukan berdasarkan harga CV dan RSD. Perhitungan % kesalahan ditentukan dengan membandingkankadar besi yang diperoleh dari metode UV-Vis dengan kadar besi total yang diperoleh menggunakan metode AAS. Perhitungan % kesalahan terdapat dalam lampiran. Nilai % kesalahan yang diperoleh untuk pereduksi Na2S2O3 adalah 2,17%. Metode ini memiliki presisi yang baik dimana nilai CV yang diperoleh 0,86% dan RSD 8,6 ppt. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang digunakan memiliki presisi yang baik yang ditunjukkan dengan perolehan CV kurang dari 2% yaitu 1,33% dengan RSD kurang dari 20 ppt yaitu 13,3 ppt. 3.11 Penentuan Kadar Besi Dalam Larutan Dengan Pereduksi K2C2O4 Secara Spektrofotometri UV-Vis Penentuan kadar besi dalam larutan dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar Fe3+ yang direduksi dengan K2C2O4 pada panjang gelombang 520 nm. Panjang gelombang ini dipilih untuk analisis karena memberikan penyerapan yang paling tinggi, sehingga data yang diperoleh semakin akurat atau kesalahan yang muncul semakin kecil. Kondisi optimasi juga digunakan untuk konsentrasi pereduksi K2C2O4 dan pH buffer asetat. Konsentrasi K2C2O4 yang digunakan yaitu 3 ppm dan pH 4,5 untuk buffer
asetat. Setelah Fe3+ direduksi menjadi Fe2+, larutan dikomplekskan dengan larutan 1,10-fenantrolin. Dalam penentuan kadar besi dalam larutan, senyawa tricyclic nitrogen heterocyclic, 1,10fenantrolin digunakan sebagai ligan yang bereaksi dengan logam besi untuk membentuk kompleks berwarna. Absorbansi yang diperoleh ditunjukkan dalam tabel 4.3 Tabel 3.3 Nilai absorbansi Fe3+ yang tereduksi oleh K2C2O4 n
1
2
3
4
5
Abs
0,079
0,079
0,079
0,079
0,077
Data absorbansi yang diperoleh dari pengukuran larutan sampel kemudian disubstitusikan ke dalam persamaan kurva kalibrasi K2C2O4. Perhitungan kadar Fe2+ dalam larutan terdapat dalam lampiran. Kadar Fe2+ dalam larutan menggunakan pereduksi Na2S2O3 dalam larutan ini diperoleh sebesar 3,18 mg/L. Selain itu, kadar Fe3+ dalam larutan juga ditentukan untuk menghitung jumlah dari kadar Fe2+ dan Fe3+ dalam larutan. Penentuan kadar Fe3+ ini dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar Fe3+ tanpa pereduksi dengan pengompleks o-fenantrolin dan pH buffer asetat 4,5. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang maksimum untuk pereduksi K2C2O4 yaitu 520 nm dan dilakukan perulangan sebanyak 5 kali. Dari data absorbansi yang diperoleh kemudian disubstitusikan kedalam persamaan kurva kalibrasi dengan pereduksi K2C2O4 sesuai dengan prinsip hukum lambert beer. Kadar besi(III) dalam larutan diperoleh sebesar 0,99 mb/L, dengan demikian kadar total besi dalam larutan adalah 4,49 mg/L Tabel 3.4 nilai pengukuran absorbansi Fe3+ n
1
2
3
4
5
Abs
0,027
0,027
0,027
0,028
0,028
Kadar besi yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui nilai akurasi dan presisi metode. Nilai akurasi ditunjukkan dengan perhitungan % kesalahan dan presisi ditentukan berdasarkan harga CV dan RSD. Perhitungan % kesalahan ditentukan dengan membandingkankadar besi yang diperoleh dari metode UV-Vis dengan kadar besi total yang diperoleh menggunakan metode AAS. Perhitungan % kesalahan terdapat dalam lampiran. Nilai % kesalahan yang diperoleh untuk pereduksi Na2S2O3 adalah 2,14%. Metode ini memiliki presisi yang baik dimana nilai CV yang diperoleh 0,86% dan RSD 8,6 ppt. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang digunakan memiliki presisi yang baik yang ditunjukkan dengan perolehan CV kurang dari 2% 10
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012
yaitu 0,63% dengan RSD kurang dari 20 ppt yaitu 6,3 ppt. Selain itu, untuk mengetahui kemampuan pereduksi dalam mereduksi Fe2+ dapat dilakukan dengan menentukan % besi yang tereduksi dengan cara sebagai berikut :
IV. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pereduksi Na2S2O3 memiliki kemampuan mereduksi yang jauh lebih baik daripada pereduksi K2C2O4 yang didasarkan pada hasil perolehan % kesalahan (akurasi). Hasil penelitian menunjukkan pereduksi Na2S2O3 memiliki keakuratan yang lebih baik, terlihat dari nilai % kesalahan Na2S2O3 2,17% yang lebih kecil dibandingkan dengan pereduksi K2C2O4 yaitu sebesar 4,79%. Selain itu, % kadar besi yang tereduksi oleh Na2S2O3 lebih tinggi daripada K2C2O4 yaitu sebesar 77,69% (Na2S2O3) dan 72,77% (K2C2O4). Parameter linearitas dan presisi untuk kedua pereduksi menunjukkan nilai yang memenuhi standar pereduksi yang baik. Keakuratan Na2S2O3 lebih baik dalam mereduksi besi sesuai dengan potensial elektroda yang dimiliki masingmasing pereduksi, yaitu -0,08 dan +0,49 untuk Na2S2O3 dan K2C2O4 secara berurutan. 4.2 Saran Saran dari penulis adalah besi yang telah tereduksi menggunakan natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan kalium oksalat (K2C2O4) kemudian dikomplekskan dengan 1,10-fenantrolin, sebaiknya didiamkan selama 10-30 menit sebelum dianalisa agar warna yang terbentuk tepat berwarna jingga. Lalu perlu kajian bagaimana pengaruh gangguan logam lain terhadap pengukuran kadar total besi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. V. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Teman-teman C-25, sahabat, dan seluruh pihak yang membantu terselesaikannya tugas akhir ini.
Daftar Pustaka Alaerts, G. dan Sumetri, S., (1987), Metode Penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya Amelia (2004), Optimasi pH Buffer Asetat dan Konsentrasi Larutan Pereduksi Natrium Tiosulfat dalam Penentuan Kadar Besi secara Spektrofotometri UV VIS, Skripsi Jurusan Kimia ITS, Surabaya Burgess, Christoper, (2000), Valid Analytical Methods and Procedures, Burgess Consultasy, UK Gandjar,G.L, Rohman,A., (2008), Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Malik, A. K, (2000), Direct Spectrophotometric Determination of Ferbam Iron (III) Dymethyldithiocarbamat in Commercial Sample and Wheat Grains after Extraction of its Bathophenantroline Tetraphenilborate Complex into Molten Naphtalen, Journal of agricultural and Food Chemistry, Vol. 48, no. 10, pp 4044-4047. Othmer, K., (1978), Encyclopedia of Chemical Technology, thirth edition, volume 13, John Willey & Sons Inc, New York Slavica, Sladojevic, (2010), Stability of Tris- 1,10Phenantroline Iron (II) Complex in Different Composites, Faculty of Natural Science, Banja Skoog, (2004), Fundamentals of Analytical Chemistry, eighth edition, Brooks/Coole, a division of Thomson Learning, Inc, United States of America
Ucapan Terimakasih Allah S.W.T., atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya Kedua orang tua, saudara serta keluarga besar atas motivasi yang diberikan Drs. Djarot Sugiarso, K.S., MS selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan dan saran. Drs. Eko Santoso, selaku Dosen wali atas semua nasehat serta kemudahan dalam proses akademik. Lukman Atmaja, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA-ITS. Dra. Yulfi Zetra, MS. selaku koordinator Tugas Akhir Program S1.
11